Anda di halaman 1dari 98

FORMULASI DAN EVALUASI SECARA IN VITRO SEDIAAN

NANOSUSPENSI PARASETAMOL

SKRIPSI

OLEH:
NURHIKMA PERMATA SIREGAR
NIM 151501168

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
FORMULASI DAN EVALUASI SECARA IN VITRO SEDIAAN
NANOSUSPENSI PARASETAMOL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:
NURHIKMA PERMATA SIREGAR
NIM 151501168

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia,

dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

skripsi yang berjudul “Formulasi dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan

Nanosuspensi Parasetamol”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.

Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang

populer digunakan, tergolong obat yang agak sukar larut dalam air. Obat dengan

kelarutan yang kecil akan menyebabkan bioavaibilitas obat menjadi rendah. Tujuan

dari penelitian ini untuk membuat sediaan nanosuspensi parasetamol dengan

metode nanopresipitasi menggunakan pelarut etanol dan propilen glikol yang dapat

meningkatkan laju disolusi parasetamol, serta membandingkan uji disolusi obat dari

sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol. Hasil yang diperoleh ialah sediaan

nanosuspensi parasetamol memiliki laju disolusi yang lebih cepat dibandingkan

sediaan suspensi parasetamol. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan

dapat dijadikan referensi untuk peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan

nanosuspensi.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima

kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh

kesabaran dan keikhlasan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Rasa terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas selama masa

pendidikan dan penelitian, juga kepada Ibu Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt., dan

iv
Bapak Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt., selaku penguji yang telah

memberikan arahan, kritik, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan

penyusunan skripsi ini, kepada Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku

dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada

penulis selama ini, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus

kepada Ayahanda Rustam Abadi Siregar dan Ibunda Aminah Gurning serta

saudara-saudaraku yang telah sabar dan senantiasa memberikan doa, dukungan, dan

kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun serta pengorbanan baik moril maupun

materil selama masa pendidikan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada sahabat-sahabat kesayangan, teman-teman

satu dosen pembimbing, dan teman-teman seangkatan yang tidak dapat disebutkan

satu per satu yang telah banyak memberikan saran, dukungan, dan doa selama

penelitian dan penyusunan skripsi ini berlangsung.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi dan bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, 6 Desember 2019


Penulis,

Nurhikma Permata Siregar


NIM 151501168

v
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nurhikma Permata Siregar

Nomor Induk Mahasiswa : 151501168

Program Studi : Sarjana Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan

Nanosuspensi Parasetamol

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah asli karya sendiri dan

bukan plagiat. Apabila di kemudian hari diketahui skripsi saya tersebut terbukti

plagiat karena kesalahan sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh

Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Saya

tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan, 6 Desember 2019

Nurhikma Permata Siregar


NIM 151501168

vi
FORMULASI DAN EVALUASI SECARA IN VITRO SEDIAAN
NANOSUSPENSI PARASETAMOL

ABSTRAK

Latar belakang: Parasetamol adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer
digunakan, tergolong obat yang agak sukar larut dalam air. Senyawa yang tidak
larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu,
sehingga perlu dilakukan beberapa usaha untuk meningkatkan kecepatan pelarutan
bagi obat-obat yang mempunyai sifat kelarutan yang kurang baik di dalam air. Oleh
karena itu, dibuat sediaan nanosuspensi parasetamol yang dapat meningkatkan laju
disolusi obat.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah membuat sediaan nanosuspensi
parasetamol serta membandingkan uji disolusi parasetamol dari sediaan
nanosuspensi dan suspensi parasetamol.
Metode: Sediaan nanosuspensi parasetamol dibuat dengan metode nanopresipitasi
menggunakan pelarut etanol dan propilen glikol serta Tween 80 sebagai surfaktan.
Sediaan suspensi parasetamol dibuat menggunakan Tween 80 sebagai surfaktan.
Kemudian dilakukan evaluasi terhadap nanosuspensi dan suspensi parasetamol
meliputi pengamatan organoleptis, penentuan pH, viskositas, dan bobot jenis, serta
dilakukan pengukuran partikel menggunakan alat Particle Size Analyzer. Uji
disolusi dilakukan terhadap sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol secara
in vitro menggunakan medium lambung buatan pH 1,2. Jumlah parasetamol yang
terlarut ke dalam medium ditentukan dengan spektrofotometer UV pada panjang
gelombang 243,0 nm.
Hasil: Ukuran partikel nanosuspensi parasetamol dengan etanol dan propilen glikol
sebelum penyimpanan berturut-turut adalah 63,3 nm dan 190,8 nm dan meningkat
selama 4 minggu penyimpanan menjadi 200 nm dan 331 nm. Ukuran partikel
suspensi parasetamol dan suspensi merk dagang berturut-turut adalah 15,68 µm dan
14,96 µm. Pelarutan parasetamol terbaik dihasilkan oleh sediaan nanosuspensi
dengan kinetika orde Higuchi.
Kesimpulan: Parasetamol dapat diformulasi menjadi sediaan nanosuspensi
menggunakan pelarut etanol maupun propilen glikol. Laju disolusi parasetamol
dalam sediaan nanosuspensi lebih baik dibandingkan sediaan suspensi parasetamol
dan suspensi merk dagang.

Kata kunci: parasetamol, nanosuspensi, suspensi, disolusi

vii
FORMULATION AND IN VITRO EVALUATION OF
PARACETAMOL NANOSUSPENSION

ABSTRACT

Background: Paracetamol is a popular analgesic and antipyretic drug, which is


classified as a difficult water soluble drug. Insoluble compounds often show
imperfect or erratic absorption, so several methods are required to increase the rate
of dissolution of drugs which have poor solubility in water. Therefore, the
preparation of paracetamol nanosuspension which can increase the rate of drug
dissolution.
Purpose: The purpose of this research is to prepare paracetamol nanosuspension
and to compare rate of drug dissolution of nanosuspension and suspension
paracetamol.
Methods: Preparation of paracetamol nanosuspension was made with the
nanoprecipitation method using ethanol and propylene glycol as a solvents and
Tween 80 as surfactant. Preparation of paracetamol suspension was made using
Tween 80 as surfactant. Then an evaluation of the nanosuspension and suspension
of paracetamol includes organoleptic observations, determination of pH, viscosity,
and density, as well as particle measurements using a Particle Size Analyzer. The
dissolution test was carried out by in vitro using artificial gastric medium pH 1.2.
The amount of paracetamol dissolved into the medium was determined by a UV
spectrophotometer at a wavelength of 243.0 nm.
Results: The particle size of paracetamol nanosuspension with ethanol and
propylene glycol was 63.3 nm and 190.8 nm and increased for 4 weeks of storage
to 200 nm and 331 nm. The particle size of paracetamol suspension and marketed
suspension are 15,68 µm and 14,96 µm. The best dissolution of paracetamol is
produced by nanosuspension preparations with the Higuchi release kinetics.
Conclusion: Paracetamol can be formulated into nanosuspension using ethanol and
propylene glycol as solvents. The rate of dissolution of paracetamol nanosuspension
is better than paracetamol suspension and marketed suspension.

Keywords: paracetamol, nanosuspension, suspension, dissolution

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................................3
1.3 Hipotesis Penelitian............................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian ...............................................................................................4
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ..................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Kelarutan ............................................................................................................6
2.2 Nanosuspensi .....................................................................................................8
2.2.1 Pengenalan umum nanosuspensi .....................................................................8
2.2.2 Metode pembuatan nanosuspensi ....................................................................9
2.2.2.1 Bottom up technology.................................................................................10
2.2.2.2 Top down technology .................................................................................10
2.2.3 Aspek formulasi ............................................................................................15
2.2.4 Aplikasi sediaan nanosuspensi .....................................................................17
2.3 Uraian Bahan ....................................................................................................19
2.3.1 Parasetamol ...................................................................................................19
2.3.2 Tween 80 .......................................................................................................20
2.3.3 Etanol ............................................................................................................21
2.3.4 Propilen glikol ...............................................................................................22
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................23
3.1 Lokasi Penelitian ..............................................................................................23
3.2 Jenis Penelitian .................................................................................................23
3.3 Alat ...................................................................................................................23
3.4 Bahan ...............................................................................................................23
3.5 Prosedur Penelitian...........................................................................................24
3.5.1 Pembuatan pereaksi.......................................................................................24
3.5.1.1 Pembuatan medium lambung buatan pH 1,2 .............................................24
3.5.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi larutan parasetamol
dalam medium lambung buatan pH 1,2 ........................................................24
3.5.2.1 Pembuatan larutan induk baku paracetamol ..............................................24
3.5.2.2 Pembuatan kurva serapan parasetamol ......................................................24
3.5.2.3 Pembuatan kurva kalibrasi parasetamol .....................................................24
3.5.3 Pembuatan sediaan nanosuspensi parasetamol .............................................25

ix
3.5.3.1 Formula sediaan nanosuspensi ...................................................................25
3.5.3.2 Prosedur pembuatan nanosuspensi parasetamol ........................................26
3.5.4 Pembuatan sediaan suspensi parasetamol .....................................................26
3.5.4 Evaluasi sediaan ............................................................................................27
3.5.4.1 Organoleptis ...............................................................................................27
3.5.4.2 Penentuan pH .............................................................................................27
3.5.4.3 Penentuan viskositas ..................................................................................27
3.5.4.4 Penentuan bobot jenis.................................................................................28
3.5.4.5 Penentuan ukuran partikel nanosuspensi....................................................28
3.5.5 Uji disolusi (in vitro) .....................................................................................28
3.6 Analisis Data ....................................................................................................29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................30
4.1 Hasil Evaluasi Nanosuspensi Parasetamol .......................................................30
4.1.1 Pengamatan organoleptis ..............................................................................30
4.1.2 Penentuan pH ................................................................................................31
4.1.3 Penentuan viskositas .....................................................................................32
4.1.4 Penentuan bobot jenis ...................................................................................33
4.1.5 Penentuan ukuran partikel nanosuspensi dan suspensi parasetamol .............33
4.2 Hasil Uji Pelarutan Parasetamol secara in vitro ...............................................35
4.2.1 Pelarutan parasetamol dari nanosuspensi dan suspensi parasetamol ............35
4.2.2 Hasil kinetika orde pelarutan parasetamol dari nanosuspensi dan
suspensi parasetamol ....................................................................................39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................42
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................42
5.2 Saran ...............................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................43
LAMPIRAN ...........................................................................................................45

x
DAFTAR TABEL

3.1 Persentase komposisi bahan dalam nanosuspensi pada penelitian Jadhav


dkk ...................................................................................................................25
3.2 Persentase komposisi bahan dalam nanosuspensi yang dimodifikasi ..............26
3.3 Formula komposisi bahan dalam sediaan suspensi parasetamol......................26
4.1 Data pengamatan organoleptis selama 4 minggu penyimpanan ......................30
4.2 Data pengukuran pH nanosuspensi selama 4 minggu penyimpanan ...............31
4.3 Data pengukuran pH suspensi parasetamol......................................................31
4.4 Data penentuan viskositas nanosuspensi dan suspensi parasetamol ................33
4.5 Data penentuan bobot jenis nanosuspensi dan suspensi parasetamol ..............33
4.6 Data penentuan distribusi ukuran partikel suspensi .........................................34
4.7 Data penentuan distribusi ukuran partikel nanosuspensi .................................34
4.8 Waktu (T 80) sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol .......................36
4.9 Nilai AUC sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol ...........................36
4.10 Kinetika pelarutan parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol .................39
4.11 Kinetika pelarutan parasetamol dari nanosuspensi dengan propilen glikol ...39
4.12 Kinetika pelarutan parasetamol dari suspensi parasetamol ............................39
4.13 Kinetika pelarutan parasetamol dari suspensi merk dagang ..........................40

xi
DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian ...................................................................................5


2.1 Rumus bangun parasetamol .............................................................................19
2.2 Rumus bangun Tween 80 .................................................................................20
2.3 Rumus bangun etanol .......................................................................................21
2.4 Rumus bangun propilen glikol .........................................................................22
4.1 Nanosuspensi parasetamol ...............................................................................30
4.2 Suspensi parasetamol .......................................................................................31
4.3 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH nanosuspensi parasetamol ............32
4.4 Pengaruh lama penyimpanan terhadap ukuran partikel nanosuspensi
parasetamol ......................................................................................................34
4.5 Persen kumulatif pelarutan parasetamol dari sediaan nanosuspensi
dalam medium lambung buatan pH 1,2 pada suhu 37◦C secara in vitro ..........36
4.6 Persen kumulatif pelarutan parasetamol dari sediaan suspensi dalam
medium lambung buatan pH 1,2 pada suhu 37◦C secara in vitro.....................37
4.7 Perbandingan pelarutan parasetamol dari sediaan nanosuspensi dan suspensi
parasetamol dalam medium lambung buatan pH 1,2 pada suhu 37◦C secara in
vitro ..................................................................................................................37
4.8 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol dari nanosuspensi dengan
etanol ................................................................................................................40
4.9 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol dari nanosuspensi
dengan propilen glikol......................................................................................40
4.10 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol dari suspensi parasetamol ...........41
4.11 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol suspensi merk dagang .................41

xii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Kurva serapan larutan parasetamol dalam medium lambung buatan pH 1,2


pada konsentrasi 4 ppm......................................................................................45
2. Kurva kalibrasi larutan parasetamol dalam medium lambung buatan pH 1,2
pada panjang gelombang 243 nm ......................................................................46
3. Perhitungan persen kumulatif parasetamol yang larut dalam medium
lambung buatan pH 1,2 ......................................................................................47
4. Data percobaan disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol
dalam medium lambung buatan pH 1,2 .............................................................48
5. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol .........50
6. Data AUC disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol ....................51
7. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol .............52
8. Data percobaan disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan propilen
glikol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ...................................................53
9. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan
propilen glikol ....................................................................................................55
10. Data AUC disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan propilen
glikol.................................................................................................................56
11. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan propilen
glikol.................................................................................................................57
12. Data percobaan disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol dalam
medium lambung buatan pH 1,2 ......................................................................58
13. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol .................61
14. Data AUC disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol .............................62
15. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol......................63
16. Data percobaan disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang dalam
medium lambung buatan pH 1,2 ......................................................................64
17. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang ................67
18. Data AUC disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang ...........................68
19. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang ....................69
20. Uji normalitas dan uji Kruskal-Wallis AUC sediaan .......................................70
21. Data ukuran partikel nanosuspensi dengan etanol ...........................................72
22. Data ukuran partikel nanosuspensi dengan propilen glikol .............................75
23. Data ukuran partikel suspensi parasetamol ......................................................78
24. Data ukuran partikel suspensi merk dagang.....................................................79
25. Gambar alat ......................................................................................................80
26. Gambar sediaan ................................................................................................83
27. Sertifikat analisis parasetamol baku .................................................................85

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai macam obat analgetik, antireumatik dan antiinflamasi dewasa ini

banyak sekali digunakan oleh masyarakat. Untuk obat-obat golongan ini

dikehendaki adanya efek terapi yang cepat. Suatu obat harus mempunyai kelarutan

dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan

menghasilkan suatu efek terapeutik. Senyawa-senyawa yang tidak larut seringkali

menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu (Ansel, 1989).

Kenyataan tersebut mengakibatkan perlu dilakukan beberapa usaha untuk

meningkatkan kecepatan pelarutan bagi obat-obat yang mempunyai sifat kelarutan

yang kurang baik di dalam air. Banyak bahan obat yang mempunyai kelarutan

dalam air yang rendah atau dinyatakan praktis tidak larut, umumnya mudah larut

dalam cairan organik (Martin dkk., 1993). Untuk obat-obat yang akan dibuat dalam

sediaan berbentuk larutan harus diperhatikan kelarutannya karena dapat

mempengaruhi absorbsinya. Penambahan surfaktan dan pelarut atau kosolven

merupakan salah satu upaya peningkatan kelarutan suatu obat yang mempunyai

kelarutan kecil atau praktis tidak larut dalam air (Swarbrick dan Boylan, 2007).

Beberapa metode dan teknologi peningkatan kelarutan dan laju disolusi

suatu bahan obat telah dikembangkan, antara lain dengan penambahan senyawa

pengompleks, pembuatan sediaan garam, pengaturan pH, pembuatan sediaan

dispersi padat, penambahan surfaktan, teknik presipitasi dan lain-lain (Patel dkk.,

2011). Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kelarutan obat dan

laju disolusi obat adalah meningkatkan luas permukaan senyawa obat dengan cara

memperkecil ukuran partikel obat (Muller dkk., 2001).

1
Nanoteknologi mempunyai peran penting dalam program penemuan obat

dan sistem penghantaran obat. Nanosuspensi sebagai bagian dari nanoteknologi

merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan disolusi obat yang mempunyai

kelarutan rendah dalam air (Chingunpituk, 2007). Nanosuspensi adalah sebuah

sistem dua fase yang terdiri dari partikel obat murni yang didispersikan di dalam

media cair dimana diameter dari partikel tersuspensi ukurannya lebih kecil dari 1µm

yang distabilkan oleh surfaktan. Penurunan ukuran partikel tersebut berarti

peningkatan luas permukaan, peningkatan kecepatan pelarutan dan dapat pula

meningkatkan kelarutan senyawa aktif farmasi tersebut dalam air (Lakshmi dan

Kumar, 2010).

Parasetamol atau asetaminofen atau n-asetil-para-aminofenol adalah obat

analgesik dan antipiretik yang populer digunakan. Parasetamol tergolong obat yang

agak sukar larut dalam air, kelarutannya dalam air 1:70 (Ditjen POM, 1995). Obat

dengan kelarutan yang kecil akan menyebabkan bioavaibilitas obat menjadi rendah

karena sebagian besar obat akan terbuang dari tempat absorpsinya sebelum obat

sempat terdispersi molekuler (Iskandarsyah, 2010).

Formulasi obat parasetamol dalam bentuk nanosuspensi mulai

dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir, misalnya pembuatan nanosuspensi

parasetamol bebas pembawa menggunakan berbagai zat penstabil dengan metode

presipitasi yang dilakukan oleh Shariare dkk., (2018), pada penelitian ini formulasi

nanosuspensi menggunakan variasi penstabil yaitu pluronic F68, PEG 6000, PEG

4000, dan HPMC. Hasil nanosuspensi parasetamol yang paling stabil adalah

menggunakan pluronic F68. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Aghajani

dkk., (2012), dilakukan preparasi dan optimisasi nanosuspensi asetaminofen

dengan metode nanopresipitasi menggunakan perangkat mikrofluida. Pada

2
penelitian tersebut formulasi nanosuspensi dilakukan dengan variasi konsentrasi

surfaktan yang digunakan yaitu Tween 80, dimana semakin tinggi konsentrasi

surfaktan maka nanosuspensi yang dihasilkan akan semakin stabil. Dari penelitian

keduanya formula nanosuspensi parasetamol yang dilakukan menggunakan

pelarut etanol.

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, peneliti tertarik untuk membuat

sediaan nanosuspensi parasetamol metode presipitasi dengan variasi pelarut yaitu

menggunakan pelarut etanol dan propilen glikol serta meneliti laju pelarutan obat

parasetamol dalam bentuk sediaan nanosuspensi dengan etanol, nanosuspensi

dengan propilen glikol yang dibandingkan dengan suspensi parasetamol dan

suspensi merk dagang.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Apakah parasetamol dapat diformulasi dalam bentuk sediaan

nanosuspensi parasetamol menggunakan etanol dan propilen glikol?

b. Apakah sediaan nanosuspensi yang mengandung parasetamol memiliki

pelarutan yang lebih cepat dibandingkan sediaan suspensi parasetamol?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian pada perumusan masalah, maka hipotesis dalam

penelitian ini sebagai berikut:

a. Parasetamol dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan nanosuspensi

menggunakan etanol dan propilen glikol.

b. Sediaan nanosuspensi yang mengandung parasetamol memiliki pelarutan yang

lebih cepat dibandingkan sediaan suspensi parasetamol.

3
1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bahwa parasetamol dapat diformulasikan dalam bentuk

sediaan nanosuspensi menggunakan etanol dan propilen glikol.

b. Untuk mengetahui sediaan nanosuspensi yang mengandung parasetamol

memiliki pelarutan yang lebih cepat dibandingkan sediaan suspensi

parasetamol.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pengetahuan bahwa formulasi sediaan nanosuspensi yang mengandung

parasetamol dapat memberikan pelarutan yang lebih cepat dibandingkan sediaan

suspensi parasetamol.

4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Secara skematis, kerangka pikir penilitian ditunjukkan oleh Gambar 1.1.

Latar belakang Penyelesaian Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Parasetamol
adalah obat
analgesik dan
Nanosuspensi
antipiretik,
parasetamol
tergolong obat
dengan etanol %
yang agak
sukar larut kumulatif
Disolusi
dalam air.
Obat yang
kurang larut Pembuatan Nanosuspensi AUC
dalam air sediaan parasetamol
diformulasikan nanosuspensi dengan
dalam bentuk dan suspensi propilen
nanopartikel parasetamol glikol
dengan Ukuran Distribusi
penambahan partikel ukuran
surfaktan dan
pelarut atau Suspensi
kosolven akan parasetamol
meningkatkan dan suspensi
kelarutan serta parasetamol
laju disolusi merk dagang
obat.

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelarutan

Menurut Farmakope Indonesia kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu

pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian bobot zat padat atau

1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut (Ditjen POM,

1995). Kelarutan juga didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi

zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif

didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk

dispersi molekuler homogen (Martin dkk., 1993).

Kelarutan suatu senyawa tergantung pada sifat fisika kimia zat pelarut dan

zat terlarut, temperatur, pH larutan, tekanan dan untuk jumlah yang lebih kecil

tergantung pada hal terbaginya zat terlarut (Martin dkk., 1993). Faktor-faktor yang

mempengaruhi kelarutan suatu zat padat dalam cairan antara lain:

a. Intensitas Pengadukan

Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak

dan kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat tersebut

menghambur dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah ke atas

sistem sehingga mempunyai perbedaan konsentrasi. Pada pengadukan yang tinggi

sistem menjadi turbulent. Gaya sentrifugal dari putaran cairan mendorong partikel

ke arah luar dan atas (Martin dkk., 1993).

b. pH (keasaman atau kebasaan)

Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan

kelompok asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk ion

yang biasanya larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit lemah

6
sangat dipengaruhi oleh pH larutan (Martin dkk., 1993).

c. Suhu

Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat

hubungannya dengan panas kelarutan dari zat tersebut. Panas kelarutan

didefinisikan sebagai banyaknya panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila

satu mol zat terlarut dilarutkan dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan satu

larutan jenuh (Martin dkk., 1993).

d. Komposisi cairan pelarut

Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam

satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (kosolvensi)

dan kombinasi pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven

(Martin dkk., 1993).

e. Ukuran partikel

Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap kelarutan partikel.

Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat. Hal ini

karena luas permukaan partikel zat semakin luas untuk dapat berinteraksi dengan

pelarut (Martin dkk., 1993).

f. Pengaruh surfaktan

Obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah yang sukar larut, dapat

dilarutkan dengan bantuan kerja dari zat aktif permukaan dengan menurunkan

tegangan permukaan antara zat terlarut dengan mediumnya. Jika digunakan

surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan pelarutan obat tergantung jumlah

dan jenis surfaktan yang digunakan. Pada umumnya dengan adanya penambahan

surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan pelarutan bahan obatnya

(Lesson dan Cartensen, 1974).

7
g. Pembentukan kompleks

Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang

lebih penting dari bahan obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya dan

tersatukannya, sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat

dan cocok. Pembentukan kompleks sekarang banyak dijumpai pengunaannya untuk

perbaikan kelarutan, akan tetapi dalam kasus lain juga dapat menyebabkan suatu

perlambatan kelarutan (Voigt, 1984).

h. Tekanan

Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan

tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat

mengubah kelarutan suatu zat (Sienko dan Plane, 1961).

2.2 Nanosuspensi

2.2.1 Pengenalan Umum Nanosuspensi

Nanoteknologi mempunyai peran penting dalam program penemuan obat

dan sistem penghantaran obat. Nanosuspensi sebagai bagian dari nanoteknologi

dapat diberikan dengan berbagai rute pemberian obat seperti oral, parenteral,

okular, topikal dan pulmonar. Bioavailabilitas obat oral yang rendah dapat

disebabkan oleh rendahnya kelarutan, permeabilitas, dan stabilitas obat dalam

saluran pencernaan. Penurunan ukuran partikel pada sediaan nanosuspensi

memecahkan masalah bioavailabilitas rendah yang disebabkan oleh rendahnya

kelarutan, permeabilitas, dan stabilitas obat (Arunkumar dkk., 2009).

Nanosuspensi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan disolusi

obat yang mempunyai kelarutan rendah dalam air. Nanosuspensi mengandung

dispersi koloid submikron dari partikel aktif obat dalam fase cair yang distabilkan

oleh surfaktan (Chingunpituk, 2007).

8
Nanosuspensi adalah dispersi koloidal partikel obat ukuran nano yang

distabilkan oleh surfaktan (Patravale dkk., 2004). Secara definisi, nanosuspensi

adalah sebuah sistem dua fase yang terdiri dari partikel obat murni yang

didispersikan di dalam media cair dimana diameter dari partikel tersuspensi

ukurannya lebih kecil dari 1µm yang distabilkan oleh surfaktan. Penurunan ukuran

partikel tersebut berarti peningkatan luas permukaan, peningkatan kecepatan

pelarutan dan dapat pula meningkatkan kelarutan senyawa aktif farmasi tersebut

dalam air. Beberapa senyawa aktif farmasi dapat ditingkatkan bioavailabilitasnya

setelah mereduksi ukuran partikelnya menjadi ukuran nanometer (Lakshmi dan

Kumar, 2010).

2.2.2 Metode Pembuatan Nanosuspensi

Terdapat dua metode pembuatan nanosuspensi yaitu teknologi bawah

ke atas (bottom up technology) dan teknologi atas ke bawah (top down technology).

Pada metode bottom up technology, obat dilarutkan pada suatu pelarut (organik),

sehingga obat terdispersi dalam pelarut kemudian ditambahkan pelarut lain

sehingga pelarut akan menguap dan menyebabkan pengendapan partikel halus obat

(bentuk fines). Bottom up technology terdiri dari metode pengendapan

(precipitation). Sedangkan top down technology merupakan suatu proses

disintegrasi dari partikel besar menjadi nanopartikel. Yang termasuk dalam top

down technology adalah metode homogenisasi tekanan tinggi (high-pressure

homogenization), metode milling (milling methods), metode difusi

emulsi (emulsion diffusion method), metode pelelehan emulsi (melt emulsification

method) dan metode cairan superkritikal (supercritical fluid method) (Lakshmi dan

Kumar, 2010).

9
2.2.2.1 Bottom Up Technology

a. Precipitation Method

Metode presipitasi adalah metode yang umum digunakan pada pembuatan

nanosuspensi untuk obat yang kelarutannya buruk. Dalam metode ini, obat

dilarutkan dalam pelarut dan kemudian dicampur dengan pelarut lain dimana obat

sukar larut di dalamnya kemudian digunakan surfaktan untuk meningkatkan

kelarutan. Penambahan larutan secara cepat ke dalam pelarut (umumnya air)

menyebabkan penjenuhan obat secara cepat di dalam larutan, dan pembentukan

bentuk amorf atau kristal. Metode ini melibatkan pembentukan inti kristal dan

pertumbuhan kristal yang bergantung pada suhu. Nukleasi tingkat tinggi dan laju

pertumbuhan kristal yang rendah merupakan syarat utama terbentuknya suspensi

stabil dengan ukuran partikel kecil (Nagare dkk., 2012). Keterbatasan dalam

metode prepitasi adalah bahwa obat harus larut minimal dalam satu jenis pelarut

dan pelarut ini harus larut dengan non-pelarut (Singh dkk., 2013).

2.2.2.2 Top Down Technology

a. High-pressure Homogenization

Teknik ini terdiri dari 3 langkah. Langkah pertama adalah serbuk obat

didispersikan ke dalam larutan penstabil menjadi bentuk presuspensi. Setelah itu

larutan presuspensi ini dihomogenkan dengan homogenizer bertekanan rendah lalu

dihomogenkan kembali dengan homogenizer bertekanan tinggi selama 10 sampai

20 siklus sampai diperoleh nanosuspensi dengan ukuran yang diinginkan (Nagare

dkk., 2012).

1. Homogenization in Aqueous Media (Dissocubes)

Teknologi ini dikembangkan oleh Muller pada tahun 1999. Untuk

pembuatan nanosuspensi dibuat terlebih dahulu larutan presuspensi dari obat di

10
dalam larutan surfaktan dengan menggunakan pengadukan kecepatan tinggi (high-

speed stirrer). Terjadinya penurunan ukuran partikel merupakan akibat dari adanya

peningkatan tekanan. Terjadi peningkatan tekanan dinamis dan penurunan tekanan

statis di bawah titik didih air pada suhu kamar. Oleh karena itu, air mulai mendidih

pada suhu kamar dan membentuk gelembung-gelembung udara. Gelembung udara

hilang saat suspensi meninggalkan celah dan tekanan kembali normal. Tumbukan

partikel pada kecepatan tinggi menyebabkan obat pecah. Ukuran nanokristal obat

yang terbentuk terutama tergantung pada beberapa faktor seperti suhu, jumlah

siklus homogenisasi, dan kepadatan daya homogenizer dan tekanan homogenisasi.

Berbagai nanosuspensi dari obat seperti amfoterisin B, ordinon, tiomerasol,

fenofibrat, melarsoprol, buparvaquone, prednisolon, karbamazepin, omeprazol, dan

deksametason dibuat menggunakan metode ini (Nagare dkk., 2012).

2. Homogenization in Nonaqueous Media (Nanopure)

Metode ini merupakan proses homogenisasi deep-freeze dimana suspensi

obat dalam medium berair yang dihomogenisasi pada 0 ° C atau kadang-kadang di

bawah titik beku (Lakshmi dan Kumar, 2010).

3. Microprecipitation – High-pressure homogenization (Nanoedge)

Nanoedge merupakan kombinasi dari teknik mikropresipitasi dan

homogenisasi bertekanan tinggi. Teknik ini memiliki keuntungan untuk

mendapatkan ukuran partikel yang lebih kecil dan stabilitas yang lebih besar dalam

waktu singkat. Dalam teknik ini suspensi diendapkan selanjutnya dihomogenkan

untuk mendapatkan ukuran partikel yang lebih kecil dan untuk menghindari

pertumbuhan kristal. Pengendapan dilakukan dalam air menggunakan pelarut yang

tidak bercampur dengan air, seperti metanol, etanol, dan isopropanol. Hal

ini dimaksudkan untuk menghilangkan pelarut melalui proses penguapan diikuti

11
dengan proses homogenisasi bertekanan tinggi (Lakshmi dan Kumar, 2010).

4. Nanojet technology

Teknologi nanojet disebut juga dengan teknologi berlawanan arus. Pada

teknik ini, suatu suspensi dilewatkan pada dua atau lebih arus yang berlawanan arah

dengan tekanan tinggi lalu dibuat menjadi koloid, akibat dari adanya gaya geser

yang tinggi selama proses yang menghasilkan penurunan ukuran partikel (Lakshmi

dan Kumar, 2010).

b. Milling Methods

1. Media milling

Pada metode ini nanosuspensi dibuat dengan menggunakan media

penggiling media dengan geseran tinggi (high-shear media mills) atau pearl mills.

Media penggiling terdiri atas bejana penggiling, batang penggiling dan bejana

resirkulasi. Media penggiling dibingkai oleh kaca, zirkonium oksida atau polistiren

resin dengan cross-linked tinggi. Bejana penggiling diisi oleh media penggiling, air,

obat dan penstabil, kemudian media penggiling media diputar dengan kecepatan

geser yang tinggi (Lakshmi dan Kumar, 2010).

Hasil pengaruh antara media penggilingan dan obat-obatan memberikan

energi penting untuk proses disintegrasi sistem mikropartikulat menjadi

nanopartikel. Dalam proses ini milling chamber berisi obat, stabilizer, dan air atau

buffer yang cocok, yang diputar pada laju geser yang sangat tinggi untuk

menghasilkan suspensi. Residu yang tertinggal dalam produk menjadi masalah

utama dari metode ini (Lakshmi dan Kumar, 2010).

2. Dry Cogrinding

Nanosuspensi dapat dibuat dengan metode dry milling. Pembentukan

nanosuspensi yang stabil dari obat yang sukar larut dengan polimer larut dan

12
kopolimer setelah didispersikan di dalam medium cair. Salat satu contoh pada

pembentukan partikel koloid dari beberapa obat yang sukar larut dalam air seperti

nifedipin, griseofulvin, dan glibenklamid dengan menggunakan sodium dodesil

sulfat dan polivinilpirolidon sebagai stabilisator (Lakshmi dan Kumar, 2010).

c. Emulsion Diffusion Method

Selain digunakan sebagai alat penghantaran obat, emulsi juga dapat

digunakan sebagai cetakan untuk membuat nanosuspensi. Penggunaan emulsi

sebagai cetakan dapat diterapkan pada obat-obat yang larut baik dalam pelarut

organik menguap atau pelarut yang bercampur sebagian dengan air. Pelarut tersebut

dapat digunakan sebagai fase terdispersi dari emulsi. Suatu pelarut organik atau

campuran pelarut tersebut diisi dengan obat yang terdispersikan pada fase air yang

mengandung surfaktan yang cocok lalu dengan pengadukan untuk membentuk

emulsi. Emulsi yang didapat selanjutnya dihomogenisasi dengan

penghomogenisasi tekanan tinggi. Setelah dilakukan homogenisasi, emulsi

diencerkan dengan air, lalu dihomogenisasi dengan homogenizer untuk

menghilangkan pelarut organik dan mengkonversi droplet atau tetesan menjadi

partikel padat. Oleh karena satu partikel terbentuk pada setiap droplet emulsi, maka

memungkinkan untuk mengontrol ukuran partikel nanosuspensi dengan

mengontrol ukuran emulsi. Dengan mengoptimalkan komposisi surfaktan dapat

meningkatkan pengambilan fase organik dan pada akhirnya pengisian obat dalam

emulsi. Biasanya metanol, etanol, etil asetat, kloroform digunakan sebagai pelarut

organik. Namun, bahaya lingkungan dan keamanan manusia yang berkaitan dengan

residu pelarut sehingga dibatasi penggunaannya pada proses pembuatan rutin.

Nanosuspensi dari ibuprofen, diclofenak, asiklovir telah dibuat dengan metode ini.

13
Selain itu, mikroemulsi juga dapat digunakan sebagai cetakan yang dapat

menghasilkan nanosuspensi. Mikroemulsi adalah dispersi termodinamika stabil dan

isotropis jernih dari dua cairan yang tidak bercampur seperti minyak dan air

distabilkan oleh film antarmuka surfaktan dan co-surfaktan. Obat ini dapat

dimasukkan ke dalam fase internal atau pre-formed mikroemulsi yang dapat jenuh

dengan obat dengan pencampuran yang baik. Dengan pengencer yang cocok dari

mikroemulsi dapat menghasilkan nanosuspensi obat. Contoh nanosuspensi obat

yang dibuat dari teknik ini adalah nanosuspension griseofulvin yang disiapkan oleh

teknik mikroemulsi menggunakan air, laktat butil, lesitin, dan garam natrium dari

taurodeoksikolat (Lakshmi dan Kumar, 2010).

d. Melt Emulsification Method

Pada metode ini obat didispersikan pada larutan air dari penstabil dan

dipanaskan diatas titik lebur obat lalu dihomogenisasi sehingga membentuk emulsi.

Selama proses ini, penahan sampel dilapisi dengan pita pemanas yang dipasang

dengan pengontrol suhu dan suhu emulsi dijaga diatas titik lebur obat. Emulsi

kemudian didinginkan baik secara perlahan-lahan ke suhu ruangan maupun pada

bak es. Keuntungan utama teknik ini dibandingkan dengan metode difusi pelarut

adalah tidak digunakan pelarut organik selama proses pembuatan. Nanosuspensi

ibuprofen yang dibuat dengan metode emulsifikasi lebur menunjukkan laju disolusi

yang lebih besar daripada nanosuspensi ibuprofen yang dibuat dengan metode

difusi pelarut emulsi (Lakshmi dan Kumar, 2010).

e. Supercritical Fluid Method

Pelarut organik yang biasanya digunakan pada pembuatan dengan metode

konvensional seperti ekstraksi-evaporasi, difusi pelarut dan pemisahan fase organik

14
berbahaya untuk lingkungan dan sistem fisiologik tubuh. Untuk mengatasi masalah

yang terjadi pada metode konvensional, teknologi cairan superkritik telah diperiksa

untuk pembuatan mikro dan nanopartikel yang dapat dibiodegradasi, karena cairan

superkritik ramah lingkungan. Teknik yang paling umum menggunakan cairan

superkritik adalah antipelarut superkritik (supercritical anti-solvent/SAS),

presipitasi dengan proses antipelarut terkompresi (presipitation with compressed

anti-solvent process/PCS) dan ekspansi cepat dari larutan superkritik (rapid

expansion of supercritical solution /RESS). Proses SAS menggunakan pelarut cair

seperti metanol yang bercampur sempurna dengan cairan superkritik (CO2

superkritik) yang digunakan untuk melarutkan zat yang akan dibuat ukuran mikro,

pada pembuatannya karena zat tidak larut pada cairan superkritik, ekstrak pelarut

cair oleh cairan superkritik membuat presipitasi dengan sendirinya dari zat,

sehingga menghasilkan pembentukan nanopartikel. Nanosuspensi griseofulvin

dibuat dengan metode SAS. RESS berbeda dengan SAS dalam zat yang akan

dilarutkan dalam cairan superkritik (seperti metanol superkritik) kemudian larutan

secara cepat diekspansi melalui nozzle kecil kedalam daerah tekanan rendah,

sehingga kekuatan pelarut cairan superkritik menurun drastis dan zat kemudian

berpresipitasi. Metode ini digunakan untuk produksi polimer nanopartikel. Obat

dalam larutan diatomisasi ke dalam bejana yang di dalamnya terdapat CO2

terkompresi dalam metode PCA. Larutan akan sangat terjenuhkan saat pelarut

dipindahkan sehingga terpresipitasi sebagai kristal sangat kecil (fine crystal)

(Lakshmi dan Kumar, 2010).

2.2.3 Aspek Formulasi

Formulasi pada nano dan mikrosuspensi pada dasarnya sama dengan

sediaan suspensi lainnya, yaitu terdiri dari zat aktif (bahan terdisper), eksipien

15
utama (pensuspensi), dan eksipien pendukung (Nagare dkk., 2012). Adapun

pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi

dari nanosuspensi antara lain:

a. Penstabil

Fungsi utama dari penstabil adalah untuk membasahkan secara

menyeluruh partikel obat dan untuk menghindari terjadinya Ostwald’s ripening dan

aglomerasi dari nanosuspensi sehingga didapat formulasi yang stabil secara fisik

dengan menyediakan pembatas atau barrier sterik atau ionik. Ostwal ripening

adalah fenomena fase polidispersi emulsi dimana droplet-droplet yang lebih besar

akan terbentuk dari droplet yang kecil. Penstabil yang telah digunakan sejauh ini

antara lain poloksamer, polisorbat (Tween/Span), selulosa, polivinilpirolidon dan

lesitin (Nagare dkk., 2012).

b. Pelarut Organik

Pelarut organik digunakan pada formulasi nanosuspensi jika emulsi atau

mikroemulsi digunakan sebagai cetakan atau template. Pelarut yang digunakan

adalah pelarut yang bercampur dengan air antara lain metanol, etanol, isopropanol.

Selain itu dapat juga digunakan pelarut yang bercampur sebagian dengan air seperti

etil asetat, etil fromat, butil lakatat, triasetin, dan propilen karbonat. Pelarut-pelarut

di atas kurang berbahaya dan dapat diterima secara farmasetika dibandingkan

dengan pelarut konvensional yang berbahaya seperti diklorometana (Nagare dkk.,

2012). Beberapa pelarut larut air yang kurang berbahaya dapat digunakan seperti

metanol dan etanol. Penggunaan pelarut organik di bidang farmasi tergantung

pada potensi toksisitasnya dan kemudahan penghilangannya dari formulasi

(Patravale dkk., 2004).

16
c. Zat Tambahan Lain

Nanosuspensi dapat mengandung zat tambahan lain, seperti pendapar,

garam-garam, poliol, dan osmogen tergantung pada rute pemberian obatnya

maupun karakteristik obat itu sendiri (Nagare dkk., 2012).

2.2.4 Aplikasi Sediaan Nanosuspensi

a. Penghantaran Obat secara Oral

Pemberian oral adalah pilihan pasien pertama karena pemberian tanpa rasa

sakit dan noninvasif. Selain itu, formulasi oral memiliki beberapa keunggulan untuk

industri farmasi seperti pembuatan yang mudah, waktu produksi yang singkat, dan

biaya produksi yang wajar. Penggunaan teknologi nanopartikel pada sediaan

suspensi dapat meningkatkan kelarutan obat dalam cairan biologis tubuh serta

meningkatkan bioavailabilitas. Hal ini disebabkan nanopartikel menempel pada

mukosa, meningkatkan kelarutan jenuh sehingga terjadi peningkatan gradien

konsentrasi antara lumen saluran gastrointestinal dan darah serta meningkatkan laju

disolusi obat. Nanosuspensi yang aqueous dapat digunakan secara langsung dalam

sediaan cair ataupun sediaan padat seperti tablet atau kapsul gelatin keras dengan

pellet (Kumari dan Rao, 2017).

b. Penghantaran Obat secara Parenteral

Pada suspensi parenteral ukuran partikel harus dibawah 5µm untuk

menghindari timbulnya pengeblokan pada kapiler pembuluh darah. Untuk

meningkatkan kelarutan partikel dapat dilakukan penggunaan kosolven,

pembentukan garam, pembentukan misel, penggunaan siklodekstrin dan

penggunaan liposom. Namun, ada keterbatasan dalam metode tersebut yaitu dalam

hal kapasitas pelarutan dan penerimaan sediaan parenteral serta kurang stabil dan

mahalnya produksi liposom. Nanosuspensi untuk obat parenteral memberikan

17
beberapa kelebihan antara lain pemberian obat yang sukar larut dalam air tanpa

menggunakan kosolven yang bersifat toksik, meningkatkan efek terapeutik obat

yang tersedia secara hayati dibandingkan dengan formulasi oral konvensional

(Patravale dkk., 2004).

c. Penghantaran Obat secara Pulmonar

Pemberian obat secara pulmonar bertujuan untuk mengobati beberapa

kondisi pernapasan seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis. Sistem

pemberian obat pulmonar secara konvensional hanya menyediakan pelepasan obat

cepat, waktu tinggal yang buruk, dan kurangnya selektivitas. Nanosuspensi dapat

memecahkan masalah kelarutan obat yang buruk dalam sekresi paru dan kurangnya

selektivitas melalui pengiriman langsung ke target sel paru. Adhesivitas

nanosuspensi pada permukaan mukosa mengarah pada peningkatan selektivitas

karena kehilangan obat yang minimal dan waktu tinggal yang lama di lokasi target.

Nanosuspensi dapat meningkatkan difusi dan laju disolusi obat dan akibatnya

meningkatkan ketersediaan hayati dan mencegah penumpukan obat yang tidak

diinginkan di mulut dan faring (Kumari dan Rao, 2017).

d. Penghantaran Obat secara Okular

Nanosuspensi dapat digunakan untuk sediaan okular pada obat yang

memiliki kelarutan buruk pada cairan lakrimal. Nanosuspensi dapat meningkatkan

kelarutan jenuh dari obat dan dapat digunakan untuk menghantarkan obat yang

bersifat hidrofobik dan meningkatkan waktu tinggal obat. Hal tersebut dapat

meningkatkan efektivitas dalam pengobatan dan menghindari tonisitas yang besar

dari obat yang larut air (Nagare dkk., 2012).

18
e. Targeted Drug Delivery

Nanosuspensi dapat digunakan dalam penghantaran obat pada target

sebagai sifat permukaan dan perilaku in vivo dengan mengubah penstabil atau

lingkungan. Kelebihan dari nanosuspensi untuk tergeted drug delivery antara lain

fleksibilitas, mudah untuk diproduksi dalam skala besar. Penggunaan nanosuspensi

untuk targeted drug delivery dapat dilakukan dengan penyalutan permukaan untuk

target aktif maupun pasif lokasi aksi obat (Chingunpituk, 2007).

f. Sediaan Topikal

Obat nanopartikel dapat digunakan untuk sediaan krim dan salep yang tidak

mengandung air sebab nanopartikel dapat meningkatkan kelarutan jenuh serta

meningkatkan difusi obat ke dalam kulit (Nagare dkk., 2012).

2.3 Uraian Bahan

2.3.1 Parasetamol

Gambar 2.1 Rumus bangun parasetamol

Parasetamol dengan nama lain asetaminofen atau 4’- hidrosasetanilida

dengan rumus molekul C8H9NO2 memiliki bobot molekul 151,16 gram/mol.

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%

C8H9NO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol merupakan serbuk hablur

putih, tidak berbau, dan berasa sedikit pahit. Parasetamol memiliki serapan

maksimum pada panjang gelombang lebih kurang 243 nm. Parasetamol larut dalam

air mendidih dan dalam natrum hidroksida 1 N, serta mudah larut dalam etanol

19
(Ditjen POM, 1995). Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 20 bagian

air panas, 7-10 bagian etanol, 9 bagian propilen glikol, dan 13 bagian aseton, agak

sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter (Clarke, 1969).

Parasetamol merupakan metabolit dari fenasetin yang berkhasiat sebagai

analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiinflamasi. Umumnya dianggap sebagai zat

analgetik yang paling aman serta digunakan untuk swamedikasi (pengobatan

mandiri) (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.2 Tween 80

Gambar 2.2 Rumus bangun Tween 80

Tween 80 disebut juga sebagai polisorbat 80 (polioksietilen 20 sorbitan

monooleat). Tween 80 memiliki karakteristik cairan berminyak berwarna kuning

pada suhu 25◦C dan suhu hangat, serta berasa pahit. Tween 80 larut dalam etanol

dan air, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati. Tween 80 memiliki

bobot jenis 1,08 g/cm3 dan nilai HLB 15. Tween 80 stabil untuk elektrolit dan asam

serta basa lemah, saponifikasi terjadi dengan asam dan basa kuat. Ester asam oleat

dari tween 80 sensitif terhadap oksidasi. Tween 80 harus disimpan dalam wadah

tertutup baik, terlindung dari cahaya, dingin, dan kering (Rowe dkk., 2003).

Tween 80 telah digunakan secara luas dalam bidang kosmetik, produk

makanan, dan sediaan farmasetika baik dalam penggunaan secara peroral,

parenteral maupun topikal dan tergolong zat yang nontoksik dan iritan. Tween 80

20
merupakan salah satu surfaktan yang berfungsi sebagai pengemulsi, surfaktan

nonionik, solubilizing agent, agen pensuspensi, dan agen pembasah. Penggunaan

Tween 80 dalam farmasi sebagai agen pelarut dan agen pembasah yaitu dalam

konsentrasi 0,1–15% (Rowe dkk., 2009).

Surfaktan adalah substansi yang dalam kadar rendah suatu sistem dapat

teradsorpsi pada permukaan dan dapat menurunkan tegangan muka atau energi

bebas permukaan. Bentuk antar muka ditunjukkan suatu batas antar dua fase yang

tidak saling campur, sedang permukaan biasanya menunjukkan antar muka dimana

salah satu fase adalah fase gas atau udara. Surfaktan memiliki struktur molekular

yang terdiri dari suatu gugus yang mempunyai afinitas sangat kecil untuk pelarut

berair dinamakan gugus lipofilik dan mempunyai afinitas sangat kuat terhadap

solven berair dinamakan gugus hidrofilik. Keadaan kedua gugus tersebut dalam

molekul surfaktan disebut gugus amfifil (Rosen, 1978). Surfaktan sering digunakan

sebagai bahan tambahan karena kemampuannya mengemulsi, mensuspensi, dan

melarutkan obat serta kecenderungan menambah adsorpsi obat. Sifat dari surfaktan

adalah menambah kelarutan senyawa organik dalam sistem berair (Lachman dkk.,

1986).

2.3.3 Etanol

CH3 CH2 OH

Gambar 2.3 Rumus bangun etanol

Etanol memiliki ciri-ciri: cairan jernih, mudah menguap dan mudah

bergerak; tidak berwarna; bau khas; rasa panas. Mudah terbakar dengan

memberikan nyala biru dengan bobot jenis 0,8860-0,8863g/cm3. Kelarutan dapat

bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut organik.

21
Penyimpanan dilakukan dalam wadah tertutup rapat dan jauhkan dari api (Ditjen

POM, 1979).

Etanol dan larutan etanol dalam air dari berbagai konsentrasi banyak

digunakan dalam formulasi farmasetikal dan kosmetik. Meskipun etanol utamanya

digunakan sebagai pelarut, ia juga dapat berperan sebagai desinfektan, dan dalam

larutan sebagai pengawet antimikroba (Rowe dkk., 2003).

2.3.4 Propilen glikol

Gambar 2.4 Rumus bangun propilen glikol

Propilen glikol berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau,

rasa agak manis, dan higroskopik. Propilen glikol dapat campur dengan air, dengan

etanol (95%) P dan dengan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat

campur dengan eter minyak tanah P dan dengan minyak lemak (Ditjen POM, 1979).

Propilen glikol digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi,

industri makanan maupun kosmetik, dan dapat dikatakan relatif non toksik. Dalam

formulasi atau teknologi farmasi, propilen glikol secara luas digunakan sebagai

pengawet, antimikroba, disinfektan, humektan, solven, stabilizer dalam berbagai

sediaan farmasi parenteral dan non parenteral. Propilen glikol merupakan pelarut

yang baik dan dapat melarutkan berbagai macam senyawa, seperti kortikosteroid,

fenol, obat-obat sulfa, barbiturat, vitamin (A dan D), kebanyakan alkaloid dan

berbagai anastetik lokal. Sebagai pelarut atau kosolven, propilen glikol digunakan

dalam konsentrasi 10-30% larutan aerosol, 10-25% larutan oral, 10-60% larutan

parenteral dan 0-80% larutan topikal. (Rowe dkk., 2003).

22
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental yang

meliputi pembuatan sediaan nanosuspensi parasetamol, evaluasi sediaan, dan uji

in vitro.

3.3 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat disolusi, batang pengaduk, beaker

glass (Pyrex), bola hisap, desikator, erlenmeyer (Pyrex), gelas arloji, gelas

ukur (Pyrex), hotplate (Pisons), kamera digital, kertas perkamen, labu tentukur

(Pyrex), magnetic bar, magnetic stirrer (Boeco), neraca analitis (Ohaus Pionner),

piknometer (Pyrex), pipet tetes, pipet volume (MBL), pH meter (Hanna

Instrument), spektrofotometer (UV-1800 Shimadzu), stopwatch, termometer,

viskometer Brookfield DV-E, particle size analyzer Horiba LB-550, vial, dan alat-

alat laboratorium yang biasa digunakan.

3.4 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Parasetamol serbuk (PT Mutifa

Farma), etanol, akuades, propilen glikol, Tween 80 (Merck), suspensi parasetamol

merk dagang (Praxion, Pharos), dapar pH asam 4,01 (Hanna Instrument), dapar pH

netral 7,01 (Hanna Instrument), bahan-bahan yang berkualitas pro analysis

(Merck): natrium klorida dan asam klorida.

23
3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Pembuatan Pereaksi

3.5.1.1 Pembuatan Medium Lambung Buatan pH 1,2

Natrium klorida 2 gram ditambahkan asam klorida pekat sebanyak 7 ml

ditambahkan air suling hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.5.2 Pembuatan Kurva Serapan dan Kurva Kalibrasi Larutan Parasetamol


dalam Medium Lambung Buatan pH 1,2

3.5.2.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Paracetamol

Dilarutkan 25 mg parasetamol dengan HCl 0,1 N hingga larut sempurna di

dalam labu tentukur 500 ml, kemudian dicukupkan dengan HCl 0,1 N sampai garis

tanda. Konsentrasi parasetamol adalah 50 ppm (µg/ml).

3.5.2.2 Pembuatan Kurva Serapan Parasetamol

Dipipet 2 ml dari larutan induk baku lalu dimasukkan ke dalam labu ukur

25 ml, dicukupkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda. Konsentrasi parasetamol

adalah 4 ppm (µg/ml). Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV pada

panjang gelombang 200-400 nm.

3.5.2.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Parasetamol

Dari larutan induk baku tersebut dibuat larutan parasetamol dengan berbagai

konsentrasi yaitu: 0,5; 1; 2; 5; 10; 15; 20 dan 25 ppm dengan memipet larutan induk

baku masing-masing 0,25; 0,5; 1; 2,5; 5; 7,5; 10 dan 12,5 ml dimasukkan ke dalam

labu ukur 25 ml kemudian dicukupkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda,

dikocok sampai homogen. Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV pada

panjang gelombang maksimum 243 nm.

24
3.5.3 Pembuatan Sediaan Nanosuspensi Parasetamol

3.5.3.1 Formula Sediaan Nanosuspensi

Pada formulasi nanosuspensi, persentase komposisi bahan dalam

nanosuspensi diambil dari penelitian sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya,

Jadhav dkk (2018) melakukan penelitian tentang formulasi dan evaluasi

nanosuspensi amoksisilin, komposisi bahan yang digunakan dalam penelitian

tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Persentase komposisi bahan dalam nanosuspensi pada penelitian Jadhav
dkk (2018)
Formula Obat PVP-K30 Tween 80 Pengawet Etanol Akuades
(mg) (mg) (ml) (ml) (ml)
F1 200 100 2 0,04 2 20
F2 200 200 2 0,04 2 20
F3 200 300 2 0,04 2 20
F4 200 400 2 0,04 2 20
F5 200 500 2 0,04 2 20

Selanjutnya, pada penelitian ini dilakukan modifikasi formula dari

penelitian Jadhav dkk (2018), dengan mengganti amoksisilin sebagai bahan aktif

menjadi parasetamol dan pelarut obat yang digunakan terdiri dari 2 jenis yaitu

etanol dan propilen glikol. Namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan uji

pendahuluan (orientasi) untuk mengetahui komposisi bahan terbaik sehingga

didapatkan sediaan nanosuspensi yang stabil. Dilakukan uji pendahuluan (orientasi)

dengan penambahan Tween 80 yang bervariasi yaitu 1 ml; 1,5 ml; dan 2ml. Setelah

dilakukan uji pendahuluan (orientasi) diperoleh komposisi Tween 80 yang

menghasilkan nanosuspensi yang stabil adalah Tween 80 sebanyak 1 ml. Adapun

persentase komposisi bahan dalam formulasi nanosuspensi yang telah dimodifikasi

dari penelitian Jadhav dkk (2018) berdasarkan orientasi formula dapat dilihat pada

Tabel 3.2.

25
Tabel 3.2 Persentase komposisi bahan dalam nanosuspensi yang telah dimodifikasi
berdasarkan orientasi formula
Bahan Formula 1 Formula 2
Parasetamol 480 mg 480 mg
Etanol 2 ml -
Propilenglikol - 2 ml
Tween 80 1 ml 1 ml
Akuades 20 ml 20 ml

3.5.3.2 Prosedur Pembuatan Nanosuspensi Parasetamol

Pembuatan nanosuspensi menggunakan metode pengendapan/presipitasi.

Metode nanopresipitasi dilakukan dengan cara melarutkan obat di dalam pelarut

organik, kemudian ditambahkan campuran larutan surfaktan dalam akuades.

Campuran keduanya diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik (Jadhav

dkk., 2018). Prosedur pembuatan nanosuspensi adalah sebagai berikut:

1. Fase organik disiapkan: dilarutkan 480 mg parasetamol ke dalam 2 ml etanol

(untuk formula 2 etanol diganti dengan propilen glikol).

2. Fase air disiapkan: dilarutkan 1 ml Tween 80 di dalam akuades.

3. Fase organik ditambahkan ke dalam fase air sedikit demi sedikit dan diaduk

dengan menggunakan magnetic stirrer pada suhu 45◦C dengan kecepatan 1300-

1500 rpm selama 1 jam sampai terbentuk nanosuspensi.

3.5.4 Pembuatan Sediaan Suspensi Parasetamol

Formula komposisi bahan dalam sediaan suspensi parasetamol dapat dilihat

pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Formula komposisi bahan dalam sediaan suspensi parasetamol


Bahan Formula
Parasetamol 480 mg
Tween 80 1 ml
Akuades 20 ml

26
Prosedur pembuatan sediaan suspensi parasetamol adalah sebagai berikut:

1. Disiapkan semua bahan. Ditimbang parasetamol sebanyak 480 mg, kemudian

disiapkan Tween 80 sebanyak 1 ml dan akuades 20 ml.

2. Dilarutkan Tween 80 sedikit demi sedikit ke dalam akuades diaduk hingga larut.

3. Dimasukkan parasetamol serbuk ke dalam campuran Tween dan akuades

kemudian diaduk hingga larut.

3.5.5 Evaluasi Sediaan

3.5.5.1 Organoleptis

Pengamatan organoleptis dilakukan secara visual. Masing-masing formula

dilakukan pengamatan secara visual terhadap bau, warna, dan bentuk selama 4

minggu dengan pengamatan setiap 1 minggu sekali.

3.5.5.2 Penentuan pH

Penentuan pH sediaan dilakukan menggunakan pH meter Hanna yaitu

dengan cara alat dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan dapar standar pH

netral (pH 7,01) dan larutan dapar asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga

pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan

kertas tisu. Kemudian elektroda dicelupkan dalam sampel sampai alat menunjukkan

harga pH yang konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan harga pH

sediaan (Rawlins, 2003). Penentuan pH dilakukan selama 4 minggu dengan

pengukuran setiap 1 minggu sekali.

3.5.5.3 Penentuan Viskositas

Penentuan viskositas dilakukan dengan cara sediaan nanosuspensi dan

suspensi dimasukkan ke dalam beaker glass 100 ml dan dipilih nomor spindle yang

sesuai dengan menggunakan viskometer Brookfield DV-E.

27
3.5.4.4 Penentuan Bobot Jenis

Penentuan bobot jenis dilakukan pada awal setelah sediaan dibuat dengan

pengukuran sebanyak 1 kali. Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer

pada suhu kamar. Piknometer yang bersih dan kering ditimbang (A g). Kemudian

diisi dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 g). Air dikeluarkan dari

piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan nanosuspensi dan suspensi

diisikan dalam piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis diukur

dengan perhitungan sebagai berikut:

𝐴2−𝐴
Bobot jenis = × 𝜌 air
𝐴1−𝐴

3.5.4.5 Penentuan Ukuran Partikel Nanosuspensi

Penentuan ukuran partikel dilakukan di Laboratorium Pusat Sains dan

Teknologi Nuklir Terapan Bandung menggunakan alat Particle Size Analyzer

Horiba LB-550 pada suhu kamar.

3.5.5 Uji Disolusi (In Vitro)

Medium disolusi : Cairan lambung buatan tanpa enzim (pH 1,2)

Kecepatan pengadukan : 100 rpm

Volume medium : 900 ml

Suhu medium : 37 ± 0,5◦C

Alat : Alat disolusi metode dayung

Sampel : Nanosuspensi dan suspensi parasetamol

Dimasukkan sediaan nanosuspensi parasetamol yang sudah dibuat ke dalam

tabung disolusi berisi 900 ml medium lambung buatan pH 1,2 suhu 37 ± 0,5◦C

dengan kecepatan 100 rpm. Diambil aliquot sebanyak 1 ml dan dijaga volumenya

tetap 900 ml dengan interval waktu 1, 2, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 menit.

28
Pengambilan aliquot dilakukan pada tempat yang sama yaitu pertengahan medium

disolusi, tidak kurang 1 cm dari dinding wadah. Sampel dianalisis dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 243 nm untuk menentukan

konsentrasi parasetamol. Perlakukan yang sama dilakukan untuk sediaan suspensi.

3.6 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program Statistical Product

and Service Solution (SPSS) versi 17 yaitu menggunakan analisis nonparametrik

dengan tingkat kepercayaan 95% dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Kruskall-

Wallis untuk mengetahui formula mana yang mempunyai pengaruh sama atau

berbeda secara signifikan.

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Evaluasi Nanosuspensi Parasetamol

4.1.1 Pengamatan Organoleptis

Hasil data pengamatan organoleptis sediaan nanosuspensi dapat dilihat pada

Tabel 4.1 dan Gambar 4.1. Pengamatan organoleptis sediaan suspensi parasetamol

dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Tabel 4.1 Data pengamatan organoleptis selama 4 minggu penyimpanan


Lama Organoleptis
Penyimpanan Bau Warna Bentuk
(minggu) F1 F2 F1 F2 F1 F2
0 TB TB B B C C
1 TB TB B B C C
3 TB TB B B C C
3 TB TB B B C C
4 TB TB B B C C
Keterangan:
F1 : Nanosuspensi parasetamol dengan etanol
F2 : Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol
TB : Tidak Berbau
B : Bening
C : Cair

F1 F2 F1 F2

Minggu 0 Minggu 4

Gambar 4.1 Nanosuspensi Parasetamol

Keterangan : F1 : Nanosuspensi parasetamol dengan etanol


F2 : Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol

30
Suspensi Parasetamol Suspensi merk dagang

Gambar 4.2 Suspensi Parasetamol

Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil pengamatan organoleptis

nanosuspensi F1 dan F2 tidak mengalami perubahan selama 4 minggu

penyimpanan baik dari segi bau, warna, dan bentuk. Hasil ini menunjukkan bahwa

nanosuspensi F1 dan F2 stabil dalam penyimpanan selama 4 minggu.

4.1.2 Penentuan pH

Penentuan pH sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol dilakukan

dengan menggunakan pH meter. Penentuan pH dilakukan selama 4 minggu dengan

pengukuran 1 minggu sekali untuk sediaan nanosuspensi. Hasil penentuan pH

sediaan nanosuspensi parasetamol pada penyimpanan selama 4 minggu ditunjukkan

pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.3. Hasil penentuan pH sediaan suspensi parasetamol

dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.2 Data pengukuran pH nanosuspensi selama 4 minggu penyimpanan


Formula Waktu (minggu)
0 1 2 3 4
F1 5,3 5,3 5,2 5,1 4,9
F2 5,5 5,5 5,4 5,1 5
Keterangan : F1 : Nanosuspensi parasetamol dengan etanol
F2 : Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol

Tabel 4.3 Data pengukuran pH suspensi parasetamol


Formula pH
Suspensi parasetamol 5,2
Suspensi merk dagang 5,7

31
5,6
5,4
5,2
pH

5
4,8
4,6
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)
F1 (Nanosuspensi dengan etanol)
F2 (Nanosuspensi dengan propilen glikol)

Gambar 4.3 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH nanosuspensi parasetamol

Pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.3 menunjukkan bahwa penyimpanan kedua

formula sediaan nanosuspensi parasetamol selama 4 minggu mengalami penurunan

pH namun masih memenuhi syarat pH untuk sediaan suspensi parasetamol yaitu

4,5-6,9 (Ditjen POM, 1995). Pada sediaan nanosuspensi terdapat Tween 80 yang

menurut Rowe dkk., (2009), ester asam oleat dari Tween 80 sensitif terhadap

oksidasi. Sehingga reaksi oksidasi yang terjadi pada ester asam oleat dari Tween 80

selama penyimpanan 4 minggu memungkinkan untuk dapat terjadi, dan reaksi

oksidasi yang terjadi tersebut akan menurunkan pH dari sediaan selama

penyimpanan.

4.1.3 Penentuan Viskositas

Penentuan viskositas sediaan dilakukan dengan menggunakan viskometer

Brookfield DV-E dengan nomor spindle 62 setelah sediaan dibuat. Hasil penentuan

viskositas nanosuspensi dan suspensi parasetamol dapat dilihat pada Tabel 4.4.

32
Tabel 4.4 Data penentuan viskositas nanosuspensi dan suspensi parasetamol
Formula Viskositas (cP)
F1 73,75
F2 75,2
Suspensi Parasetamol 72
Suspensi merk dagang 80,4
Keterangan : F1 : Nanosuspensi parasetamol dengan etanol
F2 : Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol
Viskositas dalam centipoise (cP)

Berdasarkan hasil penentuan viskositas pada Tabel 4.4 diperoleh viskositas

yang tidak jauh berbeda antara formula 1 dan formula 2. Viskositas pada formula 1

didapat lebih rendah dari formula 2 hal ini disebabkan karena pengaruh etanol yang

menguap.

4.1.4 Penentuan Bobot Jenis

Penentuan bobot jenis sediaan dilakukan dengan menggunakan piknometer

pada suhu kamar. Data hasil penentuan bobot jenis nanosuspensi dan suspensi

parasetamol dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Data penentuan bobot jenis nanosuspensi dan suspensi parasetamol
Formula Bobot Jenis (gram/ml)
F1 1,0259
F2 1,0349
Suspensi Parasetamol 1,0051
Suspensi merk dagang 1,1992
Keterangan : F1 : Nanosuspensi parasetamol dengan etanol
F2 : Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap bobot jenis nanosuspensi diperoleh

bobot jenis yang tidak jauh berbeda antara formula 1 dan formula 2. Bobot jenis

tertinggi didapat pada sediaan suspensi parasetamol merk dagang hal ini disebabkan

pengaruh zat tambahan di dalam sediaan suspensi tersebut.

4.1.5 Penentuan Ukuran Partikel Nanosuspensi dan Suspensi Parasetamol

Penentuan ukuran partikel sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol

dilakukan menggunakan alat Particel Size Analyzer. Data hasil penentuan rata-rata

33
ukuran partikel suspensi dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan rata-rata ukuran partikel

nanosuspensi pada 0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu dapat dilihat pada Tabel 4.7

dan Gambar 4.4.

Tabel 4.6 Data penentuan distribusi ukuran partikel suspensi


Sediaan Ukuran Partikel (µm)
Distribusi Rata-rata
Suspensi parasetamol 12,8-42,2 15,68
Suspensi parasetamol merk dagang 11,1-36,63 14,96

Tabel 4.7 Data penentuan distribusi ukuran partikel nanosuspensi


Sediaan Ukuran Partikel (nm)
Awal 2 Minggu 4 Minggu
Distribusi Rata-rata Distribusi Rata-rata Distribusi Rata-rata
F1 22-172 63,3 90-340 180,2 100-390 200,0
F2 100-390 190,8 110-390 219,0 130-600 331,0
Keterangan : F1 : Nanosuspensi parasetamol dengan etanol
F2 : Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol

350
300
Ukuran partikel (nm)

250
200
150
100
50
0
0 2 4
Waktu (minggu)
F1 (Nanosuspensi dengan etanol)
F2 (Nanosuspensi dengan propilen glikol)

Gambar 4.4 Pengaruh lama penyimpanan terhadap ukuran partikel nanosuspensi


parasetamol

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sediaan nanosuspensi F1 mempunyai ukuran

partikel yang lebih kecil bila dibandingkan dengan F2. Rata-rata ukuran partikel

pada formula F1 dan F2 pada minggu 0 berturut-turut adalah 63,3 nm dan 190,8

34
nm. Pada Tabel 4.7 juga menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan ukuran

partikel dari nanosuspensi F1 dan F2 mengalami peningkatan. Peningkatan ukuran

partikel nanosuspensi selama penyimpanan disebabkan karena aglomerasi atau

agregasi (Nagare dkk., 2012).

Kecepatan pengadukan dan konsentrasi surfaktan dalam formulasi

nanosuspensi mempengaruhi hasil ukuran partikel nanosuspensi yang didapat.

Peningkatan kecepatan pengadukan dapat menurunkan ukuran partikel, hal ini

disebabkan oleh pencampuran tingkat molekul antara multi-fase. Kecepatan

pengadukan meningkatkan massa transfer dan laju difusi antara multi-fase yang

menyebabkan penjenuhan obat secara cepat di dalam larutan, sehingga dihasilkan

partikel obat yang lebih kecil. Selain itu, kecepatan pengadukan dapat mencegah

pertumbuhan partikel dengan cara mencegah terjadinya agregasi. Surfaktan juga

berpengaruh dalam formulasi nanosuspensi, peningkatan konsentrasi surfaktan

dalam sediaan nanosuspensi dapat menurunkan ukuran partikel nanosuspensi.

Konsentrasi surfaktan mempengaruhi ukuran partikel karena terlalu sedikit

konsentrasi surfaktan yang digunakan menginduksi terjadinya aglomerasi atau

agregasi dan Oswald’s ripening (Dawood dkk., 2018). Ostwald’s ripening adalah

fenomena fase polidispersi emulsi dimana droplet-droplet yang lebih besar akan

terbentuk dari droplet yang kecil (Nagare dkk., 2012).

4.2 Hasil Uji Pelarutan Parasetamol secara In Vitro

4.2.1 Pelarutan Parasetamol dari Nanosuspensi dan Suspensi Parasetamol

Perbandingan pelarutan parasetamol secara in vitro dari sediaan

nanosuspensi dan suspensi parasetamol dapat dilihat pada Gambar 4.5-4.6 dan

Tabel 4.9.

35
Tabel 4.8 Waktu (T 80) sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol
No. Sediaan T 80 % kumulatif
1 Nanosuspensi parasetamol dengan etanol menit 10 82
2 Nanosuspensi parasetamol dengan propilen menit 20 81
glikol
3 Suspensi parasetamol menit 60 81,34
4 Suspensi merk dagang menit 50 80,57

Tabel 4.9 Nilai AUC sediaan nanosuspensi dan suspensi parasetamol


No. Sediaan AUC 0-90 menit
1 Nanosuspensi parasetamol dengan etanol 1371,65
2 Nanosuspensi parasetamol dengan propilen glikol 1353,37
3 Suspensi parasetamol 1269,35
4 Suspensi merk dagang 1260,50

100
90
80
70
%Kumulatif

60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 5 10 20 40 50 60 70 80 90
Waktu (menit)
Nanosuspensi dengan etanol Nanosuspensi dengan propilen glikol

Gambar 4.5 Persen kumulatif pelarutan parasetamol dari sediaan nanosuspensi


dalam medium lambung buatan pH 1,2 pada suhu 37◦C secara in vitro

36
100
95
90
% Kumulatif

85
80
75
70
65
60
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330
Waktu (menit)
Suspensi parasetamol Suspensi merk dagang
Gambar 4.6 Persen kumulatif pelarutan parasetamol dari sediaan suspensi dalam
medium lambung buatan pH 1,2 pada suhu 37◦C secara in vitro

100

80

60
%Kumulatif

40

20

0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (menit)
Nanosuspensi dengan etanol Nanosuspensi dengan propilen glikol
Suspensi Parasetamol Suspensi merk dagang

Gambar 4.7 Perbandingan pelarutan parasetamol dari sediaan nanosuspensi dan


suspensi parasetamol dalam medium lambung buatan pH 1,2 pada
suhu 37◦C secara in vitro

Dari Gambar 4.7 menunjukkan bahwa pelarutan obat parasetamol dengan

persentase yang lebih tinggi dan lebih cepat ditunjukkan oleh sediaan nanosuspensi

37
dimana secara berturut jumlah parasetamol yang terlarut dari paling tinggi ke

rendah adalah nanosuspensi dengan etanol > nanosuspensi dengan propilen glikol

> suspensi parasetamol dan suspensi merk dagang. Data perhitungan disolusi

nanosuspensi parasetamol dengan etanol dapat dilihat pada Lampiran 4, dan

nanosuspensi dengan propilen glikol pada Lampiran 8. Data perhitungan disolusi

suspensi parasetamol dan suspensi merk dagang dapat dilihat pada Lampiran 12

dan 16. Contoh perhitungan konsentrasi mula-mula sediaan nanosuspensi dapat

dilihat pada Lampiran 3.

Dari Tabel 4.8 dan 4.9 menunjukkan bahwa sediaan yang lebih cepat

memberikan efek adalah sediaan nanosuspensi. Pelarutan obat mencapai 80%

dalam sediaan nanosuspensi terjadi pada menit ke 10-20 sedangkan pada sediaan

suspensi pada menit ke 50-60. Berdasarkan hasil uji statistik dengan Kruskal-Wallis

terhadap AUC setiap formula menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pelarutan

parasetamol yang signifikan. Nanosuspensi parasetamol dengan etanol berbeda

signifikan dengan suspensi parasetamol dan suspensi merk dagang, serta

nanosuspensi dengan propilen glikol berbeda signifikan dengan suspensi

parasetamol dan suspensi merk dagang. Hasil pengujian statistik dapat dilihat pada

Lampiran 20. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shariare

(2018), bahwa data hasil pengamatan laju disolusi dari sediaan nanosuspensi lebih

cepat dan lebih tinggi kadarnya dibandingkan dengan serbuk parasetamol dan

sediaan suspensi parasetamol dipasaran. Peningkatan dan kecepatan tertinggi

(sekitar 98%) dalam laju disolusi disebabkan oleh peningkatan luas permukaan

karena partikel obat berukuran nanometer. Berdasarkan persamaan Noyes-

Whitney, peningkatan solubilitas saturasi dan penurunan ukuran partikel

menyebabkan peningkatan laju disolusi. Dengan demikian bioavailabilitas

38
nanosuspensi dipengaruhi oleh laju disolusi, dimana pengurangan ukuran partikel

dapat meningkatkan efek obat secara signifikan.

4.2.2 Hasil Kinetika Orde Pelarutan Parasetamol dari Nanosuspensi dan


Suspensi Parasetamol

Kinetika orde pelarutan parasetamol dilakukan terhadap setiap sediaan

nanosuspensi dan suspensi dengan tiga model kinetika yaitu: orde nol, orde satu,

dan orde Higuchi. Penentuan kinetika pelarutan parasetamol dilakukan untuk

mengetahui berapa persen obat yang terlarut dari waktu ke waktu selama pengujian

dengan memplotkan hasil uji pelarutan parasetamol dalam grafik waktu versus

persen kumulatif, waktu versus logaritma persen kumulatif, dan akar waktu versus

persen kumulatif maka dapat diperoleh nilai korelasi (R2). Kinetika pelarutan

parasetamol dalam medium lambung pH 1,2 dapat dilihat pada Tabel 4.10 - 4.13.

Grafik kinetika orde pelarutan parasetamol dari semua sediaan dapat dilihat pada

Lampiran 7, 11, 15 dan 19.

Tabel 4.10 Kinetika pelarutan parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol


Orde Kinetika Persamaan Regresi R2
Orde Nol y = 0,1824x + 76,663 R² = 0,9211
Orde Satu y = 0,001x + 1,8848 R² = 0,9123
Higuchi y = 1,9878x + 72,877 R² = 0,9795
Tabel 4.11 Kinetika pelarutan parasetamol dari nanosuspensi dengan propilen
glikol
Orde Kinetika Persamaan Regresi R2
Orde Nol y = 0,182x + 76,66 R² = 0,9227
Orde Satu y = 0,001x + 1,8848 R² = 0,9137
Higuchi y = 1,983x + 72,884 R² = 0,9808
Tabel 4.12 Kinetika pelarutan parasetamol dari suspensi parasetamol
Orde Kinetika Persamaan Regresi R2
Orde Nol y = 0,0391x + 77,827 R² = 0,9264
Orde Satu y = 0,0002x + 1,8914 R² = 0,9133
Higuchi y = 0,8623x + 74,442 R² = 0,9834

39
Tabel 4.13 Kinetika pelarutan parasetamol dari suspensi merk dagang
Orde Kinetika Persamaan Regresi R2
Orde Nol y = 0,0422x + 76,635 R² = 0,8448
Orde Satu y = 0,0002x + 1,8843 R² = 0,8177
Higuchi y = 0,9535x + 72,718 R² = 0,9434

Dari hasil plot seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.10 - 4.13 diperoleh

bahwa kinetika pelarutan parasetamol untuk semua sediaan mengikuti kinetika orde

Higuchi. Grafik kinetika pelarutan parasetamol dari masing-masing formula dapat

dilihat pada Gambar 4.8-4.11.

100

80
% Kumulatif

60 y = 1,9878x + 72,877
R² = 0,9795
40

20

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Akar waktu
Gambar 4.8 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol dari nanosuspensi dengan
etanol

100
80
% Kumulatif

60
y = 1,983x + 72,884
40 R² = 0,9808

20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Akar waktu

Gambar 4.9 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol dari nanosuspensi dengan
propilen glikol

40
100

80
% Kumulatif
60
y = 0,8623x + 74,442
40 R² = 0,9834

20

0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Akar waktu

Gambar 4.10 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol dari suspensi parasetamol
100
80
% Kumulatif

60 y = 0,9535x + 72,718
40 R² = 0,9434

20
0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Akar waktu

Gambar 4.11 Grafik kinetika orde Higuchi parasetamol suspensi merk dagang

Berdasarkan Gambar 4.8, 4.9, 4.10 dan 4.11 pelarutan parasetamol dari

masing-masing formula menunjukkan grafik linear yang mengikuti kinetika orde

Higuchi. Model persamaan Higuchi adalah model teoritis untuk pelepasan obat

yang larut dan sukar larut dalam air dari berbagai matriks, termasuk semipadat dan

padat. Obat yang terdispersi homogen di seluruh matriks dianggap melarut dalam

matriks polimer dan berdifusi dari permukaan matriks (Sinko, 2012).

41
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa:

a. Parasetamol dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan nanosuspensi baik

menggunakan pelarut etanol maupun propilen glikol. Ukuran partikel

nanosuspensi yang dihasilkan adalah 63,3 nm untuk nanosuspensi dengan

etanol dan 190,8 nm untuk nanosuspensi dengan propilen glikol, serta sediaan

nanosuspensi tersebut masih tetap stabil selama penyimpanan hingga 4 minggu.

b. Sediaan nanosuspensi parasetamol dengan etanol memberikan laju disolusi obat

yang tidak jauh berbeda dengan nanosuspensi parasetamol dengan propilen

glikol. Laju disolusi parasetamol dalam sediaan nanosuspensi lebih cepat

dibandingkan sediaan suspensi parasetamol dan suspensi merk dagang.

5.2 Saran

a. Disarankan untuk peneliti selanjutnya agar mengembangkan penelitian untuk

menguji efek analgetik dari nanosuspensi parasetamol secara in vivo.

b. Disarankan untuk peniliti selanjutnya agar membuat formulasi nanosuspensi

parasetamol untuk sediaan drop.

42
DAFTAR PUSTAKA

Aghajani, M., Shahverdi, A.R., Rezayat, S.M., Amini, M.A., dan Amani, A. 2012.
Preparation and Optimization of Acetaminophen Nanosuspension Through
Nanoprecipitation Using Microfluidic Devices: An Artifical Neural
Networks Study. Pharmaceutical Development and Technology. 1-10.
Ansel, C.H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI
Press. Halaman 326-335.
Arunkumar, N., Deecaraman, M., Rani, C., Mohanraj, K.P., dan Kumar, K.V.
2009. Preparation and Solid State Characterization of Atorvastatin
Nanosuspensions for Enhanced Solubility and Dissolution. International
Journal of PharmTech Research. 1(4): 1725-1730.
Chingunpituk, J. 2007. Nanosuspension Technology for Drug Delivery. Walailak J
Sci and Tech. 4(2): 139-153.
Clarke, E.G.C. 1969. Isolation and Identification of Drugs. London: The
Pharmaceutical Press. Halaman 234.
Dawood, N.M., Hammid, S.N.A., dan Hussien, A.A. 2018. Formulation and
Characterization of Lafutadine Nanosuspension for Oral Drug Delivery
System. International Journal of Applied Pharmaceutics. 10(2): 20-30.
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 9, 33.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 63, 649.
Iskandarsyah, A.M. 2010. Preparasi dan Karakterisasi Nanosuspensi dengan
Polivinilpirolidon sebagai Pembawa Nanopartikel Senyawa Asam
Mefenamat. Majalah Ilmu Kefarmasian. 7(2): 52-61.
Jadhav, A.B., Gawandar, P.R., dan Vitore, G. 2018. Formulation and Evaluation of
Amoxicillin Nanosuspension. International Journal of Universal Print. 4(4):
212-215.
Kumari, K.P.V., dan Rao, S.Y. 2017. Nanosuspension: A Review. International
Journal of Pharmacy. 7(2): 77-89.
Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. 1986. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Halaman 1081-1083.
Lakshmi, P., dan Kumar, G.A. 2010. Nano-suspension Technology: A Review.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2(4): 35-
40.
Lesson, L.J., dan Cartensen, J.T. 1974. Dissolution Technology. Washington: The
Ind Pharm Technology of Pharm Science. Halaman 62.
Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A. 1993. Farmasi Fisik. Edisi Ketiga.
Jakarta: UI Press. Halaman 558, 614-616, 621.
Muller, R.H., Jacobs, C., dan Kayser, O. 2001. Nanosuspensions as Particulate
Drug Formulations in Therapy Rationale for Development and What We
Can Expect for the Future. Advanced Drug Delivery Reviews. 47: 3-19.
Nagare, S.K., Ghurghure, S.M., Khade, A.B., Jadhav, S.G., dan Salunkhe, S.B.
2012. A Review on: Nanosuspensions- An Innovative Acceptable Approach
in Novel Delivery System. Indian Journal of Novel Drug Delivery. 4(3):
189-201.

43
Patel, M., Shah, A., Patel, N.M., Patel, M.R., dan Patel, K.R. 2011.
Nanosuspension: A Novel Approach for Drug Delivery System. Journal of
Pharmaceutical Science and Bioscientific Research. 1(1): 1-10.
Patravale, V.B., Date, A.A., dan Kulkarni, R.M. 2004. Nanosuspensions: A
Promising Drug Delivery Strategy. Journal of Pharmacy and Pharmacology.
5(6): 827-840.
Rawlins, E.A. 2003. Bentley’s Textbook of Pharmaceutics. Edisi Kedelapan Belas.
London: Bailliere Tindall. Halaman 22, 355.
Rosen, M.J. 1978. Surfactants and Interfacial Phenomena. New York: John Wiley
and Sons. Halaman 125.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Weller, P.J. 2003. Handbook of Pharmaceutical
Excipients. Edisi Keempat. London: Pharmaceutical Press. Halaman 568-
570.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Weller, P.J. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients. Edisi Keenam. London: Pharmaceutical Press. Halaman 108-
109.
Shariare, M.H., Sharmin, S., Jahan, I., Reza, H.M., dan Mohsin, K. 2018. The
Impact of Process Parameters on Carrier Free Paracetamol Nanosuspension
Prepared Using Different Stabilizers by Antisolvent Precipitation Method.
Journal of Drug Delivery Science and Technology. 43: 122-128.
Sienko, M.J., dan Plane, R.A. 1961. Kimia. Edisi Keempat. New York: McGraw-
Hill Book Co. Halaman 206.
Singh, V.K., Chandra, D., Singh, P., Kumar, S., dan Singh, A.P. 2013.
Nanosuspension: Way to Enhance the Bioavaibility of Poorly Soluble Drug.
International Journal of Current Trends in Pharmaceutical Research. 1(4):
277-287.
Sinko, P.J. 2012. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Martin. Jakarta: EGC.
Halaman: 431-432.
Swarbrick, J., dan Boylan, J. 2007. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology.
Edisi Ketiga. USA: Informa Healthcare USA Inc. Halaman 2395, 3609.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi Keenam. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo. Halaman 318.
Voigt, R. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press. Halaman
337-338.

44
Lampiran 1. Kurva serapan larutan parasetamol dalam medium lambung buatan
pH 1,2 pada konsentrasi 4 ppm

45
Lampiran 2. Kurva kalibrasi larutan parasetamol dalam medium lambung buatan
pH 1,2 pada panjang gelombang 243 nm

46
Lampiran 3. Perhitungan persen kumulatif parasetamol yang larut dalam medium
lambung buatan pH 1,2

Sebagai contoh diambil data pelarutan parasetamol dari nanosuspensi di dalam

medium lambung pH 1,2.

Jumlah parasetamol yang terlarut dalam medium lambung pH 1,2 dapat dihitung

dengan persamaan regresi y = 0,0952 x – 0,01196

Misal:

Pada menit ke-10 nilai A= 1,396, maka konsentrasinya adalah:

1,391+0,01196
= x 25 = 368,42 µg/ ml
0,0952

Jumlah parasetamol yang terlarut ke dalam 900 ml medium lambung pH 1,2 adalah:

= 368,42 µg/ ml x 900ml = 331.578 µg

Jumlah parasetamol yang terlarut:

= 331.58 µg + faktor penambahan

= 331.58 µg + 706,4 µg

= 332.284,4 µg

Persen kumulatif parasetamol yang terlarut adalah:

Total parasetamol terlarut


= x 100 %
Konsentrasi parasetamol dalam nanosuspensi

332.284,4 µg
= x 100 %
4800

= 69,22 %

47
Lampiran 4. Data percobaan disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol
dalam medium lambung buatan pH 1,2
Disolusi I

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,277 13,539 338,475 304.627,5 0 304.627,5 76,15
2 1,387 14,695 367,375 330.637,5 338,475 330.975,975 78,74
5 1,394 14,768 369,2 332.280 705,85 332.985,85 80,2
10 1,467 15,535 388,375 349.537,5 736,575 350.274,075 87,5
20 1,471 15,577 389,425 350.482,5 757,575 351.240,075 87,8
40 1,485 15,724 393,1 353.790 777,8 354.567,8 88,6
50 1,490 15,777 394,425 354.982,5 782,525 355.765,025 88,9
60 1,491 15,787 394,675 355.207,5 787,525 355.995,025 89,5
70 1,505 15,934 398,35 358.515 789,1 359.304 91,5
80 1,506 15,945 398,625 358.762,5 793,025 359.555,525 91,8
90 1,507 15,955 398,875 358.987,5 796,975 359.784,475 92

Disolusi II

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,280 13,571 339,275 305.347,5 0 305.347,5 76,3
2 1,281 13,582 339,55 305.595 339,275 305.934,275 76,5
5 1,385 14,674 366,85 330.165 678,825 330.843,825 80,7
10 1,391 14,737 368,425 331.582,5 706,4 332.288,9 82
20 1,394 14,768 369,2 332.280 735,275 333.015,275 83,2
40 1,469 15,556 388,9 350.010 737,625 350.747,625 87,7
50 1,487 15,745 393,625 354.262,5 758,1 355.020,6 88,7
60 1,491 15,787 394,675 355.207,5 782,525 355.990,025 89
70 1,493 15.808 395,2 355.680 788,3 356.468,3 89,12
80 1,495 15.829 395,725 356.152,5 789,875 356.942,375 89,3
90 1,496 15,839 395,975 356.377,5 790,925 357.168,425 90

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

48
Lampiran 4. (lanjutan)

Disolusi III

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,276 13,528 338,2 304.380 0,000 304.380 76
2 1,383 14,652 366,3 329.670 338,2 330.008,2 78,5
5 1,393 14,757 368,925 332.032,5 704,5 332.737 80,3
10 1,396 14,789 369,725 332.752,5 735,225 333.487,725 83,37
20 1,467 15,535 388,375 349.537,5 738,65 350.276,15 87,57
40 1,475 15,619 390,475 351.427,5 758,1 352.185,6 88
50 1,488 15,755 393,875 354.487,5 778,85 355.266,35 88,8
60 1,491 15,787 394,675 355.207,5 784,35 355.991,85 89
70 1,492 15,797 394,925 355.432,5 788,55 356.221,05 89,2
80 1,494 15,818 395,45 355.905 789,6 356.694,6 89,9
90 1,502 15,902 397,55 357.795 790,375 358.686,375 90,07

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

49
Lampiran 5. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan
etanol

waktu disolusi I disolusi II disolusi III rata-rata % standar


(menit) kumulatif deviasi
1 76,15 76,3 76 76,15 0,15
2 78,74 76,5 78,5 77,9 1,23
5 80,2 80,7 80,3 80,4 0,27
10 87,5 82 83,37 84,29 2,86
20 87,8 83,2 87,57 86,19 2,6
40 88,6 87,7 88 88,1 0,46
50 88,9 88,7 88,8 88,8 0,1
60 89,5 89 89 89,2 0,28
70 91,5 89,12 89,2 89,94 1,35
80 91,8 89,3 89,9 90,33 1,3
90 92 90 90,07 90,69 1,14

50
Lampiran 6. Data AUC disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol

waktu (menit) disolusi 1 disolusi 2 disolusi 3


0-1 7,25 7,26 7,24
1-2 14,12 13,57 14,1
2-5 44,2 42,39 44,12
5-10 75,75 73,53 73,87
10-20 155,56 147,53 151,62
20-30 155,89 148,84 155,68
30-40 156,62 152,78 156,1
40-50 157,5 156,5 156,87
50-60 157,82 157,66 157,71
60-70 158,6 157,98 157,92
70-80 159,39 158,2 158,1
80-90 159,5 158,34 158,6
total 1.402,2 1.356,42 1.356,3
rata-rata 1.371,65

51
Lampiran 7. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan etanol

A. Orde nol
100

80
%Kumulatif

60
y = 0,1824x + 76,663
40 R² = 0,9211

20

0
0 20 40 60 80 100
Waktu (menit)

B. Orde satu

1,6
Log % kumulatif

1,2
y = 0,001x + 1,8848
0,8 R² = 0,9123

0,4

0
0 20 40 60 80 100
Waktu (menit)

C. Higuchi

100

80
% Kumulatif

60 y = 1,9878x + 72,877
R² = 0,9795
40

20

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Akar waktu

52
Lampiran 8. Data percobaan disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan
propilen glikol dalam medium lambung buatan pH 1,2
Disolusi I

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,242 13,171 329,25 296.325 0 296.325 74,08
2 1,272 13,486 337,25 303.525 329,25 303.854,25 76
5 1,307 13,854 346,25 311.625 666,5 312.291,5 78,07
10 1,323 14,022 350,55 315.495 683,5 316.178,5 79,04
20 1,354 14,348 358,75 322.875 696,8 323.571,8 80,9
40 1,425 15,094 377,35 339.615 725,075 340.340,075 85,08
50 1,473 15,598 390 351.000 743,675 351.743,675 88
60 1,490 15,776 394,25 354.825 767,35 355.592,35 88,98
70 1,491 15,787 394,75 355.275 784,25 356.059,25 89,05
80 1,492 15,797 395 355.500 789 356.289 89,2
90 1,492 15,797 395 355.500 789,75 356.289,75 89,24

Disolusi II

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,243 13,182 329,55 296.595 0 296.595 74,15
2 1,270 13,466 336,65 303.985 329,55 303.314,55 75,83
5 1,304 13,823 345,575 311.017,5 666,2 311.683,7 78
10 1,325 14,044 351,06 315.954 682,225 316.636,225 79,16
20 1,353 14,384 359,6 323.640 696,635 324.336,635 81,08
40 1,429 15,136 378,4 340.560 725,4 341.285,4 85,32
50 1,475 15,620 390,5 351.450 744,2 352.194.2 88,05
60 1,499 15,871 396,775 357.097,5 768,9 357.866,4 89,89
70 1,499 15.871 396,775 357.097,5 787,275 357.884,775 89,89
80 1,501 15.892 397,3 357.570 793,55 358.363,55 90
90 1,501 15,892 397,3 357.570 794,075 358.364,075 90

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

53
Lampiran 8. (lanjutan)

Disolusi III

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,240 13,150 328,75 295.875 0 295.875 73,97
2 1,268 13,440 336 302.400 328,75 302.728,75 75,9
5 1,302 13,800 345 310.500 664,75 311.164,75 77,8
10 1,321 14,000 350 315.000 681 315.681 79
20 1,356 14,370 359,25 323.325 695 324.020 81
40 1,426 15,100 377,5 339.750 725,3 340.475,3 85,12
50 1,474 15,600 390 351.000 743,55 351.743,55 88,65
60 1,502 15,903 397,575 357.817,5 767,5 358.585 90.02
70 1,503 15.913 397,825 358.042,5 787,575 358.830 91
80 1,503 15.913 397,825 358.042,5 795,4 358.837,9 91
90 1,504 15,924 398,1 358.290 795,65 359.085,65 91,5

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

54
Lampiran 9. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan
propilen glikol

waktu disolusi I disolusi II disolusi III rata-rata % standar


(menit) kumulatif deviasi
1 74,08 74,15 73,97 74,067 0,09
2 76 75,83 75,9 75,91 0,085
5 78,07 78 77,8 77,95 0,14
10 79,04 79,16 79 79,067 0,083
20 80,9 81,08 81 81 0,09
40 85,08 85,32 85,12 85,17 0,128
50 88 88,05 88,65 88,23 0,362
60 88,98 89,89 90.02 89,44 0,643
70 89,05 89,89 91 90 0,978
80 89,2 90 91 90,067 0,9
90 89,24 90 91,5 90,25 1,15

55
Lampiran 10. Data AUC disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan propilen
glikol

waktu (menit) disolusi 1 disolusi 2 disolusi 3


0-1 7,065 7,071 7,055
1-2 13,33 13,32 13,29
2-5 41 40,93 40,86
5-10 69,69 69,67 69,5
10-20 141,85 142,14 141,85
20-30 145 145,08 145,06
30-40 148,74 148,84 148,7
40-50 153,46 153,78 153,5
50-60 156,87 157,46 157,52
60-70 157,82 158,71 159,08
70-80 157,92 158,82 159,13
80-90 157,97 158,92 159,19
total 1.350,65 1.354,74 1.354,73
rata-rata 1.353,37

56
Lampiran 11. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari nanosuspensi dengan
propilen glikol

A. Orde nol
100

80
%Kumulatif

60
y = 0,182x + 76,66
40 R² = 0,9227

20

0
0 20 40 60 80 100
Waktu (menit)

B. Orde satu

1,6
Log % kumulatif

1,2
y = 0,001x + 1,8848
0,8 R² = 0,9137

0,4

0
0 20 40 60 80 100
Waktu (menit)

C. Higuchi
100
80
% Kumulatif

60
y = 1,983x + 72,884
40 R² = 0,9808

20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Akar waktu

57
Lampiran 12. Data percobaan disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol
dalam medium lambung buatan pH 1,2
Disolusi I

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,014 10,777 269,425 242.482,5 0 242.482,5 60,62
2 1,249 13,245 331,125 298.012,5 269,425 298.281,925 74,57
5 1,281 13,581 339,525 305.572,5 600,55 306.173,05 76,5
10 1,310 13,886 347,15 312.435 670,65 313.105,65 78,27
20 1,323 14,023 350,575 315.517,5 686,675 316.204,175 79,05
40 1,331 14,106 352,65 317.385 697,725 318.082,725 79,52
60 1,361 14,422 360,55 324.495 703,225 325.198,225 81,3
90 1,380 14,621 365,525 328.972,5 713,2 329.686 82,42
120 1,391 14,737 368,425 331.582,5 726,075 332.308,575 83,07
150 1,425 15,094 377,35 339.615 733,95 340.348,95 85,08
180 1,439 15,241 381,025 342.922,5 745,775 343.668,275 85,9
210 1,456 15,419 385,5 346.950 758,375 347.708,375 86,92
240 1,486 15,735 393,375 354.037,5 766,525 354.804,025 88,7
270 1,490 15,777 394,425 354.982,5 778,875 355.761,375 88,94
300 1,499 15,871 396,775 357.097,5 787,8 357.885,3 89,89
330 1,501 15,892 397,3 357.570 791,2 358.361,2 90
350 1,501 15,892 397,3 357.570 794,075 358.364,075 90
370 1,502 15,903 397,575 357.817,5 794,6 358.612,1 90,05

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

58
Lampiran 12. (lanjutan)

Disolusi II

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,094 11,617 290,425 261.382,5 0 261.382,5 65,35
2 1,227 13,014 325,35 292.815 290,425 293.105,425 73,27
5 1,277 13,539 338,5 304.650 615,775 305.265,775 76,32
10 1,314 13,928 348,2 313.380 663,85 314.043,85 78,5
20 1,328 14,075 351,875 316.687,5 686,7 317.374,2 79,3
40 1,329 14,085 352,125 316.912,5 700,075 317.612,575 79,4
60 1,363 14,443 361,075 324.967,5 704 325.671,5 81,42
90 1,382 14,642 366,05 329.445 713,2 330.158,2 82,54
120 1,390 14,726 368,15 331.335 727,125 332.062,125 83,02
150 1,427 15,115 377,875 340.087,5 734.2 340.821,7 85,2
180 1,436 15,209 380,225 342.202,5 746,025 342.948,525 85,73
210 1,451 15,367 384,175 345.757,5 758,1 346.515,6 86,63
240 1,490 15,777 394,425 354.982,5 764,4 355.746,9 88,93
270 1,493 15,808 395,2 355.680 778,6 356.458,6 89,1
300 1,500 15,882 397,05 357.345 789,625 358.134,625 89,98
330 1,502 15,903 397,575 357.817.5 792,25 358.609,75 90,05
350 1,502 15,903 397,575 357.817.5 794,625 358.612,125 90,05
370 1,502 15,903 397,575 357.817,5 795,15 358.612,65 90,06

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

59
Lampiran 12. (lanjutan)

Disolusi III

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,014 10,777 269,425 242.482,5 0 242.482,5 60,62
2 1,249 13,245 331,125 298.012,5 269,425 298.281,925 74,57
5 1,281 13,581 339,525 305.572,5 600,55 306.173,05 76,5
10 1,310 13,886 347,15 312.435 670,65 313.105,65 78,27
20 1,323 14,023 350,575 315.517,5 686,675 316.204,175 79,05
40 1,331 14,106 352,65 317.385 697,725 318.082,725 79,52
60 1,361 14,422 360,55 324.495 703,225 325.198,225 81,3
90 1,384 14,663 365,575 329.917,5 713,2 330.630,7 82,65
120 1,396 14,789 369,725 332.752,5 727,125 333.479,625 83,36
150 1,422 15,062 376,55 338.895 736,3 339.631,3 84,9
180 1,441 15,262 381,55 343.395 746,275 344.141,275 86,03
210 1,453 15,388 384,7 346.230 758,1 346.988,1 86,74
240 1,487 15,745 393,625 354.262,5 766,25 355.028,75 88,75
270 1,491 15,787 394,675 355.207,5 778,325 355.985,825 89
300 1,501 15,892 397,3 357.570 788,3 358.358,3 90
330 1,502 15,903 397,575 357.817,5 791,975 358.609,475 90,04
350 1,502 15,903 397,575 357.817,5 794,875 358.612,375 90,05
370 1,503 15,913 397,825 358.042,5 795,15 358.846,65 91

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

60
Lampiran 13. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol

waktu disolusi I disolusi II disolusi III rata-rata % standar


(menit) kumulatif deviasi
1 60,62 65,35 60,62 62,2 2,73
2 74,57 73,27 74,57 74,14 0,75
5 76,5 76,32 76,5 76,44 0,104
10 78,27 78,5 78,27 78,35 0,133
20 79,05 79,3 79,05 79,13 0,144
40 79,52 79,4 79,52 79,48 0,07
60 81,3 81,42 81,3 81,34 0,07
90 82,42 82,54 82,65 82,54 0,115
120 83,07 83,02 83,36 83,15 0,183
150 85,08 85,2 84,9 85,06 0,151
180 85,9 85,73 86,03 85,89 0,15
210 86,92 86,63 86,74 86,76 0,146
240 88,7 88,93 88,75 88,8 0,121
270 88,94 89,1 89 89,01 0,08
300 89,89 89,98 90 89,96 0,058
330 90 90,05 90,04 90,03 0,026
350 90 90,05 90,05 90,03 0,028
370 90,05 90,06 91 90,37 0,54

61
Lampiran 14. Data AUC disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol
waktu (menit) disolusi 1 disolusi 2 disolusi 3
0-1 5,87 6,3 5,87
1-2 12,01 12,32 12,01
2-5 40,24 39,83 40,24
5-10 68,67 68,67 68,67
10-20 139,55 140,02 139,55
20-40 281,3 281,6 281,29
40-60 285,28 285,28 285,28
60-90 435,65 436,28 436,28
90-120 440,37 440,52 441,78
120-150 447,47 447,62 447,77
150-180 455,03 454,86 454,86
180-210 459,9 458,64 459,75
210-240 467,31 467,16 467
240-270 472,68 473,78 472,98
270-300 474,72 475,35 475,19
300-330 476,45 476,78 476,93
330-350 476,76 477,09 477,09
350-370 476,93 477,09 477,24
total 5.916,2 5.919,2 5.919,8
rata-rata 5.918,4

62
Lampiran 15. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari suspensi parasetamol

A. Orde nol
100

80
% Kumulatif

60 y = 0,0391x + 77,827
R² = 0,9264
40

20

0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Waktu (menit)

B. Orde satu
2

1,6
Log % kumulatif

1,2
y = 0,0002x + 1,8914
0,8 R² = 0,9133

0,4

0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Waktu (menit)

C. Higuchi
100

80
% Kumulatif

60
y = 0,8623x + 74,442
40 R² = 0,9834

20

0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Akar waktu

63
Lampiran 16. Data percobaan disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang
dalam medium lambung buatan pH 1,2
Disolusi I

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,023 10,871 271,75 244.575 0 261.000 65,25
2 1,171 12,426 310,5 279.450 271,75 279.740 69,9
5 1,279 13,560 339 305.100 600,5 305.700,5 76,4
10 1,307 13,854 346,25 311.625 649,5 312.274,5 78,1
20 1,323 14,022 350,5 315.450 685,25 316.135,25 79
40 1,347 14,274 356,75 321.075 696,75 321.771,75 80,4
60 1,357 14,379 359,5 323.550 715 324.265 81
90 1,374 14,558 362,5 326.250 717,75 326.967,75 81,74
120 1,383 14,652 366,25 329.625 722 330.347 82,6
150 1,420 15,041 376 338.400 728,75 339.128,75 84,8
180 1,444 15,293 382,5 344.250 742,25 344.992,25 86,25
210 1,473 15,598 390 351.000 758,5 351.758,5 88
240 1,483 15,703 392,5 353.250 772,5 354.022,5 88,5
270 1,497 15,850 396,25 356.625 782,5 357.407,5 89,3
300 1,497 15,850 396,25 356.625 788,75 357.413,75 89,4
330 1,497 15,850 396,25 356.625 792,5 357.417,5 89,4
350 1,501 15,892 397,25 357.525 792,5 358.317,5 89,8
370 1,502 15,902 397,5 357.750 793,5 358.543,5 90

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

64
Lampiran 16. (lanjutan)

Disolusi II

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,025 10,892 272,5 245.250 0 245.250 61,3
2 1,165 12.363 309 278.100 272,5 278.372,5 69,6
5 1,262 13,381 334,5 301.050 581,5 301.631,5 75,4
10 1,271 13,476 337 303.300 643,5 303.943,5 76
20 1,305 13,833 345,75 311.175 671,5 311.846,5 78
40 1,326 14,054 351,25 316.125 682,75 316.807,75 79,2
60 1,350 14,306 357,5 321.750 707,75 322.457,75 80,6
90 1,367 14,484 362 325.800 714 326.514 81,63
120 1,371 14,527 363,175 326.857,5 719,5 327.577 81,9
150 1,414 14,978 374,5 337.050 725,175 337.775,175 84,4
180 1,426 15,073 377,5 339.750 737,675 340.487,675 85,12
210 1,435 15,199 380 342.000 752 342.752 85,7
240 1,475 15,619 390,5 351.450 757,5 352.207,5 88
270 1,488 15,756 393,9 354.510 770,5 355.280,5 88,82
300 1,488 15,756 393,9 354.510 784,4 355.294,4 88,83
330 1,489 15,766 394,16 354.744 787,8 355.531,8 88,88
350 1,490 15,776 394,172 354.755,2 788,06 355.543,3 89
370 1,491 15,787 394,685 355.216,5 788,332 356.004,8 90

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

65
Lampiran 16. (lanjutan)

Disolusi III

min abs kons kons kons dlm faktor obat yang %


dlm FP 900 ml pe(+)an terlarut kumu-
latif
1 1,017 10,808 270,2 243.180 0 243.180 60,8
2 1,152 12,226 305,65 275.085 270,2 275.355 68,84
5 1,253 13,287 332,175 298.957,5 575,85 399.533,35 74,9
10 1,273 13,497 337,425 303,682,5 637,825 304.320,325 76
20 1,312 13,907 347,675 312,907,5 669,6 313.577 78,4
40 1,328 14,075 351,875 316.687,5 685 317.372,6 79,34
60 1,354 14,348 358,7 322.830 709 323.539 81
90 1,387 14,694 367,35 330.615 715,825 331.330,825 82,83
120 1,413 14,968 374,2 336.780 726,05 337.506,05 84,4
150 1,416 15,000 375 337.500 741,55 338.241,55 84,6
180 1,437 15,220 380,5 342.450 749,2 343.199,2 85,8
210 1,478 15,650 391,25 352.125 755,5 352.880,5 88,2
240 1,493 15,808 395,2 355.680 771,75 356.451,75 89
270 1,495 15,829 395,725 356.152,5 786,45 356.938,95 89,23
300 1,498 15,860 396,5 356.850 790,925 357.640,925 89,4
330 1,498 15,860 396,5 356.850 792,225 357.642,225 89,4
350 1,500 15,882 397,05 357.345 793 358.138 89,8
370 1,503 15,913 397,825 358.042,5 793,55 358.836,05 90,05

Keterangan :
min = menit
Volume medium untuk mencukupkan sampel 25
FP = = = 25
Volume cuplikan sampel (ml) 1

66
Lampiran 17. Data % kumulatif disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang

waktu disolusi I disolusi II disolusi III rata-rata % standar


(menit) kumulatif deviasi
1 65,25 61,3 60,8 62,45 2,44
2 69,9 69,6 68,84 69,45 0,55
5 76,4 75,4 74,9 75,57 0,76
10 78,1 76 76 76,7 1,2
20 79 78 78,4 78,47 0,5
40 80,4 79,2 79,34 79,65 0,65
60 81 80,6 81 80,87 0,23
90 81,74 81,63 82,83 82,07 0,66
120 82,6 81,9 84,4 82,97 1,3
150 84,8 84,4 84,6 84,6 0,2
180 86,25 85,12 85,8 85,72 0,57
210 88 85,7 88,2 87,3 1,4
240 88,5 88 89 88,5 0,5
270 89,3 88,82 89,23 89,12 0,26
300 89,4 88,83 89,4 89,21 0,33
330 89,4 88,88 89,4 89,23 0,3
350 89,8 89 89,8 89,5 0,52
370 90 90 90,05 90,02 0,6

67
Lampiran 18. Data AUC disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang

waktu (menit) disolusi 1 disolusi 2 disolusi 3


0-1 5,915 5,926 5,884
1-2 11,65 11,63 11,52
2-5 38,97 38,6 38,27
5-10 68,53 67,14 66,96
10-20 139,38 136,55 137,02
20-40 282,96 278,87 279,82
40-60 286,53 283,6 284,23
60-90 434,05 431,85 435,63
90-120 438,15 435,17 444,93
120-150 445,39 442,58 449,52
150-180 455,01 450,77 453,3
180-210 463,36 454,08 463,05
210-240 469,5 462,27 471,87
240-270 473,29 470,62 474,55
270-300 475,5 472,68 475,34
300-330 475,5 472,83 475,8
330-350 476,13 473,13 476,13
350-370 476,9 473,45 476,93
total 5.916,72 5.861,75 5.920,75
rata-rata 5.899,74

68
Lampiran 19. Grafik kinetika disolusi parasetamol dari suspensi merk dagang

A. Orde nol

100
80
%Kumulatif

60 y = 0,0422x + 76,635
40 R² = 0,8448

20
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Waktu (menit)

B. Orde satu

2
Log % kumulatif

1,6

1,2
y = 0,0002x + 1,8843
0,8 R² = 0,8177

0,4

0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Waktu (menit)

C. Higuchi

100
80
% Kumulatif

60 y = 0,9535x + 72,718
40 R² = 0,9434

20
0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Akar waktu

69
Lampiran 20. Uji Normalitas dan Uji Kruskal-Wallis AUC sediaan nanosuspensi
dan suspensi parasetamol

Hipotesis uji Normalitas

H0: Data berdistribusi normal

H1: Data tidak berdistribusi normal

Pengambilan Keputusan:

Jika sig. (p) > 0,05 maka H0 diterima

Jika sig. (p) < 0,05 maka H1 diterima

Kesimpulan : Karena sig. < 0,05, H0 ditolak dan H1 dterima. Data tidak

berdistribusi normal.

Hipotesis uji Kruskal-Wallis:

H0: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsentrasi parasetamol yang terlarut

dalam medium lambung buatan pH 1,2 antara formula nanosuspensi dengan etanol

dan nanosuspensi dengan propilen glikol serta suspensi parasetamol dan suspensi

merk dagang.

H1: Terdapat perbedaan yang signifikan konsentrasi parasetamol yang terlarut

dalam medium lambung buatan pH 1,2 antara formula nanosuspensi dengan etanol

dan nanosuspensi dengan propilen glikol serta suspensi parasetamol dan suspensi

merk dagang.

70
Lampiran 20. (lanjutan)

Kesimpulan: Karena Sig. < 0,05; H0 ditolak dan H1 diterima, yakni terdapat

perbedaan yang signifikan konsentrasi parasetamol yang terlarut dalam medium

lambung buatan pH 1,2 antara formula nanosuspensi dengan etanol dan

nanosuspensi dengan propilen glikol serta suspensi parasetamol dan suspensi merk

dagang.

71
Lampiran 21. Data ukuran partikel nanosuspensi dengan etanol

a. Pengukuran minggu 0

72
Lampiran 21. (lanjutan)
b. Pengukuran minggu ke-2

73
Lampiran 21. (lanjutan)

c. Pengukuran minggu ke-4

74
Lampiran 22. Data ukuran partikel nanosuspensi dengan propilen glikol

a. Pengukuran minggu 0

75
Lampiran 22. (lanjutan)

b. Pengukuran minggu ke-2

76
Lampiran 22. (lanjutan)
c. Pengukuran minggu ke-4

77
Lampiran 23. Data ukuran partikel suspensi parasetamol

78
Lampiran 24. Data ukuran partikel suspensi merk dagang

79
Lampiran 25. Gambar Alat

1. Alat-alat pembuatan sediaan nanosuspensi

a. Magnetic stirrer

b. Magnetic bar

2. Alat uji ukuran partikel atau Particle Size Analyzer (PSA)

80
3. Alat-alat untuk uji disolusi

a. Alat disolusi

b. Alat pengukur konsentrasi parasetamol yang terlarut secara in vitro

(Spektrofotometer UV-Visibel)

81
4. Alat-alat untuk evaluasi

a. pH meter

b. Piknometer

c. Viskometer Brookfield DV-E

82
Lampiran 26. Gambar Sediaan

1. Sediaan nanosuspensi dengan etanol

F1

2. Sediaan nanosuspensi dengan propilen glikol

F2

3. Sediaan suspensi

83
4. Sediaan suspensi merk dagang

84
Lampiran 27. Sertifikat Analisis Parasetamol Baku

85

Anda mungkin juga menyukai