Anda di halaman 1dari 10

A.

KONDISI HIDROLOGI TEPI PANTAI


Wilayah pesisir-pantai merupakan lingkungan yang sangat dinamis. Pesisir berupa wilayah
pertemuan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah daratan berupa daerah yang
masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut dan sebaliknya. Sementara pantai yang
merupakan zona transisi antara wilayah darat dengan laut dipengaruhi oleh kondisi
topografi, morfologis, serta erosi yang disebabkan oleh air, seperti gelombang dan arus
(Dahuri et al., 2013).
Pada umumnya garis pantai Kabupaten Cirebon terbentuk dari endapan lumpur walaupun di
beberapa lokasi masih dijumpai pantai berpasir dan pantai berhutan bakau. Proses
sedimentasi yang demikian kuat, khususnya di muara-muara sungai, mengakibatkan
kawasan ini mengalami akrasi yang cukup cepat dan membentuk garis-garis pantai yang
baru. Walaupun masih ada beberapa lokasi yang mengalami abrasi, akan tetapi secara
regional kawasan pantai timur Kota Cirebon mengalami akrasi akibat muatan sedimen yang
begitu besar dan tersebar di laut. Pola arus sejajar garis pantai (longshore current) dan pola
arus laut (offshore current) mengakibatkan material sedimen terendapkan di sekitar garis
pantai dan muara sungai, yang menimbulkan bertambahnya daratan, perubahan garis
pantai dan tanah timbul.
Dilingkungan pantai Kabupaten Cirebon dapat diidentifikasi tiga buah tipe pantai serta
sebarannya, yaitu tipe pantai I yang terdiri atas pantai berlumpur, tipe pantai II yang
memiliki tumbuhan bakau dan tipe pantai III yang terdiri atas pantai berpasir :

a. Pantai Tipe I
Pantai tipe I yang merupakan pantai berlumpur, amat mudah dijumpai sepanjang
garis pantai, karena pantai tipe ini mendominasi kawasan pesisir pantai timur
Kabupaten Cirebon. Kawasan pantai Kecamatan Mundu hingga Kecamatan Losari
hampir seluruhnya terdiri dari pantai berlumpur, Hal ini disebabkan oleh adanya dua
sungai yang bermuatan sedimen cukup besar bermuara di kawasan pantai timur ini.
Lumpur berwarna hitam kecoklatan terkadang mengandung cangkang kerang,
membentuk pantai amat landai dengan sudut sekitar 2˚ hingga 4˚. Geometri pantai
secara regional membentuk teluk-teluk dan pada muara-muara sungai yang
menjorok ke arah laut terbentuk tanjung akibat material sedimen yang termuat pada
sungai-sungai terendapkan di mulut muara (Astjario, 1995). Proses pengendapan
material sedimen sepanjang garis pantai yang membentuk daratan baru
dimanfaatkan masyarakat untuk perluasan tambaknya, baik usaha tambak udang,
garam maupun ikan laut. Kawasan daratan baru tersebut masih dipengaruhi oleh
aktivitas pasang surut yang sangat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan air
laut guna menggenangi lahan tambaknya. Kawasan pesisir yang sudah tidak
terpengaruh oleh air laut diubah pemanfaatannya, dari lahan perikanan tambak ke
lahan pertanian sawah, palawija dan tanaman keras lainnya.
b. Pantai Tipe II
Pantai tipe II merupakan pantai berbakau yang sudah langka dan hanya di beberapa
lokasi saja tanaman bakau ini masih tumbuh. Hal ini terjadi bukan disebabkan oleh
alam tapi mungkin akibat ulah manusia dalam pemanfaatan lahan wilayah pesisir.
Wilayah pantai ini masih tergenang air laut dan sangat landai, berair keruh,
menyebabkan wilayah pantai ini amat sangat lunak. Lumpur yang tergenang
berwarna hitam abu-abu, tidak padat, walaupun demikian tumbuhan bakau bisa
mencapai ketinggian 1 hingga 2,5 m. Hanya ada satu jenis tumbuhan bakau
(mangrove) di kawasan pantai ini yaitu jenis Avecennia marina dan masih dalam
keluarga Avicenniaceae.
c. Pantai Tipe III
Pantai tipe III adalah pantai berpasir yang mendominasi kawasan pesisir utara kota
Cirebon. Pasir pantai ini terdiri atas pasir halus hingga sedang, pemilahan buruk,
tidak padat, berwarna coklat kehitaman, mengandung pecahan cangkang kerang
berwarna putih. Relief pantai landai dan membentuk sudut antara 2˚ hingga 3˚. Pada
bagian belakang pantai yang lebarnya hanya 2 – 3 m, dibuat masyarakat tanggul-
tanggul tambak yang tingginya ± 1 m. Ketika pengamatan dilaksanakan, kondisi laut
kawasan pantai ini tenang, gelombang kecil terjadi akibat aktivitas pasang surut,
akan tetapi beberapa tanggul tampak terabrasi akibat energi gelombang sedang,
beragam material sampah plastik dan sobekan-sobekan kain yang mencemari garis
pantai memberikan gambaran pantai yang tidak terpelihara. Sungai-sungai yang
bermuara di kawasan pantai ini tidak memiliki energi yang cukup kuat, sehingga saat
laut pasang, air laut masuk ke dalam alur sungai hingga jauh ke darat. Mulut muara
sungai-sungai tersebut ditumbuhi tumbuhan bakau Avicennia marina hingga sejauh
10 - 15 m ke arah darat
Pesisir Pantai Kecamatan
Gebang
B. KONDISI PESISR PANTAI KECAMATAN GEBANG
Kecamatan Gebang merupakan salah satu wilayah pesisir di Cirebon yang cukup dinamis. Selama
periode 1915-2019, garis pantai Gebang cenderung mengalami akresi yang mencapai 585 Ha
dengan fenomena abrasi tidak signifikan. Data perubahan garis pantai diperoleh dari peta topografi
Hindia Belanda dan citra satelit Landsat. Selama 104 tahun, lahan akresi sebagian besar telah
berubah menjadi tambak dan penggaraman seluas 487,89 Ha, vegetasi mangrove seluas 41,92 Ha
dan sisanya berupa sawah, badan air, lahan terbangun, lahan kosong, perkebunan, dan semak.
Akresi tidak selamanya menguntungkan bagi masyarakat, namun membawa dampak merugikan
bagi nelayan. Akresi menyebabkan kekeruhan bagi perairan Gebang, sehingga kadar khlorofil-a
yang optimal sulit ditemukan pada radius belasan kilometer dari dermaga secara signifikan dengan
r-square 0,84. Akresi juga berdampak pada penurunan salinitas sebesar 3,79 ppt yang
menyebabkan kerugian bagi petani garam, selain disebabkan oleh kehadiran bangunan rekayasa
pantai. Dari segi ekonomi, perubahan garis pantai memiliki dampak yang variatif bagi penduduk
sekitar di antara nelayan, petani garam, dan petambak ikan.

Akresi tersebut terjadi akibat proses fluvial-sedimentasi sungai seperti Ci Sanggarung, Ci Temu, Kali
Pasung, Ci Beres, dan Kali Bangka (Widiawaty & Dede, 2018). Abrasi dominan terjadi pada bentuk
lahan tanjung di Kecamatan Losari dan Pangenan. Luas pertambahan pada tahun 2018 mencapai
2.029 km2, sedangkan penurunan lahan akibat abrasi mencapai 5.341 km2 (Widiawaty, 2018). Saat
ini, beberapa titik di wilayah pesisir Cirebon Timur seperti Kecamatan Mundu, Astanajapura dan
Pangenan digunakan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Keberadaan PLTU
menyebabkan perubahan lingkungan akuatik laut di sekitarnya, terutama karena adanya konstruksi
dermaga yang memicu terjadinya beban sedimen yang terperangkap dan perubahan arus laut
hingga terjadi akresi (Dede et al., 2020). Selain itu, wilayah pesisir Cirebon Timur dimanfaatkan
untuk pengembangan pelabuhan tetapi pendangkalan masih terjadi oleh sedimentasi sungai dan
mengganggu proyek (Hartanti, 2018). Pendangkalan menyebabkan terganggunya aktivitas nelayan.
Penduduk Cirebon Timur terus bertambah dan kebutuhan kawasan terbangun meningkat.
Perluasan tersebut cenderung mengikuti lahan terbangun yang ada dan saat ini mulai merambat ke
utara yang berasal dari lahan akresi (Widiawaty et al., 2020a).
Sebagai wilayah yang berada pada region Cirebon Timur, Kecamatan Gebang turut mengalami
perubahan garis pantai. Gebang mengalami penambahan garis pantai terpanjang mencapai 992,99
meter dari tahun 1915 hingga 2019. Panjang maksimum abrasi terjadi pada tahun 1988 dengan
panjang 182,86 meter dan panjang minimum terjadi pada tahun 1940 yakni 0,77 meter (Widiawaty,
et al., 2020b). Luas lahan yang mengalami akresi lebih besar dari lahan yang terabrasi disebabkan
karena Kecamatan Gebang menjadi muara sungai besar seperti Ciberes. Selain itu, tipe pantai
berlumpur memiliki karakteristik material yang mudah terangkut oleh arus (Heriati & Husrin,
2017). Banyak lahan akresi telah berubah menjadi garam dan tambak ikan, sawah, dan mangrove.
Selain memiliki banyak manfaat, perubahan garis pantai berdampak pada nelayan yang harus
melaut lebih jauh akibat akresi dan peningkatan TSS. Pembangunan tidak ramah lingkungan di
kawasan pesisir memicu berbagai masalah banjir rob, dan konflik sosial akibat pertambahan
sengketa lahan (Christian et al., 2019). Pengembangan dan pemanfaatan kawasan pesisir perlu
memperhatikan fungsi sebagai zona konservasi dan budidaya (Tarunamulia et al., 2019).
Pola perubahan lahan bekas akresi mulanya dimanfaatkan sebagai tambak/penggaraman. Bila
tambak / penggaraman dinilai sudah tidak lagi optimal berproduksi, lahan tersebut ditimbun agar
lebih stabil sehingga dapat dijadikan pemukiman baru.

C. KUALITAS AIR DI KECAMATAN GEBANG MEKAR

No Jenis Kategori Faktor Pembatas


1 Kualitas air tanah Tidak layak Kandungan Nitrat
(NO3)
2 Kualitas air laut Jelek TSS, BOD, NH3, NO3,
Fenol, dan Zn
3 Kualitas air sungai di atas ambang batas minimal kandungan BOD
rata-rata berkisar
antara 2,00 mg/l –
10,25 mg/l.
di bawah ambang batas nilai total padatan (TDS)
terlarut
derajat keasaman masih memenuhi syarat pH
di atas ambang batas COD
nilai NH3-N air sungai di Kabupaten Cirebon NH3-N sebesar 0,50
sudah di atas ambang batas mg/l
kualitas air nilai NH3-N air sungai di Kabupaten NH4-N sebesar 0,50
Cirebon sudah di atas ambang batas mg/l
Sumber : Laporan SLHD Kab Cirebon

Proses sedimentasi serta cemaran sampah padat maupun cair yang terjadi di kawasan pantai
timur Kabupaten Cirebon mengakibatkan kekeruhan air laut dan menurunkan kualitas
kebersihan kawasan pesisir. Kondisi ini dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan
laut, menurunnya kuwalitas air laut di perairan yang menghambat penetrasi sinar matahari
sehingga menyebabkan perubahan ekosistem, serta masih terjadi tumpang tindih pemanfaatan
kawasan pesisir dan laut untuk beragam peruntukan dan kepentingan.

D. KONDISI IKLIM DAN ANGIN


Kabupaten Cirebon beriklim tropis dengan suhu rata-rata 28˚ C dengan kelembabpan ± 48 – 93 %.
Walaupun suhu di wilayah ini cenderung tidak fluktuatif secara drastis akan tetapi suhu tertinggi
bisa mencapai 33˚C, sedangkan suhu terendah sekitar 24˚C. Wilayah Kabupaten Cirebon sangat
dipengaruhi oleh Angin Kumbang yang bertiup cukup kencang, terkadang berputar dan bersifat
kering.
Curah hujan rata-rata di wilayah ini kurang lebih 452 mm per tahun. Curah hujan terendah
umumnya di wilayah pesisir dan wilayah dataran bagian utara kota Cirebon.
Secara geologi, kawasan ini cukup menarik karena keberadaannya dikaki terendah dari Gunung-api
Ceremai dan dikawasan pantai utara yang amat dinamis. Perubahan morfologi yang berangsur, dari
dataran tinggi hingga dataran rendah dengan jarak yang relatif pendek, mengakibatkan tingkat
erosi dan energi sungai masih cukup kuat menyebabkan kawasan muara-muara sungai mengalami
akrasi.

E. JENIS VEGETASI LOKAL DI KABUPATEN CIREBON


Jenis tanaman yang umum ditanam dan bisa dimanfaatkan sebagai tanaman obat sekaligus
tanaman hias adalah seperti cempaka (Michelia champaka), jempiring (Gardena sp), kamboja
(Plummeria accuminata), kembang sepatu (Hibiscus sp), kemuning (Murraya paniculata), kumis
kucing (Orthosiphon spicatus), lidah buaya (Aloe vera), pohon merah, (Euphorbia pulcherrima),
puring (Codiacum sp), soka (Ixora sp), tapak dara (Vinca rosea) dan lain-lain.
Sedangkan tanaman buah yang sering dijumpai di Kabupaten Cirebon adalah seperti mangga
(Mangifera indica), alpokat (Porsea odoratum), jambu biji (Psidium guajava), jeruk nipis (Citrus
aurantifolia), nangka (Arthocarpus heterophylla), rambutan (Nephelium lappaceum), sawo kecik
(Manikaya kauki) dan lain-lain, Jenis tanaman daratan lain yang tumbuh dan tersebar di Kabupaten
Cirebon.
Selain tanaman yang ditanam oleh masyarakat di pekarangan rumah masing-masing, ada juga
beberapa jenis tanaman yang ditanam di ruas-ruas jalan di Kabupaten Cirebon. Tanaman tersebut
selain sebagai tanaman hias juga berfungsi sebagai paru-paru kota, misalnya akasia (Acasia sp),
asam (Tamarindus indica), bungur (Lagerstromia sp), kembang kertas (Bougenvillea spectabilis),
kelapa (Cocos nucifera), palm raja (Oreodoxa regia), angsana (Pterocarpus indicus), ketapang dan
lain-lain.
Jenis pohon yang ditanam memiliki beberapa aspek (fungsi), misalnya tanaman beraspek estetika
seperti Jempiring (Gardena sp), Kembang kertas (Bougenvillea spectabilis), Varigata (Varigata sp),
Glodog Tiang, Kelapa (Cocos nucifera) dan Puring Bangkok (Codiaeum sp), Palm raja (Oreodoxa
regia), Anggrek Bandung, dan lain-lain. Terdapat juga tanaman yang memiliki aspek konservasi
seperti Angsana (Pterocarpus indicus), Gendayaan, Spatudia, Mahoni (Sweitenia mahagoni),
Kembang Kuning dan Ketapang (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cirebon, 2012).
Vegetasi Mangrove
Keanekaragaman tumbuhan perairan di wilayah Kabupaten Cirebon meliputi vegetasi mangrove
yang ditemukan di sepanjang wilayah lautan dan pesisir pantai utara. Vegetasi mangrove
ditemukan mendominasi kawasan Losari, Pangenan dan Gebang. Keragaman vegetasi mangrove
dibedakan menjadi jenis-jenis yang merupakan vegetasi alami (10 spesies). Selain itu ada jenis-jenis
yang merupakan mangrove hasil reboisasi yang dibedakan menjadi dua yaitu mangrove dengan
ketinggian vegetasi < 5 meter dan ketinggian 7 - 12 meter. Mangrove reboisasi dengan ketinggian
vegetasi 7-12 meter memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibanding vegetasi dengan
ketinggian < 5 meter. Dari seluruh vegetasi yang ada, spesies Rhizophora lamarckii merupakan
habitat burung yang baik.
Hutan mangrove merupakan ekosistem dari berbagai tipe tumbuhan dengan karakteristik khusus
sehingga dapat bertahan hidup pada perairan mempunyai kadar garam tinggi dan persediaan
oksigen terbatas. Ciri-ciri tumbuhan mangrove tersebut meliputi bentuk akar berupa akar nafas
atau lutut yang keluar dari permukaan tanah sehingga memungkinkan mengambil oksigen dalam
kondisi tumbuhan terendam air. Selain itu bentuk daunnya ummnya tebal untuk menampung air
lebih banyak, mentoleransi kadar garam tinggi dari lingkungan sekitar. Bahkan beberapa jenis
tumbuhan mangrove dapat menghasilkan kelenjar garam, berfungsi membuang kelebihan kadar
garam.
Mangrove tumbuh di daerah pasang surut di sepanjang garis pantai termasuk tepi laut, muara
sungai, laguna dan tepi sungai. Hutan mangrove luas dapat ditemukan di daerah tepian pantai
berlumpur yang terlindung dari angin dan arus laut yang kuat. Hutan ini dapat tumbuh subur jika
terdapat tambahan sedimen halus dan air tawar. Mangrove juga dipengaruhi oleh keadaan air.
Pada beberapa tempat mangrove dapat menunjukkan zonasi, yaitu jenis-jenis penghuni cenderung
berubah dari tepian air hingga menuju ke daratan.
Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang di jumpai di Kabupaten Cirebon umumnya tidak berbeda
jauh dengan tempat lain di Indonesia. Menurut Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat (2001) jenis-jenis
yang umum dijumpai di pantai utara adalah Rhyzophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza,
Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Avicennia marina, Sonneratia alba, Aegiceras corniculata,
Lumnitzera racemosa, Heritiera litoralis dan Nypa fruticans.

ISU LINGKUNGAN :
 Menurunnya keanekaragaman hayati akibat degradasi habitat/ekosistem. Dari hasil analisis
tercatat beberapa jenis flora dan fauna berstatus langka dan hampir punah
 Tingkat kerusakan kawasan mangrove semakin mengkhawatirkan, serta kegiatankegiatan
yang dilakukan di pesisir yang tidak mengindahkan peran pantai sebagai sempadan laut,
telah berkontribusi menurunkan kualitas pesisir, pantai, dan laut
 Pencemaran air yang terjadi di daratan (sungai) mengakibatkan menurunnya kualitas air laut
 Kabupaten Cirebon termasuk daerah yang sering dilanda bencana alam, baik bencana alam
yang terjadi secara murni seperti angin putting beliung, gempa bumi, maupun bencana alam
yang diperparah oleh perilaku manusia.
Sumber (SLHD)
Kesimpulan
 Melakukan revitalisasi dan pembangunan di atas lahan bekas tambak garam (karena yang telah
berkurang produktivitasnya karena penurunan salinitas akibat adanya akresi lahan)
 Lokasi Rencana RS Bhakti utama berada pada area yang merupakan lahan hasil akresi karena
Kecamatan Gebang menjadi muara sungai besar seperti Ciberes. Selain itu, tipe pantai berlumpur
memiliki karakteristik material yang mudah terangkut oleh arus.  Diperlukan upaya untuk
mengurangi dampak negatif dari perubahan garis pantai agar kelestarian lingkungan melalui
penambahan vegetasi mangrove sebagai bentuk konservasi dan rehabilitasi pada area landscape
RS
 Lokasi RS berada di kawasan pesisir sehingga penataan landscape dapat selaras dengan kawasan
sekitar
 Jenis bencana alam yang paling sering dirasakan masyarakat di Kabupaten Cirebon yakni banjir 
Penyediaan kolam retensi untuk menampung air, yang dilengkapi pompa untuk mempercepat air
teralirkan ke saluran drainase bila debit air tinggi
 Pencemaran air yang terjadi di daratan (sungai) mengakibatkan menurunnya kualitas air laut 
adanya arahan pengolahan air (Sumber air alternatif)
 suhu tertinggi mencapai 33˚C, sedangkan suhu terendah sekitar 24˚C. Wilayah Kabupaten Cirebon
sangat dipengaruhi oleh Angin Kumbang yang bertiup cukup kencang, terkadang berputar dan
bersifat kering.  Penggunaan teknologi energi terbarukan, seperti turbin angin dan panel surya

Anda mungkin juga menyukai