Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya
sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang
dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk
kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak
tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan
tata cara syariat Islam.
Seandainya Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka akan
kuat dugaan mereka tidak akan datang dalam persidangan. Bagaimana jalan keluarnya?
Mahkamah Agung memberi jawaban sebagai berikut :
Talak di luar Pengadilan tidak sah, lihat ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975.(MARI. 120:2007).

A. Pengertian Talak Dalam Prespektif Kefikian.

Talak dalam bahasa Indonesia diartikan perceraian yang artinya terputusnya tali perkawinaan
yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah perceraian karena talak
adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau
talak atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak
yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga dan apakah ucapan talak itu diucapkan talak dua atau
tiga sekaligus pada satu kejadian atau peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda.Para ahli hukum
Islam (fukaha) berpendapat bahwa bila seseorang mengucapkan kata-kata talak atau semisalnya
terhadap isterinya maka talaknya dianggap sah dan haram hukumnya bagi keduanya melakukan
hubungan biologis sebelum melakukan rujuk atau ketentuan hukum lain yang membolehkan
mereka bersatu sebagai suami isteri.Para fukaha berbeda pendapat tentang kata-kata talak atau
semisalnya yang diucapkan oleh suami kepada isteri dalam kondisi sadar atau tidak misalnya
suami dalam kondisi mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau ketika dalam
kondisi marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat menghilangkan keseimbangan jiwa
suami atau karena dalam kondisi dipaksa.

Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam
bahasa arab artinya melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak
adalah perceraian antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al
1996:1776 ).
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as Sunnah memberi definisi bahwa talak dalam terminology bahasa
adalah al-irsalu wa al-taraku artinya melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut
istilah hukum talak adalah hillu rabithatin al zuwaj artinya melepaskan ( ikatan ) tali
perkawinan. ( Sayyid Sabiq 1975:241)
Ulama fikih ( fukaha) berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua macam yaitu :
1. Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan
Islam, yaitu :
a. Menalak isteri harus secara bertahap ( dimulai dengan talak satu, dua dan tiga ) dan diselingi
rujuk.
b. Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan c. Isteri tersebut telah nyata-
nyata dalam keadaan hamil.
2. Talak bidi adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara yang tidak diakui syariat
islam yaitu:
a. Menalak isteri dengan tiga kali talak sekaligus,
b. Menalak isteri dalam keadaan haidh,
c. Menalak isteri dalam keadaan nifas, dan Menjatuhkan talak isteri dalam keadaan suci tetapi
telah digauli sebelumnya, padahal kehamilannya belum jelas.
Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa menjatuhkan talak bidi hukumnya haram dan
pelakunya mendapat dosa. Akan tetapi apabila terjadi juga seperti tersebut di atas, maka jumhur
mengatakan talaknya tetap jatuh. Alasan mereka adalah talak bidi itupun termasuk dalam
keumuman ayat-ayat yang berbicara tentang talak, seperti surah al- Baqarah ayat 229-230, at-
Talak ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW dalam kasus Abdullah bin Umar yang menjatuhkan talak
terhadap isterinya yang sedang haid. Rasulullah bersabda Suruh dia kembali pada isterinya
sampai ia suci, kemudian suci, lalu suci lagi setelah itu jika ia ingin menceraikan isterinya itu,
dan jika ingin menalak juga lakukanlah ketika itu (ketika suci belum digauli ( H.R. Muslim, Abu
Dawud , Ibnu Majash dan an Nasai ) ( Abdul Azizi Dahlam et.al 1996:1783)Pengertian Talak
Dalam Hukum Positif.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan Peraturan
Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU No.1/1975 dalam
pengertian umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi talak dapat dilihat pada pasal 117
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai berikut :
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131
Bunyi pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut :
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu
Pasal 130 KHI berbunyi sebagai berikut :
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap (ke)
putusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi .
Sedangkan bunyi pasal 131 KHI berbunyi :
Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
Pasal 39 ayat (1) UU. No.1/1974 menyatakan bahwa :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 66 UU. No.1/1974 berbunyi sebagai berikut :
Ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Ayat (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang digunakan bersama tanpa izin pemohon.
Menurut pasal 14 PP Nomor 9/1975 dinayatakan bahwa :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya dengan alasanalasannya serta
meminta kepada Pengadilan agar dilaksanakan untuk keperluan itu.
Pasal tersebut di atas secara lex spesialis ditujukan kepada suami yang akan menceraikan
isterinya, sedangkan pasal 34 PP Nomor 9/1975 merupakan lex spesialis yang menjelaskan bagi
isteri yang menggugat suaminya. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :

Ayat (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
Pasal (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali
bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dengan demikian penulis maksudkan judul di atas bukan pasal 34 PP Nomor 9/1975 namun
pasal 14 PP Nomor 9/1975.Dari pengertian fikih dan hukum positif maka talak mempunyai
kesamaan dan perbedaan sebagai berikut :
a. Kesamaannya, pengertian talak dalam fikih, UU No. 1/1974 dan dalam KHI yaitu talak
diucapkan oleh suami kepada isteri,
b. Perbedaannya, dalam fikih talak diucapkan oleh suami pada waktu dan tempat yang tidak
tertentu, sedangkan dalam KHI dan UU No.1/1974 setelah permohonan izin menceraikan
(mentalak) isterinya dikabulkan oleh Pengadilan dan pengucapan talak harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.
B. KESAKSIAN TALAK
Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafii (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafii
berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang
saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak
perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak
seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap
isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada
satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap
isterinya memerlukan saksi.
Berbeda halnya dengan ulama Syiah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang
akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan
mengambil argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan
et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
.. wa asyhiduu dzawai adlin minkum wa aqiimuu asy syahadata lillahi artinya :. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah..(Q.S. at-Talak ayat 2).

Imam Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang
menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula.
Imran bin Husain ketika itu menyatakan dia talak isterinya tidak sesuai dengan sunah
(Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah
talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak
yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan
mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian terhadap
suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.

Tampaknya pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami


pendapat ulama Syiah dan (qaul qadimnya Imam Syafii) yang mensyaratkan adanya dua orang
saksi bila seseorang akan menceraikan/mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan
tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya yaitu :
a. Persamaannya, menurut ulama Syiah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya Imam Syafii) dan
hukum positif bahwa seseorang dalam mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
b. Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang suami terhadap
isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum positif menyatakan bahwa dalam
menjatuhkan talak seorang suami terhadap isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara Pihak
Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari Mahkamah Syariyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI
yang dikutip pada awal tulisan ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut
haruslah bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengah-
tengah masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat apresiasi, karena
sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di
masyarakat terutama sekali hukum syariah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim
Negara wajib untuk menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia
termasuk Undang-undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan menceraikan/mentalak isterinya haruslah mengetahui
rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif,
Mustafa As-Sibai , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq
berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun)
kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Mereka-mereka yang penulis sebutkan di atas berpendapat bahwa dalam perubahan situasi dan
kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena waziib
ad-diin (tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga
dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang. (A.Z. Dahlan
1996:1783).
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal
itu dimaksudkan agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya
aturan yang harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang
diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang
diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
a. Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa
selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban
hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal.
Pasal 69 UU No.1/1974 menjelaskan bahwa : Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini
berlaku ketentuan-ketentuan pasal 79,pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.
Pasal 82 UU no.1/1974 ayat (4) UU No.1/1974 berbunyi sebagai berikut:
Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata mendamaikan berarti
menyelesaikan permusuhan (pertengkaran dan sebagainya) supaya kedua pihak berbaik kembali.
(WJS Poerwadaminta 1985:234).
Kasus yang dikemukakan tersebut jelas bahwa kedua belah pihak berperkara akan mengakhiri
berperkara di Mahkamah Syariyah (bisa dibaca Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-
pihak tersebut atas prakarsa atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif
pihak-pihak sendiri mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya.Apalagi
kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum melanjutkan
pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi sesuai amanat Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah, bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar Pemohon/Penggugat
membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak Termohon/Tergugat hadir maka
diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk melanjutkan
pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan ke Mahkamah Syariyah ( Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu
hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan
menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah
berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang
bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini
tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
b. Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syariat yang sempat diucapkan oleh pihak suami
terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syariyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah
wewenang Mahkamah Syariyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak mentolerirnya,
karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang Mahkamah Syariyah/Pengadilan
Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak .
c. Benarkah bila Mahkamah Syariyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan
bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara
syariat Islam.Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara
(perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua belah
pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri
sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih
dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan
kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi arahan kepada
pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan talaknya secara liar (tanpa
prosedur yang diatur dalam Undang-undang).

Karena Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain
kubra), maka hakim atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara
fikih Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada isterinya sebelum isterinya menikah lagi dengan
laki-laki lain dan bercerai setelah adanya hubungan suami isteri.
Nah, karena perceraian itu dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan isterinya terhadap
suami yang kedua tentu juga di bawah tangan, dan seterusnya dalam proses/langkah-langkah
seterusnya. Memang repot dan memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi masyarakat
yang tidak taat hukum.
d. Dapatkah Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga.?
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk
melanjutkan pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan
memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada
Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang,
justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut dicabut
karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada pihak-pihak
bahwamereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan
diputus.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan(konklusi ) bahwa:
1. Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami terhadap isterinya di
depan persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi izin kepada suami
(Pemohon).

2. Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar,


keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi perceraian.

3. Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam sidang
Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status suami isteri secara
hukum, sekaligus memberi pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-
wenang dilakukan tanpa adanya proses, pembuktian-pembuktian.
4. Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang telah
menjatuhkan talak liar ditinjau secara hokum serta memberi solusi terhadap perkara yang
diajukan.
DAFTAR BACAAN

1. Al Quranul Karim
2. Abd Aziz et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
3. Kompilasi Hukum Islam,
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
,5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
6. MARI, Himpunan Tanya Jawab Permasalahan Dan Paparan Pada rapat KerjaNasional MARI
Dengan Jajaran Pengadilan pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan
Seluruh Indonesia tahun 2007 dan tahun 2008,
7. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,
8. W.J.S. Poerwadaminta, Kamus bahasa Indonesia.
9. A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai