Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 3
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................. 3
1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 4
1.3 TUJUAN ........................................................................................................ 4
BAB II. ARSITEKTUR POSTMODERNISME ....................................................... 5
2. 1 PENGERTIAN POSTMODERNISME ......................................................... 5
2. 2 SEJARAH PERKEMBANGAN POSTMODERNISME .............................. 5
2. 3 CIRI CIRI POSTMODERNISME .............................................................. 7
2. 4 TOKOH TOKOH POSTMODERNISME .................................................. 8
2. 5 PERBEDAAN MODERN DENGAN POSTMODERN ............................... 10
2. 6 DAMPAK POSTMODERNISME................................................................. 10
BAB III. CONTOH BANGUNAN ............................................................................ 13
BANGUNAN POSTMODERNISME
KARYA ZAHA HADID ...................................................................................... 13
BAB IV. PEMBAHASAN......................................................................................... 15
BAB V. KESIMPULAN ............................................................................................ 16
SIMPULAN .......................................................................................................... 16
SARAN ................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang karena anugerah dari-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah tentang "POST MODERNISME" ini. Tak lupa
juga saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing saya yang telah
memberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.
Saya sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah ini.
Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu saya selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
makalah ini terselesaikan.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini bisa
bermanfaat dan dengan senang hati saya menerima kritik dan saran untuk
membangun makalah ini agar kedepannya bisa lebih baik.

Medan, 7 Juli 2017

Apriandi Damanik

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan filsafat fenomenologi pada masa awal abad ke dua puluh yang
mengkritisi pendekatan matematis dari modernisme kemudian membawa suatu pendekatan
baru dalam estetika. Dalam fenomenologi, perhatian lebih diarahkan kepada keberadaan
subjek yang mempersepsi objek daripada kepada objek itu sendiri. Dengan kata lain hal ini
dapat dikatakan sebagai: membuka kemungkinan adanya subjektivitas. Hal ini menimbulkan
kesadaran akan adanya konteks ruang dan waktu; bahwa pengamat dari tempat yang berbeda
akan memiliki standar penilaian yang berbeda, dan begitu pula dengan pengamat dari konteks
waktu yang berbeda. Pemikiran inilah yang kemudian akan berkembang menjadi
postmodernisme.dari terbukanya kemungkinan untuk bersifat subjektif memberi jalan bagi
keberagaman dalam estetika.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya postmodernisme. Pada
umumnya yang dianggap sebagai titik tolak lahirnya postmodernisme adalah filsafat
Nietzschean, seperti penolakannya terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem pemikiran
tunggal. Menurut Sarup (2003: 231-232) postmodernisme adalah gerakan kultural yang
semula terjadi di masyarakat Barat tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, khususnya dalam
bidang seni. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang
seni, antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya populer dengan
budaya elite, budaya massa dengan budaya tinggi. Dalam karya sastra, misalnya, hilangnya
batas-batas yang tegas antara seniman sebagai pencipta dengan pembaca sebagai penerima,
bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.
Dalam karya seni juga terjadi pergeseran dari keseriusan, dari kedalaman ke
permukaan, ke permainan sehingga terjadi ironi, parodi, interteks, dan pastiche. Secara
umum, postmodernisme merupakan hasil gerakan mahasiswa 1968. Oleh karena kekuatan
negara tidak dapat dihancurkan, maka postmodernisme mencoba menemukan jalan melalui
struktur bahasa, melalui kekuatan wacana. Struktur bahasa dan dengan demikian struktur teks
menjadi model, semua disiplin dianggap sebagai tulisan, sebagai teks dan wacana, sehingga
pemecahannya pun dapat dilakukan secara tekstual. Sasarannya adalah semua sistem
pemikiran total, khususnya organisasi politik yang didasarkan atas struktur masyarakat secara
keseluruhan.
Pada awalnya estetika merupakan studi tentang keindahan, baik dalam karya seni
maupun keindahan alam pada umumnya. Atas dasar pengaruh Plato, sebagian para filsuf
memandang keindahan sebagai kualitas intrinsik yang terkandung dalam objek. Berbeda
dengan pendapat tersebut, pendekatan semiotika, khususnya periode postmodern lebih
banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika semiotis, dengan
pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan melalui pemahaman
terhadap sistem tanda. Menurut Noth (1990: 421-428), dengan mempertimbangkan
keterlibatan filsuf Jerman, Baumgarten dan Lambert, mereka menggunakan istilah estetika
dan semiotika pada abad ke-18, secara historis semiotika dan estetika memiliki asal-usul yang
hampir sama. Apabila teori-teori tradisional mengenai seni cenderung didasarkan atas dua
prinsip yang berbeda, bahkan bertentangan, yaitu karya seni sebagai tiruan (mimesis) dan
karya seni sebagai karya seni (Iart pour Iart), semiotika estetis didasarkan atas prinsip
semantis dan pragmatis. Estetika semantik dicirikan oleh karya seni sebagai memiliki tipe-
tipe tanda tertentu dengan mode referensi tertentu juga, sedangkan estetika pragmatis
dicirikan melalui hakikat dan kemampuan karya seni sebagai komunikasi.

3
Kualitas estetis dapat dipahami semata-mata melalui tanda, sebagai sistem
komunikasi. Dalam sastralah, sebagai bahasa model kedua, sebagai teks, sistem tanda
tersebut dieksploitasi secara maksimal. Dengan kalimat lain, teks sastra secara keseluruhan
merupakan sistem tanda dan demikian juga sebagai sistem komunikasi. Kualitas estetis jelas
paling banyak ditunjukkan dalam stilistika dan gaya bahasa pada umumnya.dalam hal ini
genre puisilah yang paling banyak berperan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian postmodernisme?
2. Apa ciri-ciri postmodernisme?
3. Siapa tokoh-tokoh yang ada pada periode postmodernisme?
4. Bagaimana perkembangan postmodernisme?
5. Apa perbedaan modern dengan postmodern?
6. Apa dampak dari postmodernisme?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian postmodernisme.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dari periode postmodernisme.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang ada pada periode postmodernisme.
4. Untuk mengetahui perkembangan postmodernisme.
5. Untuk mengetahui perbedaan modern dengan postmodern.
6. Untuk mengetahui dampak dari postmodernisme.

4
BAB II
ARSITEKTUR POSTMODERNISME

2.1 Pengertian Postmodernisme


Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat
modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik
segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti
karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal
dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan
Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia
bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa
atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari
modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar,
yaitu:
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme Ia menyiratkan
pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru.
Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita
melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori,
dan sejarah ekonomi.

2.2 Sejarah Perkembangan Postmodernisme


Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang mulai
meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus postmodernisme. Lyotard mencatat
beberapa ciri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan postmodern ditandai
oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi
besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi. Masyarakat
komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial
masyarakat Barat menuju the information technology era. Realitas sosial budaya masyarakat
dewasa ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat
yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer. Dengan
komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi mengalami revolusi
radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan
ruang dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu
mengubah bahkan memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara
massif, adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118). Dalam
masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio, hukum
sejarah linear, subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas tidak lagi mampu
menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter
masyarakat postmodernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena
perjuangan, nilai-nilai baru postmodernisme. Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip
yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner,
subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan
legitimasi . Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka,
mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.

5
Menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam , terdapat
delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama, timbulnya pemberontakan secara
kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat
transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua,
meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari system
indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang
realitas kehidupan terasa menyempit.
Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang
menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga, munculnya radikalisme etnis
dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan
kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji
emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya wilayah
perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural
area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju
(Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam, semakin
terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut
mendorong proses demokratisasi. Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan
realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam
diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan
konsistensi, sehingga bersifat paradoks.
Dari arah berbeda, Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki
beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang,
excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat
postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya
postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol,
tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih
mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium)
ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta (fact), sistem tanda (system of
signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika
(ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang
terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi
secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter
simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta
bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra)
mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai
dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme
lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah
memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru
menggantikan peran negara, militer dan parlemen.
Pauline M. Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences,
membedakan postmodernisme menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai
paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek
ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka berpikir dan
bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama Kedua, postmodernisme sebagai

6
metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme
digunakan sebagai lensa membaca realitas social budaya masyarakat kontemporer.
Dari arah yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme
tak lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya
Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism, Jameson meyakinkan resiko tak
terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni
kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan
dan kritik.
Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan
informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas
mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya
kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke
dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena
sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan
keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi
begitu jauh.

2.3 Ciri-Ciri Postmodernisme


Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
1. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya
pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
2. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa
kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan agama atau
tuhan sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama
tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program
televisi.
3. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai
reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains,
teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan
manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan
wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai titik
pusat yang menentukan gerak pada lingkaran pinggir.
6. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme
telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7. Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif.
8. Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut era
postmodernisme banyak mengandung paradoks

7
2.4 Tokoh-Tokoh Postmodernisme
Tokoh-tokoh memegang peran penting sebab tokohlah, sebagai subyek, yang bertugas
untuk mengakumulasikan konsep-konsep sehingga menjadi teori. Setiap tokoh adalah mata
rantai terakhir dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuam demi kemajuan umat
manusia secara keseluruhan. Tokoh tokoh periode postmodernisme antara lain:
1) Charles Sanders Peirce
Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika,
Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi Peirce melangkah lebih jauh daripada Saussure
dengan latar belakang sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar struktur sebagai
struktur bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik, Peirce menawarkan
konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce jugalah yang
mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat dalam
teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-
tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya mengenai tanda menjadi dasar pembicaran estetika
generasi berikutnya. Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan
sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil berkembang tanda-tanda
yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda tidak bersifat
konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang bebas konteks. Tanda selalu
bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya denga tanda lain.
2) Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra, dan semiotikus yang lahir di Rusia
(1896-1982). Pusat perhatiannya adalah integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan tulisannya
yang berjudul Linguistics and Poetics. Jakobson melukisakan antar hubungan tersebut
dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa yang disebut poetic
function of lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
Contecxt
Addresser Message Addressee
Contact
Code

Enam fungsi bahasa, yaitu:


Referential
Emotive Poetic Conative
Phatic
Metalingual

3) Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai pengikut strukturalisme Praha, ia
kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran
inilah yang disebut strukturalisme dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia
memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti
deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya.
Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai
tanda, karya sastra sebagai fakta transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami
dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu.

8
Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika antara
totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya sastra
sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan pembaca yang
berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra selalu baerada dalam
tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri
4) Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin
memperbaharui cara-cara lama yang semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek kesejarahan
sehingga menjadi lebih bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga ingin
memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat estetis dan
kelompok Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar kecenderungan sejarah sastra tradisional yang
dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan
sejarah nasional, sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi loguisnya adalah
keterlibatan pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss mengintroduksi
konsep horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan mengandaikan harapan
pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat proses pembacaan terdahulu.
Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang ditimbulkannya bergantung dari hubungan
antara unsur-unsur karya dengan horison harapan pembaca.
5) Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di rusia (1922). Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah
seorang ahli semiotika struktural, ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang
dikemukakan adalah peranan bahasa sebagai sistem model pertama (ein primares
modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein sekundares
modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni, musik, agama, dan mitos. Dalam
sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga membedakan antara estetika persamaan atau
identitas (the aesthetic of identy) dengan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of
opposition). Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau karya-karya sastra lama.
Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya romantisme, realisme, garda
depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977:
41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru karya-karya yang menawarkan banyak
entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya
kaitan erat antara aspek semantis dengan aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-
hari yang tidak memiliki makna menjadi bermakna.
6) Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes
lahir di Cherbourg, Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya menolak keras
pandangan tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni.
Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra
terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui Bartheskarya sastra mempunyai
kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya penafsiran pembaca.
Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks mempunyai arti yang
lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Konsep lain yang dikemukakan
adalah teks sebagai readerly (lisible) dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-
mata untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali). Dalam entensitas readerly penulislah
yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya dalam writterly, dengan anggapan
bahwa penulis berada dalam kontruksi anonimitas, maka pembacalah yang bersifat aktif,
melalui aktivitas menulis.

9
7) Umberto Eco
Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmot, Italia (1932).
Menurut Eco (1979: 7), semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh
mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Peirce, esensi tanda adalah
kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks
sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah
tanda memiliki banyak makna dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk.
Dalam hubungan inilah dibedakan menjadi dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan
atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Peirce. Kedua, adalah unsur yang
tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya ikon dalam pengertian Peirce.

2.5 Perbedaan modern dengan postmodern


Pergeseran dari modern ke posmodernisme memang bukan lah revolusi yang tiba-
tiba, tetapi lebih merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu.
Ketidak puasan terhadap hasil era modern tidak terlalu menonjol sampai munculnya ancaman
bagi umat manusia yang jelas diketahui bersama, misalnya perang nuklir. Sejak itulah
modernitas lebih dianggap menghsdilksn kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan
demikian, modernism jelas bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara utuh.
Pemikiranpun bergeser kearah yang di anggap lebih baik, dan disinilah postmodernisme
mengambil peran utama.
Postmodernisme secara umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut.
Hal ini kemudian membuat jalan bagi pluralism dan keragaman pemikiran. Pada intinya,
postmodern, sebagaimana berulangkali dikemukakan oleh Grenz, merupakan reaksi
menentang totalisasi pencerahan. Pada saat moderenisme berada pada titik krisis identitas
ketika peradapan dengan banyak masalah, postmodern seakan memberikan sebuah studi
pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang sudah lelah dan putus asa pun segera berpaling
untuk mendapatkan rekreasi dari tekanan dan kefrustasian yang ditimbulkan oleh
modernitas. Dari sini, kita dapat segera menyimpulkan bahwa memang modernism dan
postmodernisme menawarkan perbedaan yang berarti.

2.6 Dampak Postmodernisme


Jika tidak hati-hati, filsafat bisa membawa dampak buruk bagi pemikiran Islam.
Laksana obat, kadar dan cara penggunaannya harus tepat. Jika keliru, bisa berdampak
negative. Sebut saja, misalnya, filsafat posmodernisme. Dalam beberapa dekade terakhir ini,
filsafat posmodernis Perancis memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam arus pemikiran
Islam dan filsafat di belahan bumi yang sedang bergejolak saat ini seperti Maroko, Aljazair,
dan Tunisia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari beberapa karya tulis yang terhasil dari
tangan para cendikiawan dan pemikir negeri ini. Beberapa karya besar dari tokoh-tokoh
posmodernis seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Paul Ricour sudah diterjemahkan
kedalam Bahasa Arab.
Diantara karya Foucault tersohor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
adalah Archeology of Knowledgediterjemahkan oleh Salim Yafut dengan judul Hafriyat al-
Marifah. Mungkin terinspirasi dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku dengan memakai
istilah yang sama yaitu Hafriyt al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah al-Islmiyyah and Hafriyt al-
Istishrq. Hafriyat disini bermaksud archeology, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh
Foucault dalam upayanya membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati Barat.
Karya lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and Punishment Discipline and
Punishment, dan The Orders of Things. Kehadiran Foucault dalam pemikiran Arab dengan

10
baik di jelaskan oleh Zawawi Bughurah dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-
Fikr al-'Arabi al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001).
Selain Foucault, Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam
pemikiran Arab kontemporer. Hal ini sangat baik di jelaskan oleh Ahmad Abd al-Halim
'Atiyyah dalam artikelnya yang judul al-Tafkk wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida wa al-Fikr al-
Arabi al-Muasir yang diterbitkan dalam buku yang diedit oleh Mahmud Amn al-Alim, al-
Fikr al-Arabi ala Masharif al-Qarn al-Hadi wa al-Ishrin. (Qadaya Fikriyyah l al-Nashr
wa al-Tawzi, 1995, hal 159- 199).
Di antara sekian banyak pemikir Arab yang banyak terpengaruh dengan filsafat pos-
modernisme, mungkin Muhammad Abid al-Jabiri (m. 2010) dan Mohammad Arkoun
(2010), masing-masing berasal dari Maroko dan Aljazair, berada di garda depan. Kentalnya
nuansa pos-modernisme dalam pikiran mereka terekam jelas dalam beberapa karya yang
mereka hasilkan. Disana kita menemukan banyaknya istilah, konsep, ide, dan metode yang
disadur dari pemikir postmodernis, terutama yang berasal dari Perancis seperti Michel
Foucault.
Ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jabiri dalam magnum opus-
nya Takwin al-Aql al-Arabi, yang berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap
sejarah Peradaban Arab Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta mekanisme berpikir
yang berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang dilakukan Foucault terhadap
peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme, upaya ini disebut dengan genealogy masih
merupakan rangkain dari archeology of knowledge yang dipopulerkan Foucault.
Dalam upayanya melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak menggunakan ide-ide dari
Foucault. Salah satu diantaranya adalah konsep episteme. Jabiri menyebut episteme ini
dengan aql atau al-nizam al-marifi. Jadi aql menurut Jabiri bukan kemampuan manusia
untuk berpikir atau berefleksi seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi ia lebih
merupakan seperangkat prinsip dan kaidah yang disodorkan oleh Budaya Arab kepada
mereka yang terkait dengannya sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. (Takwin, 37)
Definisi ini sangat dengan definisi episteme Foucault yang menyatakan ia merupakan the
total set of relations that unite, at a given period, the discursive practices that give rise to
epistemological figures, sciences, and possibly formalized systems (Archeology of
Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191).
Konsep epsiteme ini sepertinya juga hadir dalam pemikiran Arkoun. Bedanya adalah
jika Jabiri mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan struktur epsitemologinya, Arkoun
membaginya berdasarkan periode sejarah (Klasik, Pertengahan, dan modern). Meski
demikian, baik Jabiri maupun Arkoun keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat Islam
didominasi oleh nalar abad klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan irfani.
Salah satu ide Foucault yang banyak diadopsi oleh cendikiawan Arab saat ini adalah
persoalaan relasi ilmu dan kekuasaan. Edward Said menggunakan konsep ini untuk membaca
sepak terjang para orientalis. Said berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme tidak
sepenuhnya di dasari keinginan akademis, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan politik.
Jabiri juga menggunakan framework yang sama ketika membaca sejarah panjang intelektual
Islam. Dalam penilaiannya munculnya trilogi episteme bayani, irfani, dan burhani diatas tidak
terlepas dari faktor-faktor sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri mengakui bahwa metode
bayani murni lahir dari rahim peradaban Islam. Akan tetapi dia menguat, ketika episteme
irfani mulai menancapkan cengkaramannya. Episteme irfani ini sendiri menurut Jabiri
berasal dari luar Islam, ditebarikan oleh Syiah sebagai bagian dari strategi perang budaya
mereka untuk merongrong kedaulatan negara yang berkuasa ketika itu. Tapi anehnya Jabiri
menuduh al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn Sina sebagai orang yang bertanggung jawab
menebarkan episteme ini. Jika Ghazali memasukkannya lewat pintu bayani, Ibn Sina
menyebarkannya melalui pintu nurhani.

11
Intinya adalah bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir bukan disebabkan
kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi disebabkan oleh adanya trik-trik
politik.
Jika Jabiri menggunakan konsep ini untuk membaca sejarah filsafat Islam, Arkoun
mengaplikasikannya untuk menilik sejarah penghimpunan Kitab Suci al-Quran. Arkoun
mungkin intelektual Arab yang pertama membaca al-Quran dengan kacamata Foucault ini.
Tokoh kelahiran Aljazair ini menyimpan keraguan akan otentitas al-Quran yang ada saat ini.
Dia melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf Uthmani saat ini merupakan rekayasa
politik khalifah Uthman untuk melanggengkan kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah
dikritisi oleh banyak pihak. Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault tadi
yang selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu.
Masih konsep yang di adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa pemikir Arab untuk membaca
warisan pemikiran Islam konsep logosphere yang dikembangkan Arkoun, diskursus, juga
skeptisisme dan anti otoritas yang belakangan marak dikalangan beberapa pemikir Muslim
Arab. Seperti yang dijelaskan oleh Stuart Sim dalam pengantarnya sebagai editor untuk
buku The Routledge Companion to Postmodernism bahwa salah satu inti ajaran
postmodernisme adalah skeptisisme; sekptik terhadap otoritas, kebijaksanaan yang diwarisi
dari masa silam, norma-norma kultur dan politik, dan lain-lain. Postmodernis menolak
adanya kemapanan (postmodernism is to be ragrded as a rejection, if not most, of cultural
certainties).
Lebih jauh Postmodernis bahkan skeptik terhadap otoritas akal. Atas dasar inilah
makanya postmodernis menganggap semua orang bisa benar, tidak ada yang salah. Bagi
mereka semua orang sama, berada di pusat peredaran, tidak ada yang periperial atau
termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini diaplikasikan dalam tataran ajaran Islam
yang memiliki pandangan hidup permanen berdasarkan Wahyu.

12
BAB III
CONTOH BANGUNAN

Bangunan Postmodernisme karya Zaha Hadid

1. Heydar Aliyev Centre, Baku Azerbaijan.

Negara pecahan dari Uni Soviet ini mengadakan kompetisi pada tahun 2007 untuk
menemukan arsitek yang pas mendesain bangunan kebudayaan paling penting di kotanya.
Zaha Hadid menjadi salah satu peserta yang akhirnya memenangkan kompetisi tersebut.

Bangunan yang memiliki desain struktur fleksibel ini melambangkan optimisme dan harapan
agar Negara Azerbaijan akan meninggalkan gaya pemerintahan komunisme yang kaku di
masa lampau.

Bangunan ini memiliki sebuah auditorium untuk pentas, sebuah ruangan galeri dan sebuah
museum. Hingga kini Heydar Aliyev Center menjadi pusat budaya dan pendidikan yang
bermanfaat bagi kota dan penghuninya.

13
2. Dongdaemun Design Plaza (DDP) Seoul, South Korea

Berlokasi di pusat kebudayaan kota Seoul, proyek ini menampilkan lengkungan indah yang
menjadi ciri khas setiap proyek Hadid. Ketika mendesain DDP, Hadid berupaya menciptakan
struktur yang mencerminkan nilai modern dan futuristik.

Bangunan ini menjadi landmark penting di Seoul dan menambah jumlah bangunan kota
sebagai pusat fesyen terkemuka.

Proyek yang terdiri dari aula konvensi, area pameran, ruko dan taman indah di bagian atap,
proyek ini menjadi objek wisata penting para turis ketika berkunjung ke Korea Selatan.

14
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Fungsi ( bukan sebagai aktivitas atau apa yang dikerjakan oleh manusia terhadap
arsitektur)
Yang dimaksud dengan `fungsi di sini bukanlah `aktivitas, bukan pula `apa yang
dikerjakan/dilakukan oleh manusia tehadap arsitektur (keduanya diangkat sebagai pengertian
tentang `fungsi yang lazim digunakan dalam arsitektur modern). Dalam arsitektur posmo
yang dimaksud fungsi adalah peran adan kemampuan arsitektur untuk mempengaruhi dan
melayani manusia, yang disebut manusia bukan hanya pengertian manusia sebagai mahluk
yang berpikir, bekerja melakukan kegiatan, tetapi manusia sebagai makhluk yang berpikir,
bekerja, memiliki perasaan dan emosi, makhluk yang punya mimpi dan ambisi, memiliki
nostalgia dan memori. Manusia bukan manusia sebagai makhluk biologis tetapi manusia
sebagai pribadi.
Fungsi = apa yang dilakukan arsitektur, bukan apa yang dilakukan manusia; dan dengan
demikian, FUNGSI bukan AKTIVITAS
Dalam posmo, perancangan dimulai dengan melakukan analisa fungsi arsitektur, yaitu :
Arsitektur mempunyai fungsi memberi perlindungan kepada manusia (baik melindungi
nyawa maupun harta, mulai nyamuk sampai bom),
Arsitektur memberikan perasaan aman, nyaman, nikmat,
Arsitektur mempunyai fungsi untuk menyediakan dirinya dipakai manusia untuk berbagai
keperluan,
Arsitektur berfungsi untuk menyadarkan manusia akan budayanya akan masa silamnya,
Arsitektur memberi kesempatan pada manusia untuk bermimpi dan berkhayal,
Arsitektur memberi gambaran dan kenyataan yang sejujur-jujurnya.
Berdasarkan pokok pikiran ini, maka :
Dalam PURNA MODERN yang ditonjolkan didalam fungsinya itu, adalah fungsi-fungsi
metaforik (=simbolik) dan historikal.
NEO MODERN menunjuk pada fungsi-fungsi mimpi, yang utopi (masa depan yang
sedemikian indahnya sehingga tidak bisa terbayangkan).
DEKONSTRUKSI menunjuk pada kejujuran yang sejujur-jujurnya.

2. Bentuk dan Ruang


Didalam posmo, bentuk dan ruang adalah komponen dasar yang tidak harus berhubungan
satu menyebabkan yang lain (sebab akibat), keduanya menjadi 2 komponen yang mandiri,
sendiri-2, merdeka, sehingga bisa dihubungkan atau tidak.
Yang jelas bentuk memang berbeda secara substansial, mendasar dari ruang.
Ciri pokok dari bentuk adalah ada dan nyata/terlihat/teraba, sedangkan ruang mempunyai
ciri khas ada dan tak-terlihat/tak-nyata. Kedua ciri ini kemudian menjadi tugas arsitek untuk
mewujudkannya.

15
BAB V
KESIMPULAN
3.1. Simpulan
Postmodernisme pada dasarnya mempelajari tanda pada bahasa, periode postmodern
lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika semiotis, dengan
pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan melalui pemahaman
terhadap sistem tanda. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari
beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan
dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar.

3.2. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan
yang harus dilengkapi, sehingga saya mengharapkan saran dari pembaca terutama dosen
pembimbing mata kuliah ini untuk memperbaiki makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kutha.2011.estetika sastra dan budaya.Yogyakarta: Pustaka Belajar

Ahmed,Akbar, Postmodernism and islam, (New York: Routledge,1992)

Sugiarto,Bambang, Foucault dan Postmodernisme, Makalah tidak diterbitkan, 2011

Baudrillard, Symbolic Exchange and Death, Makalah tidak diterbitkan, 1993

Frederic Jameson, Postmodenism or The Cultural Logic of Late Capitalism, 1989

Harianto,GP, Postmodernisme dan Konsep Kekristenan, Jurnal Pelita Zaman.vol.1 nomor


15,2001

Jean Baudrillird, Kelahiran Postmodern, makalah tidak diterbitkan, 2011

Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009)

17

Anda mungkin juga menyukai