Oleh :
Desyana Rachmawati, S.K.H
16/ 406472/ KH/ 09075
Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP
HALAMAN PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah diberikan
Metabolik terhadap Performa Reproduksi pada Sapi periode Mei Juni 2017
dengan lancar. Laporan ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk
Mada Yogyakarta.
2. Dr. Drh. Surya Agus Prihatno, MP., selaku dosen pembimbing dalam
Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca
sebagai tambahan pengetahuan. Akhir kata penulis mohon maaf jika terdapat
membangun, terimakasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
INTISARI............................................................................................................... vi
BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 21
iv
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GAMBAR
v
INTISARI
INTISARI
Desyana Rachmawati
vi
BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
besar. Dalam upaya produksi susu, sapi membutuhkan nutrien yang cukup untuk
kebutuhan laktasi. Hal ini dapat memicu sapi untuk mengalami stres yang dapat
nutrien yang cukup untuk mengkompensasi susu yang diproduksi, yang dikenal
Metabolisme adalah semua proses fisika, kimia, dan metabolik yang terjadi
building blocks atau didegradasi dan diekskresi dari tubuh sebagai sampah. Selama
proses metabolisme sel, organ, sistem, atau seluruh tubuh, organisme mengambil
energi dari nutrien dan menggunakannya untuk fungsi normal tubuh. Oleh karena
itu, metabolisme termasuk seluruh proses metabolik yang membuat fungsi normal
tubuh berjalan baik. Apabila ada masalah pada salah satu atau beberapa proses
1
2
perah post partum. Ada beberapa gangguan metabolik yang teridentifikasi pada sapi
perah post partum selama bulan pertama dan yang paling sering terjadi adalah
asidosis rumen sub akut dan akut, laminitis, ketosis, fatty liver, displasia abomasum
kiri, milk fever, sindrom sapi ambruk, retensi plasenta, metritis, mastitis, dan bloat.
sapi perah, tetapi masalah tersebut tetap harus mendapatkan perhatian dan
penanganan. Gangguan metabolik dapat dikurangi dengan nutrisi yang cukup pada
sapi, dan juga strategi dalam pemberian pakan dapat mencegah gangguan metabolik
ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asidosis Rumen
Asidosis Rumen
Definisi dan Patogenesis
dalam darah dan jaringan tubuh, ditandai dengan peningkatan konsentrasi ion
penurunan pH di rumen sapi (Lean, 2007). Dua kelompok sapi yang memiliki
resiko tinggi terkena asidosis adalah sapi pada masa awal laktasi dan sapi dengan
pakan tinggi biji bijian. Asidosis sering terjadi pada sapi yang diberi pakan tinggi
biji bijian atau karbohidrat yang dapat terfermentasi dengan cepat. Asupan yang
berlebihan dari zat tepung yang telah terfermentasi ini sering terjadi segera setelah
proses kelahiran, yaitu ketika sapi pertama kali diberikan dengan pakan tinggi biji
bijian. Untuk fermentasi dan pencernaan serat yang optimal pada rumen, pH
rumen harus berkisar antara 6 6,4. Pada sapi yang sehat sekalipun, pH rumen akan
berfluktuasi di bawah tingkat ini untuk jangka pendek pada siang hari (Ametaj,
2012).
pada media yang disediakan melalui pakan yang dikonsumsi sapi. Mikroflora
rumen membentuk koloni bakteri dan protozoa yang seimbang. Jika kandungan
pakan berubah, maka mikroflora dominan juga berubah, misalnya pada peningkatan
3
4
dominan. Dengan mikroflora normal yang seimbang, maka hasil akhir fermentasi
berupa volatile fatty acid (asetat, propionat, dan asam butirat), yang diabsorbsi dari
(mengkonversi laktat menjadi piruvat) karena bakteri ini sensitif terhadap pH. Di
lain pihak, ada peningkatam populasi bakteri gram positif, terutama Streptococcus
bovis, yang diketahui sebagai bakteri penghasil laktat dimana asam tersebut 10 kali
lebih kuat dari VFA, dan asam ini berkontribusi terhadap penurunan pH, yang akan
menyebabkan penurunan pH rumen sampai 3.8, dan pada saat ini asam tidak dapat
terpisah, melintasi dinding rumen ke aliran darah dan memicu terjadinya asidosis
Gejala Klinis
Derajat keparahan gejala yang muncul tergantung pada jumlah pakan biji
bijian yang dimakan, dimana pakan tersebut telah digiling atau diberi secara utuh.
Pada sapi yang terkena asidosis, pada saat berjalan terlihat ataksia, mungkin terjatuh
dan kesulitan untuk bangkit berdiri lagi; anoreksia; berdiri dengan leher mengarah
ke bawah; tooth grinding; distensi abdomen karena rumen statis dan membesar;
atoni rumen. Pada awalnya suhu rektal akan meningkat, tetapi menjadi subnormal
24 jam pertama setelah memakan karbohidrat tidak terlihat diare, tetapi setelah 24
jam tampak diare profus, berbau asam, dan mungkin mengandung biji bijian. Sapi
yang paling parah terkena asidosis akan menjadi rekumben dan terjadi peningkatan
respirasi. Apabila pulsus >100 kali per menit, pH rumen < 4,5 menunjukkan
Penanganan
Penanganan
Jika sapi menunjukkan gejala asidosis ringan seperti diare, sapi tersebut
harus diberi pakan dengan jumlah biji bijian lebih sedikit atau jumlah serat kasar
yang ditingkatkan. Pada sapi dengan gejala asidosis parah seperti diare, tidak mau
makan, depresi, tidak boleh diberi pakan biji bijian atau serat kasar, tetapi diberi
sodium bikarbonat 120 gram secara oral dan elektrolit pengganti yang larut air
sebanyak 4 5 liter. Penanganan ini harus diulangi tiga kali dalam satu hari jika
Pencegahan
tinggi serat. Sapi perah produksi tinggi membutuhkan serat yang mudah dicerna
untuk menyeimbangkan pakan tinggi zat tepung. Perbandingan konsentrat dan serat
Left Displasia Abomasum paling banyak terjadi pada sapi perah yang
yang berlebihan (Subronto, 2008). Selain itu, LDA terutama terjadi pada sapi perah
laktasi pada bulan pertama postpartum (Sexton et al., 2007). Pada saat hewan
bunting, uterus akan mengembang dan mendesak organ organ pencernaan ke arah
muka serta agak mengangkat rumen sedemikian rupa hingga posisi abomasum
menjadi terdesak ke muka di sebelah bawah atau ventral dari rumen. Pada saat
7
kelahiran, karena kosongnya rongga yang semula ditempati uterus dengan fetus
secara tiba tiba, rumen penuh dengan ingesta akan menindih abomasum yang
LDA melibatkan tiga faktor : Isi rumen, kosongnya rongga abdomen post-
oleh kosongnya ruang di dalam rongga abdomen. Hal ini secara alami terjadi setelah
pengeluaran fetus, plasenta dan involusi uterus. Sapi Holstein cenderung untuk
mengalami LDA karena rongga abdomen besar. Nafsu makan yang berkurang
setelah partus menyebabkan berkurangnya isi dan ukuran rumen, atau hewan-
hewan ini kekurangan pakan tinggi serat, sehingga mengurangi fungsi rumen. Sapi
yang diberi ransum yang digiling halus atau kelebihan serat hijauan seperti jagung
lebih mungkin untuk terkena LDA karena menurunkan isi rumen dan meningkatkan
motilitas abomasum. Begitu abomasum hipomotil terisi dengan gas akibat produksi
VFA berlebih, hal ini menyebabkan abomasum dapat berpindah kearah dorso-
Gejala Klinis
Pada awal kejadian ditandai dengan penurunan nafsu makan dan distensi
perut. Abomasum yang mengalami pergeseran akan terisi gas dan menghasilkan
suara nyaring saat diperkusi dan auskultasi. Suhu tubuh dan pulsus hanya
8
meningkat sedikit, produksi susu menurun drastis, bobot menurun, frekuensi gerak
dan tonus rumen menurun, feses berbentuk pasta tertutup lendir (Subronto, 2008).
Penanganan
Gambar 2. LDA dengan tonjolan pada flank kiri (Blowey dan Weaver, 2011).
Penanganan
ditelentangkan, kemudian digoyang kanan kiri beberapa kali. Selain itu dapat
dilakukan juga operasi berdiri, dengan irisan yang dibuat pada fossa paralumbar
Pencegahan
serat yang cukup harus disediakan selama awal masa laktasi. Peningkatan kejadian
LDA pada sapi melibatkan nutrisi selama masa kebuntingan yang kurang,
Ketosis
Ketosis
Definisi dan Patogenesis
pada sapi perah selama periode awal laktasi. Ketosis dicirikan dengan adanya
peningkatan badan keton di darah, urin, dan susu. Badan keton terdiri atas beta-
dapat berdifusi melewati membran sel dan menyediakan energi selama puasa.
lipolisis atau penyerapan butirat yang berlebihan dari pakan (Zhang et al., 2012).
Ketosis primer atau ketosis tipe 1 terjadi pada laktasi awal pada sapi yang
produksi susunya tinggi dimana sapi tersebut tidak dapat mengkonsumsi energi
resiko terjadinya ketosis primer adalah energi yang tidak cukup, asupan pakan yang
tidak cukup, asupan pakan yang mengandung ketogenik yang berlebihan (misalnya
pada silase dengan kadar asam butirat tinggi), dan fungsi rumen yang lemah akibat
asidosis subakut. Ketosis sekunder atau ketosis tipe 2 disebabkan oleh penyakit
yang mendepres asupan pakan seperti LDA (Scott et al., 2011). Menurut Adams
(2014), ketosis sekunder terjadi ketika ada masalah primer seperti fatty liver,
metritis, atau hipokalsemia pada sapi, sehingga tidak dapat makan yang cukup
untuk kebutuhannya.
Selain itu, klasifikasi ketosis menurut Scott et al. ( 2011) adalah tipe I :
ketosis yang terjadi pada sapi produksi tinggi 3 0 6 minggu setelah partus karena
konsumsi energi yang tidak cukup dari pakan, sedangkan ketosis tipe II : ketosis
10
yang terjadi dalam waktu dua minggu setelah kelahiran akibat resistensi insulin.
Resistensi ini terjadi karena deposisi lemak pada hati di trimester 3 kebuntingan.
glukoneogenik. Sekitar setengah dari kebutuhan glukosa sapi berasal dari pakan
glukogenik, asam laktat, dan gliserol dapat diubah menjadi glukosa melalui proses
menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dan gliserol dari penyimpanan lemak.
mempengaruhi mobilisasi ini. Otot skelet dan hati dapat menggunakan asam lemak
untuk produksi energi saat glukosa sedikit. Namun, hati memiliki kemampuan
produk akhir dari oksidasi asam lemak, tidak dapat digabungkan ke dalam siklus
untuk sebagian kecil, aseton. Jaringan selain hati bisa memanfaatkan badan keton
tetapi, jika produksi melebihi tingkat maka badan keton digunakan oleh otot dan
Gejala Klinis
Gejala Klinis
Ketosis dibedakan menjadi ketosis klinis dan subklinis. Pada ketosis klinis
memiliki gejala yang tampak dan biasanya terjadi pada minggu pertama sampai
keras dan kering, kondisi menurun, dan penurunan produksi susu (Zhang et al.,
2012). Pada ketosis subklinis kejadiannya sering terjadi pada minggu kedua sampai
ketiga laktasi. Ketosis ini dicirikan dengan tingginya badan keton yang bersirkulasi
Penanganan
dua jam. Terapi ini harus disertai dengan pemberian oral glukosa seperti propilen
glikol (150 ml, dua kali sehari). Propilen glikol lebih disukai daripada gliserol atau
gangguan pencernaan dan gliserol diubah menjadi asam ketogenik sebaik asam
propionat dalam rumen. Glukokortikoid adalah terapi yang paling umum digunakan
12
untuk acetonaemia, baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi
sebab pemanfaatan asetil-CoA yang berasal dari oksidasi asam lemak akan
meningkatkan kadar glukosa darah karena ketersediaan yang lebih besar dari
betametason dan flumethasone dan semuanya efektif. Terapi yang disarankan pada
kasus ketosis yaitu 500 ml glukosa 40% intravena, satu dosis glukokortikoid,
pengobatan oral dua kali sehari dengan 150 g propilen glikol yang mengandung
Pencegahan
Manajemen masa transisi pada periode kering akhir atau awal laktasi harus
ditinjau kembali, termasuk kualitas pakan hijauan yang baik harus disediakan.
Asupan dry matter harus dimaksimalkan pada periode tersebut dan dipastikan
bahwa suplai protein dan energi dalam pakan seimbang. Konsentrat tidak boleh
diberikan berlebihan dan sapi dihindarkan dari rasa stres akibat kandang yang
Laminitis
Definisi dan Patogenesis
lamela kuku, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada sapi. Laminitis pada sapi
kebanyakan terlihat pada permukaan kuku bawah, sole, dan bagian white line
(Kloosterman, 2007).
13
Agen penyebab laminitis adalah lebih dari satu, saling terkait dan belum
asidosis yang telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor kunci dalam patogenesis
predisposisi laminitis. Penyakit menular akibat bakteri gram negatif seperti mastitis,
metritis, foot rot juga secara tidak langsung berkontribusi terhadap etiologi penyakit
yang keras, exercise yang kurang atau berlebihan, berat badan, dan struktur kaki
kebuntingan, seperti pengenalan pakan untuk laktasi dan perubahan kandang untuk
persiapan partus. Sapi yang pertama kali bunting lebih merasakan adanya
perubahan ini daripada sapi yang sudah beberapa kali bunting (Bergsten, 2003).
14
terhadap trauma. Namun, kebanyakan peternakan sapi saat ini, trauma terbesar pada
korium yang terjadi karena periode berdiri yang berlebihan dan pergerakan agresif
pada kelompok. Bahkan jika sapi tersebut telah melahirkan, maka selama beberapa
hari setelah melahirkan, dan terutama Heifers, akan menghabiskan jauh lebih
banyak waktu berdiri dan berbaring lebih jarang sehingga korium akan lebih sering
Waktu berdiri yang berlebihan menjadi buruk bagi sapi postpartum. Jika
hewan tidak bergerak, mekanisme pemompaan pembuluh darah dari heel dan digiti
kerusakan korium, yang menghasilkan formasi horn lemah. Hal ini penting bahwa
ada tempat yang memungkinkan sapi untuk berjalan-jalan dengan bebas. Kepadatan
Gejala Klinis
Ada tiga bentuk laminitis, yaitu akut, subakut, dan kronis. Pada laminitis
akut, meskipun secara sistemik sapi sakit dan peradangan pada corium yang jelas,
sangat sedikit tanda-tanda klinis yang dapat diamati. Namun, tanda tanda seperti
nyeri, pembengkakan jaringan kaki dan suhu yang sedikit lebih tinggi dari normal
di atas korium. Sebaliknya, laminitis subakut tanda - tanda yang paling menonjol
adalah horn yang lebih lembut, warna kuning pada sole, dan pendarahan pada solar
area. Laminitis subakut merupakan bentuk yang paling sering terjadi selama
partus. Gejala laminitis muncul pada minggu 2 4 setelah partus. Di sisi lain,
15
laminitis kronis dikaitkan dengan beberapa perubahan pada daerah hoof. Misalnya,
pola pertumbuhan keratin horn terganggu dan bentuk digiti berubah menjadi lebih
memanjang, pipih, dan meluas. Selain itu, grooves dan ridges pada dinding dorsal
menjadi lebih menonjol. Tanda-tanda penting lainnya termasuk ulserasi pada solar
area, double soles dengan warna kekuningan, kerusakan pembuluh darah kecil,
pemisahan antara dermal dan epidermal junction, dan akhirnya kerusakan kuku
bagian dalam. Jika proses penyakit telah berkembang maka tidak ada obat yang
2012).
Penanganan
Penanganan
Apabila laminitis disebabkan oleh tekanan pada korium, maka sole harus
dibuat cekung agar mengurangi tekanan. Selama proses ini, horn bagian bawah
sampai sole menggunakan skalpel dan blade. Anastesi tidak dibutuhkan karena
pada jaringan granulasi tidak mengandung pembuluh darah. Pada sole ulcer diberi
Pencegahan
membuat catatan riwayat kepincangan dan lesi pada kuku pada program breeding.
2003).
BAB III PEMBAHASAN
BAB III
PEMBAHASAN
masalah pada satu atau beberapa proses metabolik. Periode transisi pada tiga
minggu sebelum dan tiga minggu setelah partus adalah waktu kritis bagi sapi karena
hormonal, perubahan fase non laktasi ke fase laktasi, dan perubahan pakan. Ada
beberapa gangguan metabolik yang teridentifikasi pada sapi perah post partum
selama bulan pertama dan yang paling sering terjadi adalah asidosis rumen sub akut
dan akut, laminitis, ketosis, fatty liver, displasia abomasum kiri, milk fever, sindrom
sapi ambruk, retensi plasenta, metritis, mastitis, dan bloat (Ametaj, 2012). Berikut
1. Asidosis Rumen
yang memiliki resiko tinggi terkena asidosis adalah sapi pada masa awal laktasi
dan sapi dengan pakan tinggi biji bijian. Asidosis sering terjadi pada sapi
yang diberi pakan tinggi biji bijian atau karbohidrat yang dapat terfermentasi
17
18
dengan cepat. Asupan yang berlebihan dari zat tepung yang telah terfermentasi
ini sering terjadi segera setelah proses kelahiran, yaitu ketika sapi pertama kali
rumen dan penurunan lemak susu bergantung pada fase laktasi, bangsa hewan,
dan pakan yang diberikan. Peningkatan produksi propionat pada rumen dan
susu. Nitrogen urea susu akan < 3.0 mmol/L sebagai hasil dari penurunan
2. Ketosis
terjadi pada sapi perah selama periode awal laktasi. Ketosis dicirikan dengan
adanya peningkatan badan keton di darah, urin, dan susu. Badan keton terdiri
Badan keton dapat berdifusi melewati membran sel dan menyediakan energi
resiko ovulasi yang tertunda (Walsh et al., 2007). Selain itu, menurut
Left Displasia Abomasum paling banyak terjadi pada sapi perah yang
konsentrat yang berlebihan (Subronto, 2008). Selain itu, LDA terutama terjadi
pada sapi perah laktasi pada bulan pertama postpartum (Sexton et al., 2007).
seperti yang disampaikan oleh Kocak dan Ekiz (2006), pada kebanyakan kasus,
setelah beberapa waktu. Detilleux et al. (1997) dalam Kocak dan Ekiz (2006),
sedikit dari sapi yang sehat dalam durasi awal laktasi hingga hari ke 60 setelah
proses diagnosis, 30% dari penurunan terjadi sebelum diagnosis dan produksi
4. Laminitis
pada lamela kuku, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada sapi. Laminitis
pada sapi kebanyakan terlihat pada permukaan kuku bawah, sole, dan bagian
kehilangan keinginan untuk bersaing mendapatkan air dan pakan. Selain itu,
satu alasannya yaitu berhubungan dengan rasa sakit yng mengurangi sapi untuk
berkeliling mendekati pejantan selama estrus. Sapi juga menjadi lebih suka
berbaring dan mudah untuk terkena keropeng akibat terlalu lama berbaring.
BAB IV
KESIMPULAN
Gangguan metabolik pada sapi perah post partum yang paling sering terjadi
selama bulan pertama adalah asidosis rumen, laminitis, ketosis, dan displasia
sapi seperti penurunan kadar lemak susu, delayed ovulation, penurunan produksi
21
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. 2014. Metabolic Disease in Farm Cattle : Part One Ketosis and Fatty
Liver. Vet Times. UK
Ametaj, B.N. 2012. Metabolic Disorders of Dairy Cattle. University of Alberta.
Canada
Andrews A.H., Blowey, R.W., Boyd, H., Eddy, R.G. 2004. Bovine Medicine
Diseases and Husbandry of Cattle. Blackwell Science. UK
Bergsten, C. 2003. Causes, Risk Factors, and Prevention of Laminitis and Related
Claw Lesions. Acta Vet Scand, Vol 98 : 157 - 166
Bergsten, C., Brizzi, A., mulling, C.K.W. 2007. Bovine Laminitis and Lameness A
Hands on Approach. Elsevier. China
Blowey, R.W., dan Weaver, A.D. 2011. Color Atlas of Disease and Disorders of
Cattle Third Edition. Elsevier. China
Fourichon, C., H. Seegers, N. Bareille & F. Beaudeau, 1999. Effects of Disease on
Milk Production in Dairy Cow : A Review Preventive Veterinary Medicine,
41, 135
Hernandez, J., Benedito, J.L., Abuelo, A., Castillo, C. 2014. Review Article
Ruminal Acidosis in Feedlot : From Aetiology to Prevention. The Sientific
World Journal : 1-8
Ishler, V.A. 2017. Prevention and Control of Foot Probles in Dairy Cows. The
Pennsylvania State University. US
Kloosterman, P. 2007. Laminitis Prevention, Diagnosis, and Treatment. WCDS
Advances in Dairy Technology, Vol 19 : 157 - 166
Lean, I. 2007. Ruminal Acidosis-Understanding, Prevention, and Treatment.
Reference Advisory Group on Fermentative Acidosis of Ruminants
Australia
Mathew, M.K dan Ajithkumar, S. 2014. Subacute Ruminal Acidosis and Its Effects
on Production. Journal of Agriculture and Veterinary Science, Vol 7(7) :
63-65
Scott, P.R., Penny, C.D., Macrae, A.I. 2011. Cattle Medicine. Manson Publishing.
UK
22
23