Pendahuluan
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan
aortailiaka, sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah
pembuluh pada keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika,
aorta abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka.1 Namun
demikian, secara klinis PAP lebih sering merupakan gangguan pada arteri yang
memperdarahi ekstremitas bawah dan kebanyakan terjadi akibat aterosklerosis.2,3,4
Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang
aktivitas fisik/berolahraga, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit,
sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai
setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan
akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit.5 Pasien dengan klaudikasio
intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu,
tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan aktivitas, aliran darah
pada arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini
mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan
metabolik, sehingga memunculkan gejala klaudikasio.4
Prevalensinya PAP secara global meningkat sebanyak 23,5% dari 2000
sampai dengan 2010, dengan prevalensi sebanyak 202 juta orang di seluruh dunia,
mempengaruhi 15-20% individu di atas 70 tahun.6 Pria lebih banyak beresiko tinggi
PAP dari pada wanita, namun pada studi terakhir menunjukkan tidak ada perbedaan
prevalensi antara pria dan wanita. Di Amerika Serikat, 8 juta orang dewasa menderita
PAP, dan jumlah ini meningkat sejalan dengan peningkatan umur populasi di negara
tersebut.7 Di Indonesia, data rekam medis Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK)
menunjukkan jumlah pasien PAP ekstremitas bawah sebanyak 119 pasien selama
Januari 2011 hingga Agustus 2012.8
Manajemen PAP ekstremitas bawah yang direkomendasikan saat ini terdiri
atas terapi medikamentosa optimal, pengendalian faktor risiko, rehabilitasi
olahraga/latihan disupervisi, dan revaskularisasi endovaskular (bedah/non bedah).
Keempat manajemen ini terbukti efektif dalam mengurangi gejala klaudikasio,
meningkatkan jarak berjalan, dan memperbaiki kualitas hidup.9,10 Rehabilitasi
kardiovaskular awalnya difokuskan terutama pada pasien yang telah mengalami
infark miokardium dan pada pasien yang telah menjalani CABG atau angioplasti,
serta mereka yang memiliki penyakit koroner stabil. Namun sekarang jelas bahwa
proses rehabilitasi sama pentingnya pada penderita PAP. Rehabilitasi merupakan
rekomendasi lini pertama pada penderita PAP yang terdiri dari latihan disupervisi dan
edukasi terapeutik. Manfaat ini diduga dimediasi oleh beberapa faktor, termasuk
manfaat fisiologis latihan, manfaat psikologis terhadap dukungan kelompok dan
konseling, meningkatkan kepatuhan terhadap terapi pencegahan dan meningkatkan
kontrol terhadap faktor risiko kardiovaskular. Salah satu penelitian terbaru, CLEVER
(CLaudication: Exercise Versus Endoluminal Revascularization), menunjukkan
bahwa latihan disupervisi dapat meningkatkan jarak berjalan maksimal hingga 200%
dibanding sebelum latihan, sementara angioplasti disertai pemasangan stent
meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.11 Studi-studi lain juga
memperlihatkan peran latihan disupervisi dalam mengurangi gejala klaudikasio
melalui berbagai mekanisme, seperti meningkatkan jumlah kolateral, fungsi endotel,
ambilan oksigen oleh otot, kapasitas oksidasi otot betis, serta menekan faktor
inflamasi dan faktor resiko kardiovaskular secara umum.3,12 Saat ini latihan
disupervisi merupakan rekomendasi kelas IA untuk manajemen awal klaudikasio.13
Telah diketahui bahwa PAP mempercepat penurunan fungsional yang
mengarah pada keterbatasan fisik. Rehabilitasi dengan latihan fisik yang digabungkan
dengan edukasi terapeutik yang komprehensif memiliki manfaat yang besar pada
penderita PAP dengan mempertahankan ataupun meningkatkan kapasitas fungsional
dan menurunkan angka kejadian kardiovaskular.14 Tujuan penulisan refarat ini untuk
memberikan rekomendasi tentang komponen yang difokuskan kepada aktivitas fisik
dan latihan fisik pada rehabilitasi penderita PAP.
Rehabilitasi Kardiovaskular
Defenisi rehabilitasi kardiovaskular dari WHO tahun 1969 yaitu A process
by which a person is restored to an optimal physical, medical, psychological social,
emotional, sexual, vocational and economic status. Kemudian menurut Gobel tahun
1998 dimana defenisi rehabilitasi kardiovaskular adalah sejumlah intervensi yang
dibutuhkan untuk memastikan kondisi terbaik dari fisik-psikologis-sosial dan
vokasional pasien penyakit jantung dan pembuluh darah akut maupun kronik dan
diharapkan dengan usahanya sendiri, mencapai fungsi yg optimal di masyarakat dan
dapat melakukan pencegahan sekunder, yang kemudian disempurnkan pada saat ini
dengan memperhatikan dasar penyakit, proses dan kondisi paska sakit. Defenisi
tersebut dijabarkan dalam defenisi terkini yaitu: The rehabilitation of cardiovascular
patiets is the sum of activities required to influence favourably the underlying cause
od the disease, as well as the possible physical, mental and social conditions, so that
they may by their own effort, preserve or resume when lost, as normal a place as
possible in the society.15
Secara ringkas, program rehabilitasi kardiovaskular yang komprehensif harus
mencakup beberapa komponen berikut: (1) pengkajian kondisi dan riwayat medis
pasien, (2) edukasi dan konseling dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran pasien agar dengan upaya sendiri mampu menghindari faktor risiko,
mampu mengatasi faktor risiko agar proses penyakit atau proses atherosklerosis dapat
dihentikan atau dihambat, demikian pula kecemasan, (3) upaya pengontrolan faktor
risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat dan
pengobatan yang diperlukan, (4) program latihan fisik dan konseling aktifitas fisik,
terutama dalam upaya meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas
hidup dan pengendalian faktor risiko.15
Rekomendasi untuk program rehabilitasi kardiovaskular berdasarkan
guidelines AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for
Patients With Coronary and Other Atherosclerotic Vascular Disease: 2011 yang
diindikasikan sebagai kelas I dengan level of evidence A pada sebagian besar
pedoman tatalaksana klinis penyakit kardiovaskular seperti pada pasien paska
sindroma koroner akut, paska operasi (CABG), paska PCI dan termasuk di dalamnya
pada penderita penyakit arteri perifer baik pada saat di rumah sakit atau pada saat
kontrol pertama ke rumah sakit.16 Dalam pelaksanaannya program rehabilitasi
kardiovaskular dikelompokkan dalam beberapa fase: Fase I adalah upaya yang segera
dilakukan disaat pasien masih dalam masa perawatan, tujuan utama fase ini adalah
mengurangi atau menghilangkan efek buruk dari dekondisi akibat tirah baring lama,
melakukan edukasi dini dan agar pasien mampu melakukan aktifitas hariannya secara
mandiri dan aman. Fase II, yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS,
merupakan program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal
mungkin, segera mengontrol faktor risiko, edukasi dan konseling tambahan mengenai
gaya hidup sehat. Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan
pasien tersebut telah mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri, aman,
dan mempertahankan pola hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau bersama-sama
keluarga dan masyarakat sekitarnya.15
American Heart Association (AHA) mendeklarasikan bahwa rehabilitasi
kardiovaskular tidak terbatas hanya pada program latihan fisik saja, tetapi harus
mencakup upaya-upaya multidisiplin yang bertujuan untuk mengurangi atau
mengontrol faktor risiko yang dapat dimodifikasi. 17
Gambar 4. Mekanisme Latihan Fisik Yang Meningkatkan Kemampuan Fungsional Pada PAP.22
Evaluasi Sebelum Melakukan Latihan Fisik / Rehabilitasi Olahraga Pada PAP
Tujuan rehabilitasi dan program latihan yang diberikan pada penderita PAP
bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan berjalan namun juga menurunkan
faktor risiko yang dapat memperburuk PAP sendiri. Karena penderita PAP di
klasifikasikan sebagai risiko tinggi maka menurut Exercise & Sports Science
Australia (ESSA) dan American college of Sports Medicine (ACSM), status
kardiovaskuler dan resiko medis haruslah terlebih dahulu dinilai oleh petugas
profesional yang menganjurkan program latihan, serta data informasi yang
mendukung seperti EKG, cardiac imaging maupun hasil diagnostik lainnya harus
dikumpulkan sebagai data dasar sebelum memulai program latihan. Menurut
rekomendasi American Heart Association (AHA), data tes awal treadmill juga harus
didapatkan sebelum memulai program latihan ini sehingga dapat ditentukan kapasitas
fungsional, keterbatasan non vaskuler serta keamanan latihan yang akan dilakukan
selanjutnya.3,29,30
Penderita PAP sering juga berhubungan dengan penyakit jantung koroner
(PJK), termasuk juga komorbid lainnya. Namun gejala PJK dapat sulit untuk
didiagnosa karena pembatasan aktifitas penderita PAP karena nyeri akibat klaudikasio
intermitten sehingga PJK mungkin tidak terdiagnosa. Penderita PAP mungkin tidak
akan melaporkan gejala PJK nya selama aktifitasnya atau tes yang lain tidak
mengungkap adanya angina karena kapasitas latihannya terbatas oleh klaudikasio
intermitten dari pada iskemik miokard. Oleh karena itu penting di lakukan evaluasi
sebelum memualai program latihan bagi penderita PAP. Tidak jarang gejala PJK
muncul dalam program latihan untuk menigkatkan kapasitas fungsional pada
penderita PAP. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh terhadap faktor risiko
vaskular termasuk hipertensi, diabetes melitus, hyperlipidemia dan riwayat merokok.
Setelah diagnosis awal pada penderita PAP tanpa PJK diketahui, maka risiko
terjadinya mortalitas atau morbiditas PJK pada lima tahun kedepan sekitar 50 %. Hal
ini memerlukan penyuluhan atau edukasi tentang faktor risiko vaskular, gejala awal
PJK selama program latihan bagi penderita PAP.22
Kemudian pengkajian lain yang dilakukan sebelum melakukan program
latihan fisik pada pasien PAP diantaranya data tes awal treadmill yang berisi
informasi mengenai respon denyut jantung dan tekanan darah, gejala yang timbul saat
latihan seperti aritmia ataupun tanda iskemik lainnya. Bagaimanapun juga manfaaat
dilakukannya uji latih fisik yang dilakukan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya
respon abnormal jantung yang terbatas oleh nyeri tungkai sebelum tercapainya denyut
jantung ataupun tekanan darah dimana respon abnormal jantung mulai muncul.
Sebaliknya, setelah pasien menjalani program latihan maka gejala jantung mungkin
tertutupi semenjak kapasitas berjalan pasien meningkat. Banyak pusat rehabilitasi
yang menggunakan protokol uji latih treadmill dengan program awal kecepatan 2
mil/jam, yang ditingkatkan secara bertahap 2-3,5% setiap 2-3 menit, tergantung
perkiraan kapasitas latihan pasien. Program latihan lain juga menilai pada ujih latih
treadmill awal yang dilakukan pada kecepatan 2 mil/jam tanpa kemiringan untuk
menilai ambang batas klaudikasio dan keparahannya, kemudian disesuaikan
kemiringannya sampai timbul gejala klaudikasio yang moderat dan kemudian data ini
digunakan sebagai penentu dalam program latihan awal nantinya. Waktu dimana
pasien memulai latihan hingga timbul gejala klaudikasio yang pertama (disebut juga
pain-free walking time) dan waktu dimana pasien mulai berhenti melakukan latihan
akibat klaudikasio disebut sebagai durasi maksimal berjalan. Beban latihan yang
diberikan hingga munculnya klaudikasio dipertimbangkan sebagai beban latihan awal
dari program latihan. Adapun skala nyeri klaudikasio yang sering digunakan pada
beberapa trial dapat dilihat pada gambar 5. Nilai 1 = tidak nyeri, nilai 2 = onset awal
terjadinya nyeri, nilai 3 = nyeri ringan, nilai 4 = nyeri sedang dan nilai 5 = nyeri
hebat.22
1. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO. Braunwald's heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine: Elsevier Health Sciences; 2014. page
1338-1351
2. Hiatt WR. Atherosclerotic peripheral arterial disease. In: Arend WP, editors.
Cecil Medicine,23rd. New York: Elsevier; 2008.
3. Brawner CA et al. Exercise Prescription for Patients with Comorbidities and
Other Chronic Diseases: ACSM Resource Manual for Guidelines for
Exercise Testing and Prescription, 7th ed. Philadelphia; lippincott Williams &
Wlikin; 2014.
4. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, Nehler MR, Harris KA, Fowkes FG, et
al. TASC II Inter-society consensus for the management of peripheral arterial
disease. Eur J Vasc Endovasc Surg 2007;33(1):S1-75.
5. Gornik HL, Becman JA. Peripheral arterial disease. Circulation. 2005;
111(13): e 169-e72.
6. Fowkes FG, Rudan D, Rudan I, et al. Comparison of Global Estimates of
Prevalence and Risk Factors for Peripheral Artery Disease in 2000 and 2010.
Lancet 2013; 382: 1329-40.
7. Ostchega Y, Paulose-Ram R, Dillon CF, et al. Prevalence of Peripheral
Arterial Disease and Risk Factors in Persons Aged 60 and Older: Data from
the National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2004. J Am
Geriatr Soc 2007; 55: 583-9.
8. Mardiansyah. Data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Jakarta; 2012
9. White, C. Intermitten claudication. NEJM 2007; 356:1241-1250.
10. T. Coutinho, T. W. Rooke and I. J. Kullo, "Arterial Dysfunction and
Functional Performance in Patrients with Peripheral Artery Disease: A
Review," The Journal of Vascular Medicine, vol.16, no. 3, pp. 203-211,2011.
11. Murphy TP, Cutlip DE, Regensteiner JG, Mohler ER, Cohen DJ, Reynolds
MR, et al. Supervised exercise versus primary stenting for claudication
resulting from aortoiliac peripheral artery disease : six-month outcomes from
the claudication: exercise versus endoluminal revascularization (CLEVER)
study. Circulation 2012; 125-139.
12. Stewart KJ, Hiatt WR, Regensteiner JG, Hirsch AT. Exercise training for
claudication. NEJM 2001;347(24);1941-1950.
13. Tendera M, Aboyans V, Bartelink M-L, Baumgartner I, Clement D, Collet J-
P, et al. ESC guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral arterial
diseases. European Heart Journal 2011;32(22):2851-2906.
14. Elfi, Eka Fithra. Peran Latihan Disupervisi pada Pasien Dengan Penyakit
Arteri Perifer Ekstremitas Bawah. Majalah Kedokteran Andalas. 2014;
37(2):197-201.
15. Radi B, H. Joesoef A, Kusmana D. Rehabilitasi Kardiovaskular Di Indonesia.
Jurnal kardiologi Indonesia. J Kardiol Indones. 2009; 30:43-5
16. Sidney C. Smith, Jr et. al. AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk
Reduction Therapy for Patients With Coronary and Other Atherosclerotic
Vascular Disease: 2011 Update: A Guideline From the American Heart
Association and American College of Cardiology Foundation, Circulation.
2011;124:2458-2473
17. Mathes P. From Exercise Training to Comprehensive Cardiac Rehabilitation.
In: Perk J, Mathes P, Gohlke H, Monpre C, Hellemans I, McGee H, et al.,
editors. Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. London: Springer-
Verlag; 2007. p. 3-8.
18. Ouriel K. Detection of peripheral arterial disease in primary care. Jama.
2001;286(11):1380-1.
19. J. C. Stanley, f. J. Veith and T. W. Wakefield, "Exercise in Peripheral Arterial
Disease," Current Therapy in Vascular and Endovascular Surgery, Fifth
Edition, pp. 601-606, 2014.
20. P. Sheedhan, M. Edmonds, J. L. Januzzi Jr., J. Regensteiner, L. Sanders and
M. Sykes, "Peripheral Arterial Disease in People with Diabetes," American
Diabetes Association, vol. 26, no. 12, pp. 3333- 3340, 2003.
21. Hiatt WR, Brass EP: pathophysiology of intermitten claudication. In Creager
MA, Dzau VJ, Loscalzo J(eds): Vascular Medicine. Philadelphia, Elsevier
Health Sciences; 2006
22. Vascular Disease Foundation (VDF) and the American Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation (AACVPR). PAD EXERCISE
TRAINING TOOLKIT: A guide for healthcare professionals. Washington;
2014.
23. Coffman JD, Eberhardt RT, Cannon CP. Peripheral Arterial Disease: Springer
Science & Business Media; 2003.
24. A. T. Hirsch, Z. J. Haskal and N. R. Hertzer, "ACC/ AHA 2005 Guidelines for
the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower
Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal Aortic)," Journal of the
American College of Cardiology, pp. 1239-1312, 2006.
25. F. J. Khawaja and I. J. Kullo, "Novel Markers of Peripheral Arterial Disease,"
The Journal of Vascular Medicine, vol. 14, pp. 381-392, 2009.
26. Hamburg NM, Balady GJ. Exercise Rehabilitation in Peripheral Artery
Disease: Functional Impact and Mechanisms of Benefits. Circulation.
2011;123:87-97. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.109.881888
27. Wang E, Hoff J, Loe H et al. Plantar flexion: an effective training for
peripheralarterial disease. Eur J Appl Physiol 2008; 104:749756.
28. Gadner AW. Exercise rehabilitation for peripheral artery disease:An
exercise physiology perspective with special emphasis on the emerging trend
of home-based exercise: Hans Huber Publishers Vasa 2015; 44: 405 417
29. Askew CD, Parmenter B, Leight AS, Walker PJ, Golledge J. Exercise &
Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise prescription
for patients with peripheral arterial disease and intermittent claudication.
Journal of Science and Medicine in Sport.2013.
30. Anderson JL, Halperin JL, Albert NM et al. Management of patients with
peripheral artery disease (compilation of 2005 and 2011 ACCF/AHA
guideline recommendations): a report of the American College of Cardiology
Founda-tion/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Circulation 2013; 127:14251443
31. Watson L, Ellis B, Leng GC. Exercise for intermitten claudication. Cochrane
Database Syst Rev 2008;4:1-55.
32. Gardner AW, Poehlman ET. Exercise rehabilitation programs for the
treatment of claudication pain: a meta-analysis. JAMA 1995;274:975-80.
33. McDermott MM, Ades P, Guralnik JM, et al: Treadmill exercise and
resistance training in patients with peripheral arterial disease with and without
intermittent claudication: a randomized controlled trial. JAMA 2009;301:165-
170.
34. Gardner and D. Parker et al, "Efficacy of quantified Home-Based Exercise and
Supervised Exercise in Patients with Intermittent Claudicaton," Circulation,
vol. 123, pp. 491-498, 2011.