Anda di halaman 1dari 20

REHABILITASI PADA PENYAKIT ARTERI PERIFER

Pendahuluan
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan
aortailiaka, sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah
pembuluh pada keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika,
aorta abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka.1 Namun
demikian, secara klinis PAP lebih sering merupakan gangguan pada arteri yang
memperdarahi ekstremitas bawah dan kebanyakan terjadi akibat aterosklerosis.2,3,4
Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang
aktivitas fisik/berolahraga, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit,
sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai
setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan
akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit.5 Pasien dengan klaudikasio
intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu,
tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan aktivitas, aliran darah
pada arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini
mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan
metabolik, sehingga memunculkan gejala klaudikasio.4
Prevalensinya PAP secara global meningkat sebanyak 23,5% dari 2000
sampai dengan 2010, dengan prevalensi sebanyak 202 juta orang di seluruh dunia,
mempengaruhi 15-20% individu di atas 70 tahun.6 Pria lebih banyak beresiko tinggi
PAP dari pada wanita, namun pada studi terakhir menunjukkan tidak ada perbedaan
prevalensi antara pria dan wanita. Di Amerika Serikat, 8 juta orang dewasa menderita
PAP, dan jumlah ini meningkat sejalan dengan peningkatan umur populasi di negara
tersebut.7 Di Indonesia, data rekam medis Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK)
menunjukkan jumlah pasien PAP ekstremitas bawah sebanyak 119 pasien selama
Januari 2011 hingga Agustus 2012.8
Manajemen PAP ekstremitas bawah yang direkomendasikan saat ini terdiri
atas terapi medikamentosa optimal, pengendalian faktor risiko, rehabilitasi
olahraga/latihan disupervisi, dan revaskularisasi endovaskular (bedah/non bedah).
Keempat manajemen ini terbukti efektif dalam mengurangi gejala klaudikasio,
meningkatkan jarak berjalan, dan memperbaiki kualitas hidup.9,10 Rehabilitasi
kardiovaskular awalnya difokuskan terutama pada pasien yang telah mengalami
infark miokardium dan pada pasien yang telah menjalani CABG atau angioplasti,
serta mereka yang memiliki penyakit koroner stabil. Namun sekarang jelas bahwa
proses rehabilitasi sama pentingnya pada penderita PAP. Rehabilitasi merupakan
rekomendasi lini pertama pada penderita PAP yang terdiri dari latihan disupervisi dan
edukasi terapeutik. Manfaat ini diduga dimediasi oleh beberapa faktor, termasuk
manfaat fisiologis latihan, manfaat psikologis terhadap dukungan kelompok dan
konseling, meningkatkan kepatuhan terhadap terapi pencegahan dan meningkatkan
kontrol terhadap faktor risiko kardiovaskular. Salah satu penelitian terbaru, CLEVER
(CLaudication: Exercise Versus Endoluminal Revascularization), menunjukkan
bahwa latihan disupervisi dapat meningkatkan jarak berjalan maksimal hingga 200%
dibanding sebelum latihan, sementara angioplasti disertai pemasangan stent
meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.11 Studi-studi lain juga
memperlihatkan peran latihan disupervisi dalam mengurangi gejala klaudikasio
melalui berbagai mekanisme, seperti meningkatkan jumlah kolateral, fungsi endotel,
ambilan oksigen oleh otot, kapasitas oksidasi otot betis, serta menekan faktor
inflamasi dan faktor resiko kardiovaskular secara umum.3,12 Saat ini latihan
disupervisi merupakan rekomendasi kelas IA untuk manajemen awal klaudikasio.13
Telah diketahui bahwa PAP mempercepat penurunan fungsional yang
mengarah pada keterbatasan fisik. Rehabilitasi dengan latihan fisik yang digabungkan
dengan edukasi terapeutik yang komprehensif memiliki manfaat yang besar pada
penderita PAP dengan mempertahankan ataupun meningkatkan kapasitas fungsional
dan menurunkan angka kejadian kardiovaskular.14 Tujuan penulisan refarat ini untuk
memberikan rekomendasi tentang komponen yang difokuskan kepada aktivitas fisik
dan latihan fisik pada rehabilitasi penderita PAP.

Rehabilitasi Kardiovaskular
Defenisi rehabilitasi kardiovaskular dari WHO tahun 1969 yaitu A process
by which a person is restored to an optimal physical, medical, psychological social,
emotional, sexual, vocational and economic status. Kemudian menurut Gobel tahun
1998 dimana defenisi rehabilitasi kardiovaskular adalah sejumlah intervensi yang
dibutuhkan untuk memastikan kondisi terbaik dari fisik-psikologis-sosial dan
vokasional pasien penyakit jantung dan pembuluh darah akut maupun kronik dan
diharapkan dengan usahanya sendiri, mencapai fungsi yg optimal di masyarakat dan
dapat melakukan pencegahan sekunder, yang kemudian disempurnkan pada saat ini
dengan memperhatikan dasar penyakit, proses dan kondisi paska sakit. Defenisi
tersebut dijabarkan dalam defenisi terkini yaitu: The rehabilitation of cardiovascular
patiets is the sum of activities required to influence favourably the underlying cause
od the disease, as well as the possible physical, mental and social conditions, so that
they may by their own effort, preserve or resume when lost, as normal a place as
possible in the society.15
Secara ringkas, program rehabilitasi kardiovaskular yang komprehensif harus
mencakup beberapa komponen berikut: (1) pengkajian kondisi dan riwayat medis
pasien, (2) edukasi dan konseling dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran pasien agar dengan upaya sendiri mampu menghindari faktor risiko,
mampu mengatasi faktor risiko agar proses penyakit atau proses atherosklerosis dapat
dihentikan atau dihambat, demikian pula kecemasan, (3) upaya pengontrolan faktor
risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat dan
pengobatan yang diperlukan, (4) program latihan fisik dan konseling aktifitas fisik,
terutama dalam upaya meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas
hidup dan pengendalian faktor risiko.15
Rekomendasi untuk program rehabilitasi kardiovaskular berdasarkan
guidelines AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for
Patients With Coronary and Other Atherosclerotic Vascular Disease: 2011 yang
diindikasikan sebagai kelas I dengan level of evidence A pada sebagian besar
pedoman tatalaksana klinis penyakit kardiovaskular seperti pada pasien paska
sindroma koroner akut, paska operasi (CABG), paska PCI dan termasuk di dalamnya
pada penderita penyakit arteri perifer baik pada saat di rumah sakit atau pada saat
kontrol pertama ke rumah sakit.16 Dalam pelaksanaannya program rehabilitasi
kardiovaskular dikelompokkan dalam beberapa fase: Fase I adalah upaya yang segera
dilakukan disaat pasien masih dalam masa perawatan, tujuan utama fase ini adalah
mengurangi atau menghilangkan efek buruk dari dekondisi akibat tirah baring lama,
melakukan edukasi dini dan agar pasien mampu melakukan aktifitas hariannya secara
mandiri dan aman. Fase II, yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS,
merupakan program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal
mungkin, segera mengontrol faktor risiko, edukasi dan konseling tambahan mengenai
gaya hidup sehat. Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan
pasien tersebut telah mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri, aman,
dan mempertahankan pola hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau bersama-sama
keluarga dan masyarakat sekitarnya.15
American Heart Association (AHA) mendeklarasikan bahwa rehabilitasi
kardiovaskular tidak terbatas hanya pada program latihan fisik saja, tetapi harus
mencakup upaya-upaya multidisiplin yang bertujuan untuk mengurangi atau
mengontrol faktor risiko yang dapat dimodifikasi. 17

Penyakit Arteri Perifer


PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri
multipel yang disebabkan oleh karena adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif,
kelainan displasia, inflamasi vaskuler (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli.
Dari sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang
paling banyak di dunia adalah aterosklerosis.18 Secara umum, PAP terjadi karena
ketidakseimbangan antara suplai sirkulasi (mengandung nutrien dan oksigen jaringan)
terhadap kebutuhan oksigen dan nutrisi otot rangka.1
Klaudikasio intermitten merupakan salah satu dari empat manifestasi klinis
dari PAP, yaitu nyeri saat istirahat, ulserasi pada jari dan gangren.19 Klaudikasio
intermitten merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada PAP dan sering
dideskripsikan sebagai nyeri seperti kram, atau rasa sakit atau capek pada otot betis
dan terkadang sampai ke paha dan bokong, yang dirasakan saat berjalan ataupun saat
aktivitas fisik lainnya.20 Klaudikasio intermitten terjadi ketika kebutuhan oksigen otot
rangka saat beraktivitas melebihi suplai yang dihantarkan ke otot rangka yang
menyebabkan akumulasi laktat dan metabolit yang merangsang aktivasi reseptor
neuron sensoris lokal. Aliran darah dan konsumsi oksigen ke kaki normal saat
beristirahat, namun lesi obstruktif membatasi aliran darah dan suplai oksigen sehingga
kebutuhan metabolisme otot selama latihan melampaui pasokan oksigen dan nutrisi
yang tersedia.21 Patofisiologi dari klaudikasio intermitten dapat dilihat pada gambar 1.
Gejala yang lebih berat yang ditemukan pada PAP juga berupa nyeri saat
istirahat, luka yang tidak sembuh, dan gangren yang sering sekali dirujuk sebagai
critical limb ischaemia (CLI). Pasien dengan (CLI) secara khas mengalami lesi
multipel oklusi yang sering mengenai arteri proksimal dan distal tungkai. Akibatnya,
dalam kondisi istirahat pun, suplai oksigen dan nutrisi tidak mencukupi kebutuhan
ekstremitas.21
Gambar 1. Patofisiologi dari klaudikasio intermitten. Pada arteri yang sehat (atas) dan pada penyakit
arteri perifer (bawah). 21

Sebelum menentukan latihan fisik/rehabilitasi olahraga pada pasien PAP,


sangat penting diketahui bahwa nyeri pada ekstermitas bawah disebabkan oleh
insufisiensi dari arteri yaitu klaudikasio intermitten, bukan gejala yang disebabkan
oleh penyakit komorbid lainnya seperti osteoarthritis, neuropathy, sciatica, myopathy
dan stenosis spinal.22 Diagnosa dari PAP ditentukan berdasarkan kombinasi dari
riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik dan Ankle Brachial Index (ABI).23
ABI sering digunakan dalam tindakan diagnosa dan derajat keparahan PAP,
dilakukan dengan mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan
darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik diukur dengan menggunakan
ultrasonografi doppler dan ABI pada setiap tungkai didapatkan dengan membagikan
tekanan arteri tertinggi pada arteri dorsalis pedis ataupun arteri tibialis posterior atau
anterior dengan tekanan arteri tertinggi pada arteri brakialis kanan atau kiri. Hal ini
dapat di lihat pada gambar 2. Normal nilai ABI yaitu 1.0-1.3 dan 0.91-0.99
merupakan borderline untuk diagnosa PAP. Nilai ABI 0.41-0.90 merupakan PAP
ringan sampai dengan sedang dan PAP berat dengan nilai ABI < 0.4. ABI > 1.3 dapat
diindikasikan PAP berat karena adanya kekakuan pembuluh darah yang disebabkan
oleh kalsifikasi. Pada keadaan ini nilai ABI dapat meningkat dan dapat dapat
disalahartikan sebagai hasil yang normal. Bila hal ini dicurigai, maka digunakan test
toe-brachial index (TBI).24 ABI tidak berkolerasi dengan gejala dari PAP, namun
berkolerasi dengan kapasitas fungsional pada pasien dengan PAP.25
Gambar 2. Pengukuran ABI.

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti duplex ultrasound, computed


tomography angiography (CTA), dan magnetic resonance angiography (MRA),
termasuk baku emasnya, angiografi invasif, terutama berperan pada kasus yang tidak
dapat dinilai dengan ABI.22

Keterbatasan Fungsional Pada PAP Dengan Klaudikasio Intermitten


Baik pasien yang memiliki gejala di tungkai ataupun tidak, pasien PAP dan
klaudikasio intermitten memiliki gangguan fungsional yang signifikan sampai
pembatasan aktivitas. Hal ini dapat di lihat pada gambar 3.26

Gambar 3. Konsekunsi fungsional pada PAP.26


Berbeda dengan angina yang merupakan gejala penyakit jantung koroner, jika
gejalanya muncul maka diharuskan untuk membatasi aktivitasnya, sedangkan pada
PAP jika gejalanya muncul makan dianjurkan untuk melanjutkan latihan fisiknya
dalam skala ringan sampai sedang dengan syarat tidak dalam kondisi tungkai yang
sangat sakit. Hal ini memang berbeda, latihan fisik jika diteruskan saat gejala muncul
bagi pada pasien jantung koroner atau gagal jantung akan berahaya karena dapat
terjadi aritmia yang dicetuskan oleh iskemik. Namun menguntungkan untuk
meneruskan latihan fisik jika gejala nyeri muncul pada pasien dengan klaudikasio
yang ringan sampai sedang, karena berkontribusi pada perubahan proses adaptasi
fisiologis yang memang di perlukan pada efek latihan fisik. Sayangnya pasien dengan
PAP yang merasakan nyeri tungkai ketika berjalan rata-rata akan menghentikan
aktivitas fisiknya karena tidak nyaman, yang nantinya akan menurunkan aktivitas
fisik secara keseluruhan pada pasien tersebut dengan akibat yang lebih jauh yaitu
akan meningkatkan faktor resiko penyakit kardiovaskuler, kehilangan kekuatan
tungkai hingga ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas.22
Banyak bukti yang menunjukkan adanya perubahan fungsional yang nyata
pada penyakit arteri perifer. Pada masa yang lalu, penurunan kapasitas berjalan
diartikan sebagai akibat dari klaudikasio intermitten, yang merupakan gejalan yang
khas dari PAP. Walaupun sebagian kecil pasien dengan PAP saja yang memiliki
gejala klasik klaudikasio, lebih dari 50% menggambarkan gejala yang atipikal pada
tungkai yang mempengaruhi pergerakan. Yang paling penting, PAP membatasi
kapasitas latihan dan mempercepat penurunan kemampuan fisik, bahkan muncul
tanpa disertai adanya keluhan di tungkainya. Pasien yang asimptomatis dan pasien
dengan gejala yang khas yang menderita PAP akan mengalami gangguan fungsional
yang progresif dan meningkatkan resiko untuk tidak mampu berjalan selama 6 menit
jika dibandingkan dengan orang-orang tanpa PAP.26

Mekanisme Latihan Fisik / Rehabilitasi Olahraga Yang Dapat Meningkatkan


Kemampuan Fungsional Pada PAP Dengan Klaudikasio Intermitten
Mekanisme fisiologis latihan fisik/ rehabilitasi olahraga terhadap perbaikan
gejala klaudikasio belum sepenuhnya dimengerti. Namun beberapa penelitian
menunjukkan kemungkinan efek yang ditimbulkan dari mekanisme latihan fisik/
rehabilitasi olahraga tersebut dalam meningkatkan kemampuan fungsional pada PAP
dengan klaudikasio inermitten. Hal ini ditunjukkan oleh gambar 4, termasuk di
dalamnya yaitu:22,27,28
Perbaikan fungsi endotel dan perubahan mikrosirkulasi, dimana latihan fisik
akan meningkatkan aktifitas Nitrit Oxide dan prostacyclin serta fungsi
pembuluh darah otot sehingga mengakibatkan vasodilatasi endotel.
Latihan fisik mempengaruhi angiogenesis dengan menghasilkan pelepasan
vascular endothelial growth factor RNA messenger (VEGF mRNA). Setelah
delapan minggu terjadinya peningkatan yang berlebih pada VEGF mRNA
sehingga terjadi peningkatan kolateral dan meningkatkan aliran darah.
Latihan fisik dapat menurunkan fungsi iskemia yang ditandai dengan
peningkatan radikal bebas dan memperbaiki faktor resiko serta penurunan
marker inflamasi sistemik.
Meningkatnya efisiensi konsumsi oksigen oleh jaringan otot karena
modifikasi pola berjalan sehingga dibutuhkan energi yang lebih sedikit untuk
menjalani latihan, meningkatnya kemampuan metabolisme otot karena
meningkatnya kapasitas enzim oksidatif, berkurangnya kadar acylcarnitine
serta meningkatnya daya tahan dan kekuatan otot.
Disamping itu berkurangnya persepsi nyeri karena adaptasi latihan fisik akan
meningkatkan kemampuan latihan fisik serta meningkatkan kualitas hidup
Terakhir memperbaiki faktor kardiovaskuler lainnya seperti berkurangnya
tekanan darah, resistensi insulin, faktor inflamasi (hs-CRP), depresi dan stres
psikososial, obesitas, serta perbaikan pada fungsi otonom, dan profil lipid.

Gambar 4. Mekanisme Latihan Fisik Yang Meningkatkan Kemampuan Fungsional Pada PAP.22
Evaluasi Sebelum Melakukan Latihan Fisik / Rehabilitasi Olahraga Pada PAP
Tujuan rehabilitasi dan program latihan yang diberikan pada penderita PAP
bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan berjalan namun juga menurunkan
faktor risiko yang dapat memperburuk PAP sendiri. Karena penderita PAP di
klasifikasikan sebagai risiko tinggi maka menurut Exercise & Sports Science
Australia (ESSA) dan American college of Sports Medicine (ACSM), status
kardiovaskuler dan resiko medis haruslah terlebih dahulu dinilai oleh petugas
profesional yang menganjurkan program latihan, serta data informasi yang
mendukung seperti EKG, cardiac imaging maupun hasil diagnostik lainnya harus
dikumpulkan sebagai data dasar sebelum memulai program latihan. Menurut
rekomendasi American Heart Association (AHA), data tes awal treadmill juga harus
didapatkan sebelum memulai program latihan ini sehingga dapat ditentukan kapasitas
fungsional, keterbatasan non vaskuler serta keamanan latihan yang akan dilakukan
selanjutnya.3,29,30
Penderita PAP sering juga berhubungan dengan penyakit jantung koroner

(PJK), termasuk juga komorbid lainnya. Namun gejala PJK dapat sulit untuk
didiagnosa karena pembatasan aktifitas penderita PAP karena nyeri akibat klaudikasio
intermitten sehingga PJK mungkin tidak terdiagnosa. Penderita PAP mungkin tidak
akan melaporkan gejala PJK nya selama aktifitasnya atau tes yang lain tidak
mengungkap adanya angina karena kapasitas latihannya terbatas oleh klaudikasio
intermitten dari pada iskemik miokard. Oleh karena itu penting di lakukan evaluasi
sebelum memualai program latihan bagi penderita PAP. Tidak jarang gejala PJK
muncul dalam program latihan untuk menigkatkan kapasitas fungsional pada
penderita PAP. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh terhadap faktor risiko
vaskular termasuk hipertensi, diabetes melitus, hyperlipidemia dan riwayat merokok.
Setelah diagnosis awal pada penderita PAP tanpa PJK diketahui, maka risiko
terjadinya mortalitas atau morbiditas PJK pada lima tahun kedepan sekitar 50 %. Hal
ini memerlukan penyuluhan atau edukasi tentang faktor risiko vaskular, gejala awal
PJK selama program latihan bagi penderita PAP.22
Kemudian pengkajian lain yang dilakukan sebelum melakukan program
latihan fisik pada pasien PAP diantaranya data tes awal treadmill yang berisi
informasi mengenai respon denyut jantung dan tekanan darah, gejala yang timbul saat
latihan seperti aritmia ataupun tanda iskemik lainnya. Bagaimanapun juga manfaaat
dilakukannya uji latih fisik yang dilakukan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya
respon abnormal jantung yang terbatas oleh nyeri tungkai sebelum tercapainya denyut
jantung ataupun tekanan darah dimana respon abnormal jantung mulai muncul.
Sebaliknya, setelah pasien menjalani program latihan maka gejala jantung mungkin
tertutupi semenjak kapasitas berjalan pasien meningkat. Banyak pusat rehabilitasi
yang menggunakan protokol uji latih treadmill dengan program awal kecepatan 2
mil/jam, yang ditingkatkan secara bertahap 2-3,5% setiap 2-3 menit, tergantung
perkiraan kapasitas latihan pasien. Program latihan lain juga menilai pada ujih latih
treadmill awal yang dilakukan pada kecepatan 2 mil/jam tanpa kemiringan untuk
menilai ambang batas klaudikasio dan keparahannya, kemudian disesuaikan
kemiringannya sampai timbul gejala klaudikasio yang moderat dan kemudian data ini
digunakan sebagai penentu dalam program latihan awal nantinya. Waktu dimana
pasien memulai latihan hingga timbul gejala klaudikasio yang pertama (disebut juga
pain-free walking time) dan waktu dimana pasien mulai berhenti melakukan latihan
akibat klaudikasio disebut sebagai durasi maksimal berjalan. Beban latihan yang
diberikan hingga munculnya klaudikasio dipertimbangkan sebagai beban latihan awal
dari program latihan. Adapun skala nyeri klaudikasio yang sering digunakan pada
beberapa trial dapat dilihat pada gambar 5. Nilai 1 = tidak nyeri, nilai 2 = onset awal
terjadinya nyeri, nilai 3 = nyeri ringan, nilai 4 = nyeri sedang dan nilai 5 = nyeri
hebat.22

Gambar 5. Skala nyeri klaudikasio.23


Tes 6 menit berjalan/6 minute walk test (6MWT) juga dapat digunakan
sebagai dasar pengkajian kapasitas fungsional awal namun lebih jarang digunakan
dibandingkan ujih latih treadmill untuk program latihan pada penderita PAP. Terakhir
yang juga penting pengkajian awal sebelum latihan lainnya termasuk evaluasi pada
kulit tungkai bawah dan kaki, serta menggunakan alas kaki yang sesuai dan nyaman
yang menghindarkan dari iritasi pada kulit. Penderita PAP juga meningkatkan resiko
untuk penyembuhan luka yang lama dan pengkajian ulang terhadap kulit dan kaki
sangatlah penting, terutama pada pasien diabetes dengan atau tanpa neuropati. Pasien
yang dengan alat bantu untuk berjalan seperti pasien stroke ataupun pasien dengan
neuropati lebih baik dirujuk ke terapis fisik untuk evaluasi tambahan dan pengobatan
lanjutan.22

Desain Program Latihan Fisik / Rehabilitasi Olahraga Pada Penderita PAP


Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya latihan fisik/rehabilitasi olahraga
merupakan salah satu elemen dari rekomendasi dari European Society of Cardiology
(ESC) dan American College of Cardiology and The American Heart Association
(ACC/AHA) untuk pengobatan klaudikasio. Program latihan olahraga, khususnya
disupervisi atau dibawah pengawasan, merupakan terapi lini pertama pada pasien
klaudikasio dengan rekomendasi kelas IA. Perannya terutama untuk mengurangi
gejala dan meningkatkan jarak berjalan.
Program latihan fisik/rehabilitasi olahraga khususnya disupervisi dilakukan
dengan format tiga kali per minggu, secara umum dalam program rehabilitasi
kardiovaskular dilakukan selama 12-14 minggu, dengan satu jam per sesi. Sesi latihan
60 menit termasuk pemanasan lima menit dan periode pendinginan lima menit.22
Program latihan fisik/rehabilitasi olahraga disupervisi difokuskan pada treadmill dan
latihan berjalan atau menaiki tangga (aktifitas menggunakan beban).11
Desain program latihan dengan menggunakan treadmill, intensitas latihan
awal ditentukan dengan tes teradmil atau evaluasi fungsional selama sesi latihan awal
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pada sesi awal, kecepatan awal di tetapkan
2 mil/jam (3.2 km/jam) sampai timbulnya rasa nyeri (skala dua pada skala nyeri
klaudikasio). Onset awal dari klaudikasio biasanya muncul pada tiga sampai lima
menit latihan. Beberapa penderita PAP mungkin tidak dapat mentoleransi kecepatan
treadmill yang di tetapkan sehingga perlu memulai program latihan pada kecepatan
yang lebih lambat. Setelah skala nyeri dua didapat, penderita PAP dianjurkan untuk
terus berjalan agar mencapai ke tingkat skala nyeri ringan sampai sedang (skala tiga
sampai empat pada skala nyeri klaudikasio). Setelah itu pasien berhenti dan duduk
beristirahat sampai rasa nyeri klaudikasio benar-benar mereda, kemudian melanjutkan
berjalan kembali.19,22 Dengan tujuan dari sesi latihan awal ini agar penderita PAP
mencapai waktu latihan 8 menit atau lebih dari total waktu treadmill, dengan target
awal per sesi 40% dari VO2R (oxygen consumption reserve) atau HRR (heart rate
reserve).3 Setelah penderita PAP dapat berjalan 8 menit atau lebih dan belum
mengeluhkan nyeri sedang (skala nyeri klaudikasio tiga sampai empat), maka
intensitasnya harus di tingkatkan baik dengan kecepatan atau kemiringan treadmill.
Hal ini dijelaskan pada gambar 6. Pola latihan-istirahat-latihan harus di ulang selama
sesi latihan sampai tujuan akhir sesi kumulatif latihan mencapai 50 menit termasuk
periode pemanasan dan pendinginan masing-masing lima menit sehingga total latihan
60 menit per sesi dengan target 60% dari VO2R atau HRR. Peningkatan intensitas
latihan harus dimulai pada sesi berikutnya (sesi lanjutan), sehingga penderita PAP
berjalan setiap sesinya dengan beban kerja yang konstan tanpa perubahan.
Penggunaan skala nyeri klaudikasio sangat penting untuk memantau latihan dan
peningkatan intensitas latihan19,22 Latihan dijalankan dibawah pengawasan atau
disupervisi dengan pengukuran objektif terhadap keluhan klaudikasio, jarak dan lama
berjalan maksimal, serta tanda-tanda iskemia miokard. Pengukuran tekanan darah,
denyut nadi, dan elektrokardiogram 12 lead sebaiknya dilakukan selama latihan.
Target program latihan adalah peningkatan jarak tempuh maksimal dan jarak berjalan
tanpa nyeri.14
Gambar 6. Peningkatan intensitas latihan menggunakan treadmill pada penderita PAP. 22

Suatu studi literatur dari database Cochrane memperlihatkan bahwa program


latihan diatas dua sesi perminggu selama 3-12 bulan menunjukkan peningkatan
kemampuan berjalan secara keseluruhan antara 50% sampai 200%. Meta analisis dari
21 uji random dan non-random menunjukkan peningkatan 179% jarak berjalan bebas
nyeri dan 122% jarak tempuh maksimal pada pasien klaudikasio yang menjalani
latihan fisik.31,32 Peningkatan ini tidak hanya ditemukan pada pasien simptomatis, na-
mun juga pada penderita PAP asimptomatis.33 Penelitian terbaru, CLEVER, yang
membandingkan antara farmakoterapi optimal, latihan disupervisi, dan revaskulariasi
endovaskuler memperlihatkan superioritas baik program latihan maupun
revaskularisasi terhadap farmakoterapi, dengan peningkatan bermakna terhadap
kemampuan berjalan pada grup yang menjalani latihan, serta dengan perbaikan
kualitas hidup secara umum yang lebih baik pada grup yang menjalani
revaskularisasi.11 Secara umum dapat digambarkan bahwa baik program latihan
maupun revaskularisasi dapat meningkatkan kapasitas ungsional dan memperbaiki

kualitas hidup penderita PAP.


Keterbatasan pada program latihan ini terutama diakibatkan oleh adanya
komorbiditas. Penyakit otot, sendi, dan saraf merupakan faktor penghambat untuk
latihan. Penyakit jantung ataupun paru kronik menurunkan kapasitas fungsional
sehingga pasien tidak dapat mencapai tingkatan latihan yang diharapkan. Kurangnya
kesediaan pasien untuk menjalani program latihan menyebabkan hasil yang latihan
yang tidak sesuai dengan data dari berbagai penelitian. Umumnya ini timbul karena
pasien tidak menganggap program latihan ini sebagai suatu terapi, namun hanya
sebagai program tambahan (adjuvant), sehingga tidak menimbulkan minat yang tinggi
untuk menyelesaikan program. Sementara program latihan akan lebih efektif jika
diimplentasikan jangka panjang.13 Walaupun program latihan fisik aman dan efektif
dilakukan pada sebagian besar penderita PAP dengan klaudikasio intermitten, ada
beberapa kondisi dimana latihan fisik dikontraindikasikan antara lain; angina pektoris
tidak stabil, gagal jantung dekompensata, aritmia yang tidak terkontrol, penyakit
jantung katup dengan gejala ataupun gejala yang berat dan CLI.22

Program Latihan Fisik/Rehabilitasi Olahraga Lainnya Pada Penderita PAP


Mirip dengan rehabilitasi jantung, program latihan dirumah sangat bervariasi
dan dapat berkisar dari sebuah program sederhana yang tanpa pengawasan seperti
berjalan sampai program latihan dirumah yang terukur dan dimonitor. ACC/ AHA
2005 pada praktek pedoman pengelolaan penderita PAP menyediakan rekomendasi
kelas IA untuk pelatihan olahraga disupervisi tapi hanya rekomendasi kelas IIB untuk
pelatihan tanpa pengawasan. Sedangkan ESC 2011 pada pedoman pengelolaan
penderita PAP merekomendasi kelas IA untuk pelatihan olahraga disupervisi tapi
hanya rekomendasi kelas IC untuk pelatihan tanpa pengawasan. Bila dibandingkan
dengan program latihan fisik/rehabilitasi olahraga disupervisi, program latihan
dirumah yang sederhana menghasilkan jarak berjalan yang lebih rendah pada
klaudikasio awal. Oleh karena itu, program latihan fisik/rehabilitasi olahraga
disupervisi tampak unggul dibandingkan program latihan dirumah. Mereka mencatat
bahwa ada keterbatasan bukti pendukung berdasarkan gejala untuk hanya menasihati
pasien untuk berjalan lebih mandiri, meskipun aktivitas fisik sehari-hari mungkin
meningkat dan memiliki manfaat kesehatan lainnya pada latihan tanpa pengawasan.
Perbedaan antara pelatihan disupervisi dan tanpa pengawasan mungkin terkait dengan
kepatuhan pasien yang lebih baik dan lebih besar intensitas latihan treadmill
dibandingkan dengan berjalan normal. Program latihan di rumah tanpa pengawasan
ini mungkin masih bermanfaat bagi mereka yang tidak dapat menghadiri program
latihan fisik/rehabilitasi olahraga disupervisi. Tetapi seharusnya tidak menjadi pilihan
pertama yang ditawarkan kepada penderita PAP.34
Walaupun treadmill dan berjalan adalah landasan dari program latihan bagi
penderita PAP dengan klaudikasio intermitten, karena sebagian besar bukti yang
tersedia menunjukkan bahwa bentuk latihan ini menginduksi perubahan fisiologis
yang diperlukan untuk mengurangi gejala klaudikasio. Hal ini membat latihan ini
sebagai rekomendasi untuk terapi latihan/rehabiitasi olahraga pada penderita PAP.
Namun ada beberapa sedikit bukti bahwa program latihan aerobik mungkin
bermanfaat sebagai salah satu modalitas program latihan dalam mengurangi gejala
klaudikasio. Ini termasuk pole striding (Langbein et al, 2002), pain-free treadmill
walking (Mika et. al, 2005) latihan aerobik menggunakan tangan (Walker et.al,
2002; Zwierska et. al, 2005; Treat-Jacobson, Bronas,and Leon, 2009) dan Leg
plantar flexion ergometer (Wang et. Al, 2008).22,27 Tetapi penelitian ini adalah
penelitian percontohan yang relatif kecil dan perlu replikasi dengan sampel yang lebih
besar untuk menjamin perubahan pedoman pada program latihan penderita PAP.
Ergocycle juga merupakan bentuk latihan yang aman dan banyak tersedia yang dapat
dilakuakn untuk meningkatkan kapasitas jantung paru pada pasien dengan
keterbatasan, walupun tidak dijumpai manfaat pada peningkatan kapasitas berjalan
pada penderita PAP.22
Kemudian latihan ekstermitas bawah dengan resistensi, hanya sedikit
peneltian yang telah meneliti secara sistematis hubungan resistensi latihan yang
konvensional pada kemampuan berjalan penderita PAP. Latihan ekstemitas bawah
dengan resistensi di kombinasikan latihan knee extension, leg press dan leg curl mulai
dari 50% dari satu kali pengulangan maksimum dapat meningkatkan jarak berjalan.
Namun pada penelitian ini (McDermott et. Al, 2009) latihan disupervisi lebih unggul
dibandingkan dengan laihan ekstermitas bawah dengan resistensi.33 Beberapa
penelitian saling berkebaliakn, dengan beberapa studi mengatakan tidak terdapat
peningkatan yang bermakna pada kemampuan berjalan penderita PAP dengan
resistensi, namun di lain studi mengatakan bahwa dijumpai 63% peningkatan
kemampuan berjalan yg berhubungan dengan resistensi. Sebuah penelitian acak
terkontrol membandingkan antara latihan berjalan treadmill dan resistensi latihan
memiliki pengaruh yang besar dalam peningkatan jarak 6 menit berjalan pada grup
latihan treadmill. Latihan resistensi pada intinya meingkatkan sedikit kapsitas berjalan
serta menurunkan resiko kardiovaskuler secara lebih baik pada pasien yang lebih tua.
Idealnya, paling sedikit 2 atau 3 sesi dalam seminggu paling tidak dilakukan latihan
resitensi.22,27

Program Pemeliharaan Latihan Fisik/ Rehabilitasi Olahraga Pada Penderita


PAP
Penderita PAP dengan klaudikasio intermitten harus terus latihan berjalan
rutin untuk mempertahankan manfaat yang diperoleh selama mengikuti program
latihan dibawah pengawasan atau disupervisi. Beberapa penderita PAP mungkin lebih
memilih untuk berolahraga di rumah, tapi banyak juga yang melanjutkan latihan
dalam program latihan dibawah pengawasan atau disupervisi untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik.22
Tidak ada pedoman khusus untuk transisi dari program dibawah pengawasan
atau disupervisi ke program latihan dirumah. Hal ini akan sangat tergantung pada
kemajuan, motivasi dan kenyamanan penderita PAP. Jika penderita PAP cukup
termotivasi untuk melanjutkannya sendiri serta tidak mampu lagi atau tidak bersedia
untuk menghadiri program latihan dibawah pengawasan, maka instruksi khusus harus
diberikan untuk menjamin kemajuan lebih lanjut atau pemeliharaan untuk program
latihan dirumah. Apakah peserta memilih untuk melanjutkan program latihan dibawah
pengawasan atau latihan di rumah, penting bahwa penderita PAP harus melakukan
olahraga teratur seumur hidup.22
Kesimpulan
Penyakit pembuluh darah khususnya PAP merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas. Hal ini menjelaskan bahwa PAP sudah sering terjadi dan
semakin meningkat secara prevalensi. Pasien yang tidak memiliki gejala khas dan
asimtomatik sering tidak terdeteksi. Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan
dengan berbagai modalitas, dimana pemeriksaan noninvasif lebih dipilih dari invasif
karena lebih aman. Pemeriksaan noninvasif terdiri dari yang paling sederhana seperti
ABI, segmental limb pressure, duplex ultrasound sampai pemeriksaan dengan
teknologi tinggi seperti MRA dan CTA. Adapun peranan latihan fisik pada penderita
PAP dengan klaudikasio intermitten sebagai alat diagnostik maupun rehabilitasi.
Program rehabilitasi kardiovaskular yang komprehensif harus mencakup
komponen berikut: (1) pengkajian kondisi dan riwayat medis pasien, (2) edukasi dan
konseling faktor risiko, (3) upaya pengontrolan faktor risiko: modifikasi gaya hidup
kearah hidup sehat dan pengobatan yang diperlukan, (4) program latihan fisik dan
konseling aktifitas fisik. Rehabilitasi komprehensif memiliki manfaat yang besar pada
penderita PAP dengan mempertahankan ataupun meningkatkan kapasitas fungsional
dan menurunkan angka kejadian kardiovaskuler.
Latihan fisik/ rehabilitasi olahraga disuprvisi memainkan peranan penting
sebagai terapi primer pada penderita PAP, dengan tujuan meningkatkan kapasitas
fungsional dan kualitas hidup, terutama untuk manajemen jangka panjang. Program
latihan fisik/ rehabilitasi olahraga disuprvisi, sebagai kombinasi terhadap
farmakoterapi optimal dan revaskularisasi, merupakan standar terapi yang
direkomendasikan untuk penserita PAP.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO. Braunwald's heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine: Elsevier Health Sciences; 2014. page
1338-1351
2. Hiatt WR. Atherosclerotic peripheral arterial disease. In: Arend WP, editors.
Cecil Medicine,23rd. New York: Elsevier; 2008.
3. Brawner CA et al. Exercise Prescription for Patients with Comorbidities and
Other Chronic Diseases: ACSM Resource Manual for Guidelines for
Exercise Testing and Prescription, 7th ed. Philadelphia; lippincott Williams &
Wlikin; 2014.
4. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, Nehler MR, Harris KA, Fowkes FG, et
al. TASC II Inter-society consensus for the management of peripheral arterial
disease. Eur J Vasc Endovasc Surg 2007;33(1):S1-75.
5. Gornik HL, Becman JA. Peripheral arterial disease. Circulation. 2005;
111(13): e 169-e72.
6. Fowkes FG, Rudan D, Rudan I, et al. Comparison of Global Estimates of
Prevalence and Risk Factors for Peripheral Artery Disease in 2000 and 2010.
Lancet 2013; 382: 1329-40.
7. Ostchega Y, Paulose-Ram R, Dillon CF, et al. Prevalence of Peripheral
Arterial Disease and Risk Factors in Persons Aged 60 and Older: Data from
the National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2004. J Am
Geriatr Soc 2007; 55: 583-9.
8. Mardiansyah. Data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Jakarta; 2012
9. White, C. Intermitten claudication. NEJM 2007; 356:1241-1250.
10. T. Coutinho, T. W. Rooke and I. J. Kullo, "Arterial Dysfunction and
Functional Performance in Patrients with Peripheral Artery Disease: A
Review," The Journal of Vascular Medicine, vol.16, no. 3, pp. 203-211,2011.
11. Murphy TP, Cutlip DE, Regensteiner JG, Mohler ER, Cohen DJ, Reynolds
MR, et al. Supervised exercise versus primary stenting for claudication
resulting from aortoiliac peripheral artery disease : six-month outcomes from
the claudication: exercise versus endoluminal revascularization (CLEVER)
study. Circulation 2012; 125-139.
12. Stewart KJ, Hiatt WR, Regensteiner JG, Hirsch AT. Exercise training for
claudication. NEJM 2001;347(24);1941-1950.
13. Tendera M, Aboyans V, Bartelink M-L, Baumgartner I, Clement D, Collet J-
P, et al. ESC guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral arterial
diseases. European Heart Journal 2011;32(22):2851-2906.
14. Elfi, Eka Fithra. Peran Latihan Disupervisi pada Pasien Dengan Penyakit
Arteri Perifer Ekstremitas Bawah. Majalah Kedokteran Andalas. 2014;
37(2):197-201.
15. Radi B, H. Joesoef A, Kusmana D. Rehabilitasi Kardiovaskular Di Indonesia.
Jurnal kardiologi Indonesia. J Kardiol Indones. 2009; 30:43-5
16. Sidney C. Smith, Jr et. al. AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk
Reduction Therapy for Patients With Coronary and Other Atherosclerotic
Vascular Disease: 2011 Update: A Guideline From the American Heart
Association and American College of Cardiology Foundation, Circulation.
2011;124:2458-2473
17. Mathes P. From Exercise Training to Comprehensive Cardiac Rehabilitation.
In: Perk J, Mathes P, Gohlke H, Monpre C, Hellemans I, McGee H, et al.,
editors. Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. London: Springer-
Verlag; 2007. p. 3-8.
18. Ouriel K. Detection of peripheral arterial disease in primary care. Jama.
2001;286(11):1380-1.
19. J. C. Stanley, f. J. Veith and T. W. Wakefield, "Exercise in Peripheral Arterial
Disease," Current Therapy in Vascular and Endovascular Surgery, Fifth
Edition, pp. 601-606, 2014.
20. P. Sheedhan, M. Edmonds, J. L. Januzzi Jr., J. Regensteiner, L. Sanders and
M. Sykes, "Peripheral Arterial Disease in People with Diabetes," American
Diabetes Association, vol. 26, no. 12, pp. 3333- 3340, 2003.
21. Hiatt WR, Brass EP: pathophysiology of intermitten claudication. In Creager
MA, Dzau VJ, Loscalzo J(eds): Vascular Medicine. Philadelphia, Elsevier
Health Sciences; 2006
22. Vascular Disease Foundation (VDF) and the American Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation (AACVPR). PAD EXERCISE
TRAINING TOOLKIT: A guide for healthcare professionals. Washington;
2014.
23. Coffman JD, Eberhardt RT, Cannon CP. Peripheral Arterial Disease: Springer
Science & Business Media; 2003.
24. A. T. Hirsch, Z. J. Haskal and N. R. Hertzer, "ACC/ AHA 2005 Guidelines for
the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower
Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal Aortic)," Journal of the
American College of Cardiology, pp. 1239-1312, 2006.
25. F. J. Khawaja and I. J. Kullo, "Novel Markers of Peripheral Arterial Disease,"
The Journal of Vascular Medicine, vol. 14, pp. 381-392, 2009.
26. Hamburg NM, Balady GJ. Exercise Rehabilitation in Peripheral Artery
Disease: Functional Impact and Mechanisms of Benefits. Circulation.
2011;123:87-97. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.109.881888
27. Wang E, Hoff J, Loe H et al. Plantar flexion: an effective training for
peripheralarterial disease. Eur J Appl Physiol 2008; 104:749756.
28. Gadner AW. Exercise rehabilitation for peripheral artery disease:An
exercise physiology perspective with special emphasis on the emerging trend
of home-based exercise: Hans Huber Publishers Vasa 2015; 44: 405 417
29. Askew CD, Parmenter B, Leight AS, Walker PJ, Golledge J. Exercise &
Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise prescription
for patients with peripheral arterial disease and intermittent claudication.
Journal of Science and Medicine in Sport.2013.
30. Anderson JL, Halperin JL, Albert NM et al. Management of patients with
peripheral artery disease (compilation of 2005 and 2011 ACCF/AHA
guideline recommendations): a report of the American College of Cardiology
Founda-tion/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Circulation 2013; 127:14251443
31. Watson L, Ellis B, Leng GC. Exercise for intermitten claudication. Cochrane
Database Syst Rev 2008;4:1-55.
32. Gardner AW, Poehlman ET. Exercise rehabilitation programs for the
treatment of claudication pain: a meta-analysis. JAMA 1995;274:975-80.
33. McDermott MM, Ades P, Guralnik JM, et al: Treadmill exercise and
resistance training in patients with peripheral arterial disease with and without
intermittent claudication: a randomized controlled trial. JAMA 2009;301:165-
170.
34. Gardner and D. Parker et al, "Efficacy of quantified Home-Based Exercise and
Supervised Exercise in Patients with Intermittent Claudicaton," Circulation,
vol. 123, pp. 491-498, 2011.

Anda mungkin juga menyukai