Anda di halaman 1dari 6

Talak adalah salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan

perkawinan karena sebab-sebab tertentu yang tidak


memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah
tangga dalam Islam. Demikian yang dijelaskan Sudarsono dalam
buku Hukum Perkawinan Nasional (hal. 128).

Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum


Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.[1]

Merujuk pada definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa talak yang


diakui secara hukum negara adalah talak yang diucapkan oleh
suami di hadapan Pengadilan Agama.

Untuk dapat mengucapkan talak, suami dapat mengajukan


permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal istri disertai alasan agar diadakan sidang untuk keperluan
tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KHI:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya


mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.

Lantas, bagaimana jika suami mengucapkan talak di luar


Pengadilan Agama? Nasrulloh Nasution dalam artikel Akibat
Hukum Talak di Luar Pengadilan menerangkan, talak yang
diucapkan di luar pengadilan hanya sah menurut hukum agama
saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara
Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama.
Konsekuensinya, ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut
belum putus secara hukum.
Talak Satu dan Talak Dua

Talak satu dan talak dua adalah talak yang masih dapat dirujuk
atau kawin kembali.

Ketentuan mengenai talak satu dan dua diatur dalam Al Qur’an


surah Al-Baqarah (2) ayat 229:

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami
dapat) menahan dengan bak atau melepaskan dengan baik…

Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal.


103-104) menerangkan, dilihat dari bentuk cara terjadinya dan
akibat hukumnya, talak satu dan dua dibedakan menjadi:

1. Talak raj’i atau talak ruj’I adalah talak yang masih boleh
dirujuk. Sedangkan menurut Pasal 118 KHI, talak raj'i
adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk
selama istri dalam masa iddah.

Yang termasuk talak raj’i yaitu:

a. Talak satu atau talak dua tidak pakai ‘iwadh (sejumlah uang
pengganti yang merupakan syarat jatuhnya talak) dan
keduanya telah bersetubuh (ba’da al dukhul);
b. Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim
agama berdasarkan proses ila’, yaitu sumpah si suami tidak
akan mencampuri istrinya;
c. Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim
agama berdasarkan persamaan pendapat dua hakam karena
adanya syiqaq (keretakan yang sangat hebat antara suami dan
istri), tidak pakai ‘iwadh.

1. Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak dapat dirujuk lagi,
tetapi keduanya dapat kawin lagi sesudah masa iddah habis.
Senada dengan hal tersebut, Pasal 119 KHI mendefinsikan
talak ba`in shughra sebagai talak yang tidak boleh dirujuk
tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam iddah.

Perlu diperhatikan, terdapat sedikit perbedaan bentuk talak


yang termasuk ke dalam talak ba’in shugra menurut Sayuti
Thalib dan KHI, sebagai berikut:

Pasal 119 Sayuti Thalib

Kompilasi Hukum Islam


(“KHI”)
Bentuk talak ba’in shugra Talak yang terjadi qabla al Talak satu atau talak du
dukhul (sebelum pakai ‘iwadh;
bersetubuh);
Talak dengan tebusan atau Talak satu atau talak du
khuluk tidak pakai ‘iwadh, teta
Talak yang dijatuhkan oleh talak dijatuhkan sebelum
Pengadilan Agama bersetubuh.

Jadi, apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua


sebagaimana dimaksud di atas, maka ia dan istri yang ditalaknya
itu masih bisa rujuk atau kawin kembali.

Menurut Sayuti, yang dimaksud dengan rujuk kembali ialah


kembali terjadi hubungan suami-istri antara suami yang telah
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan istri yang telah ditalak-
nya itu dengan cara yang sederhana, yakni suami mengucapkan
“saya kembali kepadamu” di hadapan 2 orang saksi laki-laki yang
adil (hal. 101).
Sedangkan yang dimaksud dengan kawin kembali ialah kedua
mantan suami-istri menikah kembali sesuai dengan prosedur dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam, yaitu ada akad nikah,
saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami-
istri kembali. Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia kerap
menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk (hal. 101).

Masa Iddah

Sebelum membahas tentang talak tiga, perlu Anda ketahui terlebih


dahulu mengenai masa iddah yang sudah disinggung dalam
penjelasan sebelumnya. Masa iddah adalah waktu yang berlaku bagi
seorang istri yang putus perkawinannya dari bekas suaminya. Masa
iddah dikenal pula dengan sebutan waktu tunggu.[2]

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:[3]

Penyebab putusnya perkawinan Masa iddah


Suami meninggal, walaupun qabla al dukhul 130 hari
Perceraian, dalam kondisi perempuan sedang haid 3 kali suci, minimal 90
hari
Perceraian, dalam kondisi perempuan sedang tidak haid 90 hari
Perceraian atau suami meninggal, dalam kondisi Sampai melahirkan
perempuan sedang hamil
Talak Tiga

Talak tiga adalah salah satu bentuk dari talak ba’in besar, yakni
talak yang tidak boleh rujuk lagi. Konsekuensi dari talak tiga ini
yakni keduanya tidak boleh rujuk dan kawin lagi sebelum mantan
istri kawin dengan orang lain, demikian menurut pendapat Sayuti
dalam buku yang sama (hal. 104).

Ketentuan mengenai talak tiga diatur dalam Al Qur’an surah Al-


Baqarah (2) ayat 230, yang menyatakan:
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia
menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang
diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

Terkait ayat tersebut, Sayuti menerangkan, dalam hal suami


menjatuhkan talak tiga, maka agar keduanya dapat menikah
kembali, perlu adanya muhallil atau orang yang menghalalkan.
Maksudnya, si istri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki
lain, yang disebut muhallil, dan melakukan persetubuhan
dengannya. Kalau keduanya kemudian bercerai, maka barulah
mantan pasangan suami-istri yang berpisah akibat talak tiga
tersebut dapat kawin kembali (hal. 101-102).

Pengaturan mengenai talak tiga atau talak ba’in kubra ini juga
dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI:

Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga


kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.

Namun demikian, dalam praktik, ada pihak yang berupaya


mencari celah hukum dengan membayar seorang laki-laki untuk
menjadi muhallil dan menikah dengan mantan istrinya yang telah
ditalak tiga untuk beberapa waktu tertentu, kemudian
mentalaknya sehingga nantinya mantan suami-istri yang bercerai
akibat talak tiga dapat kawin kembali.
Terkait fenomena ini, Sudarsono menjelaskan bahwa hal tersebut
tidak dibenarkan dalam syariat Islam (hal. 128-129). Sayuti juga
berpendapat demikian, bahwasannya perbuatan muhallil upahan
ini yang telah sejak semula direncanakan hanya untuk kawin
sebentar saja, kemudian bercerai adalah perbuatan yang terlarang
dalam hukum Islam (hal.102).

Anda mungkin juga menyukai