Anda di halaman 1dari 3

Nama : Yogi Permana Bangun

Nim : 3211416015

Prodi : Geografi (2016)

1.Paradigma Keseimbangan Wilayah (The Regional Self Balance)

Paradigma ini berprinsip bahwa kemakmuran suatu wilayah merupakan fungsi dari potensi
Sumberdaya Alam dan pendayagunaannya. Contoh paling cocok adalah NTT dan NTB.
Sebaliknya kasus Kaltim, Riau, Aceh, dan Irian Jaya, meskipun kaya SDA, tapi kemakmuran
penduduknya rendah. Sedangkan DIY, miskin SDA, tapi kemakmuran tinggi. Bagaimana
fenomena seperti ini dapat dijelaskan dengan paradigma di atas. Kunci membahas
kesenjangan wilayah di Indonesia dengan paradigma ini adalah distribusi SDA,
pendayagunaan SDA, hambatan geografis (transportasi), mekanisme pasar tidak berjalan
wajar (monopoli).

Sesuai dengan paradigma keseimbangan wilayah kita dapat melihat fenomena daerah
yang kaya sumber daya alam namun penduduknya masih memiliki tingkat kemakmuran yang
rendah seperti Aceh ,Riau , Kalimantan Timur dan Irian Jaya, sedangkan daerah yang kurang
memiliki SDA tingkat kemakmuran penduduknya lebih tinggi dari pada daerah yang
memiliki SDA. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Inti dari pada paradigma ini adalah modal (penanam modal) dan tenaga kerja selalu
bergerak menuju pada wilayah yang lebih menguntungkan masing masing pihak. Para
penanam modal bergerak kewilayah luar Jawa untuk mengeksplorasi SDA contohnya seperti
di Aceh ,Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya hal ini disebabkan oleh adanya distribusi
sumber daya alam yang tidak merata di Indonesia. Setelah sumber daya alam pada daerah
daerah tadi dieksplorasi maka dibutuhkan pengolahan yang lebih lanjut maka penanam modal
akan membawa SDA ke kota besar yang Infrastruktur yang lebih maju. Hal ini akan
menyebabkan kota kota tempat pengelolaan misalnya Yogyakarta akan kekurangan tenaga
kerja maka akan terjadi kenaikan upah dan menjadikan taraf kesejahtraan masyarakatnya
lebih tinggi. Dengan seiring waktu maka daerah daerah penyedia faktor produksi akan mulai
melihat keuntungan yang lebih besar di Kota maka mereka akan bergerak ke Kota. Namun
Para penanam modal juga sudah mulai memikirkan biaya transportasi pendayaagunaan SDA
mulai dari Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya sampai ke Yogyakarta dan juga
tenaga kerja yang mahal di perkotaan, Sehingga penanam modal akan mulai membangun
fasilitas di daerah daerah luar pulau Jawa sehingga kesenjangan dapat berkurang.

Namun pada kasus Indonesia saat ini para penanam modal masih jarang memikirkan
untuk mulai menimbang masalah hambatan geografis/ transportasi mereka masih lebih
tertarik untuk melakukan pengolahan di Pulu Jawa seperti Yogyakarta karena konsumen
sebahagian besar berada pada pulau Jawa. Hal ini menjadikan daerah seperti Yogyakarta
tingkat kesejahtraan penduduknya tinggi sedangkan daerah daerah seperti Aceh, Riau,
Kalimantan Timur, dan Irian Jaya yang hasil SDAnya di monopoli oleh penanam modal yang
ada Jawa malah tingkat kesejahtraannya masih kurang.
2.Paradigma Ketidakseimbangan Wilayah (The Regional Imbalance)

Tekonsentrasinya kapital dan industri di Jawa mendukung paradigma ini. Bahkan 70% hasil
eksploitasi SDA di luar Jawa masuk ke Jawa, membuktikan bahwa backwash effect lebih
besar dibanding spread effect. Counter Poles, yang ditawarkan sebagai solusi, tidak
menarik seperti KIMA (kawasan Industri makasar), juga beberapa kawasan andalan yang
sampai saat ini terus disosialisasikan. Bagaimana fenomena seperti ini dapat dijelaskan
dengan paradigma di atas.

Seperti yang dikemukakan oleh Myrdall bahwa Backwash effect lebih besar
pengaruhnya daripada spread effect, hal ini ditanggulangi dengan membuat daerah daerah
sebagai pusat pusat pertumbuhan yang baru (counter poles) namun karena backwash effect
yang lebih besar menyebabkan ketimpangan antara Jawa dengan daerah lain diluar Jawa.
Ketimpangan ini terjadi karena counter poles yang ditawarkan oleh pemerintah tidak menarik
bagi para pemilik modal. Pemilik modal lebih mendapat keuntungan jika mereka
menanamkan modal dan membangun industri di Jawa karena tenaga kerja dan sumberdaya
yang ada di wilayah pinggiran/wilayah luar Jawa bergerak masuk ke Pulau Jawa. Sehingga
tenaga kerja yang bergerak dari luar pulau Jawa dan masuk kepulau jawa akan senantiasa
menjaga ketersediaan faktor produksi di pulau jawa, hal inilah yang menyebabkan para
kapitalis tidak akan bergerak ke daerah pertumbuhan baru karena faktor produksi dan
tenaga kerja melimpah di pulau Jawa.

3.Paradigma Ketergantungan Struktural (The Structural Depedency)

Bagaimana mengelaborasi paradigma ini pada tingkat regional, misalnya untuk


menerangkan pola Metropolis-Satelit dari ketergantungan luar Jawa terhadap Jawa.
Selanjutnya bagaimanakah kemerosotan ekonomi dan kemakmuran di wilayah-wilayah
yang SDAnya melimpah, seperti Riau, Aceh, Kaltim, Sumsel, Irian Jaya. Wilayah tersebut
secara langsung bermain pada sistem perdagangan internasional (bersentuhan langsung
dengan kapitalisme dunia).

Ketergantungan luar Jawa terhadap Jawa merupakan salah satu akibat dari
kesenjangan yang ditimbulkan oleh kapitalisme yang kebanyakan berkedudukan di pulau
Jawa. Ketergantungan dan ketimpangan ini juga disebabkan oleh hubungan (metropolis
satelit) perdagangan kapitalis/industri di pulau Jawa dimana produk produk pertanian yang
dihasilkan oleh daerah daerah luar Jawa. Dimana perdagangan ini merugikan daerah luar
jawa karena produk pertanian yang dibeli oleh Jawa dengan harga murah akan diolah dan
dipasarkan kembali keluar jawa dengan harga yang mahal. Sehingga daerah luar jawa yang
berpungsi sebagai satelit akan selalu mengalami ketimpangan terhadap daerah jawa sebagai
pusat (metropolis)

Sedangkan sebagian daerah Indonesia yang diluar jawa yang langsung berhadapan
dengan kapitalisme dunia, juga mengalami kemerosotan ekonomi dan kemakmuran.Hal ini
disebabkan karena daerah daerah tersebut belum siap untuk mengimbangi perdagangan
internasional secara langsung dengan kapitalis dunia.
4.Paradigma Kebijaksanan Negara ( The State Policies)

Tugas : Bagaimana bias Jawa atau Jawa sentris dapat dijelaskan dari kebijaksanaan negara
sebagai faktor utama munculnya ketimpangan wilayah. Kenapa terjadi dan bagaimana
mengatasinya.

Bias Jawa merupakan salah satu masalah terjadi di Indonesia.Hal ini terjadi karena
adanya kebijaksanaan dari negara yang bersifat diskriminatif terhadap daerah diluar jawa.
Wilayah luar jawa yang juga menghasilkan barang barang ekspor tidak bisa mengambil
keputusan sendiri terhadap barang mereka. Dimana barang ekspor ini harus terlebih dahulu
melewati Jawa sebelum diolah seperti kasus rotan yang proccesing centernya ada sebagian
besar dikota kota besar di pulau jawa padahal jawa tidak mengkasilkan rotan. Pulau jawa
yang ditetapkan sebagai processing center juga mendapat keuntungan lain selain dari
kebijakan tadi seperti barang barang subsidi pemerintah kebanyakan hanya dinikmati di
daerah jawa saja. Sedangkan pada daerah lain seperti indonesia bagian timur tidak mendapat
subsidi, hal ini membuat daerah tersebut kesulitan berkembang karena harga barang yang
tidak disubsidi mahal ditambah lagi biaya transportasi barang dari jawa. Sehingga kebijakan
kebijakan pemerintah yang cenderung berorientasi pada Jawa (bias jawa) menyebabkan
ketimpangan wilayah.

Dapat dikatakan jawa sebagai pengambil keputusan mengakibatkan jawa memonopoli


daerah luar jawa, sehingga ada kecenderungan eksploitasi dan diskriminasi terhadap daerah
luar jawa.Daerah pulau jawa yang mendapat subsidi dari pemerintah, juga mendapat
subsidi dari daerah luar jawa. Sehingga Jawa semakin berkembang sedangkan daerah luar
jawa tidak berkembang melainkan semakin memburuk kondisinya.

Anda mungkin juga menyukai