Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH OCB TERHADAP KEPUASAN KERJA DAN KINERJA

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Sunyoto & Burhanudin (2015) mendefinisikan bahwa perilaku organisasional adalah

bidang studi yang mempelajari pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok, dan struktur

terhadap perilaku dalam organisasi, yang bertujuan agar organisasi menjadi lebih efektif.

Perilaku organisasional mengajarkan tiga faktor
 perilaku dalam organisasi, individu,

kelompok, dan struktur. Perilaku organisasional juga menerapkan ilmu pengetahuan yang

diperoleh tentang individu, kelompok, dan pengaruh dari struktur terhadap perilaku, dengan

tujuan agar organisasi dapat bekerja secara lebih efektif. Sejalan dengan pendapat tersebut yang

dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2009) bahwa perilaku organisasional berkaitan dengan

studi mengenai apa yang dilakukan oleh individu dalam suatu organisasi dan bagaimana

pengaruh perilaku mereka terhadap kinerja organisasi. Perilaku organisasional berhubungan

dengan situasi-situasi yang berkaitan dengan pekerjaan, oleh sebab itu perilaku organisasional

fokus pada cara meningkatkan produktivitas, mengurangi absenteism, employee turnover,

perilaku menyimpang di tempat kerja, perilaku kewargaan organisasi/organizational

citizenship behavior, dan kepuasan kerja.Organizational Citizenship Behavior (OCB).

Organizational citizenship behavior (OCB) dianggap sebagai suatu perilaku di tempat

kerja yang sesuai dengan penilaian pribadi yang melebihi persyaratan kerja dasar seseorang.

OCB juga dapat dijelaskan sebagai perilaku yang melebihi permintaan tugas. Gibson, et al

(2011) berpendapat bahwa organizational citizenship behavior sangat penting dalam

kelangsungan hidup organisasi. Gibson, et al (2011) lebih lanjut memperinci bahwa perilaku

organisasional bisa memaksimalkan efisiensi dan produktivitas karyawan maupun organisasi

yang pada akhirnya memberi kontribusi pada fungsi efektif dari suatu organisasi. Skala ini
mengukur kelima dimensi OCB sebagai berikut:

1. Altruism – perilaku membantu orang tertentu, diantaranya menggantikan rekan kerja yang

tidak masuk atau istirahat, membantu orang lain yang pekerjaannya overload., membantu

proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta, membantu mengerjakan tugas

orang lain pada saat mereka tidak masuk, meluangkan waktu untuk membantu orang lain

berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pekerjaan.

2. Perilaku yang melebihi syarat minimum seperti kehadiran, kepatuhan terhadap aturan, dan

sebagainya.Tiba lebih awal, sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai.Tepat

waktu setiap hari tidak peduli pada musim ataupun lalu lintas, dan sebagainya. Berbicara

seperlunya dalam percakapan di telepon.Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di

luar pekerjaan. mensegerakan jika dibutuhkan.Tidak mengambil kelebihan waktu

meskipun memiliki ekstra 6 (enam) hari kerja.

3. Sportmanship kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh, menahan diri dari aktivitas-

aktivitas mengeluh dan mengumpat, tidak menemukan kesalahan dalam organisasi, tidak

mengeluh tentang segala sesuatu, tidak membesar-besarkan permasalahan di luar

proporsinya.

4. Civic Virtue adalah keterlibatan dalam fungsi-fungsi organisasi. Sebagai contoh

memberikan perhatian terhadap fungsi- fungsi yang membantu image organisasi,

memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang dianggap penting, membantu

mengatur kebersamaan secara departemental.

5. Courtesy, yaitu menyimpan informasi tentang kejadian-kejadian maupun perubahan-

perubahan dalam organisasi, mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan-

perkembangan dalam organisasi, membaca dan mengikuti pengumuman-pengumuman

organisasi, membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi.
Pengertian Kepuasan Kerja

Setiap manusia mempunyai kebutuhan dalam hidupnya. Adanya keinginan untuk

memenuhi kebutuhan itulah yang mendorong manusia melakukan berbagai aktivitas.

Kebutuhan yang dimiliki manusia sangatlah beragam. Kepuasan seseorang antara satu dengan

yang lainnya akan berbeda-beda. Jadi, kepuasan itu bersifat individual.

Menurut Abdurrahmat (2006) kepuasan kerja merupakan suatu bentuk sikap emosional

yang menyenangkan dan mencintai pekerjaan yang digelutinya. Kepuasan kerja dalam

pekerjaan ialah kepuasan kerja yang dapat dinikmati dalam pekerjaan dengan mendapatkan

hasil dari pencapaian tujuan kerja, penempatan, perlakuan, dan suasana lingkungan kerja yang

baik. Karyawan yang dapat menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan ini, akan memilih untuk

lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa/ upah yang ia dapatkan dari pekerjaan

tersebut. Karyawan akan merasa lebih puas apabila balas jasanya sebanding dengan hasil kerja

yang dilakukan.

Menurut Handoko kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang dapat

mempengaruhi produktivitas atau prestasi kerja para karyawan. Variabel lain yang juga dapat

mempengaruhi produktivitas kerja para karyawan, diantaranya motivasi untuk bekerja, tingkat

stres kerja yang dialami oleh karyawan, kondisi fisik pekerjaan, kompensasi, dan aspek- aspek

ekonomis, teknis serta perilaku lainnya. Pekerjaan yang memberikan kepuasan kerja bagi

pelakunya ialah pekerjaan yang dirasa menyenangkan untuk dikerjakan (Supriyanto &

Machfudz, 2010). Sebaliknya, pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk dikerjakan

merupakan indikator dari rasa ketidakpuasan dalam bekerja (Bangun, 2012).


Menurut Achmad dkk (2010), kepuasan kerja difungsikan untuk dapat meningkatkan

semangat kerja karyawan, meningkatkan produktivitas, menurunkan tingkat absensi,

meningkatkan loyalitas karyawan dan mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja di suatu

perusahaan. Karyawan yang mendapatkan kepuasan kerjanya ialah karyawan yang memiliki

tingkat kehadiran dan perputaran kerja yang baik, pasif dalam serikat kerja, dan memiliki

prestasi kerja yang lebih baik dari karyawan lainnya. Sedangkan karyawan yang tidak

memperoleh kepuasan kerja akan memberikan dampak bagi perusahaan berupa kemangkiran

karyawan, perputaran kerja, kelambanan dalam menyelesaikan pekerjaan, pengunduran diri

lebih dini, aktif dalam serikat kerja, terganggu kesehatan fisik dan mental karyawannya.

Dari pernyataan beberapa ahli di atas mengenai pengertian kepuasan kerja, peneliti

dapat menyimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap positif yang ditunjukkan oleh

karyawan terhadap pekerjaannya, sehingga karyawan dapat bekerja dengan senang hati tanpa

merasa terbebani dengan pekerjaan tersebut dan memberikan hasil yang optimal bagi

perusahaan.

Aspek-aspek Kepuasan Kerja

Abdurrahmat (2006) memaparkan bahwa indikator kepuasan kerja hanya diukur

dengan kedisiplinan, moral kerja, dan turnover kecil. Jadi, apabila kedisiplinan, moral kerja

dan turnover karyawan besar, maka kepuasan kerja karyawan di perusahaan tersebut

berkurang.

Menurut Abdus (2014) kepuasan kerja seorang karyawan dapat diukur dengan

beberapa hal berikut ini :


1. Isi pekerjaan, menampilkan pekerjaan yang aktual sehingga dapat dikontrol dengan

baik

2. Organisasi dan manajemen

3. Supervisi

4. Kesempatan untuk maju

5. Kondisi pekerjaan

6. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti mendapatkan bonus/

insentif

Sondang (2001) juga memaparkan beberapa aspek dari kepuasan kerja, diantaranya adalah:

1. Prestasi kerja karyawan yang rendah

2. Tingkat kemangkiran yang tinggi

3. Keinginan pindah kerja yang tinggi

Schermerhorn (2005) menyatakan bahwa ada lima aspek dalam kepuasan kerja :

1. Pekerjaan itu sendiri. Aspek ini mengacu bagaimana sebuah pekerjaan memiliki daya

tarik untuk dikerjakan dan diselesaikan. Pekerjaan tersebut juga bisa dijadikan sebagai

kesempatan untuk belajar dan mengemban tanggungjawab.

2. Pengawas (supervisi). Aspek ini menunjukkan sejauh mana kemampuan penyelia

dalam menunjukkan kepedulian pada karyawan seperti memberikan bantuan teknis dan

dukungan perilaku.

3. Rekan kerja. Sumber kepuasan kerja yang paling sederhana ialah memiliki rekan kerja

yang kooperatif. Rekan kerja maupun tim kerja yang menyenangkan dan mendukung

akan membuat pekerjaan menjadi efektif.


4. Kesempatan promosi. Berkaitan dengan kesempatan karyawan untuk lebih maju

dalam organisasi. Promosi atas dasar senioritas akan memberikan kepuasan berbeda

bila dibandingkan promosi atas dasar kinerja.

5. Gaji merupakan imbalan yang diperoleh berdasarkan hasil/ usaha kerja yang dilakukan.

Gaji digunakan karyawan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya

termasuk sandang, pengan, dan papan. Kebutuhan hidup yang tercukupi akan dapat

memberikan kepuasan dalam diri karyawan.

Suparno (2015) memaparkan beberapa indikator sebuah perusahaan yang memilki masalah

mengenai ketidakpuasan kerja bagi karyawannya, yaitu :

1. Jumlah karyawan yang absen bertambah

2. Masuk kantor terlambat

3. Pulang dari kantor lebih cepat

4. Sering rebut antar karyawan

5. Mengabaikan atau mencelakakan karyawan lain

6. Pengambilan keputusan dan perilaku yang buruk

7. Terjadinya kecelakaan kerja yang tidak biasa

8. Bertambah pemborosan dan kerusakan alat

9. Terlibat masalah pelanggaran hukum

10. Penampilan yang semakin buruk

Konsep Kinerja

Kinerja sangat penting terhadap keberhasilan suatu organisasi. Keberhasilan organisasi

dipengaruhi besar oleh faktor aktivitas yang dilakukan oleh pegawai. Untuk mengukur

keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dapat melalui kinerja pegawai itu sendiri.

Konsep kinerja telah banyak dibahas dalam studi-studi manajemen, pengertian atau makna atas
konsep kinerja sendiri telah diberikan oleh banyak para ahli dengan berbagai sudut pandang,

sehingga menghasilkan defenisi-defenisi yang beragam. Anwar Prabu Mangkunegara

(2009:67) mengemukakan bahwa istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual

Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).

Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai

oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang

diberikan kepadanya. Dan menurut Mahsun (2006:25) kinerja diartikan sebagai tingkat

pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan,

misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Mengamati

kedua definisi tersebut terlihat bahwa konsep kinerja ini merupakan kemampuan untuk

menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Adapun kinerja menurut Bernardin, John H. & Joyce E. A. Russel, menyatakan bahwa:

“Performance is defined as the record of outcomes produced on a specific job function


or a activity during a specific time period. (Kinerja didefinisikan sebagai catatan
mengenai outcome yang dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu
tertentu pula).”
(Sedarmayanti, 2013:260)

Kemudian, Sedarmayanti mengemukakan bahwa “Kinerja mempunyai hubungan erat

dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana

usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi.”

(Sedarmayanti, 2009:50)

Tercapainya tujuan organisasi dapat diwujudkan apabila ada upaya yang optimal dari

para pelaku yang terdapat pada suatu organisasi. Dengan kata lain, bahwa terdapat hubungan

yang erat antara kinerja perseorangan serta kinerja kelompok dengan kinerja organisasi. Hal

ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Prawirasentono, bahwa kinerja diambil dari Bahasa

Inggris yaitu “performance”. Dan arti performance atau kinerja adalah sebagai berikut:

“Performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.”
(Prawirasentono, 2008:2)

Hal tersebut sesuai dengan apa yang yang dikemukakan oleh Yaslis Ilyas, bahwa

definisi kinerja adalah:

“Kinerja adalah penampilan hasil karya personel dalam suatu organisasi. Kinerja dapat
merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil
karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional, maupun
struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi.” (Ilyas,
1999:73)

Dengan kata lain, kinerja perseorangan baik secara individu maupun kelompok akan

menentukan kinerja organisasi. Bila kinerja pegawai baik maka kemungkinan besar kinerja

organisasi itu sendiri bisa dikatakan baik dan begitupun sebaliknya. Untuk itu kinerja yang baik

akan dapat diwujudkan apabila dikelola dengan baik.

Sedangkan pendapat lain mengenai pengertian konsep kinerja dikemukakan oleh

Hasibuan dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia memberikan definisi kinerja

pegawai sebagai berikut “Kinerja adalah suatu hasil yang didapat dari seorang dalam

melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,

pengalaman, kesungguhan serta waktu.” (2000:105)

Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa kinerja merupakan hasil

dari suatu proses atau kegiatan pada fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh seseorang, baik

sebagai individu maupun sebagai anggota dari suatu kelompok atau organisasi, dimana

hasilnya dapat dinikmati oleh orang yang berhubungan atau berkepentingan dari hasil kerja

tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan proses kerja yang berorientasi

kepada hasil kerja (outcomes) itu sendiri.

Aspek-Aspek Pengukuran Kinerja


Untuk menilai kinerja perlu pemahaman mengenai aspek-aspek apa saja dalam

mengukur kinerja. Pemahaman mengenai pengukuran kinerja ini dikaji oleh beberapa ahli.

Menurut John Miner (1988) dalam buku Sudarmanto yang berjudul “Kinerja dan

Pengembangan Kompetensi SDM” (2009:11), mengemukakan terdapat empat aspek yang

dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai kinerja, yaitu Kualitas, Kuantitas,

Penggunaan Waktu Dalam Kerja dan Kerja sama. Keempat aspek pengukuran kinerja inilah

yang akan menjadi variabel dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini.

a. Kualitas, yaitu: tingkat kesalahan, kerusakan, kecermatan.

b. Kuantitas, yaitu: jumlah pekerjaan yang dihasilkan.

c. Penggunaan waktu dalam kerja, yaitu: tingkat ketidakhadiran, keterlambatan, waktu kerja

efektif/ jam kerja hilang.

d. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja.

Dari empat aspek kinerja di atas, dua hal terkait dengan aspek keluaran atau hasil

pekerjaan, yaitu kualitas hasil, kualitas keluaran dan aspek perilaku individu, yaitu penggunaan

waktu dalam kerja (tingkat kepatuhan terhadap jam kerja, disiplin) dan kerja sama. Dari empat

aspek kinerja tersebut cenderung mengukur kinerja pada level individu.

Sementara itu, Sedarmayanti (2013:377) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen

Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil”

menyebutkan bahwa instrument pengukuran kinerja adalah merupakan alat yang dipakai untuk

mengukur kinerja individu seorang pegawai yang meliputi:

1) Prestasi kerja: hasil kerja pegawai dalam menjalankan tugas, baik secara kualitas maupun
kuantitas kerja.
2) Keahlian: tingkat kemampuan teknis yang dimiliki oleh pegawai dalam menjalankan tugas
yang dibebankan kepadanya. Keahlian ini bisa dalam bentuk kerjasama, komunikasi,
inisiatif dan lain lain.
3) Perilaku: sikap dan tingkah laku pegawai yang melekat pada dirinya dan dibawa dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Pengertian perilaku disini juga mencakup kejujuran,
tanggung jawab dan disiplin.
4) Kepemimpinan: merupakan aspek kemampuan manajerial dan seni dalam memberikan
pengaruh kepada orang lain untuk mengkoordinasikan pekerjaan secara tepat dan cepat
termasuk pengambilan keputusan dan penentuan prioritas.

Sedangkan Jerry Harbour (1997) dalam buku The Basics of Performance Measurement,

merekomendasikan pengukuran kinerja dengan 6 aspek, yaitu:

a. Produktivitas: kemampuan dalam menhasilkan produk barang dan jasa.


b. Kualitas: pemroduksian barang dan jasa yang dihasilkan memenuhi standar kualitas.
c. Ketepatan waktu (timeliness): waktu yang diperlukan dalam menghasilkan produk barang
dan jasa tersebut.
d. Putaran waktu: waktu yang dibutuhkan dalam setiap proses perubahan barang dan jasa
tersebut kemudian sampai kepada pengguna / konsumen.
e. Penggunaan sumber daya: sumber daya yag diperlakukan dalam menghasilkan produk
barang dan jasa tersebut.
f. Biaya: biaya yang diperlukan.

Kriteria lain untuk mengukur kinerja seperti yang dikemukakan oleh Armstrong (dalam

Sudarmanto, 2009:13) menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat

penting untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Menurutnya ada

empat jenis ukuran kinerja, yaitu:

a. Ukuran uang, yang mencakup pendapatan, pengeluaran dan pengembalian (rate of


return).
b. Ukuran upaya atau dampak, yang mencakuo pencapaian sasaran, penyelesaian proyek,
tingkat pelayanan serta kemampuan mempengaruhi perilaku rekan kerja dan pelanggan.
c. Ukuran reaksi, yang menunjukkan penilaian rekan kerja, pelanggan atau pemegang
pekerjaan lainnya.
d. Ukuran waktu, yang menunjukkan pelaksanaan kinerja dibandingkan jadwal, batas
akhir, kecepatan respons atau jumlah pekerjaan sasaran.

Anda mungkin juga menyukai