I. PENDAHULUAN
Human Immunodeficiency Virus (HIV) pertama kali dilaporkan di Amerika
pada tahun 1985.1,2 Infeksi HIV diderita berbagai kalangan dan usia, termasuk
anak. Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa
sekitar 3 persen dari penderita HIV-AIDS di Indonesia adalah anak-anak berusia
di bawah 14 tahun. Human immunodeficiency virus adalah virus yang menyerang
sel yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia sehingga
mengakibatkan kekebalan tubuh menurun. Sementara itu, istilah acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah stadium lanjut dari infeksi HIV yang
ditandai oleh kumpulan gejala klinis berat berupa berbagai infeksi oportunistis.
Anak yang terinfeksi HIV belum tentu menderita AIDS. Anak terinfeksi HIV yang
mendapatkan pengobatan teratur sejak dini dapat bertumbuh dan berkembang
dengan baik.
Sebagian besar anak terinfeksi HIV melalui infeksi vertikal yaitu melalui
ibu pada saat kehamilan (5-10%). Proses kelahiran (10-20%), dan melalui air susu
ibu/ASI (5-20%). Sementara itu, sebagian kecil anak, kurang dari 10%, dapat
tertular melalui jarum yang terkontaminasi, transfusi darah, atau kekerasan
seksual dari dewasa yang terinfeksi HIV.
Infeksi HIV pada anak berkembang lebih pesat dibandingkan pada dewasa
dan sebagian anak yang tidak mendapat terapi mengalami kematian pada dua
tahun pertama kehidupan. Selain itu, karena sebagian besar ibu yang terinfeksi
HIV meninggal karena AIDS, 13 juta anak menjadi yatim piatu dan sekitar 19 juta
akan mengalaminya pada tahun 2010.
2
Pada saat kelahiran, anak bisa terlihat seperti anak normal lainnya. Namun,
apabila infeksi HIV tidak dapat terdeteksi sejak dini, sistem kekebalan tubuh anak
mulai terganggu dan timbul gejala-gejala dari infeksi oportunistis. Beberapa
infeksi oportunistis yang sering diderita anak terinfeksi HIV adalah tuberkulosis,
infeksi jamur terutama di saluran cerna, diare persisten yang dapat disebabkan
berbagai infeksi bakteri, pneumonia (radang paru ) berat, infeksi telinga kronik,
ataupun sepsis (infeksi berat). Akibat dari infeksi yang berulang, timbullah
masalah nutrisi, anak dapat menderita gizi kurang atau gizi buruk. Bahkan,
perkembangan anak dapat terganggu. Tidak jarang anak terinfeksi HIV dideteksi
pertama kali dalam keadaan gizi buruk, diare persisten, tuberculosis, dengan
jamur di daerah mulut dan saluran cerna.
Diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan secara pasti melalui pemeriksaan
laboratorium yaitu pemeriksaan antibodi anti-HIV pada anak-anak yang berusia
18 bulan ke atas atau pemeriksaan jumlah virus HIV dalam darah pada anak anak
yang berusia di bawah 18 bulan. Setelah diagnosis HIV ditegakkan, tatalaksana
awal adalah melakukan penanganan masalah nutrisi dan infeksi oportunistis yang
dialami anak serta melakukan persiapan untuk pemberian obat antiretroviral.
Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus ini
pada orang dewasa secara cepat diseluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak
mendapat perhatian dan penanganan yang memadai dalam waktu dekat
diperkirakan jumlah kasus defisiensi pada anak juga akan meningkat dengan
pesat.1
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah wawasan
tentang AIDS pada anak, serta sebagai prasyarat untuk mengikuti ujian di
SMF/Bagian Kesehatan Anak.
3
Riwayat kehamilan : Pasien adalah anak tunggal. Selama sakit ibu rutin periksa
kehamilan di puskesmas setiap bulan. Penyakit berat selama kehamilan tidak ada.
Riwayat persalinan : Ibu melahirkan secara normal di rumah sakit, cukup bulan,
bayi segera menangis, BBL 3500gram.
PEMERIKSAAN FISIK (8 Februari 2017)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (23 Januari 2017)
Hasil Satuan Nilai rujukan Ket
Hemoglobin 10.2 g/dL 10.7-14.7 L
Eritrosit 4.1 10^6/uL 3.7-5.7 N
Hematrokrit 32.2 % 31-43 L
MCV 66.3 fL 72-88 L
MCH 20.0 Pg 23-31 L
MCHC 30.1 g/L 32-36 L
Leukosit 7.26 10^3/uL 5-14.50 N
Eosinofil 3.2 % 1-5 L
Basofil 0.3 % 0-1 N
Neutrofil 59.6 % 25-60 H
Limfosit 21.5 % 25-50 L
Monosit 15.4 % 1-6 H
Trombosit 353 10^3/ul 217-497 N
LED 120 mm/jam 0-10 H
CD 4 14 sel/uL 410-1590 L
Albumin 3.1 mg/L 3.5-5.2 L
VCT reaktif non reaktif
RESUME :
Pasien anak laki-laki usia 5 tahun 1 bulan keluhan batuk berdahak sejak 3
bulan terakhir. Batuk terjadi tiba-tiba dan terus-menerus. Dahak susah keluar,
warna putih. Pilek (+), batuk darah (-), sesak napas (-). Demam hilang timbul
sejak 3 bulan terakhir. Demam berkurang setelah diberi obat parasetamol yang
didapat dari puskesmas. BB menurun (-), keringat malam (-). Makan & minum
baik, BAK BAB baik.
6
VCT reaktif
CD 4 14 sel/uL
DIAGNOSIS KERJA
1. AIDS
2. Pneumonia
3. Limfadenopathy sub mandibula
RENCANA DIAGNOSIS
1. Periksa Darah lengkap
2. X-ray toraks posisi PA
RENCANA TERAPI
1. Duviral 2x120mg
2. Neviral 2x100mg
3. Ambroxol sirup 3x1cth
III. DISKUSI
Penularan HIV/AIDS dapat berupa penularan vertikal, antara lain lewat
kehamilan (5-10%), persalinan (10-20%), laktasi (5-20%), dan penularan
horisontal yaitu sama seperti penularan pada orang dewasa (10%), antara lain
7
jarum yang terkontaminasi, transfusi darah, atau kekerasan seksual dari dewasa
yang terinfeksi HIV.
Pada kasus ditemukan pasien anak laki-laki usia 5 tahun 1 bulan keluhan
batuk berdahak sejak 3 bulan terakhir. Dahak susah keluar, warna putih. Pilek (+),
demam hilang timbul sejak 3 bulan terakhir. Pasien post terapi TB 6 bulan (selesai
pengobatan). Dalam terapi ART 1 tahun. Ibu TB paru (status pengobatan tidak
jelas) dan HIV/AIDS (+) terapi 3 tahun. Sudah meninggal. Ayah HIV/AIDS dalam
terapi ART 3 tahun.
Pada teori temukan anak dengan HIV/AIDS akan memiliki gejala sesuai
infeksi oportunistiknya. Infeksi oportunistis anak HIV dapat berupa tuberkulosis,
infeksi jamur terutama di saluran cerna, diare persisten yang dapat disebabkan
berbagai infeksi bakteri, pneumonia (radang paru ) berat, infeksi telinga kronik,
ataupun sepsis (infeksi berat). Jika infeksi oportunistiknya berupa TB maka gejala
berupa batuk, pilek, sesak napas, demam, berat badan berkurang, nafsu makan
berkurang, tampak lesu, dan keringat malam.
Gejala non spesifik infeksi HIV, antara lain demam, gangguan
pertumbuhan, kehilangan berat badan (10% atau lebih), hepatomegali,
limfadenopati, splenomegali, parotitis, diare.
Gejala spesifik infeksi HIV berupa gangguan tumbuh kembang dan fungsi
intelek, gangguan pertumbuhan otak, defisit motoris yang progresif yang ditandai
oleh 2 atau lebih gejala berikut yakni paresis, tonus otot yang abnormal, refleks
patologis, ataksia atau gangguan melangkah, lymphoid interstitial pneumonitis.
Infeksi sekunder berupa: infeksi oportunistik seperti pneumonia, kandidiasis,
infeksi criptococcus, infeksi mikobakteria yang atipik. Infeksi sekunder oleh
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Neisseria meningitides,
Salmonella enteritidis yang menimbulkan sepsis, meningitis pneumonia dan abses
organ interna. Infeksi virus yang berat dan berulang, stomatitis herpes kronik dan
berulang, herpes zozter multidermatomal atau luas.
Pada kasus ini dapat terjadi infeksi oportunistik berupa pneumonia.
Menurut teori pneumonia ditandai dengan demam, batuk berdahak, dan sesak
napas. Selain itu terdapat kesulitan makan minum dan tampak lemah.
8
Terapi Suportif
Anak dengan infeksi HIV kerapkali ditemukan masalah nutrisi sehingga
perlu mendapat perhatian terutama bila terdapat diare berulang atau menetap
hingga diperlukan pemberian alimentasi intravena yang lama. Selain itu anak yang
didiagnosis HIV/AIDS selain mendapatkan perawatan berupa terapi antiretroviral
15
Panduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV adalah 2HRZE dan 4HR.
Anak dengan koinfeksi TB-HIV selain diberi OAT dan ART, perlu diberikan
pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK), piridoksin dengan dosis 10mg/hari,
serta terapi nutrisi. Pemberian ART dapat segera dimulai dalam kurun waktu 2-8
minggu sejak pengobatan TB dimulai. Terapi TB lebih dahulu dimaksudkan untuk
menurunkan risiko sindrom pulih imun (immune reconstitution inflammatory
syndrome/ IRIS). IRIS adalah kumpulan tanda dan gejala akibat kemampuan
meningginya respon imun terhadap antigen atau organism yang dikaitkan dengan
pemulihan imun dengan pemberian ART. Tanda dan gejala berupa status klinis
deteriorasi segera setelah memulai ART, infeksi subklinis yang tidak tampak
seperti TB, yang muncul sebagai penyakit aktif baru, munculnya abses pada
tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG, serta memburuknya infeksi yang
sudah ada, seperti hepatitis B atau C.
Ketersediaan ARV secara bermakna telah memperbaiki prognosis HIV dan
AIDS. Anak dengan infeksi oportunistik terutama pneumonia jirovecii,
ensefalopati, atau wasting syndrome memiliki prognosis yang paling buruk,
16
dengan 75% kasus meninggal sebelum usia 3 tahun. Prognosis AIDS, baik ad
vitam, ad fungtionam, maupun ad sanamtionam yaitu dubia ad malam.
IV. KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu laporan kasus anak laki-laki berusia 5 tahun 1 bulan
dengan diagnosis AIDS + pneumonia + limfadenopathy sub mandibula.
Tatalaksana yang diberikan adalah ART dan terapi simtomatik. Prognosis AIDS
yaitu dubia ad malam.
17
DAFTAR PUSTAKA