Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Turnover Intention

2.1.1 Pengertian Turnover Intention

Turnover intention adalah kecenderungan niat karyawan untuk berhenti dari

pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri, keputusan karyawan

meninggalkan perusahaan inilah yang menjadi masalah besar bagi perusahaan

(Mahdi et al., 2012). Widjaja et al. (2011) mengungkapkan bahwa proses turnover

ditandai dengan suatu kondisi yang disebut dengan turnover intention atau niat

karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Seseorang yang berkomitmen rendah

pada perusahaan akan terlihat menarik diri dari perusahaan yang pada akhirnya

akan mengarah pada keputusan karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Mbah

dan Ikemefuna (2012) mengungkapkan bahwa perputaran karyawan yang tidak

dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai potensi biaya bagi perusahaan.

Biaya yang paling umum dikeluarkan adalah terkait dengan biaya rekrutmen serta

biaya pelatihan karyawan yang menyangkut biaya pengadaan wawancara dan

seleksi, biaya kompensasi atau tunjangan, tingkat kinerja yang dikorbankan, serta

biaya rekrutmen secara langsung (Kumar et al., 2011). Menurut Kadiman (2012)

intensitas turnover yang tinggi dapat menyebabkan perusaahan tidak dapat

memperoleh manfaat dan keuntungan dari program peningkatan kinerja karyawan

karena mengeluarkan biaya yang lebih besar pada program rekrutmen karyawan

baru. Menurut Jimad (2011) keinginan untuk meninggalkan suatu organisasi

1
umumnya didahului oleh niat karyawan yang dipicu antara lain oleh ketidakpuasan

karyawan terhadap pekerjaan serta rendahnya komitmen karyawan untuk

mengikatkan diri pada organisasi.

Martin (2011) mempunyai pendapat bahwa suatu proses psikologi yang

diikuti individu saat karyawan mempertimbangkan pekerjaan alternatif dimana

pada saat itu terjadi ketidak puasan terhadap pekerjaannya sekarang.Seorang

Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaanya akan menurunkan turnover

intention (Nugroho, 2008). Glissmeyer et al. (2007) menyatakan bahwa turnover

intention merupakan faktor mediasi antara keinginan keluar dan berhenttinya

karyawan dari pekerjaanya itu. Robbins (2008:125) menjelaskan bahwa turnover

pengunduran diri seseorang karyawan untuk keluar dari suatu organisasi.

Perpindahan itu dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun tidak

sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover terjadi karena karyawan

berpindah karena keinginannya sendiri disebabkan seberapa menarik pekerjaan saat

ini dan tersedia alternatif pekerjaan lain. Sedangkan involuntary turnover terjadi

karena terjadi pemecatan oleh atasan dan bersifat uncontrollable bagi karyawan

yang mengalami. Keinginan untuk pindah adalah mengacu pada hasil evaluasi

individu mengenai kelangsungan hubungan dengan tempat kerjanya tapi belum

diwujudkan dalam tindakan nyata meninggalkan tempat kerjanya yang nyata

(Hersusdadikawati, 2005). Ali et al. (2010) mendefinisikan sebagai keinginan

karyawan untuk keluar dari organisasinya. Ada pendapat lain dari Utami et al.

(2009), dinyatakan bahwa keinginan berpindah adalah keinginan karyawan untuk

mencari alternatif pekerjaan lain yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan

2
nyata. Aziz et al. (2010) menyimpulkan bahwa turnover intention adalah keputusan

individu tentang keanggotaannya dalam suatu organisasi. Jadi turnover intention

adalah suatu keinginan untuk berpindah tempat kerja atau pekerjaan dari seorang

karyawan yang didahului oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan atau tempat kerja

yang sekarang tetapi belum terwujud dalam tindakan nyata.

2.1.2 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Turnover Intention

Ada banyak Faktor yang membuat individu memiliki keinginan untuk

berpindah (turnover intention). Menurut Wijaya (2010), Mellor et al. (2004),

Moore (2002), Arnold et al. (2010) factor-faktor tersebut adalah kepuasan kerja,

komitmen organisasi dari karyawan, kepercayaan dari organisasi, job insecurity dan

job stress. Triaryati (2003) menyebutkan bahwa masalah keluarga secara langsung

akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan secara tidak langsung

mempengaruhi keinginan berpindah seseorang.

2.2 Kepuasan Kerja

Kepuasaan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan

mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan

prestasi kerja (Hasibuan, 2007:208). Rivai et al. (2009:237) mendefinisikan

kepuasan kerja sebagai Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang

bersifat individual. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai

dengan keinginan individu, maka makin tinggi pula kepuasannya terhadap

kegiatan tersebut.

Definisi lain diungkapakan oleh Church (1995) yang menyatakan bahwa

kepuasan kerja merupakan hasil dari berbagai macam sikap (attitude) yang dimiliki

3
oleh pegawai. Sikap yang dimaksud disini adalah hal-hal yang berhubungan dengan

pekerjaan berserta factor-faktor yang spesifik seperti pengawasan/supervise, gaji

dan tunjangan, kesempatan untuk mendapatkan promosi dan kenaikan pangkat,

kondisi kerja, pengalaman terhadap kecakapan, penilaian kerja yang adil dan tidak

merugikan, hubungan sosial dalam pekerjaan yang baik, penyelesaian yang cepat

terhadap keluhan-keluhan dan perlakuan yang baik dari pimpinan terhadap

pegawai.

Mc Nesse Smith (1996) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan

pekerja atau pegawai terhadap pekerjaannya. Sikap terhadap pekerjaannya

menggambarkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Jurges (2003) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah hasil yang penting dalam

aktivitas pasar tenaga kerja. Upah hanya merupakan salah satu pilihan

merekadisamping keadilan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja menyangkut

seberapa jauh karyawan merasakan kesesuaian anatara penghargaan yang diterima

dari pekerjaannya dan espektasi yang telah diberikan, perasaan senang atau emosi

positif yang diperoleh dari pengalaman kerja yang menyangkut individu bukan

kelompok tentang pengalaman masa lalunya (Andini, 2006).

Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah suatu sikap umum karyawan baik

menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya (Robbins dan

Judge, 2008:231). Pujilistiyani (2007) menegaskan bahwa kepuasan kerja

merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak

menyenangkan pekerjaan mereka. Hasibuan (2007) menyatakan bahwa kepuasan

kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.

4
Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Sedangkan

Mangkunegara (2005: 117) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu

perasaan yang mendukung atau tidak mendukung diri pegawai yang yang

berhubungan dengan pekerjaannya dan kondisi pekerjaannya. Asad (2004 : 104)

menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap karyawan terhadap pekerjaan,

situasi kerja, kerjasama diantara pemimpin dan sesame karyawan.

Berdasarkan teori-teori yang didapat didukung dengan jurnal maka

didapatkan pengertian dari kepuasan kerja adalah suatu sikap emosional yang

menyenangkan dan tidak menyenangkan dari individu terhadap pekerjaannya

sehingga individu tersebut dapat bertahan atau keluar dari suatu pekerjaannya.

Menyenangkan bila yang didapat sama dengan yang diharapkan. Tidak

menyenangkan bila yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan.

2.2.1 Faktor faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik karena terbukti besar

manfaatnya bagi kepentingan pegawai, organisasi dan masyarakat. Berdasarkan

Survey yang dilakukan Herzberg dalam Hartati (2011) disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor

menimbulkan ketidakpuasan.

Menurut Hasibuan (2007:275) factor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja adalah:

1) Pekerjaan itu sendiri, yaitu variasi pekerjaan baik dalam pemberian

tugas, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk bertanggung

jawab.

5
2) Gaji, yaitu imbalan finansial yang diterima yang dianggap pantas oleh

karyawan meliputi upah, premi bonus, tunjangan keuangan,dan lain-

lain.

3) Kesempatan promosi karir, yaitu kesempatan untuk mengembangkan

diri dalam organisasi.

4) Pengawasan, yaitu kemampuan atasan untuk memberikan bantuan

teknis dan dukungan perilaku untuk tujuan tertentu.

5) Kelompok kerja, yaitu interaksi dengan rekan kerja, atasan, bawahan

dan lain-lain, dalam mendukung secara sosial.

6) Kondisi kerja, yaitu keadaan lingkungan kerja karyawan yang dapat

mempengaruhi dirinya dalam bekerja.

2.2.2 Manfaat Kepuasan Kerja

Menurut Pujilistiyani (2007), banyak manfaat yang diperoleh dari kepuasan

kerja yaitu:

1) Menimbulkan peningkatan kebahagiaan hidup karyawan.

2) Peningkatan produktifitas dan prestasi kerja.

3) Pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku pegawai.

4) Meningkatkan gairah dan semangat kerja.

5) Mengurangi tingkat absensi.

6) Mengurangi Labour Turnover (perputaran tenaga kerja).

7) Mengurangi tingkat kecelakaan kerja.

8) Meningkatkan keselamatan kerja.

9) Meningkatkan motivasi kerja.

6
10) Menimbulkan kematangan psikologi.

11) Menimbulkan sikap positif terhadap pekerjaanya.

2.2.3 Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008:336) disebutkan ada empat cara

mengungkapkan ketidakpuasan karyawan. Empat cara tersebut adalah:

1) Keluar (exit), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan

meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.

2) Menyuarakan (voice), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan

melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi,

memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan.

3) Kesetiaan (loyalty), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan

menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk

membela perusahaan terhadap kritik dari karyawan dan percaya bahwa

organisasi dan manajemen melakukan hal yang tepat untuk

memperbaiki kondisi.

4) Pengabaian (neglect), yaitu secara pasif membiarkan kondisi

memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis,

upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat.

2.3 Ketidakamanan Kerja (Job Insecurity)

Menurut Greenglass dkk (2002) menurunnya kondisi psikologis seseorang

akan mempengaruhi kepuasan kerja karyawan seperti perasaan tidak aman dalam

bekerja (job insecurity) akan mempengaruhi karyawan lebih dari sekedar

kehilangan pekerjaaan semata. Menurut Sverke, Hellhren, dan Naswal (2002)

7
dalam penelitiannya menemukan beberapa dampak pada karyawan dan organisasi

dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurutya, dalam jangka pendek

job insecurity akan berdampak terhadap kepuasan kerja, keterlibatan kerja,

komitmen organisasi dan kepercayaan terhadap pemimpin, seperti berkurangnya

kepercayaan terhadap pemimpin sehingga berdampak pada kesalahpahaman antara

pemimpin dan bawahan dalam hal pendapat. Sedangkan dalam jangka panjang akan

berdampak terhadap kesehatan fisik, kesehatan mental, performa kerja, dan intensi

pindah kerja (turnover).

Sementara Mizar Yuniar (2008) mengartikan ketidakamanan kerja (job

insecurity) sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan

rasa binggung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang

berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya

jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis

pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan

banyaknya karyawan yang mengalami ketidakamanan kerja (job insecurity)

(Smithson & Lewis, 2000 dalam Mizar Yuniar, 2008).

Adkins et al. (2001) menyatakan beberapa dimensi dari job insecurity yaitu:

1) Kemungkinan kehilangan pekerjaan, menyangkut tentang kemungkinan

kehilangan pekerjaan yang dirasakan pegawai di tempat kerja.

2) Kemungkinan perubahan negatif yang terjadi pada perusahaan, segala

kecemasan pada pegawai kontrak tentang perubahan negatif yang mungkin

terjadi pada perusahaan misalnya penurunan penjualan yang berdampak pada

penurunan produksi, ini juga dapat berdampak pada kelangsungan pekerjaan

8
pegawai karena penurunan produksi berarti penurunan jumlah beban kerja

organisasi yang biasanya akan diikuti dengan perampingan organisasi.

3) Ketidakberdayaan pegawai dalam menangani ancaman, indikator ini lebih

berfokus pada tingkat ketidakberdayaan yang dirasakan pegawai saat terjadi

perubahan pada organisasi yang memberikan ancaman pada kelangsungan

karir mereka.

2.4 Hipotesis Penelitian

2.4.1 Pengaruh Job Insecurity Terhadap Kepuasan Kerja

Greenhalgh (2002), mendefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang

terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan

sangat mungkin terancam, gelisah, dan tidak aman karena adanya perubahan untuk

mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta imbalan yang

diterimanya dari organisasi. Penelitian Ashford dkk. (1989) menemukan bahwa

tingginya kepuasan kerja dipengaruhi oleh rendahnya job insecurity yang dirasakan

oleh pekerja. Landsbergis (1988) menyatakan ketegangan bekerja meliputi ketidak

amanan kerja serta menunjukan dirinya sendiri sebagai ketidakpuasan kerja dan

depresi.

H1: Terdapat pengaruh negatif antara Job insecurity terhadap kepuasan kerja

pada karyawan kontrak Bali Dynasty Resort.

2.4.2 Pengaruh Job Insecurity Terhadap Turnover Intention Karyawan

Greenhalgh (2002), mendefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang

9
terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan

sangat mungkin terancam, gelisah, dan tidak aman karena adanya perubahan untuk

mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta imbalan yang

diterimanya dari organisasi.

Hasil penelitian Utami, (2009) mengungkapkan bahwa Semakin tinggi job

insecurity akan menyebabkan rendahnya komitmen organisasional, dan kemudian

menyebabkan tingginya keinginan berpindah kerja. Penelitian Prastiti (2002)

mengungkapkan bahwa job insecurity memiliki pengaruh positif terhadap turnover

intention. Penelitian Fiksenbaum dkk (2002) dalam Greenglass (2002) juga

menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara ketidakamanan kerja dengan intensi

pindah kerja karyawan, karena ketidakamanan kerja yang terjadi secara terus

menerus akan mempengaruhi kondisi psikologis karyawan. Jika masalah rasa tidak

aman dalam bekerja terus menerus dihadapi karyawan, maka akan menstimulasi

munculnya keinginan untuk berpindah kerja atau intensi turnover. Berdasar pada

pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis:

H2: Terdapat pengaruh positif antara Job insecurity terhadap turnover

intention pada karyawan kontrak Bali Dynasty Resort.

2.4.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intentions Karyawan

Menurut Bakotic et al. (2013) kepuasan kerja dapat dilihat dengan

menunjukan rasa nyaman serta memiliki pengalaman yang positif di dalam

pekerjaannya. Penelitian yang dilakukan Jang et al. (2012), Lai et al. (2012) dan

Ucho et al. (2012) mendapatkan variabel kepuasan kerja berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap turnover intention. Semakin tinggi kepuasan kerja yang

10
dirasakan karyawan, semakin rendah keinginan untuk keluar dari organisasi begitu

dengan sebaliknya semakin rendah kepuasan kerja karyawan maka semakin

tinggi keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi (Azemm, 2010). Handaru

dan Nailul (2012) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja seorang karyawan

berpengaruh negatif pada turnover intention. Berdasar pada pemikiran tersebut

maka dapat dirumuskan hipotesis :

H3: Terdapat pengaruh negatif antara kepuasan kerja terhadap turnover

intentions pada karyawan kontrak Bali Dynasty Resort

2.5 Model Konseptual

Berdasarkan kajian teori dan didukung oleh penelitian terdahulu, berikut

disajikan model konseptual yang akan membantu menginterpretasikan hubungan

hipotesis.

Kepuasan
Kerja (Y1)
H1 H3

Job H2 Turnover
Insecurity Intention
(X) (Y2)

Gambar 2.1 Model Konseptual (Conceptual Framework)


Sumber: berbagai pendapat dan publikasi, dikembangkan untuk penelitian

11
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.2 Turnover Intention

2.2.1 Pengertian Turnover Intention

Turnover intention adalah kecenderungan niat karyawan untuk berhenti dari

pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri, keputusan karyawan

meninggalkan perusahaan inilah yang menjadi masalah besar bagi perusahaan

(Mahdi et al., 2012). Widjaja et al. (2011) mengungkapkan bahwa proses turnover

ditandai dengan suatu kondisi yang disebut dengan turnover intention atau niat

karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Seseorang yang berkomitmen rendah

pada perusahaan akan terlihat menarik diri dari perusahaan yang pada akhirnya

akan mengarah pada keputusan karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Mbah

dan Ikemefuna (2012) mengungkapkan bahwa perputaran karyawan yang tidak

dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai potensi biaya bagi perusahaan.

Biaya yang paling umum dikeluarkan adalah terkait dengan biaya rekrutmen serta

biaya pelatihan karyawan yang menyangkut biaya pengadaan wawancara dan

seleksi, biaya kompensasi atau tunjangan, tingkat kinerja yang dikorbankan, serta

biaya rekrutmen secara langsung (Kumar et al., 2011). Menurut Kadiman (2012)

intensitas turnover yang tinggi dapat menyebabkan perusaahan tidak dapat

memperoleh manfaat dan keuntungan dari program peningkatan kinerja karyawan

karena mengeluarkan biaya yang lebih besar pada program rekrutmen karyawan

baru. Menurut Jimad (2011) keinginan untuk meninggalkan suatu organisasi

umumnya didahului oleh niat karyawan yang dipicu antara lain oleh ketidakpuasan

12
karyawan terhadap pekerjaan serta rendahnya komitmen karyawan untuk

mengikatkan diri pada organisasi.

Martin (2011) mempunyai pendapat bahwa suatu proses psikologi yang

diikuti individu saat karyawan mempertimbangkan pekerjaan alternatif dimana

pada saat itu terjadi ketidak puasan terhadap pekerjaannya sekarang.Seorang

Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaanya akan menurunkan turnover

intention (Nugroho, 2008). Glissmeyer et al. (2007) menyatakan bahwa turnover

intention merupakan faktor mediasi antara keinginan keluar dan berhenttinya

karyawan dari pekerjaanya itu. Robbins (2008:125) menjelaskan bahwa turnover

pengunduran diri seseorang karyawan untuk keluar dari suatu organisasi.

Perpindahan itu dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun tidak

sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover terjadi karena karyawan

berpindah karena keinginannya sendiri disebabkan seberapa menarik pekerjaan saat

ini dan tersedia alternatif pekerjaan lain. Sedangkan involuntary turnover terjadi

karena terjadi pemecatan oleh atasan dan bersifat uncontrollable bagi karyawan

yang mengalami. Keinginan untuk pindah adalah mengacu pada hasil evaluasi

individu mengenai kelangsungan hubungan dengan tempat kerjanya tapi belum

diwujudkan dalam tindakan nyata meninggalkan tempat kerjanya yang nyata

(Hersusdadikawati, 2005). Ali et al. (2010) mendefinisikan sebagai keinginan

karyawan untuk keluar dari organisasinya. Ada pendapat lain dari Utami et al.

(2009), dinyatakan bahwa keinginan berpindah adalah keinginan karyawan untuk

mencari alternatif pekerjaan lain yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan

nyata. Aziz et al. (2010) menyimpulkan bahwa turnover intention adalah keputusan

13
individu tentang keanggotaannya dalam suatu organisasi. Jadi turnover intention

adalah suatu keinginan untuk berpindah tempat kerja atau pekerjaan dari seorang

karyawan yang didahului oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan atau tempat kerja

yang sekarang tetapi belum terwujud dalam tindakan nyata.

2.2.2 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Turnover Intention

Ada banyak Faktor yang membuat individu memiliki keinginan untuk

berpindah (turnover intention). Menurut Wijaya (2010), Mellor et al. (2004),

Moore (2002), Arnold et al. (2010) factor-faktor tersebut adalah kepuasan kerja,

komitmen organisasi dari karyawan, kepercayaan dari organisasi, job insecurity dan

job stress. Triaryati (2003) menyebutkan bahwa masalah keluarga secara langsung

akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan secara tidak langsung

mempengaruhi keinginan berpindah seseorang.

2.2 Kepuasan Kerja

Kepuasaan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan

mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan

prestasi kerja (Hasibuan, 2007:208). Rivai et al. (2009:237) mendefinisikan

kepuasan kerja sebagai Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang

bersifat individual. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai

dengan keinginan individu, maka makin tinggi pula kepuasannya terhadap

kegiatan tersebut.

Definisi lain diungkapakan oleh Church (1995) yang menyatakan bahwa

kepuasan kerja merupakan hasil dari berbagai macam sikap (attitude) yang dimiliki

oleh pegawai. Sikap yang dimaksud disini adalah hal-hal yang berhubungan dengan

14
pekerjaan berserta factor-faktor yang spesifik seperti pengawasan/supervise, gaji

dan tunjangan, kesempatan untuk mendapatkan promosi dan kenaikan pangkat,

kondisi kerja, pengalaman terhadap kecakapan, penilaian kerja yang adil dan tidak

merugikan, hubungan sosial dalam pekerjaan yang baik, penyelesaian yang cepat

terhadap keluhan-keluhan dan perlakuan yang baik dari pimpinan terhadap

pegawai.

Mc Nesse Smith (1996) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan

pekerja atau pegawai terhadap pekerjaannya. Sikap terhadap pekerjaannya

menggambarkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Jurges (2003) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah hasil yang penting dalam

aktivitas pasar tenaga kerja. Upah hanya merupakan salah satu pilihan

merekadisamping keadilan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja menyangkut

seberapa jauh karyawan merasakan kesesuaian anatara penghargaan yang diterima

dari pekerjaannya dan espektasi yang telah diberikan, perasaan senang atau emosi

positif yang diperoleh dari pengalaman kerja yang menyangkut individu bukan

kelompok tentang pengalaman masa lalunya (Andini, 2006).

Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah suatu sikap umum karyawan baik

menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya (Robbins dan

Judge, 2008:231). Pujilistiyani (2007) menegaskan bahwa kepuasan kerja

merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak

menyenangkan pekerjaan mereka. Hasibuan (2007) menyatakan bahwa kepuasan

kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.

Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Sedangkan

15
Mangkunegara (2005: 117) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu

perasaan yang mendukung atau tidak mendukung diri pegawai yang yang

berhubungan dengan pekerjaannya dan kondisi pekerjaannya. Asad (2004 : 104)

menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap karyawan terhadap pekerjaan,

situasi kerja, kerjasama diantara pemimpin dan sesame karyawan.

Berdasarkan teori-teori yang didapat didukung dengan jurnal maka

didapatkan pengertian dari kepuasan kerja adalah suatu sikap emosional yang

menyenangkan dan tidak menyenangkan dari individu terhadap pekerjaannya

sehingga individu tersebut dapat bertahan atau keluar dari suatu pekerjaannya.

Menyenangkan bila yang didapat sama dengan yang diharapkan. Tidak

menyenangkan bila yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan.

2.2.1 Faktor faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik karena terbukti besar

manfaatnya bagi kepentingan pegawai, organisasi dan masyarakat. Berdasarkan

Survey yang dilakukan Herzberg dalam Hartati (2011) disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor

menimbulkan ketidakpuasan.

Menurut Hasibuan (2007:275) factor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja adalah:

7) Pekerjaan itu sendiri, yaitu variasi pekerjaan baik dalam pemberian

tugas, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk bertanggung

jawab.

16
8) Gaji, yaitu imbalan finansial yang diterima yang dianggap pantas oleh

karyawan meliputi upah, premi bonus, tunjangan keuangan,dan lain-

lain.

9) Kesempatan promosi karir, yaitu kesempatan untuk mengembangkan

diri dalam organisasi.

10) Pengawasan, yaitu kemampuan atasan untuk memberikan bantuan

teknis dan dukungan perilaku untuk tujuan tertentu.

11) Kelompok kerja, yaitu interaksi dengan rekan kerja, atasan, bawahan

dan lain-lain, dalam mendukung secara sosial.

12) Kondisi kerja, yaitu keadaan lingkungan kerja karyawan yang dapat

mempengaruhi dirinya dalam bekerja.

2.2.2 Manfaat Kepuasan Kerja

Menurut Pujilistiyani (2007), banyak manfaat yang diperoleh dari kepuasan

kerja yaitu:

12) Menimbulkan peningkatan kebahagiaan hidup karyawan.

13) Peningkatan produktifitas dan prestasi kerja.

14) Pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku pegawai.

15) Meningkatkan gairah dan semangat kerja.

16) Mengurangi tingkat absensi.

17) Mengurangi Labour Turnover (perputaran tenaga kerja).

18) Mengurangi tingkat kecelakaan kerja.

19) Meningkatkan keselamatan kerja.

20) Meningkatkan motivasi kerja.

17
21) Menimbulkan kematangan psikologi.

22) Menimbulkan sikap positif terhadap pekerjaanya.

2.2.3 Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008:336) disebutkan ada empat cara

mengungkapkan ketidakpuasan karyawan. Empat cara tersebut adalah:

5) Keluar (exit), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan

meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.

6) Menyuarakan (voice), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan

melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi,

memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan.

7) Kesetiaan (loyalty), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan

menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk

membela perusahaan terhadap kritik dari karyawan dan percaya bahwa

organisasi dan manajemen melakukan hal yang tepat untuk

memperbaiki kondisi.

8) Pengabaian (neglect), yaitu secara pasif membiarkan kondisi

memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis,

upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat.

2.6 Ketidakamanan Kerja (Job Insecurity)

Menurut Greenglass dkk (2002) menurunnya kondisi psikologis seseorang

akan mempengaruhi kepuasan kerja karyawan seperti perasaan tidak aman dalam

bekerja (job insecurity) akan mempengaruhi karyawan lebih dari sekedar

kehilangan pekerjaaan semata. Menurut Sverke, Hellhren, dan Naswal (2002)

18
dalam penelitiannya menemukan beberapa dampak pada karyawan dan organisasi

dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurutya, dalam jangka pendek

job insecurity akan berdampak terhadap kepuasan kerja, keterlibatan kerja,

komitmen organisasi dan kepercayaan terhadap pemimpin, seperti berkurangnya

kepercayaan terhadap pemimpin sehingga berdampak pada kesalahpahaman antara

pemimpin dan bawahan dalam hal pendapat. Sedangkan dalam jangka panjang akan

berdampak terhadap kesehatan fisik, kesehatan mental, performa kerja, dan intensi

pindah kerja (turnover).

Sementara Mizar Yuniar (2008) mengartikan ketidakamanan kerja (job

insecurity) sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan

rasa binggung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang

berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya

jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis

pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan

banyaknya karyawan yang mengalami ketidakamanan kerja (job insecurity)

(Smithson & Lewis, 2000 dalam Mizar Yuniar, 2008).

Adkins et al. (2001) menyatakan beberapa dimensi dari job insecurity yaitu:

4) Kemungkinan kehilangan pekerjaan, menyangkut tentang kemungkinan

kehilangan pekerjaan yang dirasakan pegawai di tempat kerja.

5) Kemungkinan perubahan negatif yang terjadi pada perusahaan, segala

kecemasan pada pegawai kontrak tentang perubahan negatif yang mungkin

terjadi pada perusahaan misalnya penurunan penjualan yang berdampak pada

penurunan produksi, ini juga dapat berdampak pada kelangsungan pekerjaan

19
pegawai karena penurunan produksi berarti penurunan jumlah beban kerja

organisasi yang biasanya akan diikuti dengan perampingan organisasi.

6) Ketidakberdayaan pegawai dalam menangani ancaman, indikator ini lebih

berfokus pada tingkat ketidakberdayaan yang dirasakan pegawai saat terjadi

perubahan pada organisasi yang memberikan ancaman pada kelangsungan

karir mereka.

2.7 Hipotesis Penelitian

2.7.1 Pengaruh Job Insecurity Terhadap Kepuasan Kerja

Greenhalgh (2002), mendefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang

terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan

sangat mungkin terancam, gelisah, dan tidak aman karena adanya perubahan untuk

mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta imbalan yang

diterimanya dari organisasi. Penelitian Ashford dkk. (1989) menemukan bahwa

tingginya kepuasan kerja dipengaruhi oleh rendahnya job insecurity yang dirasakan

oleh pekerja. Landsbergis (1988) menyatakan ketegangan bekerja meliputi ketidak

amanan kerja serta menunjukan dirinya sendiri sebagai ketidakpuasan kerja dan

depresi.

H1: Terdapat pengaruh negatif antara Job insecurity terhadap kepuasan kerja

pada karyawan kontrak Bali Dynasty Resort.

2.7.2 Pengaruh Job Insecurity Terhadap Turnover Intention Karyawan

Greenhalgh (2002), mendefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang

20
terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan

sangat mungkin terancam, gelisah, dan tidak aman karena adanya perubahan untuk

mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta imbalan yang

diterimanya dari organisasi.

Hasil penelitian Utami, (2009) mengungkapkan bahwa Semakin tinggi job

insecurity akan menyebabkan rendahnya komitmen organisasional, dan kemudian

menyebabkan tingginya keinginan berpindah kerja. Penelitian Prastiti (2002)

mengungkapkan bahwa job insecurity memiliki pengaruh positif terhadap turnover

intention. Penelitian Fiksenbaum dkk (2002) dalam Greenglass (2002) juga

menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara ketidakamanan kerja dengan intensi

pindah kerja karyawan, karena ketidakamanan kerja yang terjadi secara terus

menerus akan mempengaruhi kondisi psikologis karyawan. Jika masalah rasa tidak

aman dalam bekerja terus menerus dihadapi karyawan, maka akan menstimulasi

munculnya keinginan untuk berpindah kerja atau intensi turnover. Berdasar pada

pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis:

H2: Terdapat pengaruh positif antara Job insecurity terhadap turnover

intention pada karyawan kontrak Bali Dynasty Resort.

2.7.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intentions Karyawan

Menurut Bakotic et al. (2013) kepuasan kerja dapat dilihat dengan

menunjukan rasa nyaman serta memiliki pengalaman yang positif di dalam

pekerjaannya. Penelitian yang dilakukan Jang et al. (2012), Lai et al. (2012) dan

Ucho et al. (2012) mendapatkan variabel kepuasan kerja berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap turnover intention. Semakin tinggi kepuasan kerja yang

21
dirasakan karyawan, semakin rendah keinginan untuk keluar dari organisasi begitu

dengan sebaliknya semakin rendah kepuasan kerja karyawan maka semakin

tinggi keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi (Azemm, 2010). Handaru

dan Nailul (2012) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja seorang karyawan

berpengaruh negatif pada turnover intention. Berdasar pada pemikiran tersebut

maka dapat dirumuskan hipotesis :

H3: Terdapat pengaruh negatif antara kepuasan kerja terhadap turnover

intentions pada karyawan kontrak Bali Dynasty Resort

2.8 Model Konseptual

Berdasarkan kajian teori dan didukung oleh penelitian terdahulu, berikut

disajikan model konseptual yang akan membantu menginterpretasikan hubungan

hipotesis.

Kepuasan
Kerja (Y1)
H1 H3

Job H2 Turnover
Insecurity Intention
(X) (Y2)

Gambar 2.1 Model Konseptual (Conceptual Framework)


Sumber: berbagai pendapat dan publikasi, dikembangkan untuk penelitian

22

Anda mungkin juga menyukai