http://menguaksejarahnusantara.blogspot.co.id/2010/11/kerajaan-
kerajaan-yg-pernah-ada-di-jawa_27.html
2-7. ?
2. Dharmayawarman (382-395 M)
3. Purnawarwan (395-434 M)
- Memindahkan ibukota Tarumanegara dari Tarumanegara ke Sundapura di
sekitar Karawang-Bekasi
- Bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya
Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati
- Dikenal pula sebagai Wyagrahaning Tarumanagara / Sang Purandara
Saktipurusa
4. Wisnuwarman (434-455)
5. Indrawarman (455-515)
6. Candrawarman (515-535 M)
7. Suryawarman (535-561 M)
-
Menikahkan putrinya Tirtakencana dengan seorang resi dari Jawa Tengah,
Manikmaya, yang kemudian mendirikan Kerajaan Kendan/Keindraan, yang
menjadi bawahan kerajaan Tarumanegara, di sekitar Nagreg.
8. Kertawarman (561-628)
9. Sudhawarman (628-639)
10.Hariwangsawarman (639-640)
1. Manikmaya
2. Suraliman Sakti
3. Kandiawan
4. Wretikandayun
- Pendiri kerajaan Galuh.
- Suami dari Parwati puteri Maha Rani Mahisasuramardini Satyaputikeswara
/ Dewi Sima (Ratu Kalingga)
Kerajaan
Galuh didirikan oleh Wretikandayun melalui sebuah perundingan dengan
Tarusbawa, hasilnya raja Sunda itu menyetujui pembagian bekas wilayah
kekuasaan Tarumanegara.
1. Wretikandayun (670-702 M)
3. Bratasenawa/Sena/Sanna (709-716 M)
- Putra Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan istri Sempakwaja.
- Ayah Sanjaya/Rakyan Jamri/Harisdarma
- Senna dan keluarganya lari ke tempat istrinya di Kalingga setelah
digulingkan dari tahta oleh Purbasora.
4. Purbasora (716-723 M)
- Putra sulung Sempakwaja yang ingin menguasai Galuh karena merasa lebih
berhak sebagai pewaris resmi Galuh.
-
Dia menggulingkan Senna di tahun 719 dengan bantuan pasukan mertuanya,
raja Indraprahasta/Wanagiri yang berkuasa di sekitar Cirebon sekarang.
18. Prabu Ragasuci / Sang Lumahing Taman / sang Mokteng Taman (1297 -
1303 M)
-
Putra Darmasiksa, menjadi raja karena kakaknya Rakeyan Jayadarma
meninggal dalam usia muda sedangkan Putra Jayadarma, Wijaya, mengabdi
pada Kertanegara di Singasari.
- Memerintah dari Saunggalah kemudian setelah meninggal dimakamkan di
Taman (Ciamis)
-
Menikah dengan Dara Puspa, putri kerajaan Melayu, istrinya ini adalah
adik Dara Kencana istri Prabu Kertanegara, raja Singasari.
- Rakeyan
Jayadarma menikah dengan Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal, puteri Mahisa
Campaka/Narasingamurti, anak Mahisa Wonga Teleng, yang merupakan
anak
dari Ken Arok dan Ken Dedes. Narasingamurti bersama Rangga
Wuni/Wisnuwardhana, anak Anusapati, anak dari Tunggul Ametung dan Ken
Dedes, memerintah Singasari di Jawa Timur. Singasari sendiri kemudian
diperintah oleh Kertanegara, anak dari Wisnuwardhana
- Putra dari
Jayadarma adalah Sri Nararya Sanggrama Wijaya/Kertarajasa
Jayawardhana/Raden Wijaya/Jaka Susuruh, menantu Kertanegara, raja
Majapahit pertama.
22. Sri Baduga Maharaja Prabu Lingga Buana / Prabu Wangi (1340 - 1357 M)
- Memerintah dari Kawali
- Gugur dalam perang Bubat melawan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh
Patih Gajah Mada
-
Perang yang terjadi di desa Bubat ini karena Gajah Mada meminta
Citraresmi/Dyah Pitaloka, putri Lingga Buana, diserahkan kepada
Maharaja Hayam Wuruk/Rajasanagera raja Majapahit sebagai tanda
tunduknya kerajaan Sunda-Galuh kepada kekuasaaan Majapahit. Sedangkan
kerajaan Sunda-Galuh menganggap pernikahan tersebut adalah sebagai
pernikahan antara kerabat kerajaan yang berdiri sederajat. Pada perang
tersebut yang dikenal sebagai Palagan Bubat, semua kerabat keraton
Sunda-Galuh yang ikut dalam rombongan pengantin, termasuk Dyah
Pitaloka, gugur tak bersisa.
- Perang ini menyebabkan terjadinya
kerenggangan hubungan antara Sunda-Galuh di barat dengan Majapahit di
timur. Sehingga timbul peraturan "estri larangan ti kaluaran" yang
maksudnya keturunan laki-laki Sunda-Galuh tidak boleh menikahi secara
resmi keturunan selain Sunda-Galuh, dalam hal ini yang dimaksud adalah
keturunan Majapahit.
- Selain itu, perang ini juga menyebabkan
renggangnya hubungan antara Maharaja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah
Mada yang berujung dengan pengasingan Gajah Mada hingga akhir
hidupnya.
Kedua
kerajaan ini kembali bersatu saat pemerintahan Jayadewata, putra Dewa
Niskala. Hal ini terjadi, karena setelah kejatuhan Prabu Kertabumi
(Brawijaya V) Raja Majapahit, banyak kerabat keraton Majapahit yang
mengungsi ke barat. Kejatuhan Prabu Kertabumi ini setelah serangan
Ranawijaya/Girindrawardhana, raja Kediri yang mendendam kepada Prabu
Kertabumi karena Suraprabawa/Brhe Pandanalas, ayahnya diturunkan dari
tahta Majapahit oleh Prabu Kertabumi.
Dewa Niskala
sendiri menikahi Socainten, salah seorang kerabat keraton Majapahit,
yang sebenarnya telah bertunangan. Menurut aturan "estri larangan ti
kaluaran", kerabat keraton Sunda-Galuh dilarang menikahi kerabat
keraton Majapahit sejak terjadinya peristiwa Palagan Bubat. Socainten
adalah seorang wanita yang sudah bertunangan, menurut aturan tersebut,
seorang wanita yang sudah bertunangan dan tunangannya belum
memutuskan
hubungan, serta nasib tunangannya belum diketahui apakah masih hidup
atau sudah mati, tidak boleh dinikahi. Karena kedua pelanggaran adat
yang berat ini, Susuktunggal menuntut pengunduran diri Dewa Niskala dan
mengancam untuk memutuskan hubungan. Bahkan Susuktunggal berniat
menyerbu ke Kawali. Beruntung keributan dapat dihindarkan setelah
diadakan perundingan para tetua Sunda-Galuh di Batu Layang. Dari hasil
perundingan, didapatkan keputusan, kedua raja akan mengundurkan diri
dan menyerahkan kekuasaan kepada Jayadewata yang juga merupakan
menantu
Susuktunggal.
6. Raga Mulya / Prabu Surya Kancana / Pucuk Umun Pulasari (1567 - 1579
M)
- Putera Nilakendra
- Memerintah dari Pulasari, Pandeglang, setelah Kraton Pakuan dan
bentengnya jatuh ke tangan Banten
-
Kekuasaan Pajajaran berakhir saat Banten berhasil menghancurkan istana
Pakuan dan membawa Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala
seorang
raja Pajajaran dinobatkan, dari Pakuan ke istana Surasowan di Banten.
Dengan dibawanya batu penobatan tersebut ke Banten, Pajajaran tidak
bisa lagi menobatkan raja baru
- Sebelum menanggalkan tanda-tanda
kebesarannya dan mengasingkan diri lebih jauh ke barat, ke Ujung
Kulon, dia menyerahkan mahkotanya kepada Prabu Geusan Ulun, penguasa
Sumedang Larang, putera Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum sebagai
pertanda penerus kekuasaan raja-raja Sunda-Galuh.
- Keturunan Surya
Kancana/Pucuk Umun Pulasari dan pengikutnya inilah yang dianggap
sebagai orang Badui Banten sebagai leluhur mereka
IX. Kerajaan Cirebon
Sejarah
Cirebon dimulai ketika Ki Gedeng Alang-Alang/Ki Ageng Pangalang-alang,
mendirikan kampung nelayan di Muara Jati di wilayah Singapura, pantai
utara Jawa. Pada perkembangannya, kampung nelayan ini menjadi salah
satu pelabuhan ramai yang banyak didatangi saudagar dari berbagai
negeri dan kerajaan. Atas jasanya ini, oleh penguasa Sunda-Galuh, Ki
Gedeng Alang-alang ditunjuk menjadi pengurus/syahbandar pelabuhan
tersebut. Di sekitar pelabuhan itu Ki Gedeng Tapa, putra Ki Ageng
Kasmaya, penguasa negeri Singapura, membuka hutan, membangun daerah
baru yang kemudian dinamai Cerbon Girang. Nama Cerbon asal muasalnya
dari kata Caruban, yang berasal dari kata sarumban, yang berarti
campuran atau kumpulan. Caruban dalam pengucapan sehari-hari lalu
menjadi Carbon, dan kemudian menjadi Cerbon, yang dilafalkan oleh orang
Sunda sebagai Cirebon. Disebut Caruban karena daerah tersebut menjadi
tempat tinggal orang dari berbagai negeri yang akhirnya bercampur
menjadi satu bangsa.
4.
Pangeran Adipati Cirebon I / Panembahan Ratu Pakungwati II/ Panembahan
Girilaya / Pangeran Rasmi / Pangeran Karim / Pangeran Adiningkusuma
(1649 - 1667 M)
- Cucu Pangeran Emas
- Untuk mengikat kesetiaan
Cirebon, Amangkurat I/Sunan Tegalwangi menikahkan putrinya dengan
Pangeran Rasmi, putra Panembahan Ratu I yang kemudian bergelar
Panembahan Ratu II. Dari hasil pernikahan tersebut lahirlah ketiga
putranya, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan
Pangeran Wangsakerta.
- Amangkurat I yang dikenal sebagai raja
Mataram yang kejam menjadikan Pangeran Rasmi sebagai raja muda
(vassal)
Mataram dengan gelar Pangeran Adipati Cirebon I. Martadipa, seorang
tumenggung Mataram ditempatkan sebagai wakil raja (viceroy) Mataram
untuk mengawasi kekuasaannya. Sementara Martawijaya, putra mahkota
Cirebon harus berada di Mataram untuk mengabdi kepada Amangkurat I.
-
Penguasaan Cirebon oleh Mataram ini semakin membangkitkan ketidak
senangan Banten, karena mereka tahu bahwa wilayahnya juga menjadi
incaran Mataram berikutnya, yang ingin menguasai seluruh Jawa Barat.
-
Fakta bahwa Amangkurat I bekerja sama dengan Belanda, yang saat itu
sedang berperang dengan Banten semakin memperuncing perseteruan ini.
Amangkurat I sendiri, bekerja sama dengan Belanda karena mengalami
kesulitan memadamkan pemberontakan Trunojoyo (Taruna Jaya) yang
dibantu
oleh Karaeng Galesong dari Kesultanan Bugis. Sementara Trunojoyo
menghadapi angkatan perang Mataram di darat, Karaeng Galesong
menghadapi angkatan laut Mataram. Peperangan antara Amangkurat I
melawan Trunojoyo dan Karaeng Galesong dimanfaatkan oleh Banten untuk
merebut pengaruh di Cirebon dengan cara bekerja sama dengan Trunojoyo.
Saat Trunojoyo dan Karaeng Galesong menghadapai pasukan gabungan
Mataram dan Belanda di timur, Banten berusaha semakin merepotkan
pasukan Belanda di barat.
- Pangeran Rasmi, dalam usaha diplomasinya
untuk menghindari peperangan dengan Banten, dan tanda ikatan
kekeluargaan, mengutus putra bungsunya, Wangsakerta ke Banten.
-
Oleh Mataram, hal ini dipandang sebagai pengkhianatan Cirebon kepada
Mataram. Pangeran Rasmi dipanggil menghadap ke Mataram bersama putra
lainnya, Kertawijaya. Sesampainya disana, Pangeran Rasmi ditempatkan di
Giri sebagai tahanan sebelum kemudian dihukum mati. Dari peristiwa
meninggalnya (perlaya) Pangeran Rasmi di Giri inilah dia mendapat
julukan Panembahan Girilaya. Kedua putranya sendiri dijadikan tahanan
politik.
- Mendengar kabar kematian Pangeran Rasmi, Sultan Ageng
Tirtayasa di Banten segera mengangkat Wangsakerta yang sedang berada
disana sebagai penjabat raja Cirebon.
- Saat terjadi huru-hara
serbuan Trunojoyo ke pusat kerajaan Mataram yang menyebabkan larinya
Amangkurat I, Martawijaya dan Kertawijaya berhasil melarikan diri dari
tahanan, tetapi terpisah di tengah jalan. Martawijaya bertemu dengan
Trunojoyo dan bergabung dengannya. Sedangkan Kertawijaya langsung
pulang ke Cirebon. Sesampai di Cirebon, telah ada pasukan Banten
disana, dan Wangsakerta adiknya telah dilantik menjadi penjabat raja.
Karena mengira Martawijaya telah hilang/mati, Kertawijaya kemudian
dimaklumkan menjadi Sultan Cirebon oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Tak
berapa lama kemudian Martawijaya, putra tertua dan pewaris sah tahta
Cirebon datang diantar oleh Trunojoyo. Akhirnya diambil kesepakatan,
dilakukan pembagian kekuasaan.
- Pangeran Martawijaya menjadi
Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dengan gelar Sultan
Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
- Pangeran Kartawijaya
sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
- Adapun Pangeran
Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran
Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Gusti / Tohpati. Dia
tidak memiliki kraton dan wilayah serta kekuasaan secara formal. Namun
tempat kediamannya dijadikan sebagai kaprabonan tempat
(paguron/perguruan) belajar keluarga istana dalam hal ilmu kenegaraan
dan keagamaan, dan pusat pengembangan Islam di Cirebon
- Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Cirebon sebagai satu kesatuan
kerajaan
-
Setelah kekalahan Amangkurat III dari VOC, penggantinya, Pakubuwono I,
menyerahkan wilayah bawahan Mataram di Jawa Barat ke tangan VOC
Belanda. Oleh VOC Belanda, kesultanan-kesultanan di Cirebon dibiarkan
hidup, tetapi berada di bawah administrasi mereka, dan sultan menjadi
pegawai Belanda yang digaji.
- Pada masa pemerintahan Sultan Anom
ke-IV, terjadi perpecahan dalam keraton Kanoman. Hasilnya Gubernur
Jenderal Belanda mengangkat Pangeran Raja Kanoman sebagai Sultan
Kacirebonan yang bertahta di istana Kacirebonan. Dengan syarat
keturunannya tidak menyandang gelar Sultan, hanya menyandang gelar
Pangeran. Sementara itu tahta Kanoman sendiri jatuh ke tangan putra
Sultan Kanoman IV, yang lainnya. Setelah kekuasaan Belanda berakhir,
Kesultanan-kesultanan Cirebon ditangani oleh administrasi RI dan tetap
hidup hingga sekarang, walaupun tanpa kekuasaan politis.
X. Kerajaan Banten
1. Maulana Hasanudin / Panembahan Surasowan / Pangeran Hasanudin /
Pangeran Sabakingkin (1552 - 1570 M)
- Putera Syarif Hidayatullah
-
Menjadikan Banten sebagai kerajaan merdeka, lepas dari kekuasaan
Cirebon setelah memindahkan pusat pemerintahan ke istana Surasowan
- Daerah kekuasaannya meliputi seluruh daerah Banten, Jayakarta,
Kerawang, Lampung dan Bengkulu.
- Menikah dengan Ratu Ayu Kirana Purnamasidi, putri Sultan Trenggana
12. Sultan Abul Maali Muhammad Wasi Zainul Arifin / Pangeran Arya Adi
Santika (1752 - 1753 M)
-
Untuk mengambil hati rakyat, Gubernur Jenderal Mossel, menangkap
Pangeran Syarif Abdullah dan Ratu Syarifah Fatimah, lalu mengangkat
Pangeran Arya Adi Santika menjadi sultan. Pangeran Gusti yang telah
dibuang dijadikan putra mahkota.
13. Sultan Abul Nasr Muhammad Arif Zainul Asyiqin / Pangeran Gusti (1753
- 1773 M)
-
Perlawanan rakyat tidak juga berhenti, sehingga memaksa Sultan Abul
Maali menyerahkan kekuasaan ke tangan Pangeran Gusti, setelah enam
bulan dirinya bertahta. Pangeran Gusti naik tahta dengan gelar Sultan
Abul Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin. Pemerintahannya bertahan hinga
20 tahun lebih.
http://tarkahanacarakajawa.blogspot.co.id/2016/04/babad-cirebon-naskah-sindang.html
Babad Cirebon
Raden Welangsungsang dan Nyi Rarasantang keluar dari Pajajaran untuk mencari ilmu
agama, setelah
bertemu dengan Syeikh Datukhafi keduanya kemudian diajarkan agama rasul.
Kemudian sang guru memerintahkan kepada Raden bersama istri Nyi Endang Geulis
putri Ki Danuwarsih dan adiknya membabad hutan di Kebon Pesisir. Setelah menjadi
padukuhan, Raden Welangsungsang dan adiknya disuruh Munggah Kaji. Namun
akhirnya Nyi Rarasantang dinikahi Sultan Hut Mesir dan menurunkan dua putra, Syarif
Hidayatullah kemudian menjadi Sunan Gunung Jati dan adiknya Syarif Arifin
meneruskah tahta ayahanda. Sepulah dari Mekah Syeikh Abdul Iman mampir di negara
Ace, kebetulan Jeng Sultan Ace telah mendapatkan musibah ditinggal mati oleh istrinya.
Ia meningalkan jabang bayi perempuan yang kemudian dipungut dan dibawa ke
Cirebon oleh Syeikh Abdul Iman, setelah dewasa diberinama Nyi Ratu Gandasari.
Bersama Mbah Kuwu Sangkan, SGJ dan Dewan Wali Sanga mengembangkan agama
Islam di Pulau Jawa. Brawijaya Majapahit runtuh kemudian digantikan dengan
berdirinya Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. Berdasarkan musyawarah Dewan
Wali Sanga maka Raden Patah diangkat menjadi Sultan Demak. Demikian juga dengan
Galuh akhirnya bisa ditundukan Cirebon.
Dalam Naskah Sindang tercantum juga ajaran tauhid,
penjelasan mengenai kehakikatan juga dihahas. Sanghyang Danuwarsih yang juga
merupakan mertua dari Raden Welangsungsang mengajarkan kepada menantunya ;
"Jika sang jasad menderita sakit sesungguhnya siapa yang merasakan sakit, apabila
kelak mati bagaimanakah tingkahnya. Nyawa atau ruh itu masuk ataukah keluar dari
raga, jika masuk seberapa dekatnya dan apabila keluar seberapa kejauhannya. Serta
dimanakah tempatnya kelak setelah tiada"
Ada sidang dewan wali yang mengungkap DIRI SEJATI. Karomah-karomah
waliyullahpun diceritakan disana.
Raden Syahid menelusuri perjalanan batin hingga bertemu dengan Nabiyullah Khidir AS,
ia diwejangkan ilmu sejati kemudian menjadi seorang waliyullah bergelar Sunan
Kalijaga yang menyebarkan agama Islam dengan mempertontonkan pagelaran ringgit
purwa.
Raden Syahid membeli dongeng tiga perkara sebesar 1000 dinar kepada kakek gaib. Ia
memegang teguh
amanat tiga perkara itu, akhirnya menghantarkan ke derajat mulia. Namun rupanya Nyi
Ratu Giri Lawungan berputus asa tidak bisa bersanding dengan Raden Syahid, hingga
kemudian ia menceburkan diri ke laut kidul dan menjadi penguasa bangsa lelembut
disana.
Tertulis juga tentang pertemuan antara Dalem Dermayu dengan Harya Kemuning.
Harya Kemuning ingin menaklukan Dermayu, walau hal itu dilarang oleh SGJ yang telah
mengetahui identitas sebenarnya tentang Dalem Dermayu.
Dalem Dermayu turut berguru kepada Jeng Sunan, Akhirnya Harya Kemuning merasa
malu atas kecerobohannya.