Anda di halaman 1dari 19

SYOK NEUROGENIK PADA CEDERA MEDULLA SPINALIS

Ririt yuliarti taha, Andi hasnah suaib

I. Pendahuluan
Syok neurogenik disebabkan oleh gangguan SNS persarafan ke jantung
dan arteri dan pembuluh darah vena. SNS dan parasimpatis sistem saraf
bekerja untuk menyeimbangkan efek kardiovaskular secara fisiologis. pusat
kardiovaskular di otak mengirim eferen implus simpatik melalui sumsum
tulang belakang ke jantung dan pembuluh darah. Eferen impuls parasimpatis
juga berasal di otak tapi ditransmisikan ke sistem kardiovaskular melalui
saraf vagus (saraf kranial X) langsung ke jantung dan pembuluh darah. Ketika
aliran simpatis dihambat misalnya di dalam cedera tulang belakang, dominasi
parasimpatis terjadi, mengakibatkan vasodilatasi dan bradikardia. Dimana
terjadi gangguan pernapasan dan kardiovaskular yang menimbulkan gejala
tergantung pada tingkat cedera tulang belakang dan morbiditas pasien.1
Efek kardiovaskular dari cedera tulang belakang (SCI) dijelaskan dengan
baik. Hal ini diakui bahwa SCI dapat menyebabkan hipotensi karena
hilangnya tonus simpatis dan penurunan resistensi pembuluh darah perifer.
Bradikardia dapat terjadi akibat aktivitas vagal berlebih yang megakibatkan
terjadinya vasodilatasi menyeluruh didaerah spalangnikus sehingga aliran
darah ke otak berkurang. Bradikardia ini diperburuk oleh hipoksia dan
gaangguan endobronkial. Hipotensi dengan bradikardia disebabkan oleh
cedera tulang belakang diberi nama ''syok neurogenik''.2
Literatur menunjukkan bahwa tidak ada definisi yang pasti tentang syok
neurogenik tapi telah didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <100
mmHg dan denyut jantung <80 BPM pada pasien tanpa penyebab yang jelas
lainnya. Definisi lain terjadinya hipotensi pada SCI sebagai tekanan darah
sistolik <90 mmHg. Dalam studi lain, 23,6% dari 50 pasien dengan
quadriplegia lengkap memiliki hipotensi (BP <90 mm Hg).2

II. Anatomi Fisiologi Spinal Cord (Medula Spinalis)


Columna vertebralis membentuk sekitar 40% tinggi manusia, yang
seperempat diantaranya disebabkan oleh discus intervertebralis. Columna

1
vertebralis terdiri dari 24 vertebra prasakral (tujuh vertebra cervicalis, dua
belas vertebra troracalis, lima vertebra lumbalis) serta dua bagian sinostotik,
Os sacrum dan os coccyges. Vertebra thoracalis berhubungan dengan dua
belas pasang costae, sacrum berdensi dengan Ossa coxae. Pada posisi tegak,
gaya fisik meningkat dari kranial ke kaudal sepanjang columna vertebralis.3
Gambar 1. Columna vertebralis dilihat dari lateral dan dorsal.3

Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf

pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong


dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris.
Terbentang dibawah conus terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang
disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang
syaraf spinal: 8 pasang syaraf servikal, 12 Pasang saraf Torakal, 5 Pasang
saraf Lumbal, 5 Pasang saraf sakral, dan 1 pasang saraf koksigeal. Akar saraf
lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Saraf Spinal
dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan CSF. 4

Gambar 2. Nervus spinal pada vertebrae5

2
Gambar 3. Sistem nervus autonom5

Pada orang dewasa, medula spinalis lebih pendek daripada kolumna


spinalis. Medula spinalis berakhir kira-kira pada tingkat diskus
intervertebralis antara vertebra lumbalis pertama dan kedua. Sebelum usia 3
bulan, segmen medula spinalis, ditunjukkan oleh radiksnya, langsung
menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Setelah itu, kolumna tumbuh
lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada foramina
intervertebralis asalnya dan menjadi bertambah panjang ke arah akhir medula
(conus terminalis), akhirnya terletak pada tingkat vertebra lumbalis ke-2. Di
bawah tingkat ini, spasium subarakhnoid yang seperti kantong, hanya
mengandung radiks posterior dan anterior yang membentuk cauda equina.
Kadang-kadang, conus terminalis dapat mencapai sampai tingkat vertebra
lumbalis ke-3.4,6
Radiks dari segmen C1 sampai C7, meninggalkan kanalis spinalis melalui
foramina intervertebralis yang terletak pada sisi superior atau rostral setiap
vertebra. Karena bagian servikalis mempunyai satu segmen lebih daripada
vertebra servikalis, radiks segmen ke-8 meninggalkan kanalis melalui
foramina yang terletak antara vertebra servikalis ke-7 dan torasikus ke-1. Dari

3
sini ke bawah, radiks saraf meninggalkan kanalis melalui foramina yang lebih
bawah.4,6
Antara C4 dan T1, dan juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis
membesar. Intumesensia servikalis dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari
separuh bawah bagian servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi
ekstrimitas atas, dan yang dari regio lumbo-sakral membentuk pleksus
lumbosakralis, mempersarafi ekstrimitas bawah.4,6
Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap
pasang radiks bercabang menjadi saraf-saraf perifer yang berbeda; dengan
kata lain, setiap saraf perifer dibuat dari serat beberapa radiks segmental yang
berdekatan. Ke arah perifer dari saraf, serat saraf aferen berasal dari satu
radiks dorsalis yang bergabung dan mensuplai daerah segmen tertentu dari
kulit, disebut dermatom atau daerah dermatomik.4,6
Dermatom berjumlah sebanyak radiks segmental. Dermatom-dermatom
letaknya saling tumpang tindih satu sama lain, sehingga hilangnya satu radiks
saja sulit untuk dideteksi. Harus terjadi hilangnya beberapa radiks yang
berdekatan supaya dapat timbul hilangnya sensorik dari karakter segmental.
Dermatom berhubungan dengan berbagai segmen radiks medula spinalis,
sehingga mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat
ketinggian dari kerusakan medula spinalis.4,6
Fungsi dan Persarafan Otot Periferal dan Segmental
Fungsi Otot Saraf
I. Pleksus servikalis C1-C4
Saraf servikalis
Fleksi, ekstensi, rotasi, dan Mm. koli profundi (M. C1-C4
eksorotasi leher sternokleidomastoideus, M.
trapezius)
Pengangkatan dada atas, inspirasi Mm. skaleni C3-C5
Saraf frenikus
Inspirasi Diafragma C3-C5

II. Pleksus brakhialis C5-T1


Saraf torakalis
anterior
Aduksi dan endorotasi lengan, M. pektoralis mayor dan C5-T1
Menurunkan bahu ke dorsoventral minor
Saraf torakalis
longus
Fiksasi skapula selama M. seratus anterior C5-C7
mengangkat lengan

4
Saraf skapularis
dorsal
Elevasi dan aduksi skapula ke M. levator skapula, C4-C5
arah kolumna spinalis Mm. rhomboidei
Saraf
supraskapularis
Mengangkat dan eksorotasi M. supraspinatus, C4-C6
lengan,
Eksorotasi lengan pada sendi bahu M. infraspinatus C4-C6
Saraf torakalis
dorsal
Endorotasi sendi bahu; aduksi dari M. latissimus dorsi, C5-C8
ventral ke dorsal; M. teres major, (dari daerah
dorsal pleksus)
menurunkan lengan yang M. subskapularis
terangkat
Saraf aksilaris
Abduksi lengan ke garis M. deltoideus C5-C6
horizontal,
Eksorotasi lengan M. teres minor C4-C5
Saraf
muskulokutaneus
Fleksi lengan atas dan bawah dan M. biseps brakhii, C5-C6
supinasi lengan bawah,
Elevasi dan aduksi lengan, M. korakobrakhialis, C5-C7
Fleksi lengan bawah M. brakhialis C5-C6
Saraf medianus
Fleksi dan deviasi radial tangan, M. fleksor karpi radialis C5-C6

Pronasi lengan bawah, M. pronator teres C5-C6

Fleksi tangan, M. palmaris longus C7-T1

Fleksi jari II-V pada falangs M. fleksor digitorum C7-T1


tengah, superfisialis

Fleksi falangs distal ibu jari M. fleksor polisis longus C6-C8


tangan,

Fleksi falangs distal jari II dan III M. fleksor digitorum C7-T1


tangan, profundus (radial)
Abduksi metakarpal I, M. abduktor polisis brevis C7-T1
Fleksi falangs proksimal ibu jari M. fleksor polisis brevis C7-T1
tangan,
Oposisi metakarpal I M. oponens polisis brevis C6-C7
Saraf medianus
Fleksi falangs proksimal dan Mm. lumbrikalis C8-T1
ekstensi sendi lain, Jari II dan III tangan
Saraf ulnaris
Fleksi falangs proksimal dan Jari IV dan V tangan C8-T1
ekstensi sendi lain

5
Saraf ulnaris
Fleksi dan pembengkokan ke arah M. fleksor karpi ulnaris C7-T1
ulnar jari tangan,
Fleksi falangs proksimal jari M. fleksor digitorum C7-T1
tangan IV dan V, profundus (ulnar)
Aduksi metakarpal I, M. aduktor polisis C8-T1
Abduksi jari tangan V, M. abduktus digiti V C8-T1
Oposisi jari tangan V, M. oponens digiti V C7-T1

Saraf ulnaris
Fleksi jari V pada sendi M. fleksor digiti brevis V C7-T1
metakarpofalangeal,
Pembengkokan falangs proksimal, Mm. interosei palmaris dan C8-T1
meregangkan jari tangan III, IV, dorsalis
dan V pada sendi tangan dan distal Mm. lumbrikalis III dan IV
seperti juga gerakan membuka
dan menutup jari-jari
Saraf radialis
Ekstensi siku, M. biseps brakhii dan M. C6-C8
Fleksi siku, ankoneus C5-C6
Ekstensi siku dan abduksi radial M. brakhioradialis C6-C8
tangan, M. ekstensor karpi radialis
Ekstensi falangs proksimal jari II- M. ekstensor digitorum C6-C8
IV,
Ekstensi falangs proksimal jari V, M. ekstensor digiti V C6-C8
M. ekstensor karpi ulnaris C6-C8

Ekstensi dan deviasi ke arah ulnar M. supinator C5-C7


dari tangan,
Supinasi lengan bawah, M. abduktor polisis longus C6-C7
Abduksi metakarpal I: ekstensi M. ekstensor polisis brevis C7-C8
radial dari tangan,
Ekstensi ibu jari tangan pada M. ekstensor polisis longus C7-C8
falangs proksimal, M. ekstensor indisis proprius C6-C8
Ekstensi falangs distal ibu jari,
Ekstensi falangs proksimal jari II
N. toracis
Elevasi iga; ekspirasi; kompresi Mm. toracis dan abdominalis T1-L1
abdomen; anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
III. Pleksus lumbalis T12-L4
Saraf femoralis
Fleksi dan endorotasi pinggul, M. iliopsoas L1-L3
Fleksi dan endorotasi tungkai M. sartorius L2-L3
bawah,
Ekstensi tungkai bawah pada M. quadriseps femoris L2-L4
tungkai lutut
Saraf obturatorius
Aduksi paha M. pektineus L2-L3
M. aduktor longus L2-L3
M. aduktor brevis L2-L4
M. aduktor magnus L3-L4

6
M. grasilis L2-L4
Aduksi dan eksorotasi paha M. obturator eksternus L3-L4
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Saraf glutealis superior
Abduksi dan endorotasi paha, M. gluteus medius dan L4-S1
minimus
Fleksi tungkai atas pada pinggul; M. tensor fasia lata L4-L5
abduksi dan endorotasi,
Eksorotasi paha dan abduksi M. piriformis L5-S1
Saraf glutealis inferior
Ekstensi paha pada pinggul, M. gluteus maksimus L4-S2
M. obturator internus L5-S1
Eksorotasi paha Mm. gemeli
M. quadratus L4-S1
Saraf skiatikus
Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris L4-S2
M. semitendinosus L4-S1
M. semimembranosus L4-S1
Saraf peronealis
profunda
Dorsifleksi dan supinasi kaki, M. tibialis anterior L4-L5
M. ekstensor digitorum L4-S1
longus
Ekstensi kaki dan jari-jari kaki, M. ekstensor digitorum L4-S1
brevis
M. ekstensor halusis L4-S1
longus
Ekstensi jari kaki II-V, M. ekstensor halusis L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki brevis
Ekstensi ibu jari kaki

Saraf peronealis
superfisialis
Pengangkatan dan pronasi bagian Mm. peronei L5-S1
luar kaki
Saraf tibialis
Fleksi plantar dan kaki dalam M. gastroknemius L5-S2
supinasi, M. triseps surae
M. soleus
Supinasi dan fleksi plantar dari M. tibialis posterior L4-L5
kaki
Fleksi falangs distal jari kaki II-V M. fleksor digitorum L5-S2
(plantar fleksi kaki dalam longus
supinasi),

Fleksi falangs distal ibu jari kaki, M. fleksor halusis L5-S2


longus
M. fleksor digitorum S1-S3
brevis

Fleksi jari kaki II-V pada falangs Mm. plantaris pedis S1-S3
tengah,

7
Melebarkan, menutup, dan fleksi
falangs proksimal jari-jari kaki
Saraf pudendalis
Menutup sfingter kandung kemih Otot-otot perinealis dan S2-S4
dan rectum sfingter

III. Definisi
Cedera medulla spinalis atau spinal cord injury (SCI) didefinisikan sebagai
cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan
fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik,
sensoris, atau otonom.4

IV. Epidemiologi
Tingkat insiden di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per
1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru
per tahun. Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien
dengan cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika
Serikat.7
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia
rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun. Hampir seluruh pasien cedera
medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria : wanita yaitu
4:1) karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas,
kekerasan, jatuh dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti
diving). 7
V. Etiologi
Syok neurogenik yang paling sering dikaitkan dengan trauma tumpul atau
penetrasi. pasien yang telah menderita cedera kepala beresiko untuk
mengalami cedera leher. Jika sumsum tulang belakang transsaction telah
terjadi, maka defisit pasien akan permanen. Namun, potensi untuk pemulihan
terbatas atau lengkap adalah mungkin jika disfungsi parsial mengakibatkan
edema atau penurunan aliran darah ke sumsum tulang belakang dapat terjadi
kerusakan sel. 1

VI. Patofisiologi
Mekanisme cedera

8
Lokasi SCI berturut-turut dari paling umum, antara lain daerah servikal
(level C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme
cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera
medulla spinalis. Contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan
lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi
atau hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian
yang terjatuh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki
menumpu melibatkan daerah throracolumbar akibat fraktur kompresi atau
burst fracture, jatuh di tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan
hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong menumpu
tanah melibatkan daerah lumbal.6,8,9
Cedera pada medulia spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun
seringkali tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan
karena trauma yang dialami. Hal penting yang perlu diketahui adalah
walaupun derajat kerusakan kolumna vertabralis yang parah umumnya
menyebabkan cedera medulla spinalis yang serius, namun hubungan tersebut
tidak selalu terjadi.
Kerusakan minor dari kolumna vertabrallis umumnya tidak menyebabkan
defisit neurologis, namun tetap mungkin menyebabkan defisit neurologis
yang serius. Mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat secara
medulla spinalis, juga menentukan jenis cedera pada medulla spinalis, juga
menentukan jenis cedera pada kolumna vetabralis. Trauma dapat
menyebabkan cedera pada medulla spinalis melalui kompresi langsung dari
tulang, ligeman atau diskus, hematoma, gangguan perfusi dan atau traksi. .6,8,9
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertabrallis dapat
diklasifikasikan menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan disklokasi
murni (dengan frekuensi telatif 3:1:1). Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi
melalui mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertical dengan
anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi).
Pada cedera flekesi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya yang
diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami stres
maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas
akan terdorong ke bawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen pesterior

9
dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan
memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture).
Mekanisme cedera ini merupakan jenis yang paling sering pada daerah
servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinous dan
posterior longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak
stabil. Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan
dislokasi. Cedera medulla spinalis terjadi akibat kompresi ataau traksi dan
menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular. .6,8,9

Gambar 4. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada
interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul dan diskus intervertebralis posterior.

Gambar 5. Mekanisme cedera anterofleksi

Pada cedera hiperesktensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala


ekstensi (retrofleksi). Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan
prediksi) dari vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi
fraktur unilateral, bilateral, dan robekan dari ligamen anterior. Cedera

10
hiperekstensi dari medulla spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya
kerusakan vertebra atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera
medulla spinalis yang terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera
tersebut dapat terjadi akibat penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi

vertebra yang sementara karena robekan ligamen (ketika di x-ray atau CT-
scan alignment sudah kembali normal). Walaupun, penggunaan CT-scan dan
x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang
belakang (perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan
penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra dapat dilhat menggunakan MRI. .
6,8,9

Gambar 6. Mekanisme cedera hiperekstensi


Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera dengan
mekanisme ini, korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin
terjadi wedge compression fracture atau burst fracture dengan aspek posterior
dari korpus masuk ke dalam kanal spinalis. Wedge fracture umumnya stabil
karena ligamentum intak, namun apabila terjadi fragmen yang masuk ke
dalam kanal spinalis dan biasanya terdapat kerusakan lingukungan ligamen
sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat
terjadi tear drop fracture (digolongkan tidak stabil). .6,8,9

11
Gambar 7. Cedera kompresi

Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan


tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder. Terdapat 4 jenis
mekanisme cedera primer pada medulla spinalis, antara lain benturan dengan
kompresi persisten, benturan dengan kompresi sementara, distraksi, dan
laserasi/transection. Mekanisme cedera primer yang paling umum adalah
benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst
fracture dengan retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompesi
pada medulla spinalis, fraktur, dislokasi, dan ruptur diskus akut. .6,8,9
Mekanisme kedua yaitu benturan dengan kompresi sementara yang
contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan penyakit
degenerasi servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla
spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan
(dapat menyebabkan gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga.6,8,9
Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera
karena roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang
tajam, dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total
sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan
kerusakan pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia
alba (bagian perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia
kelabu dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan
adanya pembuluh darah yang lebih banyak. Cedera tersebut menyebabkan
kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal
pascratrauma sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan

12
iskemia dan hipoksia medulla spinalis. Kerusakan terjadi akibat dari
kebutuhan metabolisme yang tinggi dari medulla spinalis.6,8,9
Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami kerusakan (ruptur akson
dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu akibat adanya edema
pada daerah cedera. Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan
menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera sekunder.
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera
medulla spinalis. Mekanisme cedera sekunder meliputi syok neurogenik dan
gangguan vascular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi.6,8,9
Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya syok neurogenik.
Terdapat beberapa interpretasi dari definisi syok ini, namun dalam literatur
umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese
serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari
vasodilatasi dan vasokonstriksi pada arteriole dan vanules).6,8,9
Neurogenik syok merupakan akibat dari syok spinal yang merupakan
manifestasi dari cedera medulla spinalis. Syok neurogenik disebabkan karena
hilangnya tonus simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi
dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac output. Syok ini umunya
bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level T6 terjadi. Syok
spinal dan neurogenik merupakan kondisi sementara yang dapat bertahan
antara 48 jam sampai 6 minggu pascacedera. .6,8,9
Gambar 8. Patofisiologi dari syok neurogenik

VII.

Diagnosa
Fungsi saraf frenikus memungkinkan untuk persarafan ke diafragma untuk
bernafas berasal pada C3-C5. sebagai hasilnya, ketidakmampuan untuk

13
bernapas terjadi dengan cedera tulang belakang tingkat tinggi, mereka
memperluas ke tingkat tertinggi tulang leher. serat cardioaccelerator berasal
dari T1-T4. persarafan ke sejumlah besar pembuluh darah dimediasi melalui
T5-L1. Semakin tinggi cedera tulang belakang, yang lebih parah tanda-tanda
fisik dan gejala. hipotensi, bradikardia, dan vasodilatasi juga mengakibatkan
hipotermia adalah tanda-tanda kardinal berhubungan dengan syok
neurogenik. Diagnosis dapat dikonfirmasi setelah pemeriksaan fisik dan bukti
radiologis, termasuk radiografi, computed tomography, atau magnetic
resonance imaging. Presentasi klasik meliputi penilaian kelumpuhan, sakit,
posisi, parestesia, ptosis dan tanda-tanda lain yang terkait dengan syok
neurogenik.1

VIII. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan awal pada pra-rumah sakit umumnya yaitu prinsip
advance trauma life support yang mengutamakan survey primer ABCD
(Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-
tanda vital dan survey sekunder. Survey sekunder pada fase ini umumnya
hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis cedera medulla spinalis (nyeri
dileher atau punggung, nyeri tekan pada tulang belakang,
paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia, peningkatan temperature
dari kulit atai eritema).1,4,6,8,10,11
Diperkirakan sampai 25% dari cedera medulla spinalis mengalami
perburukan setelah trauma terjadi, baik ketika dalam perjalan ke rumah sakit
atau dalam penagan awal (4% diakibatkan karena tidak adanya tindakan
imobilisasi yang adekuat). Mobilisasi dengan perhatian khusus dan
penggunaan teknik tertentu sangan krusial pada pasien cedera medulla
spinalis karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral
(anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir
(sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board,
penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien
dengan minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi
tulang belakang agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Tindakan
imobilisasi terus dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami
cedera medulla spinalis. 1,4,6,8,10,11

14
Gambar 8. metode ABC

Gambar 9. Rigid Collar

Gambar 10. Metode Logroll

Survey primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda


vital yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali
menemukan pasien trauma, kemudian di susul dengan survey sekunder secara
cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk cedera medulla spinalis.
Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat mengalami respiratory
insufficiency akibat dari lesi cedera medulla spinalis yang tinggi (parese
nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan hipotensi
sehingga tatalaksana awal untuk mencengah kerusakan sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan
adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya untuk
memeberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk mempertahankan
jalan napas. Pada pasien cedera medulla spinalis yang tidak stabil

15
membutuhkan dokter atau paramedik yang berpengalaman dalam teknik
intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher karena
tindakan tersebut dapat memperparah cedera medulla spinalis dan
menyebabkan kematian. 1,4,6,8,10,11
Adanya penemuan dari tekanan sistolik <90 mmHg dan bradikardia (nadi
<60kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik. Syok neurogenik
diatasi dengan pemasangan dua IV line large bore (16-18 G), pemberian
cairan isotonis, penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk
meningkatkan nadi. 1,4,6,8,10,11
Prinsip awal saat di rumah sakit umumnya sama, yaitu ditindaklanjuti
sesuai penangan trauma (ATLS) yaitu survey primer dan sekunder. Hal yang
berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit adalah pada pemeriksaan
neurologis harus dilakukan secara lengkap ( apabila tanda-tanda vital ABC
sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan sesuai
International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury
revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis
awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan
ada tidaknya fase shok spinal. Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan
untuk melihat atau menyingkirkan kemungkina terjadinya. 1,4,6,8,10,11
Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi)
sekarang ini mengalami kontroversi. Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2
(National Actuce Spinal Cord Injury Study) menunjukan pemberian
metilprednisolon dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian
dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23 jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah
CMS tertutup meningkatkan prognosis neurologis pasien. Studi NASCIS 3
kemudian menambahkan bahwa terapi metilprednisolon yang dimulai dalam
3 jam setelah trauma harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang
dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus dilanjutkan selama 48 jam. 1,4,6,8,10,11
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS
adalah syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok
neuregonik terjadi pada lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis.
Hilangnya tonus tersebut menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang
menyebabkan hipotensi dan syok. Syok pada CMS harus dibedakan antara

16
hipovelemik dan neuregonik karena apabila pada syok neuregonik diberikan
terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema paru. 1,4,6,8,10,11
Tatalaksana syok neuregonik, antara lain pemberian cairan IV, vasopressor
dengan karakteristik alpha dan beta adrenergic (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatan nadi, dan hindari
hipotermia akibat vasodilasi. Mean Arterial Pressure (MAP) harus
ditergetkan diatas 70 mmhg, walaupun beberapa studi menunjukan MAP>85
mmhg memberikan prognosis yang lebih baik. 1,4,6,8,10,11

KESIMPULAN

17
a. Cedera medulla spinalis atau spinal cord injury (SCI) didefinisikan sebagai
cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan
fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik,
sensoris, atau otonom.
b. Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya syok neurogenik.
Neurogenik syok merupakan akibat dari syok spinal yang merupakan
manifestasi dari cedera medulla spinalis. Syok neurogenik disebabkan karena
hilangnya tonus simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi
dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac output.
c. Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-
rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun. Hampir seluruh pasien cedera
medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria : wanita yaitu
4:1) karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas,
kekerasan, jatuh dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti
diving)
d. Prinsip penanganan awal cedera medulla spinalis yaitu prinsip advance
trauma life support yang mengutamakan survey primer ABCD (Airway,
Breathing, Circulation, dan Disability).
e. Survey primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda
vital yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali
menemukan pasien trauma, kemudian di susul dengan survey sekunder secara
cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk cedera medulla spinalis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nagelhout, John J and Plaus, Karen L. Handbook of anesthesia: Neurogenic


shock. Fifth edition. Elsevier saunders. 2014. p. 24-25

18
2. Guly, HR., Bouamra, O., and Lecky FE. The incidence of neurogenic shock in
patients with isolated spinal cord injury in the emergency department.
Elsevier. 2008. p. 57-62
3. Paulsen, Friedrich dan Waschke, Jens. Atlas anatomi manusia: anatomi umum
dan sistem musculoskeletal. Edisi 23. Jakarta: EGC, 2012. hal 47
4. Bonner, Stephen and Smith, Caroline. Initial management of acute spinal cord
injury. Continuing education in anaesthesia, critical care & pain. 2013. 1-8
5. Netter, Frank H. Atlas of human anatomy. 6th edition.
6. Smith, Charles E. Trauma anesthesia. Second edition. Cambridge: United
kingdom. 2015. p. 394-408
7. Gondim, FAA. Spinal cord trauma and related diseases. Emedicine Medscape.
2015.
http://emedicine.medscape.com/article/II49070-overview#aOI99
8. Wilson, William C., Grande, Christopher M., and Hoyt, David B. Trauma
emergency resuscitation perioperative anesthesia surgical management.
Volume 1. New york, London: informa healthcare. p. 501-512
9. Cowie, Patrick and Andrews, Peter. The unstable cervical spine anaesthesia
tutorial of the week 292. Western general hospital. 9th September 2013. p. 1-6
10. Denton, Michelle and Mckinlay, Justin. Cervical cord injury and critical care.
Continuing education in anaesthesia, critical care & pain. Volume 9 number 3.
2009. p. 82-86
11. Wirasinghe, V., Grover, S., and Vizcaychipi, M. Anaesthetic management of
patients with acute spinal injury. The internet journal of anesthesiology. 2010.
Volume 30 number 1. p. 1-10

19

Anda mungkin juga menyukai