Anda di halaman 1dari 16

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT (PKRS)

IRNA I RSUD Dr. SYAIFUL ANWAR

MALANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN

CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)


DI RUANG HEMOFALISA

RSUD Dr.SYAIFUL ANWAR MALANG

Tanggal 26 Mei 2017

Oleh:
1. Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
2. Universitas Icme Jombang
3. Stikes Banyuwangi

Mengetahui,

Pembimbing Lahan Kepala Ruangan

Maria Christiana S.kep., Ns Vita Maryah S.Kep., Ns., M.Kep


SATUAN ACARA PENYULUHAN
CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

Topik : CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)


Sub Topik : Pemahaman Tentang CAPD
Tempat : Ruang Tunggu Hemodalisa
Sasaran : Keluarga, Pasien dan pengunjung ruang Hemodalisa
Hari/Tanggal : Jumaat , 26 Mei - 2017
Pukul : 08.30 WIB
Alokasi waktu : 30 menit

A. Tujuan
a) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti proses penyuluhan diharapkan Keluarga pasien dan
pengunjung ruang Hemodalisa memahami tentang CAPD.
b) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mendapatkan penyuluhan keluarga dan pengunjung dapat:
1) Menyebutkan pengertian CAPD
2) Menyebutkan Tujuan dari Terapi CAPD
3) Menyebutkan Macam-Macam Indikasi dan Kontra indikasi CAPD
4) Menyebutkan Bagaimana cara Kerja CAPD
5) Menyebutkan Prinsip-prinsip CAPD
6) Menyebutkan Efektifitas Keuntungan Dan Kerugian CAPD
B. Metode
Metode yang digunakan ceramah dan tanya jawab

C. Media
Media yang digunakan adalah leaflet, LCD, Laptop dan PPT.

D. Materi
Terlampir
E. Pengorganisasian
Penyaji : Universitas ICME Jombang
Fasilitator : 1. Stikes Banyuwangi
2. Tribhuwana Tunggadewi Malang

F. Rencana Kegiatan Penyuluhan


No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta Metode/Media
1 5 menit 1. Memberi salam 1. Menjawab salam Ceramah/leaflet
2. Menjelaskan tujuan 2. Mendengarkan
penyuluhan 3. Memperhatikan
3. Menyebutkan materi/pokok
bahasan yang akan
disampaikan

2 10 menit Menjelaskan materi 1. Memperhatikan Ceramah/leaflet,


penyuluhan secara berurutan 2. Mendengarkan PPT, laptop dan
dan teratur. Materi tentang: LCD
1) Pengertian CAPD
2) Tujuan dari Terapi CAPD
3) Macam-Macam Indikasi
dan Kontra indikasi
CAPD
4) Bagaimana cara Kerja
CAPD
5) Prinsip-prinsip CAPD
6) Efektifitas Keuntungan
Dan Kerugian CAPD
3 10 menit 1. Memberi kesempatan Bertanya dan Ceramah dan
kepada peserta untuk menjawab tanya jawab
bertanya pertanyaan yang
2. Menanyakan kembali diajukan.
kepada peserta tentang
materi yang sudah di
jelaskan.
4 5 menit 1. Menyimpulkan materi 1. Mendengarkan Ceramah
penyuluhan yang telah 2. Menjawab salam
disampaikan
2. Menyampaikan terima kasih
atas perhatian dan waktu
yang telah di berikan
kepada peserta
3. Mengucapkan salam

G. Evaluasi :
1. Evaluasi Struktur
- Kesiapan mahasiswa memberi materi penyuluhan
- Media dan alat memadai
- Pasien dan keluarga pasien berkumpul di ruang penyuluhan

2. Evaluasi proses
- Kesiapan penyuluhan dilakukan sesuai jadwal yang direncanakan
- Mahasiswa berperan aktif selama proses penyuluhan
- Pasien dan keluarga pasien antusias terhadap materi penyuluhan
- Tidak ada pasien atau anggota keluarga yang meninggalkan tempat saat
penyuluhan
- Keluarga pasien dan pasien mengajukan pertanyaan dan menjawab
pertanyaan dengan benar.
3. Evaluasi Hasil
- Setelah mengikuti penyuluhan maka pasien, keluarga pasien dan
pengunjung ruang Hemodalisa mengerti tentang:
1) Pengertian CAPD
2) Tujuan Dari Terapi CAPD
3) Macam-macam Indikasi dan Kontra Indikasi CAPD
4) Bagaimana Cara Kerja CAPD
5) Prinsip-prinsip CAPD
6) Efektifitas Keuntungan Dan Kerugian CAPD
- Pasien, keluarga dan pengunjung ruang Hemodalisa dapat menjelaskan
kembali tentang pengertian serta tujuan dari CAPD.
- Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 5 orang
- Sasaran penyuluhan adalah keluarga pasien, pasien dan pengunjung ruang
Hemodalisa.
- Penyuluhan dilaksanakan selama 30 menit.
\Lampiran Materi

CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

1. Pengertian capd
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian
darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan
pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya
akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui
peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil
yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama
waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke
dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan
cairan yang baru (Surya Husada, 2008).
Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm
berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan steril dimasukkan
ke dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen dengan interval. Ureum
dan creatinin yang keduanya merupakan produk akhir metabolism yang diekskresikan
oleh ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah melalui difusi dan osmosis ketika
produk limbah mengalir dari daerah dengan konsentrasi tinggi (suplai darah
peritoneum) ke daerah dengan konsentrasi rendah (cavum peritoneal) melalui
membrane semipermeable (membrane peritoneum). Ureum dibersihkan dengan
kecepatan 15 hingga 20 ml/menit, sedangkan creatinin dikeluarkan lebih lambat.

2. Tujuan
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah
metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan
cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.
3. Indikasi
Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak
responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

4. Kontraindikasi
Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
Adhesi abdominal
Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
Pasien dengan imunosupresi

5. Cara kerja CAPD


a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat
keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam
rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang ditanam di dalam rongga
perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana
sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut exit site. Sebelum pemasangan
kateter peritoneal, dokter mencuci dan mendesinfeksi abdomen. Anastesi lokal
diberikan di daerah tengah abdomen sekitar 5 cm di bawah umbilicus. Dokter membuat
insisi kecil dan kateter multinilon dimasukkan ke dalam rongga peritoneum.Kemudian,
daerah tersebut ditutup dengan balutan.
b. Proses pemasangan
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter
dinealR61L yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan
dialysis 1 L. Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju
ke belakang, ini untuk mengsyphon off cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus
terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar
(paling sedikit volume 2 L) diikatkan pada pipa keluar. Kemudian, anastesi local
(lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar atau umbilicus dan symphisis
pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka pada dinding abdominal
harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral dari selaput otot rectus
abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-15 ml) dan yang paling
penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah diinfiltrasi, bila
penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal)
diperlukan untuk menganastesi peritoneum. Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari
garis tengah kanula) dibuat di kulit dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal
kemudian didorong masuk ke ruang peritoneal dengan gerakan memutar (seperti
sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis.
Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat
dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan
kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan
diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah cairan ini
masuk, harus di syphon off untuk melihat bahwa system tersebut mengalir lancar,
sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup baik. Beberapa inci dari
kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila perlu. Namun paling
sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan
ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang
pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.

b. Pemasukan cairan dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6
jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian disambungkan
dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan mengalir secepat
mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10
menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang maksimal dan difusi
solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-
time (waktu yang diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang
dibuka dan cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar
(ada kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu
yang diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah
10-15 menit. Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma
yang terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase
sudah jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah
cairan dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera
dimulai. Pada pasien yang sudah dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan
dialisat kulit diberi obat bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan
ujungnya ditutup dengan penutup yang steril.

Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui
selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai alat penyaring,
proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula)
yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam
cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

c. Proses Penggantian Cairan Dialisis


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu
singkat ( 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama
4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum
untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah
itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila
perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan
keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter Tenchoff yang
fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD dari
penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir. Proses penggantian cairan di atas
umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

6. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk
dialysis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi
dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam
keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume
dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-
hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan
dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis berlangsung secara konstan.
Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin lama waktu
retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik. Diperkirakan molekul-
molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini
meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi
lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisa.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi
sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran
tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin
besar gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus
diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan
dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60
menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung padalamanya waktu retensi yang
ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode
infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran
dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

7. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian


Efektifitas
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD
lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih
tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD
adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui
rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam
rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini
memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah.
Ketika cairan dialysis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan
dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30
menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang
menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap
saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

Keuntungan CAPD dibandingkan HD


Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui
sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di
samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya
adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai
hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan
fungsi-fungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua
mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan
dialysis peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih
tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk
tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu :
a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.
Kelemahan CAPD
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat
tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
Komplikasi CAPD
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous
adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul seperti cairan
menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis merupakan komplikasi
yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga
80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis
disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental.
Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian,
peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang lebih
tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.
Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat
lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila
mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup cairan
drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang difus. Hipotensi dan
tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus merupakan mikroorganisme
penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase dilakukan untuk penghitungan
jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur untuk mengenali mikroorganisme
serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah komplikasi seperti ini, sangatlah penting
penderita selalu:
1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.
2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-
sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan
kateter dapat
segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka
insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya
atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat
pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa
bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang
dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai
selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur
tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya
perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan
intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini
mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen
yang terus
menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik
dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis
6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam
rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta
berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD
7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas
Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk
mengontrol
sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun bentuk terapi
ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh dengan
adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang dibadannya
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care Plans :
Guidelines For Planning And Documenting Patients Care. Alih
bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C,. Bare,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2008 ). Textbook Of Medical
Surgical Nursing. Ed 12. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.
Zhou, Y.L., Liu, H.L., Duan, X.F., Yao, Y., Sun, Y., & Liu, Q. (2006). Impact Of Sodium
And Ultrafiltration Profiling On Haemodialysis Related Hypotension. Nephrol
Dial Transplant. 21(11).3231-7.

Wim de.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. Revisi.EGC.Jakarta Price, Anderson Sylvia.
(1997) Patofisiologi. Ed. I. Jakarta : EGC.
Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ;
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai