Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari ketidakpuasan
seseorang terhadap kondisi hidupnya sehingga melihat anak yang tidak berdaya sebagai
pelampiasan dari kekecewaannya. Ada juga yang memang memiliki sikap dan perilaku
tidak baik, karena melihat kondisi ekonomi orang tuanya, tetapi berpandangan otoriter
bahwa anak bisa diperlakukan bagaimana pun tanpa berpikir tentang dampak bagi masa
depannya.
Seiring berkembangnya jaman dan berbagai kemajuan yang ada, kehidupan
manusia dalam mengelola hidupnya juga semakin kompleks. Bukan hanya persoalan
memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat dari faktor ekonomi, individualisme,
konsumerisme, persaingan hingga kesadaran untuk melindungi anak-anak secara khusus.
Pada hal anak merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan
manusia, karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk
baik yang bersumber dari fungsi otak maupun harus dasar emosionalnya. Berkualitas atau
tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan dan
pendidikan yang diterima di masa kanak-kanaknya.
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang kekerasan terhadap anak yang
sedang marak sekarang ini. Yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila terutama
sila ke dua yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dalam sila ke-dua
mengandung nilai yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Hal itu
karena seorang manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari tidak lepas dari manusia
lain. Sehingga sila ke-dua tersebut mampu memberikan dasar kepada kita sebagai manusia
agar senantiasa memanusiakan orang lain terutama anak-anak dalam kehidupan. Selain itu,
dalam sila ke-dua juga terdapat nilai keadilan dimana menuntut kita sebagai manusia yang
tidak dapat lepas dari manusia lainnya harus menghormati, menghargai dan menjunjung
tinggi keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa arti dan makna sila kemanusiaan yang Adil dan Beradab ?
2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang
3. Pengertian kekerasan terhadap anak menurut para ahli
4. Faktor-faktor yang memicu kekerasan terhadap anak
5. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak
6. Dampak kekerasan terhadap anak
7. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan
8. Solusi pencegahan kekerasan terhadap anak
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui arti dan makna sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
2. Memahami arti anak menurut undang-undang.
3. Memahami kekerasan terhadap anak menurut para ahli.
4. Memahami factor-faktor yang memicu kekerasan terhadap anak.
5. Memahami bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak.
6. Memahami dampak kekerasan terhadap anak.
7. Memahami perlindungan hokum terhadap anak korban kekerasan.
8. Mengetahui solusi pencegahan kekerasan terhadap anak.

2
BAB II

KEKERASAN TERHADAP ANAK

2.1 Arti dan Makna Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Menurut perumusan Dewan Perancang Nasional, perikemanusiaan adalah daya serta karya
budi dan hati nurani manusia untuk membangun dan membentuk kesatuan diantara
manusia sesamanya, tidak terbatas pada manusia-sesamanya yang terdekat saja, melainkan
juga seluruh umat manusia. Sedangkan menurut Bung Karno istilah perikemanusiaan
adalah hasil dari pertumbuhan rohani, kebudayaan, hasil pertumbuhan dari alam tingkat
rena ke taraf yang lebih tinggi.
Pokok pikiran dari sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab :

1. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan.


Maksudnya, kemanusiaan itu universal.
2. Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Menghargai hak
setiap warga dan menolak rasialisme.
3. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.

Hakikat manusia memiliki unsur-unsur yang diantaranya adalah susunan kodrat manusia
(yang terdiri atas raga dan jiwa), sifat kodrat manusia (yang terdiri atas makhluk social dan
individu), kedudukan kodrat manusia (yang terdiri atas makhluk berdiri sendiri dan
makhluk Tuhan).

2.2 Pengertian anak menurut UU


Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak
disebutkan bahwa : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1
nomor 1 bahwa: Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur
delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin.

3
Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum
dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi: Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas tahun),termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I
UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
1. Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian,
setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara
mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam
hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
2. Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya
melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam
kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk
menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan
pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah
18 tahun selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 mempunyai hak atas perlindungan
dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak
anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.

4
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat,
dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

5
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.

6
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum atau bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Kewajiban berasal dari kata dasar wajib yang artinya harus melakukan; tidak
boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an,
menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban
anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun
2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002 :
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya.
Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki
kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat

7
kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena
suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih
kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

2.3 Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Para Ahli


Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang
lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat
penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai
bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun
psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala
bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah
semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk
mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari
orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh
kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.

8
2.4 Faktor faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll.
Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya
kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap
lingkungan sekitar.
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu
Kemiskinan keluarga (banyak anak).
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka
panjang.
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak,
anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah.
Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-
anaknya dengan pola yang sama.
Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu
kekerasan terhadap anak
Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.

2.5 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak


1. Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada
tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul,
mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak
dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga
seringkali membuat korban meninggal
2. Kekerasan secara Verbal

9
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan
dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan,
makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar
untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa
menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih
besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia
6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini
meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror,
celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut
dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan
seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya
bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4. Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal
anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri.
Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan,
pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain
menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang
ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak,
yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak
tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77
s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU
Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);

10
(2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan,
bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anakyang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak
korban perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus
dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6) melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81)
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan
cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual (Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan
hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa
memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak
sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara
melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat
atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);

11
(15) menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau
zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).

2.6 Dampak dari Kekerasan pada Anak


Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang
lain sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak
merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka
bisa melindunginya itu ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan
tindak agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena
telah mengalami tindak kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak yang memiliki
gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi
anak yang pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan aman dengan lingkungan
sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar
pada saat dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia
belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.

2.7 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan

12
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup,
mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam
pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita,
1996:14).

Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


anak disebutkan bahwa:

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan
tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan
secara langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan
diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang
dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari
dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan
pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward),
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban,
penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang
menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang
menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)

13
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu
sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung.
Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan
dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari
dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para
partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin
pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing
serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi:
perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan
dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di
bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong,
2000:40)

Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian


penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski
perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan
perlidunngan tersebut.

Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung)


melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, UU
Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap
anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:

14
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan.

Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan:

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan
hukum dan bantuan lainnya.

Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa
kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna
kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya
disebutkan bahwa: bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial,
rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.

Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk


perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan.
Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi
anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang
perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang
bentuk perlidungan

khusus bagi anak korban kekerasan.

Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang
bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak
korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui:

(1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;


(2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
menghindari labelisasi;
(3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,
mental maupun sosial; dan

15
(4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.

Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi
dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui:

(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan


yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;

(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan


(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak
secara ekonomi dan/atau seksual.

Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya


ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini
pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh
korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang
berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.

Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum
menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan,
sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang yang
berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban kekerasan.Pemberian
perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti
kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh
perhatian dari pembuat kebijakan.

16
Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk
perlindunagn korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang
pemberian perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini
sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan
kerugian, baik ekonomi maupun fisik, sementara korban tidak mampu.

Seperti dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai


bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat
langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh
karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik
dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga dalam kehidupan
selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.

2.8 Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak

Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari
orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:

Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap
anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan
memanjakan anak.

Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada
anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku
kekerasn itu sendiri.

Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar
bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal
anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadp
anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang
terlambat diungkap.

17
Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang
yang kurang dikenal dan lain-lain.

Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak
tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena
kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku
kekerasan terhadap anaknya sendiri

18
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun


pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23
Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan
mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan
dengan adanya pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak
sengaja melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga
dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan
yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak
yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib
dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.

Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait
dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan
orang tua berhubungan dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan
kepentingan anak, serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan,
pendidikan, sosial dan perlindungan khusus.

4.2 Saran

Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli
terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi
undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang berperan dalam menjalankan
undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi
pihak lain belum menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi


Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia

Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi
Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah Hukum Acara Peradilan Anak,

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000

Rani, (5 Oktober 1996) Makalah Masalah perlindungan anak ,

Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan

Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Undang-undang terdiri atas:

KUHP

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

20
21

Anda mungkin juga menyukai