PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
TESIS
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS
(Pluchea indica. L.) DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN
BAKTERI Streptococcus mutans
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
Tesis ini Telah Diuji pada
Anggota :
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyusun laporan Tesis yang berjudul Ekstrak Etanol Daun Beluntas
(Pluchea indica. L.) dapat Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans tepat pada
waktunya. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk meraih gelar Magister pada Program
Pascasarjana Ilmu Biomedik dengan Kekhususan Ilmu Kedokteran Dasar Bidang Farmakologi
Universitas Udayana. Tesis ini tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu pada kesempatan ini dengan tulus penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., selaku pembimbing I dan Dr. dr.
Komang Bagus Satriyasa, M.Repro., selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan
kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan dan saran serta semangat kepada penulis
sehingga laporan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terimakasih yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Biomedik
Universitas Udayana dan Direktur Politeknik Kesehatan Denpasar, atas kesempatan dan fasilitas
yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas
Udayana. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada para penguji Tesis yaitu Prof. dr. I
Gusti Made Aman, Sp.FK., Dr. dr. Komang Bagus Satriyasa, M.Repro., Prof. Dr. dr. J. Alex
Pangkahila, M.Sc., Sp.And., Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes., Dr. dr. Wayan Putu Sutirta
Yasa, M.Si., yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran yang sangat berguna untuk
penyempurnaan Tesis ini.
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen Program
Studi Ilmu Biomedik kekhususan Ilmu Kedokteran Dasar yang dengan penuh kesabaran telah
banyak memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan program studi
ini tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada Dr. dr. I
Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K)., selaku Kepala Bagian Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah mengijinkan penulis menggunakan fasilitas
Laboratorium Mikrobiologi untuk penelitian Tesis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan
kepada Ibu Amy Yelly Kusmawati, SKM, MP., atas kesabaran dan ketekunannya melakukan
penelitian tesis ini bersama penulis di Laboratorium Mikrobiologi FK Universitas Udayana.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada staf administrasi, teman-teman mahasiswa
Program Magister Ilmu Biomedik kekhususan Ilmu Kedokteran Dasar, teman-teman di Jurusan
Kesehatan Gigi Poltekkes Denpasar yang telah banyak memberikan dorongan dan semangat
kepada penulis. Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada suami
tercinta, Simon Nahak, SH, MH., anak-anak tercinta, Anastasia Maria Prima Nahak, Teresita
Marselina Nahak, Albertus Joseph Nahak yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan studi di Program
Magister ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang
telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini.
Penulis
ABSTRAK
Karies merupakan penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan oleh demineralisasi lapisan
email dan dentin akibat asam yang dihasilkan melalui proses fermentasi substarat oleh
Streptococcus mutans. Bakteri ini menghasilkan asam laktat yang berperan penting untuk
merubah lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 5,5) sehingga email mulai
mengalami proses demineralisasi dan terjadilah karies gigi. Hasil Survey Kesehatan Rumah
tangga tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%
penduduk. Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi karies aktif penduduk Indonesia
mencapai 43,4%. Karies harus dirawat dengan baik dan dicegah agar gigi yang sehat tidak
sampai terserang karies. Salah satu cara pencegahannya adalah menggunakan obat kumur yang
mengandung antiseptik yang berasal dari ekstrak tumbuh-tumbuhan yaitu ekstrak etanol daun
beluntas untuk mencegah pertumbuhan dan akulumasi plak. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus
mutans.
Penelitian ini adalah eksperimen menggunakan completely randomized post test only control
group design. Mula-mula disiapkan isolat bakteri Streptococcus mutans dan ekstrak etanol daun
beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% untuk mengetahui kemampuan daya
hambat ekstrak tehadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan dilakukan uji daya
hambat menggunakan metode difusi disk.
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan One Way Anova, dilanjutkan dengan uji Least
Significant Difference dengan tingkat kepercayaan 95% dan analisis kualitatif menggunakan Chi-
Square. Hasil uji One Way Anova menunjukkan terdapat perbedaan daya hambat yang
signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menggunakan ekstrak etanol daun
beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% dengan nilai p = 0,000. Konsentrasi
ekstrak 25% mempunyai daya hambat setara dengan kontrol positif, dan kekuatan daya hambat
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Hasil analisis kualitatif menggunakan
Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan
konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri Streptococcus mutans dengan nilai p = 0,000.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%,
50%, 75% dan 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans.
Konsentrasi minimal yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah 25%. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan MIC dan MBC dari ekstrak etanol daun beluntas dan
manfaatnya sebagai obat kumur antiseptik pada manusia.
Kata kunci: Ekstrak etanol daun beluntas, Streptococcus mutans, daya hambat
ABSTRACT
ETHANOL EXTRACT OF BELUNTAS LEAVES (Pluchea indica.L.) CAN
INHIBIT THE GROWTH OF Streptococcus mutans
Caries is a common disease of the teeth, caused by lactic acid produced by bacteria plaque
through fermentation of substrate rich of sucrose and glucose. This bacteria plaque especially
Streptococcus mutans produced acid from substrate and in a period of time change the oral
cavity environment to become more acidity (pH 5.2-5.5) and at the time, demineralization
process beginning and caries occurred. Indonesian Health Survey in the year 2004, found that
caries prevalence in Indonesia achieved 90.05%. Basic Health Research in Indonesia in the year
2007, found that prevalence of tooth decay achieved 43,4%. According to this fact caries must be
treated and prevented. Preventing caries must be done in many ways, one of this is using
antiseptic mouth rinsing from plant extract that is ethanol extract of beluntas leaves to prevent
plaque formation and accumulation in tooth surface. The aim of this study is to know that
ethanol extract of beluntas leaves can inhibit the growth of Streptococcus mutans.
This is an experimental study with completely randomized post test only control group
design. Firstly, preparation of isolate of Streptococcus mutans and then preparation of ethanol
extract of beluntas leaves in difference concentration, they are: 25%, 50%, 75% and 100%. To
know an inhibitory effect of this extract against the growth of Streptococcus mutans was used
diffusion disk method.
Data was analyzed by One Way Anova, continuing by Least Significant Difference test.
Qualitative analysis was used Chi-Square. This study found that there is a significant difference
between control group and ethanol extract of beluntas leaves in varying concentration, they are
25%, 50%, 75% and 100% to inhibit the growth of Streptococcus mutans with p = 0.000. This
study also found that ethanol extract with 25% of concentration shown the same inhibitory effect
with chlorhexidine 0,12% as positive control and the inhibitory effect raising following the
increasing of concentration of extract. Chi-Square analysis shown that there is a significant
correlation between an inhibitory effect with the increasing of concentration of extract with p =
0.000.
The conclusion is Ethanol Extract of beluntas leaves in varying concentration, they are 25%,
50%, 75% and 100%, can inhibit the growth of Streptococcus mutans. Minimal inhibitory
concentration in this study is 25%. An advanced study need to determine minimal inhibitory
concentration (MIC) and minimal bactericidal concentration (MBC) of this extract and also the
benefits of this extract as antiseptic mouth rinsing.
Key Words: Ethanol Extract of Beluntas Leaves, Streptococcus mutans, an Inhibitory Effect.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PRASYARAT GELAR ii
UCAPAN TERIMAKASIH . v
ABSTRAK . vii
DAFTAR ISI . ix
DAFTAR SINGKATAN xv
BAB I PENDAHULUAN
2.1 Karies . 10
2.1.1 Pengertian .. .. 10
2.4 Chlorhexidine . 35
7.1 Simpulan . 73
DAFTAR PUSTAKA 75
DAFTAR TABEL
Halaman
Berbagai Konsentrasi.. 64
Bakteri S. mutan 65
Bakteri S.mutans. 66
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.3 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Fenolat.. 21
Gambar 2.4 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Steroid.. 21
Singkatan Kepanjangannya
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Karies gigi atau dikenal dengan gigi berlubang adalah suatu penyakit pada jaringan keras
gigi yang sudah dikenal umum oleh masyarakat. Karies gigi merupakan penyakit yang paling
banyak ditemui di dalam rongga mulut, dapat mengenai semua populasi tanpa memandang umur,
jenis kelamin, ras ataupun keadaan sosial ekonomi dan merupakan penyebab utama hilangnya
gigi. Karies gigi bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama dalam perkembangannya
sehingga sebagian besar penderita tidak menyadari bahwa giginya telah berlubang sampai
munculnya gejala-gejala berupa ngilu atau sakit gigi ketika memakan makanan yang manis,
dingin atau panas yang menandakan bahwa karies gigi telah mencapai fase lanjut.
Karies gigi adalah kerusakan pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh aktivitas jasad
renik dengan cara meragikan karbohidrat dalam mulut. Tandanya adalah adanya demineralisasi
bahan-bahan anorganik yang diikuti oleh kerusakan bahan organik dari email dan dentin.
Demineralisasi jaringan keras tersebut bersifat lokal, progresif dan terjadi pada bagian mahkota
yaitu pada email dan dentin serta bagian akar yaitu pada sementum dan dentin (Parmar et al.,
2007).
Menurut Rosenberg (2010), penyakit karies menduduki urutan kedua setelah commmon cold.
Pengalaman karies gigi sangat bervariasi antar negara, tergantung pada faktor perilaku, usia,
keadaan sosial-ekonomi dan pola hidup serta pola makan masyarakatnya (Parmar et al., 2007).
industrialisasi, pola hidup yang sehat dan terjangkaunya pelayanan kesehatan, sedangkan di
negara-negara berkembang cenderung terjadi peningkatan oleh karena meningkatnya konsumsi
makanan yang banyak mengandung gula olahan dan bersifat lengket serta jangkauan pelayanan
kesehatan gigi yang belum memadai. Suatu penelitian di Jepang yang dilakukan terhadap siswa
sekolah dasar dari anak-anak keturunan Brazilia-Jepang yang berumur 12 tahun diketahui bahwa
rata-rata DMFT-nya 3 yang artinya rata-rata setiap anak menderita karies pada gigi tetapnya
tidak lebih dari tiga gigi (Hashizume et al., 2006). Penelitian lain yang dilakukan di Mexico
terhadap anak-anak sekolah berusia 6-9 tahun didapatkan bahwa 52% anak-anak telah menderita
karies pada usia 6 tahun (Beltrn-Valladares et al., 2006). Suatu Survei Kesehatan Nasional yang
dilakukan secara ekstensif dan menyeluruh pada tahun 2004 di India menunjukkan bahwa 51,9%
anak-anak usia 5 tahun dan 53,8% anak-anak berusia 12 tahun telah menderita karies gigi
Data penyakit karies gigi di Indonesiapun sangat bervariasi. Suatu penelitian yang dilakukan
pada tahun 1990 di Jawa Barat terhadap anak-anak yang usianya di bawah lima tahun
menunjukkan angka yang sangat mencengangkan dengan rata-rata dmft (decay, missing dan
filling-teeth) sebesar 7,98 yang artinya rata-rata setiap anak tersebut memiliki 7-8 gigi susu yang
terkena karies (Koloway & Kailis, 1992). Berdasarkan laporan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga DepKes RI tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai
90,05% penduduk (Anonim, 2005). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dalam bidang
kesehatan gigi dan mulut menunjukkan prevalensi karies aktif penduduk Indonesia adalah
sebesar 43,4% belum termasuk angka pengalaman karies, sedangkan di Provinsi Bali
prevalensi karies penduduk mencapai 53% (Anonim, 2011). Angka ini masih jauh dari harapan
apabila dibandingkan dengan target FDI/WHO pada tahun 2000 yang mengatakan bahwa 50%
terutama sukrosa, anatomi dan morfologi gigi, bakteri yang bersifat asidogenik dan faktor waktu.
Karies terjadi akibat proses demineralisasi permukaan email yang disebabkan oleh asam yang
diproduksi oleh bakteri dalam plak utamanya yaitu Streptococcus mutans dan mungkin juga
oleh Lactobacillus. Bakteri-bakteri tersebut mengadakan fermentasi terhadap diet yang banyak
mengakibatkan dekalsifikasi dan destruksi jaringan gigi di bawah plak dan kondisi inilah yang
ditemui pada proses pembentukan karies gigi (Lewis & Ismail, 1993).
Streptococcus mutans adalah suatu bakteri Gram positif, bersifat facultatively anaerobic,
berbentuk coccus (bulat), tersusun seperti rantai, umumnya didapatkan di dalam rongga mulut
dan termasuk flora normal serta berperan penting dalam proses terjadinya karies. Bakteri ini
termasuk phylum dari Firmicutes dan merupakan kelompok bakteri yang menghasilkan asam
laktat dan pertama kali ditemukan pada tahun 1924 oleh J. Kilian Clarke (Clarke, 1924;
Streptococcus mutans merupakan bakteri yang memulai terjadinya pertumbuhan plak pada
permukaan gigi. Terjadinya hal itu disebabkan karena kemampuan spesifik yang dimiliki oleh
bakteri tersebut menggunakan sukrosa untuk menghasilkan suatu produk ekstraseluler yang
lengket yang disebut dextran yang berbasis polisakarida dengan perantaraan enzim
plak, sedangkan untuk menghasilkan asam laktat, Streptococcus mutans bersama-sama dengan
Streptococcus sabrinus dan Lactobacillus, memainkan peran yang sangat penting melalui enzim
glucansucrase yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri tersebut. Asam yang dihasilkan terus-
menerus melalui pemecahan substrat yang selalu tersedia, akan merubah lingkungan rongga
mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 5,5), maka email mulai mengalami proses demineralisasi
sehingga terjadilah karies (Vinogradof et al., 2004; Argimn & Caufiled, 2011).
Berdasarkan fakta di atas, karies harus segera ditanggulangi dengan berbagai upaya
kesehatan yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Upaya kuratif yang dilakukan
adalah dengan merawat dan menambal semua gigi yang belubang. Upaya promotif dilakukan
dengan cara memberikan informasi dan edukasi yang benar tentang cara memelihara kesehatan
gigi, sedangkan upaya preventif dapat dilakukan dengan berbagai cara mekanis dan kimiawi
dengan tujuan untuk mengurangi akumulasi plak yang mengandung berbagai macam bakteri
terutama Streptococcus mutans yang menyebabkan karies gigi (Kustiawan, 2002; Anonim,
2011).
Upaya preventif yang dilakukan secara mekanis misalnya dengan menyikat gigi pada waktu
yang tepat dengan cara yang benar, sedangkan cara kimiawi dapat dilakukan dengan aplikasi
larutan fluor, penggunaan bahan antiseptik lain misalnya chlorhexidine atau dapat juga
menggunakan ekstrak tumbuh-tumbuhan sebagai obat kumur yang mengandung antiseptik. Obat
kumur chlorhexidine yang biasa digunakan adalah chlorhexidine dengan konsentrasi 0,12%.
Obat kumur ini merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang efektif terhadap bakteri
Gram positif maupun Gram negatif tetapi lebih efektif terhadap bakteri Gram positif (Kustiawan,
sebagai bahan antimikroba dalam rongga mulut. Menendez et al. (2005), mengatakan bahwa
obat kumur chlorhexidine 0,12% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans
dalam rongga mulut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Joyston-Bechal & Hernaman (1993),
membuktikan bahwa chlorhexidine 0,05% yang dicampur dengan Natrium fluorida 0,05% dapat
Penelitian lain yang dilakukan oleh Seymour dan Heasman (1995), membuktikan bahwa
sebanyak 54% dan dapat menghilangkan bau mulut yang berasal dari produk metabolit kuman
(plak) yang berada di dorsum lidah atau saliva. Keampuhan chlorhexidine 0,1% tidak diragukan
lagi, namun demikian obat kumur ini mempunyai beberapa efek samping yang merugikan yaitu
menimbulkan pewarnaan (staining) pada gigi, restorasi ataupun pada lidah, juga dapat
mengganggu rasa kecap setelah pemakaian meskipun tidak bersifat permanen (Peterson, 2011).
Pencegahan akumulasi plak dalam rongga mulut dapat digunakan obat-obatan kimiawi, juga
dapat digunakan ekstrak tumbuh-tumbuhan atau obat-obat tradisional yang telah banyak diteliti
saat ini, salah satu diantaranya adalah daun beluntas (Pluchea indica Less).
Beluntas (Pluchea indica Less) adalah tumbuhan yang mudah dijumpai di Indonesia,
umumnya tumbuh liar di daerah kering pada tanah yang keras dan berbatu, atau ditanam sebagai
tanaman pagar. Tumbuhan ini berbau khas aromatis dan rasanya getir. Bagian yang digunakan
dari tanaman ini adalah daun dan akarnya yang berkhasiat untuk menghilangkan bau badan dan
bau mulut, meningkatkan nafsu makan, mengatasi gangguan pencernaan pada anak-anak,
menghilangkan nyeri pada rematik dan sebagainya. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun
beluntas adalah flavonoid, triterpenoid dan fenol serta turunan minyak atsiri lainnya (Dalimartha,
Flavonoid dalam daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri, demikian juga senyawa fenol
yang terkandung di dalamnya merupakan suatu alkohol yang bersifat asam sehingga disebut juga
asam karbolat, yang mempunyai sifat antibakteri yakni menghambat pertumbuhan sel bakteri
Escherichia coli (Susanti, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyaningsih (2009),
menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Methicillin
Hasil penelitian Nahak et al. (2007), menunjukkan bahwa ekstrak murni daun beluntas
dapat menurunkan 70% jumlah bakteri dalam saliva dan tidak ada perbedaan bermakna dalam
penurunan jumlah bakteri setelah ekstrak diencerkan pada konsentrasi 10%, 20% dan 30%.
Namun demikian dalam penelitian tersebut belum dapat dibuktikan jenis bakteri spesifik dalam
saliva yang dapat dihambat pertumbuhannya menggunakan ekstrak etanol daun beluntas.
Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui khasiat ekstrak etanol daun beluntas pada
penyebab karies.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat menghambat
2. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% dapat menghambat
3. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% dapat menghambat
Tujuan umum penelitian ini adalah: untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dapat
1. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat
2. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% dapat
3. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% dapat
4. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% dapat
1. Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang manfaat ekstrak etanol daun beluntas
1. Ekstrak daun beluntas dapat dimanfaatkan untuk menunjang program kesehatan gigi di
masyarakat, yakni sebagai salah satu alternatif upaya pencegahan terhadap pertumbuhan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. KARIES
2.1.1 Pengertian
Karies gigi adalah kerusakan pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh aktivitas jasad
renik dengan cara meragikan karbohidrat dalam mulut. Tandanya adalah adanya demineralisasi
bahan-bahan anorganik yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organik dari email dan
dentin. Demineralisasi jaringan keras tersebut bersifat lokal, progresif dan terjadi pada bagian
mahkota yaitu pada email dan dentin serta bagian akar yaitu pada sementum dan dentin (Parmar
et al., 2007). Penyakit ini menyerang permukaan gigi-geligi yang mengakibatkan kerusakan
mahkota gigi dan apabila tidak dilakukan perawatan akan meluas ke pulpa dan dapat merusak
seluruh mahkota gigi. Hal ini kemudian akan menimbulkan rasa sakit, terganggunya fungsi
mastikasi, terjadi inflamasi jaringan gingiva dan pembentukan abses pada jaringan sekitar gigi
Karies gigi atau dikenal dengan gigi berlubang sudah dikenal umum oleh masyarakat,
paling banyak ditemui di dalam rongga mulut dan dapat mengenai semua populasi tanpa
memandang umur, jenis kelamin, ras ataupun keadaan sosial ekonomi serta merupakan penyebab
utama hilangnya gigi. Karies gigi bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama dalam
perkembangannya sehingga sebagian besar penderita tidak menyadari bahwa giginya telah
berlubang sampai munculnya gejala-gejala berupa ngilu atau sakit gigi ketika memakan makanan
yang manis, dingin atau panas yang menandakan bahwa karies gigi telah mencapai fase lanjut
jenis sukrosa, bakteri dalam rongga mulut, kondisi host dalam hal ini struktur dan morfologi gigi
serta faktor waktu. Beberapa jenis karbohidrat dalam makanan yaitu sukrosa dan glukosa yang
banyak terdapat pada makanan yang manis dan mudah melekat, dapat difermentasikan oleh
bakteri Streptococcus mutans, Streptococcus sabrinus dan Lactobacillus yang terdapat di dalam
rongga mulut dan membentuk asam sehingga dalam tempo satu sampai tiga menit pH plak akan
menurun dibawah lima. Seseorang yang mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya dan
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung sukrosa secara terus-menerus, maka proses
fermentasi akan terus berlanjut sehingga pH lingkungan rongga mulut tetap dalam keadaan asam.
Lingkungan pH rongga mulut akan kembali ke tingkat yang normal, memerlukan waktu 30
permukaan email gigi yang rentan, sehingga proses kariespun dimulai (Kidd & Joiston-Bechal,
Beberapa faktor yang lain yang turut berperan dalam terjadinya karies adalah oral hygiene
perorangan, usia, jenis kelamin, perubahan hormonal, keadaan xerostomia, pola makan, faktor
ekonomi dan sosial budaya, tingkat pendidikan serta keadaan geografis. Xerostomia adalah
suatu keadaan dimana produksi saliva sangat sedikit sehingga mulut terasa kering. Keadaan ini
dapat meningkatkan frekuensi karies karena fungsi saliva sebagai buffer dalam rongga mulut
Frekuensi karies akan meningkat seiring bertambahnya umur. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
semakin lama permukaan gigi berkontak dengan faktor-faktor risiko maka risiko untuk
terjadinya kariespun akan semakin meningkat. Perubahan hormonal misalnya pada masa
pubertas dan kehamilan dapat menyebabkan terjadinya gingivitis yang mengakibatkan sisa
makanan sukar dibersihkan sehinggga frekuensi kariespun dapat meningkat pada periode ini
(Tarigan, 1990).
Karies pada tahap awal tidak akan menimbulkan keluhan yang berarti, namun bila tidak
dilakukan penambalan pada tahap awal, maka lubang gigi akan menjadi tempat menumpuknya
sisa makanan dan bakteri, sehingga proses karies akan berlanjut dan bertambah parah. Karies
pada tahap lanjut akan menyebabkan kematian pulpa dan menimbulkan keluhan rasa sakit yang
cukup mengganggu aktivitas sehari-hari, terjadinya abses di jaringan sekitar gigi serta timbulnya
halitosis yang dapat mengganggu pergaulan. Perawatan karies tahap lanjut memerlukan waktu
yang panjang serta biaya yang besar dan apabila tidak dirawat maka gigi tidak dapat
dipertahankan lagi sehingga harus dicabut yang mengakibatkan cacatnya fungsi mastikasi dan
terganggunya fungsi estetik. Karies tahap lanjut yang tidak dirawat dapat juga menimbulkan
komplikasi terhadap organ tubuh yang lain yaitu menjadi fokal infeksi terjadinya sinusitis
maksilaris, kerusakan katup jantung dan artritis (Lewis & Ismail, 1993; Kustiawan, 2002;
Rosenberg, 2010).
Diagnosa dan rencana perawatan karies bertujuan untuk mengembalikan bentuk dan fungsi
gigi serta mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. Struktur gigi yang telah rusak tidak dapat
sembuh sempurna meskipun pada karies tahap awal masih terjadi proses remineralisasi.
Perawatan karies pada tahap awal yaitu karies yang baru mencapai email dan dentin dapat
dilakukan dengan cara membuang struktur gigi yang sudah rusak menggunakan high speed drill,
kemudian mengembalikan bentuk anatomi gigi dengan menggunakan bahan restorasi yang
sesuai. Kerusakan yang sudah mencapai pulpa akan menyebabkan terjadinya kematian pada
pulpa sehingga diperlukan perawatan saraf gigi terlebih dahulu dan selanjutnya gigi direstorasi
Pencegahan karies dapat dilakukan dengan banyak cara diantaranya yang paling murah dan
mudah adalah menjaga personal oral hygiene dengan cara menyikat gigi secara benar dengan
waktu yang tepat yakni segera setelah makan menggunakan pasti gigi yang mengandung fluor,
penggunaan dental floss untuk menghilangkan food debris dan food impacted di antara gigi
serta mengatur pola makan. Disarankan juga untuk memeriksakan kesehatan gigi secara rutin ke
fasilitas pelayanan kesehatan gigi untuk deteksi dini karies, kontrol plak, penutupan fissure gigi
yang dalam (fissure sealant), topical application dengan larutan fluor serta penggunaan obat
kumur yang mengandung antiseptik baik yang kimiawi maupun yang berasal dari ekstrak
tanaman obat untuk mengurangi jumlah plak (Lewis & ismail, 1993; Rosenberg 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Carson et al. (2006), menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau
dan tea tree oil apabila digunakan sebagai obat kumur dapat menghambat pertumbuhan
Streptococcus mutans dan membunuh bakteri yang lain dalam plak. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Yanti et al. (2008), menunjukkan bahwa zat Macelignan yang terdapat dalam
daging buah pala dapat mengurangi biofilm level dari Streptococcus mutans.
Streptococcus mutans adalah suatu bakteri yang bersifat facultatively anaerobic, Gram
positif, berbentuk coccus (bulat), tersusun seperti rantai, umumnya didapatkan di dalam rongga
mulut dan termasuk flora normal serta berperan penting dalam proses terjadinya karies. Bakteri
ini termasuk phylum dari Firmicutes dan merupakan kelompok bakteri yang menghasilkan asam
laktat dan pertama kali ditemukan pada tahun 1924 oleh J. Kilian Clarke (Clarke, 1924;
Struktur dinding sel bakteri ini terdiri atas beberapa lapisan peptidoglikan yang tebal dan
kaku (20-80m) sehingga membedakannya dari dinding sel bakteri Gram negatif. Dinding sel
bakteri ini mengandung berbagai polisakarida juga mengandung substansi dinding sel yang
disebut dengan asam teikoat (teichoic acid) yang diperkirakan berperan dalam pertumbuhan dan
pembelahan sel. Bakteri ini juga mempunyai sifat antigen spesifik sehingga dapat dimanfaatkan
Gambar 2.1 Strain Streptococcus mutans dalam kultur Thioglycollate broth (Clarke, 1924)
Klasifikasi ilmiah dari Streptococcus mutans adalah sebagai berikut (Clarke, 1924):
Kingdom : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Lactobacillales
Family : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
memainkan peran yang sangat penting melalui enzim glucansucrase yang dihasilkan oleh
bakteri-bakteri tersebut untuk menghasilkan asam laktat. Asam yang dihasilkan terus menerus
melalui pemecahan substrat yang selalu tersedia, akan merubah lingkungan rongga mulut
menjadi lebih asam (pH 5,2 5,5), maka email mulai mengalami proses demineralisasi sehingga
Streptococcus mutans merupakan koloni bakteri pertama yang dijumpai pada permukaan gigi
segera setelah gigi pertama erupsi dan merupakan bakteri yang memulai terjadinya pertumbuhan
plak pada permukaan gigi. Terjadinya hal tersebut disebabkan karena kemampuan spesifik yang
dimiliki oleh bakteri tersebut menggunakan sukrosa untuk menghasilkan suatu produk
ekstraseluler yang lengket yang disebut dextran yang berbasis polisakarida dengan perantaraan
enzim dextransucrase (hexocyltransferase). Produk bakteri berupa gel ekstraseluler yang lengket
tersebut memungkinkan bakteri-bakteri yang lain ikut menempel pada permukaan gigi sehingga
terbentuklah plak. Plak terdiri dari berbagai mikroorganisme yang selain menyebabkan karies
gigi dapat juga menyebabkan terjadinya gingivitis, periodontitis, abses dan halitosis.
Streptococcus mutans selain menyebabkan karies gigi juga terimplikasi sebagai patogenesis
dari penyakit cardiovaskuler tertentu. Bakteri ini merupakan spesies terbanyak yang terdeteksi
dari hasil ekstirpasi jaringan klep jantung yaitu sebanyak 68,6% dan dari atheromathous plaque
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kojima et al. (2012), menunjukkan bahwa Streptococcus
mutans strain on dextran sodium sulfate (DSS) menyebabkan ulcerative colitis pada tikus
percobaan. Sedangkan strain TW 295 akan memperparah ulcerative colitis dan dalam penelitian
yang sama strain Streptococcus mutans ini ditemukan juga pada sel-sel hati (hepatocytes) yang
mengindikasikan bahwa sel-sel hatipun menjadi target organ dari strain tersebut.
Beluntas merupakan tumbuhan semak yang bercabang banyak, berusuk halus dan berbulu
lembut. Umumnya ditanam sebagai tanaman pagar atau bahkan tumbuh liar, tingginya bisa
mencapai dua hingga tiga meter apabila tidak dipangkas. Beluntas dapat tumbuh di daerah kering
pada tanah yang keras dan berbatu, di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi pada
ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, memerlukan cukup cahaya matahari atau sedikit
naungan dan perbanyakannya dapat dilakukan dengan stek pada batang yang sudah cukup tua.
Beluntas termasuk tumbuhan berakar tunggang, akarnya bercabang dan berwarna putih kotor.
Batangnya berambut halus, berkayu, bulat, bercabang, pada tumbuhan yang masih muda
berwarna ungu dan setelah tua berwarna putih kotor (Dalimartha, 1999; Anonim, 2010).
Daun beluntas bertangkai pendek, letaknya berseling, tunggal dan berbentuk bulat telur
dengan ukuran 2,5 8 cm x 1-5 cm. Pangkal daun menirus, ujung daun meruncing, tepi daun
bergerigi, tangkai daun semi duduk tidak ada penumpu dengan warna hijau terang dan berbau
harum ketika dihancurkan. Bunganya terdiri dari banyak bongkol pada terminal hemisferikal
atau gundungan aksiler. Bunganya berbentuk tabung dengan panjang mahkota 3,5 5 mm.
Buahnya berbentuk silinder dengan panjang 1 mm dengan biji yang kecil berwarna coklat
Kingdom : Plantae
Phylum : Magnoliaphyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Family : Asteraceae
Genus : Pluchea
Penggunaan tumbuhan sebagai obat sangat berkaitan dengan kandungan kimia yang terdapat
dalam tumbuh-tumbuhan tersebut terutama zat bioaktifnya. Senyawa bioaktif yang terdapat
dalam tumbuhan biasanya merupakan senyawa metabolit sekunder. Metabolit primer biasanya
mengandung asam amino, gugusan gula sederhana, asam nukleat dan lemak yang berguna untuk
proses-proses dalam sel misalnya pertumbuhan, fotosintesis, reproduksi dan metabolisme serta
aktif, berguna untuk mempertahankan diri. Tumbuhan dapat memproduksi sendiri berbagai jenis
metabolit sekunder yang sering dieksploitasi oleh manusia untuk berbagai kepentingan.
Metabolit sekunder terbagi atas tiga bagian besar yaitu: terpen dan terpenoid yang terdiri dari
25.000 tipe, alkaloid yang terdiri dari 12.000 tipe, senyawa phenolic yang terdiri dari 8000
tipe (Zwenger & Basu, 2008; Schultz, 2011; Hassanpour et al., 2011).
Daun beluntas berbau khas aromatik dan rasanya getir, banyak mengandung zat berkhasiat
yang sering digunakan untuk menghilangkan bau badan, bau mulut, mengatasi kurang nafsu
makan, mengatasi gangguan pencernaan pada anak, mengobati TBC kelenjar, menghilangkan
nyeri pada rematik, nyeri tulang dan sakit pinggang, menurunkan demam, mengobati keputihan
Kandungan kimia dalam daun beluntas adalah: Alkaloid, flavonoid, tannin, minyak atsiri,
asam chlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Sedangkan
akar beluntas mengandung tannin dan flavonoid (Dalimartha, 2005). Daun beluntas yang akan
digunakan dalam penelitian ini diambil dari daerah Jalan Tukad Badung, Kelurahan Renon
Kecamatan Denpasar Timur. Hasil uji fitokimia yang dilakukan pada tanggal 22 November 2011
di UPT Laboratorium Pengembangan Sumber daya Genetik Kelautan dan Rekayasa Genetik
(Marine Biology) Universitas Udayana Denpasar, menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun
beluntas yang akan dipakai pada penelitian ini mengandung beberapa metabolit sekunder yaitu:
Tannin (+), Alkaloid (+), Flavonoid (++), Steroid (+++) dan Fenolat (+++). Tanda (+)
menunjukkan banyaknya kandungan zat aktif. Positif satu (+) menandakan bahwa kandungan zat
aktif dalam metabolit sekunder hanya sedikit, positif dua (++) menandakan kandungan zat aktif
yang banyak dalam metabolit sekunder, dan positif tiga (+++) menandakan kandungan zat aktif
yang sangat dalam metabolit sekunder. Wang et al. (2010), mengatakan bahwa senyawa dengan
struktur kimia yang hampir sama akan mempunyai profil farmakokinetik yang sama pula.
Gambar 2.3 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Fenolat
Gambar 2.4 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Steroid
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa, yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, biasanya dalam cincin heterosiklik. Alkaloid merupakan senyawa organik
bahan alam yang terbesar jumlahnya mempunyai struktur yang beraneka ragam dari yang
sederhana sampai yang rumit . Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur
tertentu. Berdasarkan biogenetik, alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino
yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik dan isokuinolin, serta triptofan yang
Alkaloid tidak mempunyai tatanan sistematik oleh karena itu suatu alkaloid dinyatakan
dengan nama trivial, misalnya kuinin, morfin dan stiknin, Hampir semua nama trivial berakhiran
dengan in yang mencirikan alkaloid. Berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur
alkaloid, alkaloid dibagi menjadi lima golongan yaitu: 1) Alkaloid heterosiklis; 2) Alkaloid
dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis; 3) Alkaloid putressina, spermidina dan spermina;
Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktivan biologis tertentu, ada
yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan, misalnya kuinin,
morfin, stiknin dan nikotin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis serta
Tabel 2.1
Aktivitas Biologis Alkaloid (Putra, 2007)
Senyawa Alkaloid
(Nama Trivial) Aktivitas Biologis
Nikotin Stimulan pada saraf otonom
Morfin Analgesik
Kodein Analgesik, antitusif
Kokain Analgesik
Piperin Antifeedant (bioinsektisida)
Quinin Obat malaria
Ergotamin Analgesik pada migrain
Mitraginin Analgesik dan antitusif
Saponin Antibakteri
2.3.2.2 Sifat senyawa aktif tannin
Tannin adalah suatu senyawa phenolic dengan berat molekul yang cukup besar, berkisar
antara 5003000 Da, bersifat larut dalam air, banyak didapatkan pada daun, kulit, buah, kayu dan
akar tanaman dan umumnya didapatkan pada vakuola-vakuola dalam jaringan. Tannin
burung dan serangga. Sampai dengan saat ini definisi tentang tannin masih sukar dirumuskan
ptotein, sedangkan berdasarkan struktur kimianya tannin dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu: hydrosable tannins (HTs) dan condensed tannins (CTs) yang dibedakan oleh berat
molekul dan struktur serta efeknya yang berbeda terhadap herbivora khususnya hewan
memamahbiak. HTs biasanya ditemukan dalam konsentrasi yang rendah pada tumbuhan
dibandingkan dengan CTs. HTs dapat membentuk senyawa pyrogallol yang bersifat toksik
terhadap mamalia. Observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa apabila senyawa toksik
yang terbentuk dalam diet melebihi 20% dapat menyebabkan nekrosis pada hati, kerusakan
ginjal disertai dengan nekrosis pada tubulus proksimalis, lesi yang dihubungkan dengan
perdarahan gastroenteritis dan dapat menimbulkna kematian pada domba dan ternak (Patra &
CTs atau dikenal juga sebagai proanthocyanidines adalah jenis tannin yang umumnya
didapatkan pada berbagai macam tumbuhan. CTs mempunyai struktur kimia yang bervariasi
yang mempengaruhi aktivitas fisik dan biologiknya. CTs mengandung unit flavonoid yakni
flavan-3-ol yang dihubungkan dengan ikatan karbon-karbon. Tannin merupakan suatu substansi
polyphenolic yang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan protein membentuk tannin-
protein complex yang bersifat mudah larut, membentuk complex tannin-poylscharides misalnya
dengan selulosa, hemiselulosa dan pectin. Tannin juga dapat membentuk kompleks dengan asam
nukleat, steroid, alkaloid dan saponin (Hassanpour et al., 2011). Penelitian-penelitian sekarang
pada hewan coba menunjukkan bahwa tannin mempunyai efek yang menguntungkan yaitu
sebagai anti mikroba, antioksidan dan anthelmintic (Patra & Saxena, 2010; Hassanpour et al.,
2011).
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbanyak di alam.
Senyawa-senyawa ini bertanggungjawab terhadap zat warna merah, ungu, biru dan kuning pada
mahkota bunga dengan tujuan untuk menarik serangga yang membantu penyerbukan. Flavonoid
khususnya flavanoid seperti katekin merupakan senyawa polyphenolic yang umum didapatkan
pada tumbuhan yang banyak dikonsumsi oleh manusia. Flavonols terdapat dalam jumlah kecil
merupakan bioflavonoid yang asli contohnya adalah quercetin. Flavonoid tersebar luas pada
berbagai macam tanaman, toksisitasnya rendah dibandingkan dengan senyawa aktif yang lain,
Berdasarkan ikatannya dengan gula, flavonoid terdiri dari dua kelompok yaitu glikosida
yang berikatan dengan satu atau lebih molekul gula, dan yang lain yaitu aglikon adalah flavonoid
yang tidak berikatan dengan gula. Kebanyakan flavonoid yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
seperti: antiinflamasi, anti bakteri, anti kanker, anti fertilitas, anti viral, anti diabetes, anti
depresan dan anti diare (Spencer & Jeremy, 2008; Cushnie & Lamb, 2011).
Senyawa steroid adalah suatu senyawa organik yang terdapat dalam metabolit sekunder
yang didapatkan pada tumbuhan dan hewan. Senyawa ini berasal dari senyawa triterpen yang
merupakan derivat dari terpen dengan kerangka dasarnya adalah sistem cincin siklopentana
perhidrofenantrena. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena.
Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam
karboksilat, berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi.
triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung
merupakan triterpenoid sedangkan steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Rustaman et al.,
2006).
Dahulu steroid dianggap sebagai senyawa satwa berupa hormon kelamin dan asam empedu,
namun sekarang makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Steroid
yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari triterpen lanosterol sedangkan yang terdapat
dalam jaringan tumbuhan berasal dari triterpen sikloartenol. Tahap awal dari biosintesis steroid
adalah sama bagi steroid alam yakni pengubahan asam asetat melalui asam mevalonat dan
skualen menjadi lanosterol atau sikloartenol yang kemudian mengalami lagi beberapa tahap
perubahan sampai terbentuk senyawa steroid (Rustaman et al., 2006; Zwenger & Basu, 2008).
Steroid sebagai salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak daun beluntas,
antiparasit, antiinflamasi, antijamur, kardiotonik dan efek anabolik (Islam et al., 2003;
Prabuseenivasan et al., 2006; Praptiwi et al., 2006; John et al., 2007). Mekanisme aktivitas
pada bagian aqueous (cair) dari phosphatidylethanolamine yang kaya akan liposome (Epand et
terdapat di dalam vegetative foliage tumbuhan yang berguna untuk menakut-nakuti herbivora.
Umumnya, senyawa fenolat terbagi menjadi dua senyawa, yaitu fenol sederhana dan polifenol
misalnya flavonoid dan tannin, namun masih banyak senyawa-senyawa lain yang merupakan
turunan dari senyawa fenol misalnya: eugenol, estradiol, thymol dan lain-lain. Berdasarkan kimia
organic, fenol disebut juga phenolic adalah suatu klas senyawa kimia yang terdiri dari gugus
hidroksil (OH) terikat secara langsung pada suatu kelompok hidrokarbon aromatik. Senyawa
fenolat mampu menetralkan radikal bebas yang membahayakan tubuh, sehingga spektrum
aktivitas biokimia senyawa fenolat cukup luas, yaitu sebagai antioksidan, antimutagen,
Senyawa alkaloid yang terkandung dalam berbagai ekstrak tumbuhan mempunyai khasiat
yang sangat berguna bagi manusia, misalnya kuinin yang terdapat dalam ekstrak kulit tumbuhan
chincona, artemisinin yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan Artemisia annua mempunyai
aktivitas terhadap Plasmodium falciparum. Morfin dan kodein juga adalah suatu alkaloid yang
mempunyai aktivitas biologis yang berguna yaitu sebagai analgesik yang kuat. Sintesis
ditemukan obat-obatan anti malaria sintesik seperti quinine, artemisinin, obat narkotik analgesik
dan antitusif sintesik seperti opioid, yang mempunyai efek farmakodinamik, farmakokinetik
yang jelas terhadap berbagai penyebab penyakit pada manusia (Putra, 2007).
Senyawa alkaloid opioid misalnya morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi apabila
kulit mengalami luka maka akan terjadi absorbsi obat lewat kulit yang luka dan lewat mukosa
yang masih utuh. Absorbsi obat lewat usus sedikit sekali sehingga efek analgesiknya sangat
rendah dibandingkan dengan pemberian perparenteral pada dosis yang sama. Alkaloid opioid
yang diberikan secara intra vena akan berikatan dengan protein plasma yaitu -1-acid
glycoprotein, mengalami biotransformasi di hati lewat dua fase yaitu fase oksidasi dan reduksi
yang dikatalisis oleh enzim CYP 450. Fase konyugasi akan menghasilkan D-glucoronic acid
sebagai metabolitnya yang tidak aktif selanjutnya diekskresi lewat ginjal, sistem empedu dan
juga feses. Opioid akan berinteraksi dengan reseptornya untuk menimbulkan efeknya dan potensi
analgesik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik (Sardjono et al., 2004;
Putra, 2007).
Tannin yang berasal dari ekstrak tumbuhan diabsorbsi dengan cepat dari saluran cerna
kemudian mengalami distribusi dan eliminasi yang cukup cepat pula. Bioavailabilitasnya sangat
rendah setelah pemberian peroral. Konsentrasi dalam plasma adalah 213 ng/ml setelah 55 menit
pemberian peroral 0,8 g/kg BB ekstrak yang mengandung tannin. Hidrolisisnya kebanyakan
terjadi di usus besar pada pH alkalin. Senyawa tannin khususnya oligomeric proanthocianidines
Senyawa-senyawa tannin misalnya ellagic acid dapat bereaksi dengan radikal bebas oleh
karena kemampuannya untuk berikatan dengan ion-ion metal sehingga mempunyai efek
antioksidan yang poten terhadap lipid peroksidasi di dalam mitokondria dan mikrosom. Aksinya
mengeliminasi radikal bebas hasil peroksidasi lipid (Wang et al., 2010). Senyawa tannin juga
berfungsi untuk menurunkan kolesterol total, VLDL dan triglicerid dan meningkatkan HDL
sehingga memainkan peranan yang penting untuk mengatasi gangguan metabolisme lemak dan
Senyawa tannin juga mempunyai efek astringent. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
senyawa tannin dapat berikatan dengan protein sehingga mempercepat penyembuhan ulcer
(Murthy et al., 2004; Ajaikumar et al., 2005). Ellagitannins adalah suatu derivat senyawa tannin
mempunyai aktivitas antibakteri dengan cara membentuk kompleks dengan proline yaitu sejenis
protein pada dinding sel bakteri, menyebabkan protein leakage, terjadi kerusakan dinding sel
bakteri sehingga menyebabkan kematian sel bakteri (Machado et al., 2003; Braga et al., 2005;
Mohamed et al., 2010). Tannin mempunyai aktivitas menghambat cara kerja enzim yang
berperan dalam replikasi RNA virus, mengendapkan protein virus yang sangat berguna untuk
siklus hidup virus sehingga menyebabkan kematian virus (Haidari et al., 2009).
Tumbuhan herbal yang mengandung banyak tannin dianjurkan untuk tidak diberikan
bersama-sama dengan herbal yang banyak mengandung alkaloid, karena campuran kedua
dengan ekstrak yang banyak mengandung protein kemungkinan akan terjadi reaksi presipitasi
juga oleh karena interaksi farmakologik sehingga akan mengurangi bioavailabilitas bahan aktif
dalam ekstrak (Ajaikumar et al., 2005; Haidari et al., 2009). Penelitian yang dilakukan Serafini
et al. (1996), menunjukkan bahwa pemberian susu yang dicampur dengan teh hijau dan teh
hitam akan terjadi interaksi farmakologik sehingga meniadakan efek antioksidan dari kedua jenis
teh.
Flavonoid meskipun telah dimasak, dapat mencapai usus halus dalam keadaan utuh,
diabsorbsi secara terbatas di usus halus, mengalami metabolisme dengan cepat dan terbentuk
metabolit dari hasil metilasi, glucoronidasi dan sulphatasi. Umumnya bioavailabilitas flavonoid
sangat rendah oleh karena absorbsinya yang terbatas dan eliminasinya yang cepat namun
bervariasi diantara berbagai jenis flavonoid. Isoflavon mempunyai bioavailabilitas paling baik
sedangkan flavanol mempunyai absorbsi paling rendah (Manach et al., 2005). Pemberian soy
isoflavons dan citrus flavanones peroral pada manusia menunjukkan bahwa konsentrasi puncak
anthocyanines, flavanol dan flavonol, konsentrasi puncak dalam plasmanya kurang dari 1
dijelaskan sebagai berikut, flavonoid mempunyai kemampuan untuk mengikat ion-ion metal
seperti besi dan tembaga yang berfungsi mengkatalisis pembentukan radikal bebas sehingga
membatasi pembentukan radikal bebas, namun belum diketahui apakah fungsinya sebagai methal
chelators agent efektif juga secara in vivo, masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Frei &
Higdon, 2003).
Efek flavonoid yang lain yaitu mempengaruhi cell signaling pathways. Semua sel
mempunyai kemampuan untuk memberikan respon atas berbagai macam stres atau signal dengan
cara meningkatkan atau mengurangi ketersediaan protein spesifik. Reaksi cascade yang
kompleks yang menyebabkan perubahan dalam ekspresi gen spesifik disebut dengan cell
signaling pathway atau signal transduction pathways. Alur ini mengatur sejumlah proses dalam
sel misalnya pertumbuhan, proliferasi dan apoptosis (kematian sel). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan flavonoid untuk mempengaruhi cell signaling pathway lebih
Sejumlah hasil penelitian terhadap kultur sel menunjukkan bahwa flavonoid mempunyai
efek terhadap penyakit-penyakit kronis dengan cara menghambat secara selektif pembentukan
protein kinase yang berperan dalam mengkatalisis reaksi fosforilasi dari target protein (William
et al., 2004; Hou et al., 2004). Pertumbuhan dan proliferasi sel juga diatur growth factor yang
melakukan insiasi cell signaling cascade dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik dalam
membran sel. Flavonoid diduga mempengaruhi growth factor signaling dengan cara
menghambat secara kompetitif reseptor binding dalam membran sel (Lambert & Yang, 2003).
melalui beberapa mekanisme yaitu: 1) menghambat sintesa dinding sel bakteri; 2) menyebabkan
protein leakage akibatnya terjadi kebocoran dinding sel bakteri; 3) menghambat sintesis protein
bakteri; dan 4) kemungkinan mengintervensi fungsi DNA sel bakteri (Hussain et al., 2010;
flavonoids naringenin dan quercetin dapat berinteraksi dengan berbagai macam obat dengan cara
menghambat secara ireversibel enzim CYP 450 3A4 in vitro (Bailey & Dresser, 2004). Beberapa
flavonoid misalnya: quercetin, naringenin, flavanol dalam teh hijau dan epigallocathechine
flavonoid dalam jumlah yang banyak maka bioavailabilitasnya akan meningkat sehingga
misalnya digoxin, obat-obat antihipertensi, obat antiaritmia, obat-obat kemoterapi, obat-obat anti
jamur dan HIV protease inhibitors, apabila diberikan bersama-sama dengan flavonoid, akan
Penelitian ex vivo assay yang telah dilakukan membuktikan bahwa, mengkonsumsi jus
anggur ungu (500 ml/hari) dan dark chocolate (235 mg/ hari) yang banyak mengandung
perdarahan terutama pada pasien yang sedang menggunakan obat-obat antikoagulan misalnya
clopidogrel, dipyridamole, NSAIDs, aspirin dan lain-lain (Freedman et al., 2001; Murphy et al.,
2003). Flavonoid juga dapat mengurangi absorbsi nonheme iron yang terdapat dalam makanan,
demikian pula diketahui bahwa quercetin serta flavonoid yang terdapat dalam teh dapat
menghambat absorbsi vitamin C dari saluran cerna dan menghambat transport vitamin C ke
dalam sel (Song et al., 2002). Flavonoid yang berasal dari makanan nabati relatif tidak
menimbulkan efek samping. Hal ini dapat dijelaskan karena absorbsinya yang sangat sedikit dan
2.3.4.1 Pengertian
Ekstraksi adalah proses pengambilan/pemisahan komponen yang larut dari suatu bahan atau
campuran dengan menggunakan pelarut seperti air, alkohol, aseton dan sebagainya. Ekstraksi
dilakukan untuk mendapatkan bahan cair atau padat misalnya bahan alam yang sukar sekali
dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis atau termis, misalnya karena komponennya
saling bercampur secara sangat erat, komponen peka terhadap panas, perbedaan sifat-sifat
fisiknya sangat kecil, atau tersedia dalam konsentrasi yang terlalu rendah (Rahayu, 2009).
Menurut Ditjen POM (1995), ekstraksi adalah kegiatan pengambilan kandungan kimia yang
dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair, sedangkan
ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia
nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa
sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ginting, 2010). Prinsip ekstraksi adalah
melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar.
Umumnya ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar misalnya n-
heksana, lalu pelarut dengan kepolarannya sedang misalnya ethyl-acetate dan dichlormethane,
kemudian pelarut yang bersifat polar misalnya etanol atau metanol (Ginting, 2010).
Beberapa metode ekstraksi yang biasa digunakan untuk mengekstraksi metabolit sekunder
bahan alam yaitu: maserasi, perkolasi, sokletasi, refluks, digestasi dan infus (Ginting, 2010).
Metode ekstraksi metabolit sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi
Maserasi berasal dari kata bahasa latin macerare yang berarti perendaman, sehingga
menggunakan pelarut organik dengan beberapa kali pengocokan dan pengadukan pada
temperatur ruangan. Teknik maserasi digunakan terutama jika senyawa organik metabolit
sekunder yang ada dalam bahan tersebut cukup banyak persentasinya dan ditemukan suatu
pelarut yang dapat melarutkan senyawa tersebut tanpa dilakukan pemanasan. Proses ini sangat
menguntungkan karena dengan proses perendaman, akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder
yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan
sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan bahan pelarut dalam
proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan
senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut (Harborne, 1987; Pasaribu, 2009; Dewi, 2010).
Etanol adalah senyawa dengan sifat polar dan semi polar maksudnya adalah dapat berfungsi
sebagai pelarut air dan minyak. Penambahan air pada etanol akan mengurangi daya larut minyak
di dalam etanol. Kebanyakan senyawa yang molekulnya menghasilkan rasa misalnya manis,
pahit atau asam biasanya bersifat polar sedangkan senyawa yang molekulnya menghasilkan
aroma biasanya bersifat non polar. Etanol dapat mengekstraksi senyawa-senyawa aktif dalam
jumlah kecil yang terdapat dalam sediaan bahan alam (Lersch, 2008).
2.4 Chlorhexidine
Salah satu cara untuk mengobati halitosis adalah menggunakan obat kumur yang bertujuan
untuk mengurangi dental plak dan bakteri yang hidup dalam rongga mulut. Obat kumur yang
bis [5-(p-chlorophenyl) biguanide] di-D-gluconate) dalam basis yang mengandung air, alkohol
11,6%, glycerine, PEG-40 sorbitan diisostearate, flavour, sodium saccharine dan FD&C Blue
No.1. Chlorhexidine diproduksi dengan pH antara 5-7 berupa suatu garam chlorhexidine dan
gluconic acid. Struktur kimianya terlihat pada gambar dibawah ini (Kuyyakanond & Quenel,
1992):
Gambar 2.5 Struktur Kimia Chlorhexidine gluconate
oral rinsing. Kemampuannya untuk mengurangi bakteri baik aerobic maupun anaerobic
mencapai 54 97%. Obat kumur ini efektif terhadap bakteri Gram positif dan Grram negatif
meskipun terhadap beberapa bakteri Gram negatif kurang efektif (Shahani & Reddy, 2011).
Mekanisme kerja chlorhexidine dahulu diduga bersifat bakterisid dengan cara menginaktifkan
ATPase bakteri namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa chlorhexidine bersifat
bakterisid kemudian menjadi bakteriostatik dengan cara merusak dinding sel bakteri,
menyebabkan kematian sel bakteri (Kuyyakanond & Quenel, 1992; Mandel, 1994).
30% bahan aktif obat kumur ini akan tetap berada dalam rongga mulut setelah dilakukan kumur-
kumur. Bahan aktif yang tertinggal ini selanjutnya akan dilepaskan perlahan-lahan ke dalam
cairan rongga mulut. Chlorhexidine gluconate sangat sedikit diabsorbsi dalam saluran cerna.
Setelah 30 menit seseorang menelan chlorhexidine gluconate dengan dosis 300 mg maka rata-
rata kadar puncak dalam plasma mencapai 0.206 mikrogram/L dan setelah 12 jam kadar obat
dalam plasma tidak terdeteksi lagi. Kurang lebih 90% chlorhexidine gluconate diekskresi lewat
feses dan sisanya diekskresi lewat urine (Kolahi & Soolari, 2006).
bakteri dalam rongga mulut pada pasien yang menderita gingivitis, periodontitis, dental trauma,
kista rongga mulut dan setelah pencabutan gigi. Obat kumur ini digunakan dua kali sehari
Efek samping penggunaan chlorhexidine gluconate sebagai obat kumur telah banyak
dilaporkan. Efek samping yang umum dialami oleh pasien yaitu: 1) terjadinya staining pada
permukaan gigi, restorasi, gigi tiruan dan bagian dorsum lidah. Efek staining ini akan lebih
parah pada pengguna obat kumur yang juga perokok atau punya kebiasaan mengkonsumsi teh
dan kopi; 2) gangguan rasa pengecapan yang bersifat reversibel; 3) ulcerasi dan deskuamasi pada
mukosa; 4) rasa kering dalam mulut; 5) paresthesia; 6) geographic tongue dengan angka
BAB III
merupakan bakteri yang memulai terjadinya pertumbuhan plak pada permukaan gigi. Terjadinya
hal tersebut disebabkan karena kemampuan spesifik dari bakteri tersebut untuk menggunakan
sukrosa untuk menghasilkan suatu produk ekstraseluler yang lengket yang disebut dextran.
Produk ekstraseluler yang lengket tersebut memungkinkan bakteri-bakteri yang lain ikut
menempel pada permukaan gigi membentuk koloni yang terdiri dari berbagai bakteri yang
disebut dengan plak. Bakteri ini juga menghasilkan asam laktat yang berperan penting untuk
merubah lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 5,5) sehingga email mulai
Karies mempunyai dampak yang luas apabila tidak dirawat pada tahap awal. Berbagai
komplikasi dapat terjadi misalnya timbul rasa sakit yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan
terjadi abses pada mukosa sekitar gigi. Pada fase lanjut, gigi harus dicabut karena tidak dapat
dipertahankan lagi dan seseorang akan kehilangan giginya sehingga terjadi gangguan fungsi
mastikasi dan estetik. Berdasarkan fakta di atas maka karies harus dirawat dengan baik dan
dicegah agar gigi yang sehat tidak sampai terserang karies. Salah satu cara pencegahannya
adalah menggunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang berasal dari ekstrak tumbuh-
tumbuhan yaitu ekstrak etanol daun beluntas untuk mencegah pertumbuhan dan akulumasi plak.
Daun beluntas merupakan jenis obat tradisional yang banyak dijumpai di Indonesia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap beberapa bakteri diantaranya adalah Escherichia coli, Psuedomonas aeruginosa multi
resistant dan Methicillin resistant Staphylococcus aureus. Uji pendahuluan yang telah dilakukan
diketahui bahwa daun beluntas mengandung beberapa zat aktif diantaranya adalah: tannin,
flavonoid, steroid dan fenolat yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga apabila digunakan
Faktor Internal:
- Struktur
Faktor Eksternal: Streptococcus dinding sel
mutans yang
- Lingkungan
kompleks
rongga mulut Pertumbuhan - Kemampuan
- Suhu
beradaptasi
- media (Zona hambatan)
dengan
perubahan
lingkungan
dalam rongga
mulut
1. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans.
2. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans.
3. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans.
4. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans.
BAB IV
METODE PENELITIAN
Rancangan yang dipilih pada penelitian adalah completely randomized menggunakan post-
P0
O1
P1
R O2
P2
RA
P S
O3
P3
O4
P4
O5
P5
O6
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan:
P : Populasi
S : sampel
R : Random
RA : Random Alokasi
4.3.1 Sampel penelitian: Bakteri Streptococcus mutans ATCC 35668 yang dibiakkan dalam
Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus besar sampel menurut Frederer
(1977), sebagai berikut: (t-1)(r-1) 15, dimana t adalah jumlah perlakuan dan r adalah jumlah
pengulangan (replikasi) tiap kelompok perlakuan. Penelitian ini terdiri dari empat kelompok
perlakuan dan dua kelompok kontrol, sehingga t = 6 dan setelah dimasukkan ke dalam rumus
menjadi:
(6-1)(r-1) 15
(r-1) 15 : 5
(r-1) 3
Jadi jumlah pengulangan yang dilakukan adalah sebanyak empat kali untuk tiap kelompok
sehingga jumlah sampel keseluruhan untuk empat kelompok perlakuan dan dua kelompok
kontrol adalah 24 plate, namun untuk menjaga kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan maka jumlah sampel akan ditambahkan 25% sehingga jumlah keseluruhan menjadi
30 plate atau 5 kali pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
4.4.1 Variabel bebas: Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan
100%
4.4.2 Variabel tergantung: Diameter zona hambatan bakteri Streptococcus mutans
1. Suhu pengeraman
2. Waktu pengeraman
3. Media pengeraman
Variabel Bebas
1. Ekstrak etanol daun beluntas adalah sediaan pekat yang didapat dengan mengekstraksi zat
aktif daun beluntas menggunakan pelarut etanol 96%. Daun beluntas yang digunakan
adalah yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua dan dipetik saat berbunga. Konsentrasi
ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25%, 50%, 75% dan 100%
2. Diameter zona hambatan bakteri Streptococcus mutans adalah adanya zona bening yang
terbentuk pada difusi disk yang diukur dengan jangka sorong (dalam mm) untuk mengetahui
kekuatan daya hambat ekstrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans. Davis dan Stout (1971), mengatakan bahwa ketentuan daya
3. Suhu adalah: satuan besaran yang menyatakan derajat panas yang diperlukan untuk
dikeluarkannya media dengan satuan jam yaitu antara 18-24 jam menggunakan timer.
Streptococcus mutans yaitu media padat Mueller Hinton ditambah 5% darah kambing yang
tidak mengandung fibrin pada plate agar dengan diameter 10 cm dan ketebalan 4 mm.
6. Jumlah koloni Streptococcus mutans adalah: jumlah bakteri Streptococcus mutans yang
sesuai dengan 108 CFU/ml diperoleh dengan membuat kekeruhan bakteri yang setara
dengan 0,5 Mc Farland dalam larutan NaCl 0,9% dan dilihat dengan spektrofotometer.
1. Daun beluntas
1. Media isolasi dan numerasi: Media agar Mueller Hinton yang diperkaya dengan 5% darah
6. Tabung-tabung reaksi untuk tempat media cair, media semi solid, media agar miring untuk
perlakuan
Streptococcus mutans
ATCC 35668
Mueller Hinton agar darah
5%
Pembuatan kekeruhan
sebanding 108
Tabulasi
Analisis data
Kelurahan Renon, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Daun yang digunakan
adalah yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua serta dipetik pada saat tumbuhan sedang
berbunga, selanjutnya ditimbang sebanyak 1000 g daun segar, dicuci bersih, diiris halus
kemudian dikering-anginkan selama 3 hari. Daun beluntas dipetik saat berbunga karena pada
masa tersebut akan terbentuk banyak metabolit sekunder yang berguna untuk mempertahankan
diri (Zwenger & Basu (2008). Selanjutnya daun beluntas kering diblender untuk mendapatkan
bubuk daun beluntas. Ekstrak etanol daun beluntas didapatkan dengan cara 100 gram bubuk
kering daun beluntas, dimaserasi (direndam) menggunakan 1 liter pelarut etanol 96% selama 48
jam sambil dilakukan pengocokan agar lebih banyak zat aktif yang terikat oleh pelarut. Pelarut
etanol dipilih karena mudah diuapkan, bersifat polar sehingga dapat melarutkan senyawa-
senyawa yang bersifat polar, dan tidak bersifat toksik (Ginting, 2010). Pelarut etanol juga dipilih
karena dapat melarutkan zat-zat aktif dalam jumlah kecil yang terkandung dalam bahan alam
(Lersch, 2008). Proses ekstraksi yang digunakan adalah proses maserasi atau perendaman
dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh pemanasan yang dapat merusak senyawa aktif, selain
itu dengan proses perendaman akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel sehingga
metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan
ekstraksi senyawa aktif akan sempurna karena dapat diatur lamanya perendaman. Setelah 48 jam,
Perendaman diulang sampai 3 kali untuk mendapatkan semua zat aktif yang terkandung pada
simplisia. Filtrat yang terkumpul selanjutnya diuapkan pelarutnya menggunakan rotary vacuum
evaporatour dan didapatkan ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya diencerkan
Konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 25%,
50%, 75% dan 100% dan untuk mendapatkan konsentrasi tersebut dilakukan dengan cara: 1) 25
g ekstrak kasar, ditambahkan pelarut aquades steril sampai didapatkan volume 100 ml sehingga
ekstrak kasar, ditambahkan aquades steril sampai didapatkan volume 100 ml; 3) untuk
konsentrasi 75%: 75 g ekstrak kasar, ditambahkan aquades steril sampai didapatkan volume 100
ml; 4) untuk konsentrasi 100%: 100 g ekstrak kasar ditambahkan aquades steril sampai
1. Menimbang Mueller Hinton Agar 3,4 gram dalam 100 ml aquades, dilarutkan dan
4. Kemudian 5% dari media Mueller Hinton Agar + 5% darah kambing yang tidak
mengandung fibrin di atas diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam untuk mengetahui
sterilitas media
5. Bila media dalam keadaan steril, bisa langsung digunakan sebagai media penanaman bakteri
Streptococcus mutans
6. Penanaman bakteri Streptococcus mutans pada media di atas, kemudian diinkubasi pada
berikut:
a. Buat olesan tipis suspensi dari koloni murni bakteri pada object glass yang bersih,
dikering-anginkan. Setelah kering difiksasi dengan cara melewatkan bagian bawah object
h. Genangi dengan safranin selama 10 detik, bilas dengan air kran dan kering-anginkan
menggunakan minyak emersi. Sel-sel bakteri Gram positif akan berwarna ungu hingga
biru gelap sedangkan bakteri Gram negatif akan berwarna merah (Anonim, 2008).
b. Koloni Streptococcus mutans diambil dengan ose steril, dimasukkan ke dalam tabung
c. Diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama 15 menit, kemudian dipipet dan
diteteskan pada lubang slide grouping kit masing-masing sebanyak 50 mikron. Satu slide
lagi berfungsi sebagai kontrol positif juga ditetesi sebanyak 50 mikron. Kemudian pada
masing-masing lubang ditetesi dengan serum grouping A (pada lubang 1), serum
grouping B ( pada lubang 2), serum Grouping C (pada lubang 3), serum grouping D
(pada lubang 4), serum Grouping E (pada lubang 5), serum grouping F (pada lubang 6),
Dari hasil pengamatan apabila terjadi aglutinasi menunjukkan hasil positif. Bila tidak
a. Uji dengan Manitol broth: Ditimbang 2 gram serbuk manitol broth dilarutkan dengan
100 ml aquades kemudian dituangkan ke dalam tabung reaksi dengan volume masing-
masing 5 ml dan sebelumnya pada tabung tersebut sudah berisi tabung Durham dengan
posisi terbalik untuk menangkap gas yang dihasilkan oleh bakteri. Sediaan ini
diletakkan di water bath hingga suhu 500C. Untuk mengetahui sterilitias, media
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila media dalam keadaan steril, bisa
b. Uji dengan Sarbitol broth: Ditimbang 2 gram serbuk sarbitol broth dalam 100 ml
ml. Kemudian dimasukkan ke dalam autoclave dengan suhu 1210C selama 15 menit
selanjutnya diletakkan di water bath hingga suhu 500C. Untuk mengetahui sterilitas,
media diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila media dalam keadaan steril, bisa
c. Uji dengan VP (Voges Proskauer): Ditimbang 1,7 gram VP dalam 100 ml aquades
diletakkan di water bath hingga suhu 500C. Untuk mengetahui sterilitas, media
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila media dalam keadaan steril, bisa
Setelah ketiga media uji siap, dilanjutkan dengan memasukkan bakteri uji ke dalam tabung
reaksi menggunakan ose steril, selanjutnya tabung reaksi dimasukkan kembali ke dalam
inkubator pada suhu 370C selama 24 jam. Hasil pengamatan menunjukkan adanya
kekeruhan dan perubahan warna menjadi kuning pada media manitol dan sarbitol sedangkan
pada media VP terjadi kekeruhan yang bila ditambah reagen Kovae berubah menjadi merah
kulit anggur. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa koloni tersebut merupakan bakteri
10. Pembuatan kekeruhan Streptococcus mutans sebanding dengan 108 CFU/ml: Koloni
Streptococcus mutans dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi NaCl 0,9%, dibuat
kekeruhan sebanding dengan 108 CFU/ml yang setara dengan 0,5 McFarland sehingga dapat
11. Dengan menggunakan lidi kapas steril, isolat Streptococcus mutans dioleskan secara merata
pada media agar Mueller Hinton yang ditambah 5% darah kambing yang tidak mengandung
fibrin (media agar darah) pada cawan petri. Selanjutnya dilakukan uji pendahuluan
menggunakan esktrak etanol daun beluntas yang diencerkan menjadi konsentrasi 5%, 10%,
15%, 20%, 25%, 50%, 75% dan 100%. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak
yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai aktivitas anti bakteri, selain itu uji
atau bateriostatik. Uji ini dilakukan dengan cara difusi disk yang telah mengandung ekstrak
etanol daun beluntas dengan konsentrasi berbeda dan terbukti mempunyai daya hambat
terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dipindahkan ke media agar darah steril,
kemudian diinkubasi kembali pada suhu 370C selama 24 jam kemudian dilihat apakah
terdapat pertumbuhan bakteri di sekeliling difusi disk. Konsentrasi ekstrak yang digunakan
dalam penelitian ini bersifat bakteriostatik apabila di sekeliling difusi disk terjadi
Streptococcus mutans dengan mengukur zona bening di sekitar difusi disk dengan menggunakan
jangka sorong secara vertikal, horizontal dan diagonal kemudian dirata-ratakan dalam milimeter
(Pratiwi, 2005).
Data dianalisis secara statistik dengan uji deskriptif, uji normalitas data, uji homogenitas
data, uji komparabilitas dan analisis kualitatif. Data hasil penelitian ini diolah dengan
menggunakan program komputer yaitu Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) for
30. Uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05. Analisis
homogenitas data dilakukan dengan uji varians (Levenes test of varians). Uji varians
Hasil uji normalitas dan homogenitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan
bersifat homogen maka analisis komparatif data antar kelompok dilakukan dengan uji One Way
Anova dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) pada tingkat kepercayaan 95%
untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda bermakna. Berdasarkan pada taraf
Data diameter zona hambatan mula-mula dikelompokkan menjadi empat kategori menurut
(Davis & Stout (1971) yaitu: sangat kuat, kuat, sedang dan lemah. Analisis hubungan antara
konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat menggunakan tabulasi
BAB V
HASIL PENELITIAN
Udayana menggunakan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan
100% untuk mengetahui daya hambatnya terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans
penyebab karies gigi. Mula-mula isolat bakteri dibiakkan terlebih dahulu pada media agar darah
steril (Mueller Hinton agar ditambah 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin) pada
suhu 370C selama 24 jam untuk mendapatkan koloni yang cukup untuk uji daya hambat,
selanjutnya dilakukan uji konfirmasi yang terdiri dari uji Gram, uji dengan Streptococcus
Grouping Kit dan uji biokimia yakni uji dengan sarbitol broth, manitol broth dan Voges
Proskauer.
Hasil uji Gram menunjukkan bahwa isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat (coccus) dan tersusun seperti rantai (foto hasil uji
terlampir). Hasil uji konfirmasi dengan Streptococcus Grouping Kit terlihat adanya aglutinasi
pada lubang ke-4 dan lubang kontrol positif yang menunjukkan bahwa isolat yang digunakan
adalah Streptococcus mutans group D (foto hasil uji terlampir). Hasil uji konfirmasi lanjutan
dengan uji biokimia yaitu uji dengan sarbitol broth, manitol broth dan Voges proskauer
menunjukkan bahwa pada media sarbitol broth dan manitol broth terjadi perubahan warna
menjadi kuning sedangkan Voges proskauer terjadi perubahan warna menjadi merah kulit anggur
setelah ditambahkan reagen Kovae, yang menunjukkan bahwa isolat bakteri yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Streptococcus mutans (foto hasil uji terlampir). Berdasarkan hasil uji
konfirmasi yang telah dilakukan maka diketahui bahwa isolat yang digunakan sebagai sampel
dalam penelitian ini adalah Streptococcus mutans group D, berbentuk bulat (coccus), tersusun
Uji pendahuluan dilakukan setelah uji konfirmasi dan hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak
etanol daun beluntas dengan konsentrasi 5% - 20% tidak mempunyai daya hambat terhadap
pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans, sedangkan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100%
Uji lanjutan dilakukan untuk menentukan apakah ekstrak etanol daun beluntas bersifat
bakteriostatik ataukah bakterisidal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di sekeliling difusi disk
yang mengandung ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50% dan 75% terlihat
adanya pertumbuhan bakteri yang berarti ketiga konsentrasi ekstrak tersebut bersifat
yang mengandung 100% ekstrak tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri yang menunjukkan
bahwa esktrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% bersifat bakterisid (bersifat
membunuh bakteri) terhadap bakteri Streptococcus mutans (foto hasil penelitian terlampir).
Replikasi pada penelitian ini dilakukan sebanyak lima kali untuk setiap kelompok kontrol
dan perlakuan sehingga jumlah pengulangan seluruhnya adalah 30 kali. Hasil penelitian
kemudian dikumpulkan, ditabulasi dan dilakukan uji deskriptif dilanjutkan dengan analisis untuk
mengetahui normalitas dan homogenitas data, selanjutnya dilakukan uji komparabilitas data
antar kelompok dengan One Way Anova dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference. Uji
kualitatif yaitu chi-square dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikansi antara konsentrasi
ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat terhadap bakteri Streptococcus
mutans.
Data hasil uji daya hambat kelompok kontrol dan ekstrak etanol daun beluntas dengan
konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap bakteri Streptococcus mutans selanjutnya
dilakukan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji menunjukkan bahwa
Data hasil uji daya hambat kelompok kontrol dan ekstrak etanol daun beluntas dengan
konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap bakteri Streptococcus mutans selanjutnya
dilakukan uji homogenitas menggunakan Levenes test. Hasil uji menunjukkan bahwa data antar
Uji komparabilitas data antar kelompok bertujuan untuk membandingkan rerata daya
hambat kelompok kontrol dan kelompok ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%,
50%, 75% dan 100% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kelompok data berdistribusi normal dan bersifat homogen maka analisis
komparabilitas data antara kelompok dilakukan dengan uji One Way Anova dan hasilnya
Tabel 5.1
Rerata Daya Hambat Kelompok Kontrol dan Kelompok Ekstrak Etanol Daun
Beluntas dengan Konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Streptococcus mutans
Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa rerata daya hambat kelompok kontrol negatif adalah
0,00 0,00 mm, rerata daya hambat kelompok kontrol positif adalah 11,00 0,707 mm, rerata
daya hambat kelompok konsentrasi 25% adalah 11,00 1,643 mm, rerata daya hambat
kelompok konsentrasi 50% adalah 14,20 0,836 mm, rerata daya hambat kelompok konsentrasi
75% adalah 15,60 1,140 mm dan rerata daya hambat kelompok konsentrasi 100% adalah
19,20 0,836 mm. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F
= 218,82 dengan nilai p = 0,000 hal ini berarti bahwa rerata daya hambat antar kelompok
Uji lanjutan dengan uji Least Significant Difference perlu dilakukan untuk mengetahui
kelompok konsentrasi ekstrak mana saja yang memiliki perbedaan daya hambat yang nyata
dengan kelompok kontrol terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil uji
Tabel 5.2
Analisis Komparasi Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun Beluntas Berbagai
Konsentrasi dengan Kelompok Kontrol Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus
mutans
Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa kemampuan daya hambat ekstrak etanol daun
beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% serta kontrol positif berbeda bermakna
terhadap kontrol negatif dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Dibandingkan dengan kontrol positif,
hanya ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50%, 75% dan 100% berbeda bermakna
terhadap kontrol positif dengan nilai p = 0,000 (p<0,05), sedangkan konsentrasi 25% tidak
Uji lanjutan dengan Least Significant Difference juga dilakukan untuk mengetahui
perbedaan daya hambat antar kelompok konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan
konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans.
Berdasarkan tabel 5.3 di atas diketahui bahwa konsentrasi ekstrak 25%, 50%, 75% dan
Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan
kualitas daya hambat digunakan tabulasi silang dan hasil uji disajikan pada Tabel 5.4 berikut:
Tabel 5.4
Hasil Tabulasi Silang Kualitas Daya Hambat Kelompok Kontrol dan Kelompok
Ekstrak Etanol Daun Beluntas dengan Konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans
Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa daya hambat kontrol negatif terhadap pertumbuhan
bakteri Streptococcus mutans tergolong kriteria lemah (lima kali ulangan), daya hambat kontrol
positif, konsentrasi ekstrak 50% dan 75% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans
tergolong kuat (masing-masing lima kali ulangan), sebagian besar daya hambat konsentrasi 25%
terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans tergolong kuat (empat kali ulangan),
sebagian kecil (dua kali ulangan) konsentrasi ekstrak 100% mempunyai daya hambat yang
Tingkat signifikansi hubungan antara kualitas daya hambat dengan kemampuan ekstrak
etanol daun beluntas pada berbagai konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans dilakukan analisis menggunakan Chi-Square dan hasilnya disajikan pada
Tabel 5.5
Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Beluntas
dengan Kualitas Daya Hambat Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans
Chi-Square hitung df p
Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara
peningkatan konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat terhadap
BAB VI
dibuatlah pembahasan hasil penelitian. Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa konsentrasi
ekstrak minimal yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dalam
penelitian ini adalah 25%. Hasil penelitian pendahuluan ini sesuai dengan hasil penelitian
Susanti (2006), yang menyatakan bahwa konsentrasi daya hambat minimal ekstrak daun
beluntas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli adalah 25% dan hasil
penelitian Sulistyaningsih (2009), yang menyatakan bahwa konsentrasi daya hambat minimal
ekstrak daun beluntas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphyloccous aureus yang
resisten terhadap Methicilin adalah konsentrasi 20% sedangkan terhadap bakteri Pseudomonas
Hasil penelitian lanjutan tentang daya bunuh ekstrak terhadap bakteri Streptococcus mutans
diketahui bahwa ekstrak etanol dengan konsentrasi 25%, 50% dan 75% bersifat bakteriostatik
sedangkan yang 100% bersifat bakterisidal. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan konsentrasi
ekstrak yang besar yaitu lebih besar dari 75% untuk membunuh bakteri Streptococcus mutans.
Hal ini diduga disebabkan karena bakteri ini mempunyai dinding sel yang kompleks yang terdiri
atas beberapa lapisan peptidoglikan yang kaku dan tebal (Radji, 2010), sehingga diperlukan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas dengan konsetrasi 25%
mempunyai kualitas daya hambat setara dengan kontrol positif yaitu chlorhexidine 0,12%
terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Chlorhexidine 0,12 % adalah sejenis obat
kumur yang digunakan untuk mengurangi akumulasi plak dalam rongga mulut. Obat kumur ini
anaerobic mencapai 54-97%. Obat kumur ini efektif terhadap bakteri Gram positif maupun
negatif, meskipun untuk beberapa bakteri Gram negatif kurang efektif (Shahani & Reddy, 2011).
Mekanisme aktivitas antibakteri chlorhexidine 0,12% adalah dengan cara merusak dinding sel
bakteri, menghambat sistem enzimatik dan mengeluarkan lipopolisakarida dari dinding sel
bakteri yang mengakibatkan kematian sel bakteri (Kuyyakanond & Quenel, 1992; Mandel,
1994). Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dalam penelitian ini mempunyai
kemampuan daya hambat setara dengan chlorhexidine 0,12% maka diharapkan mempunyai
manfaat aktivitas antibakteri yang sama pula dengan chlorhexidine 0,12%. Mengingat
chlorhexidine 0,12% mempunyai beberapa efek samping yang merugikan, maka dengan temuan
dalam hasil penelitian ini diharapkan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif pencegahan yakni sebagai obat kumur antiseptik yang
berasal dari ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk menghambat pertumbuhan dan akumulasi plak
yang mengandung bakteri Streptococcus mutans. Hal ini sesuai dengan anjuran Lewis & Ismail
(1993), serta Rosenberg (2000), yang mengatakan bahwa untuk mengurangi jumlah plak pada
permukaan gigi dapat digunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang berasal dari
ekstrak tanaman obat. Hasil penelitian ini juga menempatkan ekstrak etanol daun beluntas
sebagai salah satu bahan obat kumur antiseptik dari ekstrak tanaman obat, yang dapat digunakan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans selain ekstrak teh hijau hasil
penelitian Carson et al. (2006), dan ekstrak buah pala hasil penelitian Yanti et al. (2008).
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data pula, diketahui bahwa ekstrak etanol daun
beluntas dalam berbagai tingkatan konsentrasi mempunyai potensi yang cukup besar dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hal ini tidak diragukan lagi mengingat
kandungan zat berkhasiat yang terkandung dalam ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan
dalam penelitian ini. Hasil uji fitokimia (uji pendahuluan) menunjukkan bahwa ekstrak etanol
daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung zat aktif fenolat (+++), steroid
(+++), flavonoid (++) dan tannin (+) yang merupakan zat anti mikroba. Hasil uji fitokimia ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini
mengandung zat aktif steroid dan fenolat dalam jumlah yang sangat banyak, zat aktif flavonoid
dalam jumlah yang banyak serta tannin dalam jumlah lebih sedikit.
Fenolat adalah suatu kelas senyawa hidroksil yang terikat secara langsung pada suatu
kelompok hidrokarbon aromatik. Fenolat juga bersifat asam sehingga disebut juga asam karbolat
yang mempunyai kemampuan untuk merusak dinding sel bakteri sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri (Susanti, 2006; Devi, 2011). Steroid adalah suatu senyawa organik yang
terdapat dalam metabolit sekunder merupakan derivat senyawa terpen yaitu triterpenoid yang
mempunyai aktivitas antibakteri diduga dengan cara menyebabkan kebocoran membran sel yang
banyak mengandung lipid yakni pada bagian aqueous (cair) dari phosphatidylethanolamine yang
kaya akan liposome. Kebocoran membran sel akan menyebabkan kematian sel bakteri (Epand et
al., 2007; Mohamed et al., 2010). Flavonoid merupakan suatu substansi fenolik yang
terhidroksilasi, yang mempunyai aktivitas antibakteri yang tidak diragukan lagi terhadap
antibakteri melalui beberapa mekanisme yaitu: 1) menghambat sintesa dinding sel bakteri; 2)
membentuk ikatan kompleks dengan protein, mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi
kebocoran dinding sel; 3) menghambat sintesis protein bakteri; dan 4) diduga menginterfensi
fungsi DNA sel bakteri (Hussain et al., 2010; Mohamed et al., 2010). Tannin menunjukkan
aktivitas antibakterinya dengan cara berikatan dengan proline yang kaya akan protein
membentuk suatu kompleks, menyebabkan protein leakage sehingga terjadi kerusakan dinding
sel bakteri dan mengakibatkan kematian bakteri (Machado et al., 2003; Braga et al., 2005;
dalam ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini tidak diketahui dengan
pasti, namun berdasarkan kandungan zat aktif di dalamnya dapat diduga bahwa fenolat, steroid,
flavonoid dan tannin bekerja secara sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian para peneliti pendahulu
yang menggunakan ekstrak yang sama untuk menguji daya hambat ekstrak terhadap
pertumbuhan bakteri Eschericia coli (Susanti, 2006), selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Nahak, et al. (2007), yang mendapatkan bahwa ekstrak daun beluntas dapat menurunkan 70%
bakteri dalam saliva, demikian pula hasil penelitian Sulistiyaningsih (2009), yang menggunakan
ekstrak yang sama untuk menguji daya hambatnya terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa
Multi Resistant dan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus, sehingga tidak diragukan lagi
kemampuan daya hambat ekstrak etanol daun beluntas terhadap berbagai bakteri patogen pada
manusia khususnya Streptococcus mutans sebagai bakteri yang bersifat kariogenik dan bakteri
Penelitian ini masih mempunyai beberapa kekurangan yaitu dalam penelitian ini belum
dapat ditentukan konsentrasi daya hambat minimal (MIC) dan Minimal Bactericidal
Concentration (MBC) sesungguhnya dari ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans, demikian juga mekanisme kerja kandungan zat-zat aktif yang terdapat di
dalam ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian inipun belum diketahui
dengan pasti, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan MIC dan MBC serta
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji daya hambat ekstrak etanol daun beluntas terhadap
pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan pembahasan hasil penelitian didapat simpulan
sebagai berikut:
1. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat menghambat pertumbuhan
2. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% dapat menghambat pertumbuhan
3. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% dapat menghambat pertumbuhan
4. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% dapat menghambat pertumbuhan
5. Konsentrasi minimal dari ekstrak etanol daun beluntas dalam penelitian ini yang dapat
6. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50% dan 75% bersifat
7.2 Saran
sesungguhnya dari zat-zat aktif yang terkandung dalam metabolit sekunder ekstrak
3. Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan menggunakan ekstrak daun beluntas yang
sudah siap pakai misalnya dalam bentuk pasta gigi atau obat kumur untuk mengetahui
daya hambat esktrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus
4. Disarankan kepada masyarakat yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan gigi untuk
alternatif pencegahan terhadap pembentukan dan akumulasi plak dalam rongga mulut.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaikumar, K.B., Asheef, M., Babu, B.H., & Padikkala, J. 2005. The Inhibition of Gastric
Mucosal Injury by Punica granatum L., (Pomegranate) Methanolic Extract. Journal of
Ethnopharmacology. 96: 171-176
Anonim, 1982. FDI/WHO. Global Goals for Oral Health in the Year 2000. Int Dent J. 32: 74-7
Anonim, 2005. Survei Kesehatan Nasional. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta: Badan Litbangkes. 3:18-20
Anonim, 2008. Pedoman Diagnosis OPTK Golongan Bakteri. Departemen Pertanian. Badan
Karantina Pertanian. Jakarta. p. 20-21
Anonim, 2010. Pluchea indica (Beluntas). Artikel. (Serial Online) (Citted 2011 Des 22).
Available at: http://tnalaspurwo.org/media/pdf/kea-beluntas-(pluchea-indica).pdf
Anonim, 2011. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 dalam Bidang Kesehatan Gigi dan
Mulut. Sambutan Menteri Kesehatan RI pada Pembukaan Kongres XXIV PDGI Bali, 30-
31 Maret 2011. (Serial Online) (Cited 2012 Mei 1). Available at:
http://www.pdgi.or.id/artikel/ detail/sambutan-menteri-kesehatan-pada-pembukaan-
kongres-xxiv-pdgi-bali-30-31-maret-2011
Argimn, S., & Caufiled, P.W. 2011. Distribution of Putative Virulence genes in Streptococcus
mutans Strain does not Correlate with Caries Experience. Journal of Clinical
Microbiology. 49(3): 984-92
Arief. 2000. Ilmu Meracik Obat. Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
p. 25
Bailey, D.G., & Dresser, G.K. 2004. Interaction Between Grapefruit Juice and Cardivasculer
Drugs. Am.J. Cardiovasc Drugs. 4(5): 281-297
Biswas, S., & Biswas, I. 2011. Role of VitAB, an ABC Transporter Complex in Viologen
Tolerance in Streptococcus mutans. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 55(4):
1460-9
Braga, L.C., Shupp, J.W., Cummings, C., Jett, M., Takahashi, J.A., Carmo, L.S., Chartone-
Souza, E., & Nasclmento, A.M.A. 2005. Pomegranate Extract Inhibits Staphylococcus
aureus Growth and Subsequent Enterotoxin Production. Journal of Ethnopharmacology.
96 : 335-339
Carson, C.F., Hammer, K.A., & Riley, T.V. 2006. Melaleuca Alternifolia (Tea Tree) Oil: A
Review of Antimicrobial and Other Medicine Properties. Clinical Microbiology Review.
19(1): 50-62
Clarke, J.K. 1924. On the Bacterial Factor in the Etiology of Dental Caries. British Journal of
Experimental Pathology. 5: 141-7
Cushnie, T.P.T., & Lamb, A.J. 2011. Recent Advances in Understanding the Antibacterial
Properties of Flavonoids. International Journal of Antimicrobial Agents. 38(2): 99-107
Dalimartha, S. 1999, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I. Jakarta:Trubus Agriwidya. p. 18-
21
Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Mengkudu (Morinda citrofolia, Linnaeus)
Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. Surakarta: Jurusan Biologi MIPA Universitas
Sebelas Maret. p. 7-8
Eccles, J.D., & Green, R.M. 1994. Konservasi Gigi. Jakarta: Widya Medika. p. 1-23
Epand, R.F., Savage, P.B., & Epand, R.M. 2007. Bacterial Lipid Composition and the
Antimicrobial Efficacy of Cationoc Steroid Compounds (Ceragenins). Biochimica et
Biophysica Acta. 1768(10): 2500-9
Ferdian, A. 2010. Analisa Zat Berkhasiat Beluntas. Artikel Kimia. (Serial Online) (Cited 2010
Nov 12). Available from: http://kimia.unp.ac.id/?p=1186
Frederer, W.T. 1977. Experimental Design Theory and Application. 3rd Edition. New Delhi,
Bombay Calcuta. Oxford and IBH Publishing.Co. p. 544
Freedman, J.E., Parker, C., & Li, L. 2001. Select Flavonoids and Whole Juice from Purple
Grapes Inhibit Plate Function and Enhance Nitric Oxide Release. Circulation. 103(23):
2792-2798
Frei, B., & Higdon, J.V. 2003. Antioxidant Activity of Tea Polyphenols in vivo: Evidence from
Animal Studies. J. Nutr. 133(10): 3275S-3284S
Ginting, A.M., 2010. Pemanfaatan Matriks Nata de Coco Terhadap Ekstrak Etanol Daun
Dandang Gendis. (Serial Online) (Cited 2011 August 16). Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19967/4/chapter%20II.pdf
Haidari, M., Ali, M., Casscells, S.W., & Madjid, M. 2009. Pomegranate (Punica granatum)
Purified Polyphenol Extract Inhibits Influenza Virus and has a Synergistic Effect with
Oseltamivir. Phytomedicine. 16: 1127-1136
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
(Padmawinata, K., Soediro, I., Pentj). Jilid II. Bandung: Institut Teknologi Bandung. p.4-
5.
Hashizume, L.N., Shinada, K., & Kawaguchi, Y. 2006. Dental Caries Prevalence in Brazilian
Schoolchildren Resident in Japan. Journal of Oral Science. 48(2): 51-57
Hassanpour, S., Maheri-Sis, N., Eshratkhah, B., & Mehmandar, F.B.. 2011. Plants and
Secondary Metabolites (Tannins): A Review. Int. J. Forest, Soil and Erosion. 1 (1):47-53
Higdon, J., Drake, V.J., & Dashwood, R.H. 2008. Flavonoids. Reviewed Article. Linus Pauling
Institute, Oregon State University. (Serial Online). (Cited 2011 July 27). Available from:
http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/phytochemicals/flavonoids/
Hou, Z., Lambert, J.D., Chin, K.V., & Yang, C.S., 2004. Effects of Tea Polyphenols on Signals
Transduction Pathways Related to Cancer Chemoprevention. Mutat Res. 555(1-2): 3-19
Hussain, A., Wahab, S., Zarin, I., & Sarfaraj Hussain, M.D. 2010. Antibacterial Activity of the
Leaves of Cocconia indica (W. and A) Wof India. Advances in Biological Research. 4(5):
241-248
Islam, A.K., Ali, M.A., Sayeed, A., Salam, S.M., Islam, A., Rahman, M., Khan, G.R., & Khatun,
S. 2003. An Antimicrobial Terpenoid from Caesalpinia pulcerrima Swartz: Its
Characterization, Antimcrobial and Cytotoxic Activities. Asian J Plant Sci. 2: 17-24
John, A.J., Kanurakran, V.P., & George, V. 2007. Antibacterial Activity of Neolitsea foliosa
(Nees) Gamlbe var. caesia (Meisner). J.Essent.Oil. Res. 19:498-500
Joiston-Bechal, S., & Hernaman, N. 1993. The Effect of Mouthrinse Containing Chlorhexidine
and Fluoride on Plaque and Gingival Bleeding. Journal of Oral Medicine and
Periodontology; 20(1): 49-5
Lei, F., Zhang, X.N., Wang, W., Xing, D.M., Xie, W.D., Su, H., & Du, L.J. 2007. Evidence of
Anti-Obesity Effects of the Pomegranate Leaf Extract in High Fat Diet Induce Obese
Mice. International Journal of Obesity. 31: 1023-1029
Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Karya Ilmiah. (Serial
Online) (Cited 2011, Juli 27). Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1842/06003489.pdf
Lersch, M. 2008. Wonders of Extractions: Ethanol. Article. (Serial Online) (Cited 2011 Des 28).
Available from: http://blog.khymos.org/2008/06/08/wonders-of-extractions-ethanol/
Lewis, D.W., & Ismail, A.I. 1993. Dental Caries, Diagnosis, Risk Factors and Prevention. Can
Med Assoc J. p.408-417
Machado, T.B., Pinto, A.V., Pinto, M.C.F.R., Leal, I.C.R., Silva, M.G., Amaral, A.C.F., Kuster,
R.M., & Netto-dos Santoz, K.R. 2003. In vitro Activity of Brazilian Medicinal Plants,
Naturally Occuring Naphtoquinones and Their Analogues Against Methicilline
Resistant Staphyloccoccus aureus. International Journal of Antimicrobial Agents. 21:
279-284
Manach, C., Scalbert, A., Morand, C., Remesy, C., & Jimenez, L. 2004. Polyphenols: Food
Sources and Bioavailability. Am J Clin Nutr. 79(5): 727-74
Manach, C., Williamson, G., Morand, C., Scalbert, A., & Remesy, C. 2005. Bioavailability and
Bioefficacy of Polyphenols in Humans. I. Review of 97 Bioavailability Studies. Am J
Clin Nutr. 81(1 Suppl): 230S-242S
Mandel, I.D. 1994. Antimicrobial Mouth Rinses: Overview & Update. J Am Dent Assoc.
125(25): 2S -10S
Marsik, F.J. 2011. Special Antimicrobial Susceptibility Tests. Dalam: Textbook of Diagnostic
Microbiology (Edited by: Mahon, C.R., Lehman, D.C., Manuselis, G.), 4th Edition. W.B.
Saunders Company. p.308-310
Marzolini, C., Paus, E., Buclin, T., & Kim, R.B. 2004. Polymorphisms in Human MDR1 (P-
Glycoprotein): Recent Advances and Clinical Relevances. Clin Pharmacol Ther. 75(1):
13-33
Menegon, R.F., Blau, L., Janzantti, N.S., Pizzolitto, A.C., Corra, M.A., Monteriro, M., &
Chung, M.C. 2011. A Nonstaining and Tasteless Hydrophobic Salt of Chlorhexidine.
Article. (Serial Online) (Cited 2011 August 8). Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21344413
Menendez, A., Li, F., Michalek, S., Kirk, K., Makhija, S.K., & Childers, N.K. 2005.
Comparative Analysis of the Antibacterial Effects of Combined Mouthrinses on
Streptococcus mutans. Journal of Oral Microbiology and Immunology; 20(1): 31
Mohamed, S.S.H., Hansi, P.D., & Thirumurugan, K. 2010. Antimicrobial Activity and
Phytochemical Analysis of Selected Indian Folk Medicinal Plants. International Journal
of Pharma Sciences and Research (IJPSR). 1(10): 430-434
Moses, J., Rangeeth, B.N., & Gurunathan, D. 2011. Prevalence of Dental Caries, Socio-
Economic Status and Treatment Needs Among 5 to 15 Year Old School Going Children
of Chidambaram. Journal of Clinic and Diagnostic Research. 5(1): 146-151
Murphy, K.J., Chronopoulos, A.K., & Singh, I. 2003. Dietary Flavanols and Procyanidine
Oligomers from Cocoa (Theobroma cacao) Inhibit Platelet Fungction. Am J Clin Nutr.
77(6): 1466-1473
Murthy, K.N.C., Reddy, K.V., Veigas, & J.M. 2004. Study on Wound Healing Activity of Punica
granatum Peel. Journal of Medicinal Food. 7: 256-259
Nahak, M.M., Tedjasulaksana, R., & Dharmawati, I.G.G.A. 2007. Khasiat Ekstrak Daun
Beluntas untuk Menurunkan Jumlah Bakteri pada Saliva. Interdental Jurnal Kedokteran
gigi, Denpasar. 5(3): 139-142
Nakano, K., Ianaba, H., Nomura, R., Nemoto, H., Takeda, M., Yoshioka, H., Matsue, H., &
Takahashi, T. 2006. Detection of Cariogenic Streptococcus mutans in Extirpated Heart
Valve and Atheromatous Plaque Specimens. Journal of Clinical Microbiology. 44(9):
3313-7
Parmar, G., Kaur, J., Varghese, C., & Rajan, K. 2007. Management of Dental Caries in Selected
Rural Areas of Gujarat Through Atraumatic Restorative Technique (ART). Report. Gol-
WHO Collaboration Program (2006-07). Govenrment Dental college and Hospital,
Ahmedabad 380 016, India. p.10.
Pasaribu, S.P. 2009. Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder dari Daun Tumbuhan Babadotan
(Ageratum conyzoides L.). Jurnal Kimia Mulawarman. 6(2): 1-7
Patra, A.K., & Saxena, J. 2010. Exploitation of Dietary Tannins to Improve Rumen Metabolism
and Ruminant Nutrition. J Sci Food Agric. 91: 24-37
Peterson, D. 2011. Family Gentle Dental Care. Article. (Serial Online). (cited 2011, Agustus 8).
Available from: http://www.dentalgentlecare.com/periguard.htm
Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials. A Practical Approach. John Wiley & Sons Ltd. West Sussex-
England. p. 50-87
Prabuseenivasan, S., Jayakumar, M., & Ignacimuthu, S. 2006. In vitro Antibacterial Activity of
Some Plant Essential Oils. BMC Complement. Altern. Med. 6:39
Praptiwi, Chairul, & Harapini, M. 2006. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Makasar (Brucea
javanica L.Merr.) terhadap Plasmodium berghei Secara in-vivo pada Mencit. Laporan
Penelitian. Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI, Bogor. p. 1-6
Pratiwi, P. 2005. Perbedaan Daya Hambat Terhadap Streptokokus mutans dari Beberapa Pasta
Gigi yang Mengandung Herbal. Majalah Kedokteran Gigi. 38(2): 64-67
Putra, S.E. 2007. Alkaloid: Senyawa Organik Terbanyak di Alam. Artikel Kimia. (Serial Online)
(Cited 2011 Des 29). Available from: http://www.chem-is-
try.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid-senyawa-organik-terbanyak-dialam
Rahayu, S.S. 2009. Ekstrasi. Artikel Kimia. (Serial Online) (Cited 2011 Agustus 16). Available
from: http://www.chem-is-try.org/materikimia/kimia-industri/teknologi-proses/ekstraksi/
Radji, M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi. Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta:
EGC. p. 11-15
Ritter, A.V. 2004. Dental Caries. Talking with Patients. Article. Journal of Esthetic and
Restorative Dentistry. p. 76
Rosenberg, J.D. 2010. Dental Cavities. Article. (Serial Online) (Cited 2012 April 29). Available
from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/oo1055.htm
Sardjono, H., Santoso, O., & Dewoto, H.R. 2004. Analgesik Opioid dan Antagonis. Dalam:
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4 Cetak Ulang. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru. p. 189-206
Santoso, S. 2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 14. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. p. 214-223
Schultz, 2011. Secondary Metabolites in Plants. Article. (Serial Online). (Cited 2011 Desember
22). Available from: http://www.biologyreference.com/Re-Se/Secondary-Metabolites-in-
Plants.html
Serafini, M., Ghiseli, A., & Ferro-Luzzi, A., 1996. In vivo Antioxidant Effect of Green Tea and
Black Tea in Man. Eur J Clin Nutr. 50(1): 28-32
Seymour, R.A., & Heasman, P.A. 1995. Pharmacological Control of Periodontal Disease. J.
Dent; 23(1): 5-14
Shahani, M.N., & Reddy, V.V.S. 2011. Comparison of Antimicrobial Substantivity of Root
Canal Irrigants in Instrumented Root Canals up to 72 Hours: An Invitro Study. Journal of
Indian Soc. Pedod. Prev. Dent. 29: 28-33
Sondang, P., & Hamada, T. 2008. Menuju Gigi & Mulut Sehat: Pencegahan dan Pemeliharaan.
USU Press: 44-56
Song, J., Kwon, O., & Chen, S. 2002. Flavonoids Inhibition of Sodium-Dependent Vitamin C
Transporter 1 (SCVT 1) and Glucose Transporter Isoform 2 (GLUT 2), Intestinal
Transporters for Vitamin C and Glucose. J Biol Chem. 277 (18): 15252-15260
Spencer, & Jeremy, P.E. 2008. Flavonoids: Modulators of Brain Function. British Journal of
Nutrition. 99: ES60-77
Spencer, J.P., Rice-Evans, C., & William, R.J., 2003. Modulation of pro-Survival Akt/Protein
Kinase B and ERK Signaling Cascade by Quercetin and its in vivo Metabolites
Underlie Their Action on Neoronal Viability. J Biol Chem. 278(37): 34783-34793
Sulistyaningsih, Rr. 2009. Potensi Daun Beluntas (Pluchea indica Less) Sebagai Inhibitor
Terhadap Pseudomonas aeruginosa Multi Resistant dan Methicilline Resistant
staphylococcus aureus. Laporan Penelitian Mandiri. Fakultas Farmasi Univ. Padjadjaran
Bandung. p. 34-35
Susanti, A. 2006. Daya Anti Bakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica. Less)
Terhadap Escherichia coli Secara in vitro. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga. Surabaya. p. 1-2
Ket:
L : Lemah
SD : Sedang
K : Kuat
SK : Sangat Kuat
Lampiran 10
\
Pengukuran zona hambatan menggunakan jangka sorong
Hasil Uji Daya Hambat Kelompok Ekstrak dan Kelompok
Kontrol
1
2
6
5