Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular dewasa ini menjadi masalah global khususnya


sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. World Health Asociation (WHO)
pada tahun 2008 menyebutkan 7,2 juta (12,2%) kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Setiap tahun di Amerika Serikat kira-
kira 478.000 orang meninggal dunia karena serangan jantung dari 1,5 juta orang
yang mendapat serangan jantung.1 Di Indonesia sendiri menurut survey rumah
tangga Depkes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25% akibat serangan
jantung. Sementara itu pada tahun 2008 terdapat 2446 kasus, tahun 2009 terdapat
3862 kasus, dan pada tahun 2010 terdapat 2529 kasus yang didiagnosa Acute
Coronary Syndrome (ACS) di UGD (Unit Gawat Darurat) Pusat Jantung dan
Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita Jakarta.2
Berkat kemajuan teknologi dan program rehabilitasi jantung penyakit ini
dapat di terapi, juga dapat dilakukan tindakan pencegahan terhadap serangan
ulang. Tujuan dari program rehabilitasi jantung ini adalah untuk memfasilitasi
proses recovery pasca serangan jantung dan memungkinkan pasien untuk
meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik, disamping itu rehabilitasi juga
sebagai sarana untuk pencegahan penyakit kardiovaskular.3 Manfaat komprehensif
dari program rehabilitasi jantung diantaranya adalah, manfaat fisik (meningkatkan
toleransi aktivitas, meningkatkan kekuatan otot, menurunkan simtomatis,
menurunkan morbiditas, menurunkan mortalitas, dan memperlambat proses
atherosklerosis), manfaat terhadap faktor resiko (mengurangi rokok, memperbaiki
kadar lemak, menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah), manfaat
psikososial dan manfaat pembiayaan.4
Tes latih merupakan salah satu komponen kunci untuk menilai performa
pasien saat permulaan dan setelah menjalani perawatan pada program rehabilitasi
jantung.1 Dalam perkembangannya ada banyak peralatan yang tersedia untuk
menilai secara objektif kapasitas tes seseorang. Beberapa tes menyediakan
pengukuran yang sangat lengkap dari semua sistem yang terlibat dalam tes,
sedangkan yang lainnya ada yang secara sederhana dan mudah untuk dilakukan. 5
Secara umum peralatan yang digunakan pada tes latih jantung adalah treadmill
maupun sepeda ergometer yang memakai tingkatan dalam prosedur

1
pelaksanaannya. Tes latih yang maksimal dapat menentukan diagnosis, prognosis
dan kebutuhan tes secara tepat pada penderita penyakit kardiovaskular. Namun tes
latih seperti ini membutuhkan fasilitas khusus, peralatan dan tenaga terlatih, yang
tentunya memerlukan jumlah dana yang relatif besar dan sering tidak dapat
dipenuhi oleh institusi dengan fasilitas dan dana terbatas.6 Tes latih yang sangat
popular digunakan sesuai urutan kompleksitasnya adalah stair climbing, Six
minute walk test (6WMT), shuttle walk test, exrecise induced asthma, cardiac
stress test (Bruce protokol), cardio-pulmonary exercise test.5,6,7,8,9
Pada tahun 1960an, Balke membuat suatu tes sederhana untuk menilai
kapasitas tes seseorang dengan mengukur jarak tempuh berjalan dalam rentang
waktu tertentu, rentang waktunya selama 12 menit untuk mengukur jarak tempuh
berjalan pada individu sehat. Tes ini kemudian diadopsi untuk melihat kelainan
pada penderita dengan kelainan paru yaitu bronkitis kronis, waktu 12 menit ini
ternyata dirasakan terlalu lama dan melelahkan bagi penderita penyakit
pernafasan, sehingga digantikan dengan tes berjalan selama 6 menit dengan
efektifitas pengukurannya sama seperti tes sebelumnya. 6MWT ini dipandang
mudah dilakukan, dapat ditoleransi lebih baik, dan mencerminkan aktifitas harian
dibandingkan tes berjalan yang lain.10 Tes submaksimal dengan menggunakan
6MWT sekarang banyak digunakan di beberapa rehabilitasi jantung yang berguna
untuk menilai kapasitas fungsional, prognosis, dan menentukan program
rehabilitasi selanjutnya. 6MWT saat ini banyak dipakai untuk pasien dengan
penakit kardiovaskular, penyakit paru sebagai penanda berat ringannya penyakit.7

PENYAKIT JANTUNG KORONER


Insidensi penyakit jantung koroner (PJK) semakin meningkat pada
masyarakat modern karena adanya perubahan pola makan, gaya hidup, dan
aktivitas. Penyakit jantung koroner disebabkan oleh kelainan metabolisme lipid,
koagulasi darah, serta keadaan biofisika dan biokimia dinding arteri. Kondisi
patologis yang terjadi ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan
lemak dan jaringan fibrosa pada dinding pembuluh darah sehingga mengakibatkan
perubahan struktur dan fungsi arteri (aterosklerosis) serta penurunan aliran darah
ke jantung. Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit di

2
arteri koronaria yang paling sering ditemukan. Price dan Wilson menjelaskan
bahwa aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam
arteri koronaria sehingga mempersempit lumen pada arteri-arteri otot dan jaringan
elastis secara progresif. Penyempitan lumen ini terjadi pada aorta (menyebabkan
aneurisma), arteri poplitea, dan femoralis (menyebabkan penyakit pembuluh darah
perifer), arteri karotis (menyebabkan stroke), arteri renalis (menyebabkan
penyakit jantung iskemik atau infark miokardium).11 Manifestasi klinis PJK yaitu
asimptomatik, angina pektoris, infark miokardium akut, dekompensasi kordis,
aritmia jantung, kematian mendadak, dan sinkop. Manifestasi klinis yang klasik
dari PJK yaitu angina pektoris yang timbul akibat iskemik miokardium.12
Angina pektoris ditandai gejala yang khas yaitu nyeri dada dan dapat
menyebabkan disritmia atau berkembang menjadi infark miokardium. Angina
Pektoris merupakan keadaan iskemik miokardium karena kurangnya suplai
oksigen ke sel-sel miokardium akibat penyumbatan arteri koroner, peningkatan
beban kerja jantung, dan menurunnya kemampuan darah mengikat oksigen. Price
dan Wilson menjelaskan bahwa iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit
akan menyebabkan kerusakan sel ireversibel serta nekrosis atau kematian
miokardium (infark miokardium). Keadaan infark atau nekrosis otot jantung
permanen disebabkan karena kurangnya suplai darah dan oksigen pada miokard
akibat sumbatan akut arteri coroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh
ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya
thrombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal.11
Terkadang sumbatan juga disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli, atau
vaskulitis.
Penatalaksanaan medis PJK secara umum dilakukan dengan terapi
farmakologik dan revaskularisasi miokardium. Tindakan revaskularisasi yang
telah terbukti baik pada PJK stabil yang disebabkan oleh aterosklerotik primer
yaitu tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft) dan tindakan
PCI (Percutaneous Coronary Intervention).12 Pasien dengan penyakit jantung
koroner memerlukan program rehabilitasi yang komprehensif untuk
mengembalikan kemampuan fisik pasca serangan serta mencegah terjadinya
serangan ulang, program-program tes fisik dan psiko-edukasi dapat membantu

3
menurunkan mortalitas penyakit jantung dalam jangka waktu yang lama,
mengurangi kambuhnya miokard infark, dan memperbaiki faktor-faktor risiko
utama penyakit jantung.11,12

REHABILITASI JANTUNG
Menurut American Association of Cardiovascular and Pulmonary
Rehabilitation (AACPR), rehabilitasi jantung adalah suatu usaha untuk
memulihkan dan mempertahankan status fisiologis, psikologis, sosial, vocasional
dan emosional penderita dengan penyakit kardiovaskular (termasuk tetapi tidak
terbatas pada pasien dengan penyakit jantung koroner) seoptimal mungkin.
Rehabilitasi merupakan upaya untuk meningkatkan kondisi fisik, mental dan
sosial ke taraf yang setinggi mungkin atau mendekati sebelum sakit. Tujuan
rehabilitasi jantung terutama pada paska sindroma koroner akut adalah untuk
optimalisasi farmakoterapi, mencegah komplikasi akibat immobilisasi,
meningkatkan kapasitas tes, memperbaiki dan evaluasi status mental pasien,
evaluasi status klinis pasien, menetapkan program rehabilitasi jantung fase II.13

Six Minutes Walk Test

6WMT merupakan tes sederhana dan praktis, yang dilakukan pada akhir
fase I dengan tujuan untuk menilai kapasitas fungsional. 6MWT disebut tes
sederhana karena hanya memerlukan jalur sepanjang 100 kaki (30 meter) tidak
memerlukan peralatan tes yang rumit maupun tenaga pegawas yang sarat
pengalaman dan tes khusus. Tes ini pada prinsipnya mengukur jarak yang dapat
ditempuh pasien dengan berjalan pada jalur datar dan permukaan keras dalam
waktu 6 menit. Tes ini secara keseluruhan mengevaluasi respon semua sistem
organ yang terlibat selama tes termasuk sistem paru, jantung dan sirkulasi, darah,
neuromuskular dan metabolisme otot. Tes ini tidak memberikan informasi
spesifik mengenai fungsi tiap organ yang terlibat ataupun mekanisme terjadinya
keterbatasan aktifitas, yang mana hal ini dapat dihasilkan dari tes sistem
kardiopulmonal yang maksimal.5,6,7,8,9,10
Menurut Pollentier, et al (2010) kapasitas fungsional seseorang ditentukan
oleh konsumsi oksigen maksimal. Dalam praktek di rumah sakit, konsumsi

4
oksigen maksimal ini sulit untuk di ukur. 6MWT merupakan salah satu alternatif
untuk meng kapasitas fungsional secara tidak langsung. Menurut Solway, et al
(2001) 6MWT ini mudah dilakukan, dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien
dan lebih merefleksikan aktivitas sehari hari dari alat ukur lain. Menurut Zugck,
et al (2000) nilai koefisien reliabilitas alpha instrument ini adalah 0,96. 6MWT
digunakan atas rekomendasi dari ACPICR(2006).14
Tes ini mengukur kapasitas fungsional dibawah kondisi maksimal yang
dipunyai pasien. Sebagian besar pasien tdak mencapai kapasitas fungsinal
maksimal saat tes 6mwt. Karena pasien sendiri yang menetukan kecepatan
berjalannya, pasien diperbolehkan berhenti atau istirahat selama tes. Meskipun
demikian sebagian besar aktivitas yang dilakukan sehari hari dilakukan dalam
kondisi dibawah kapasitas fungsional maksimal, sehingga 6MWT merefleksikan
level fungsi aktivitas sehari hari dengan baik.15
Menurut hasil review sistematis yang dilakukan oleh Pollentier, et al
(2010) tentang examination of the 6MWT to determine functional capacity in
people with chronic heart failure menyatakan bahwa korelasi antara 6MWT
dengan konsumsi oksigen maksimal (VO2max) adalah sedang-kuat. 6MWT
mempunyai akurasi antara 83% sampai 91% untuk memprediksi VO2max. 6MWT
sangat sesuai untuk alat ukur dalam pemantuan serial atau respon terhadap suatu
intervensi. 6MWT hampir selalu dilakukan sebelum dan setelah intervensi dan
digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah setelah tes dilakukan terdapat
peningkatan kapasitas fungsionalnya. Hasil penelitian terbaru merekomendasikan
hasil 6MWT diberikan dalam bentuk nilai mutlak dalam satuan meter.5
Saat tes fisik, kebutuhan metabolik jaringan tubuh meningkat. Di saat
yang sama kebutuhan oksigen dan nutrisi untuk jaringan juga mengalami
peningkatan dan di sisi lain banyak kebutuhan karbondioksida, toksin dan produk
lain yang tidak diperlukan dibuang. Pada orang sehat kondisi ini dikompensasi
dengan peningkatan cardiac output, bisa sampai 6 kali lipat kondisi istirahat. Tes
fisik ini mencapai puncaknya Pada kondisi maksimal dalam pengambilan oksigen,
yang dikenal dengan VO2max. pada saat 80-90% dari VO2max dibentuk
karbondioksida secara berlebihan, terjadi metabolisme otot anaerob produksi
asam laktat yang menghasilkan kelelahan berlebih.16,17

5
Indikasi 6MWT
Indikasi utama 6MWT adalah untuk mengukur respon pasien terhadap
pengobatan pada keadaan penyakit jantung atau paru tingkat sedang maupun
berat. Tes ini juga telah digunakan sebagai pengukuran tunggal kapasitas
fungsional pasien sebagai prediktor untuk morbiditas dan mortalitas. Indikasi lain
dapat dilihat pada Tabel 1.5
Tabel 1. Indikasi 6MWT
Pretreatment and Functional status Predictor of morbidity
Posttreatment and mortality
comparisons
Lung transplantation COPD Heart failure
Lung resection Cystic fibrosis COPD
Lung volume reduction Heart failure Primary pulmonary
surger hypertension
Pulmonary rehabilitation Peripheral vascular
disease
COPD Fibromyalgia
Pulmonary Hypertension Older patients
Heart failure
Crapo RO, Casaburi R, Coates AL et al. ATS Statement: Guidelines for Six-Minute Walk Test.
Am J Respir Crit Care Med 2002; 166: 111-117

Tes latih jantung maksimal memberikan informasi tentang respon tes,


gangguan kapasitas tes, menentukan intensitas yang diperlukan untuk
memperpanjang tes, menilai faktor-faktor yang menyebabkan keterbatasan tes,
dan menjelaskan mekanisme patofisiologi yang mendasari keterbatasan tersebut
misalnya organ apa aja yang terlibat.5 6MWT tidak menilai peak oxygen uptake,
penyebab dyspnea on exertion, atau mengevaluasi penyebab keterbatasan tes.
Hasil atau informasi yang didapat dari 6MWT harus dipertimbangkan sebagai
pelengkap dan bukan pengganti tes latih jantung maksimal. Meskipun didapati
perbedaan mendasar dari kedua tes ini, beberapa penelitian mengenai korelasi
antara keduanya telah dilaporkan. Misalnya, korelasi signifikan (r = 0,73) antara

6
6MWT dan peak oksigen uptake telah dilaporkan pada penderita penyakit paru
stadium akhir.5
Pada beberapa keadaan klinis tertentu , 6MWT memberikan informasi
yang lebih baik terhadap index kemampuan penderita untuk melakukan aktifitas
harian dibandingkan peak oxygen uptake. 6MWT berkorelasi lebih baik dengan
pengukuran kualitas hidup. Perubahan pada 6MWT setelah mendapat pengobatan
berkorelasi dengan perbaikan dyspnea secara subjektif. Reprodubilitas 6MWT
lebih baik daripada reprodubilitas uji forced expiratory volume 1 detik pada
pasien COPD ( koefisien reprodubilitas 8 %). Penilaian kapasitas fungsional tes
ini lebih baik dibandingkan dengan penilaian dengan kuisoner. 6MWT menurut
American College of Sports Medicine (ACSM), perhitungan kebutuhan oksigen
untuk berjalan 0,1 ml/kg/min dan pengukuran ini akurat untuk 50-100m/min.18

Kontraindikasi 6MWT
Menurut pernyataan dari American Thoracic Society (ATS) kontraindikasi
absolut tes ini adalah: angina tidak stabil (UAP) dan infark miokardium akut.
Kontraindikasi relatif adalah denyut jantung (HR) saat istirahat lebih dari 120 kali
permenit, tekanan darah sistolik lebih dari 180 mmHg, dan diastolik lebih dari
100 mmHg. Pasien dengan kelainan seperti ini harus dirujuk kepada dokter ahli
untuk mengawasi tes tersebut. Hasil dari EKG saat istirahat dari 6 bulan
sebelumnya harus dievaluasi. Angina exertional yang stabil bukan merupakan
kontraindikasi absolut tes ini, namun tes dilakukan setelah pasien mengkonsumsi
obat antiangina, dan harus tersedia nitrat untuk keadaan darurat. 5,6,7,8,20,21,22,23.

Pasien dengan faktor resiko diatas dikatakan mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya aritmia atau masalah kardiovaskular selama menjalani tes.
Kontraindikasi ini telah digunakan oleh para peneliti berdasarkan keinginan
mereka untuk keamanan dan keinginan untuk mencegah kemungkinan buruk pada
penderita saat melakukan 6MWT. Kapan terjadinya resiko tersebut belum
diketahui sehingga resikoresiko tersebut menjadi relatif.5,6,7,8
Prosedur keamanan dalam melakukan 6MWT yaitu tes ini harus dilakukan
di lokasi dimana jika terjadi keadaan gawat darurat dapat diberikan respon
pertolongan yang cepat dan tepat (misalnya dalam lorong/aula rumah sakit atau

7
klinik), harus tersedia oksigen, nitrat sub lingual, aspirin, dan albuterol
(nebulizer). Saluran telepon hendaknya tersedia untuk melakukan panggilan
darurat, petugas pengawas harus telah mendapat sertifikat dalam penangangan
gawat darurat jantung paru setidaknya tingkat Basic Life Support ataupun ACLS,
jika pasien sebelumnya dengan terapi oksigen, maka oksigen tetap harus diberikan
sesuai dengan keadaan penyakitnya, pengawasan dari dokter umumnya tidak
diperlukan, namun dalam kasus tertentu perlu didampingi oleh dokter sampai tes
selesai.5,6,7,8
Tes ini dihentikan sesegera mungkin bila terdapat keluhan-keluhan sebagai
berikut, nyeri dada, sesak nafas intolerable, kram otot kaki, sempoyongan,
keringat dingin, pucat. Pengawas lapangan harus dilatih untuk mengenali keadaan
diatas dan segera memberikan respon yang tepat jika hal ini muncul. Jika tes
dihentikan karena salah satu alasan ini, pasien segera didudukkan atau
dibaringkan dan beri oksigen segera. Setelah itu segera lakukan pengukuran
tekanan darah, hitung denyut nadi, ambil saturasi oksigen, dan panggil dokter
pengawas.5,6,7

Teknik Pelaksanaan 6MWT


Lokasi tes ini hendaknya di dalam ruangan tertutup (indoor), dilakukan
pada koridor yang panjang, datar dan lurus dengan permukaan yang keras dan
jarang dilalui orang. Menurut beberapa pusat rehabilitasi jantung, tes ini dapat
dilakukan di ruang terbuka jika cuaca dalam keadaan baik. Panjang rute jalan
setidaknya 30 meter (100 kaki). Tiap 3 meter dari koridor hendaknya diberi tanda.
Titik putaran biasanya ditandai dengan kerucut orange. Titik awal yang
menandakan permulaan dan akhir yang mempunyai jarak 60 meter hendaknya
ditandai dengan warna cerah.5,6,7,8,13 Beberapa pusat rehabilitasi jantung dinegara
maju seperti Amerika dan Eropa menganjurkan adanya peralatan pendukung
dalam pelaksanaan tes latih ini, diantaranya yang dipandang sebagai standar yaitu
stopwatch, mechanical lap counter, 2 buah pembatas/kerucut untuk menandai titik
putar, kursi yang mudah dipindahkan sepanjang rute jalan, worksheet (contoh
dapat diliha pada Gambar 1), sumber oksigen, sphygmomanometer, telepon,
automated electrical defibrillator.5

8
Tidak ada persiapan khusus terhadap pasien yang diperlukan dalam
pelaksanaan tes ini, seperti tidak perlu dilakukan periode warm-up sebelum
memulai tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pasien sebelum pelaksanaan tes
ini adalah sebagai berikut yaitu pakaian yang nyaman, sepatu/alas kaki yang
sesuai, obat-obatan yang biasa digunakan tetap dikonsumsi, makan ringan pagi
atau sore sebelum dilakukan tes, pasien tidak melakukan aktifitas berat 2 jam
sebelum memulai tes.5 Jika perlu dilakukan pengulangan latihan hendaknya
dilakukan pada waktu yang sama dengan hari sebelumnya, untuk mengurangi
intraday variability.
Prosedur Pelaksanaan 6MWT melalui beberapa tahap, pasien hendaknya
duduk dikursi yang dekat dengan titik awal selama 10 menit, dilakukan
pemeriksaan apakah ada kontraindikasi, pengukuran denyut nadi dan tekanan
darah, pastikan bahwa pakaian dan sepatu sudah tepat bagi pasien, melengkapi
bagian pertama dari worksheet. Jika ada pulse oxymeter ukur dan rekamlah
denyut jantung dan saturasi O2 saat baseline. Minta pasien berdiri dan catat
tingkat dispnea dengan memakai skala Borg (lihat Tabel 2) sebelum memulai tes.
Atur penghitung putaran pada posisi nol dan timer untuk 6 menit, berikan
instruksi pada pasien untuk berjalan selama 6 menit dan tidak boleh berlari, pasien
dapat memperlambat jalannya, berhenti atau istirahat jika perlu. Bila perlu,
contohkan pada pasien satu putaran. Posisikan pasien pada garis start, pengawas
harus berdiri dekat garis start selama tes, jangan berjalan bersama pasien. Segera
setelah pasien mulai berjalan hidupkan timer. Jangan berbicara kepada siapapun
selama tes. Perhatikan pasien dan jangan lupa untuk menghitung putaran yang
telah dilalui. Pengawas dapat memberikan dorongan semangat pada pasien tetapi
bukan dorongan untuk mempercepat langkahnya. Beritahu waktu tes setiap menit
ke 2, 4 dan 6 (berhenti). Setelah 6 menit, catat tingkat dipsnea dan kelelahan pasca
latihan dengan skala Borg, jika memakai pulse oxymeter, ukur SpO2 dan jumlah
pulse kemudian lepas sensor, catat jumlah putaran dan berapa jauh jarak tempuh
yang dicapai, berikan ucapan selamat pada pasien atas usahanya dan tawarkan
untuk minum segelas air putih.5,6,7,8

9
Gambar 1. Worksheet 6MWT.

Crapo RO, Casaburi R, Coates AL et al. ATS Statement: Guidelines for Six-Minute Walk Test.
Am J Respir Crit Care Med 2002; 166: 111-117

Tabel 2. Borg Scale


Skore Pengerahan Tenaga yang dirasakan
6
7 Sangat, sangat ringan
8
9 Sangat ringan
10
11 Agak ringan
12
13 Agak sedikit berat
14
15 Berat
16
17 Sangat berat
18
19 Sangat, sangat berat
20

Jonathan R MoldoverMD, Matthew N. Barthels MD. Cardiac Rehabilitation, In Braddom Rl


Editor. Physical Medicine and Rehabilitation, 2 nd Ed, WB Saunders Co. Philadelphia; 2002;
665-84.

10
Interpretasi Hasil dan Manfaat Klinis 6MWT
Dalam pengalaman klinis sehari-hari, kebanyakan tes ini dilakukan
sebelum dan sesudah pasien mendapat pengobatan, untuk menjawab pertanyaan
apakah pasien mengalami perbaikan yang signifikan setelah pengobatan. Dengan
kualitas prosedure yang baik diketahui tes ini mempunyai angka reprodubilitas
yang baik. Namun sampai saat ini belum diketahui hasil yang bagaimana yang
paling baik untuk menilai respon pengobatan.5,6,7 Pada studi oleh Bitter dkk,
pasien penyakit jantung yang menjalani program rehabilitasi didapati peningkatan
jarak tempuh 6MWT rata-rata 170 meter (15%). Debock dkk,mendapati pada 25
pasien tua yang menggunakan ace-inhibitor didapati peningkatan jarak rata-rata
64 meter dibandingkan yang memakai plasebo.6
Belum ada kesepakatan yang menyatakan berapa nilai normal jarak
tempuh 6MWT pada populasi sehat. Miyamoto dkk, menyatakan median 6MWT
adalah berkisar 580 meter pada 117 pria sehat dan 500 meter pada 173 wanita
sehat. Studi lain menyatakan rata-rata jarak tempuh adalah 630 meter pada 51
dewasa sehat. Perbedaan pada populasi sampel, jenis dan frekuensi motivasi saat
latihan , panjang koridor, jumlah latihan pendahuluan akan menyebabkan
perbedaan hasil tes. Umur, berat badan, tinggi badan dan jenis kelamin secara
bebas akan mempengaruhi hasil 6MWT pada orang dewasa sehat. Sehingga faktor
faktor ini harus dipertimbangkan ketika melakukan interpretasi hasil pada
pengukuran tunggal yang dibuat untuk menentukan kapasitas fungsional
seseorang.5,6,7
Ketika 6MWT hasilnya menurun harus dilakukan pencarian secara
menyeluruh terhadap segala kemungkinan faktor penyebabnya. Tes berikutnya
mungkin dapat menolong seperti: fungsi paru, fungsi jantung, ankle-warm index,
kekuatan otot, status gizi, fungsi ortopedi dan fungsi kognitif.20,21,22,23 Pada
penelitian yang dilakukan Nury Nusdwinuringtyas dkk, rumus penilaian prediksi
jarak tempuh pada 6MWT dengan nilai antropologi Indonesia lebih sesuai
digunakan di Indonesia.27
586.254 + 0.622 BW (kg) 0,265 BH (cm) 63.343 gender* + 0.117 age
* 0= male; 1= female

11
Tabel 3. Hasil rata- rata 6MWT yang didapat pada orang tua
Jarak rata-rata(meter) terhadap usia dan jenis kelamin
Usia Male Female
60-69 572 m 538 m
70-79 527 m 471 m
80-89 417 m 392 m
Steffen T M, Hacker T A, Mollinger L. Age and Gender-Related test performance in Community-
Dwelling Elderly People: Six-Minute Walk Test, Berg Balance, times Up & Go test, and Gait
Speeds. Physical Therapy J. 2002. 128-37

Tabel 4. Level METs pada ADL dan aktivitas avokasional

Jonathan R MoldoverMD, Matthew N. Barthels MD. Cardiac Rehabilitation, In Braddom Rl


Editor. Physical Medicine and Rehabilitation, 2 nd Ed, WB Saunders Co. Philadelphia; 2002; 665-
84.

Table 5. Stratifikasi Resiko dan Karakteristiknya


Tingkat Karakteristik
Resiko
Rendah o Perjalanan klinis di rumah sakit tidak mengalami komplikasi
o Tidak ada disfungsi LV yang signifikan (EF 50 %)
o Tidak ada tanda iskemia miokard (angina dan atau perubahan segmen ST)
o Tidak ada aritmia
o Kapasitas fungsional 6 - 7 METs

Sedang o Penurunan fungsi LV ringan sampai moderat (EF = 35 % 49 %)


o Terdapat tanda iskemia miokard (depresi segmen ST 2 mm, flat atau
downsloping)
o Defek Thalium yang reversibel
o Perubahan pola dari atau timbulnya angina pektoris baru

12
o Kapasitas fungsional < 5 6 METs

Tinggi o Mengalami sindroma gagal jantung kongestif selama di rumah sakit


o Adanya infark miokard sebelumnya atau infark mengenai 35 % LV
o Penurunan fungsi ventrikel berat (EF< 35 % saat istirahat)
o Aritmia ventrikel saat istirahat atau setelah latihan
o Penurunan TD sistolik atau TD sistolik gagal meningkat > 10 mmHg selama
ETT
o Iskemia miokard berat (depresi segmen ST > 2 mm pada HR puncak 135 kali/
menit)
o Kapasitas fungsional < 3 - 5 METs (dengan respons TD hipotensif atau depresi
segmen ST 1 mm)

Jafri I, Cucurullo I S. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review, Demos Medical Pub,
New York: 2004: 610-28.

Peak Oksigen Uptake, Kapasitas Paru dan 6MWT


Kapasitas fungsional sering dinyatakan dengan VO2 puncak selama tes
latihan yang maksimal. Puncak VO2 merupakan indikator yang kuat dalam
menentukan keparahan gagal jantung, dan juga sebagai prediktor bebas terhadap
kematian.3 Puncak VO2 yang dinilai selama 6MWT juga menunjukkan
reprodubilitas dan akurasi yang sama ketika dibandingkan dengan tes berjalan lain
(shuttle walk test). Rata-rata puncak VO2 lebih tinggi 10-20 % pada latihan
maksimal dibandingkan latihan submaksimal. Pada penderita dengan paska akut
miokard infark, tes latihan maksimal mungkin kontraindikasi akibat gangguan
kapasitas fungsional yang signifikan. Pada keadaan ini pengukuran puncak
ambilan VO2 dari tes latih submaksimal dapat berguna walaupun nilai prediksi
prognosisnya berkurang.5,7
Banyak penelitian mengatakan bahwa 6MWT adalah latihan yang
sederhana dan aman. Adanya korelasi yang kuat jarak tempuh 6MWT dan puncak
VO2 ( r=0.56 sampai r=0.88). Faggiano dkk menyatakan, bahwa lebih dari
seperempat partisipan mempunyai VO2 selama 6MWT lebih tinggi dibandingkan
batas anaerobik mereka. Riley dkk menunjukkan VO2 saat 6MWT lebih tinggi
dari peak VO2. Dua studi ini menunjukkan bahwa pada orang dengan gangguan
kapasitas fungsional berat, tes latihan submaksimal dapat merefleksikan seperti
yang didapat dari tes latih maksimal.7

13
Perhitungan VO2 maks menggunakan rumus Nury et al, indicator yang di
ukur meliputi tinggi badan, berat badan dan jarak terjauh yang dapat dicapai oleh
sampel penelitian selam 6 menit.27
VO2 maks = 0.053 (jarak) + 0.022 (umur) + 0.032(Tinggi Badan) - 0,164 (Berat
Badan) - 2.228(Jenis Kelamin*) - 2.287

Hasil yang didapat dari 6MWT ini juga dapat menuntut kita meresepkan
jenis latihan awal yang akan dilakukan pasien. Hasil tes ini akan kita pakai dengan
persamaan menurut American College of Sports Medicine (ACSM) Walking
Equation. Dikatakan bahwa sekurangnya dibutuhkan 0,1 ml oksigen untuk
memindahkan 1 kg massa tubuh pada bidang datar setiap meternya
(0,1ml/kgBB/menit). Persamaan ini paling akurat jika kecepatannya 50-100
m/menit (1,9 mph-3,7 mph). Nilai METs dan walking speed digunakan untuk
menyesuaikan kebutuhan latihan dan mengetahui kapasitas fungsional
penderita.5,7,19,29
Menurut hasil penelitian Brehm dkk, exercise training teratur mampu
memperbaiki perfusi miokard pada penyakit koroner stabil. Jika latihan diberikan
pasca STEMI sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran
kardiorespirassi. Dalam studi ini menunjukkan peningkatan kapasitas latihan,
fungsi jantung membaik. Exercise training dalam waktu singkat yang diberikan
segera setelah pasien stabil dari kondisi post STEMI dapat memberikan efek
menguntungkan pasien STEMI.24,25,29,30
Penelitian yang dilakukan Giallauria dkk (2012) menunjukkan bahwa
enam bulan setelah dilakukan latihan pada pasien segera setelah STEMI dapat
menurunkan stress yang diakibatkan iskemia dan meningkatkan pergerakan dan
ketebalan diinding ventrikel kiri. Hal ini berpengaruh pada peningkatan kapasitas
fungsi jantung. Program latihan yang diberikan merupakan modifikasi program
latihan yang diberikan kepada orang sehat. Modifikasi disesuaikan dengan status
kardiovaskuler pasien termasuk mode, frekuensi, durasi, intensitas, dan
perkembangan latihan. Mode yang digunakan dapat seperti jogging
dengan tredmill test, bersepeda dengan ergometers cycle, berjalan dengan six

14
minute walk test ataupun berenang. Latihan ekstremitas atas dapat dilakukan
dengan ergometer lengan.31
Penelitian yang dilakukan Borjesson and Dellborg,.Dalam latihan ini ada
komplikasi yang mungkin muncul yaitu infark miokard akut, cardiac
arrest dan sudden death. Exercise pada pasien STEMI harus diawasi termasuk
kegiatan fisik sehari-hari pada pasien post STEMI. Reevaluasi penting untuk
dilakukan minimal 2-3 bulan setelah latihan dan satu tahun setelahnya. Hal ini
berfungsi untuk menilai perubahan fisiologis yang dihasilkan akibat exercise serta
kemungkinan perkembangan kondisi pasien.26,31
Kapasitas latihan merupakan faktor risiko yang dapat dimodisikasi. Faktor
risiko secara teoritis dapat diubah dengan aktifitas fisik secara teratur selama fase
rehabilitasi dan seterusnya. Setiap 1 MET peningkatan kapasitas latihan, akan
setara dengan 12% peningakatan kelangsungan hidup pasien. Berdasar pada
kondisi ini, exercise tes yang dilakukan dapat menjadi informasi berharga untuk
menentukan kapasitas exercise yang tepat pasien pasca intervensi reperfusi dan
pasca infark miokard.30 Exercise tes yang direkomendasikan oleh AHA/ACC
untuk pasien post STEMI adalah kelas I.3
Namun sebagai catatan, exercise yang dilakukan pada pasien STEMI post
serangan harus menunggu hingga kondisi pasien benar-benar stabil. Selain itu timi
risk pada pasien juga harus diketahui sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
komplikasi yang mungkin muncul akibat stress latihan. Selama periode latihan
juga harus dipasang monitor untuk merekam aktivitas kerja jantung.30

KESIMPULAN

6MWT adalah pengukuran sederhana dan submaksimal yang berguna


untuk menilai kapasitas fungsional pada penderita dengan gangguan jantung . Tes
ini telah dipakai secara luas sebagai tes latih jantung yang bertujuan melengkapi
tes latih yang maksimal dan bukan sebagai pengganti. Faktor lain seperti umur,
jenis kelamin, berat badan juga harus diperhitungkan dalam melakukan
interpretasi hasil. Hasil dari 6MWT ini dapat dipakai untuk menentukan beban
latihan yang dapat diberikan pada pasien dengan melakukan konvsersi hasil ke
dalam Metabolic Equivalent (MET). Exercise juga memiliki dampak yang

15
signifikan terhadap rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI) untuk dapat
meningkatkan dan mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien
STEMI post serangan. Exercise pada pasien STEMI jika latihan diberikan teratur
mampu memperbaiki kondisi klinis pasien, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel
kiri, meningkatkan kapasitas kardiovaskuler. Latihan yang diberikan pasca
STEMI sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran
kardiorespirasi.

SUMMARY

6MWT is simple and submaximal measurements are useful for assessing the
functional capacity in patients with heart problems. This test has been widely used
as a cardiac exercise test that aims to complement the maximal exercise test and
not as a substitute. Other factors such as age, sex, body weight should also be
taken into account in interpreting the results. The results of the 6MWT can be
used to determine the training load that can be given to patients by konvsersi
results into Metabolic Equivalent (MET). Exercise also has a significant impact
on the rehabilitation of patients post myocardial infarction (STEMI) in order to
improve and optimize the physical and mental health conditions STEMI patients
post attack. Exercise in patients with STEMI if given regular exercise is able to
improve the clinical condition of the patient, improve left ventricular ejection
fraction, improving cardiovascular capacity. Exercise prescribed after STEMI as
cardiac rehabilitation can improve cardiorespiratory fitness.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zohreh KN, Alireza Y, Seyed AR, et al. The Relation Between Anxiety And
Quality Of Life In Heart Patients. Arya Atherosclerosis Journal. 2009. 5(1):
19-24.
2. Priyanto A. The Role of Nurse in Acute Coronary Syndrome. Seminar Cardiac
Emergency Management: Pre, to and in Hospital. FK UMJ. 2011.

16
3. Gibbons. R. J. ACC/AHA 2002 Guideline Update for Exercise Testing: A
report of the American collage of cardiology/American heart association task
force on practice guidelines (committee on exercise testing).American College
of Cardiology Foundation and the American Heart Association. 2002.
116:16111642.
4. Haskell W L, Lee I-M, Pate R R, Powell K E, Blair S N, Franklin B A, et al.
American college of sports medicine. Exercise for patients with coronary
artery disease. MSSE.1994; 26(3): 1-5.
5. Crapo RO, Casaburi R, Coates AL et al. ATS Statement: Guidelines for Six-
Minute Walk Test. Am J Respir Crit Care Med 2002; 166: 111-117.
6. Bitter V. Role of the 6-Minute Walk Test in Cardiac Rehabilitation. Humana
Press,Totowa New Jersey 2007; 131-139.
7. Du HY, Newton PJ, Salamonson Y et al. A review of the six-minute walk test:
Its implication as a self-administered assessment tool. Eur Jour of
Cardiovascular Nursing 2009; 8: 28.
8. Balady GJ,Ades PA, Comos P et al. Core Components of Cardiac
Rehabilitation/secondary Prevention Programs. Circulation 2000; 102: 1069-
1073.
9. Demers C, McKelvie R, Negassa A et al. Reliability, validity, and
responsiveness of the six-minute walk test in patients with heart failure. Am
Heart J 2001; 142: 698-703.
10. Morales FJ, Montemayor T, Martinez A. Shuttle versus six-minute walk test
in the prediction of outcome in chronic heart failure. International Journal
Cardiology 2000; 76: 101-105.
11. Price, S, Wilson, L. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. EGC, Jakarta. 2005.
12. Zhao W, Bai J, Zhang F c, Gao W. the Impact of Regular Exercise habit on
exercise tolerance early after acute myocardial infarction. Arya
Atherosclerosis Journal. 2012; 51(6): 435.
13. Randal J, Thomas, MD, King M, MD, Lui K, Oldridge N. Ileana L, Spertus J.
Perfomance Measures on Cardiac Rehabilitation/Secondary Prevention
Services. Circulation J. 2007; 116:1611-1642.

17
14. Association of Chartered Physiotherapists in Cardiac Rehabilitation. Peer
review. London: ACPICR; 2007.
15. Gayda M, Temfemo A, Choquet D et al. Cardiorespiratory Requirements and
Reproducibilityof the Six-Minute Walk Test in Elderly Patients With
Coronary Artery Disease. Arch Phys Med Rehabil 2004; 85: 1538-1543.
16. Wu G, Sanderson B, Bittner V. The 6-minute walk test: How important is the
learning effect? Am Heart J 2003; 146 :129-133.
17. Balashov K, Feldman DE, Savard S et al.Percent Predicted Value for the 6-
Minute Walk Test: Using Norm-Referenced Equations to Characterize
Severity in Persons With CHF. J Card Fail 2008; 14: 75-81.
18. Moldover J R, Matthew N. Barthels. Cardiac Rehabilitation, In Braddom Rl
Editor. Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd Ed, WB Saunders Co.
Philadelphia; 2002; 665-84.
19. Tibb AS, Ennezat PV, Chen Ja et al. Diabetes lower aerobic capacity in heart
failure. J Am Coll Cardiol 2005; 46: 930-931.
20. Kervio G, Ville NS, Leclercq C et al. Intensity and Daily Reliability of the
Six-Minute Walk Test in Moderate Chronic Heart Failure Patients. Arch Phys
Med Rehabil 2004; 85:1513-1518.
21. Alahdab MT, Mansour IN, Napan S et al. Six Minute Walk Test Predicts
Long-Term All-Cause Mortality and Heart Failure Rehospitalization in
African-American Patients Hospitalized With Acute Decompensated Heart
Failure. J Card Fail 2009 ;15:130-135.
22. Roul G, Germain P, Bareiss P. Does the 6-minute walk test predict the
prognosis in patients with NYHA class II or III chronic heart failure?. Am
Heart J 1998; 449-457.
23. Morante F, Gell R, Mayos M. Efficacy of the 6-Minute Walk Test in
Evaluating Ambulatory Oxygen. Therapy Arch Bronconeumol 2005;
41(11):596-600.
24. Frankenstein L, Zugck C ,Nelles M et al . Sex-specific Predictive Power of 6-
Minute Walk Test in Chronic Heart Failure Is Not Enhanced Using Percent
Achieved of Published Reference Equations. J Heart Lung Transplant 2008;
427-434.

18
25. Radke KJ, King KB, Blair ML et al. Hormonal responses to the 6-minute walk
test in women and men with coronary heart disease: A pilot study. J Heart
Lung Transplant 2005; 34: 126-135.
26. Nury N, Bachtiar A, Widjajalaksami. Healthy Adult Maximum Oxygen
Uptake Prediction From A Six Minute Walking Test, NEJM Journal. 2011;
90-98.
27. Steffen T M, Hacker T A, Mollinger L. Age and Gender-Related test
performance in Community-Dwelling Elderly People: Six-Minute Walk Test,
Berg Balance, times Up & Go test, and Gait Speeds. Physical Therapy J.
2002. 128-37.
28. Myers J. Principles of exercise prescription for patients with chronic heart
failure. Heart Fail Rev 2008; 13:6168.
29. Brehm. M., Picard. F., Ebner. P., Turan. G., Bolke. E., Kostering. M.,
Schuller. P., flerssner., Ilousis. D., Augusta. K., Peiper. M., Schannwell. Ch.,
and Strauer. B. E. Effects of Exercise Training on Mobilization and functional
activity blood-derived progenitor cells in patients with acute myocardial
infraction. Eur J Med Res. 2009; 14: 393-405.
30. Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del
Prete. G., Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and
Vogorito. C. Effect of exercise training started within 2 weeks after acute
myocardial infraction on myocardial perfusion and left ventricular function: a
gated SPECT imaging study. Eur J Prev Cardiol. 2012; 19(6): 1410.
31. Borjesson. M., and Dellborg. M. Exercise testing post-MI: still worthwhile in
the interventional era. European Heart Journal. 2005; 26: 105-106.

19

Anda mungkin juga menyukai