Anda di halaman 1dari 47

BAB 2

REVIEW
PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

Tujuan dari bab ini adalah:


Mengingat kembali tentang persamaan diferensial biasa.
Mengidentifikasi tipe, order, dan linierity persamaan diferensial
biasa.
Mengindentifikasi cara penyelesaian persamaan diferensial biasa.

Dalam kalkulus telah dipelajari bagaimana mencari turunan dy dx


dari suatu fungsi y f (x). Misalnya, jika y e ax , maka
dy dx a e ax . Dengan menggantikan e ax dengan y, menghasilkan

dy
ay (2.1)
dx

Permasalahannya sekarang adalah bukan bagaimana menentukan


turunan dari fungsi y f (x) ? Tetapi masalahnya adalah jika
diberikan persamaan diferensial (PD) seperti Pers. (2.1), bagaimana
cara menentukan fungsi y f (x) ?

2.1 Definisi dan Klasifikasi Persamaan Diferensial


Suatu persamaan yang mengandung turunan-turunan dari suatu
variabel terikat terhadap satu atau lebih variabel-variabel bebas
disebut persamaan diferensial. Persamaan diferensial dapat
diklasifikasikan berdasarkan tipe, order, dan linieriti.
Klasifikasi Berdasarkan Tipe: Jika suatu persamaan hanya
mengandung turunan-turunan biasa dari suatu variabel terikat terhadap
satu variabel bebas disebut persamaan diferensial biasa (PDB).
Contohnya:
dy
y y2
dx

d2y dy
2
6 y 0
dx dx

Dalam contoh ini, y disebut variabel terikat dan x disebut variabel


bebas.
Suatu persamaan yang mengandung turunan-turunan parsial dari
suatu variabel terikat terhadap lebih dari satu variabel-variabel bebas
disebut persamaan diferensial parsial (PDP). Contohnya:

c 2c
2
t x

2T 2T
0
x 2 y 2

Klasifikasi Berdasarkan Order: Order suatu PD, baik PDB maupun


PDP, adalah order dari turunan tertinggi dalam persamaan tersebut.
Sedangkan derajat suatu PD adalah pangkat tertinggi dari turunan
order tertinggi yang terdapat dalam PD setelah PD tersebut
dirasionalkan dan dibulatkan. Contohnya:

dy
5 y 0 (order satu, derajat pertama)
dx

d2y dy
2
x 3 y 0 (order dua, derajat pertama)
dx dx
3
d 2y dy
5 4 y e x (order dua, derajat pertama)
dx
2
dx

32
d2y dy
1 (order dua, derajat kedua)
dx
2
dx

Klasifikasi Berdasarkan Linieriti dan Nonlinieriti


Persamaan diferensial biasa order n adalah linier bila dapat ditulis
dalam bentuk

dny d n 1 y dy
a 0 ( x) n
a1 ( x) n 1
a n 1 ( x) a n y g ( x),
dx dx dx

a 0 ( x) 0 (2.2)

Fungsi-fungsi a 0 ( x), a1 ( x), , a n ( x) disebut koefisien-koefisien PD,


dan g (x) disebut suku non homogen. Bila koefisien-koefisien tersebut
adalah fungsi-fungsi konstan, PD dinamakan mempunyai koefisien-
koefisien konstan. Persamaan disebut homogen bila g ( x) 0 dan non
homogen bila g ( x) 0. Dari persamaan di atas ter-lihat dua sifat
karakteristik dari PD linier:
Variabel terikat y dan semua turunan-turunannya adalah derajat
satu, yaitu, pangkat dari tiap-tiap suku yang melibatkan y adalah 1.
Masing-masing koefisien hanya tergantung pada variabel bebas x.
Persamaan diferensial biasa yang tidak dapat ditulis dalam bentuk
umum di atas dinamakan PDB nonlinier. Misalnya:

d2y dy
2
x y2 0 (2.3a)
dx dx

d2y
sin y 0 (2.3b)
dx 2
d2y dy
y 2
y0 (2.3c)
dx dx

Ketiga persamaan ini adalah PDB order dua nonlinier, karena pada
Pers. (2.3a) pangkat dari y bukan satu, pada Pers. (2.3b) terdapat
fungsi nonlinier dari y; yaitu sin y , dan pada Pers. (2.3c) koefisien
tergantung pada variabel terikat y.

2.2 Persamaan Diferensial Biasa Order Satu


Bentuk umum persamaan diferensial (PD) order satu dan derajat satu
adalah

M ( x, y) dx N ( x, y) dy 0 (2.4)

2.2.1 PD Dengan Variabel-Variabel Terpisah


Pada umumnya PD order satu dapat direduksi dengan manipulasi
aljabar menjadi bentuk:

f ( x) dx g ( y) dy 0 (2.5)

Persamaan ini dikatakan terpisah karena variabel x dan y terpisah


satu sama lainnya, sehingga x hanya ada pada koefisien dx dan y
hanya ada pada koefisien dy. Penyelesaian umumnya adalah

f ( x) dx g ( y) dy C (2.6)

dimana C adalah konstanta integrasi.


2.2.2 Reduksi Menjadi Variabel-Variabel Terpisah
Kadang-kadang pemisahan variabel tidak kelihatan dengan segera,
tetapi dapat dilakukan berdasarkan pengalaman. Ada beberapa bentuk
PD yang dapat direduksi menjadi variabel-variabel terpisah,
diantaranya adalah:

f1 ( x) g 2 ( y) dx f 2 ( x) g1 ( y) dy 0 (2.7)
dan
dy
f ( x) g ( y ) 0 (2.8)
dx

Penyelesaian umum Pers. (2.7) dapat diperoleh dengan mengalikan


persamaan tersebut dengan 1 f 2 ( x) g 2 ( y) untuk memisahkan
variabel-variabel dan kemudian diintegrasikan:

f 1 ( x) g ( y)
f 2 ( x)
dx 1
g 2 ( y)
dy C (2.9)

Penyelesaian umum Pers. (2.8) dapat diperoleh dengan mengalikan


persamaan tersebut dengan dx g ( y) kemudian diintegrasikan:

dy
f ( x) dx g ( y)
C (2.10)

Jadi proses penyelesaian suatu persamaan yang dapat dipisahkan


seringkali meliputi perkalian dengan faktor pengintegral, yaitu faktor
pengali sehingga PD dapat dipisahkan.

Contoh 2.1.
Selesaikan PD berikut: x ( y 2 9) dx y (1 x) dy 0

Penyelesaian:
PD di atas dapat direduksi menjadi PD variabel terpisah dengan
mengalikan dengan faktor pengintegral 1 ( y 2 9)(1 x),
hasilnya adalah
x dx y dy
2 0
1 x y 9

Dengan mengintegralkan persamaan ini menghasilkan

1
x ln(1 x)
ln( y 2 9) C1
2
Ada berbagai bentuk ekivalen yang dapat ditulis untuk
penyelesaian umum:

2 x 2 ln(1 x) ln( y 2 9) ln C ,

dimana ln C 2 C1

C (1 x) 2
e2 x
y 9
2

Contoh 2.2.
Selesaikan PD berikut ini:

dC A
k1 C A (2.11)
dt

Penyelesaian:
Bila Pers. (2.11) dikalikan dengan faktor pengintegral
dt C A , diperoleh

dC A
k1 dt
CA

ln C A k1 t ln C

C A C exp( k1 t )
Kadang-kadang sangat dianjurkan menggunakan konstanta
integrasi dalam bentuk logaritma bila sebagian besar hasil integrasi
dalam bentuk logaritma.

2.2.3 Persamaan Homogen


Definisi umum dari suatu fungsi homogen x dan y derajat n adalah
gantikan x dengan tx dan y dengan ty, dan sederhanakan persamaan
tersebut. Jika hasilnya merupakan fungsi asli dikalikan dengan tn,
maka fungsi tersebut adalah homogen derajat n.
Dalam bentuk simbolis, fungsi f ( x, y) disebut homogen derajat n
jika f (tx, ty ) t n f ( x, y), dimana t adalah sembarang bilangan selain
nol.

Contoh 2.3.

Apakah fungsi f ( x, y) x ln x 2 y 2 ln y y e x y homogen?

Penyelesaian:
Untuk menjawab pertanyaan ini, gantikan x dengan tx dan y
dengan ty, menghasilkan


f (tx, ty ) t x ln t 2 x 2 t 2 y 2 ln t y t y e t x t y

t x ln t
x 2 y 2 ln t y t y e x y

t x ln x2 y2 ln y y e x y

t f ( x, y)

Jadi fungsi tersebut adalah homogen derajat satu.


Persamaan diferensial

M ( x, y) dx N ( x, y) dy 0 (2.12)

disebut homogen bila M ( x, y) dan N ( x, y) merupakan fungsi-fungsi


homogen berderajat sama. Dengan menggunakan transformasi y vx
atau x vy , maka PD Homogen dapat direduksi menjadi PD dengan
variabel terpisah.

Contoh 2.4.
Selesaikan PD berikut:

( x 2 y 2 ) dx x y dy 0 (2.13)

Penyelesaian:
Persamaan ini adalah homogen, karena seluruh suku-suku dalam
koefisien dari tiap-tiap diferensial adalah derajat dua. Karena itu
substitusikan

y vx , dy v dx x dv

dan Pers. (2.13) menjadi

( x 2 v 2 x 2 ) dx v x 2 (v dx x dv) 0

(1 2v 2 ) dx v x dv 0

Bila persamaan ini dikalikan dengan faktor pengintegral


1 x (1 2v 2 ) , meng-hasilkan

dx v dv
0
x 1 2v 2

Dengan mengintegrasikan tiap-tiap suku persamaan di atas,


diperoleh
1
ln x ln (1 2v 2 ) C1
4

Gantilah v dengan y x untuk mendapatkan kembali variabel


semula.

x2 2y2
ln x 4 ln ln C ,
x2

dimana ln C 4 C1

x 4 2x 2 y 2 C

2.2.4 Persamaan Eksak


Bentuk umum PD order satu dan derajat satu adalah

M ( x, y) dx N ( x, y) dy 0 (2.14)

Umumnya suatu penyelesaian ada bila diferensial eksak

d ( x, y) 0 (2.15)

Integrasi persamaan ini menghasilkan

( x, y) C1 (2.16)

Jika fungsi tersebut ada, maka dengan menggunakan aturan rantai


diferensial total adalah


d dx dy 0 (2.17)
x y
Namun, bagaimana kita menggunakan informasi ini untuk menen-
tukan y sebagai fungsi x? Sebenarnya, petunjuk dalam menemukan
adanya penyelesaian eksak terletak pada sifat fungsi kontinyu, yaitu


(218)
y x x y

Dengan membandingkan Pers. (2.14) dan Pers. (2.17), didapatkan


M ( x, y ) (2.19)
x
dan

N ( x, y )
y
(2.20)

Dengan menggunakan sifat fungsi kontinyu, Pers. (2.18), maka syarat


perlu dan cukup agar ada adalah

M N
(2.21)
y x

Jadi, Pers. (2.14) dikatakan eksak bila memenuhi persamaan berikut.


Langkah-langkah penyelesaian Persamaan Eksak adalah:
1. Integrasikan M ( x, y) , Pers. (2.19), terhadap x dengan menjaga y
konstan. Hasilnya adalah

M ( x, y) dx y
F ( y) (2.22)

dengan F ( y ) adalah konstanta integrasi dari fungsi y saja.


2. Tentukan F ( y ) dari Pers. (2.20), dengan menyisipkan Pers. (2.22)
kedalam Pers. (2.20),

y


y
M ( x, y) dx y

dF ( y )
dy
N ( x, y )

atau
dF ( y )
dy
N ( x, y )

y
M ( x, y) dx y
(2.23)

1. Integrasikan Pers. (2.23), diperoleh


F ( y) N ( x, y )

y
M ( x, y) dx dy (2.24)
y

2. Jadi, penyelesaian umumnya diperoleh dengan menyisipkan Pers.


(2.24) ke dalam Pers. (2.22).

Contoh 2.5.
Buktikan bahwa

(3x 2 6 xy ) dx (3x 2 2 y) dy 0 (2.25)

adalah eksak dan tentukan penyelesaian umumnya.

Penyelesaian:


M ( x, y) 3x 2 6 xy (2.26a)
x


N ( x, y)
(3x 2 2 y ) (2.26b)
y
Persamaan (2.25) adalah eksak, karena

M N
6 x
y x
Integrasikan M ( x, y) terhadap x dengan menjaga y konstan,
diperoleh
(3x 2 6 xy ) dx x 3 3 x 2 y F ( y) (2.27)
y

Sisipkan persamaan ini ke dalam Pers. (2.26b),

3
[ x 3x 2 y F ( y)] (3x 2 2 y )
y y

dF ( y )
2 y
dy

Dengan mengintegrasikan persamaan ini, didapatkan

F ( y) y 2 C2

Dengan mensubstitusikan persamaan ini ke dalam Pers. (2.27),


menghasilkan

x 3 3x 2 y y 2 C 2 (2.28)

Persamaan (2.28) bukan merupakan bentuk penyelesaian umum.


Karena juga sama dengan konstanta sembarang C1. Dengan
menggabungkan konstanta-konstanta sembarang tersebut
menghasilkan penyelesaian umum, yaitu

x 3 3x 2 y y 2 C ,
dimana C C1 C2
2.2.5 Persamaan Linier Order Satu
Bentuk umum PD linier order satu adalah

dy
P( x) y Q( x) (2.29)
dx

dimana P(x) dan Q(x) adalah konstanta-konstanta atau hanya fungsi x.


Bila Pers. (2.29) dikali dengan faktor pengintegral, yaitu I (x),
diperoleh
dy
I ( x) I ( x) P ( x) y I ( x) Q( x) (2.30)
dx

Jika kita dapat mengetahui faktor pengintegral, I (x), sehingga ruas


kiri Pers. (2.30) merupakan turunan dari persamaan tertentu, maka
kita dapat langsung meng-integrasikan persamaan tersebut. Sekarang
marilah kita coba menentukan I (x). Perhatikan diferensiasi berikut ini

d
I ( x) y I ( x) dy dI ( x) y (2.31)
dx dx dx

Bandingkan hasil diferensiasi ini dengan ruas kiri Pers. (2.30). Kita
lihat bahwa suku pertama sama dan agar suku kedua juga identik,
maka
dI ( x)
I ( x) P( x) (2.32)
dx

Bila persamaan ini diselesaikan diperoleh

I ( x) C e
P ( x ) dx

Karena kita tidak perlu faktor pengintegral yang lebih umum, maka
kita pilih C sama dengan satu sehingga faktor pengintegralnya
menjadi

I ( x) exp P( x) dx
(2.33)
Jadi, penyelesaian umum Pers. (2.29) adalah

1 C
y I ( x) Q( x) dx (2.34)
I ( x) I ( x)

Contoh 2.6.
Selesaikan PD linier berikut ini

dy
2 y 3e x
dx

Penyelesaian:

P( x) 2 , I exp 2 dx exp (2 x)
Jadi, penyelesaian umumnya adalah

1 C
y 2 x
e 2 x 3 e x dx
e e 2 x

y e 2 x 3 e x dx C e 2 x

y 3 e x C e 2 x

Contoh 2.7.
Selesaikan PD berikut

dc R
k1 c A0 exp( k1 t ) k 2 c R
dt

Penyelesaian:
Persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk
dc R
k 2 c R k1 c A0 exp( k1 t )
dt

P(t ) k 2 , I ( x) exp k dt exp(k t )


2 2

Jadi penyelesaian umumnya adalah

1 C
cR exp( k 2 t ) k1 c A0 exp( k1 t ) dt
exp( k 2 t ) exp( k 2 t )

k1 c A0 exp( k 2 t ) exp[(k 2 k1 )t ] dt C exp( k 2 t )

k1 c A0
exp( k 2 t ) exp[( k 2 k1 ) t ] C exp( k 2 t )
k 2 k1

k1 c A0
exp( k1 t ) C exp( k 2 t )
k 2 k1

2.2.6 Persamaan Bernoulli


Bentuk umum Persamaan Bernoulli adalah

dy
P( x) y Q( x) y n ; n 1 (2.35)
dx

Bila Pers. (2.35) dibagi dengan y n , diperoleh

dy
y n P( x) y 1n Q( x) (2.36)
dx

Persamaan (2.36) dapat direduksi menjadi persamaan linier dengan


mensubstitusikan:
dz dy
z y 1n , (1 n) y n
dx dx

Dengan mensubstitusikan harga-harga ini ke dalam Pers. (2.36),


menghasilkan

dz
(1 n) P( x) z (1 n) Q( x) (2.37)
dx

Persamaan (2.37) merupakan persamaan linier order satu dan


penyelesaiannya sama dengan sub bab sebelumnya.

2.2.7 Persamaan Riccati


Persamaan Riccati adalah PD nonlinier. Bentuk umum persamaannya:

dy
P( x ) y 2 Q( x ) y R( x) (2.38)
dx

Bentuk khusus yang sering muncul adalah bila P( x) 1

dy
y 2 Q( x ) y R ( x ) (2.39)
dx

Transformasikan variabel y dengan

1 du
y (2.40)
u dx

2
dy 1 d 2u 1 du
2 (2.41)
dx u dx 2
u dx
Suku nonlinier pada Pers. (2.39) dapat dihilangkan dengan
menyisipkan Pers. (2.40) dan Pers. (2.41) ke dalam Pers. (2.39),
menghasilkan

d 2u du
2
Q( x ) R( x) u 0 (2.42)
dx dx

Ini merupakan persamaan diferensial linier order dua dengan koefisien


tidak konstan. Persamaan ini dapat diselesaikan dengan metode deret
Frobenius atau fungsi Bessel.

Contoh 2.8.
Dalam suatu reaktor batch dengan volume konstan berlangsung
reaksi seri berikut:

A k1 B k2 C

Konsentrasi A mula-mula adalah C A0 , sedangkan konsentrasi B


dan C mula-mula adalah nol. Laju reaksi per satuan volume
reaktor dinyatakan dengan

rA k1 C An , rB k1 C An k 2 C Bm

Tentukan konsentrasi B sebagai fungsi waktu untuk kasus


berikut ini:
a) n 1, m 2
b) n 1, m 1

Penyelesaian:
a) Untuk n 1 dan m 2 . Dari neraca massa didapatkan:

dC A
k1 C A (2.43)
dt
dC B
k1 C A k 2 C B2 (2.44)
dt

Penyelesaian Pers. (2.43) adalah

C A C exp( k1 t ) (2.45)

Konstanta integrasi C ditentukan dari kondisi awal. Dari K.A.


didapatkan C C A0 . Persamaan (2.45) menjadi

C A C A0 exp( k1 t ) (2.46)

Substitusikan CA ini ke dalam Pers. (2.44)

dC B
k1 C A0 exp( k1 t ) k 2 C B2
dt

Bila kedua ruas dibagi dengan k2 dan waktu diganti dengan


k 2 t , didapatkan

dC B k k
C B2 1 C A0 exp 1 (2.47)
d k2 k2

Persamaan ini identik dengan bentuk khusus dari persamaan


Riccati. Bandingkan Pers. (2.47) dengan Pers. (2.39),
didapatkan

k1 k
Q( ) 0, R( ) C A0 exp 1
k2 k2

Tansformasikan CB dengan

1 du
CB (2.48)
u d
2
dC B 1 d 2u 1 du
2 (2.49)
d u d 2
u d

Dengan mensubstitusikan Pers. (2.48) dan (2.49) ke dalam Pers.


(2.47) diperoleh

d 2 u ( ) k k
1 C A0 exp 1 u ( ) 0 (2.50)
d 2
k2 k2

Ini adalah PD order dua linier.


b) Untuk n 1 dan m 1 . Dari neraca massa didapatkan:

dC A
k1 C A , persamaan (2.43)
dt

dC B
k1 C A k 2 C B (2.51)
dt

Penyelesaian Pers. (2.43) adalah

C A C A0 exp( k1 t ) , persamaan (2.46)

Substitusikan persamaan ini ke dalam Pers. (2.51), kita dapatkan

dC B
k 2 C B k1 C A0 exp( k1 t ) (2.52)
dt

Ini adalah persamaan linier order satu. Coba anda selesaikan


sendiri, hasilnya adalah

k1 C A0
CB [exp( k1 t ) exp( k 2 t )] (2.53)
k 2 k1
Namun, seringkali diinginkan hubungan antara CA dan CB,
sehingga kita dapat menggunakan pendekatan yang berbeda,
yaitu dengan membagi Pers. (2.51) dengan (2.43)

dC B k C
1 2 B (2.54)
dC A k1 C A

Ini merupakan persamaan homogen, substitusikan

dC B dv
CB v C A , v CA
dC A dC A

Persamaan (2.54) menjadi

dv k
v CA 1 2 v
dC A k1

dv dC A

k2 CA
1 v 1
k1

k1
k2 k2 k1
1 1 v CA C (2.55)
k1

K.A. pada t 0, C A C A0 dan C B 0 , sehingga v 0 . Dari


K.A. dan Pers. (2.55) didapatkan C 1 C A0 . Persamaan (2.55)
menjadi

( k 2 k 1) 1
k C
1 2 1 v A
k1 C A0

( k 2 k1) 1
k2 C
1 v 1 A
k1 C A0

Gantikan v dengan C B C A , didapatkan

k1 C A
( k 2 k 1) 1
CB
1 (2.56)
CA k 2 k1 C A0

2.3 Persamaan Diferensial Linier Order Dua


Bentuk umum PD linier order dua adalah

d2y dy
2
a1 ( x) a 0 ( x) y f ( x) (2.57)
dx dx

Persamaan (2.57) ini adalah persamaan nonhomogen. Bila f ( x) 0 ,


Pers. (2.57) menjadi persamaan homogen.
Dalam bagian ini, kita hanya mempelajari kasus-kasus dengan
koefisien konstan, yaitu a0 dan a1 adalah konstanta. Prosedur penye-
lesain Pers. (2.57) adalah sebagai berikut:
1. Pertama diset f ( x) 0 . Persamaannya tereduksi menjadi
persamaan homogen. Penyelesaiannya disebut penyelesaian
komplementer atau homogen, dinotasikan dengan y c (x) .
2. Selesaikan PD bila f ( x) 0 . Penyelesaiannya disebut penyelesaian
partikulir, dinotasikan dengan y p (x) .
3. Penyelesaian lengkap adalah: y yc ( x) y p ( x) .
Pertama kita membahas persamaan homogen. Untuk persamaan
linier homogen jelas terlihat bahwa gabungan dari tiap-tiap
penyelesaian juga merupakan suatu penyelesaian, asalkan tiap-tiap
penyelesaian adalah linearly independent dengan penyelesaian
lainnya. Maksud linearly independent adalah suatu penyelesai-an
tidak dapat diperoleh dari penyelesaian lain dengan mengalikan
penyelesaian tersebut dengan suatu konstanta. Misalnya, penyelesaian
y1 C1 exp( 2 x) adalah linearly independent dengan
y 2 C2 exp( 3x) , karena kita tidak dapat mengalikan y2 dengan suatu
konstanta untuk mendapatkan y1. Namun, penyelesaian y3 6 x 2
adalah tidak linearly independent dengan y 4 2 x 2 , karena jelas
terlihat bahwa y3 dapat diperoleh dengan mengalikan y4 dengan 3.
Jadi, untuk persamaan homogen order dua dan linier penyelesaian
umumnya adalah

yc C1 y1 ( x) C2 y 2 ( x) (2.58)

Penyelesaian partikulir (yp) juga harus linearly independent dengan


tiap-tiap penyelesaian komplementer (yc), agar yp dapat digabungkan
dengan yc. Bila tidak, maka yp dapat menghasilkan kembali salah satu
dari penyelesaian komplementer, sehingga tidak ada informasi baru
yang ditambahkan ke hasil akhir.

2.3.1 Penyelesaian Komplementer


Bentuk PD linier order dua homogen dengan koefisien konstan

d2y dy
2
a1 a0 y 0 (2.59)
dx dx

Anggap penyelesaian komplementer dari Pers. (2.59) adalah

yc C exp(rx) (2.60)

dimana C adalah konstanta integrasi dan r adalah akar karakteristik


(atau eigenvalue) dari persamaan. Diferensialkan Pers. (2.60) dua kali
terhadap x. Sisipkan yc tersebut dan turunan-turunannya ke dalam
Pers. (2.59), menghasilkan
C (r 2 a1 r a0 ) exp( rx) 0 (2.61)

Bila C 0 maka tidak ada penyelesaian dan exp(rx) tidak boleh nol.
Jadi per-samaan ini dipenuhi bila

r 2 a1 r a0 0 (2.62)

Persamaan (2.62) disebut persamaan karakteristik untuk Pers. (2.59).


Karena Pers. (2.62) adalah persamaan kuadrat, maka hanya ada dua
akar. Ada tiga macam akar dari persamaan kuadrat:
1. Akar-akarnya real dan berbeda
2. Akar-akarnya sama
3. Akar-akarnya bilangan komplek dan berbeda.
Bila akar-akarnya real dan berbeda, katakanlah r1 dan r2, maka
penyelesaian umum Pers. (2.59) adalah

yc C1 exp( r1 x) C2 exp( r2 x) (2.63)

Untuk akar-akar yang agak rumit, katakanlah r1 a b dan


r2 a b , seringkali penyelesaiannya ditulis dengan menggunakan
fungsi hiperbolik, supaya lebih mudah dalam menentukan konstanta-
konstanta integrasi dengan menggunakan kondisi batas.

exp(bx) exp( bx)


cosh (bx) (2.64)
2

exp(bx) exp( bx)


sinh (bx) (2.65)
2

Jadi, penyelesaian di atas dapat ditulis dalam bentuk

yc exp(ax) C1 exp(bx) C2 exp(bx)


exp(bx) exp( bx) exp(bx) exp( bx)
yc exp( ax) (C1 C 2 ) (C1 C 2 )
2 2

yc exp( ax) C3 cosh(bx) C4 sinh (bx) (2.66)

Bila akar-akarnya sama, katakanlah r1 r2 r , maka penyelesaian


umum Pers. (2.59) adalah

yc (C1 C2 x) exp( r x) (2.67)

Pada Pers. (2.67) penyelesaian kedua dikali dengan variabel bebas x,


agar penyelesaiannya linearly independent.
Bila akar-akarnya bilangan kompleks, katakanlah r1 a b i dan
r2 a b i , maka penyelesaian umum Pers. (2.59) adalah

yc exp( ax) C3 exp(ibx) C4 exp( ibx) (2.68)

Bentuk penyelesaian ini sama sekali tidak efektif untuk tujuan


komputasi, karena itu perlu dimasukkan bentuk yang lebih efektif
dengan menggunakan formula Euler, yaitu

e i x cos x i sin x (2.69)

Dengan mensubstitusikan Pers. (2.69) ke dalam Pers. (2.68)


menghasilkan

yc exp( ax) C3 (cos bx i sin bx) C4 (cos bx i sin bx)

exp( ax) (C3 C4 ) cos bx (C3 C4 ) i sin bx

yc exp( ax) (C1 cos bx C2 sin bx) (2.70)

dengan C3 C4 C1 dan (C3 C4 ) i C2 .


Contoh 2.9.
Selesaikan PD berikut ini

d2y dy
2
6y 0
dx dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristik (PK) dapat diperoleh dengan
menggantikan d 2 y dx 2 dengan r 2 dan dy dx dengan r,
sehingga
r2 r 6 0

(r 2)(r 3) 0

r1 2 dan r2 3

Karena akarnya real dan berbeda, maka penyelesaian umumnya


adalah
y C1 exp(2 x) C2 exp(3 x)

Contoh 2.10.
Selesaikan persamaan order dua berikut ini

d2y dy
2
6 9y 0
dx dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya

r 2 6r 9 0

(r 3) 2 0
r1, 2 3

Karena akarnya sama, maka penyelesaian umumnnya adalah

yc (C1 C2 x) exp(3x)

Contoh 2.11.
Selesaikan PD berikut ini

d2y dy
2
2 5y 0
dx dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya

r 2 2r 5 0

2 4 (4 5) 2 4i
r1, 2 1 2i ; 1 2i
2 2

Karena akarnya imajiner dan berbeda, maka penyelesaian


umumnya adalah

yc exp( x) C1 cos 2 x C2 sin 2 x

2.3.2 Penyelesaian Partikulir


Bentuk PD linier order dua dengan koefisien konstan adalah

d2y dy
2
a1 a 0 y f ( x) (2.71)
dx dx

Penyelesaian umum dari Pers. (2.71) merupakan jumlah dari


penyelesaian komplementer dan penyelesaian partikulir, yaitu
y y c ( x) y p ( x ) (2.72)

Penyelesaian komplementer, y c (x) , telah kita pelajari, sekarang kita


akan membahas metode umum untuk menentukan integral partikulir,
y p (x).
Ada tiga metode yang umum digunakan untuk menentukan y p (x) :
1. Metode Undetermined Coefficients.
2. Metode Invers Operator.
3. Metode Variasi Parameter.
Dua metode pertama hanya dapat digunakan untuk PD dengan
koefisien konstan, sedangkan metode ketiga dapat digunakan baik
untuk koefisien konstan maupun koefisien tidak konstan.

1. Metode Undetermined Coefficients


Metode ini digunakan secara luas, juga mudah dikerjakan. Tahap
pertama adalah mengasumsi bentuk awal dari penyelesaian partikulir
yp dengan koefisien-koefisiennya belum diketahui. Koefisien-
koefisien yang belum diketahui ini ditentukan dengan menyisipkan
bentuk awal penyelesaian partikulir yp dan turunan-turunannya ke
dalam persamaan diferensial. Untuk PD order dua diperlukan dua kali
diferensiasi, sedangkan untuk PD order n diperlukan n kali
diferensiasi (suatu kelemahan dari metode ini). Kemudian ditentukan
koefisien-koefisiennya sehingga memenuhi persamaan diferensial.
Jika berhasil, maka kita telah mendapatkan penyelesaian partikulir yp.
Jika koefisien-koefisiennya tidak dapat ditentukan, ini artinya kita
tidak mendapatkan penyelesaian dari bentuk yang diasumsikan tadi.
Jadi kita perlu memodifikasi asumsinya dan kita coba lagi.
Sebagai pedoman dalam mengasumsi bentuk awal dari
penyelesaian partikulir yp adalah dengan melihat fungsi f (x) dan hasil
diferensial berulang dari fungsi f (x). Berdasarkan pengamatan pada
fungsi f (x) dan turunan-turunannya, maka kita dapat menyarankan
bentuk integral partikulir dengan koefisien-koefisien yang belum
diketahui.
Contoh 2.12.
Tentukan penyelesaian umum dari PD linier order dua berikut
ini
d2y dy
2
2 3 y 3 e2x (2.73)
dx dx

Penyelesaian:
Pertama adalah menentukan penyelesaian komplementer dengan
menset f ( x) 0 . Persamaan karakteristik dari persamaan
homogen di atas adalah

r2 2r 3 0

(r 3)(r 1) 0

r1 3 dan r2 1

Karena akarnya real dan berbeda, penyelesaian komple-


menternya adalah

yc C1 exp(3x) C2 exp( x) (2.74)

Untuk membangun bentuk integral partikulir, kita harus


berpedoman pada fungsi f (x) dan hasil diferensial berulang dari
fungsi f (x). Bila order dari PD adalah dua, maka kita harus
mendiferensialkan hingga dua kali fungsi f (x) tersebut. Dalam
contoh ini f ( x) 3 exp( 2 x). Turunan pertama dan kedua dari
fungsi tersebut tetap fungsi eksponensial, yaitu exp( 2 x). Oleh
karena itu, bentuk integral partikulir yang diusulkan adalah
fungsi eksponensial itu sendiri dikali dengan suatu koefisien,
yaitu

y p B exp( 2 x) (2.75)
dimana B adalah koefisien yang akan ditentukan. Caranya
dengan mendiferen-sialkan yp ini dua kali terhadap x, kemudian
sisipkan Pers. (2.75) dan turunan-turunannya ke dalam Pers.
(2.73), kita dapatkan

4B exp(2 x) 4B exp(2 x) 3B exp(2 x) 3 exp(2 x)

B 1

Penyelesaian partikulirnya adalah

y p exp( 2 x) (2.76)

Jadi penyelesaian lengkapnya adalah

y C1 exp(3x) C2 exp( x) exp(2 x) (2.77)

Contoh 2.13.
Selesaikan PD linier order dua berikut ini

d 2 y dy
2
2 y x2 (2.78)
dx dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristik dari persamaan homogen di atas adalah

r2 r 2 0

(r 1)(r 2) 0

r1 1 dan r2 2

Penyelesaian komplementernya adalah

yc C1 exp( x) C2 exp( 2 x) (2.79)


Perhatikan bahwa turunan pertama dan kedua dari f ( x) x 2
adalah 2 x dan 2, sehingga kita dapat membentuk integral
partikulirnya berupa gabungan linier dari f (x) dan turunan-
turunannya dikali dengan suatu koefisien, yaitu

y p A2 x 2 A1 x A0 (2.80)

dimana koefisien-koefisien A2, A1, dan A0 akan ditentukan.


Diferensialkan yp ini dua kali terhadap x. Kemudian sisipkan yp
dan turunan-turunannya ke dalam Pers. (2.78), menghasilkan

2 A2 (2 A2 x A1 ) 2 ( A2 x 2 A1 x A0 ) x 2

2 A2 x 2 (2 A2 2 A1 ) x (2 A2 A1 2 A0 ) x 2 (2.81)

Untuk memenuhi Pers. (2.81) kita harus menyamakan tiap-tiap


koefisien dari polinomial tersebut antara ruas kiri dan ruas
kanan persamaan, sehingga didapatkan

koefisien x 2 : 2 A2 1 A 2 1 2

koefisien x : 2 A2 2 A1 0 A1 A2 1 2

konstanta : 2 A2 A1 2 A0 0

1 1 1 3
A0 ( A1 2 A 2 ) 1
2 2 2 4

Jadi penyelesaian partikulirnya adalah

1 1 3
y p x2 x (2.82)
2 2 4
Dan penyelesaian lengkapnya adalah

1 3
y C1 exp( x) C 2 exp( 2 x) x 2 x (2.83)
2 2


Contoh 2.14.
Tentukan penyelesaian umum dari PD linier order dua berikut
ini
d 2 y dy
2 y 3 cos 2 x (2.84)
dx 2 dx

Penyelesaian:
Penyelesaian komplementer sama dengan contoh sebelumnya.
Sekarang perhatikan turunan pertama dan kedua dari
f ( x) cos 2 x , yaitu sin 2 x dan cos 2 x. Karena dari fungsi
f (x) dan hasil turunan berulang muncul suku cosinus dan
sinus, maka bentuk integral partikulir yang disarankan adalah

y p A cos 2 x B sin 2 x (2.85)

dimana A dan B adalah koefisien-koefisien yang akan dicari.


Diferensialkan yp ini dua kali terhadap x, diperoleh

dy p
2 A sin 2 x 2 B cos 2 x ,
dx

d 2 yp
4 A cos 2 x 4 B sin 2 x .
dx 2

Kemudian sisipkan yp dan turunan-turunannya ini ke dalam Pers.


(2.84), meng-hasilkan

(6 A 2B) cos 2 x (2 A 6B) sin 2 x 3 cos 2 x (2.86)


Berikutnya, samakan tiap-tiap koefisien dari sin 2 x dan cos 2 x
antara kedua sisi Pers. (2.86).

koefisien cos 2 x : 6 A 2B 3 (2.87a)


koefisien sin 2 x : 2 A 6B 0 (2.87b)

Dengan menyelesaikan secara simultan Pers. (2.87) diperoleh

9 3
A dan B
20 20

Sehingga penyelesaian partikulirnya adalah

3
yp (sin 2 x 3 cos 2 x) (2.88)
20

Jadi penyelesaian lengkapnya adalah

3
y C1 exp( x) C 2 exp( 2 x) (sin 2 x 3 cos 2 x) (2.89)
20

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari contoh-contoh di


atas mengenai bentuk standard integral partikulir dirangkum dalam
Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Bentuk standard integral partikulir.


Bentuk f (x) Bentuk integral partikulir
Eksponensial Aer x B er x
Polinomial An x n An1 x n1 A1 x A0 B n x n B n1 x n1 B1 x B 0
(beberapa harga Ai
boleh sama dengan nol)
Trigonometri A1 sin rx A2 cos rx B1 sin rx B 2 cos rx
(harga A1 atau A 2
boleh sama dengan nol)
Bila suku nonhomogen f (x) merupakan jumlah dari fungsi-fungsi
di atas (fungsi eksponensial, polinomial, dan trigonometri), maka
bentuk integral partikulir juga merupakan jumlah dari bentuk standard
masing-masing integral partikulirnya. Bila f (x) merupakan hasil kali
dari fungsi-fungsi di atas, maka bentuk integral partikulirnya juga
merupakan hasil kali dari masing-masing bentuk standard integral
partikulir tersebut.
Namun, bila salah satu suku pada penyelesaian komplementer
sama dengan salah satu suku pada fungsi f (x), maka bentuk standard
integral partikulir seperti pada Tabel 2.1 tidak dapat digunakan
langsung, karena nantinya penyelesaian partikulir tidak linearly
independent dengan penyelesaian komplementer. Oleh karena itu,
bentuk integral partikulirnya harus dimodifikasi. Caranya: Bentuk
standard integral partikulir seperti pada Tabel 2.1 dikalikan dengan
variabel bebas, bila hasilnya masih sama dengan salah satu
penyelesaian komplementer, maka harus dikalikan lagi dengan
variabel bebas, sehingga bentuk integral partikulirnya tidak sama lagi
dengan salah satu penyelesaian komplementer.
Kadangkala koefisien yang ingin dicari tidak dapat ditentukan. Bila
hal ini terjadi maka kita harus mengalikan lagi bentuk integral
partikulirnya dengan variabel bebas, dan begitu seterusnya hingga
koefisien tersebut dapat ditentukan.

Contoh 2.15.
Tentukan penyelesaian komplementer dan partikulir dari PD
berikut ini
d2y dy
2
5 6 y exp( 2 x) (2.90)
dx dx

Penyelesaian:
Pertama kita set ruas kanan Pers. (2.90) sama dengan nol,
sehingga persamaan karakteristiknya adalah

r 2 5r 6 0
(r 3)(r 2) 0

r1 3 dan r2 2

Penyelesaian komplementernya adalah

yc C1 exp(3x) C2 exp( 2 x) (2.91)

Perhatikan salah satu suku pada penyelesaian komplementer ini


sama dengan fungsi f (x), yaitu exp( 2 x). Sehingga kita tidak
boleh langsung mencoba bentuk standard integral partikulir,
yaitu y p B exp( 2 x), karena nantinya yp ini tidak linearly
independent dengan salah satu suku penyelesaian
komplementer. Oleh karena itu kita harus mencoba
memodifikasi yaitu dengan mengalikan yp standard dengan
variabel bebas, sehingga menjadi

y p B x exp( 2 x) (2.92)

Sekarang jelas terlihat bentuk integral partikulir ini sudah


linearly independent dengan penyelesaian komplementer.
Diferensialkan Pers. (2.92) dua kali terhadap x, menghasilkan

y p B exp( 2 x) 2B x exp( 2 x)

y p 4B exp( 2 x) 4B x exp( 2 x)

Kemudian substitusikan yp dan turunan-turunannya ini ke dalam


Pers. (2.90), kita dapatkan

[4B exp(2 x) 4B x exp(2 x)] [5B exp(2 x) 10B x exp(2 x)]


6B x exp(2 x) exp(2 x)
B exp(2 x) exp( 2 x)
B 1
Sisipkan harga B ini ke dalam Pers. (2.92), diperoleh

y p x exp( 2 x) (2.93)

Penyelesaian lengkapnya adalah

yc C1 exp(3x) C2 exp( 2 x) x exp( 2 x) (2.94)


2. Metode Invers Operator


Metode ini dibangun dari operator diferensial Heaviside, yang
didefinisikan dengan
dy
Dy (2.95)
dx

dimana D adalah operasi elementer d dx . Operator ini mengikuti


hukum-hukum aljabar tertentu, dan letaknya harus selalu sebelum
suatu fungsi yang akan dioperasikan. Turunan kedua, ketiga, dan
seterusnya dari operator D ini dapat ditulis dengan

d2y
D(D y ) D 2 y (2.96)
dx 2

d3y
D(D 2 y ) D 3 y (2.97)
dx 3

dny
Dn y (2.98)
dx n

Karena operator D merupakan operator linier, maka operator D dapat


dijumlahkan dan difaktorkan, misalnya
d2y dy
2
6 9 y D 2 y 6 Dy 9 y (D 3) 2 y 0
dx dx

Hukum-hukum dasar yang berlaku untuk operator D adalah:

(a) Hukum Distributif.


Hukum ini menyatakan bahwa

A ( B C ) AB AC (2.99)

Operator D mengikuti hukum distributive

(D 2 5 D 6) y D 2 y 5 D y 6 y (2.100)

(b) Hukum Komutatif


Hukum ini menerangkan tentang aturan pertukaran operasi, yaitu

AB BA (2.101)

Pada umumnya operator D tidak mengikuti hukum ini, karena jelas


bahwa
D y yD (2.102)

Namun, operator D dapat bertukar kedudukan sesamanya, karena

(D 3)(D 2) (D 2)(D 3) (2.103)

(c) Hukum Asosiatif


Hukum ini menjelaskan mengenai aturan urutan operasi, yaitu

A ( BC ) ( AB)C (2.104)

Secara umum hukum ini tidak berlaku untuk operator D, karena

D( x y) (D x) y (2.105)
sebab kita tahu bahwa

D( x y) (D x) y x D y. (2.106)

Namun, operator D berasosiatif sesama mereka sendiri

D(D y) (DD) y (2.107)

Bila operator D digunakan dalam bentuk invers, maka ada dua


aturan yang perlu diperhatikan.

Operasi terhadap eksponensial. Diferensial exp(rx) adalah

D(e r x ) r e r x (2.108)

D 2 (e r x ) D(D e r x ) r 2 e r x (2.109)

D 3 (e r x ) D(D 2 e r x ) r 3 e r x

n 1 r x
D (e ) D(D e ) r n e r x
n rx
(2.110)

Bila persamaan-persamaan ini dijumlahkan, menghasilkan

D
) e (r
r 2r
2 3 n rx 3
(D D D r n ) er x
P ( D) P(r )

atau
P(D) e r x P(r ) e r x (2.111)

dengan P(D) dan P(r ) adalah persamaan polinomial dalam D dan r.


Persamaan ini merupakan Aturan 1.

Operasi terhadap hasil kali dengan eksponensial. Bentuk kedua


dalam mengunakan operator D adalah operasi terhadap hasil kali
fungsi f (x) dengan eksponensial. Diferensial dari hasil kali f (x)
dan exp(rx) adalah
D( f ( x) e r x ) e r x D f ( x) f ( x) r e r x e r x (D r ) f ( x) (2.112)


D 2 ( f ( x) e r x ) D e r x [D f ( x) r f ( x)]
e rx ( D 2 rD) f ( x) r e rx ( D r ) f ( x) e rx ( D r ) 2 f ( x) (2.113)


D 3 ( f ( x) e r x ) D e r x ( D 2 2 r D r 2 ) f ( x) e r x ( D r ) 3 f ( x )

D ( f ( x) e )
n rx
e ( D r ) n f ( x)
rx

(2.114)

Bila operator-operator D ini dijumlahkan, menghasilkan

P(D) ( f ( x) e r x ) e r x P(D r ) f ( x) (2.115)

Kita dapat menyimpulkan bahwa operasi polinomial D terhadap hasil


kali f ( x) e r x akan menghasilkan pergeseran eksponensial ke bagian
depan dikali dengan operasi polinomial (D r ) terhadap f (x) .
Bentuk ini merupakan Aturan 2.
Jadi ada dua aturan penting dalam menggunakan operator D ini,
yaitu:
1. Aturan 1: P(D) e r x P(r ) e r x (2.111)

2. Aturan 2: P(D) ( f ( x) e r x ) e r x P(D r ) f ( x) . (2.115)

Invers Operator.
Kita tahu bahwa integrasi merupakan invers dari diferensiasi.

d
dx f ( x) dx D f ( x) dx f ( x) (2.116)

Hal ini menyatakan bahwa


1
f ( x) dx D f ( x) D
1
f ( x) (2.117)
Jadi, operasi D 1 f ( x) menyatakan integrasi terhadap x, sedangkan
D f ( x) menyatakan diferensiasi terhadap x. Integrator, D 1 , dapat
diperlakukan seperti besaran aljabar lainnya, asalkan mengikuti
aturan-aturan aljabar seperti yang disebutkan di atas.
Ada dua aturan yang berlaku untuk invers operator.

Aturan 1 Invers Operator:


Pada umumnya polinomial D, P(D), yang terdapat dipenyebut
dapat dioperasikan berdasarkan Aturan 1 [Pers. (2.111)].

1 1
er x er x (2.118)
P(D) P(r )

Bila P(r ) 0 aturan ini tidak dapat digunakan. Keadaan ini terjadi
karena salah satu fungsi f (x) sama dengan salah satu suku pada
penyelesaian komplementer.

Aturan 2 Invers Operator:


Kesulitan di atas dapat diatasi dengan menggunakan Aturan 2
[Pers. (2.115)]. Jika P(r ) 0 , jelas bahwa P(D) mengandung akar
sama dengan r; misal kita dapat memfaktorkan P(D) dengan

1 1 1
(2.119)
P(D) (D r ) g (D)

Untuk n akar yang sama, persamaan ini dapat ditulis

1 1 1
(2.120)
P(D) (D r ) n
g (D)

Dari Pers. (2.120) terlihat g(D) tidak mengandung akar r, jadi Aturan
1 dapat digunakan. Namun, kita harus memodifikasi operasi
1 (D r) n bila dioperasikan terhadap exp(rx). Polinomial D, P(D),
yang terdapat dalam penyebut dapat juga dioperasikan berdasarkan
Aturan 2 [Pers. (2.115)].

1 1
[ f ( x) e r x ] e r x f ( x) (2.121)
P(D) P(D r )

Jika P(D) (D r ) n ,
1 1
[ f ( x) e r x ] e r x f ( x) (2.122)
(D r ) n
(D) n

(1 D n ) f ( x) artinya integrasi n kali terhadap f (x) .

Contoh 2.16.
Ulangi Contoh 2.12, tentukan penyelesaian partikulir dengan
menggunakan metode invers operator.

Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya

d2y dy
2
2 3 y 3 e2x
dx dx

Dengan menggunakan operator D dan memfaktorkannya


diperoleh

( D 2 2D 3) y p ( D 1)( D 3) y p 3 e 2 x

1
yp 3e2x
( D 1)( D 3)

Kita dapat menggunakan Aturan 1 secara langsung, karena


r 2 , didapatkan
1
yp 3 e 2 x e 2 x
(2 1)(2 3)
Bandingkan hasil ini dengan Pers. (2.76). Terlihat jelas
kecepatan dan efisiensi dari metode ini dibandingkan dengan
metode sebelumnya, yaitu metode undetermined coeffocients.

Contoh 2.17.
Tentukan penyelesaian partikulir pada Contoh 2.15 dengan
menggunakan metode invers operator.

Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya adalah

d2y dy
2
5 6 y exp( 2 x)
dx dx

Dengan menggunakan operator D bentuk integral partikulirnya


adalah
( D 2 5D 6) y p ( D 2)( D 3) y p e 2 x

1
yp e2x
( D 2)( D 3)

Jika kita langsung menggunakan Aturan 1 diperoleh


P(r ) (0)(1) 0. Jadi dalam contoh ini kita harus hati-hati
karena tidak boleh langsung menggunakan Aturan 1. Untuk
mengatasi agar P(r ) 0 , pertama kita gunakan Aturan 1
terhadap faktor yang tidak menghasilkan nol, yaitu (D 3);
kemudian kita gunakan Aturan 2 untuk operasi exp( 2 x) dengan
(D 2). Tahap pertama adalah

1 1
yp e2x
( D 2) 1

Kemudian kita gunakan Aturan 2 dengan f ( x) 1 ,


1
y p e 2 x 1
( D 2 2)

1
y p e 2 x 1
D

y p x e2x

Bandingkan hasilnya dengan Pers. (2.93).

Invers operator terhadap fungsi trigonometri


Fungsi trigonometri seperti sin x dan cos x dapat didekati dengan
formula Euler,
e i x cos x i sin x (2.69)

Dari Pers. (2.69) terlihat bahwa bagian Real dari e i x adalah cos x dan
bagian Imajiner adalah sin x

Re(e i x ) cos x (2.123)


Im(e ) sin x
ix
(2.124)

Jadi, bila cos x atau sin x muncul dalam fungsi f (x), kita dapat
menggunakan metode invers operator untuk mendapatkan integral
partikulir.

Contoh 2.18.
Ulangi Contoh 2.14, tentukan penyelesaian partikulir dengan
menggunakan metode invers operator.

Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya

d 2 y dy
2 y 3 cos 2 x
dx 2 dx
Dengan menggunakan operator D bentuk integral partikulirnya
adalah

( D 2 D 2) y p 3 cos 2 x

1
y p Re 2 3e2 i x
D D2

3
y p Re e 2 i x
(2 i ) 2 i 2
2

3 6 2i 2 i x
y p Re e
6 2i 6 2i

18 6 i 2 i x
y p Re e
40

9 3i
y p Re (cos 2 x i sin 2 x)
20

9 9i 3i 3
y p Re cos 2 x sin 2 x cos 2 x sin 2 x
20 20 20 20

Dengan mengambil bagian Realnya saja maka penyelesaian


partikulirnya adalah

3
yp (sin 2 x 3 cos 2 x)
20

Bandingkan hasil ini dengan Pers. (2.88).


Pada umumnya metode invers operator ini tidak disarankan untuk
hasil kali fungsi seperti x cos bx, exp( x) cos x, dan lain-lain, karena
sulit dalam mengekspansi operator dalam bentuk deret.

2.4 Soal-Soal
2.1. Selesaikan persamaan eksak berikut ini:

(a) (1 e x y x e x y) dx ( x e 2 2) dy 0

(b) ( y e x sin y) dx (e x cos y x e y ) dy 0

2.2. Tentukan penyelesaian persamaan homogen berikut ini

dy y x x y
2 2 2
(a)
dx xy

dy x 2 3 y 2
(b)
dx 2x y

2.3. Selesaikan persamaan diferensial berikut ini

dy
(a) x 2 2x y y 3 0
dx

dy
(b) e2x 3y
dx

2.4. Tinjau suatu reaksi kimia order dua dengan reaksi sebagai
berikut:

P Q X
Anggap konsentrasi mula-mula P dan Q masing-masing adalah
p dan q, dan x(t ) adalah konsentrasi X pada waktu t. Laju
reaksinya adalah

dx
( p x)(q x)
dt

dengan adalah suatu konstanta.


(a) Jika x(0) 0, tentukan konsentrasi X pada waktu t.
(b) Bila p q dan x(0) 0, tentukan konsentrasi X pada
waktu t.

2.5. A holding tank designed to accept the effluent from a small


chemical plant operates such that the flow from the tank, q, is
proportional to h (q b h). The feed to the tank is intermittent,
but the flow rate is constant at 80 ft 3/sec when liquid does enter.
The cylindrical tank is 30 ft in diameter and 10 ft deep.
(a) Derive the mathematical description for this situation and
express h as a function of the inlet flow qf, b, t, the tank area
A, and the initial height of liquid h0.
(b) b is found experimentally to be equal to 8 ft 2/sec when the
tank drain valve is fully open. If the tank is initially empty
and the drain valve open, how long can the feed stream flow
into the tank before it overflows?
(c) If the flow rate of the feed stream is doubled, how long will
it take for an initially empty tank to overflow if the drain
valve is fully open?
(d) If the tank contains 8 ft of liquid when the drain valve is
opened, how long will it take for the level to reach 4 ft with
no liquid entering?
(Disadur dari Introduction to Chemical
Engineering Analysis by T. W. F. Russell
and M. M. Denn, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1972. Problem 4.4)
2.6. A tall, cylindrical tank is being filled, from an initially empty
state, by a constant inflow of q liters/sec of liquid. The flat tank
bottom has corroded and sustains a leak through a small hole of
area A0. If the cross-sectional area of the tank is denoted the by
A, and time-varying height of liquid is h(t ), then:
(a) find the dynamic relationship describing tank height, if the
volumetric leak rate obeys Torricellis law,
q0 A0 2 g h(t ) (g is gravitational acceleration).
(b) determine the relationship to predict the final steady-state
liquid height in the tank.
(c) define x x , separate variables and deduce the implicit
solution for h:
(d)
qA
t 2 ln
q 2 A h
q A 2gh A
A0 g 0 0 2g

(e) sketch the curve for h versus t, and compare with the case
for a nonleaking tank.
(Disadur dari Applied Mathematics and Modeling
for Chemical Engineers by R. G. Rice and
D. D. Do, John Wiley & sons, Inc., New York,
1995. Problem 2.12)

2.7. A tank contains 100 gal of brine with 50 lbm of dissolved salt.
Pure water runs into the tank at a rate of 2 gal/min, while the
effluent flows into a second tank which is initially empty at a
rate of 3 gal/min. The second tank is emptied at a constant rate
of 2 gal/min. Develop the mathematical description that would
enable you to compute the concentration of salt in the second
tank as a function of time. Solve the equation if you are familiar
with linear first-order differential equations.
(Disadur dari Introduction to Chemical
Engineering Analysis by T. W. F. Russell
and M. M. Denn, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1972. Problem 4.17)

2.8. The reversible set of reactions represented by

A k1 B k3 C
k2 k4
is carried out in a batch reactor under conditions of constant
volume and temperature. Only one mole of A is present initially,
and any time t the moles are NA, NB, NC. The net rate of
disappearance of A is given by

rA k1 C A k 2 C B
and for B, it is
rB k1 C A k 2 C B k3 C B k 4 CC

The net rate of production of C is given by

rC k 3 C B k 4 CC

(a) Show that the behavior of N A (t ) is described by the second


order ODE

d 2NA dN A
2
(k1 k 2 k 3 k 4 ) (k1k 3 k1k 4 k 2 k 4 ) N A k 2 k 4
dt dt

(b) One initial condition for the second order equation in part (a)
is N A (0) 1 ; what is the second necessary initial
condition?
(c) Find the complete solution for N A (t ) , using the conditions
in part (b) to evaluate the arbitrary constants of integration.
(Dsadur dari Applied Mathematics and Modeling
for Chemical Engineers by R. G. Rice and
D. D. Do, John Wiley & sons, Inc., New York,
1995. Problem 2.6*)

Anda mungkin juga menyukai