Anda di halaman 1dari 41

Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul.

Menurut istilah
nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan
untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai
makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya
pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi
dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :




( )

Artinya :Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka
nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin)
dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat
melemahkan syahwat. (HR. Bukhori Muslim)

A. HUKUM NIKAH
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat,
makruh dan haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut :
1. Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah
khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan
dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan
atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-
nya.
5. Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang
buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

B. TUJUAN NIKAH
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat
manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah
tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan
kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya
hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah SWT berfirmanYang Artinya : Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. .(Ar-Rum : 21)

2. Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk
membina kasih sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21 yang
Artinya :Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. )

3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT
4. Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka
menikah akan dicatat sebagai ibadah. Allah swt., berfirman yang Artinya :" Maka
nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai". (An-Nisa' : 3)

5. Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup
membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda
beliau dalam haditsnya:

( ) ) ) )
Artinya :"Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku,
maka bukan golonganku". (HR. Bukhori dan Muslim)

6. Untuk memperoleh keturunan yang syah. Allah swt., berfirman yang Artinya : Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia . (Al-Kahfi : 46)

Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah


pacaran akan tetapi dikenal dengan nama khitbah. Khitbah atau peminangan adalah
penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita
untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain
yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria hanya boleh
melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu
dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang
dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan.
Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut
dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau
calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai
tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa
pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka
belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang
berlaku dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka
yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
- Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang
termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami,wanita yang berada dalam masa iddah
talak roji dan wanita yang sudah bertunangan.
- Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah
wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak
tiga).

C. RUKUN NIKAH DAN SYARATNYA.


Syah atau tidaknya suatu pernikahan bergantung kepada terpenuhi atau tidaknya
rukun serta syarat nikah. ( lihat tabel )

TABEL : 1

RUKUN SYARATNYA
1. Calon Suami B beragama Islam
A atas kehendak sendiri
Bukan muhrim
Tidak sedang ihrom haji
2. Calon Istri Beragama Islam
Tidak terpaksa
B b ukan Muhrim
Tidak bersuami
Tidak sedang dalam masa idah
Tidak sedang ihrom haji atau umroh
3. Adanya Wali a. Mukallaf (Islam, dewasa, sehat
akal)
(Ali Imron : 28)
b. Laki-laki merdeka
c. Adil
d. Tidak sedang ihrom haji atau
umroh
4. Adanya 2 Orang - Syaratnya sama dengan no : 3
Saksi
5. Adanya Ijab dan Dengan kata-kata " nikah " atau
Qobul yang semakna dengan itu.
Berurutan antara Ijab dan Qobul

Keterangan :
- Contoh Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : "Aku nikahkan anak
perempuan saya bernama si Fulan binti dengan ....... dengan mas kawin
seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Quran".




...
- Contoh Qobul : Calon suami menjawab: "Saya terima nikah dan perjodohannya dengan
diri saya dengan mas kawin tersebut di depan". Bila dilafalkan dengan bahasa arab
sebagai berikut :
)
- Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah
saw, bersabda : Artinya :"Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya
maka pernikahan itu batal (tidak syah)". (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).

Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw., bersabda :



( )

Artinya:"Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi
yang adil". (HR. Ahmad)

Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan.
Hukum mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW
bersabda :Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada
Allah dan RasulNya. (HR. Bukhori)

MUHRIM
Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam
ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita yang haram
dinikahi ada 4 macam :
1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan
a. Ibu yang menyusui.
b. Saudara perempuan sesusuan
3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawainan
a. Ibu dari istri (mertua)
b. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan
ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman yang
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (An-Nisa: 22)

d. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
Misalnya haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang
bersaudara, terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan
dengan kemenakannya. (lihat An-Nisa : 23)

Wali nikah di bagi menjadi 2 macam yaitu wali nasab dan wali hakim :
1. Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang
akan dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a. Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali
b. Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g. saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
h. Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
2. Wali hakim, yaitu seorang kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia,
wewenang presiden sebagai wali hakim di limpahkan kepada pembantunya yaitu
Menteri Agama. Kemudian menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak
sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap
kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai
berikut :
a. Wali nasab benar-benar tidak ada
b. Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (abad)
tidak ada.
c. Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan
berikutnya untuk berindak sebagai wali nikah.
d. Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh
e. Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah
f. Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat bertindak sebagai wali nikah
g. Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW yang artinnya :Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah
nikah seseorang kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu
menolak jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagi wali bagi orang
yang tidak mempunyai wali.(HR. Darulquthni)

D. KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban
hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena
Allah SWT semata. Allah SWT berfirman yang Artinya: Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. (An-Nisa : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: Istri adalah penaggung jawab rumah
tangga suami istri yang bersangkutan. (HR. Bukhori Muslim).

Secara umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :


Kewajiban Suami
Kewajiban suami yang terpenting adalah :
a. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai
dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b. Bergaul dengan istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut
misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
c. Memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota keluarga
dengan penuh tanggung jawab. (Lihat An-Nisa : 34)
d. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-
anaknya agar menjadi anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)
Kewajiban Istri
a. Patuh dan taat pada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam.
Perintah suami yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.
b. memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.
c. Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsi ibu sebagai kepala rumah
tangga.
d. Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman yang
Artinya :"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka". (At-Tahrim : 6)

e. Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.

E. TALAK
1. Pengertian dan Hukum Talak. Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut
istilah talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak
adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt.
Nabi Muhammad saw, bersabda :


( )

Artinya :"Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak". (HR. Abu
Daud).

Hal-hal yang harus dipenuhi dalam talak ( rukun talak) ada 3 macam :
a. Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b. Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c. Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan cara kinayah (sindiran).
Cara sharih: misalnya saya talak engkau! atau saya cerai engkau!. Ucapan talak dengan cara
sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih,
maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
Cara kinayah: misalnya Pulanglah engkau pada orang tuamu!, atau Kawinlah engkau dengan orang
lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!, Ucapan talak cara kinayah memerlukan
niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak
berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
2. Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas atau dengan
kata-kata sindiran. Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua
masih boleh rujuk (kembali) sebelum habis masa idahnya dan apabila masa idahnya
telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat Al-Baqoroh : 229). Pada talak 3
suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum istrinya itu nikah dengan
laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu".
3. Macam-Macam Talak. Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Talak Raj'i yaitu talak dimana suami boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi.
Talak rajI ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya
dan suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa
iddah.
b. Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain
kubra.
Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan
talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad nikah
lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.
Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam
waktu yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk atau menikah dengan
bekas istri kecuali dengan syarat :
Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
Telah dicampuri dengan suami yang baru.
Telah dicerai dengan suami yang baru.
Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.
4. Macam-macam Sebab Talak. Talak bisa terjadi karena :
a. Ila' yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila'
merupakan adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan
sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih
hakim berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.
b. Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu
diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : "Laknat Allah swt atas
diriku jika tuduhanku itu dusta". Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan
yang kelima dengan kata-kata: "Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar".
c. Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan
ibunya seperti : "Engkau seperti punggung ibuku ". Dzihar merupakan adat jahiliyah
yang dilarang Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan istri.
d. Khulu' (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar
kepada suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain :
Istri sangat benci kepada suami.
Suami tidak dapat memberi nafkah.
Suami tidak dapat membahagiakan istri.
e. Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
o Karena rusaknya akad nikah seperti :
diketahui bahwa istri adalah mahrom suami.
Salah seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.
Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.
o Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.
Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah tangga.
Suami dinyatakan hilang.
Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.

5. Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri
bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya adalah :
a. Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
b. Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.

F. IDDAH
Secara bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu
bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki
lain. Masa iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya
apakah dia akan rujuk atau tidak.
1. Lamanya Masa Iddah.
a. Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-
Talak :4)
b. Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4
bulan 10 hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)
c. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3
kali quru' (tiga kali suci). (lihat QS. Al-Baqoroh : 228)
d. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat QS, At-
Talaq :4 )
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2. Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a. Perempuan yang taat dalam iddah raj'iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari suami
yang mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang wanita yang
durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b. Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat tinggal
saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c. Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya
berhak mendapat harta waris suaminya.

G. RUJUK.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan perkawinan
setelah terjadi talak raj'i dan masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah QS.
Al-Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: "Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki rujuk".
1. Hukum Rujuk.
Mubah, adalah asal hukum rujuk.
Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat.
Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu.
2. Rukun Rujuk.
1. Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj'i dan masih dalam masa iddah.
2. Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa.
3. Sighat (lafal rujuk).
4. Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.

H. PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun 1974.


1. Garis besar Isi UU No : 1 tahun 1974.
UU No : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2. Pencatatan Perkawinan
Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku". Ketentuan tentang pelaksanaan
pencatatan perkawinan ini tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai
9.
3. Syahnya Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa : "Perkawinan adalah syah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu".
4. Tujuan Pekawinan.
Dalam Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
5. Talak.
Dalam Bab VIII pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa : "Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
6. Batasan Dalam Berpoligami.
Dalam pasal 3 ayat 1 diljelaskan bahwa :"Pada dasarnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami".
Dalam pasal 4 dan 5 ditegaskan bahwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
Pengadilan hanya memberi ijin berpoligami apabila :
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pengajuan berpoligami harus dipenuhi syarat-syarat :
Adanya persetujuan dari istri.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
Adanya jaminan bahwa suami akan belaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
RANGKUMAN
1. Nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam.
2. hukum nikah dapat berubah menurut situasi dan kondisi, bisa menjadi wajib, sunat,
makruh dan bisa juga menjadi haram.
3. Agar tercapai kebahagiaan yang sebenarnya yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah
dan warahmah, seorang muslim dalam pernikahan harus memenuhi syarat dan rukun
nikah.
4. Talak adalah suatu perbuatan yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah SWT.
5. Iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya
sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.

KAMUS ISTILAH
a. Nikah = bertemu
b. Muhrim = orang yang haram dinikahi
c. Talak = melepaskan
d. sharih = tegas
e. kinayah = sindiran
f. Hadhonah = mengasuh anak

Home

Tentang Situs

Asbabun Nuzul

Ensiklopedia Muslim

o Ibadah

o Muamalah

o Larangan

Fatwa Ulama

Kisah

Video
Audio

Kontak Kami

Konsultasi

o Kirim Pertanyaan

o Konsultasi Keislaman

Galeri

Jadwal Kajian

Tafsir

Ulumul Quran

Artikel

Ustadz KH Athian Ali: Di Belakang Syiah adalah Yah...


Cari dan Enter

Khamis, 1 Rabi'ul Awal 1435 H

Beberapa Perempuan Yang Haram Dinikahi


Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan
dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengenai)
ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu
(mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi
(campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (An-Nisaa:22-24).
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikai.
Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim,
pengharaman ini terbagi dua:

Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya), yaitu seorang


perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap waktu.

Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah,
gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal.

Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab, kedua
haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan.

Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :

1. Ibu

2. Anak perempuan

3. Saudara perempuan

4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)

5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)

6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)

7. Anak perempuan saudara perempuan).


Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :

1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul bercampur
lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi
haram atau menantu tersebut.

2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad
nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka
anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada
firman Allah, Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian
campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya. (An-Nisaa:23).

3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar


dilangsungkannya akad nikah.

4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar
terjadinya akad nikah dengannya.

Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.

Allah SWT berfirman yang artinya, Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara
perempuan sepersusuan. (an-Nisaa:23).

Nabi saw. bersabda, Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena
kelahiran. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi
II:307 no:1157, Aunul Mabud VI:53 no:2041 dan Nasai VI:99).

Hal.570

Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang
haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak
sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)

2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)

3. Ibu Bapak susu (kakek)

4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)

5. Saudara perempuan bapak susu

6. cucu perempuan dari Ibu susu

7. Saudara perempuan sepersusuan

Persusuan Yang Menjadikan Haram

Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, Tidak bisa menjadikan haram, sekali
isapan dan dua kali isapan. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi
II: 308 no: 1160Aunul Mabud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassai VI:101).

Dari Aisyah r.anha berkata, Adalah termasuk ayat Quran yang diwahyukan. Sepuluh kali
penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima
kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Quran
itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Quran. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim
II:1075 no:1452, Aunul Mabud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625
no:1942 semana dan Nasai VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu berlangsung
selama dua tahun, berdasar firman Allah, Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. al-Baqarah :233)

Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, Tidak menjadi haram karena
penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu

1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara

Allah SWT berfirman, Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau. (An-Nisaa:23).

2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Tidak boleh dikumpulkan (dalam
pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.
(Muttafaqun alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan
lafadz yang semana dan Nasai VI:98).

3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki. (An-Nisaa :24).

Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang
lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang
menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain.
Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Said bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan
negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya.
Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai
tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk
mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik.
Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, Dan (diharamkan pula kamu
mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. Yaitu mereka
halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar
Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasai 54 VI:110 dan
Aunul Mabud VI:190 no:2141).

4. Wanita yang dijatuhi talak tiga


Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan
perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah :230).

5. Kawin dengan wanita pezina

Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi
seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari
keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan, Laki-laki yang
berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan
perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki
yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-
Nuur : 3).

Dari Amr bin Syuaib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi
pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang
pelacur yang bernama Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, Saya
datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya Ya Rasulullah bolehkah saya
menikah dengan Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, Dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Kemudian
Beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, Janganlah
engkau menikahinya. (Hasanul Isnad: Shahih Nasai no:3027, Aunul Mabud VI:48 no:
2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-
Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 567 575.

< Sebelumnya Berikutnya >


Ensiklopedia Muslim

Akidah

Ibadah

Muamalah

Larangan

Akhlak

Powered by Fani Media.


Pengertian, Hukum, Syarat, Rukun, Dan Wajib Haji

Pengertian Haji
Haji menurut bahasa adalah al-qashdu artinya menyengaja, sedangkan menurut istilah
syara ialah suatu amal ibadah yang dilakukan dengan sengaja mengunjungi baitullah di makkah
dengan maksud beribadah dengan ikhlas mengharap keridaan Allah dengan syarat dan rukun
tertentu. Menunaikan ibadah haji adalah melakukan rukun islam yang kelima, oleh sebab itu
hukumnya wajib bagi setiap orang islam sekali dalam seumur hidup bagi yang mampu
melaksanakannya.

Hukum Haji

Adapun dalilnya berdasakan firman Allah SWT :

()

Artinya :

Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah,
yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana (Q.S Ali Imran:97)

Dalam hadits Rasulullah SAW juga menjelaskan :

,
}

Islam didirikan atas lima sendi, yakni bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adala
Rasul Allah,melaksanakan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa pada bulan
ramadhan (HR Bukhari).
Rasulullah SAW. Bersabda :

: :
: :

Artinya : dari Abu Hurairah R.a : Rasulullah Saw telah berpidato kepada kami dan beliau
bersabda : wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan kepada kamu untuk
mengerjakan ibadah haji, maka hendaklah kamu kerjakan. Seorang sahabat bertanya : apakah
setiap tahun ya Rasulullah? Beliau diam tidak menjawab dan yang bertanya mengulanginya
sampai tiga kali. Rasulullah Saw. Kemudian bersabda. Kalau saya jawab ya sudah tentu menjadi
wajib (tiap-tiap tahun), dan kamu tidak akan mampu melaksanakannya, biarkan saja apa yang
saya tinggalkan (jangan menanyakan sesuatu yang tidak diebutkan). (HR. Ahmad, Muslim dan
An-Nasa i).

Ibadah haji wajib dikerjakan dengan segera bagi orang yang sudah memenuhi syaratnya. Jika
seseorang telah memenuhi syaratnya dan tidak segera menunaikan ibadah haji, maka ia berdosa
karena melalaikannya.

Syarat Melaksanakan Ibadah Haji


Sesorang dapat melaksanakan berhaji dengan syarat beragama Islam, baligh, berakal sehat, orang
merdeka, mampu secara fisik dan materil selama melaksanakan haji dan memiliki nafkah yang
tersedia untuk keluarga yang ditinggalkan selama berhaji.

Rukun Ibadah Haji


Hal-hal yang menjadi rukun (wajib dilakukan) dalam pelaksanaan ibadah adalah : ihram, wukuf
di Arafah, tawaf ifadah, sai antara safa dan marwah, tahallul, dan tertib. Bila salah satu diantara
rukun haji ini ditinggalkan, maka ibadah haji menjadi tidak sah.

Wajib Haji
Perbuatan yang wajib dilaksanakan pada saat ibadah haji :

1. Memulai ihram dari miqat yang telah ditentukan untuk melakukan ibadah haji
dan umrah.

2. Melempar jumrah

3. Mabit ( menginap ) di Muzdalifah ( Mekah )

4. Mabit ( menginap di Madinah

5. Tawaf Wada ( perpisahan )


6. 1. Haji Tamattu.'
7. Ialah seorang berihram untuk melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji, memasuki
Makkah lalu menyelesaikan umrahnya dengan melaksanakan thawaf umrah, sa'i umrah
kemudian bertahallul dari ihramnya dengan memotong pendek atau mencukur rambut
kepalanya, lalu dia tetap dalam kondisi halal (tidak ber-ihram) hingga datangnya hari
Tarwiyah, yaitu tanggal 8 Dzulhijjah. Apabila tanggal 8 Dzulhijjah telah tiba, dia
berihram lagi untuk melaksanakan haji dengan meng-ucapkan : lalu
menjalankan manasik hingga selesai.

Orang yang melaksanakan haji Tamattu' wajib menyembelih binatang "hadyu."


Adapun dalilnya adalah hadits 'Abdullah bin 'Umar Radhiallaahu anhu , beliau berkata:
8. ;
; ;


:
;



9. "Pada waktu haji wada' Rasulullah ; mengerjakan umrah sebelum haji, beliau membawa
binatang hadyu dan menggiring (binatang-binatang) itu bersamanya dari Dzul Hulaifah
(Bir Ali), beliau memulai ber-ihlal (berniat) ihram untuk umrah, kemudian beliau ber-
ihlal (berniat) untuk haji . Maka demikian pula manusia yang menyertai beliau, mereka
mengerjakan umrah sebelum haji. Di antara mereka ada yang membawa binatang hadyu.
Maka setibanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di Makkah beliau ber-kata kepada
manusia: 'Barangsiapa di antara kalian yang membawa binatang hadyu, maka tidak boleh
dia berlepas dari ihram-nya hingga selesai melaksanakan hajinya, dan barangsiapa di
antara kalian yang tidak membawa binatang hadyu, hendaklah ia melakukan thawaf di
Baitullah (thawaf umrah/qudum,-Pent) dan melakukan thawaf antara shafa dan marwah
(sa'i), lalu memendekkan (rambutnya) dan bertahallul. Kemudian (jika tiba hari haji,-
Pent) hendak-lah ia berniat ihram untuk ibadah haji, dan hendaklah dia menyembelih
binatang hadyu. Barangsiapa yang tidak (mampu) memperoleh binatang hadyu, maka dia
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila telah kembali kepada
keluarganya (ke negeri asalnya,-Pent)
10. 2. Haji Qiran.

Yaitu seorang berihram untuk melak-sanakan umrah dan haji secara bersamaan, atau dia
berihram untuk umrah, lalu ber-ihram untuk haji sebelum memulai thawaf-nya, kemudian
ia memasuki kota Makkah dan tetap pada ihramnya hingga selesai melaksanakan
manasik hajinya (sampai tanggal 10 Dzulhijjah), dan wajib baginya untuk menyembelih
"hadyu".
11.
3. Haji Ifrad.

Yaitu seorang yang berihram untuk melaksanakan ibadah haji saja, dia tidak bertahallul
dari ihramnya, kecuali setelah melempar jamroh 'aqabah (pada tanggal 10 Dzulhijjah),
dan tidak ada kewajiban menyembelih "hadyu" baginya.
Dalil haji Qiran dan haji Ifrad adalah hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha , beliau berkata:
12. ;


13. "Kami keluar bersama Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pada tahun ketika beliau
melaksanakan haji wada', di antara kami ada yang berihram untuk melaksanakan umrah,
ada pula yang berihram untuk umrah dan haji (secara bersamaan), dan adapula yang
berihram untuk melaksanakan haji saja, dan Rasulullah berihram untuk haji. Adapun
yang berihram untuk haji atau yang berihram dengan menggabungkan antara haji dan
umrah, maka mereka tidak bertahallul (berlepas dari ihram mereka,-Pent) hingga pada
hari Nahar (hari 'Idul Adh-ha, 10 Dzulhijjah,-Pent).
14. A. HUKUM WARIS
15. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Waris.
16. Mawaris atau faraid adalah aturan yang berkaitan dengan pembagian
harta pusaka. Pengetahuan tentang cara perhitungan pembagian harta pusaka
dan pengetahuan tentang bagian-bagian harta peninggalan yang wajib untuk
setiap pemilik hak pusaka. Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang
kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci
nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat
tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta
keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang
tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap
ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia
menerimanya secara 'ashabah.
17. Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di
dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan
pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi
pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui
bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha
Bijaksana itu.
18.
19. Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli
waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia
menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh
kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan
mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di
kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak
membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang
lemah.
20. Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut
merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat
Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga
kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut,
dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
21. "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah
faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang
bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah.
Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian
(hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang
dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
22. Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui
hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat
tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka
mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan
kebanyakan manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan
melecehkannya."
23. Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis
oleh para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang
terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat
yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang
Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
24. Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain
yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
25. Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah
hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak
waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya
adalah firman Allah berikut:
26. "... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal:
75)
27.
28.
29.
30. "... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di
dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
31. Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris,
selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan. Pada ayat
kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat
pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan
lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan
dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan
kaum Muhajirin.
32. Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa
itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah
dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti
kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam,
kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara
mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian
berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah
benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah
agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah
peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan)
hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum
pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
33. Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas
menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia
lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya
dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan
mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah
dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa
membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita.
Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit,
maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah
tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain
Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang
disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut
tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris
para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal
(global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan
terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
34. Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang
bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat
bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak
membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat
membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
35. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah
adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya
sebagai berikut:
36. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam
hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya,
anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
37. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia
ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi
nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan
atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
38. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum
wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan
memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
39. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya,
menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan
sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk
memberinya sandang, pangan, dan papan.
40. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan
lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki.
Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
41. Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam
perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan
kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali
saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika,
siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan
pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk
mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah
menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada
bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat
dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita
melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas
bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih
enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama
menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka
tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga.
Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak
memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
42. Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta
miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-
anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap
berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan.
Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan
kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
43. "... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
44. Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu
contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya
akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang
pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian
kaum wanita. Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu
laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta,
misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-
laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1
juta.
45.
46. Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka
ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta
pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan
pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia
terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia
mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
47. Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah
tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan
saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki
uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari
mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak
dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah
tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam
kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban
memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi,
harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan
anak laki-laki habis.
48. Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum
wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia
keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama,
sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak
kaum wanita.
49. Keberlakuan hukum waris dalam Islam adalah Al-Quran dan Sunnah
Rasul antara lain:

50.











51. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
) bahagian yang telah ditetapkan.( QS. An-Nisa, 4:7
52.

53.























54.
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- .55
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( QS.An-
Nisa, 4:11)
56.
57. Sabda Rasul:
58. Nabi Muhammad SAW bersabda:Berikanlah harta pusaka kepada
orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang
utama. (HR. Bukhari dan muslim)
59. Berdasarkan Al-Quran dan hadist di atas, melaksanakan hukum waris
menurut ajaran adalah wajib karena hukum pewarisan merupakan bagian
dari syariat yang diperintahkan oleh Allah.
60.
61.
62.
63.
64.
65. 2. Berlakunya Hukum Waris.
66. Jika seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta benda,
maka setelah jenazah dikuburkan, keluarganya wajib mengelola harta
peninggalannya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
67.
68. 1. Membiayai perawatan jenazah.
69. 2. Membayar zakatnya, jika si mayat belum mengeluarkan zakat sebelum
meninggal dunia.
70. 3. Membayar hutang-hutangnya apabila si mayat meninggalkan hutang.
71. 4. Membayarkan wasiatnya, jika si mayat mewasiatkan sebelum meninggal
dunia.
72. 5. Setelah dibayarkan semua, tentukan sisa harta peninggalan milik si mayat
sebagai harta pusaka yang dinamai tirkah atau mauruts. Harta tersebut
dibagikan kepada ahli waris si mayat berdasarkan ketentuan hukum waris
islam.
73. 3. Sebab Pewarisan.
74. Seseorang berhak pusaka mempusakakan disebabkan oleh hal-hal
berikut:
75. a) Perkawinan, adanya ikatan sah antara laki-laki dan perempuan sebagai
suami istri.
76. b) Kekerabatan, hubungan nasab antara orang yang mewariskan dan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran dan hubungan ini tidak akan
terputus.
77. c) Wala atau perwalian, kekerabatan yang timbul karena membebaskan
budak dan adanya perjanjian tolong menolong atau sumpah setia antara
seseorang dengan orang lain.
78.
79.
80. 4. Pembagian Harta Pusaka.
81. a. Pusaka yang disebabkan perkawinan.
82. 1. Pusaka Istri.
83. Istri menerima bagian dari harta peninggalannya suaminya ada dua
macam bagian yaitu:
84. a. Seperempat bagian, jika suami tidak memiliki farul warits, yaitu anak
yang berhak menerima waris secara bagian (fard) maupun yang berhak
secara ushubah.
85. b. Seperdelapan bagian, jika suami memiliki farul warits.
86. Firman Allah :
87.











88.
89. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.(QS.An-
Nisa,4:12)
90.
91. 2. Pusaka Suami.
92. Suami menerima bagian dari harta istrinya, dua macam bagian yaitu:
93. a. Separuh bagian, jika istrinya tidak mempunyai farul warits.
94. b. Seperempat bagian, jika istrinya meninggalkan farul warits baik dari
suami sekarang maupun suami terdahulu.
95. Firman Allah:

96.











97. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkan mereka.(QS.An-Nisa,4:12)

b. Pusaka yang disebabkan kekerabatan.


1) Anak.
(a) Anak perempuan Shulbiyah.
Anak perempuan shulbiyah adalah anak perempuan yang dilahirkan secara
langsung dari orang yang meninggal, baik yang meninggal itu ibunya atau ayahnya
dan bagiannya adalah:
1. Setengah, jika ia hanya seorang diri.

98.

99.




100. jika ia (anak perempuan ) hanya seorang diri, bagiannya
separoh(QS.An-Nisa,4:11)
101. 2. Duapertiga, jika anak perempuan tersebut terdiri dari dua orang
atau lebih dan tidak bersama-sama dengan anak laki-laki yang
menjadikannya ashabah bersama (ashabah bilghair).
102.





103. ..maka jika mereka itu perempuan-perempuan lebih dari dua orang,
bagi mereka dua pertiga dari harta peninggalannya (QS.An-Nisa,4:11)
104. 3. ushubah, yaitu sisa harta yang telah dibagikan kepada ahli waris.
105.
106.
107. (b) Anak laki-laki.
108. Anak laki-laki adalah ahli waris utam, sekalipun kedudukan
dalam warisan sebagai penerima sisa, tidak pernah dirugikan. Ia dapat
menghalangi ahli waris lain ( hijab hirman ) atau mengurangi penerimaan
ahli waris lain (hijab nuqshan ) dan ia juga tidak dapat dihijab oleh waris
manapun. Ia dapat menarik saudara perempuannya untuk untuk menerima
ushubah bersama dengan penerimaan yang berlipat dua dari saudara
perempuannya.
109. Adapun rincian pusaka bagi laki-laki:
110. 1. Si mati hanya meninggalkan seorang atau beberapa anak laki-laki,
maka anak laki-laki mewarisi seluruh harta.
111. 2. Si mati hanya meninggalkan seorang atau beberapa orang anak
laki-laki dan meninggalkan ahli waris ashabul furudh, anak laki-laki
mendapatkan sisa setelah diambil oleh ashabul furudhnya.
112. 3. Si mati meninggalkan anak laki-laki, anak perempuan, dan ashabul
furudh, maka seluruh harta atau sisa harta peninggalan setelah diambil oleh
ashabul furudh dibagi menjadi dua, dengan ketentuan anak laki-laki
mendapat dua kali lipat dari anak perempuan.
113. Kebanyakan ahli waris dapat dihijab oleh anak laki-laki, Kecuali:
114. 1. Ibu.
115. 2. Bapak.
116. 3. Suami.
117. 4. Istri.
118. 5. Anak Perempuan.
119. 6. Kakek.
120. 7. Nenek.
121. Ahli waris nomor satu sampai dengan empat tidak dapat dihijab
hirman, tetapi hanya dapat dihijab nuqsha.
122.
123.
124.
125.
126.
127. 2) Cucu.
128. (a) Cucu Perempuan Pancar Laki-laki.
129. Cucu perempuan pancar laki-laki adalah anak perempuan dari
anak laki-laki orang yang meninggal dunia dan anak perempuannya cucu
laki-laki pancar laki-laki sampai ke bawah.
130. Hak pusaka cucu perempuan pancar laki-laki ada 6 macam yaitu:
131. 1. Setengah apabila sendiri.
132. 2. Dua pertiga, apabila ia dua orang atau lebih.
133. 3. Ushubah, apabila ia mewarisi bersama-sama dengan orang laki-laki
yang sederajat yang menjadikannya ashabah bersama. Ada tiga kemingkiran,
yaitu:
134. a. Jika tidak ada ashabul furudh.
135. b. Jika ada ashabul furudh.
136. c. Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh.
137. Cucu perempuan pancar laki-laki dapat menghijab:
138. 1. Saudara ( si mati ) seibu.
139. 2. Saudara perempuan ( si mati ) seibu.
140. Demikian juga ia dapat dihijab oleh:
141. 1. Dua orang anak perempuan shulbiyah.
142. 2. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki yang lebih tinggi
derajatnya.
143.
144. 3. Farul waris laki-laki yang tinggi derajatnya.
145. (b) Cucu laki-laki pancar laki-laki (Abnaul abnai).
146. Cucu laki-laki pancar laki-laki termasuk farul waris, yaitu anak
turun si mati yang mempunyai hak mewarisi.
147. Hak pusaka cucu laki-laki pancar laki-laki adalah ushubah dengan
ketentuan sebagai berikut:
148. 1. Jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris lain.
149. 2. Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-saudarinya.
150. Ahli waris lain yang termasuk kepada farul waris adalah anak dalam
kandungan, anak zina, dan anak lian. Anak yang masih dalam kandungan
tergolong ahli waris yang berhak menerima warisan dengan syarat-syarat:
151. a. Sudah mempunyai wujud pada saat orang yang mewariskan mati.
152. b. Dilahirkan dalam keadaan hidup yang dapat dilihat secara indrawi
dengan tanda-tanda hidup, seperti menangis, bergerak dan lain-lain.
153. Oleh karena, anak dalam kandungan tergolong ahli waris dan
menerima pusaka apabila dilahirkan dalam keadaan hidup. Anak zina adalah
anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut syariat, anak
seperti ini tidak di nasabkan kepada bapaknya sebagai anak sah jika anak itu
dilahirkan kurang dari 6 bulan akad perkawinan. Anak lian adalah anak
yang dihukumi tidak bernasab dengan ayahnya setelah terjadi tuduh
menuduh zina. Kedua anak tersebut terputus hubungan nasabnya dengan
ayahnya, tetapi hubungan dengan nasab dengan ibunya masih utuh.
154.
155.
156. 3) Leluhur Mayit (ushulul Mayyit).
157. a. Pusaka Ibu.
158. Bagian ibu ada tiga macam:
159. 1. Seperenam dengan ketentuan bila ia mewarisi bersama-sama
dengan farul warist bagi si mati. Firman Allah :

160.



161. Dan untuk ibu bapak, masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak..(QS.An-
Nisa,4:11)
162. 2. Sepertiga, dengan ketentuan tidak bersama-sama dengan farul
warist bagi simati atau dua orang lebih saudari-saudari si mati.
163. Ahli waris tidakada yang dapat menghijab hirman terhadap ibu, tetapi
ada dua waris yang dapat menghijab nuqshan, yaitu:
164.
165. 1. Farul warist secara mutlak.
166. 2. Dua orang saudara secara mutlak.
167. Sedangkan ibu dapat menghijab ahli waris, yaitu:
168. 1. Ibunya ibu.
169. 2. Ayahnya ibu.
170. b. Pusaka Nenek Shahibah.
171. Nenek shahibah adalah leluhur perempuan (nenek) yang dipertalikan
kepada si mati tanpa memesukkan kakek ghairu shahih. Nenek ghairu shahih
adalah leluhur perempuan yang dipertalikan nasabnya kepada si mati dengan
memasukkan kakek ghairu shahih.
172. Nenek mendapatkan bagian seperenam dengan ketentuan bila ia tidak
bersama-sama ibu. Ahli waris yang menghijab ibu adalah:
173. 1. Ibu.
174. 2. Ayah.
175. 3. Kakek shahih.
176. 4. Nenek yang dekat.
177. c. Pusaka Ayah.
178. Seorang ayah mempusakai harta peninggalan anaknya dengan tiga
macam bagian:
179. 1. Seperenam, bila anak diwarisi mempunyai faru warist mudzakkar
yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki sampai ke bawah.
180. 2. Seperenam dan ushubah, bila anak yang diwarisi mempunyai
faru warist muannats yaitu anak perempuan dan cucu perempuan pancar
laki-laki sampai kebawah. Firman Allah:

181.





182. Dan untuk ibu bapak, masing-masing seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak. (QS.An-
Nisa,4:11)
183. 3. ushubah, jika anak-anak yang diwarisi harta peninggalannya tidak
mempunyai faru warist sama sekali, baik laki-laki maupun perempuan.

184.



185. (tetapi) jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka untuk ibunya sepertiga
peninggalan.(QS.An-Nisa,4:11)
186. d. Pusaka Kakek.
187. Dalam ilmu faraidl kakek memiliki dua arti, yaitu adalah kakek shahih
dan kakek ghair shahih. Kakek dapat menduduki status ayah bila tidak ada
ayah dan saudara-saudara sekandung atau seayah. Ia mendapat bagian
pusaka seperti ayah:
188. 1. Seperenam jika si mati mempunyai anak turun yang berhak waris
yang laki-laki.
189. 2. seperenam dan sisa dengan jalan ushubah bila si mati mempunyai
anak turun perempuan yang berhak waris.
190. 3. ushubah jika si anak tidak mempunyai farul waris secara mutlak,
baik laki-laki maupun perempuan.
191.
192. 4) Kerabat Menyamping.
193. a. Pusaka saudari kandung.
194. Pusaka saudari kandung di dalam pusaka memusakai ada lima
macam:
195. 1. Separuh, jika ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi bersama
dengan saudara kandung yang menjadikannya ashabah ( bilghair ).
196. 2. Dua pertiga, jika saudari tersebut dua orang atau lebih dan tidak
mewarisi bersama-sama dengan saudara kandung yang menjadikannya
ashabah ( bilghair ).
197. 3. Ushubah, jika ia baik tunggal maupun banyak mewarisi bersama-
sama dengan saudara kandung baik tunggal maupun banyak.
198. 4. ushubah ( maal ghair ), jika ia mewarisi bersama-sama:
199. a. Seorang atau beberapa orang anak perempuan.
200. b. Seorang atau beberapa orang cucu perempuan pancar laki-laki.
201. c. Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki dengan
ketentuan saudari kandung tersebut tidak bersama-sama dengan saudara
kandung yang menjadi maashibnya.
202. b) Pusaka Saudari Seayah.
203. Bagian saudari seayah adalah:
204. 1. Separuh jika ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi bersama-
sama dengan saudari kandung atau saudara seayah yang menjadikannya
ashbah ( bilghair).
205. 2. Dua pertiga, jika saudari tersebut dua orang atau lebih dan tidak
mewarisi bersama-sama dengan saudari kandung atau saudara seayah yang
menjadikan ashabah ( bil ghair ).
206. 3. Ushubah ( bil ghair ), baik seorang diri maupun banyak bila ia
mewarisi bersama-sama dengan saudara tunggal seayah.
207. 4. Ushubah ( maal ghair ), jika ia mewarisi bersama-sama dengan
anak perempuan, anak perempuan pancar laki-laki betapa pun menurunnya,
serta anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki.
208. 5. Seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga, jika ia mewarisi
bersama-sama dengan saudara kandung.
209. c)
Pusaka Saudari-saudari tunggal ibu.
210. Saudari-saudari tunggal ibu adalh anak-anaknya ibu si mati atau
saudara tiri si mati yang lahir dari ibu, bagian mereka adalah:
211. 1. Seperenam, jika mereka tunggal baik laki-laki maupun perempuan.
212. 2. Sepertiga, jika mereka banyak baik laki-laki maupun perempuan.
213.
214. Mereka tidak memiliki ketentuan itu jika si mati tidak dalam
keadaan kalalah, yaitu tidak beranak turun yang berhak mewarisi baik laki-
laki maupun perempuan. Mereka tidak mewarisi dalam keadaan kalalah,
mereka terhijab oleh farul warist dan ashlul warist mudzakkar.
215. d) Puasaka Saudar Kandung.
216. Hak pusaka saudara kandung adalah ushubah, dengan
ketentuan mereka tidak bersama-sama dengan ahli waris yang dapat
menghijabnya dan kakek shahih bersama-sama membagi rata. Secara rinci
pembagian pusaka sebagai berikut:
217. 1. Jika tidak ada ahli waris selain seorang saudara, maka ia mendapat
seluruh harta.
218. 2. Jika ahli waris semuanya terdiri atas saudara-saudara kandung,
maka seluruh harta dibagi rata.
219. 3. Jika ahli warisnya terdiri atas saudara dan saudari sekandung,
seluruh harta peninggalan dibagi antar mereka dengan ketentuan laki-laki
mendapat dua kali dari perempuan.
220. 4. Jika mereka mewarisi bersama-sama denagn ahli waris lain dari
golongan ashhabul furudh, mereka menerima sisa dari ashhabul furudh.
221. 5. Jika mereka mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara seibu
dan tidak ada sisa yang tinggal untuknya, ia menggabungkan diri dengan
saudara-saudara ibu dalam menerima sepertiga.
222. e) Pusaka Saudara seayah.
223. Bila tidak ada ahli waris yang menghijabnya, sebagaimana
halnya dengan cara pusaka saudara-saudara kandung. Jika tidak ada sisa
harta peninggalan, mereka tidak bisa menggabungkan diri kepada saudara-
saudar seibu dalam mendapat sepertiga. Mereka tidak mempunyai garis yang
sama dalam mempertemukan nasabnya kepada ibu, seperti saudara-saudara
kandung.
224. Para ahli waris yang terhijab oleh saudara seayah adalah:
225. 1. Anak laki-laki saudara sekandung.
226. 2. Anak laki-laki saudara seayah.
227. 3. Paman sekandung.
228. 4. Anak laki-laki paman sekandung.
229. 5. Anak laki-laki paman seayah.
230. Ahli waris yang dapat menghijab saudara seayah adalah:
231. 1. Saudara sekandung.
232. 2. Ayah.
233. 3. Anak laki-laki.
234. 4. Cucu laki-laki pancar laki-laki.
235. pancar laki-laki.
236.
237. f) Pusaka anak-anak saudara ( kemenakan laki-laki ), paman-paman
dan anak-anak paman ( saudara sepupu laki-laki ).
238. Mereka tergolong ahli waris ashabah yang utama setelah anak
laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki sampai ke bawah, bapak, kakek
terus ke atas, saudara kandung dan saudara seayah.
239.
240. B. HIBAH.
241.
242. Hibah adalah akad mengenai pemberian harta milik seseorang
kepada orang lain di waktu ia hidup tanpa adanya imbalan. Di syaratkan
orang yang mengibahkan itu sebagai pemilik barang, bukan barang milik
orang lain. Pengibah hendaknnya orang yang dewasa dan atas keinginannya
sendiri. Barang yang dihibahkan disyaratkan bener-benar ada dan memiliki
nilai.
243. Hibah adalah pemberian yang tidak boleh di tolak. Apabila
barang yang dihibah berharga sebaiknya disertakan surat bukti hibahnya.
Hibah tidak di batasi jumlah dan jenisnya, asal pemberian itu bukan barang
yang diharamkan untuk dimakan atau diperjual belikan.
244.
245.
246.
247.
248. C. WASIAT.
249. wasiat adalah pemberian seorang kepada orang lain baik berupa
barang, piutang, atau manfaat untuk dimiliki orang yang diberi wasiat,
sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia. Wasiat disyariatkan
berdasarkan Al-Quran :



250.











251. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
tanda-tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara maruf. Ini adalah kewajiban
atas orang-orang yang bertakwa. (Qs.Al-Baqoroh,2:180)
252.
253. Wasiat dinyatakan sah apabila orang yang berwasiat dalam
keadaan dewasa, tidak terpaksa dan menjadi ijab-qabul. Wasiat dapat
dilakukan melalui tulisan bila orang yang mewasiatkan tidak mampu
berbicara. Orang yang mendapat wasiat disyaratkan bukan ahli waris dari
orang yang memberi wasiat. Wasiat menjadi milik orang yang diberi wasiat
apabila orang yang memberinya telah meninggal dunia dan hutang-
hutangnya kepada pihak lain ( jika ada ) telah diselesaikan.
254. Wasiat dapat dinyatakan batal apabila terjadi salah satu peristiwa
berikut:
255. a. Orang yang mewasiatkan menderita penyakit gila yang
membawanya pada kematian.
256. b. Orang yang memberi wasiat meninggal sebelum orang yang
memberi wasiat.
257. c. Barang yang diwasiatkan rusak sebelum diterima oleh orang yang
diberi wasiat.
258.
259.
260.
261.
262.
263. D. WAKAF.
264. Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di
jalan Allah. Wakaf merupakan perbuatan yang baik dan salah satu hal yang
mendekatkannya kepada Allah.
265. Ganjaran wakaf tidak terbatas sepanjang pewakaf itu hidup, tetapi
terus terbawa sampai ia meninggal dunia.
266. Wakaf dinyatakan sah jika ikrar berupa ucapan dari orang
mewakafkan kepada orang yang menerima barang yang diwakafkan. Barang
yang boleh diwakafkan adalah barang yang dapat diambil manfaatnya.
Barang yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan.
Wakaf sebaiknya diserahkan kepada lembaga.
267.
268.
269. E. Penggugur Hak Waris
270.
271. Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang
menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
272. 1. Budak
273. Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak
untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang
dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu
sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah
menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan
yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan
penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik.
274. 2. Pembunuhan
275. Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya
seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan
warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
276. "Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang
dibunuhnya. "
277. Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang
sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah:
"Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya,
maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
278. Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis
pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan
yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang
wajib membayar kafarat.
279. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan
yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak
waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan
sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar
kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
280.
281. Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara
dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya
memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau
bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan
qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab
Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
282. 3. Perbedaan Agama
283. Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh
orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah
saw. dalam sabdanya:
284. "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula
orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
285. Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam
mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku
bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa
seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan
kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la
'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
286. Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai
penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam
dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat
kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama,
karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Sementara itu, di
kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang
murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
287. Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama)
bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari
ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir.
Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa
antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut
mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang
murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:
"Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya
yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
288.
289. Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan
tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli
waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang
tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf
nasional ataupun internasional.
290.
291. Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
292. Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum
dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang
mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna
antara kedua istilah tersebut.
293. Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga
hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau
berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum.
Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris
disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih
kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan
adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika
terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya
dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan
pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak
memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka
kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
294. Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan
contoh kasus dari keduanya.
295.
296. Contoh Pertama
297.
298. Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri,
saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai
pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian
seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak.
Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara
kandung sebagai 'ashabah
299.
300. Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai
ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka
bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan
bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak
pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai
'ashabah.
301.
302. Contoh Kedua
303.
304. Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara
kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan
ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan
mereka, yaitu ayah pewaris.
305.
306.
307.
308.
309.
310.
311. F. Derajat Ahli Waris
312.
313. Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai
perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan
urutan dan derajatnya:
314. 1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian
harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya
dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
315. 2. Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat
nasabiyah menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab)
pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan,
jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta
peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki
pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
316. 3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami
istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli
warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul
furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun
suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang
ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan
pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan
tambahan dibandingkan lainnya.
317. 4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah
kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk
ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara
ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu
perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai
kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang
masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan
warisan.
318. 5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak
mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga
tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut
seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami
meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka
istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang
ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya.
Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu
juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
319. 6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab
ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun
perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai
harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah
satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak
ada lagi.
320. 7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang
dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris.
Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum
meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian
anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan
termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali
berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang
wasiatnya demikian.
321. 8. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak
mempunyai ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka
seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk
kemaslahatan umum.
322.
323. G. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
324. Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
325. 1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua,
anak, saudara, paman, dan seterusnya.
326. 2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara
seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi
hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang
batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
327. 3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga
wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan
pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang
yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan)
yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena
itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak
yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik
adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan

Anda mungkin juga menyukai