Anda di halaman 1dari 10

Khotbah Minggu 29 Juni 2014- Roma 6 : 12-23 Thema: Hiduplah dalam

Pembenaran, Pengudusan dan Kasih

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan


kedua poin kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di
pasal 6 ayat 1 s/d 11, mulai ayat 12 s/d 23, Paulus mulai
mengimplikasikan secara praktis di dalam hidup yang melawan dosa.
Setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya dan memperoleh hidup
baru di dalam kebangkitan-Nya, kita tidak boleh lagi hidup di dalam dosa.
Apa artinya ? Ada dua arti.
Pertama, tidak lagi hidup di dalam dosa berarti hidup kita tidak
ditundukkan di bawah dosa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, Sebab itu
hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana,
supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. Kata berkuasa dalam
KJV diterjemahkan reign yang dalam bahasa Yunani berkaitan dengan
kerajaan. Dengan kata lain, Paulus memakai metafora ketika ia mengajar
bahwa dosa di sini sebagai tuan manusia ketika manusia masih menjadi
hamba dosa. Ketika manusia masih menjadi hamba dosa, manusia itu
tetap manusia lama yang menjadikan dosa sebagai tuannya. Karena itu
Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga) untuk tidak menyerah kalah
terhadap kedagingan kita, melainkan kita harus berani menolak dosa.
Bagaimana caranya ? Paulus menjelaskan bahwa kita bisa menolak dosa
dengan tidak menuruti keinginan dosa.
Kedua, tidak hidup di dalam dosa berarti kita tidak menyerahkan anggota
tubuh kita sebagai alat dosa. Di ayat 13, Paulus mengajarkan hal ini, Dan
janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa
untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu
kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang
sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah
untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Kata menyerahkan berarti
ada unsur penyerahan aktif dari pribadi tertentu kepada pribadi lain.
Demikian pula, ketika ayat ini mengajarkan bahwa kita jangan
menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada dosa berarti kita tidak
boleh lagi secara aktif berperan serta di dalam dosa apalagi untuk sesuatu
yang lalim. Kata kelaliman dalam ayat ini bahasa Yunaninya adikia
berarti injustice (=ketidakadilan). Dengan kata lain, kita tidak boleh
menyerahkan tubuh kita untuk dipakai iblis dalam mengerjakan apapun
yang tidak adil atau jahat karena itu melawan Allah dan berdosa.
Mengapa kita bisa melakukan semuanya itu ? Paulus memberikan
jawabannya di ayat 14, Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa,
karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih
karunia. Yaitu, karena kita tidak dikuasai lagi oleh dosa, atau tidak
memerintah hidup kita, maka kita tidak hidup di dalam dosa.
Hari ini, setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, adakah hati kita
tergerak untuk tidak lagi hidup bermain-main di dalam dosa ? Adakah kita
berkomitmen untuk menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari
Firman Allah dan Kebenarannya ? Itulah citra diri manusia baru yang telah
ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia
Rasul Paulus mengatakan, Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan
menjadi hamba kebenaransebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas
dari kebenaranTetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa
dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang
membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah
hidup yang kekal (Rm. 6:18, 20, 22). Di sini rasul Paulus sedang berbicara
tentang perubahan status dari orang-orang yang menerima dan percaya
kepada Yesus Kristus, yaitu mereka yang tadinya adalah hamba dosa
sekarang menjadi hamba kebenaran. Berdasarkan ayat-ayat ini, menjadi
hamba kebenaran berarti menjadi hamba Allah. Apa istimewanya
menjadi hamba Allah? Kita membaca di sini bahwa dengan menjadi
hamba Allah akan menghasilkan buah berupa pengudusan, dan dari
pengudusan akhirnya kepada hidup yang kekal. Sedangkan hamba dosa
telah menyebabkan kemerosotan (Rm. 3:23) dan berujung kepada
kebinasaan (Rm. 6:23).
Dalam Perjanjian Baru penebusan selalu dikaitkan dengan kata hamba
(=budak) dan kebebasan (=kemerdekaan). Ketiga kata ini merupakan
kata-kata kunci dalam konsep keselamatan menurut teologi Kristen
sebagaimana diperkenalkan oleh Paulus dan rasul-rasul lainnya di abad
pertama. Perlu diingat, teologi Kristen yang diajarkan Yesus Kristus dan
disebarluaskan oleh murid-murid dan rasul-rasul lainnya itu diperkenalkan
tatkala perbudakan sedang marak-maraknya. Istilah-istilah yang lazim
dalam dunia perbudakan itu digunakan sebagai metafora dalam rangka
menyajikan rencana keselamatan Allah dan pelaksanaannya secara lebih
mudah untuk dipahami oleh masyarakat pada masa itu. Orang berdosa itu
sama seperti seorang hamba atau budak yang sedang berada di tangan
majikan yang menguasainya, dan untuk memerdekakannya harus dengan
tebusan.
Bila kita memahami penebusan sebagai kemerdekaan dari suatu bentuk
perbudakan yang menuntut bantuan dari luar, kita bisa menyimpulkan
bahwa umat manusia yang berdosa itu terikat oleh suatu kuasa atau
pengaruh yang lebih kuat daripada dirinya. Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah: Oleh kuasa atau perantara apakah umat manusia yang berdosa
itu telah begitu terikat? [alinea pertama].
Zaman perbudakan adalah masa di mana kemanusiaan berada di titik
nadir, keadaan terendah dalam peradaban, tatkala manusia diperlakukan
seperti benda atau barang dagangan yang diperjual-belikan. Perbudakan
memiliki sejarah terpanjang dalam hikayat manusia, di mana menurut
catatan perbudakan telah dikenal sejak zaman Hamurabi sehingga hal itu
termaktub dalam Code of Hammurabi (1760 SM); perbudakan baru
berakhir secara resmi tahun 1981 ketika Mauritania, sebuah negara bekas
jajahan Prancis di Afrika Barat, mengumumkan pemberlakuan UU Abolisi
Perbudakan dan menjadikannya sebagai negara terakhir di dunia yang
melarang perbudakan.
Dalam Roma 6:12-23, ini rasul Paulus juga mengingatkan bahwa sebagai
orang-orang yang sudah ditebus dari perhambaan dosa kita tidak lagi
menjadi hamba dosa tetapi sudah menjadi hamba kebenaran.
Penggunaan kata hamba di sini untuk mempertahankan pemahaman
tentang makna kepatuhan, yang semula tunduk kepada keinginan
dosa sekarang tunduk kepada tuntutan kebenaran. Kalau tadinya sebagai
hamba dosa telah menimbulkan kecemaran yang akan berakhir dalam
kebinasaan, sekarang sebagai hamba kebenaran membuahkan kekudusan
yang berujung kepada hidup kekal.
Peralihan dari hamba dosa kepada hamba kebenaran (=hamba Allah)
adalah sebuah pengalaman sangat istimewa yang momentumnya perlu
terus dipelihara, agar seseorang yang semula diperhamba oleh dosa
menyadari akan kemerdekaannya sehingga tidak selalu merasa
dikendalikan oleh kuasa dosa. Sebaliknya, menjadi hamba kebenaran
adalah memiliki kebebasan untuk melakukan hal-hal yang benar tanpa
dihalang-halangi lagi oleh kuasa dosa yang sudah tak berdaya lagi.
Namun, seringkali kebiasaan hidup berdosa yang sudah mendarah-daging
itu masih terbawa terus walaupun kita sekarang sudah menjadi hamba
Allah. Seperti mantan narapidana yang baru dibebaskan setelah bertahun-
tahun meringkuk di balik jeruji besi, acapkali agak sukar baginya untuk
bisa langsung berperilaku sebagai orang merdeka. Sehingga rasul Paulus
mengingatkan, Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam
tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. Dan
janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa
untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu
kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang
hidup.
Apa yang kita pelajari tentang dimerdekakan dari perbudakan
dosa?
1. Kemerdekaan dari perbudakan dosa adalah keadaan di mana manusia
tidak lagi terikat pada keinginan alamiah untuk berbuat dosa.
Sebagaimana seorang budak yang dibebaskan dari perbudakan memiliki
kesempatan untuk menikmati hidup yang lebih bermartabat, demikianlah
seorang hamba dosa yang sudah dimerdekakan itu beroleh kesempatan
untuk hidup lebih suci/Kudus.
2. Dimerdekakan dari perhambaan dosa bukanlah atas kekuatan kita
sendiri melainkan itu adalah karunia Tuhan. Status baru ini memberi suatu
kesempatan kepada kita untuk hidup terlepas dari kekangan dosa, dan
untuk melakukan kebenaran sehingga kita disebut sebagai hamba
kebenaran.
3. Meskipun Allah telah menyediakan kemerdekaan dari perhambaan dosa
bagi setiap orang, namun pilihan tetap berada pada diri orang itu sendiri.
Tidak seperti perbudakan fisik yang berasal dari kehendak di luar diri
orang yang dijadikan budak itu, perhambaan dosa berpangkal di dalam
diri orang yang menjadi hamba dosa itu sendiri. Jika kita benar2
mengasihi Kristus yang telah melahirkan kita kembali melalui KasihNya,
kita tidak akan melakukan dosa lagi.
Amen
Implikasi Perbedaan Esensial-4 :
Hidup Bagi Allah (bukan bagi dosa)
oleh: Denny Teguh Sutandio

Nats : Roma 6:12-14.

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin
kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 11,
mulai ayat 12 s/d 14, Paulus mulai mengimplikasikan secara praktis di dalam hidup
yang melawan dosa.

Setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya dan memperoleh hidup baru di


dalam kebangkitan-Nya, kita tidak boleh lagi hidup di dalam dosa. Apa artinya ?
Ada dua arti.
Pertama, tidak lagi hidup di dalam dosa berarti hidup kita tidak ditundukkan di
bawah dosa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, Sebab itu hendaklah dosa jangan
berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti
keinginannya. Kata berkuasa dalam KJV diterjemahkan reign yang dalam
bahasa Yunani berkaitan dengan kerajaan. Dengan kata lain, Paulus memakai
metafora ketika ia mengajar bahwa dosa di sini sebagai tuan manusia ketika
manusia masih menjadi hamba dosa. Ketika manusia masih menjadi hamba dosa,
manusia itu tetap manusia lama yang menjadikan dosa sebagai tuannya. Kok bisa ?
Bukankah di abad postmodern ini kita banyak mendengar bahwa semua manusia
yang beragama pasti masuk surga ? Bukankah mereka juga mengajarkan bahwa
semua agama itu berTuhan ? Benarkah demikian ? Kalau semua agama
menyembah Allah, di Roma 3:10-11, Allah tak perlu mengatakan bahwa semua
manusia berdosa dan tak ada yang mencari Allah. Di sini, kita melihat bahwa
meskipun agama mengandung sedikit unsur baik, Alkitab tetap mengajar prinsip
penting bahwa manusia sebelum menerima Kristus tetap adalah manusia lama yang
mentuankan dosa (meskipun di bibir, mereka menyembah Allah). Ini
membuktikan kelicikan dosa yang terselubung. Dosa jangan dimengerti secara
fenomena, tetapi harus dimengerti secara esensi, yaitu meleset dari sasaran Allah
(Yunani : hamartia). Kata inilah yang dipakai di dalam ayat ini. Sebagai manusia
baru, kita dituntut Allah melalui Paulus untuk tidak mentuankan dosa. Artinya, kita
tidak lagi tunduk di bawah pemerintahan dosa, meskipun kita tetap hidup di dalam
tubuh yang fana. Pernyataan tubuhmu yang fana dalam ayat ini sungguh
menarik. Mengapa ? Karena tubuh yang fana menunjukkan adanya kelemahan di
dalam tubuh jasmani manusia. Tetapi Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga)
untuk tidak menyerah kalah terhadap kedagingan kita, melainkan kita harus berani
menolak dosa. Bagaimana caranya ? Paulus menjelaskan bahwa kita bisa menolak
dosa dengan tidak menuruti keinginan dosa. Sungguh menarik, Paulus mengaitkan
konsep dosa dengan keinginannya (KJV : lust) yang termasuk bagian dari dosa.
Konsep ini sebenarnya diambil dari Tuhan Yesus yang mengajarkan bahwa ketika
kita melihat seorang wanita dan mengingininya, itu sudah dianggap berzinah/dosa.
(Matius 5:28, Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya,
sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.) Di sini, konsep kekudusan yang
Tuhan Yesus ajarkan melampaui apa yang Taurat ajarkan (Matius 5:27).
Melampaui di sini tidak berarti Taurat tidak mengajarkannya, tetapi Tuhan Yesus
memberikan arti yang sebenarnya dari Taurat, karena selama itu, Taurat sudah
diselewengkan oleh orang-orang Farisi. Kembali, dosa bukan sekedar membunuh,
mencuri, dll, tetapi dosa lebih mengarah ke dalam hati. Ketika hati dan motivasi
kita tidak beres, di saat itulah kita berdosa. Mengapa ? Karena Tuhan lebih
menyelidiki hati kita, bukan penampilan kita. Tuhan tak pernah tertipu oleh
penampilan luar kita yang mungkin sangat kelihatan alim/religius di mata orang
lain ! Tuhan lebih melihat hati kita, karena di situlah terpancar segala sesuatu.
Sehingga, Paulus mengajarkan bahwa kita bisa menolak dosa dengan tidak
menuruti keinginannya. Kata menuruti dalam bahasa Yunani hupakouo bisa
berarti listen attentively (mendengar dengan penuh perhatian). Dengan kata lain,
kita tidak menuruti keinginan dosa identik dengan kita tidak mendengarnya atau
memperhatikannya dengan seksama. Atau yang lebih sederhana lagi, sebagai
manusia baru, kita tidak menjadikan dosa sebagai kesukaan/favorit kita.
Bagaimana dengan kita ? Apakah dosa menjadi kegemaran/favorit kita sehari-hari
sehingga tanpanya, kita seakan-akan tak bisa hidup ? Bagaimana cara mengujinya ?
Ketika kita mulai gemar terhadap dosa, tandanya adalah kita diberhalakan oleh
sesuatu. Misalnya, di dalam gereja, meskipun sudah diperingatkan berulang kali
untuk menonaktifkan HP (bahkan sebelum khotbah dimulai), kita seringkali tidak
menjalankannya, dengan beribu alasan, yaitu lupa, ada hal penting (lebih
penting daripada mendengar dan merenungkan Firman Tuhan), dll. Padahal,
secara tidak langsung, kita sedang memberhalakan HP, sehingga tanpanya kita
seolah-olah tak dapat hidup. Di saat itu pula lah kita gemar terhadap dosa, karena
kita lebih mementingkan HP kita ketimbang mendengar dan merenungkan Firman
Tuhan di dalam gereja.

Kedua, tidak hidup di dalam dosa berarti kita tidak menyerahkan anggota tubuh
kita sebagai alat dosa. Di ayat 13, Paulus mengajarkan hal ini, Dan janganlah
kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai
senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang,
yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota
tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Kata
menyerahkan berarti ada unsur penyerahan aktif dari pribadi tertentu kepada
pribadi lain. Demikian pula, ketika ayat ini mengajarkan bahwa kita jangan
menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada dosa berarti kita tidak boleh lagi
secara aktif berperan serta di dalam dosa apalagi untuk sesuatu yang lalim. Kata
kelaliman dalam ayat ini bahasa Yunaninya adikia berarti injustice
(=ketidakadilan). Dengan kata lain, kita tidak boleh menyerahkan tubuh kita untuk
dipakai iblis dalam mengerjakan apapun yang tidak adil atau jahat karena itu
melawan Allah dan berdosa. Lalu, bagaimana selanjutnya ? Apakah kita pasif ?
TIDAK. Alkitab melanjutkan bahwa kita bukan pasif, tetapi aktif yaitu menyerahkan
diri kita kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati tetapi sekarang hidup.
Dengan kata lain, kita mau menghambakan diri kita kepada Allah dan ketika kita
menjadi hamba Allah, kita disebut hidup dari kematian (KJV : alive from the dead).
Sungguh menarik, banyak orang dunia mengatakan bahwa menjadi orang Kristen
itu sulit, karena mau apa saja dilarang, sembahyang di depan peti orang meninggal
tidak boleh, dll. Benarkah demikian ? TIDAK. Alkitab justru mengatakan bahwa
ketika kita tunduk di bawah Allah, kita benar-benar hidup, sedangkan ketika kita
tidak tunduk kepada Allah, tetapi tunduk kepada dosa, kita mati (meskipun
hidup secara fisik). Bagaimana dengan kita ? Sudahkah kita tunduk kepada Allah ?
Ketika kita tunduk kepada Allah, ada berkat tersendiri yang disediakan-Nya bagi
kita. Apakah itu berkat jasmani ? TIDAK SELALU. Yang terpenting bahwa kita tunduk
kepada Allah, maka Allah akan memberkati dan memimpin langkah hidup kita ke
jalan-Nya yang terindah. Bagaimana cara kita menyerahkan tubuh kita bagi Allah ?
Caranya menyerahkannya untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Kata
kebenaran di sini identik dengan keadilan (Yunani : dikaiosune). Sehingga dengan
demikian berarti kita secara aktif menyerahkan tubuh kita untuk menjadi senjata-
senjata yang memperjuangkan dan berjuang bagi keadilan Allah. Sama seperti yang
diajarkan Paulus nantinya di Roma 12:1, Karena itu, saudara-saudara, demi
kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan
tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada
Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati., kita dituntut untuk secara aktif
mempersembahkan tubuh kita bagi Allah sebagai wujud dari ibadah yang sejati
(KJV : reasonable = layak/pantas). Bagaimana dengan kita ? Sudahkah kita menjadi
senjata-senjata keadilan Allah yang berperang bagi zaman untuk membawa zaman
kita kembali kepada Kristus ? Dengan menjadi senjata-senjata keadilan Allah, kita
sebenarnya beribadah kepada-Nya dengan layak/pantas. Banyak orang Kristen
mengaku diri beribadah, tetapi cara berpikir, hati, perkataan dan sikapnya masih
menyerupai manusia lama yaitu suka berdosa. Itukah beribadah ? Marilah kita
belajar melalui ayat ini yaitu untuk menjadi senjata-senjata keadilan Allah dengan
aktif mempersembahkan tubuh dan tentunya hidup kita bagi Allah demi kemuliaan-
Nya. Kita bisa melakukan hal ini karena kita adalah hamba dan Allah sebagai
Pemilik hidup kita. Itulah artinya men-Tuhan-kan Kristus dan menghambakan diri
manusia.

Mengapa kita bisa melakukan semuanya itu ? Paulus memberikan jawabannya di


ayat 14, Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak
berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia. Yaitu, karena kita
tidak dikuasai lagi oleh dosa, atau tidak memerintah hidup kita, maka kita tidak
hidup di dalam dosa. Dengan kata lain, saya mengulanginya, yaitu, ketika kita
hidup di dalam dosa, maka dosa itu memerintah/berkuasa di dalam hidup kita dan
kita akan menjadi hamba dosa. Tetapi ketika tidak dikuasai lagi oleh dosa oleh
karena Kristus telah menebus dan mengalahkan kuasa dosa dan maut, maka kita
pun tidak boleh lagi hidup di dalam dosa. Mengapa kita tidak dikuasai oleh dosa ?
Paulus menjelaskan selanjutnya bahwa karena kita tidak berada di bawah hukum
Taurat, tetapi di bawah kasih karunia/anugerah (KJV : grace). Apakah hukum
Taurat menyiksa dan membuat seseorang berdosa ? TIDAK. Melalui perenungan
ayat-ayat sebelumnya, kita sudah banyak belajar bahwa Taurat menjadi perintah
Tuhan bagi manusia yang sebenarnya memimpin hidup manusia sekaligus sebagai
cermin bahwa manusia itu berdosa dan tak mampu melakukan semua tuntutan
Taurat secara sempurna. Tetapi karena kebebalan manusia dan penyelewengan dari
orang-orang Farisi, maka banyak orang Israel/Yahudi menjadi gila Taurat tetapi tak
mengerti esensi penting dari Taurat yaitu kasih kepada Allah, sesama dan diri
(Matius 22:37-40). Sehingga ketika orang-orang Yahudi menaati Taurat, mereka
sebenarnya sedang berdosa karena mereka melupakan esensi Taurat. Ketika Tuhan
Yesus datang, Ia membongkar total konsep mereka yang salah tentang Taurat dan
mengartikan kembali Taurat yang sesungguhnya yang sudah lama diselewengkan.
Bagaimana dengan orang Kristen ? Perlukah mereka menjalankan Taurat ? Banyak
orang Kristen menganggapnya TIDAK PERLU, karena kita sudah ditebus dari kutuk
hukum Taurat. Anggapan ini separuh benar, tetapi selebihnya salah, mengapa ?
Karena meskipun kita telah ditebus dari kutuk hukum Taurat melalui penebusan
Kristus, Taurat tetap berfungsi untuk memimpin langkah hidup kita, misalnya :
jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan berzinah, hormati
orang tua, dll. Tetapi bedanya ketika orang Kristen melakukan Taurat, Paulus
berkata bahwa kita melakukannya di bawah kasih karunia yang tak membelenggu,
tetapi sebagai respon ucapan syukur karena kita telah diselamatkan oleh Kristus.
Sedangkan, orang-orang Yahudi yang tak mengerti (sampai sekarang) masih
menjalankan Taurat secara ketat tanpa mengerti esensinya, sehingga mereka
kelihatan beragama, tetapi sebenarnya mereka berdosa, karena mereka melupakan
esensi Taurat, sehingga mereka menjalankannya dengan belenggu yang mengikat
supaya mereka diselamatkan/masuk Surga/diperkenan Allah. Tidak seperti orang-
orang Yahudi yang telah salah menafsirkan Taurat, maukah kita hari ini
menjalankan perintah-perintah Allah di dalam Taurat dengan penuh kerelaan hati
dan kebebasan karena Kristus telah mengerjakannya bagi kita ? Justru karena
Kristus telah memenuhi dan membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat, kita bisa
dengan bebas yang bertanggungjawab melakukan Taurat tanpa adanya ikatan yang
membelenggu sama seperti kita yang sudah diberi sesuatu oleh orang lain, kita
akan berterimakasih dan mungkin akan memikirkan cara bagaimana membalas
kebaikan orang lain itu.

Hari ini, setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, adakah hati kita tergerak untuk
tidak lagi hidup bermain-main di dalam dosa ? Adakah kita berkomitmen untuk
menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari Firman Allah dan Kebenarannya ?
Itulah citra diri manusia baru yang telah ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia. Soli
Deo Gloria. Amin.

Posted by Denny Teguh Sutandio at 9:23 AM


Labels: Eksposisi Alkitab (Surat Roma) oleh Denny Teguh S.

GOD SAID...
Dontt look to the bigness of your need
Look to the bigness of your GOD!
Your circumstances are hindrances to seeing MY ABILITIES
If you keep your eyes on your circumstances,
the devil will use your circumstances to defeat you
and accuse the Word of GOD...
the written and the Living Word.
YOUR VICTORY
is in keeping your eyes
on the bigness of your GOD and His ability
HE HAS PROMISED
to take you STEP by STEP... not all at once...
But step...by step and...
each step will be a MIRACLE!
-Morris Cerullo World Evangelism-
Roma 6:15-23 (Kamis, 26)

Dalam renungan kemarin kita telah mempelajari bahwa kasih karunia Allah
melalui Yesus Kristus telah menjamin kemenangan kita. Karenanya, kasih karunia
itu menjadi sumber pengharapan dan pendorong semangat kita untuk lebih
sungguh-sungguh melawan dosa. Namun, seperti dikuatirkan oleh Paulus di ayat
15, kasih karunia itu bisa disalahpahami atau bahkan disalahgunakan oleh
orang-orang Kristen. Mereka yang tahu bahwa dirinya telah bebas dari hukum
Taurat dapat beranggapan bahwa perintah dan larangan hukum Taurat tidak
perlu lagi dilaksanakan. Sebaliknya, kasih karunia yang diberikan Kristus bisa
membuat mereka merasa aman sehingga boleh tetap berbuat dosa. Bolehkah
kita berpikir demikian? Sekali-kali tidak!

1. Ay. 16-18. Sambil menegaskan kembali status kita yang baru, Paulus
memberikan penjelasannya dengan menggunakan ilustrasi hubungan
antara hamba dan tuannya. Status baru apakah yang kita miliki? (ay.18)
Apa hubungan status baru tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari?
(ay.16-17)

2. Ay. 19-23. Apa yang akan kita dapatkan bila menyerahkan diri sebagai
hamba dosa? Apa yang akan kita dapatkan bila menyerahkan diri sebagai
hamba kebenaran?

3. Sebagian orang Kristen memilih bersikap mendua, menjadi hamba Allah


sekaligus menjadi hamba dosa. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal
ini? Bagaimana bacaan hari ini berbicara mengenai hal tersebut?

Renungan
Orang-orang Kristen sering lupa atau bahkan tidak peduli dengan status barunya sebagai
hamba kebenaran. Padahal kesadaran mengenai status baru ini sangat mempengaruhi sikap
dan arah hidup kita. Menyadari status baru itu berarti menyadari siapa tuan kita yang
sesungguhnya. Seorang hamba menyerahkan diri kepada tuannya, menggunakan hidupnya
untuk tuannya, mengikuti pimpinan tuannya, dan melakukan apa yang diajarkan oleh
tuannya. Mereka yang menjadi hamba dosa mengunakan hidupnya untuk dosa dan terus-
menerus belajar berbuat dosa. Orang-orang Kristen yang telah menjadi hamba kebenaran
harus menggunakan hidupnya untuk kebenaran dan mentaati pengajaran kebenaran.
Entah mengapa kita lebih suka menyerahkan diri menjadi hamba dosa. Padahal, kita tahu dan
mungkin pernah mengalami, bahwa menyerahkan diri menjadi hamba dosa berarti
menyengsarakan diri sendiri: membawa kepada kedurhakaan, membuat kita merasa malu,
dan berujung pada kematian. Sebaliknya, kita juga tahu, bahwa menyerahkan diri sebagai
hamba kebenaran akan membawa kita pada pengudusan, merdeka dari dosa, dan berujung
pada hidup yang kekal. Pilihan bagi kita? Memang. Allah telah memilih Anda. Sekarang,
apakah Anda juga memilih Dia?
Hal penting yang juga terungkap dari perikop ini adalah bahwa kita tidak bisa bersikap
mendua. Tidak ada pilihan untuk bersikap netral. Juga, Anda tidak bisa bersikap pasif. Anda
harus memilih siapa tuan Anda. Anda harus memutuskan kepada siapa Anda akan
menyerahkan diri Anda, kepada Allah atau kepada dosa. Jika Anda mengenal kasih karunia-
Nya, Anda tentu tahu kepada siapa Anda harus menyerahkan diri. (TW)

Meremehkan kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus adalah dosa paling serius dalam
kehidupan umat kristiani masa kini.

Renungan Warta, 26 Juni 2011

diposkan pada tanggal 7 Jul 2011 11.20 oleh Essy Eisen [ diperbarui7 Jul 2011
11.26 ]

Menjadi Milik Kristus untuk Menyambut & Menyuarakan Suara


Kenabian

Yeremia 28:5-9, Mazmur 89:2-5; 16-19, Roma 6:12-23, Matius 10:40-42

Dalam banyak kisah di Kitab Suci kita, Para Nabi dipanggil dan diutus Allah untuk
memberitakan peringatan-peringatan kepada Raja-Raja, Imam-Imam, dan
seluruh umat Allah jikalau mereka menjalankan kehidupan yang tidak berkenan
kepada Allah. Tidak sedikit berita atau suara kenabian itu tegas dan pedas,
masuk kepada inti masalah umat. Biasanya juga teguran itu diikuti dengan
berita didikan Allah kepada umat, berupa masa-masa berat yang harus dijalani
oleh umat karena mereka mengabaikan kehendak Allah.

Saat Israel dikuasai Babel (597 SM), Raja Yekhonya yang kemudian digantikan
pamannya Zedekia bersama dengan orang-orang penting Israel di bawa ke
Babel. Perkakas bait Yerusalem, juga diangkut ke sana. Di tengah hiruk-pikuk itu,
seorang nabi yang bernama Hananya menyuarakan berita optimisme bahwa
kesusahan itu tidak akan berlangsung lama. Nabi Yeremia, tidak sepaham
dengan berita itu. Bagi Yeremia, itu memang harapan yang baik, tetapi Allah
memiliki rencana yang melampaui optimisme sempit itu. Yeremia masih dapat
melihat bahwa pembuangan ke Babel merupakan bagian dari rencana Allah
dalam tujuan jangka panjang-Nya. Begitulah suara kenabian. Tidak hanya
menyuarakan yang enak-enak didengar dan dipahami saja, tetapi berani
menukik ke dalam kenyataan hidup sambil mencari terus kehendak dan maksud
Allah di baliknya.

Bagi Paulus (Rm 6:12-23), orang Kristen ialah orang yang tidak lagi diperbudak
dosa, tetapi orang yang karena kasih karunia Allah di dalam Kristus, kini menjadi
hamba kebenaran, hamba Allah. Dengan status baru ini, orang Kristen
dimampukan untuk mengutamakan Kristus saat menghadapi pilihan kehidupan
yang menggoda iman. Seperti halnya seorang nabi berani memperjuangkan
suara Allah, demikian juga kehidupan orang Kristen terarah menjadi senjata-
senjara kebenaran yang memperjuangkan kedamaian dan keadilan.

Bukan saja didorong untuk menyuarakan suara kenabian, orang Kristen juga
diajarkan oleh Tuhan Yesus untuk menyambut suara kenabian. Yesus berkata
Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah
nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan
menerima upah orang benar. (Mat 10:41) Sambutan di sini dapat berarti
sambutan lahiriah, saat seseorang memberikan bantuan kepada hamba-hamba
Tuhan. Tetapi juga yang tidak kalah penting, sambutan di sini berarti sambutan
hati yang menerima teguran dan didikan yang membangun. Telinga terbuka
lebar untuk dinasihati, hati dan pikirkan dilapangkan untuk menerima hal yang
tegas dan keras sekalipun, saat itu merupakan peringatan akan status diri
sebagai milik Kristus dan bukan milik Dosa.

Di kehidupan kita, entah di rumah, tempat kerja, gereja, sekolah, kampus, di


jalan, kala menyimak ketidakbenaran di depan mata, apakah kita mau
menyuarakan suara kenabian, yaitu suara Allah melalui suara kita? Sadarkah
kita bahwa kita adalah milik Kristus yang bukan lagi budak dosa? Apakah kita
mau diarahkan, ditegur, dinasihati oleh firman Tuhan dan diajar oleh orang-
orang yang mengasihi kita? Apa bentuk sambutan kita terhadap orang-orang
yang seperti nabi itu? Bersediakah kita mencari kehendak dan wajah Allah
dalam setiap kesusahan hidup kita?

(Pdt. Essy Eisen)

Anda mungkin juga menyukai