Anda di halaman 1dari 15

Patogenesis Stres menyebabkan gatal

Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-
hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses
modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup serta
kompetisi antar individu yang makin berat.[1]

Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi
secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995)
mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi
biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. [1]

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3
golongan yaitu: [1]

a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain.
b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan
lain-lain.
c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain.

Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia. Wheaton (1983) membedakan
stres akut dan kronik sedangkan Holmes dan Rahe (1967) menekankan pembagian pada
jumlah stres (total amount of change) yang dialami individu yang sangat berpengaruh
terhadap efek psikologiknya. Ross dan Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat,
bahwa bukan jumlah stres maupun beratnya stres yang mempunyai efek psikologik menonjol
akan tetapi apakah stres tersebut diinginkan atau tidak diinginkan (undesirable) yang
mempunyai potensi besar dalam menimbulkan efek psikologik. Stres baik ringan, sedang
maupun berat dapat menimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku.
[1]

Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang
terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf
otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan
keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai
organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan
neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary
Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-
Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti. [1]

Aksis limbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA) menerima berbagai input,


termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus
paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin
releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal
untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis
anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC
(propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses
biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan
kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor
penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan
energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap
stresor. [1]

Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun
kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan
glukokortikoid umumnya disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena
glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan
menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun
imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid gonadal). Karena rasio estrogen androgen
berubah maka stres menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding pria. Pada
penelitian binatang percobaan, stres menstimulasi respon imun pada betina tetapi justru
menghambat respon tersebut pada jantan. Suatu penelitian menggunakan 63 tikus
menunjukkan kadar testosteron serum meningkat bermakna dan berahi betina terhadap
pejantan menurun. [1]

Peningkatan stimulasi respon imun dapat meningkatkan sensitivitas respon imun. Hal
ini menyebabkan sistem imun akan bekerja secara berlebihan dan melepaskan mediator
inflamasi secara berlebihan pula. Mediator inflamasi klasik, antara lain prostaglandin,
bradikinin, leukotrien, serotonin, pH yang rendah dan substansi P, dapat mensensitisasi
nosiseptor secara kimiawi. Mediator inflamasi tersebut menurunkan ambang rangsang
reseptor terhadap mediator lain seperti histamin dan capsaicin, sebagai akibatnya terjadi
induksi rasa gatal. [2]
Aktivitas nosiseptor kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitisasi sentral
sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap rasa gatal. Terdapat dua tipe peningkatan
sensitivitas terhadap rasa gatal, salah satunya adalah aloknesis yang analog dengan alodinia
terhadap rangsang nyeri. Alodinia artinya rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan rasa nyeri oleh penderita dirasakan nyeri, sedangkan aloknesis
adalah rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa gatal
oleh penderita dirasakan gatal. Aloknesis sering dijumpai, bahkan pada penderita dermatitis
atopik aloknesis merupakan gejala utama. Aloknesis dapat menerangkan keluhan rasa gatal
yang berhubungan dengan berkeringat, perubahan suhu mendadak, serta memakai dan
melepas pakaian. Seperti halnya alodinia, fenomena ini memerlukan aktivitas sel saraf yang
terus berlangsung (ongoing activity). [2]

Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah kepala dan
badan di mana terdapat glandula sebasea1. Prevalensi dermatitis seboroik sebanyak 1% - 5%
populasi2. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita1. Penyakit ini dapat mengenai
bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3 bulan sedangkan
pada dewasa pada usia 30-60 tahun3.

Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa kanak-kanak.
Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakup semua umur
didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan 9,5% pada
anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin bertambah umur
anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini menderita
dermatitis seboroik ringan3.
Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk ringan
dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi4.
A. Definisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh
berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial5, didasari
oleh faktor konstitusi6.

B. Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam faktor
seperti faktor hormonal1, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik diduga
berhubungan dengan kondisi ini3. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik6.
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai bayi,
menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah pubertas3. Pada bayi
dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan
penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun5.
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan proliferasi
spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal3. Ragi genus ini dominan
dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid sebasea (misalnya
kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak menyebabkan
dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang berkaitan dengan depresi sel T,
meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen4.
Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi belum ada
yang menyatakan alasan kenapa hal ini bias terjadi3.
Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsies, major truncal
paralyses) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar disembuhkan.
Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita tersebut sebagai akibat
peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan. Peningkatan sebum dapat
menjadi tempat berkembangnya P. ovale sehingga menginduksi dermatitis seboroik1.
Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu, seperti
penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis seboroik
hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat mencapai 85%.
Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis seboroik (ataupun penyakit
inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum diketahui1.
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seborok. Obat-obat tersebut
adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin, ethionamide,
griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa, phenothiazines,
psoralens, stanozolol, thiothixene, and trioxsalen4.

C. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik


Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung kelenjar
sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya melibatkan
daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan jenggot. Adapun
lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external dan
daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai daerah
presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan
anogenital1.
Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada remaja dan dewasa
Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak ringan pada
kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada belakang telinga.
Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar sebasea
(misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra mamae), kadang-
kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik dapat ditemukan di
dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe pityriasiform (jarang). Bentuknya awalnya
kecil, papul-papul follikular dan perifollikular coklat kemerah-merahan dengan skuama
berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai bentuk daun bunga atau seperti
medali (medallion seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk makula dan
patch yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang menjadi erupsi3.
Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling
(ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan tidur3.
2. Pada bayi
Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada verteks kulit
kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana pada anak-
anak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan dicirikan oleh
oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau kuning. Gejala klinik
pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat setelah kelahiran. Dermatitis
dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering terlibat disertai dengan eksudat seperti
keju yang bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang dapat menjadi general. Dermatitis
seboroik general pada bayi dan anak-anak tidak umum terjadi, dan biasanya berhubungan
dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan defisiensi sistem imun yang menderita
dermatitis seboroik general sering disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiners disese).
Sehingga apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem imunnya3.

Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:


1.Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuning-kuningan
sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang disebut Pitriasis
Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan
sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe)5. Pasien mengeluhkan gatal di kulit
kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa gejala-gejala itu timbul dari kulit
kepala yang kering kemudian pasien menurunkan frekuensi pemakaian shampo, sehingga
menyebabkan akumulasi lebih lanjut. Inflamasi akhirnya terjadi dan kemudian gejala makin
memburuk1.
Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan rasa
gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi,
disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi disebut Cradle
cap 5.
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi terbakar pada wajah
yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang dengan kumis atau jenggot,
dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan
menjadi tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang dapat terjadi infeksi bakterial1.

2.Seboroik muka
Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula eritem,
yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Bila sampai
palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa didapati di daerah
berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada
laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot
disebut sikosis barbe5.
3.Seboroik badan dan sela-sela
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus, krural
(lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada permukaannya
ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa
berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo, kadang-
kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder5.

D. Diagnosis
1. Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/ dandruft. Walaupun
demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah
bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain8.
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas.
Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya tidak
disertai rasa gatal8.
Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta keras.
Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke kulit dahi,
belakang leher dan belakang telinga4.
Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis
lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental dapat
terjadi4.
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan
hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis4.
Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis. Pada
dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia follicular. AIDS
berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis, nekrotik keratinosites
dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites
dengan pengecatan khusus3.

E. Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan poplitae3.
Bayi dapat menderita dermatitis atopi predileksi terutama pada bagian tubuh tertentu
(misalnya kulit kepala, wajah, daerah sekitar popok, permukaan otot ekstensor) menyerupai
dermatitis seboroik. Akan tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary
patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal. Membedakannnya berdasarkan gejala
klinis karena kenaikan kadar immunoglobulin E pada dermatitis atopik tidak spesifik.
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohipa3.
3. Langenhan cell histiocytosis
Bayi jarang menderita Langenhan cell histiocytosis. Langenhan cell histiocytosis cirinya
seborrheic dermatitis-like eruptions pada kulit kepala disertai demam3.
4. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti mutiara
dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis5. Tanda lain dari
psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu membedakan3.

5. Pitiriasis rosasea
Pitiriaris rosasea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai dermatitis seboroik. Meskipun
rosasea cenderung melibatkan daerah sentral wajah tetapi dapat juga hanya pada dahi3. Pada
pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu panjang lesi sejajar dengan garis
kulit5.
6. Tinea
Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia kapitis dan
tine kruris eritem lebih menonjuo di pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan
tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat ditemukan hipa pada
pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida3.

F. Penatalaksanaan
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi (immunomodulatory),
keratolitik, anti jamur dan pengobatan alternatif3.
1.Obat anti inflamasi (immunomodulatory)
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan steroid
topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa shampo seperti
fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada kulit kepala atau
krim pada kulit7.
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang
pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan
kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek anti
inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan
berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama terhadap leukosit akan
efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis.
Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis
DNA berbagai jenis sel8.
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal satu atau dua
kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal potensi rendah
efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah lipatan atau dewasa pada
persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat dikombinasikan dengan
regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu)3. Akan tetapi penggunaan
kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit dimana dapat terjadi atrofi,
teleangiectasi dan dermatitis perioral7.
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim pimecrolimus
(Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi kutaneus. Inhibittor
calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat, tetapi efeknya baru bisa
dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu3.
2.Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik yang
secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan shampo zinc
pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti fungi, dapat diberikan
dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan rambutnya dengan shampo
tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit kepala. Pasien dapat
menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti wajah3.
3.Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis seboroik.
Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali sehari regimen
desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada wajah. Shampo yang
mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai. Shampo tersebut dapat
diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin
(Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan
flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti inflamasi juga3.
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical
terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik1.
4.Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan minyak
essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan baik jika
digunakan setiap hari sebagai shampo 5%3.

1.Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot


Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan
memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang
mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif lain
shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah
jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai
setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat dikendalikan
frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau seperlunya.
Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala1.
Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan dengan
memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan dibersihkan
dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam setelahnya1.
Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit kepala dan
kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari diikuti
dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan bersih,
kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali seminggu. Solusio
kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon
acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat
diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai
lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien
dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang
berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit1.
Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap. Dapat mengenai kulit kepala,
wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat sembuh secara
spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya dapat dengan
memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah luas pada kepala, skuama
dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat rambut bayi kemudian dibilas1.
2.Penatalaksanaan pada wajah
Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif untuk
seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali.
Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi
eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal untuk
dermatitis seboroik.
3.Penatalaksaan pada tubuh
Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau dengan dicuci
dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai krim ketokonazole 2
% dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1-2 kali sehari. Benzoil
peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh. Pasien harus membilas secara
menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut1.
4.Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat
Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi topikal yang
biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi pengecilan
glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum. Isotretinoin juga
dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1 0,3 mg/ kg BB/ hari
dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari
efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping serius, yaitu
teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis. Efek samping mukokutaneus
mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis dan kehilangan rambut. Penggunaan
jangka panjang berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal hyperostosis
(DISH) 1.
Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam kombinasi yang
berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid
topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek . Pilihan terapinya
mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate (Elocon) atau
menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II seperti clobetasol
propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai
lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat tersebut dapat
diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi harus dihentikan setelah
dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua
minggu, obat harus di stop sesegera mungkin1.
Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment.
Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream sering
digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering digunakan pada kulit
kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan
asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan yang lebih
baik1.
G. Saran
Penderita harus diberitahu bahwa penyakit berlangsung kronik dan sering kambuh. Harus
dihindari factor pencetus seperti stress emosional, makanan berlemak dan sebagainya5.

H. Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai factor konstitusi penyakit ini agak sukar
disembuhkan6.

DERMATITIS NUMULARIS
Dermatitis adalah peradangan pada kulit yang merupakan respon terhadap pengaruh
faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi
yang polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.
Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfk). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Dermatitis numular merupakan suatu peradangan dengan lesi yang menetap, dengan
keluhan gatal, yang ditandai dengan lesi berbentuk uang logam, sirkular atau lesi oval
berbatas tegas, umumnya ditemukan pada daerah tangan dan kaki. Lesi awal berupa papul
disertai vesikel yang biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing). Nama lain dari
dermatitis nummular adalah ekzem diskoid, ekzem numular, nummular eczematous
dermatitis. Terdapat beberapa klasifikasi dermatitis berdasarkan lokasi kelainan, penyebab,
usia, faktor konstitusi.

EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian dermatitis numular pada usia dewasa lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan wanita, onsetn puncaknya ya pada usia antara 55 dan 65 tahun. Pada wanita
onset puncaknya pada usia 15 25 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dibawah
usia 1 tahun, hanya sekitar 7 dari 466 anak yang menderita dermatitis numular dan
frekuensinya cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan umur.
ETIOLOGI

Penyebab dermatitis numularis sampai saat ini belum diketahui. Namun demikian
banyak faktor predisposisi, baik predisposisi primer maupun sebagai predisposisi sekunder
telah diketahui sebagai agen etiologi. Staphylokokkus dan mikrokokus diketahui sebagai
penyebab langsung melalui mekanisme hipersensitivitas. namun demikian, perannya secara
patologis belum juga diketahui. Dalam beberapa kasus, adanya tekanan emosional, trauma
lokal seperti gigitan serangga dan kontak dengan bahan kimia mungkin dapat mempengaruhi
timbulnya dermatitis numular, tetapi bukan merupakan penyebab utama. Penyakit ini
umumnya cenderung meningkat pada musim dingin, juga dihubungkan dengan kondisi kulit
yang kering dan frekuensi mandi yang sering dalam sehari akan memperburuk kondisi
penyakit ini.

PATOFISIOLOGI
Dermatitis numular merupakan suatu kondisi yang terbatas pada epidermis dan dermis
saja. Hanya sedikit diketahui patofisiologi dari penyakit ini, tetapi sering bersamaan dengan
kondisi kulit yang kering. Adanya fissura pada permukaan kulit yang kering dan gatal dapat
menyebabkan masuknya alergen dan mempengaruhi terjadinya peradangan pada kulit. Suatu
penelitian menunjukkan dermatitis numularis meningkat pada pasien dengan usia yang lebih
tua terutama yang sangat sensitif dengan bahan-bahan pencetus alergi. Barrier pada kulit
yang lemah pada kasus ini menyebabkan peningkatan untuk terjadinya dermatitis kontak
alergi oleh bahan-bahan yang mengandung metal. Karena pada dermatitis numular terdapat
sensasi gatal, telah dilakukan penelitian mengenai peran mast cell pada proses penyakit ini
dan ditemukan adanya peningkatan jumlah mast cell pada area lesi dibandingkan area yang
tidak mengalami lesi pada pasien yang menderita dermatitis numularis. Suatu penelitian juga
mengidentifikasi adanya peran neurogenik yang menyebabkan inflamasi pada dermatitis
numular dan dermatitis atopik dengan mencari hubungan antara mast cell dengan saraf
sensoris dan mengidentifikasi distribusi neuropeptida pada epidermis dan dermis dari pasien
dengan dermatitis numular. Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamin dan
mediator inflamasi lainnya dari mast cell yang kemudian berinteraksi dengan neural C-fibers
dapat menimbulkan gatal. Para peneliti juga mengemukakan bahwa kontak dermal antara
mast cell dan saraf, meningkat pada daerah lesi maupun non lesi pada penderita dermatitis
numular. Substansi P dan kalsitonin terikat rantai peptide meningkat pada daerah lesi
dibandingkan pada non lesi pada penderita dermatitis numular. Neuropeptida ini dapat
menstimulasi pelepasan sitokin lain sehingga memicu timbulnya inflamasi.

Penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya mast cell pada dermis dari pasien
dermatitis numular menurunkan aktivitas enzim chymase, mengakibatkan menurunnya
kemampuan menguraikan neuropeptida dan protein. Disregulasi ini dapat menyebabkan
menurunnya kemampuan enzim untuk menekan proses inflamasi.

GEJALA KLINIS
Gejala gejala yang umum pada dermatitis numularis, antara lain:
Timbul rasa gatal
Luka kulit yang antara lain makula, papul, vesikel, atau tambalan :
Bentuk numular (seperti koin).
Terutama pada tangan dan kaki.
Umumnya menyebar.
Lembab dengan permukaan yang keras.
Kulit bersisik atau ekskoriasi.
Kulit yang kemerahan atau inflamasi.

Secara umum, ada 3 bentuk klinis dermatitis nummular yang dapat dibedakan, yaitu;
1. Dermatitis numular pada tangan dan lengan.
Kelainannya terdapat pada punggung tangan serta di bagian sisi atau punggung jari-jari
tangan. Sering dijumpai sebagai plak tunggal yang terjadi pada sisi reaksi luka bakar, kimia
atau iritan. Lesi ini jarang meluas.
2. Dermatitis numular pada tungkai dan badan.
Bentuk ini merupakan bentuk yang lebih sering dijumpai. Pada sebagian kasus, kelainan
sering didahului oleh trauma lokal ataupun gigitan serangga. Umumnya kelainan bersifat
akut, persisten dan eksudatif. Dalam perkembangannya, kelainan dapat sangat edematous dan
berkrusta, cepat meluas disertai papul-papul dan vesikel yang tersebar. Pada Dermatitis
numular juga sering dijumpai penyembuhan pada bagian tengah lesi, tetapi secara klinis
berbeda dari bentuk lesi tinea. Pada kelainan ini bagian tepi lebih vesikuler dengan batas
relatif kurang tegas. Lesi permulaan biasanya timbul di tungkai bawah kemudian menyebar
ke kaki yang lain, lengan dan sering ke badan.

3. Dermatitis numular bentuk kering.


Bentuk ini jarang dijumpai dan berbeda dari dermatitis numular umumnya karena di sini
dijumpai lesi diskoid berskuama ringan dan multipel pada tungkai atas dan bawah serta
beberapa papul dan vesikel kecil di bagian tepinya di atas dasar eritematus pada telapak
tangan dan telapak kaki. Gatal minimal yang berbeda sekali dengan bentuk dermatitis
numular lainnya. Menetap bertahun-tahun dengan fluktuasi atau remisi yang sulit diobati.

Gambar 2 : Lesi yang khas berbentuk koin pada dermatitis numularis.

DIAGNOSIS

Dermatitis numular dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis dan gejala klinis.


Tingkat gatal dan terjadinya likenifikasi akan membedakannya dari neurodermatitis.
Distribusi lesi biasanya pada kedua lutut, kedua siku dan kulit kepala. Pada psoriasis, lesinya
kering, skuamanya lebih tebal dan iritasinya lebih ringan, patch test dan prick test akan
membantu mengidentifikasikan penderita dengan dermatitis kontak.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan laboratorium, tidak ada penemuan yang spesifik. Untuk


membedakannya dengan penyakit lain, seperti dermatitis karena kontak diperlukan patch test
dan prick test untuk mengidentifikasikan bahan kontak. Pemeriksaan KOH untuk
membedakan tinea dengan dermatitis numular yang mempunyai gambaran penyembuhan di
tengah. Jika ada kondisi lain yang sangat mirip dengan penyakit ini sehingga sulit untuk
menentukan diagnosisnya (contohnya pada tinea, psoriasis) dapat dilakukan biopsi.

Gambaran histopatologi yang ditemukan pada lesi akut adalah spongiosis, vesikel
intradermal, serbukan sel radang, limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah. Pada lesi
kronis ditemukan akantosis teratur, hipergranulosis, dan hyperkeratosis dan spongiosis
ringan.

I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari dermatitis numularis antara lain :

1. Dermatitis atopik
Merupakan peradangan kulit yang kronis dan residif, disertai gatal, umumnya terjadi pada
masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Umumnya pada pasien dengan lesi pada
tangan. Patch test dan prick test dapat membantu jika terdapat riwayat dermatitis atopik.

Gambar 2. Bentuk lesi dermatitis atopik persisten pada daerah telapak tangan dan daerah dada.

2. Dermatofitosis
Merupakan penyakit jamur yang menyerang kulit, yakni pada jaringan yang
mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut,
dan kuku yang disebabkan oleh dermatofita. Pada dermatosis dapat
terlihat sebagai tinea dengan pinggir aktif, bagian tengah agak menyembuh, tetapi secara
klinis berbeda dari bentuk lesi tinea. Pada dermatitis numularis bagian tepilebih vesikuler
dengan batas relatif kurang tegas dibandingkan tinea. Pada tinea, dapat dicari hifa dari
sediaan langsung untuk menegakkan diagnosis.

3. Pitiriasis rosea
Merupakan peradangan yang ringan dengan penyebab yang belum diketahui. Banyak diderita
oleh wanita yang berusia antara 15 dan 40 tahun terutama pada musim semi dan musim
gugur. Gambaran klinisnya bisa menyerupai dermatitis numular. Tetapi umumnya terdapat
sebuah lesi yang besar yang mendahului terjadinya lesi yang lain. Lesi tambahan cenderung
mengikuti garis kulit dengan distribusi pohon cemara dan biasanya disertai dengan rasa gatal
yang ringan. Lesi-lesi tunggal berwarna merah muda terang dengan skuama halus. Bisa juga
lebih eritematus. Pitiriasis rosea berakhir antara 3-8 minggu dengan penyembuhan spontan.
Bentuk lesi pada pitiriasis rosea dengan lesi awalnya lebih besar dan mengikuti garis kulit
yang berbentuk seperti pohon cemara.
4. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai
dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas, dengan skuama yang kasar, berlapis,
dan transparan. Disertai fenomena tetesan lilin, auspitz, dan koebner.
TATALAKSANA
Penatalaksanaa pada dermatitis disusahakan menemukan penyebab atau faktor yang
memprovokasi terjadinya dermatitis. Diantaranya:.
1. Melindungi kulit dari trauma.
Karena pada jenis ini biasanya berawal dari trauma kulit minor. Jika ada trauma pada tangan,
gunakan sarung tangan supaya tidak teriritasi.
2. Emollients.
Emollients merupakan pelembab. Digunakan untuk mengurangi kekeringan pada kulit.
Contoh emollients yang sering digunakan antara lain ; aqueous cream, gliserine dan
cetomacrogol cream, wool fat lotions.

Pengobatan topikal:
1. Obat Antiinflamasi.
Diberikan untuk menghilangkan peradangan pada kulit dan mengurangi iritasi kulit. Misalnya
dengan pemberian preparat ter, glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus. KS topikal
yang diberikan contohnya triamcinolone 0,025-0,1%.

Pengobatan Sistemik
1. Antibiotik
Untuk mengobati jika terjadi infeksi sekunder.
2. Antihistamin oral.
Digunakan untuk mengurangi gatal. Biasa digunakan antihistamin golongan H1, misalnya
hidroksisin HCl.
3. Steroid sistemik.
Digunakan untuk kasus-kasus dermatitis numular yang berat, hanya dierikan dalam jangka
waktu pendek, diberikan prednilson dengan dosis oral 40-60 mg 4 kali per hari dengan dosis
yang diturunkan secara perlahan-lahan. Hanya berguna dalam beberapa minggu, dermatitis
yang belum sembuh sempurna, dapat ditangani dengan pemberian krim steroid dan
emolilients.
PROGNOSIS
Pasien perlu untuk diberitahukan tentang perkembangan atau perjalanan penyakit dari
dermatitis numular yang cenderung sering berulang. Mencegah atau menghindari dari faktor-
faktor yang memperburuk atau meningkatkan frekuensi untuk cenderung berulang dengan
menggunakan pelembab pada kulit akan sangat membantu mencegah penyakit ini. Dari data
pengamatan, didapatkan 22% sembuh, 25% pernah sembuh beberapa minggu hingga tahun,
dan 53% tidak bebas lesi tanpa pengobatan.

Daftar Pustaka
1. Djuanda S, Sularsito SA. Dermatitis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin Clinical Dermatology.
Eleventh Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
3. Budimulja U. Mikosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
4. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.

Anda mungkin juga menyukai