Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH SEMINAR

KOASISTENSI REPRODUKSI DAN OBSTETRI


PERIODE MEI JUNI 2017

GANGGUAN METABOLIK TERHADAP PERFORMA


REPRODUKSI PADA SAPI

Oleh :
Desyana Rachmawati, S.K.H
16/ 406472/ KH/ 09075

Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP

DEPARTEMEN REPRODUKSI DAN OBSTETRI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PENGESAHAN

ii
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah diberikan

sehingga dapat diselesaikannya makalah seminar mandiri dengan judul Gangguan

Metabolik terhadap Performa Reproduksi pada Sapi periode Mei Juni 2017

dengan lancar. Laporan ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk

kelulusan Koasistensi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan

makalah, yaitu kepada :

1. Koordinator Koasistensi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,

2. Dr. Drh. Surya Agus Prihatno, MP., selaku dosen pembimbing dalam

penulisan makalah mandiri,

3. Kelompok koasistensi A.2016.1 yang telah bekerjasama dengan baik dalam

Kegiatan Koasistensi Reproduksi periode Mei Juni 2017

Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca

sebagai tambahan pengetahuan. Akhir kata penulis mohon maaf jika terdapat

kekurangan sehingga untuk kedepannya dapat dijadikan sebagai saran yang

membangun, terimakasih.

Yogyakarta, 4 Juli 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v

INTISARI............................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3

Asidosis Rumen ................................................................................................... 3


Left Displasia Abomasum .................................................................................... 6
Ketosis ................................................................................................................. 9
Laminitis ............................................................................................................ 12

BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 17

BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

iv
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema asidosis metabolik pada rumen................................................. 5

Gambar 2. LDA dengan tonjolan pada flank kiri................................................... 8

Gambar 3. Sapi dengan keadaan asetonemia. ...................................................... 11

Gambar 4. Potongan melintang kuku sapi ........................................................... 13

v
INTISARI

INTISARI

GANGGUAN METABOLIK TERHADAP PERFORMA


REPRODUKSI PADA SAPI

Desyana Rachmawati

Peternakan sapi perah modern mampu menghasilkan susu dalam jumlah


besar, sehingga sapi tersebut membutuhkan nutrien yang cukup untuk kebutuhan
laktasi. Apabila tidak terpenuhi dapat menyebabkan stres dan mempengaruhi
metabolisme tubuh, akibatnya sapi menderita gangguan metabolisme. Gangguan
metabolik merupakan masalah pada proses metabolik yang berhubungan dengan
pengaturan metabolit tertentu pada cairan tubuh dan menjangkiti sapi perah post
partum. Ganguan metabolik yang sering terjadi yaitu asidosis rumen, laminitis,
ketosis, dan displasia abomasum kiri. Asidosis merupakan kondisi patologis
dimana terdapat akumulasi asam di dalam darah dan jaringan tubuh, ditandai
dengan peningkatan konsentrasi ion hidrogen. Ketosis atau asetonaemia merupakan
gangguan metabolik yang sering terjadi pada sapi perah selama periode awal
laktasi, dicirikan dengan adanya peningkatan badan keton di darah, urin, dan susu
Left Displasia Abomasum paling banyak terjadi pada sapi perah yang dipelihara di
kandang dalam jangka waktu panjang dengan pemberian konsentrat yang
berlebihan. Laminitis merupakan gangguan metabolik pada korium kuku, tepatnya
pada lamela kuku, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada sapi. Laminitis pada
sapi kebanyakan terlihat pada permukaan kuku bawah, sole, dan bagian white line
Gangguan ini menyebabkan perubahan pada performa reproduksi sapi seperti
penurunan kadar lemak susu, delayed ovulation, penurunan produksi susu,
perubahan siklus estrus, dan peningkatan conception post partum.

Kata kunci : gangguan metabolik, sapi, asidosis, ketosis, laminitis, LDA

vi
BAB I PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan modern sapi perah mampu menghasilkan susu dalam jumlah

besar. Dalam upaya produksi susu, sapi membutuhkan nutrien yang cukup untuk

kebutuhan laktasi. Hal ini dapat memicu sapi untuk mengalami stres yang dapat

mempengaruhi kesehatannya. Masalah kesehatan yang muncul pada kondisi ini

berhubungan dengan ketidakseimbangan kemampuan untuk memetabolisme

nutrien yang cukup untuk mengkompensasi susu yang diproduksi, yang dikenal

sebagai gangguan metabolisme atau produksi.

Metabolisme adalah semua proses fisika, kimia, dan metabolik yang terjadi

di dalam makhluk hidup yang berhubungan dengan penyerapan, pemecahan, atau

sintesis molekul organik yang dibutuhkan oleh tubuh. Proses metabolik

berhubungan dengan pelepasan berbagai metabolit yang dibutuhkan sebagai

building blocks atau didegradasi dan diekskresi dari tubuh sebagai sampah. Selama

proses metabolisme sel, organ, sistem, atau seluruh tubuh, organisme mengambil

energi dari nutrien dan menggunakannya untuk fungsi normal tubuh. Oleh karena

itu, metabolisme termasuk seluruh proses metabolik yang membuat fungsi normal

tubuh berjalan baik. Apabila ada masalah pada salah satu atau beberapa proses

metabolik yang berhubungan dengan pengaturan metabolit tertentu pada cairan

tubuh, hal ini dikenal sebagai gangguan metabolik.

1
2

Gangguan metabolik merupakan kelompok penyakit yang menjangkiti sapi

perah post partum. Ada beberapa gangguan metabolik yang teridentifikasi pada sapi

perah post partum selama bulan pertama dan yang paling sering terjadi adalah

asidosis rumen sub akut dan akut, laminitis, ketosis, fatty liver, displasia abomasum

kiri, milk fever, sindrom sapi ambruk, retensi plasenta, metritis, mastitis, dan bloat.

Gangguan metabolik telah menjadi masalah yang umum pada peternakan

sapi perah, tetapi masalah tersebut tetap harus mendapatkan perhatian dan

penanganan. Gangguan metabolik dapat dikurangi dengan nutrisi yang cukup pada

sapi, dan juga strategi dalam pemberian pakan dapat mencegah gangguan metabolik

ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Asidosis Rumen

Asidosis Rumen
Definisi dan Patogenesis

Definisi dan Patogenesis

Definisi dan Patogenesis

Asidosis merupakan kondisi patologis dimana terdapat akumulasi asam di

dalam darah dan jaringan tubuh, ditandai dengan peningkatan konsentrasi ion

hidrogen. Asidosis rumen mengacu pada rangkaian kondisi yang menunjukkan

penurunan pH di rumen sapi (Lean, 2007). Dua kelompok sapi yang memiliki

resiko tinggi terkena asidosis adalah sapi pada masa awal laktasi dan sapi dengan

pakan tinggi biji bijian. Asidosis sering terjadi pada sapi yang diberi pakan tinggi

biji bijian atau karbohidrat yang dapat terfermentasi dengan cepat. Asupan yang

berlebihan dari zat tepung yang telah terfermentasi ini sering terjadi segera setelah

proses kelahiran, yaitu ketika sapi pertama kali diberikan dengan pakan tinggi biji

bijian. Untuk fermentasi dan pencernaan serat yang optimal pada rumen, pH

rumen harus berkisar antara 6 6,4. Pada sapi yang sehat sekalipun, pH rumen akan

berfluktuasi di bawah tingkat ini untuk jangka pendek pada siang hari (Ametaj,

2012).

Rumen dapat divisualisasi sebagai tempat terjadinya fermentasi secara terus

menerus. Mikroflora rumen membentuk kultur, dimana mikroflora tersebut tumbuh

pada media yang disediakan melalui pakan yang dikonsumsi sapi. Mikroflora

rumen membentuk koloni bakteri dan protozoa yang seimbang. Jika kandungan

pakan berubah, maka mikroflora dominan juga berubah, misalnya pada peningkatan

3
4

asupan karbohidrat menyebabkan bakteri streptococci dan lactobacilli menjadi

dominan. Dengan mikroflora normal yang seimbang, maka hasil akhir fermentasi

berupa volatile fatty acid (asetat, propionat, dan asam butirat), yang diabsorbsi dari

rumen (Andrews et al., 2004).

Setelah mengkonsumsi pakan tinggi biji bijian, karbohidrat non struktural

akan mencapai rumen, memicu fermentasi oleh bakteri amilolitik, yang

menghasilkan piruvat dan hasil akhirnya VFA, memisahkan, dan menghasilkan

penurunan pH rumen. Penurunan pH ini berdampak pada hilangnya bakteri gram

negatif seperti Megasphaera elsdenii dan Selenomonas ruminantium

(mengkonversi laktat menjadi piruvat) karena bakteri ini sensitif terhadap pH. Di

lain pihak, ada peningkatam populasi bakteri gram positif, terutama Streptococcus

bovis, yang diketahui sebagai bakteri penghasil laktat dimana asam tersebut 10 kali

lebih kuat dari VFA, dan asam ini berkontribusi terhadap penurunan pH, yang akan

menyebabkan penurunan pH rumen sampai 3.8, dan pada saat ini asam tidak dapat

terpisah, melintasi dinding rumen ke aliran darah dan memicu terjadinya asidosis

metabolik (Hernandez et al., 2014).


5

Gambar 1. Skema asidosis metabolik pada rumen (Hernandez et al., 2014).


Gejala Klinis

Gejala Klinis

Derajat keparahan gejala yang muncul tergantung pada jumlah pakan biji

bijian yang dimakan, dimana pakan tersebut telah digiling atau diberi secara utuh.

Pada sapi yang terkena asidosis, pada saat berjalan terlihat ataksia, mungkin terjatuh

dan kesulitan untuk bangkit berdiri lagi; anoreksia; berdiri dengan leher mengarah

ke bawah; tooth grinding; distensi abdomen karena rumen statis dan membesar;

atoni rumen. Pada awalnya suhu rektal akan meningkat, tetapi menjadi subnormal

setelah penyakit berkembang. Membran mukosa hiperemi dan dehidrasi. Pada 12

24 jam pertama setelah memakan karbohidrat tidak terlihat diare, tetapi setelah 24

jam tampak diare profus, berbau asam, dan mungkin mengandung biji bijian. Sapi

yang paling parah terkena asidosis akan menjadi rekumben dan terjadi peningkatan

respirasi. Apabila pulsus >100 kali per menit, pH rumen < 4,5 menunjukkan

prognosa yang buruk (Scott et al., 2011).


6

Penanganan

Penanganan

Jika sapi menunjukkan gejala asidosis ringan seperti diare, sapi tersebut

harus diberi pakan dengan jumlah biji bijian lebih sedikit atau jumlah serat kasar

yang ditingkatkan. Pada sapi dengan gejala asidosis parah seperti diare, tidak mau

makan, depresi, tidak boleh diberi pakan biji bijian atau serat kasar, tetapi diberi

sodium bikarbonat 120 gram secara oral dan elektrolit pengganti yang larut air

sebanyak 4 5 liter. Penanganan ini harus diulangi tiga kali dalam satu hari jika

memungkinkan sampai sapi mampu berjalan (Ametaj, 2012).


Pencegahan

Pencegahan

Pencegahan dengan manajemen pakan yaitu dengan selalu diberikan pakan

tinggi serat. Sapi perah produksi tinggi membutuhkan serat yang mudah dicerna

untuk menyeimbangkan pakan tinggi zat tepung. Perbandingan konsentrat dan serat

seharusnya 60 : 40 (Blowey dan Weaver, 2011).

Left Displasia Abomasum

Left Displasia Abomasum


Definisi dan Patogenesis

Definisi dan Patogenesis

Left Displasia Abomasum paling banyak terjadi pada sapi perah yang

dipelihara di kandang dalam jangka waktu panjang dengan pemberian konsentrat

yang berlebihan (Subronto, 2008). Selain itu, LDA terutama terjadi pada sapi perah

laktasi pada bulan pertama postpartum (Sexton et al., 2007). Pada saat hewan

bunting, uterus akan mengembang dan mendesak organ organ pencernaan ke arah

muka serta agak mengangkat rumen sedemikian rupa hingga posisi abomasum

menjadi terdesak ke muka di sebelah bawah atau ventral dari rumen. Pada saat
7

kelahiran, karena kosongnya rongga yang semula ditempati uterus dengan fetus

secara tiba tiba, rumen penuh dengan ingesta akan menindih abomasum yang

terdapat di bawahnya. Dengan demikian terjadilah keadaan abomasum yang

tergencet dan tergeser dari tempat aslinya (Subronto, 2008).

LDA melibatkan tiga faktor : Isi rumen, kosongnya rongga abdomen post-

partum, dan atonia abomasum. Perpindahan abomasum ke sebelah kiri disebabkan

oleh kosongnya ruang di dalam rongga abdomen. Hal ini secara alami terjadi setelah

pengeluaran fetus, plasenta dan involusi uterus. Sapi Holstein cenderung untuk

mengalami LDA karena rongga abdomen besar. Nafsu makan yang berkurang

setelah partus menyebabkan berkurangnya isi dan ukuran rumen, atau hewan-

hewan ini kekurangan pakan tinggi serat, sehingga mengurangi fungsi rumen. Sapi

yang diberi ransum yang digiling halus atau kelebihan serat hijauan seperti jagung

lebih mungkin untuk terkena LDA karena menurunkan isi rumen dan meningkatkan

fermentasi. Endotoksin dan mediator inflamasi (misalnya histamin) yang

dilepaskan setelah metritis, mastitis, dan laminitis dapat menyebabkan penurunan

motilitas abomasum. Begitu abomasum hipomotil terisi dengan gas akibat produksi

VFA berlebih, hal ini menyebabkan abomasum dapat berpindah kearah dorso-

cranial sebelah kiri rongga abdomen (Sexton et al., 2007).


Gejala Klinis

Gejala Klinis

Pada awal kejadian ditandai dengan penurunan nafsu makan dan distensi

perut. Abomasum yang mengalami pergeseran akan terisi gas dan menghasilkan

suara nyaring saat diperkusi dan auskultasi. Suhu tubuh dan pulsus hanya
8

meningkat sedikit, produksi susu menurun drastis, bobot menurun, frekuensi gerak

dan tonus rumen menurun, feses berbentuk pasta tertutup lendir (Subronto, 2008).
Penanganan

Gambar 2. LDA dengan tonjolan pada flank kiri (Blowey dan Weaver, 2011).

Penanganan

Pertolongan sederhana dapat dilakukan dengan mengikat kakinya,

ditelentangkan, kemudian digoyang kanan kiri beberapa kali. Selain itu dapat

dilakukan juga operasi berdiri, dengan irisan yang dibuat pada fossa paralumbar

sebelah kiri. Dinding ventral abomasums ditautkan dengan dinding abomasum

sebelah vental (omentopexy) (Subronto, 2008).


Pencegahan

Pencegahan

Pemberian konsentrat langsung setelah partus harus dihindari. Pakan tinggi

serat yang cukup harus disediakan selama awal masa laktasi. Peningkatan kejadian

LDA pada sapi melibatkan nutrisi selama masa kebuntingan yang kurang,

manajemen kelahiran, dan pengenalan terhadap fase laktasi. Apabila terdapat

masalah retensi plasenta, metritis puerperal, dan hypocalcaemia harus segera

ditangani (Scott et al., 2011).


9

Ketosis

Ketosis
Definisi dan Patogenesis

Definisi dan Patogenesis

Ketosis atau asetonaemia merupakan gangguan metabolik yag sering terjadi

pada sapi perah selama periode awal laktasi. Ketosis dicirikan dengan adanya

peningkatan badan keton di darah, urin, dan susu. Badan keton terdiri atas beta-

hydroxybutyrate (BHBA), acetoacetate (AcAc), dan acetone (Ac). Badan keton

dapat berdifusi melewati membran sel dan menyediakan energi selama puasa.

Peningkatan konsentrasi BHBA di dalam darah mengindikasikan adanya stimulasi

lipolisis atau penyerapan butirat yang berlebihan dari pakan (Zhang et al., 2012).

Ketosis primer atau ketosis tipe 1 terjadi pada laktasi awal pada sapi yang

produksi susunya tinggi dimana sapi tersebut tidak dapat mengkonsumsi energi

yang cukup untuk mensuplai kebutuhan glukosanya untuk laktogenesis. Faktor

resiko terjadinya ketosis primer adalah energi yang tidak cukup, asupan pakan yang

tidak cukup, asupan pakan yang mengandung ketogenik yang berlebihan (misalnya

pada silase dengan kadar asam butirat tinggi), dan fungsi rumen yang lemah akibat

asidosis subakut. Ketosis sekunder atau ketosis tipe 2 disebabkan oleh penyakit

yang mendepres asupan pakan seperti LDA (Scott et al., 2011). Menurut Adams

(2014), ketosis sekunder terjadi ketika ada masalah primer seperti fatty liver,

metritis, atau hipokalsemia pada sapi, sehingga tidak dapat makan yang cukup

untuk kebutuhannya.

Selain itu, klasifikasi ketosis menurut Scott et al. ( 2011) adalah tipe I :

ketosis yang terjadi pada sapi produksi tinggi 3 0 6 minggu setelah partus karena

konsumsi energi yang tidak cukup dari pakan, sedangkan ketosis tipe II : ketosis
10

yang terjadi dalam waktu dua minggu setelah kelahiran akibat resistensi insulin.

Resistensi ini terjadi karena deposisi lemak pada hati di trimester 3 kebuntingan.

Glukosa disintesis di dalam hati dan korteks ginjal melalui jalur

glukoneogenik. Sekitar setengah dari kebutuhan glukosa sapi berasal dari pakan

yang mengandung asam propionat, yang termasuk ke dalam tricarboxylic acid

(TCA) dan diubah menjadi glukosa melalui glukoneogenesis. Asam amino

glukogenik, asam laktat, dan gliserol dapat diubah menjadi glukosa melalui proses

ini. Pengurangan produksi asam propionat di dalam rumen akan menghasilkan

produksi glukosa yang tidak memadai dan berakibat hipoglikemia. Hipoglikemia

menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dan gliserol dari penyimpanan lemak.

Hormon seperti adrenalin, glukagon, adrenokortikotropik, glukokortikoid dan tiroid

mempengaruhi mobilisasi ini. Otot skelet dan hati dapat menggunakan asam lemak

untuk produksi energi saat glukosa sedikit. Namun, hati memiliki kemampuan

terbatas untuk mengoksidasi asam lemak karena asetil-koA, yang merupakan

produk akhir dari oksidasi asam lemak, tidak dapat digabungkan ke dalam siklus

TCA ketika kadar oksaloasetat, hasil glukoneogenesis aktif, rendah. Kelebihan

asetil-KoA diubah menjadi badan keton acetoacetate dan beta-hidroksibutirat dan,

untuk sebagian kecil, aseton. Jaringan selain hati bisa memanfaatkan badan keton

tetapi, jika produksi melebihi tingkat maka badan keton digunakan oleh otot dan

jaringan lainnya, sehingga terakumulasi dan menghasilkan ketosis. Badan keton

diekskresikan dalam susu dan urin (Andrews et al., 2004).


11

Gejala Klinis

Gejala Klinis

Ketosis dibedakan menjadi ketosis klinis dan subklinis. Pada ketosis klinis

memiliki gejala yang tampak dan biasanya terjadi pada minggu pertama sampai

kedelapan postpartus, menghasilkan gejala anoreksia, licking and blindness, feses

keras dan kering, kondisi menurun, dan penurunan produksi susu (Zhang et al.,

2012). Pada ketosis subklinis kejadiannya sering terjadi pada minggu kedua sampai

ketiga laktasi. Ketosis ini dicirikan dengan tingginya badan keton yang bersirkulasi

tetapi tidak menunjukkan gejala klinis (Vicente et al., 2014).

Gambar 3. Sapi dengan keadaan asetonemia menunjukkan nafsu makan


menurun, berat badan menurun, produksi susu menurun, menjilat
dirinya sendiri atau benda lain (Scott et al., 2011).
Penanganan

Penanganan

Infus intravena sebanyak 500 ml yang mengandung 40% glukosa akan

menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah sementara yang berlangsung sekitar

dua jam. Terapi ini harus disertai dengan pemberian oral glukosa seperti propilen

glikol (150 ml, dua kali sehari). Propilen glikol lebih disukai daripada gliserol atau

propionate karena propionate difermentasi di dalam rumen dan menyebabkan

gangguan pencernaan dan gliserol diubah menjadi asam ketogenik sebaik asam

propionat dalam rumen. Glukokortikoid adalah terapi yang paling umum digunakan
12

untuk acetonaemia, baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi

glukosa. Terapi glukokortikoid menghasilkan penurunan pembentukan badan keton

sebab pemanfaatan asetil-CoA yang berasal dari oksidasi asam lemak akan

meningkatkan kadar glukosa darah karena ketersediaan yang lebih besar dari

prekursor glukosa di hati. Glukokortikoid yang umum digunakan deksametason,

betametason dan flumethasone dan semuanya efektif. Terapi yang disarankan pada

kasus ketosis yaitu 500 ml glukosa 40% intravena, satu dosis glukokortikoid,

pengobatan oral dua kali sehari dengan 150 g propilen glikol yang mengandung

kobalt selama tiga sampai empat hari (Andrews et al., 2004).


Pencegahan

Pencegahan

Manajemen masa transisi pada periode kering akhir atau awal laktasi harus

ditinjau kembali, termasuk kualitas pakan hijauan yang baik harus disediakan.

Asupan dry matter harus dimaksimalkan pada periode tersebut dan dipastikan

bahwa suplai protein dan energi dalam pakan seimbang. Konsentrat tidak boleh

diberikan berlebihan dan sapi dihindarkan dari rasa stres akibat kandang yang

terlalu sesak (Scott et al., 2011).


Laminitis

Laminitis
Definisi dan Patogenesis

Definisi dan Patogenesis

Laminitis merupakan gangguan metabolik pada korium kuku, tepatnya pada

lamela kuku, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada sapi. Laminitis pada sapi

kebanyakan terlihat pada permukaan kuku bawah, sole, dan bagian white line

(Kloosterman, 2007).
13

Gambar 4. Potongan melintang kuku sapi (Ishler, 2017).

Agen penyebab laminitis adalah lebih dari satu, saling terkait dan belum

dijelaskan secara mendetail. Pakan tinggi karbohidrat dapat memicu keadaan

asidosis yang telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor kunci dalam patogenesis

laminitis. Gangguan pencernaan seperti asidosis, perubahan flora bakteri

pencernaan, dan translokasi endotoksin ke dalam aliran darah merupakan faktor

predisposisi laminitis. Penyakit menular akibat bakteri gram negatif seperti mastitis,

metritis, foot rot juga secara tidak langsung berkontribusi terhadap etiologi penyakit

dengan produksi endotoksin. Beberapa faktor lingkungan termasuk permukaan alas

yang keras, exercise yang kurang atau berlebihan, berat badan, dan struktur kaki

dapat memperburuk kerusakan yang berhubungan dengan laminitis (Ametaj, 2012).

Biasanya sapi akan mengalami beberapa perubahan selama periode

kebuntingan, seperti pengenalan pakan untuk laktasi dan perubahan kandang untuk

persiapan partus. Sapi yang pertama kali bunting lebih merasakan adanya

perubahan ini daripada sapi yang sudah beberapa kali bunting (Bergsten, 2003).
14

Peningkatan kerapuhan korium selama periode periparturien berarti rentan

terhadap trauma. Namun, kebanyakan peternakan sapi saat ini, trauma terbesar pada

korium yang terjadi karena periode berdiri yang berlebihan dan pergerakan agresif

pada kelompok. Bahkan jika sapi tersebut telah melahirkan, maka selama beberapa

hari setelah melahirkan, dan terutama Heifers, akan menghabiskan jauh lebih

banyak waktu berdiri dan berbaring lebih jarang sehingga korium akan lebih sering

menahan beban dan berpotensi yang lebih besar untuk memar.

Waktu berdiri yang berlebihan menjadi buruk bagi sapi postpartum. Jika

hewan tidak bergerak, mekanisme pemompaan pembuluh darah dari heel dan digiti

akan terganggu. Stasis vaskuler merupakan predisposisi terhadap anoksia dan

kerusakan korium, yang menghasilkan formasi horn lemah. Hal ini penting bahwa

ada tempat yang memungkinkan sapi untuk berjalan-jalan dengan bebas. Kepadatan

populasi sapi dalam kandang harus dihindari (Andrews et al., 2004).


Gejala Klinis

Gejala Klinis

Ada tiga bentuk laminitis, yaitu akut, subakut, dan kronis. Pada laminitis

akut, meskipun secara sistemik sapi sakit dan peradangan pada corium yang jelas,

sangat sedikit tanda-tanda klinis yang dapat diamati. Namun, tanda tanda seperti

nyeri, pembengkakan jaringan kaki dan suhu yang sedikit lebih tinggi dari normal

di atas korium. Sebaliknya, laminitis subakut tanda - tanda yang paling menonjol

adalah horn yang lebih lembut, warna kuning pada sole, dan pendarahan pada solar

area. Laminitis subakut merupakan bentuk yang paling sering terjadi selama

periode kebuntingan, yaitu 7 10 hari sebelum bunting dan 7 10 hari sesuah

partus. Gejala laminitis muncul pada minggu 2 4 setelah partus. Di sisi lain,
15

laminitis kronis dikaitkan dengan beberapa perubahan pada daerah hoof. Misalnya,

pola pertumbuhan keratin horn terganggu dan bentuk digiti berubah menjadi lebih

memanjang, pipih, dan meluas. Selain itu, grooves dan ridges pada dinding dorsal

menjadi lebih menonjol. Tanda-tanda penting lainnya termasuk ulserasi pada solar

area, double soles dengan warna kekuningan, kerusakan pembuluh darah kecil,

pemisahan antara dermal dan epidermal junction, dan akhirnya kerusakan kuku

bagian dalam. Jika proses penyakit telah berkembang maka tidak ada obat yang

dapat mengembalikan struktur asli kaki normal (Kloosterman, 2007; Ametaj,

2012).
Penanganan

Penanganan

Apabila laminitis disebabkan oleh tekanan pada korium, maka sole harus

dibuat cekung agar mengurangi tekanan. Selama proses ini, horn bagian bawah

dihilangkan, yang memungkinkan terekspos ulser. Jaringan granulasi dihilangkan

sampai sole menggunakan skalpel dan blade. Anastesi tidak dibutuhkan karena

pada jaringan granulasi tidak mengandung pembuluh darah. Pada sole ulcer diberi

perban agar membatasi pembentukan jaringan granulasi. Penggunaan copper

sulfate tidak diperbolehkan karena menghambat epitelialisasi dan penyembuhan

luka (Scott et al., 2011).


Pencegahan

Pencegahan

Pencegahan kejadian laminitis yang menguntungkan dapat dengan

membuat catatan riwayat kepincangan dan lesi pada kuku pada program breeding.

Rekording tersebut dapat membantu pemilik peternakan untuk memantau masalah


16

dan membuat pertimbangan dalam pengembangan kesehatan hoof (Bergsten,

2003).
BAB III PEMBAHASAN

BAB III

PEMBAHASAN

Gangguan metabolik merupakan penyakit yang berhubungan dengan

masalah pada satu atau beberapa proses metabolik. Periode transisi pada tiga

minggu sebelum dan tiga minggu setelah partus adalah waktu kritis bagi sapi karena

periode waktu ini berhubungan dengan beberapa perubahan seperti perubahan

hormonal, perubahan fase non laktasi ke fase laktasi, dan perubahan pakan. Ada

beberapa gangguan metabolik yang teridentifikasi pada sapi perah post partum

selama bulan pertama dan yang paling sering terjadi adalah asidosis rumen sub akut

dan akut, laminitis, ketosis, fatty liver, displasia abomasum kiri, milk fever, sindrom

sapi ambruk, retensi plasenta, metritis, mastitis, dan bloat (Ametaj, 2012). Berikut

akan dibahas gangguan metabolik terhadap performa reproduksi sapi, meliputi

asidosis rumen, ketosis, displasia abomasum kiri, dan laminitis.

1. Asidosis Rumen

Asidosis merupakan kondisi patologis dimana terdapat akumulasi asam

di dalam darah dan jaringan tubuh, ditandai dengan peningkatan konsentrasi

ion hidrogen. Asidosis rumen mengacu pada rangkaian kondisi yang

menunjukkan penurunan pH di rumen sapi (Lean, 2007). Dua kelompok sapi

yang memiliki resiko tinggi terkena asidosis adalah sapi pada masa awal laktasi

dan sapi dengan pakan tinggi biji bijian. Asidosis sering terjadi pada sapi

yang diberi pakan tinggi biji bijian atau karbohidrat yang dapat terfermentasi

17
18

dengan cepat. Asupan yang berlebihan dari zat tepung yang telah terfermentasi

ini sering terjadi segera setelah proses kelahiran, yaitu ketika sapi pertama kali

diberikan dengan pakan tinggi biji bijian (Ametaj, 2012).

Menurut Mathew dan Ajithkumar (2014), hubungan antara asidosis

rumen dan penurunan lemak susu bergantung pada fase laktasi, bangsa hewan,

dan pakan yang diberikan. Peningkatan produksi propionat pada rumen dan

kemudian glukosa darah meningkat, akan menyebabkan peningkatan

lipogenesis pada jaringan lemak dan menghasilkan kandungan lemak susu

menurun. Peningkatan glukosa darah juga meningkatkan kandungan laktosa

susu. Nitrogen urea susu akan < 3.0 mmol/L sebagai hasil dari penurunan

susunan amonia rumen.

2. Ketosis

Ketosis atau asetonaemia merupakan gangguan metabolik yang sering

terjadi pada sapi perah selama periode awal laktasi. Ketosis dicirikan dengan

adanya peningkatan badan keton di darah, urin, dan susu. Badan keton terdiri

atas beta-hydroxybutyrate (BHBA), acetoacetate (AcAc), dan acetone (Ac).

Badan keton dapat berdifusi melewati membran sel dan menyediakan energi

selama puasa. Peningkatan konsentrasi BHBA di dalam darah

mengindikasikan adanya stimulasi lipolisis atau penyerapan butirat yang

berlebihan dari pakan (Zhang et al., 2012).

Durasi dan besarnya efek ketosis berhubungan dengan penurunan

frekuensi denyut GnRH hipotalamus dan kelanjutan putaran feedback negatif

yang tidak cukup diantara konsentrasi estradiol dan kebutuhan pelepasan LH


19

penting untuk mendukung deviasi folikuler dan ovulasi. Kegagalan

komunikasi sepanjang axis hipotalamus-pituitari-ovarium merupakan

gangguan fisiologis yang umum terjadi pada ketosis dan menyebabkan

tertundanya aktivitas luteal. Secara spesifik, ketosis pada awal laktasi

menyebabkan ketidakseimbangan performa reproduksi pada 50 100 hari

kemudian. Efek ketidakseimbangan ini telah dianggap sebagai peningkatan

resiko ovulasi yang tertunda (Walsh et al., 2007). Selain itu, menurut

Fourichon et al (1999), penurunan produksi susu akibat ketosis adalah 4 10

kg/hari. Durasi waktu penurunan produksi susu pendek, yaitu 17 28 hari.

3. Displasia Abomasum Kiri

Left Displasia Abomasum paling banyak terjadi pada sapi perah yang

dipelihara di kandang dalam jangka waktu panjang dengan pemberian

konsentrat yang berlebihan (Subronto, 2008). Selain itu, LDA terutama terjadi

pada sapi perah laktasi pada bulan pertama postpartum (Sexton et al., 2007).

Displasia abomasum juga menyebabkan penurunan produksi susu

seperti yang disampaikan oleh Kocak dan Ekiz (2006), pada kebanyakan kasus,

penurunan produksi diawali sebelum proses diagnosa dan kembali normal

setelah beberapa waktu. Detilleux et al. (1997) dalam Kocak dan Ekiz (2006),

menyampaikan bahwa sapi penderita LDA menghasilkan susu 557 kg lebih

sedikit dari sapi yang sehat dalam durasi awal laktasi hingga hari ke 60 setelah

proses diagnosis, 30% dari penurunan terjadi sebelum diagnosis dan produksi

susu kembali normal setelah 20-45 hari setelah diagnosis.


20

4. Laminitis

Laminitis merupakan gangguan metabolik pada korium kuku, tepatnya

pada lamela kuku, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada sapi. Laminitis

pada sapi kebanyakan terlihat pada permukaan kuku bawah, sole, dan bagian

white line (Kloosterman, 2007).

Ketika sapi menjadi pincang akibat laminitis, maka sapi tersebut

kehilangan keinginan untuk bersaing mendapatkan air dan pakan. Selain itu,

juga menyebabkan jarak conception post partum menjadi meningkat. Salah

satu alasannya yaitu berhubungan dengan rasa sakit yng mengurangi sapi untuk

berkeliling mendekati pejantan selama estrus. Sapi juga menjadi lebih suka

berbaring dan mudah untuk terkena keropeng akibat terlalu lama berbaring.

Stres akibat rasa sakit karena laminitis menyebabkan sekresi hormon

adrenokortikotropik juga meningkat. Peningkatan hormon ini berhubungan

juga dengan penurunan pelepasan hormon LH. Akibatnya, terjadi perubahan

yang signifikan pada estrus dan ovulasi (Bergsten et al., 2007).


BAB IV KESIMPULAN

BAB IV
KESIMPULAN

Gangguan metabolik pada sapi perah post partum yang paling sering terjadi

selama bulan pertama adalah asidosis rumen, laminitis, ketosis, dan displasia

abomasum kiri. Gangguan ini menyebabkan perubahan pada performa reproduksi

sapi seperti penurunan kadar lemak susu, delayed ovulation, penurunan produksi

susu, perubahan siklus estrus, dan peningkatan conception post partum.

21
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Adams, J. 2014. Metabolic Disease in Farm Cattle : Part One Ketosis and Fatty
Liver. Vet Times. UK
Ametaj, B.N. 2012. Metabolic Disorders of Dairy Cattle. University of Alberta.
Canada
Andrews A.H., Blowey, R.W., Boyd, H., Eddy, R.G. 2004. Bovine Medicine
Diseases and Husbandry of Cattle. Blackwell Science. UK
Bergsten, C. 2003. Causes, Risk Factors, and Prevention of Laminitis and Related
Claw Lesions. Acta Vet Scand, Vol 98 : 157 - 166
Bergsten, C., Brizzi, A., mulling, C.K.W. 2007. Bovine Laminitis and Lameness A
Hands on Approach. Elsevier. China
Blowey, R.W., dan Weaver, A.D. 2011. Color Atlas of Disease and Disorders of
Cattle Third Edition. Elsevier. China
Fourichon, C., H. Seegers, N. Bareille & F. Beaudeau, 1999. Effects of Disease on
Milk Production in Dairy Cow : A Review Preventive Veterinary Medicine,
41, 135
Hernandez, J., Benedito, J.L., Abuelo, A., Castillo, C. 2014. Review Article
Ruminal Acidosis in Feedlot : From Aetiology to Prevention. The Sientific
World Journal : 1-8
Ishler, V.A. 2017. Prevention and Control of Foot Probles in Dairy Cows. The
Pennsylvania State University. US
Kloosterman, P. 2007. Laminitis Prevention, Diagnosis, and Treatment. WCDS
Advances in Dairy Technology, Vol 19 : 157 - 166
Lean, I. 2007. Ruminal Acidosis-Understanding, Prevention, and Treatment.
Reference Advisory Group on Fermentative Acidosis of Ruminants
Australia
Mathew, M.K dan Ajithkumar, S. 2014. Subacute Ruminal Acidosis and Its Effects
on Production. Journal of Agriculture and Veterinary Science, Vol 7(7) :
63-65
Scott, P.R., Penny, C.D., Macrae, A.I. 2011. Cattle Medicine. Manson Publishing.
UK

22
23

Sexton, M.F., Buckley,W., Ryan, E. 2007. A Study of 54 Cases of Left


Displacement of the Abomasum. Irish Veterinary Journal, Vol 60(10) : 605-
609
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-a. UGM Press. Yogyakarta
Vicente, F., Rodriguez, M.L., Fernandez, A.M., Soldado, A., Argamenteria, A.,
Pelaez, M., Roza-Delgado, B. 2014. Research Article Subclinical Ketosis
on Dairy Cows in Transition Period in Farms with Contrasting Butyric Acid
Contents in Silages. The Scientific World Journal : 1-5
Walsh, R.B., Walton, J.S., Kelton, D.F., LeBlanc, S.J., Leslle, K.E., Duffleld, T.F.
2007. The Effect of Subclinical Ketosis in Early Lactation on Reproductive
Performance of Postpartum Dairy Cows. Journal Dairy Science, Vol 90 :
2788-2796
Zhang Z., G Liu., H Wang., X Li., Z Wang. 2012. Detection of Subclinical Ketosis
in Dairy Cows. Pakistan Veterinary Journal, Vol 32(2): 156-160

Anda mungkin juga menyukai