Anda di halaman 1dari 11

Definisi MDMA

MDMA merupakan istilah untuk merujuk pada 3,4-methylenedioxy-methamphetamine atau yang


sering disebut ekstasi. MDMA pertama kali ditemukan oleh perusahan farmasi Merck pada
tahun 1912 dengan tujuan awal sebagai zat yang dapat digunakan untuk menghentikan
pendarahan. MDMA dipatenkan pada tahunn 1914 dengan tujuan utama sebagai penekan nafsu
makan, namun pengunaanya secara luas terbatas mengingat banyaknya efek samping yang
dilaporkan. Tahun 1980 penyalahgunaan MDMA meningkat. Tahun 1985 di Amerika Serikat
penggunaan MDMA di ilegalkan, hal ini dikarenakan adanya kemiripan struktur dengan
amfetamin yang merupakan halusionogen yang dilarang peredaran dan pengunaanya. Di
Indonesia MDMA termasuk Psikotropika golongan I.3

2.2 Farmakokinetik dan Farmakodinamik MDMA

2.2.1. Farmakokinetik MDMA


MDMA berbentuk tablet atau kapsul, penggunaannya melalui oral dan tempat absorbsi
utamanya di traktus gastrointestinal. Penggunaan untuk efek rekreasi biasanya
100mg, mulai kerja obat dalam 30 menit setelah pemakaian dan puncak konsentrasi
dalam serum terjadi setelah satu sampai tiga jam. Waktu paruh MDMA kira-kira 16
jam hingga 31 jam. 4
MDMA mengalami metabolisme di hepar dibantu oleh sitokrom P450
dengan dua jalur, yaitu jalur N-demethylation dan O-demethylation. Pada
metabolisme MDMA melalui jalur minor N-demethylation, akan menghasilkan 3,4
methylenedioxyamphetamine (MDA), menurut hasil penelitian MDA memiliki
farmakodinamik dan toksikasi yang sama seperti MDMA, bahkan lebih kuat efeknya
terhadap sistem kardiovaskular dan menyebabkan hipertermia. Metabolisme MDMA
melalui jalur mayor O-demethylation menghasilkan 3,4 dihydroxymethamphetamin
(HHMA). Hasil metabolit MDMA akan dikonjugasikan lalu diekskresi melalui urin. 5
Gambar 1. Proses Metabolisme MDMA. 5

2.2.2. Farmakodinamik MDMA


MDMA memiliki kemiripan bentuk dengan tiga neurotransmitter di otak, yaitu
serotonin, dopamin dan norepinefrin. Kemiripan bentuk ini merupakan dasar
mekanisme kerja MDMA. Tempat kerja utama MDMA adalah transporter monoamin
untuk norepinefrin, serotonin dan dopamin (Norepinephrin transporter/NET, serotonin
transporter/SERT, dopamin transporter/DAT). Transporter monoamin terletak di
membran presinaps, berfungsi untuk menghentikan kerja neurotransmiter yang
berlebihan dengan cara re-uptake neurotrasnmiter. MDMA merupakan inhibitor kuat
terhadap re-uptake serotonin, dopamin dan norepinefrin, selain itu, MDMA dapat
memicu pelepasan ketiga neurotransmiter ke celah sinaps. MDMA menyebabkan
peningkatan konsentrasi serotonin, dopamin dan norpeinefrin di celah sinap dan
meningkatkan aktivasi reseptor post-sinaps. 6

Secara keseluruhan, efek MDMA adalah meningkatkan stimulasi aderenergik-


noradrenergik, serotonergik dan dopaminergik di sistem saraf pusat. MDMA memiliki
afinitas 4 kali lebih kuat terhadap NET dibandingkan dengan SERT dan DAT.
Sehingga, efek MDMA lebih mempengaruhi sistem adrenergik-noradrenergik
dibandingkan dopaminergik (Upreti, 2007). Aktivitas susunan saraf pusat terjadi
melalui kedua jaras adrenergik dan dopaminergik dalam otak dan masing-masing
menimbulkan aktivitas lokomotor serta kepribadian stereotopik. Stimulasi pada pusat
motorik di daerah media otak depan (medial forebrain) menyebabkan peningkatan dari
kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan euforia serta meningkatkan libido.
Stimulasi pada ascending reticular activating system (ARAS) menimbulkan
peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah. 7

Gambar 2. Struktur Kimia MDMA, NE, Dopamin, dan Serotonin. 5

Pengguna MDMA menggunakan MDMA untuk rekreasi dengan dosis tipikal


rata-rata 75-100mg. pada penggunaan MDMA secara oral dengan dosis rekreasi,
terdapat dua efek farmakodinamik akut, yaitu efek fisiologi akut dan efek subjektif
akut. Efek subjektif akut yang sering dirasakan oleh pengguna MDMA adalah emosi
berupa euforia, supel, ramah terhadap orang lain dan energik. keadaan menyenangkan
yang terjadi pada efek subjektif akut tersebut dinamakan entactogen. Perasaan
menyenangkan inilah yang menjadi alasan pengguna untuk menggunakan MDMA.
Efek fisiologis utama yang terjadi pada penggunaan MDMA adalah peningkatan heart
rate, peningkatan tekanan darah, midriasis dan peningkatan suhu tubuh. 5
2.3 Efek Samping dan Intoksikasi MDMA 8

Efek yang dilaporkan pada pengguna MDMA bervariasi berdasarkan dosis, frekuensi dan durasi
penggunaan. Umumnya, efek yang diinginkan dari kebanyakan pengguna adalah yang di
produksi oleh dosis rendah pada satu waktu. Hal ini, oleh karena itu baik sekali untuk membagi
penggambaran efek yang terjadi menjadi efek akut dan efek kronik (jangka panjang), dan pada
setiap kategori dijelaskan terpisah antara efek mental dan fisik. Efek kategori ketiga, terdiri dari
toksisitas serius atau fatal yang terlihat dengan penggunaan dalam dosis tinggi atau pada individu
yang sensitif dan akan dijelaskan terpisah.

1. Efek akut
a. Efek yang dinginkan
Efek yang diinginkan dari penggunaan MDMA mirip dengan obat lain yang populer
dari kelompok amfetamin. Secara fisik, obat ini dapat membuat peningkatan
bermakna dari kewaspadaan (selalu terjaga), daya tahan tubuh dan perasaan energi,
keinginan seksual, dan menunda kelelahan dan mengantuk. Efek fisiologi yang
menyertai dijelaskan sebagai perasaan euforia, merasa selalu sejahtera, ketajaman
persepsi sensorik, sosiabilitas yang lebih besar, ekstraversi, dan peningkatan perasaan
dekat kepada orang lain dan toleransi yang lebih besar pada pandangan dan perasaan
mereka.

Efek selanjutnya adalah memberikan peningkatan yang menyebutkan MDMA


mewakili dari kelas-kelas nyata dari ekstasi ini yaitu empathogen dan
enctactogen yang mungkin bisa digunakan untuk tujuan psikoterapi. Sesuai dengan
pengakuan yang dibuat sebelumnya untuk MDA, LSD, dan halusinogen lain tetapi
walaupun diakui sukses pada percobaan non-controlled trial dengan MDA, tidak ada
keuntungan yang bertahan lama penggunaan yang ditemukan setelah 10 tahun
follow-up pada pasien yang diterapi dengan LSD. Tidak ada studi pembanding pada
pasien yang diterapi dengan MDMA dan pada literatur klinis terbaru menunjukkan
tidak ada referensi yang menunjukkan bahwa MDMA ini bisa digunakan dalam
psikoterapi.

b. Efek yang tidak diinginkan


Seperti amfetamin, MDMA juga mempunyai efek samping pada banyak fungsi fisik
bahkan dengan pemakaian dalam dosis menengah dan hanya bertujuan untuk
rekreasional seperti yang dijelaskan sebelumnya. Akibat aksi dasar dari amfetamin
mencakup peningkatan keinginan dan kewaspadaan, hal ini juga berhubungan
dengan peningkatan tensi darah, yang bermanifestasi tension otot, rahang kaku, gigi
terkatup rapat, dan gerakan spontan dari kaki. Peningkatan dari aktivitas motorik,
bersama dengan aksi langsung dari obat pada sistem termoregulasi pada otak,
meningkatan temperatur tubuh. Kekakuan dan nyeri pada punggung bawah dan otot
dari anggota gerak merupakan keluhan yang paling sering selama 2-3 hari pertama
setelah penggunaan MDMA. Sakit kepala, mual, hilangnya nafsu makan, penglihatan
kabur, mulut kering dan insomnia merupakan gejala fisik yang dilaporkan selama
penggunaan MDMA dan tidak lama setelah digunakan. Frekuensi jantung dan
tekanan darah juga selalu meningkat selama penggunaan obat kemudian akan selalu
meningkat lebih dari normal selama beberapa hari.

Efek akut psikologis yang tidak diinginkan biasanya dilaporkan selama


penggunaan obat mirip dengan adanya penggunaan berlebihan dari obat tersebut.
Adanya peningkatan gairah, jika sudah berlebihan hal ini berubah menjadi
hiperaktivitas, ide yang meloncat-loncat sehingga menyebabkan ketidakfokusan dari
perhatian, dan insomnia. Keluhan lain yang sering dikeluhkan adalah halusinasi
ringan, depersonalisasi, ansietas, agitasi dan perilaku yang tidak biasa atau sembrono.
Biasanya gejala ini menuju kearah serangan panik, delirium, atau bahkan episode
gejala psikotik yang biasanya tetapi tidak selalu dapat hilang secara cepat jika
penggunaan obat diberhentikan. Sehari atau dua hari setelah penggunaan obat,
keluhan mental dan mood yang paling sering dikeluhkan adalah susahnya
berkonsentrasi, depresi, ansietas dan kelelahan. Gejala ini sangat menyerupai dalam
miniatur reaksi putus obat setelah mengalami euforia jangka lama atau gejala manik
jangka panjang yang disebabkan oleh penggunaan MDMA, kokain, dan obat
stimulan susunan saraf yang lain dalam jumlah besar.

2. Efek kronik atau efek residual


a. Neurotoksisitas serotonin
Sebagian dari beberapa kecil suatu kelompok yang dilaporkan peningkatan
atau resolusi dari emosional masalah sesorang setelah penggunaan MDMA pada
psikoterapi. Efek jangka panjang hampir semuanya merupakan efek samping dari
penggunaan MDMA. Efek ini berasal dari aksi neurotoksik oleh derivat
metilendioksi dari amfetamin.

Kemampuan MDMA untuk meningkatkan konsentrasi dari seroronin pada


sinaps mungkin mendasari produksi dari peningkatan mood dan gangguan dari fungsi
sensoris. Akan tetapi, pada dosis yang lebih tinggi dari pelepasan serotonin pada
sinaps tidak hanya memberikan gejala psikotik akut tetapi dapat juga menyebabkan
kerusakan sel yang melepas serotonin tersebut.

Kerusakan ini bisa dengan jelas digambarkan pada eksperimen penggunaan


MDMA dan obat yang berhubungan pada hewan coba. Penelitian kimiawi dan
mikroskopik menunjukkan penurunan jumlah serotonin pada otak, penurunan ini bisa
diidentifikasi dengan neuron yang mengandung serotonin dan molekul pentransport
serotonin, dan jumlah degenerasi akson serotonergik dan ujung akson pada otak
hewan coba yang diterapi dengan MDMA. Meskipun ada teori yang berlawanan pada
teori neurotoksisitas dari MDMA. Hal ini sangat jelas ditunjukkan berhubungan
dengan peningkatan secara masif dari aktivitas metabolik dan pelepasan
neurotransmiter serotonergik dan kemungkinan juga neuron dopaminergik.

Pada manusia, hanya ada satu penelitian mengenai perubahan postmortem


pada level serotonin dan metabolit utamanya pada otak pada pengguna MDMA
jangka panjang. Level dari serotonin berkurang hingga 50-80% pada beberapa regio
berbeda di otak, dibandingkan dengan otak kontrol pada yang bukan pengguna
MDMA, di mana level dopaminnya tidak terganggu. Akan tetapi, beberapa tipe
penelitian eksperimental pada manusia hidup menunjukkan bukti tidak langsung
adanya neurotoksisitas serotonin seperti pada beberapa penelitian yang menggunakan
seperti tersebut dibawah ini:

Level metabolit serotonin pada cairan serebrospinal menunjukkan jumlah


pelepasan selama aktivitas neuronal pada otak
MRI dan proton magnetic resonance spectroscopy dapat mendukung
mengestimasi dari jumlah neuron yang utuh pada beberapa bagian otak yang
berbeda.
Senyawa pelabel dengan afinitas yang tinggi dan selektif terhadap neuron
serotonin, menunjukkan reuptake transporter atau untuk reseptor serotonin
postsinaps yang diberikan kepada seorang objek tertentu. Kemudian
digunakan PET dan SPECT untuk memantau lokasi dan jumlah senyawa
pelabel tersebut di otak.
Obat yang diketahui menstimulasi alur serotonergik pada otak diberikan dan
respon endokrin yang melepaskan serotonin (perubahan level prolaktin dan
kortisol) diukur.
Penelitian tersebut diatas digunakan untuk mengestimasi atau mengukur dari
jumlah sel pelepas serotonin yang masih utuh berfungsi atau sel yang responsif
terhadap serotonin pada subjek hidup. Dari penelitian tersebut diatas dapat
disimpulkan pada bahwa adanya penurunan kadar serotonin secara tidak langsung
yang ditunjukkan secara tidak langsung dari indikator tersebut diatas pada
penggunaan MDMA jangka panjang.

b. Masalah psikiatri jangka panjang


Hal ini menujukkan adanya efek neurotoksik dari MDMA pada sistem serotonin
yang kemungkinan dapat menyebabkan berbagai macam masalah mental dan
perilaku pada penggunaan obat selama beberapa bulan atau tahun. Masalah ini
bervariasi pada setiap individu tetapi semua masalah ini mencakup fungsi dari
serotonin yang diketahui memegang peranan penting dalam masalah gangguan
mental dan perilaku. Seperti masalah berikut ini yang dijelaskan pada beberapa
literatur yaitu:

Gangguan memori, gangguan verbal dan visual, dengan derajat gangguan


sesuai dengan intensitas penggunaan MDMA dan tidak ditemukan pada
penggunaan obat lain yang tidak menggunakan MDMA. Defisit memori ini
berhubungan dengan pengukuran SPECT dari fungsi serotonin. Pada suatu
kasus ditunjukkan bahwa adanya defisit memori jangka panjang yang
dihubungkan dengan perubahan otak bilateral pada gambaran MRI yang
didahului dengan penggunaan dari MDMA.
Gangguan penarikan keputusan (fungsi eksekutif), memproses memori,
logika dan pemecahan masalah yang sederhana pada pengguna MDMA.
Impulsivitas yang semakin besar dan berkurangnya kontrol diri.
Serangan panik yang berulang ketika seseorang tidak dalam pengaruh dari
obat tersebut bahkan sampai beberapa bulan puasa tidak menggunakan obat
tersebut
Paranoid yang rekuren, halusinasi, deprsonalisasi, dan bahkan episode
psikotik yang timbul beberapa waktu pada seseorang yang menghentikan
penggunaan MDMA
Depresi berat, yang beberapa waktu akan resisten pada beberapa pengobatan
selain SSRI dan biasanya berhubungan dengan keinginan untuk bunuh diri.
c. Masalah fisik residual
Seperti pada masalah di psikiatrik, ada beberapa masalah fisik yang timbul setelah
penggunaan obat selesai atau dimulai selama periode penggunaan obat tetapi
menetap walaupun obat dihentikan. Beberapa hal tersebut meliputi:

Kerusakan gigi (bruksism) dan kekakuan rahang digambarkan sebelumnya


sebagai efek akut dari penggunaan MDMA yang akan menetap pada periode
tidak menggunakan MDMA dan hasilnya signifikan pada gigi belakang.
Nyeri dan pegal pada otot, sama mekanismenya yaitu adanya peningkatan
tegangan otot dan spasme yang bertanggung jawab juga pada kekakuan
rahang dan juga terlihat terutama pada otot lain seperti pda otot pinggang
bawah dan leher
Sistem sirkulasi, efek akut dari MDMA pada sistem sirkulasi yang dijelaskan
sebelumnya termasuk peningkatan dari tekanan darah tetapi pada efek
residual jangka panjang menunjukkan hasil penurunan tekanan darah dan
kontrol yang tidak baik dari frekuensi jantung dan tekanan darah oleh
gangguan saraf otonomik. Perubahan pola regional dari aliran darah pada otak
dilaporkan pada pengguna MDMA.
Lesi neurologis, neurotoksisitas yang digambarkan sebelumnya bertanggung
jawab pada 2 masalah jangka panjang dari sistem saraf, yang pertama adalah
parkinson dan yang kedua adalah paralisis nervus abdusens baik salah satu
atau bilateral yang disebabkan adanya kerusakan pada neuron dopaminergik.
Ada 4 tipe toksisitas yang sangat serius mengancam kehidupan yaitu: hepatik,
kardiovaskuler, serebral dan hiperpireksia. Setiap bagian akan dijelaskan terpisah dibawah ini
tetapi pola toksisitas ini bisa terjadi lebih dari satu pada setiap individu yang menggunakan
MDMA.

1. Toksisitas hepatik
Proporsi tinggi dari laporan kasus toksisitas tinggi dari MDMA termasuk observasi
pasien dengan jaundice. Beberapa penjelasan ditawarkan untuk hal ini termasuk
kemungkinan dari reaksi alergi obat, kontaminan toksis dari individu tersebut
terhadap obat tersebut, atau efek sekunder dari hiperpireksia, yang akan dijelaskan
selanjutnya. Akan tetapi penjelasan yang paling mungkin adalah berhubungan dengan
jalur metabolisme dari obat tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya MDMA dan
obat yang berhubungan dengan MDMA dimetabolisme di hati dengan menggunakan
enzim CYP p450 beragam sehingga membentuk CYP2D6. Produk yang langsung jadi
dari reaksi ini akan diproses lebih jauh oleh enzim menjadi prosuk sekunder,
beberapa metabolit sekunder ini sangat reaktif dengan glutation. Penurunan bermakna
level dari glutation bebas menunjukkan adanya proses perubahan kimiawi (influks
kalsium secara masif, perubahan oksidatif dalam membran lipid sel, dan selanjutnya)
dan kemudian kearah kematian sel.

Gambaran klinis dari beberapa kasus bervariasi. Secara umum hal ini relatif
ringan seperti pada hepatitis viral dengan jaundice, pembesaran hati, kecenderungan
untuk peningkatan perdarahan, peningkatan enzim hati di darah, dan gambaran
biopsinya tidak menunjukkan pastinya diagnosis dari toksisitas MDMA. Kesembuhan
spontan biasanya terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan tetapi pada
pengguna jangka panjang serangan akan berulang dari hepatitis. Beberapa penulis
menyimpulan pada kasus hepatitis berulang pada dewasa muda, penggunaan MDMA
bisa dicurigai sebagai penyebab. Andreu dkk. menemukan di rumah sakitnya
ekstasi merupakan penyebab paling sering kedua untuk cedera hati pada pasien
dibawah 25 tahun. Gambaran ini bisa menjadi lebih parah, akan tetapi progres
penyakit ini bisa terjadi secara cepat untuk menghindari gagal hati dan akan
menyebabkan fatal kecuali penderita ini mendapatkan transplantasi hati.

2. Toksisitas kardiovaskuler
Seperti yang diceritakan sebelumnya, MDMA dan obat lain yang berhubungan
meningkatkan pelepasan tidak hanya serotonin, tetapi juga noradrenalin dan dopamin.
Hal ini khusunya noradrenalin yang bertanggungjawab dari efek samping serius pada
sistem kardiovaskuler. Efek ini terdiri dari 2 tipe dasar yaitu: hipertensi dengan
konsekuensi ruptur pembuluh darah, perdarahan internal dan takikardi dengan
konsekuensi peningkatan beban kerja jantung dan hasilnya risiko terjadi heart failure.

Perdarahan intrakranial mayor dilaporkan, yang kemungkinan penyebab dari


rupturnya pembuluh darah yang sudah di lemahkan dengan anomali kongenital
atau penyakit yang mendasari dan ketika ditambahkan dari hipertensi yang
terinduksi obat memberatkan hal ini.
Perdarahan ptekie diobservasi di otak dan beberapa macam organ lain dari
penelitian observasional pada otopsi pada beberapa banyak dari kasus fatal yang
dijelaskan sebelumnya. Tipe hemoragik ini mempengaruhi pembuluh darah kecil
dan secara instan lebih lemah dari pembuluh darah yang besar dan tidak
membutuhkan kerusakan preeksisting padadinding pembuluh darah.
Perdarahan retina sudah di jelaskan dapat dilihat di autopsi.
Kerusakan dinding pembuluh darah dan akan menyebabkan trombosis intravena.
Gangguan serius pada irama jantung diobservasi diobservasi pada pengguna
MDMA.
3. Toksisitas serebral
Salah satu konsekuensi dari penggunaan ekstasi adalah berkeringat sangat banyak
sebagai hasil kombinasi dari aktivitas fisik yang bersemangat dan aksi farmakologi
pada darah dengan mekanisme termoregulasi. Jika sodium dalam jumlah besar bisa
hilang dari keringat, maka seorang penari akan meminum air untuk menghindari
kepanasan, hasilnya adalah hemodilusi dan menyebabkan hiponatremia. Dan dengan
mekanisme tambahan yang dapat berkontribusi dengan hasil yang sama adalah
ketidak sesuaian sekresi dari kelenjar hipofisis hormon antidiuretik sehingga
menyebabkan retensi air pada ginjal, tetapi pada banyak kasus kemungkinan
penyebabnya adalah pemasukan air yang sebelumnya diikuti oleh berkeringat. Hal ini
mengarahkan jalan lintasan air dari darah menuju jaringan termasuk otak. Terdapat 2
hal yang serius ketika hal tersebut terjadi yaitu inisiasi dari kejang seperti epilepsi,
kompresi dari batang otak dan serebelum turun pada foramen magnum. Yang
menunjukan disrupsi fatal dari respirasi atau kardiovaskuler.

4. Toksisitas dengan pola hiperpireksia


Pola ini merupakan toksisitas yang diinduksi MDMA yang paling berbahaya dari
toksisitas lain. Dari catatan sebelumnya kombinasi reaksi obat, aktivitas fisik dan
lingkungan yang panas. Contoh pola hiperpireksia yaitu rhabdomyolisis,
myoglobinuria dan gagal ginjal, kerusakan hati.

Anda mungkin juga menyukai