Disusun oleh:
KELOMPOK 4
C S1 2015
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2017
A. Asidosis Pernapasan
Asidosis pernapasan merupakan konsekuensi dari retensi karbon dioksida.
Pada keadaan normal, kecepatan dan kedalaman pernapasan disesuaikan secara tepat
sehingga kecepatan ekskresi sebanding dengan kecepatan pembentukannya. Ekskresi
karbon dioksida merupakan suatu proses yang kompleks, termasuk di dalamnya
transpor karbon dioksida dalam darah ke pembuluh kapiler pulmonari, difusi ke
alveoli dan ventilasi. Ventilasi merupakan proses yang dikontrol oleh pusat
pernapasan medulla yang menerima input dari kemoreseptor perifer dan pusat,
Retensi karbon dioksida dapat terjadi sebagai konsekuensi dari malfungsi baik dari
mekanisme ekskresi atau pengaturannya. Beberapa penyebab dari asidosis pernapasan
dapat dilihat pada Tabel 1.
b. Hiperventilasi
Walaupun peningkatan CO2 dapat menstimulasi pusat pernapasan, adanya
penyakit pernapasan membuat organ pernapasan tidak mampu merespons terhadap
rangsangan tersebut. Pengukuran terapi untuk meningkatkan fungsi pernapasan dapat
menurunkan CO2, namun pada retensi karbon dioksida kronik, hal ini dapat menjadi
akibat yang tidak diinginkan.
b. Manajemen
Manajemen yang masuk akal untuk menangani asidosis pernapasan adalah
untuk menangani penyebab asidosis terjadi sehingga dapat mengembalikan CO2 ke
keadaan normal. Hal ini tidak mungkin terjadi, dan pada penderita dengan retensi
karbon dioksida apabila proses kompensasi telah mengembalikan konsentrasi ion
hidrogen darah ke keadaan normal atau mendekati normal, penanganan penyebab
asidosis mungkin dibutuhkan. Manajemen asidosis pernapasan secara praktikal
berdasarkan kebutuhkan untuk mempertahankan arteri PO2 yang cukup. Seperti yang
telah disebutkan di atas, koreksi cepat peningkatan CO2 pada pasien dengan retensi
karbon dioksida dapat membahayakan. Perubahan kompensasi dapat dilakuakn
beberapa jam, bahkan beberapa hari dan dapat menyebabkan pasien menjadi
alkalosis.
Hal ini mendemonstrasikan bahwa proses kompensasi pada asidosis
pernapasan dapat dianggap sebagai pembentukan fisiologi dari alkalosis non-
pernapasan, walaupun konsentrasi ion hidrogen pasien tidak turun di bawah normal,
dan pasien tidak menjadi alkalotik selama CO2 tetap meningkat.
B. Alkalosis Pernapasan
Alkalosis pernapasan merupakan konsekuensi dari kecepatan ekskresi karbon
dioksida yang lebih dari kecepatan pembentukannya yang mengarah pada penurunan
CO2. Hal ini biasanya terjadi karena rangsanagan dari pusat pernapasan; rangsangan
dapat bersifat toksik, refleks, psikogenik atau berhubungan dengan adanya lesi
intrakranial. Pengecualian dalam hal ini adalah ventilasi mekanik yaitu saat kontrol
pernapasan normal digantikan. Alkalosis pernapasan merupakan abnormalitas umum
pada penyakit kritis. Beberapa penyebab alkalosis pernapasan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa Penyebab Alkalosis Pernapasan
Beberapa Penyebab Alkalosis Pernapasan
1. Re
Hiperventilasi Voluntari
Ventilasi Meknaik sp
Refleks Hiperventilasi os
o Penurunan Kondisi Pulmonari ns
o Penyakit yang Mempengaruhi Dinding Dada
o Lesi Iritatif pada Saluran Napas
Stimuli lain pada Pusat Pernapasan
o Pengaruh Koritkal (Nyeri, Demam, Ansietas)
o Penyakit Lokal (Trauma, Tumor)
o Obat-Obatan dan Toksin (Keracunan Salisilat, Gagal Hepatik)
Asidosis Non-Pernapasan (selama pemulihan)
Kompesnasi pada Alkalolisis Pernapasan
a. Sistem Buffer
Pada alkalosis pernapasan akut, turunnya CO2 menyebabkan penurunan
konsentrasi ion hidrogen dan penurunan bikarbonat dalam jumlah sedikit. Buffer lain
melepaskan ion hidrogen, maka berkecenderungan untuk melawan efek turunnya
CO2; beberapa ion hidrogen ini akan berkombinasi dengan bikarbonat menyebabkan
konsentrasinya dalam darah turun lebih dari sebelumnya. Keadaan tetap (steady state)
baru dapat diperoleh dengan cepat dan dapat bertahan paling lama 6 jam, setelah efek
perubahan pada metabolisme ion hidrogen renal dapat terdeteksi.
b. Hipoventilasi
Koreksi alkalosis pernapasan hanya mungkun dilakukan apabila kecepatan
ekskresi karbon dioksida dapat dikembalikan ke keadaan normal. Fakta bahwa
alkalosis berkembang mengindikasikan bahwa efek inhibisi dari penurunan CO 2
pada pernapasan terlalu besar yang disebabkan rangsangan apapun yang
menyebabkan hiperventilasi.
b. Manajemen
Saat memungkinkan, penangan seharusnya diarahkan untuk menangani
penyebab alkalosis pernapasan. Pada alkalosis pernapasan yang diinduksi psikogenik,
pertolongan simptomatik cepat dapat dilakukan dengan menyuruh pasien untuk
bernapasan menggunakan kantong kertas. Apabila alkalosis yang terjadi parah, fitur
saraf atau kardiovaskular dikhawatirkan, mensedasi pasien mungkin dibutuhkan atau
mencegah hiperventilasi dengan cara mengembalikan ventilasi mekanik dengan
memastikan oksigenasi cukup yang harus dipertahankan.
b. Ketidakseimbangan Ventilasi/Perfusi
Pasien dengan pneumonia lobar, sebagian darah yang mengalir ke paru-paru
tidak berkontak dengan alveoli fungsional dan meretensi karbon dioksida, dan tidak
teroksigenasi. Darah yang mencapai bagian lain dari aparu-paru, pertukaran gas
terjadi secara efisien. Darah arterial merupakan campuan antara darah pada kedua
tempat tersebut. Peningkatan PCO2 menstimulasi ventilasi dan memastikan alveoli
fungsional bekerja lebih keras untuk mengembalikan PO2 ke keadaan normal. Hasil
gas darah menunjukkan PO2 yang normal atau lebih rendah sebagai akibat dari
hiperventilasi ini. Namun, peningkatan ventilasi tidak dapat menaikkan PO 2 alveoli
secara dramatis selama pasien bernapas.
Darah yang mengalir dari bagian kanan jantung secara langsung ke sirkulasi
arterial tanpa terekspos gas inspirasi pada alveoli terventilasi merupakan contoh
ekstrim ketidakseimbangan ventilasi/perfusi. Shunting dari kanan ke kiri ini terjadi
pada penyakit jantung sianotik kongenital.
Hipoksia dengan kenaikan PCO2 (gagal pernapasan tipe 2) mengindikasikan
penyusutan ventilasi dan pertukaran gas yang terganggu, dan dapat dilihat pada
pasien dengan pneumonia bronkial atau bronchitis kronik.
3. Terapi Oksigen
Pada semua penyakit pernapasan, terapi oksigen merupakan aspek vital untuk
manajemen pasien tetapi terdapat satu peringatan. Beberpa pasien dengan bronchitis
kronik menjadi tidak sensitif terhadap stimulasi pernapasan oleh karbon dioksida.
Ketidaksensitivitas ini dapat berkembang beberapa tahun dan hanya hipoksia yang
terus terjadi yang menjaga pernapasan tetap terjadi. Penangan pasien dengan
konsentrasi oksigen hanya berfungsi untuk menurunkan pernapasan lebih lanjut.
PCO2 meningkat, asidosis menjadi semakin buruk dan pasien dapat koma.
E. Spesimen untuk Analisis Gas Darah
[H+] dan PCO2 diukur secara langsung pada sampel darah arterial. Darah
arterial biasanya diambil dari arteri brakial atau radial dengan jarum suntik yang
mengandung sejumlah kecil heparin sebagai antikoagulan. Penting halnya untuk
mengeluarkan udara dari darah yang diambil. Saat sampel telah diambil, gelembung-
gelembung udara pada sampel harus dihilangkan sebelum jarum suntik ditutup untuk
transpor langsung ke laboratorium. Idealnya, jarum suntik dan kandunganya
ditempatkan dalam wadah es selama perjalaan ke laboratorium.
Analisis gas darah mengukur [H +] sampel dan nilai PCO 2-nya dan nilai
bikarbonat tidak perlu dihitung karena apabila nilai kedua komponen ini diketahui,
maka nilai bikarbonat dapat ditentukan sesuai dengan persamaan di bawah ini:
PCO2
[H +]
[HCO 3 - ]
F. Menginterpretasi Hasil
Informasi yang paling penting untuk interpretasi dan klasifikasi gangguan
asam-basa adalah riwayat medical pasien. Respons kompensasi dapat diprediksi
dalam [HCO3-] atau dalam PCO2, ketika perubahan [H+] adalah hasil dari gangguan
asam-basa primer seperti ditunjukkan pada tabel berikut.
Gaw, Allan, dkk. 2013. Clinical Biochemistry; An Illustrated Color Text Fifth Edition.
Elsivier. UK.
Marshall, William J., dkk. 2014. Clinical Biochemistry; Metabolik and Clinical
Aspects. Elsivier. UK.