Ciputra. Siapa yang tidak mengenalnya? Mungkin malah aneh bila ada orang Indonesia
yang tidak mengenal nama ini. Ia adalah seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang
properti. Kepiawaiannya di bidang ini membuatnya dijuluki dengan beberapa sebutan: Sang
Begawan Properti, Kaisar Properti, Sang Maestro Properti, dan Bapak Real Estate. Ciputra juga
terkenal sebagai sosok entrepreneur yang handal. Kiprahnya sebagai entrepreneur lebih dari
empat dasawarsa telah menghasilkan karya-karya fenomenal yang menyebabkan dirinya dijuluki
sebagai inovator dan pionir di bisnis yang digelutinya.
Pria dengan nama asli Tjie Tjin Hoan ini, punya ambisi yang sangat kuat untuk
menorehkan prestasi. Majalah Forbes pernah mencatatkan namanya sebagai satu dari 10 tokoh
bisnis yang berhasil di Indonesia. Lewat tangan dinginnya, lahirlah tiga grup bisnis besar di
bidang properti, yaitu Pembangunan Jaya, Metropolitan Development, dan Ciputra
Development. Di tiga grup bisnis inilah keringat, pemikiran, dan perjuangan Ciputra dicurahkan.
Disana pula prestasinya ditorehkan.
Lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, pada tanggal 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin
Hoan, Ciputra berangkat dari keluarga yang pas-pasan. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan
Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Orangtuanya adalah pedagang, memiliki rumah yang sekaligus
toko kelontong disebuah kota yang bernama Bumbulan, sekitar 150km dari Gorontalo, Sulawesi
Tengah.
Di usia antara 6-8 tahun, Ciputra kecil sempat diasuh oleh tante-tantenya. Disana ia
mendapat perlakuan yang kurang baik. Ciputra kecil sering disuruh mengerjakan pekerjaan yang
berat atau menjijikan, misalnya membersihkan tempat ludah. Ketika menikmati es gundul. Tante-
tantenyalah yang lebih dahulu mengecap rasa manisnya. Namun begitu, Ciputra malah
mengatakan bahwa ia mendapatkan pelajaran tersembunyi dari asuhan keras tante-tantenya.
Ketika usianya 12 tahun, Ciputra kecil harus mengalami cobaan yang
mahadahsyat, kehilangan ayah yang dicintainya sekaligus tulang punggung keluarga. Ayah
tercintanya ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang dengan tuduhan palsu, dianggap
menjadi mata-mata Belanda. Tidak lama kemudian, sang ayah wafat di dalam penjara, di
Manado. Lebih menyedihkan lagi, hingga sekarang Ciputra dan keluarga tidak tahu dimana
ayahnya tersebut dimakamkan.
Di usia yang masih belia, meski sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara, Ciputra terpaksa
harus ikut membantu sang Ibu mencari penghidupan. Caranya, ciputra membantu ibunya
berjualan kue, menyusuri jalanan untuk menawarkan dagangannya kepada orang yang dijumpai.
Waktu kecil Ciputra tergolong anak yang bandel.
Kenakalan Ciputra terlihat dari sifatnya yang seenaknya sendiri. Saat disuruh belajar
bahasa Belanda, Jepang atau Cina, dia malas. Dia hanya mau belajar bahasa Indonesia, bahasa
yang dianggapnya berguna bagi dirinya. Akibatnya, saat usia 12 tahun, Ciputra kecil masih
dikelas 2 SD karena berkali-kali tinggal kelas. Bayangan ketika ayahnya diseret tentara Jepang di
rumahnya sangat membekas dalam diri Ciputra kecil. Sejak itu, barulah Ciputra bangkit dan mau
belajar giat hingga selalu menjadi nomer 1 di sekolah.
Masa-masa menempuh pendidikan bukanlah sebuah masa yang penuh hura-hura dan
kesenangan bagi seorang Ciputra layaknya remaja masa kini. Ia harus hidup dengan penuh
keprihatinan dan keterbatasan.
Ciputra memiliki cita-cita menjadi arsitek. Cita-cita ini sudah ada dalam dirinya sejak ia
berusia 10 tahun, saat ia melihat ayahnya membangun rumah. Untuk mewujudkan cita-cita itu,
Ciputra kemudian memutuskan untuk merantau ke pulau Jawa guna memperoleh pendidikan
yang lebih tinggi. Bandung menjadi tujuan Ciputra merantau. Di kota ini,ia menjadi Mahasiswa
di Universitas terbaik yaitu di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ciputra berhasil masuk ke ITB dan memilih jurusan Arsitektur. Sebagai mahasiswa yang
tidak mampu secara ekonomi dan anak yatim dari pelosok pulau Sulawesi, bekal dari ibunya
untuk kuliah dan hidup sehari-hari tidaklah cukup. Bahkan memasuki tingkat dua di ITB, Ciputra
tidak lagi memperoleh dukungan uang dari ibunya. Menghadapi keadaan itu Ciputra tergerak
untuk lebih mandiri. Ia merasa harus memenuhi segala kebutuhannya dengan usaha sendiri.
Selama masa kuliah tersebut, Ciputra pernah berjualan Batik dan Furniture.
Setelah menjadi mahasiswa tingkat IV, Ciputra bersama dua orang temannya yang juga
mahasiswa ITB, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, mendirikan usaha konsultan arsitektur
bangunan sekitar tahun 1957. Usaha konsultan itu dirintis dengan hanya berkantor di sebuah
garasi, bernama CV Daja Tjipta, berdiri 3 tahun sebelum Ciputra menyelesaikan studinya di ITB.
Pada usia 23 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa ITB, Ciputra menikahi Dian
Sumender, gadis yang telah dikenalnya sejak masih sekolah SMA di Manado. Dari pernikahan
ini lahirlah empat orang anak yakni Rina Ciputra, Junita Ciputra, Candra Ciputra, dan Cakra
Ciputra. Inilah cikal bakal pendiri Grup Ciputra nantinya, sebuah grup bisnis yang memang
dilahirkan untuk menampung aspirasi bisnis keluarga besar Ciputra.
Di Daja Tjipta, Ciputra bekerja dengan penuh semangat. Rupanya, Daja Tjipta menjadi
semacam sarana bagi proses pembentukan diri Ciputra menjadi seorang pengusaha properti.
Untuk menjaga biduk perusahaan berjalan lancer sekaligus tugas perkuliahan terselesaikan
dengan baik, maka dibutuhkan kerja keras dan pengelolaan diri yang sangat ketat. Ternyata
kebiasaan ini menjadi bekal berharga bagi masa depan Ciputra.
Tahun 1960, Ciputra berhasil lulus dari ITB dan meraih gelar insinyur. Saat itulah lahir
sebuah keputusan dari Ciputra yang kelak disadarinya menjadi salah satu tonggak penting dalam
perjalanan kariernya, ia bertekad pergi ke Jakarta demi menggapai sesuatu yang lebih besar.
Ciputra lalu menyerahkan pengelolaan sehari-hari bisnis konsultan perencanaan, Daja Tjipta,
kepada kedua rekannya.
Setelah lulus dari ITB, Ciputra berniat untuk mengembangkan dirinya, dari hanya sebagai
konsultan dan arsitek, ia ingin mengubah haluan menjadi developer, yang mampu menciptakan
pekerjaan bukan mengharapkan pekerjaan dari orang. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia berhasil
mendapatkan proyek Pasar Senen pada tahun 1960 dari Gubernur DKI Jakarta, pak Soemarno.
Dalam proyek senen tersebut, Ciputra sebagai Direktur dari PT Pembangunan Jaya (PJ),
induk perusahaan dari Grup Jaya nantinya. Pendirinya terdiri dari 5 orang swasta dan 2 yayasan,
yaitu Yayasan Dana Pensiun BNI dan Yayasan AJB Bumiputra. Kelima orang swasta itu adalah
Hasjim Ning, Dasaat, J.D. Massie, RAB Massie, dan Ciputra.
Kepiawaiannya mengolah PJ banyak mencuri perhatian berbagai pihak. Bayangkan,
dimulai dengan modal Rp. 10 juta, sekarang aset bersih PJ sudah Rp. 5 triliun. Nama Ciputra
identik dengan Grup Jaya dan PT Pembangunan Jaya, karena ia telah duduk dalam jajaran
direksinya selama 35 tahun. Hingga ia mengundurkan diri pada tahun 1996 dan menjadi
komisaris aktif.
Setelah keberhasilannya memimpin Pembangunan Jaya menjadi perusahaan besar, karier
Ciputra melesat tidak terbendung. Ia seperti tidak pernah ingin berhenti bergerak dan terus saja
mengembangkan diri. Ciputra mengembangkan jaringan perusahaannya diluar Grup Jaya, yakni
Grup Metropolitan dengan PT Metropolitan Development sebagai induk perusahaannya, dan
Grup Ciputra dengan PT Ciputra Development sebagai induk perusahaannya.
Ketika berusia hamper 40 tahun (1971), Ciputra mengajak dua rekannya, yaitu Ismail
Sofyan dan Budi Brasali serta beberapa rekan lainnya untuk mendirikan PT Metropolitan
Development setelah sebelumnya ia mendapatkan izin dari komisaris PT Pembangunan Jaya. Di
grup bisnis yang baru ini, Ciputra menjadi Presiden Komisaris dan lebih banyak bertindak
sebagai inspirator, motivator, dan juga innovator. Ia tidak terlibat dalam manajemen.
Dalam mengembangkan Perusahaan ini, Ciputra berhasil menggaet beberapa pemodal
besar untuk berpatungan dengan PT Metropolitan Development, salah satu contohnya yaitu
proyek kawasan Pondok Indah. Untuk membuat proyek ini dibutuhkan dana yang cukup besar
didalamnya, akan tetapi dengan semangat dan ke kreatifan pak Ciputra, ia berhasil meyakinkan
para pemilik modal untuk membantu PT Metropolitan Development.
Setelah proyek Pondok Indah, maka kelompok usaha properti Metropolitan ini makin
berkibar namanya. Tidak hanya diperhitungkan oleh pebisnis besar seperti Salim Group, tetapi
juga oleh pengembang kuat oleh luar negeri.
Setelah puluhan tahun berkarya di perusahaan patungan, Grup Jaya dan Grup
Metropolitan, pada tahun 1981, di usianya yang ke 50, langkah Ciputra kembali terayun. Ia kini
mengusung namanya sendiri di dunia properti dengan mendirikan kelompok bisnis Grup Ciputra
dengan PT Ciputra Development sebagai induk perusahaan. Grup Ciputra dibentuk karena
Ciputra ingin mengembangkan proyek properti yang benar-benar hanya miliknya dan keluarga,
tanpa ada pengembang lain yang bergabung seperti sebelumnya di Grup Jaya dan Metropolitan.
Pertumbuhan Ciputra Development lebih menonjol ketimbang kelompok-kelompok
usaha Ciputra lainnya. Dengan usia paling muda, Ciputra Development justru yang pertama go
public di pasar modal pada maret 1994. Group Ciputra terbagi menjadi 3 kelompok besar, yang
masing-masing kelompok dipimpin oleh anak dan menantunya Pak Ciputra.
Tidak ada gading yang tidak retak, perjalanan usaha Ciputra tidak semuanya berjalan
dengan mulus. Bisnis usahanya pun sempat mengalami masa kritis yaitu pada tahun 1998 ketika
krisis ekonomi menerpa Negara ini. Akibat krisis ekonomi tersebut, Grup Ciputra sempat
limbung, keadaan bisnisnya tidak berpengharapan. Utang-utang perusahaan naik hingga 5-6 kali
lipat, karena sebagian pinjaman perusahaan dalam bentuk US$.
Grup Ciputra sempat masuk bangsal Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
akibat utangnya hamper Rp 2 triliun kepada bank, Pak Ci masuk 50 besar pengutang kakap di
negeri ini, tepatnya di peringkat 27.
Akan tetapi dengan sikap optimisnya dan akibat gemblengan di masa kecilnya, Pak
Ciputra dapat melewati masa krisis yang menerpa dirinya dan perusahaannya. Ia tidak menyerah
begitu saja, bahkan banyak pengusaha pada tahun itu yang pergi ke luar negri untuk menghindari
tagihan utang-utangnya, tetapi Pak Ci dengan kepala dinginnya dapat mengatasi masalah tersebut
dan dapat bangkit kembali dari keterpurukan.
Diusianya yang sudah cukup tua, ia masih menyebarkan virus entrepreneurship kepada
masyarakat Indonesia. Ia berpendapat bahwa Negara Indonesia masih kekurangan Entrepreneur,
suatu Negara akan menjadi makmur apabila mempunyai entrepreneur sedikitnya sebanyak dua
persen dari jumlah penduduk. Di Indonesia diperkirakan hanya 0,18% dari jumlah populasi. Oleh
karena itu untuk memajukan Indonesia, Ciputra menyebarkan virus entrepreneur dengan cara
mendirikan Universitas Ciputra di Surabaya dan memberikan seminar mengenai
Entrepreneurship.
Itulah perjalanan usaha Pak Ciputra. Rahasia keberhasilan Ciputra dalam berbisnis yaitu
tidak takut gagal, tidak takut jatuh. Bila gagal dan jatuh, maka hal yang penting dilakukan adalah
kembali bangkit.
II.
a. Gambaran Developmental Lines Pak Ciputra menurut teori Anna Freud
Developmental Lines adalah interaksi antara id dengan ego, dimulai dari dominasi id untuk
memperoleh kepuasan secara bertahap akan bergeser ke ego, untuk pada akhirnya ego dapat
menguasai realitas internal maupun eksternal. Suatu urutan tahap-tahap kematangan anak dari
ketergantungan menjadi mandiri, dari irasional menjadi rasional, dari hubungan yang pasif
dengan realita menjadi aktif.
Six Developmental Lines menurut Anna Freud :
Dari biografi pak Ciputra diatas, saya menganalisis bahwa gambaran Developmental
Lines beliau sangat menonjol pada tahap yang ke 1 dan 6. Di tahap 1, perjalanan beliau menjadi
orang yang percaya diri dibuktikan bahwa ia berani merantau ke Bandung dan Jakarta untuk
meraih kesuksesan walaupun dengan keterbatasan,ia mencoba mandiri tanpa berharap pemberian
dari ibu nya yang juga pas-pasan dari segi ekonomi.
Sedangkan pada tahap 6, Ciputra menjadi orang yang bertanggung jawab dari
sebelumnya tidak bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan waktu ia kecil ia sangat malas
dan nakal, ia pun sering tidak naik kelas karena sikapnya tetapi sikapnya pun berubah akibat
sang Ayah diculik oleh tentara Jepang. Hal itu yang membuat Ciputra kecil mengubah sikapnya
dan bertekad untuk menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab.
Prinsip epigenesis (epi berarti :bertumpu pada dan genesis berarti :kejadian atau
kemunculan) merupakan dasar teoritis bagi karya Erikson. Epigenensis secara umum yaitu segala
sesuatu yang tumbuh memiliki rancangan dasarnya sendiri, dari rancangan dasar ini muncul
bagian-bagian, yang masing-masing memiliki masa pertumbuhan atas dominasi yang khas
sampai akhirnya semua bagian muncul dan membentuk fungsi yang utuh. Secara biologis,
individu sudah memiliki beberapa unsur dasar ketika masih berada dalam kandungan, seiring
berjalannya waktu unsur-unsur ini bergabung membentuk struktur-struktur yang baru
Dari biografi Pak Ciputra, bisa dilihat bahwa apa yang Pak Ciputra dapatkan sekarang ini
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian sebelumnya. Kejadian-kejadian terdahulu lah yang
membentuk Pak Ciputra yang sekarang. Perjalanan hidupnya dari kecil hingga dewasa, ia lalui
dengan penuh perjuangan, dari kecil ia sudah dilatih untuk mandiri sehingga ketika umurnya
matang dan dewasa ia memiliki kepribadian yang mandiri dan tegar.
Jadi bila dikaitkan dengan teori epigenesist dari Erickson, Pak Ciputra bisa sukses
sekarang sampai saat ini karena dipengaruhi dan dibentuk oleh peristiwa-peristiwa terdahulu
sejak ia kecil hingga saat ini.
d. Human needs yang terdapat pada Ciputra menurut teori Erich Fromm
Human needs adalah kebutuhan ekstensial supaya manusia mampu kembali ke alam.
Human needs menurut Erich From dibagi menjadi 5 yaitu Relatedness, Transcendence,
Rootedness, A Sense of Identity, A Frame of Orientation. Pada diri Ciputra human needs yang
terlihat yaitu;
Human needs Transcedence
Yaitu manusia ada kebutuhan untuk berkembang. Ciputra memiliki kebutuhan itu, dilihat
dari bagaiman Ciputra tak pernah berhenti dalam berkembang dalam mengembangkan
usahanya dan cita-citanya walaupun di usia yang sudah cukup matang.
Daftar Pustaka
Anhari, Maskur. 2015. Ciputra From Zero to Hero. Yogyakarta: KOBIS.
http://www.academia.edu/15509879/teori_perkembangan_erikson_-_piaget