Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BIOKIMIA KLINIK

ASPEK BIOKIMIA KLINIK DARI GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

C S1 2015

1. Argewidya P.R. Bestari / 1513015151


2. Citra Ayu Ariani / 1513015158
3. Fitryani / 1513015143
4. Husnul Khotimah / 1513015119
5. Muhammad Ardan / 1513015112
6. Nurfita / 1513015117
7. Ronaldy Novianto / 1513015141
8. Yonita Yuliani / 1513015133

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2017
A. Asidosis Pernapasan
Asidosis pernapasan merupakan konsekuensi dari retensi karbon dioksida.
Pada keadaan normal, kecepatan dan kedalaman pernapasan disesuaikan secara tepat
sehingga kecepatan ekskresi sebanding dengan kecepatan pembentukannya. Ekskresi
karbon dioksida merupakan suatu proses yang kompleks, termasuk di dalamnya
transpor karbon dioksida dalam darah ke pembuluh kapiler pulmonari, difusi ke
alveoli dan ventilasi. Ventilasi merupakan proses yang dikontrol oleh pusat
pernapasan medulla yang menerima input dari kemoreseptor perifer dan pusat,
Retensi karbon dioksida dapat terjadi sebagai konsekuensi dari malfungsi baik dari
mekanisme ekskresi atau pengaturannya. Beberapa penyebab dari asidosis pernapasan
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Penyebab Asidosis


Defek Kontrol Pernapasan Defek Fungsi Pernapasan
Depresi SSP Mekanik
o Anastesi o Sindrom Myasthenic
o Narkotika o Myopati
o Hipoksia Berat o Trauma Torakik dan Deformitas
Penyakit SSP o Pneumotoraks, Efusi Pleura
o Trauma Penyakit Paru-Paru
o Stroke o Defek Restriksi (Fibrosis, Udem
Penyakit Saraf Paru-Paru)
o Lesi Sumsum Tulang o Defek Obstruktif (Bronkitis Akut,
Belakang Emfisema, Asma)
o Poliomyelitis o Gangguan Perfusi
o Sindrom Guillain-Barre
o Penyakit Saraf Motorik
o Neurotoksin

1. Respons Kompensasi pada Asidosis Pernapasan


a. Sistem Buffer
Proses eritrosit dalam mengubah karbon dioksida menjadi bikarbonat dan
menjadi buffer merupakan proses yang efektif sekali; pada orang sehat perbedaan
arterivena ion hidrogen hanya berbeda sekitar 3 mmol/L. Pada keadaan tidak terdapat
lagi buffer, jika peningkatan CO2 cukup untuk menyebabkan peningkatan
konsentrasi bikarbonat 1 mmol/L untuk terjadi, sehingga seperti yang telah
diperkirakan akan terjadi peningkatan konsentrasi ion hidrogen sebesar 1 mmol/L
juga. Namun, faktanya, peningkatan konsentrasi ion hidrogen beberapa nanomol
bergantung pada sistem buffer yang dilakukan oleh hemoglobin. Peningkatan
maksimum konsentrasi plasma bikarbonat yang terjadi pada asidosis pernapasan akut
adalah sekitar 4 mmol/L. Pada retensi karbon dioksida kronik, sistem buffer yang
dilakukan oleh sistem buffer intraselular terjadi, sehingga peningkatan ekskresi
amonium ginjal memainkan peran penting dalam mengendalikan konsentrasi ion
hidrogen. Buffer ion hidrogen oleh tulang terjadi pada kurang signifikan pada
asidosis pernapasan kronik dibanding pada asidosis metabolik.

b. Hiperventilasi
Walaupun peningkatan CO2 dapat menstimulasi pusat pernapasan, adanya
penyakit pernapasan membuat organ pernapasan tidak mampu merespons terhadap
rangsangan tersebut. Pengukuran terapi untuk meningkatkan fungsi pernapasan dapat
menurunkan CO2, namun pada retensi karbon dioksida kronik, hal ini dapat menjadi
akibat yang tidak diinginkan.

c. Ekskresi Ion Hidrogen Renal


Pada retensi karbon dioksida, reabsorpsi bikarbonat renal bersifat maksimal
dan semua fosfat diekskresikan hampir dalam bentuk dihidrogen. Terdapat pula
peningkatan ekskresi ammonia urin. Hal ini berimbas pada kompensasi untuk
peningkatan pembentukan ion hidrogen dari karbon dioksida dan bahkan dapat
mengembalikan ion hidrogen darah ke keadaan normal. Hal ini juga diikuti dengan
peningkatan konsentrasi bikarbonat plasma. Walaupun hal ini biasanya dianggap
sebagai konsekuensi dari peningkatan ekskresi ion hidrogen renal, mungkin saja
proses ini sebagian karena hasil dari perombakan amnonia dari ureagenesis yang
membutuhkan buffer yang rendah oleh bikarbonat dari ion hidrogen yang diproduksi
selama proses ini. Secara praktis, penting halnya untuk mengapresiasi bahwa
kompensasi ini bertahan hingga beberapa hari pada retensi karbon dioksida. Apabila
terdapat usaha untuk mengurangi CO2 secara cepat, contohnya dengan
menggunakan ventilasi buatan, akibat yang ditimbulkan bisa saja alkalosis penapasan.
Terdapat batasan perubahan ekskresi asam ginjal dan metabolisme amonium yang
dapat mengkompensasi peningkatan pada CO2, yang apabila meningkat di atas 8
kPa akan menyebabkan konsentrasi ion hidrogen yang akan selalu meningkat.

2. Karakteristik Biokimia pada Asidosis Pernapasan


Fitur kardinal dari asidosis pernapasan yaitu adanya peningkatan CO 2 darah,
dan tinggi atau tinggi-normalnya konsentrasi ion hidrogen yang menyebabkan
konsentrasi ion bikarbonat juga meningkat. Konsentrasi ion hidrogen dan bikarbonat
untuk CO2 apapun bergantung pada peningkatan kompensasi ekskresi ion hidrogen
dan amonium di ginjal. Pada gangguan akut, peningkatan bikarbonat hanya berkisar
2-4 mmol/L, bahkan dengan peningkatan masif pada CO 2, namun pada gangguan
terkompensasi peningkatan akan lebih besar.
a. Efek Sistemik Asidosis Pernapasan
Pada pasien dnegan asidosis pernapasan, terdapat manifestasi dari gangguan
dan hipoksimia yang mendominasi penemuan klinis, namun efek karena asidosis dan
hiperkapnia dapat pula terlihat. Hipoksemia menyebabkan susah napas, sianosis dan
keadaan mudah mengantuk. Efek dari hiperkapnia terlihat pada sistem saraf pusat dan
sistem kardiovaskular.
Efek neurologi dari hiperkapnia diantaranya ansietas dan kebingungan karena
berada dalam kondisi antara koma dan sadar. Pada retensi karbon dioksida kronik,
gejala yang sering terjadi berupa sakit kepala, papiluedem, respons ekstensor plantar
dan mioklunus. Kebanyakan efek-efek ini terjadi karena peningkatan aliran darah
serebral yang merupakan konsekuensi dari aksi vasodilatasi karbon dioksida.
Vasodilatasi sistemik dapat juga terjadi, namun output kardiak meningkat
sehingga tekanan darah biasanya terjaga. Kondisi kulit biasanya terasa hangat dan
denyut arteri berdetak lebih kencang. Asidosis dapt menyebabkan hipertensi
pulmonari.

b. Manajemen
Manajemen yang masuk akal untuk menangani asidosis pernapasan adalah
untuk menangani penyebab asidosis terjadi sehingga dapat mengembalikan CO2 ke
keadaan normal. Hal ini tidak mungkin terjadi, dan pada penderita dengan retensi
karbon dioksida apabila proses kompensasi telah mengembalikan konsentrasi ion
hidrogen darah ke keadaan normal atau mendekati normal, penanganan penyebab
asidosis mungkin dibutuhkan. Manajemen asidosis pernapasan secara praktikal
berdasarkan kebutuhkan untuk mempertahankan arteri PO2 yang cukup. Seperti yang
telah disebutkan di atas, koreksi cepat peningkatan CO2 pada pasien dengan retensi
karbon dioksida dapat membahayakan. Perubahan kompensasi dapat dilakuakn
beberapa jam, bahkan beberapa hari dan dapat menyebabkan pasien menjadi
alkalosis.
Hal ini mendemonstrasikan bahwa proses kompensasi pada asidosis
pernapasan dapat dianggap sebagai pembentukan fisiologi dari alkalosis non-
pernapasan, walaupun konsentrasi ion hidrogen pasien tidak turun di bawah normal,
dan pasien tidak menjadi alkalotik selama CO2 tetap meningkat.
B. Alkalosis Pernapasan
Alkalosis pernapasan merupakan konsekuensi dari kecepatan ekskresi karbon
dioksida yang lebih dari kecepatan pembentukannya yang mengarah pada penurunan
CO2. Hal ini biasanya terjadi karena rangsanagan dari pusat pernapasan; rangsangan
dapat bersifat toksik, refleks, psikogenik atau berhubungan dengan adanya lesi
intrakranial. Pengecualian dalam hal ini adalah ventilasi mekanik yaitu saat kontrol
pernapasan normal digantikan. Alkalosis pernapasan merupakan abnormalitas umum
pada penyakit kritis. Beberapa penyebab alkalosis pernapasan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa Penyebab Alkalosis Pernapasan
Beberapa Penyebab Alkalosis Pernapasan
1. Re
Hiperventilasi Voluntari
Ventilasi Meknaik sp
Refleks Hiperventilasi os
o Penurunan Kondisi Pulmonari ns
o Penyakit yang Mempengaruhi Dinding Dada
o Lesi Iritatif pada Saluran Napas
Stimuli lain pada Pusat Pernapasan
o Pengaruh Koritkal (Nyeri, Demam, Ansietas)
o Penyakit Lokal (Trauma, Tumor)
o Obat-Obatan dan Toksin (Keracunan Salisilat, Gagal Hepatik)
Asidosis Non-Pernapasan (selama pemulihan)
Kompesnasi pada Alkalolisis Pernapasan
a. Sistem Buffer
Pada alkalosis pernapasan akut, turunnya CO2 menyebabkan penurunan
konsentrasi ion hidrogen dan penurunan bikarbonat dalam jumlah sedikit. Buffer lain
melepaskan ion hidrogen, maka berkecenderungan untuk melawan efek turunnya
CO2; beberapa ion hidrogen ini akan berkombinasi dengan bikarbonat menyebabkan
konsentrasinya dalam darah turun lebih dari sebelumnya. Keadaan tetap (steady state)
baru dapat diperoleh dengan cepat dan dapat bertahan paling lama 6 jam, setelah efek
perubahan pada metabolisme ion hidrogen renal dapat terdeteksi.

b. Hipoventilasi
Koreksi alkalosis pernapasan hanya mungkun dilakukan apabila kecepatan
ekskresi karbon dioksida dapat dikembalikan ke keadaan normal. Fakta bahwa
alkalosis berkembang mengindikasikan bahwa efek inhibisi dari penurunan CO 2
pada pernapasan terlalu besar yang disebabkan rangsangan apapun yang
menyebabkan hiperventilasi.

c. Ekskresi Ion Hidrogen Renal


Apabila CO2 rendah tetap hingga beberapa jam, penurunan pembentukan
bikarbonat pada renal akan menurunkaan asidifikasi urin dan efek selanjutnya untuk
alkalosis adalah penurunan konsentrasi plasma bikarbonat lebih lanjut.

2. Fitur Biokimia pada Alkalosis Pernapasan


Fitur kardinal pada alkalosis pernapasan akut adalah penurunan CO 2 arterial,
penurunan konsentrasi ion hidrogen dan penurunan kecil pada konsentrasi bikarbonat,
walaupun tidak lebih dari 18 mmol/L. Pada alkalosis pernapasan kronik, kompensasi
renal dapat menghasilkan konsentrasi ion hidrogen yang menurun, sementara
konsentrasi bikarbonat lebih lanjut turun, namun tidak lebih dari 12 mmol/L.
Penemuan konsentrasi bikarbonat yang kurang dari nilai ini mengindikasikan adanya
tambahan asidosis non-pernapasan yang terjadi.
Apabila rangsangan hiperventilasi adalah hipoksemia, konsentrasi ion
hidrogen dapat dipengaruhi oleh asidosis non-pernapsan.

a. Efek Sistemik Alkalosis Pernapasan


Pada hipokapnia akut, vasokonstriksi serebral mengurangi aliran darah
serebral dan sakit kepala, pusing, fungsi intelektual yang terganggu, sinkop dan
serangan dapat terjadi. Pada pasien dengan penyakit sel sabit, hipokapnia telah
diketahui sebagai penyebab stroke yang diasumsikan sebagai hasil hipoksemia
serebral yang diperburuk oleh vasokonstriksi. Perioral dan paraesthesiae merupakan
hal yang umum, karena turunnya konsentrasi kalsium terionisasi.
Hal di atas berkebalikan dengan perubahan kardiovaskular yang dapat terjadi
pada hipokapnia akut dan kronik. Perubahan-perubahan kardiovaskular termasuk
peningkatan kecepatan denyut jantung, sakit dada non-spesifik atau bahkan angina.
Hipokalemia ringan dapat terjadi dengan alkalosis pernapasan; konsentrasi
plasma fosfat yang menurun.

b. Manajemen
Saat memungkinkan, penangan seharusnya diarahkan untuk menangani
penyebab alkalosis pernapasan. Pada alkalosis pernapasan yang diinduksi psikogenik,
pertolongan simptomatik cepat dapat dilakukan dengan menyuruh pasien untuk
bernapasan menggunakan kantong kertas. Apabila alkalosis yang terjadi parah, fitur
saraf atau kardiovaskular dikhawatirkan, mensedasi pasien mungkin dibutuhkan atau
mencegah hiperventilasi dengan cara mengembalikan ventilasi mekanik dengan
memastikan oksigenasi cukup yang harus dipertahankan.

C. Gangguan Campuran Homeostasis Ion Hidrogen


Gangguan campuran asam-basa merupakan gangguan pernapasan dan non-
pernapasan. Beberapa penyebab terjadinya gangguan ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Penyebab gangguan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan apakah gangguan
komponen sinergis atau antagonis dengan konsentrasi ion hidrogen.
Adanya gangguan campuran diduga dari perubahan konsentrasi ion hidrogen
apapun yang tidak diprediksi dari PCO2. Pada gangguan campuran pernapasan dan
non-pernapasan alkalosis, PCO2 akan menurun, namun [H+] tidak akan lebih rendah
dari yang diperkirakan. Pada Gambar 1, PCO 2 akan turun ke daerah antara non-
pernapasan dan gangguan pernapasan akut.

Tabel 3. Beberapa Penyebab Gangguan Campuran Asam-Basa


Gangguan Sinergis Gangguan Antagonis
Asidosis Non Pernapasan + Asidosis Non-Pernapasan +
Asidosis Pernapasan Alkalosis Pernapasan
o Gagal Pernapasan o Keracunan Salisilat
o Serangan Jantung o Septicemia Gagal Ginjal
o Keracunan; etanol, metanol o Gagal Hepatik Akut, Sindrom
Alkalosis Non Pernapasan + Hepatorenal
Alkalosis Pernapasan o Ketoasidosis dan Pneumonia
Muntah dan Gagal Jantung Alkalosis Non-Pernapasan +
Kongestif Asidosis Pernapasan
Muntah dan Terapi Diuretik o Terapi Diuretik atau Muntah dan
atau Gagal Hepatik atau Penyakit Obstruksi Saluran Napas
Pneumonia Kronik
o Penurunan Kalium Berat
Asidosis Non-Pernapasan +
Alkalosis Non-Pernapasan
o Muntah dan Gagal Ginjal
o Terapi Diuretik dan Ketoasidosis
o Muntah Parah pada Ketoasidosis

Diagnosis gangguan campuran yang komponennya memiliki efek berlawanan


dengan konsentrasi ion hidrogen kurang jelas. Masalah yang terjadi adalah perubahan
pada [H+] dan PCO2 belum tentu sama dengan yang ditemukan pada kompensasi
fisiologis. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa proses kompensasi itu sendiri
mengganggu homeostasis asam-basa, yang menguntungkan karena mengembalikan
konsentrasi [H+] kembali normal. Pertimbangan hati-hati dilakukan untuk membuat
diagnosis yang tepat berdasarkan penemuan klinis dan data lain yang tersedia. Efikasi
proses komponensasi yang terbatas juga harus diingat, terutama pada gangguan non-
pernapasan. Kompensasi mengembalikan konsentrasi ion hidrogen ke nilai normal,
namun pengembalian ke nilai normal hanya terlihat pada asidosis pernapasan kronik
ringan dan alkalosis pernapasan kronik. Apabila gangguannya makin berat,
kompensasi dapat tidak sempurna.
Karena penyebab asidosis dan alkalosis pernapasan adalah retensi dan
kelebihan ekskresi karbon dioksida, maka kedua penyebab ini tidak mungkin
ditemukan pada satu kasus. Namun, beberapa mekanisme dapat bertanggung jawab
untuk perkembangan gangguan non-pernapasan dan adanya kehadiran sebuah proses
yang menghasilkan asidosis tidak boleh dikecualikan dengan terjadinya proses yang
menghasilkan alkalosis. Maka, seorang pasien dapat mengalami gagal ginjal
(penyebab asidosis) dan mengalami muntah berkepanjangan (penyebab alkalosis).
Penentuan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis bergantung pada proses
yang mendominasi.

Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi ion hidrogen [H+] dan


tekanan parsial karbon dioksida (PCO2)
D. Transpor Oksigen
1. Transpor Normal Oksigen
Jumlah oksigen darah adalah jumlah oksigen yang terlarut dan oksigen yang
berikatan dengan hemoglobin. Hanya fraksi kecil dari oksigen total yang terdapat
dalam darah dalam bentuk terlarut, dan fraksi ini proporsional dengan PO2 arterial.
Arterial PO2 juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi oksigen yang
terikat dengan Hb. Hubungan ini ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva Disosiasi- Hubungan Antara PO2 dam Ikatan Oksigen


dengan Hemoglobin. (a) Normal Oksihemoglobin. (b) Efek 50% CO

Pengukuran saturasi oksigen darah, presentase dari total Hb dalam bentuk


oksihemoglobin dapat digunakan untuk menilai kemampuan darah untuk membawa
oksigen ke berbagai jaringan. Hal ini secara jelas bergantung pada jumlah relatif baik
jumlah Hb dan oksigen dan kemampuannya untuk saling berikatan. Penghantaran
oksigen ke jaringan juga bergantung pada aliran darah yang dipengaruhi faktor lain.
Saat PO2 arterial tinggi (di atas 10 kPa), Hb darah hampir penuh dengan
oksigen dan pengukuran saturasi oksigen biasanya tidak diperlukan. Pengukuran
saturasi oksigen tidak tersedia luas di luar ruang perawatan intensif. Pasien yang
terekspos karbon monoksida yang diikuti dengan menghirup asap, nilai PO2 dapat saja
memberikan indikasi yang salah karena karbon monoksida juga berikatan dengan Hb
karena afinitasnya yang lebih besar dari oksigen.
Saat metabolisme membutuhkan pasokan oksigen, sel mengubah proses
metaboliknya menjadi anaeorob untuk menghasilkan ATP dan memproduksi asam
laktat. Pengukuran seum laktat dapat menyediakan bukti tambahan akan oksigenasi
jaringan.
Pada prakteknya, perfusi jaringan lebih penting dibandingkan jumlah oksigen
untuk memastikan metabolisme aerobik untuk berlanjut.
2. Gagal Pernapasan
Gambar 3 menunjukkan bagaimana tekanan parsial oksigen dan karbon
dioksida mengubah aliran darah ke jaringan dan mengembalikannya ke paru-paru.
Proses mekanik pengeluaran dan pemasukan udara ke saluran pernapasan disebut
ventilasi. Karbon dioksida berdifusi melalui membrane alveolus lebih efisien
daripada oksigen, walaupun terdapat gradien tekanan yang kecil. PCO 2 darah arterial
identic dengan PCO2 di dalam alveoli dan PCO2 merupakan ukuran ventilasi alveolar.
Apabila ventilasi mengalami gangguan, PO2 turun dan PCO2 alveolar meningkat.
Darah arterial merefleksikan perubahan ini. Stimulus kimia utama terhadap ventilasi
dapat terlihat dalam Tabel 4.

Gambar 3. Tekanan gas normal dipertahanka oleh ventilasi dan


pertukaran gas

Gradien alveolar-PO2 arterial dapat dihitung untuk menentukan derajat


defektif pertukaran gas, namun pada prakteknya hal ini jarang dilakukan.
PO2 arterial kurang dari 8.0 kPa pada udara napas ruang pada saat istirahat
dikenal dengan istilah gagal pernapasan. Hipoksia dengan retensi karbon dioksida
disebut dengan gagal pernapasan tipe 2. Hipoksida tanpa retensi karbon dioksida
disebut gagal pernapasan tipe 1.

Tabel 4. Stimulus Kimiaterhadap Ventilasi


Karbon dioksida, peningkatan PCO2 merupakan stimulus
yang penting.
[H+]; peningkatan konsentrasi ion hidrogen menstimulasi
ventilasi; pada penyakit pernapasan [H+] dan PCO2 naik
bersamaan
Oksigen; penurunan PO2 meningkatkan ventilasi, namun
kurang penting kecuali PO2 jatuh di bawah 8 kPa
Dua proses yang berkontribusi pada pola gas darah pada pasien hipokisa
adalah dimana PO2 tidak meningkat (gagal pernapasan tipe 1), diantaranya:
a. Difusi yang terganggu
b. Ketidakseimbangan ventilasi/perfusi

a. Difusi yang Terganggu


Terdapat adanya cairan seperti pada udem paru-paru atau penebalan dinding
alveolus, seperti terjadi pada fibrosis, menginhibisi difusi oksigen, walaupun saluran
karbon dioksida lebih mudah dicapai. PO 2 pada gangguan ini rendah, namun PCO 2
dapat memenuhi rentang normal.

b. Ketidakseimbangan Ventilasi/Perfusi
Pasien dengan pneumonia lobar, sebagian darah yang mengalir ke paru-paru
tidak berkontak dengan alveoli fungsional dan meretensi karbon dioksida, dan tidak
teroksigenasi. Darah yang mencapai bagian lain dari aparu-paru, pertukaran gas
terjadi secara efisien. Darah arterial merupakan campuan antara darah pada kedua
tempat tersebut. Peningkatan PCO2 menstimulasi ventilasi dan memastikan alveoli
fungsional bekerja lebih keras untuk mengembalikan PO2 ke keadaan normal. Hasil
gas darah menunjukkan PO2 yang normal atau lebih rendah sebagai akibat dari
hiperventilasi ini. Namun, peningkatan ventilasi tidak dapat menaikkan PO 2 alveoli
secara dramatis selama pasien bernapas.
Darah yang mengalir dari bagian kanan jantung secara langsung ke sirkulasi
arterial tanpa terekspos gas inspirasi pada alveoli terventilasi merupakan contoh
ekstrim ketidakseimbangan ventilasi/perfusi. Shunting dari kanan ke kiri ini terjadi
pada penyakit jantung sianotik kongenital.
Hipoksia dengan kenaikan PCO2 (gagal pernapasan tipe 2) mengindikasikan
penyusutan ventilasi dan pertukaran gas yang terganggu, dan dapat dilihat pada
pasien dengan pneumonia bronkial atau bronchitis kronik.

3. Terapi Oksigen
Pada semua penyakit pernapasan, terapi oksigen merupakan aspek vital untuk
manajemen pasien tetapi terdapat satu peringatan. Beberpa pasien dengan bronchitis
kronik menjadi tidak sensitif terhadap stimulasi pernapasan oleh karbon dioksida.
Ketidaksensitivitas ini dapat berkembang beberapa tahun dan hanya hipoksia yang
terus terjadi yang menjaga pernapasan tetap terjadi. Penangan pasien dengan
konsentrasi oksigen hanya berfungsi untuk menurunkan pernapasan lebih lanjut.
PCO2 meningkat, asidosis menjadi semakin buruk dan pasien dapat koma.
E. Spesimen untuk Analisis Gas Darah
[H+] dan PCO2 diukur secara langsung pada sampel darah arterial. Darah
arterial biasanya diambil dari arteri brakial atau radial dengan jarum suntik yang
mengandung sejumlah kecil heparin sebagai antikoagulan. Penting halnya untuk
mengeluarkan udara dari darah yang diambil. Saat sampel telah diambil, gelembung-
gelembung udara pada sampel harus dihilangkan sebelum jarum suntik ditutup untuk
transpor langsung ke laboratorium. Idealnya, jarum suntik dan kandunganya
ditempatkan dalam wadah es selama perjalaan ke laboratorium.
Analisis gas darah mengukur [H +] sampel dan nilai PCO 2-nya dan nilai
bikarbonat tidak perlu dihitung karena apabila nilai kedua komponen ini diketahui,
maka nilai bikarbonat dapat ditentukan sesuai dengan persamaan di bawah ini:
PCO2
[H +]
[HCO 3 - ]

F. Menginterpretasi Hasil
Informasi yang paling penting untuk interpretasi dan klasifikasi gangguan
asam-basa adalah riwayat medical pasien. Respons kompensasi dapat diprediksi
dalam [HCO3-] atau dalam PCO2, ketika perubahan [H+] adalah hasil dari gangguan
asam-basa primer seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tahapan untuk menentukan klasifikasi gangguan asam-basa adalah sebagai


berikut:
1. Perhatikan nilai [H+], tentukan asidosis atau alkalosis.
2. Apabila nilai [H+] nilai, maka tentukan apa penyebab primer asidosis. Lihat
nilai PCO2, apabila mengalami kenaikan, maka terdapat asidosis pernapasan.
Lihat nilai bikarbonat, apabila mengalami penurunan, maka asidosis
metabolik yang terjadi.
3. Apabila nilai [H+] turun, tentukan apa penyebab terjadi alkalosis primer. Lihat
nilai PCO2, apabila rendah maka terdapat alkalosis pernapasan. Lihat nilai
bikarbonat, apabila tinggi berarti terdapat alkalosis metabolik.
4. Setelah menentukan penyebab gangguan asam-basa, lihat apakah terdapat
kompensasi. Apabila ada, maka akan terjadi perubahan pada beberapa
komponen (komponen yang tidak digunakan untuk menentukan gangguan
primer). Apabila tidak ada kompensasi, ganngguan asam-basa tidak
terkompensasi. Apabila terdapat perubahan berlawanan, maka terdapat
gangguan asam-basa sekunder. Bahkan apabila terdapat kompensasi, tentukan
kemungkinan terdapat masalah asam-basa sekunder yang serupa respons
kompensasi.
5. Apabila terdapat kompensasi, tentukan jika gangguan terkompensasi penuh
atau hanya sebagian. Apabila terkompensasi penuh, hasil [H +] akan berada
dalam range normal.
DAFTAR PUSTAKA

Gaw, Allan, dkk. 2013. Clinical Biochemistry; An Illustrated Color Text Fifth Edition.
Elsivier. UK.

Marshall, William J., dkk. 2014. Clinical Biochemistry; Metabolik and Clinical
Aspects. Elsivier. UK.

Anda mungkin juga menyukai