Anda di halaman 1dari 11

Fenotipe Rhinosinusitis Kronis: Pendekatan Terhadap

Pelayanan Medis yang Lebih Baik untuk Rhinosinusitis


Kronis

Seong H. Cho, MDa, Claus Bachert, MD, PhDb,c, and Richard F. Lockey, MDa

Artikel tinjauan di The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In


Practice yang terfokus pada fenotipe rhinosinusitis kronis (CRS), yang
merupakan salah satu penyakit tersering di Amerika Serikat dan negara lainnya di
dunia. Bagaimana bisa timbul ketertarikan membahas mengenai fenotipe CRS?
Pertama, penulis senior, Richard F. Lockey, MD, meyakini bahwa CRS secara
primer merupakan penyakit medis, yang memerlukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kondisi komorbid dan kondisi penyerta
yang berhubungan atau menjadi predisposisi dari penyakit ini. Kedua, sama
seperti asma yang bukan merupakan satu penyakit, begitu juga CRS yang bukan
merupakan satu penyakit. Mengidentifikasi fenotipe akan membantu untuk
penegakan diagnosis dan regimen terapi yang pantas. Ketiga, ketersediaan
rhinolaringoskopi, sebuah alat diagnostik terbaru yang sederhana dan penting,
memungkinkan dokter apapun, tanpa memandang spesialisasinya, untuk
mengkonfirmasi dan menangani penyakit ini. Pimpinan editorial dari The Journal
of Allergy and Clinical Immunology: In Practice setuju dengan konsep ini, dan Dr
Lockey berkolaborasi denga Dr Seong Cho, anggota fakultas fellow Universitas
South Florida, dan Dr Claus Bachert, keduanya merupakan dokter yang
melakukan penelitian dasar CRS. Pembahasan mengenai fenotipe CRS akan
didahului dengan definisi berbagai endotipe CRS. Kedua konsep tersebut akan
menghasilkan pelayanan yang lebih baik untuk pasien dengan penyakit kronis ini.
Perkiraan prevalensi CRS adalah 5% hingga 15% dari populasi dewasa1-5
dan memerlukan biaya sistem pelayanan kesehatan di Amerika Serikat hampir $8
juta per tahun.6 CRS secara signifikan juga lebih mempengaruhi kualitas hidup
dibandingkan penyakit kronis lainnya.7 Namun, terdapat celah yang sangat besar
antara bukti ilmiah, yaitu, kurangnya penelitian klinis dan studi translasi CRS
yang berkualitas dibandingkan praktik klinis. Pendekatan bertahap untuk
diagnosis dan pengobatan CRS, mirip dengan pedoman untuk asma, belum
divalidasi dan harus ditetapkan. Makalah mengenai pedoman rhinosinusitis dan
polip nasal menunjukkan bahwa pendekatan bertahap berdasarkan keparahan
penyakit, namun hal tersebut belum divalidasikan.8 Kurangnya pengetahuan
mengenai CRS mengakibatkan timbulnya kesalahpahaman oleh sebagian besar
dokter bahwa CRS secara primer adalah penyakit surgikal versus penyakit medis.
Editorial ini menggarisbawahi pendekatan dari peneliti untuk CRS menggunakan
informasi yang diperoleh dari literatur dan para ahli internasional dalam rangkaian
artikel ini yang menggambarkan berbagai fenotipe CRS.

DEFINISI CRS

Apa itu CRS? Satu definisi dari CRS adalah kondisi inflamasi pada hidung
dan sinus paranasal yang menetap sedikitnya selama 12 minggu yang
dikarakterisasikan dengan 2 atau lebih gejala nasal/sinus, yang meliputi obstruksi
nasal atau discharge nasal nyeri/tekanan pada wajah dan gangguan penghidu.8
Tambahan, tanda endoskopik dari discharge mukopurulen atau obstruksi
mukosa/edema pada meatus media atau abnormalitas radiografi, seperti perubahan
mukosa pada kompleks ostiomeatal atau sinus, dapat mendukung ditegakkannya
diagnosis. Berdasarkan definisi diatas, CRS merupakan penyakit inflamasi kronis
dari membran mukosa saluran pernapasan bagian atas seperti asma dan penyakit
paru obstruktif kronis, penyakit inflamasi kronis dari saluran pernapasan bagian
bawah. Definisi tersebut serta tampilan klinis CRS mengindikasikan bahwa ini
merupakan masalah medis. Menentukan fenotipe CRS merupakan langkah
penting untuk menentukan pengobatan medis atau pembedahan yang optimal.
DIAGNOSA BANDING DAN KONDISI KOMORBID/PENYERTA

Anamnesis secara detail dan pemeriksaan fisik merupakan pendekatan


yang ideal untuk pasien dengan penyakit apapun, termasuk kasus CRS. Ia harus
menyertakan seluruh gejala dan tanda yang muncul yang berhubungan dengan
CRS. Beberapa lainnya menyertakan perubahan warna discharge nasal dari nares
atau ke faring posterior, nyeri fasial, nyeri di maksila, aroma atau rasa yang busuk,
rhinorea, postnasal drip, rasa penuh pada nasal, letargi, lemas, dan lain-lain.
Demikian juga, kondisi atau penyakit penyerta dan komorbid, yang muncul sama
dengan gejala CRS, harus diperhatikan. Contohnya adalah pasien yang dirujuk
dengan nyeri kepala sinus. Namun, etiologi dari nyeri kepala tersebut dapat
berasal dari disfungsi sendi temporomandibular, nyeri kepala tension, atau
sekunder akibat masalah neurologis, bukan CRS.
Rhinitis alergi dan nonalergi dapat mencetuskan terjadinya CRS dan harus
dianggap sebagai hal yang penting dalam mengevaluasi pasien dengan penyakit
ini. Penyakit refluks laringofaringeal/penyakit refluks gastroesofageal sering
dibingungkan oleh beberapa gejala CRS, yaitu pembersihan laringofaring (throat
clearing) dan postnasal drip. Kondisi medis tertentu juga dapat mencetuskan
CRS, seringkali terlewatkan oleh dokter. Beberapa kondisi tersebut antara lain
penyakit imunodefisiensi primer atau sekunder, kistik fibrosis, disfungsi
mukosiliaris, penyalahgunaan obat, dan berbagai tipe rhinitis.
IDENTIFIKASI FENOTIPE CRS

Identifikasi fenotipe CRS (Tabel 1) secara primer didasarkan pada


evaluasi klinis; contohnya, apakah pasien mengalami rhinosinusitis kronis dengan
polip nasal (NPs) (CRSwNP) atau rhinosinusitis kronis tanpa polip nasal
(CRSsNP)? Jika terdapat polip, apakah obat-obatan inflamasi nonsteroid dapat
mengeksaserbasi penyakit respirasi mereka? Apakah CRS mereka bersifat
infeksius? Jika ya, apakah berhubungan dengan masalah medis yang mendasari?
Apakah disebabkan oleh jamur? Demikian juga, beberapa CRS berhubungan
dengan abnormalitas anatomi atau penyakit kongenital seperti sindrom silia
immotile dan kistik fibrosis. Tambahan untuk pembagian fenotipe CRS, membagi
endotipe CRS dengan berbagai biomarker harus lebih mungkin untuk dilakukan di
masa yang akan datang karena endotipe lebih mudah ditetapkan, menjadi CRS
eosinofilik versus CRS neutrofilik.
Yang penting dilakukan untuk membagi fenotipe CRS adalah
rhinolaringoskopi. Pemeriksaan rhinoskopik yang kompeten penting untuk
mendiagnosa fenotipe CRS. Rhinoskopi anterior (melalui nares anterior) hanya
mampu memvisualisasi sepertiga rongga nasal pertama dan tidak adekuat untuk
memvisualisasikan naso-oral posterior atau laringofaring. Rhinolaringoskopi
merupakan prosedur yang sederhana dan murah yang harus dilakukan secara rutin
pada pasien yang dicurigai mengalami masalah saluran pernapasan bagian atas
yang persisten, khususnya CRS. Sama seperti spirometri yang merupakan
prosedur rutin untuk membantu diagnosis asma, maka rhinolaringoskopi harus
digunakan sebagai basis regular untuk CRS.
Alat diagnostik konfirmatif lainnya untuk membantu menentukan fenotipe
CRS meliputi tes IgE in vivo dan in vitro, tes aspirin untuk menginklusi atau
menyingkirkan penyakit respirasi yang dieksaserbasi oleh aspirin, dan evaluasi
skrining imunologis, khususnya kadar immunoglobulin dan titer antibody spesifik.
Tambahan, dapat di indikasikan pemeriksaan klorida keringat dan biopsi
nasomukal. Pasien yang refrakter terhadap terapi mungkin memerlukan evaluasi
tambahan untuk menetapkan mekanisme patofisiologi yang mendasari penyakit
tersebut. Contohnya, pengobatan antibiotik makrolida jangka panjang untuk
pasien dengan CRSsNP dapat lebih efektif pada pasien dengan IgE normal
dibandingkan pasien dengan kadar IgE yang abnormal.9 Menetapkan apakah
inflamasi bersifat eosinofilik atau neutrofilik juga dapat memprediksi prognosis
dan membantu memandu rencana terapi. Contohnya, terdapat penurunan inflamasi
eosinofilik akibat usia yang signifikan dengan peningkatan prevalensi NPs dan
asma komorbid pada subyek dengan CRS seperti yang dilaporkan dalam sebuah
kohort di Amerika Serikat.10 Contoh lainnya adalah pada orang Asia usia lanjut
dan yang tidak berusia lanjut dengan NP noneosinofilik memiliki nilai endoskopik
yang lebih baik pada bulan ke 12 setelah operasi.11
Seperti yang diindikasikan sebelumnya, pembagian endotipe penyakit
saluran napas telah terwujud. Hal ini diilustrasikan oleh sejumlah penelitian
biologis untuk pengobatan asma berat. Biologis yang sama juga telah digunakan
dalam sebuah penelitian klinis dengan pasien CRSwNP serta efikasinya. Topik
mengenai pembagian endotipe dan biologis akan didiskusikan selanjutnya.
PENGGUNAAN STUDI IMAGING YANG OPTIMAL

Scan tomografi terkomputerisasi (CT) penting untuk mendiagnosa atau


menangani CRS. Namun, penggunaan yang berlebihan atau salah penggunaan dari
teknik imaging dapat menjadi masalah mayor dalam kedokteran modern. CT Scan
sinus dapat diperoleh secara primer ketika rhinolaringoskopi mengindikasikan
adanya abnormalitas struktural sebagai penyebab CRS atau sebagai komplikasi
dari CRS. Abnormalitas struktural.seperti konka bullosa, sel Haller, dan
abnormalitas turbin media paradox, biasanya tidak menyebabkan timbulnya CRS.
Jika iya, secara teori CRS lebih sering terjadi pada individu muda karena
abnormalitas struktural tersebut ditemukan sejak kanak-kanak. CT scan juga
sangat berguna jika terapi medis yang adekuat dan berkepanjangan gagal dan
bermaksud dilakukan pembedahan.
Artikel A New England Journal of Medicine mendiskusikan mengenai
peningkatan perhatian dari penggunaan CT Scan yang berlebihan sebagai sumber
paparan radiasi dan dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker.12 Dapat
disimpulkan bahwa terdapat adanya bukti langsung dari penelitian epidemiologis
bahwa dosis organ dari 2 atau 3 kali CT scan akan menghasilkan dosis radiasi
dalam rentang 30 hingga 90 mSv. Hal ini dapat berakibat pada peningkatan risiko
kanker pada anak maupun dewasa. Peneliti telah melihat anak dengan 2 hingga 3
kali CT scan kepala dalam usia 5 tahun pertama kehidupannya sebagai proses
untuk evaluasi CRS, operasi CRS dan follow up postoperasi.
Demikian juga, peneliti merasa prihatin karena pembedahan untuk CRS
lebih sering dilakukan pada anak-anak sekarang dibandingkan 20 tahun yang lalu,
dimana hampir seluruh anak dengan sinusitis kronis diobati secara medis.
Makalah Eropa pada pedoman Rhinosinusitis dan Polip Nasal (EPOS)
mengindikasikan bahwa operasi sinus jarang diindikasikan untuk anak-anak,
dengan pengecualian untuk CRS pada pasien dengan kistik fibrosis. 8 Masalah
tambahan yaitu CT scan, ketika hasil CT Scan sudah didapat, sering
diinterpretasikan secara berlebihan oleh radiologis dan dokter. Contohnya, laporan
CT scan sering menyatakan Penebalan mukosa pada sinus maksilaris kanan dan
kiri merujuk pada sinusitis. Hal ini secara otomatis mencetuskan dokter untuk
berpikir bahwa pasien mengalami CRS, tanpa mengetahui bahwa common cold,
rhinitis alergi, dan kista mukosa atau jaringan parut pada membran dapat
menyebabkan timbulnya perubahan tersebut. Interpretasi berlebihan ini
mengakibatkan pemberian pengobatan yang berlebihan untuk beberapa individu
yang tidak memiliki tanda dan gejala CRS lainnya dan hanya memiliki hasil CT
scan dengan penebalan mukosa.

PENGGUNAAN GLUKOKORTIKOID YANG OPTIMAL

Pedoman klinis untuk peningkatan dan penurunan dosis dari kortikosteroid


inhalasi telah ditetapkan untuk terapi asma. Namun, penelitian mengenai respon
dosis pada CRS masih kurang. Hal ini mungkin akibat distribusi yang terbatas dan
tidak efektif dari kortikosteroid intranasal (INCSs), terutama pada pasien dengan
edema nasomucal yang berat atau NPs yang besar. Mengatasi batasan ini akan
memberikan peran yang besar dalam kesuksesan penggunaan INCSs topikal untuk
CRS. Contohnya, satu penelitian klinis menunjukkan bahwa INCSs dengan alat
atomisasi mukosa dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan alat
semprot nasal standar.13 Contoh alat inovatif lainnya adalah sistem pelepasan obat
bidirectional breath powered.
Penelitian klinis acak dan double-blind awal yang dilakukan dengan alat
ini mengindikasikan bahwa CRSsNP memberikan respon terhadap pegobatan
fluticasone dosis tinggi.14 Namun, hanya 20 subyek dewasa yang ikut serta dalam
penelitian ini. Sebuah penelitian fase III acak multisentra, double-blind, placebo-
kontrol dari 323 pasien dengan NPs dari 5 negara menunjukkan perbedaan yang
secara statistik dianggap signifikan untuk gejala inti CRS dan reduksi ukuran
polip yang diukur secara endoskopi, dan pada beberapa kasus, bahkan
menhilangkan NP.15
Sistem pemberian obat intranasal lanjutan harus memberikan metode yang
lebih dapat dipercaya untuk melihat dosis respon INCs dan lebih lanjut menilai
pentingnya penambahan atau pengurangan terapi pada pasien dengan penyakit ini.
Masing-masing penelitian jenis ini harus mengindikasikan apakah terdapat efek
samping dari penggunaan dosis INCSs yang lebih tinggi atau tidak. Dapat
diperkirakan, efek samping yang ada harus lebih sedikit dibandingkan
glukokortikoid sistemik, pengobatan yang dapat digunakan pasien dengan CRS
secara temporer. Satu area lainnya untuk diperbaiki, atau sedikitnya dilakukan
penelitian tambahan, adalah kombinasi penggunaan INCSs topikal ditambah
medikasi lainnya, terutama dekongestan topikal.
Faktanya, rasa penuh dalam nasal biasanya merupakan gejala yang paling
banyak dikeluhkan oleh pasien dengan penyakit saluran pernapasan bagian atas
tipe apapun. Dua penelitian mengindikasikan bahwa oxymetazoline tidak
menyebabkan rebound phenomenon selama ia digunakan dengan INCSs.16,17
Reduksi edema mukosa oleh penggunaan dekongestan topikal tampak masuk akal
dan harus meningkatkan pemberian INCSs.

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG OPTIMAL

Antibiotik dapat bersifat efektif pada beberapa pasien dengan CRS,


setidaknya dalam menangani eksaserbasi akut. Namun, tidak ada penelitian
berbasis bukti mengenai durasi optimal dari pengobatan antibiotik untuk CRS.
Sebagian besar dokter menggunakan antibiotik selama 2 hingga 4 minggu.
Berdasarkan pengalaman peneliti, terdapat respon individu yang signifikan
terhadap antibiotik. Oleh karena itu, kami merekomendasikan bahwa antibiotik
dapat dilanjutkan selama 7 hingga 10 hari setelah pasien telah asimptomatik,
yaitu, tidak ada discharge mukopurulen tambahan. Jika mereka tidak
menunjukkan respon terhadap terapi antibiotik selama 1 minggu hingga 10 hari,
dapat diindikasikan untuk dilakukan kultur sinus dengan panduan endoskopi.
Kultur sekret nasal merupakan proses dengan hasil yang rendah, dimana observasi
visual dan pengumpulan pus yang dipandu dengan endoskopi dianggap ideal
untuk mengidentifikasi organisme kausatif. Juga, rhinolaringoskopi dianggap
sangat berguna, tidak hanya untuk mendiagnosis namun juga untuk mengurangi
penggunaan antibiotik.
Terapi antibiotik jangka panjang (biasanya 12 minggu) dengan makrolida
pada CRSsNP dan CRSwNP, dan doksisiklin pada CRSwNP tampak efektif pada
beberapa pasien. Namun, strategi optimalisasi dosis dan durasi yang dibutuhkan
harus ditetapkan oleh penelitian jangka panjang dari 2 fenotipe tersebut.
Resistensi bakterial akibat penggunaan makrolida yang berlebihan merupakan
komplikasi dari terapi tersebut.18

PENGGUNAAN AGEN BIOLOGI BERDASARKAN PEMBAGIAN


ENDOTIPE

Terdapat berbagai penelitian klinis pada pasien CRSwNP yang


menggunakan omalizumab (anti-IgE),19 reslizumab (antiIL-5),20 mepolizumab
(antiIL-5),21 dan dupilumab (antiIL-4R).22 Sebuah penelitian acak, double-
blind, plasebo-kontrol multisentra untuk dupilumab pada dewasa dengan
CRSwNP dilakukan pada 13 daerah di Amerika Serikat dan Eropa dan
dipublikasikan pada 2016.22 Tambahan pemberian dupilumab subkutan dengan
INCs dibandingkan dengan INCs saja juga secara signifikan menurunkan skor NP
dan skor CT Lund-Mackay. Ia juga mengurangi skor gejala sinonasal dan
gangguan penghidu setelah 16 minggu pengobatan. Penelitian ini memiliki 60
subyek, 30 plasebo dan 30 dupilumab, merupakan penelitian biologi CRS terbesar
hingga saat ini. Ukuran sampel yang relatif kecil mengakibatkan sulitnya analisis
subgrup berdasarkan biomarker dan respon terhadap pengobatan. Namun,
penelitian tersebut menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan.
Salah satu hasil yang paling signifikan pada penelitian klinis asma dengan
agen biologis seperti omazulimab, mepozulimab, reslizumab, dan dupilumab yaitu
adalah pasien asma dengan jumlah eosinophil darah dan sitokin TH2 yang tinggi
menunjukkan respon yang lebih baik dibandingkan pasien dengan jumlah
eosinophil darah dan sitokin TH2 yang normal atau rendah. Tidak ada bukti
pembatas bahwa marker biologis serum yang sama tersebut juga dapat dijadikan
sebagai biomarker dari CRS.
Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa CRS lebih kepada penyakit
membrane mukosa dibandingkan penyakit sistemik dimana tidak terjadi
eosinophilia darah. Fakta bahwa CRS lebih tepat dikatakan sebagai penyakit
mukosa terlokalisasi dibandingkan penyakit sistemik dapat mengakibatkan
pembagian endotipe CRS menjadi lebih sulit. Dahulu, sitologi nasal rutin
dilakukan pada pasien dengan penyakit saluran pernapasan bagian atas. Hal
tersebut mungkin merupakan prosedur yang perlu dilakukan kunjungan
pemeriksaan ulang. Pengukuran sitokin pada sekresi nasal dapat memfasilitasi
pembagian endotipe penyakit ini seperti yang ditunjukkan pada penelitian CRS
awal dengan reslizumab.20

Penggunaan biologis untuk asma telah memberi jalan dan memberikan banyak
petunjuk untuk penelitian yang mendesain berbagai fenotipe/endotipe CRS.
Terdapat endotipe neutrofilik dan eosinofilik untuk asma begitu juga untuk CRS.
Faktanya, beberapa CRSwNP pada orang asia bersifat neutrofilik, 11 yaitu,
memiliki neutrophil dalam jumlah yang banyak pada jaringan sinonasal dan
sekresi nasal. Dianggap layak untuk mengembangkan agen biologis untuk target
neutrofilik CRS.

PENDEKATAN BERTAHAP?

Ketika CRS di diagnosis dan fenotipe teridentifikasi, harus ditetapkan


program manajemen yang layak. Program manajemen bertahap untuk asma telah
ditetapkan berdasarkan sejumlah penelitian klinis. Namun, penelitian tersebut
masih kurang untuk CRS, hal tersebut dianggap agak mengejutkan untuk sebuah
penyakit umum dan kronis ini. Tabel II menegaskan pendekatan terapi bertahap
untuk pasien yang datang dengan CRS setelah menyingkirkan fenotipe atipikal
seperti sinusitis fungal, alergi atau CRS yang berhubungan dengan kistik fibrosis.
Hal ini tidak berdasarkan pada penelitian acak yang berkualitas baik; ini
merupakan pendekatan berdasarkan bukti klinis yang terbatas.
Kesimpulannya, rangkaian artikel fenotipe CRS baru dimulai. Semua CRS
tidak sama meskipun ia memiliki patofisiologi yang sama; pertama fenotipe,
kedua endotipe, dan ketiga pengobatan baru. Diharapkan, akan terjadi kemajuan
yang besar, serupa dengan yang terjadi pada pengobatan asma, untuk manajemen
medis CRS.

Anda mungkin juga menyukai