ANALISIS PANGAN
“PENENTUAN KADAR SERAT KASAR”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Mata Syarat Kuliah Analisis Pangan
Ditulis oleh :
Nama : Yasmin Nur Rochmah
NIM : 4444200095
Kelas : 4A
Kelompok : 2 (Dua)
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum
yang berjudul “Penentuan Kadar Serat Kasar”. Adapun maksud dan tujuan dari
dibuatnya laporan praktikum ini adalah syarat untuk memenuhi kelengkapan tugas
mata kuliah Analisis Pangan yang dibimbing oleh Ibu Winda Nurtiana, S.T.P.,
M.Si, Ibu Vega Yoesepa Pamela, ST. M.Si, dan Ibu Puji Wulandari, S.T.P., M.Sc.
Pada kesempatan ini, tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Winda Nurtiana, S.T.P., M.Si, Ibu Vega Yoesepa Pamela, ST. M.Si, dan
Ibu Puji Wulandari, S.T.P., M.Sc. selaku dosen pembimbing mata kuliah Kimia
Pangan.
2. M. Dhabit Dzikribillah selaku asisten praktikum laboratorium yang telah
membimbing dalam penulisan laporan ini.
3. Teman-teman IV A yang telah memberikan saran dan masukan kepada laporan
praktikum ini.
Penulis menyadari bahwa laporan praktikum ini masih jauh dari sempurna dan
perlu pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan laporan
praktikum ini. Penulis berharap semoga gagasan pada laporan praktikum ini dapat
bermanfaat bagi dunia pendidikan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum yang berjudul “Analisis Kadar Serat Kasar”
adalah untuk mengetahui kadar serat kasar suatu bahan pangan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dalam sistem pencernaan tetapi karena adanya mikroorganisme yang terdapat pada
rumen ternak ruminansia sehingga selulosa mampu dicerna dan dimanfaatkan
dengan baik. Hasil akhir dari pencernaan selulosa dalam rumen adalah asam lemak
terbang (VFA) yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia
(Pasaribu dan Praptiwi, 2014). Selulosa terdiri dari dua bentuk yaitu amorf dan
kristal. Bagian amorf jika dihidrolisis akan larut sedangkan bagian kristal tetap utuh
dan sebagian lagi larut dalam larutan asam encer. Keadaan inilah yang
menyebabkan enzim-enzim ternak monogastrik tidak mampu mencernanya kecuali
enzim selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme di dalam rumen ternak
ruminansia (McDonald et al., 2012).
Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam
alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa,
Dgalaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan
dalam kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam (McDonald et al.,
2002). Hemiselulosa terdapat bersama-sama dengan selulosa dalam struktur daun
dan kayu dari semua bagian tanaman dan juga dalam biji tanaman tertentu.
Hemiselulosa yang terhidrolisis akan menghasilkan heksosa, pentosa dan asam
uronat. Hemiselulosa dihidrolisa oleh jasad renik dalam saluran pencernaan dengan
enzim hemiselulase, hasil akhir fermentasinya adalah VFA (Pasaribu dan Praptiwi,
2014). Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril
yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang
dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat
(Suparjo et al., 2008).
Lignin merupakan komponen yang tidak memiliki hasil akhir dari proses
pencernaan dan keberadaannya dapat menghambat proses pencernaan pada ternak.
Lignin merupakan komponen dinding sel yang sulit dicerna oleh bakteri, sehingga
dengan kadar lignin yang lebih rendah bakteri akan lebih mudah mendegradasi zat-
zat makanan yang terdapat dalam isi sel (McDonald et al., 2012). Lignin sering
digolongkan sebagai karbohidrat karena hubungannya dengan selulosa dan
hemiselulosa dalam menyusun dinding sel, namun lignin bukan karbohidrat. Hal
ini ditunjukkan oleh proporsi karbon yang lebih tinggi pada lignin (Suparjo et al.,
2008). Pengerasan dinding sel kulit tanaman yang disebabkan oleh lignin
4
menghambat enzim untuk mencerna serat dengan normal. Hal ini merupakan bukti
bahwa adanya ikatan kimia yang kuat antara lignin, polisakarida tanaman dan
protein dinding sel yang menjadikan komponenkomponen ini tidak dapat dicerna
oleh ternak (McDonald et al., 2012).
5
tubuh yang tidak keluar akibat kurang serat dan mengakibatkan gangguan
pencernaan. Dengan adanya serat tubuh, banyak kotoran dapat diserap dan
dikeluarkan bersamaan dengan feses (Lubis, 2010).
6
BAB III
METODE PRAKTIKUM
***
7
***
Pengeringan sampel dan kertas saring pada
oven (T: 105oC t: 15 menit)
8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Adapun hasil praktikum Analisis Pangan yang berjudul “Penentuan Kadar
Serat Kasar” kali ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Serat Kasar
W
W W
W kertas
W kertas kertas Serat
kertas saring Rataa
Sampel sampel saring + saring + kasar SD
saring + n
(g) sampel sampel (%)
kosong sampel
1 (g) 2 (g)
3 (g)
4.2 Pembahasan
Pada praktikum Analisis Pangan yang berjudul “Penentuan Kadar Serat Kasar”
dilakukan penentuan untuk kadar serat kasar pada sampel toge dan nutrisari.
Menurut Hermiyanti dan Eli (2006) serat kasar merupakan kumpulan dari semua
serat yang tidak bisa dicerna. Komponen dari serat kasar ini yaitu terdiri dari
selulosa, pentosa, lignin, dan komponen-komponen lainnya. Komponen dari serat
kasar ini tidak mempunyai nilai gizi akan tetapi serat ini sangat penting untuk proses
memudahkan dalam pencernaan di dalam tubuh agar proses pencernaan tersebut
lancar. Analisis kadar serat kasar adalah usaha untuk mengetahui kadar serat kasar
pada makanan. Prinsip utama dari serat kasar adalah mengikat air, selulosa dan
9
pektin. Serat kasar adalah bagian dari pakan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar yaitu asam sulfat
(H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%) (Hermayati dan Eli, 2006).
Serat kasar berbeda dengan serat pangan. Menurut Tejasari (2015) istilah serat
pangan (dietary fibre) berbeda dengan serat kasar (crude fibre). Serat pangan adalah
residu pangan nabati yang tahan terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan
manusia. Sedangkan serat kasar adalah residu pangan nabati yang tersisa setelah
dengan keras dicerna secara kimiawi. Sedangkan menurut menurut Korompot et al.
(2018) serat makanan tidak sama pengertiannya dengan serat kasar (crude fiber).
Serat kasar adalah senyawa yang biasa dianalisa di laboratorium, yaitu senyawa
yang tidak dapat dihidrolisa oleh asam atau alkali. Di dalam buku Daftar Komposisi
Bahan Makanan, yang dicantumkan adalah kadar serat kasar bukan kadar serat
makanan. Tetapi kadar serat kasar dalam suatu makanan dapat dijadikan indeks
kadar serat makanan, karena umumnya didalam serat kasar ditemukan sebanyak 0,2
- 0,5 bagian jumlah serat makanan.
Menurut Tillman et al. (1989) serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa
dan lignin. Pada selulosa merupakan polisakarida yang terdiri dari rantai lurus unit
glukosa yang mempunyai berat molekul tinggi. Selulosa lebih tahan terhadap reaksi
kimia dibandingkan dengan glukan-glukan lainnya. Pasaribu dan Praptiwi (2014)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa selulosa sukar dihancurkan dalam sistem
pencernaan tetapi karena adanya mikroorganisme yang terdapat pada rumen ternak
ruminansia sehingga selulosa mampu dicerna dan dimanfaatkan dengan baik. Hasil
akhir dari pencernaan selulosa dalam rumen adalah asam lemak terbang (VFA)
yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Selulosa terdiri dari
dua bentuk yaitu amorf dan kristal. Bagian amorf jika dihidrolisis akan larut
sedangkan bagian kristal tetap utuh dan sebagian lagi larut dalam larutan asam
encer. Keadaan inilah yang menyebabkan enzim-enzim ternak monogastrik tidak
mampu mencernanya kecuali enzim selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme
di dalam rumen ternak ruminansia.
Jenis serat kasar selanjutnya adalah hemiselulosa. Menurut penelitian
McDonald et al. (2002) hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman
yang larut dalam alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit
10
D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk
bersamaan dalam kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam.
Hemiselulosa terdapat bersama-sama dengan selulosa dalam struktur daun dan kayu
dari semua bagian tanaman dan juga dalam biji tanaman tertentu. Hemiselulosa
yang terhidrolisis akan menghasilkan heksosa, pentosa dan asam uronat.
Hemiselulosa dihidrolisa oleh jasad renik dalam saluran pencernaan dengan enzim
hemiselulase, hasil akhir fermentasinya adalah VFA. Suparjo et al. (2008)
menyatakan bahwa hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk
mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan
silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang
kuat.
McDonald et al. (2012) menyatakan bahwa lignin merupakan komponen yang
tidak memiliki hasil akhir dari proses pencernaan dan keberadaannya dapat
menghambat proses pencernaan pada ternak. Lignin merupakan komponen dinding
sel yang sulit dicerna oleh bakteri, sehingga dengan kadar lignin yang lebih rendah
bakteri akan lebih mudah mendegradasi zat-zat makanan yang terdapat dalam isi
sel. Dalam penelitian Suparjo et al. (2008) dijelaskan bahwa lignin sering
digolongkan sebagai karbohidrat karena hubungannya dengan selulosa dan
hemiselulosa dalam menyusun dinding sel, namun lignin bukan karbohidrat. Hal
ini ditunjukkan oleh proporsi karbon yang lebih tinggi pada lignin. Pengerasan
dinding sel kulit tanaman yang disebabkan oleh lignin menghambat enzim untuk
mencerna serat dengan normal. Hal ini merupakan bukti bahwa adanya ikatan kimia
yang kuat antara lignin, polisakarida tanaman dan protein dinding sel yang
menjadikan komponen-komponen ini tidak dapat dicerna oleh ternak.
Analisis serat merupakan salah satu analisis proksimat yang membutuhkan
waktu panjang. Umumnya analisis lemak dilakukan dengan menggunakan metode
sokhletasi dengan nama lain soxtherm. Metode ini memiliki prinsip ekstraksi
dengan menggunakan pelarut non-polar dan membutuhkan waktu yang panjang.
Gerhardt memperkenalkan soxtherm yaitu alat yang dapat menganalisis kadar
lemak dengan waktu yang cepat. Selain itu alat ini juga dapat menggunakan
kembali pelarut yang telah dipakai hingga 90%.
11
Hardiyanti dan Khairun (2019) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
prinsip analisis serat kasar yaitu sampel dihidrolisis dengan asam kuat dan basa kuat
encer. Hal ini menyebabkan karbohidrat, protein dan zat – zat lain terhidrolisis dan
larut, kemudian disaring dan dicuci dengan air panas yang mengandung asam dan
alkohol. Selanjutnya dibakar dan ditimbang hasil yang didapat. Pada analisis serat
kasar sebelum melakukan proses analisis serat maka terlebih dahulu untuk
menghilangkan lemak karena lemak yang terkandung di dalam sampel yang akan
dianalisis serat lebih dari 10% akan mempengaruhi atau menganggu hasil pengujian
dari analisis serat tersebut.
Tuapattinaya (2016) menjelaskan bahwa serat kasar merupakan serat pangan
yang tidak larut dalam asam maupun basa, oleh karena itu dalam penelitian ini,
analisisnya dilakukan dengan penambahan H2SO4 1,25 % (0,255N) bertujuan
melarutkan zat lain yang dapat larut dalam asam, demikian pula dengan
penambahan NaOH 1,25% yang bertujuan untuk melarutkan zat-zat yang larut
dalam basa yang tidak larut dalam asam, sedangkan penambahan K2SO4 10% dan
aquadest yang mendidih untuk menghilangkan kelebihan NaOH dalam residu.
Tujuan dari analisis serat tersebut adalah untuk mengetahui seberapa penting
serat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, karena serat berhubungan erat
dengan kesehatan. Banyak masyarakat yang mengidap beberapa penyakit seperti
kanker, diabetes militus, obesitas disebabkan oleh banyaknya kotoran di dalam
tubuh yang tidak keluar akibat kurang serat dan mengakibatkan gangguan
pencernaan. Dengan adanya serat tubuh, banyak kotoran dapat diserap dan
dikeluarkan bersamaan dengan feses.
Prosedur yang dilakukan untuk menentukan kadar serat kasar adalah pertama-
tama dengan menimbang sampel sebesar 2,5 gram. Setelah itu sampel yang telah
ditimbang dipindahkan ke dalam beaker glass dan diberi pelarut etanol 96%. Tujuan
pemberian etanol 96% selama 30 detik supaya serat kasar pada sampel dapat terlarut
secara sempurna. Penggunaan etanol 70% tidak dapat melarutkan serat kasar secara
sempurna, sehingga praktikum kali ini digunakan pelarut etanol 96%. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian Kurniawati et al. (2016) yang menyatakan bahwa jenis
pelarut terbaik yang terdeteksi memiliki konsentrasi ekstrak terlarut paling tinggi
adalah etanol 96%. Setelah itu larutan didiamkan selama 15 menit, lalu sampel
12
disaring dengan kertas saring yang sudah dikonstankan dan sisa endapan pada dasar
beaker glass dibilang dengan 45 ml etanol 96%. Setelah disaring lalu kertas saring
dan sisa sampel yang tidak tersaring dikeringkan pada oven dengan suhu 105oC
selama 1 jam, setelah itu diletakkan ke dalam desikator dan ditimbang filtrat yang
sudah dikeringkan. Selanjutnya filtrat dipindah ke dalam beaker glass dan
ditambahkan asam kuat 50 ml H2SO4 dan nantinya juga akan ditambahkan NaOH
dengan tujuan untuk menghidrolisis kandungan protein, karbohidrat, dan lain-
lainnya sehingga hanya tersisa serat kasarnya saja. Hal tersebut dijelaskan dalam
penelitian Hardiyanti dan Khairun (2019) bahwa prinsip analisis serat kasar yaitu
sampel dihidrolisis dengan asam kuat dan basa kuat encer. Hal ini menyebabkan
karbohidrat, protein dan zat – zat lain terhidrolisis dan larut, kemudian disaring dan
dicuci dengan air panas yang mengandung asam dan alkohol. Selanjutnya dibakar
dan ditimbang hasil yang didapat. Setelah dilakukan beberapa prosedur maka
dihitung persentase serat kasar yang terdapat pada sampel.
Pada tabel 1 dapat diketahui hasil pengamatan serat kasar pada sampel toge dan
nutrisari. Hasil rata-rata serat kasar yang didapat pada sampel toge sebesar 0,50%
dengan standar deviasi 0,0202, sedangkan pada sampel nutrisari didapatkan rata-
rata kadar serat kasar sebesar 0,36 % dengan standar deviasi 0,0076. Hasil
persentase serat kasar yang didapat pada tauge tidak sesuai dengan penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya, persentase kadar serat yang didapat pada praktikum
ini lebih kecil dari penelitian Pangestu et al. (2018) yang di dalam penelitiannya
dijelaskan bahwa kandungan nutrisi limbah tauge cukup baik yang terdiri dari
protein kasar sebanyak 12,09%, serat kasar 50,89%, kadar air 32,4%, lemak kasar
1,18%, kalsium 0,37%, fosfor 0,33%, dan energi sebanyak 2689 kkal/kg.
Sedangkan pada kadar serat kasar nutrisari atau minuman serbuk yang diperoleh
praktikum kali ini sebesar 0,36%. Apabila hasil persentase tersebut dibandingkan
dengan penelitian yang pernah dilakukan maka persentase yang didapat pada
praktikum kali ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani
(2016) yang berjudul Pengaruh Konsentrasi Maltodekstrin dan Putih Telur terhadap
Karakteristik Minuman Serbuk Buah Naga di dalamnya dijelaskan bahwa sampel
minuman serbuk buah naga merah sebanyak 1,5 gram didapatkan kadar serat kadar
4% setara dengan 0,06 gram. Jika komposisi gizi per 100 gram daging buah naga
13
merah maka serat kasar yang diperoleh yaitu 4 gram per 100 gram. Sehingga apabila
dibandingkan dengan kadar serat kasar minuman serbuk nutrisari, kadar serat
kasarnya akan jauh berbeda.
Standar deviasi menurut Nugroho et al. (2015) dijelaskaan bahwa semakin
kecil standar deviasi maka menunjukkan bahwa data yang diperoleh tidak
bervariasi. Nilai standar deviasi yang menunjukkan semakin kecil nilainya maka
error yang terjadi juga kecil, begitu pula sebaliknya. Pada hasil perhitungan
didapatkan kedua data sampel tersebut memiliki standar deviasi >1 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data tersebut tidak bervariasi dan tingkat error-nya kecil.
14
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Serat kasar merupakan kumpulan dari semua serat yang tidak bisa dicerna.
Komponen dari serat kasar ini yaitu terdiri dari selulosa, pentosa, lignin, dan
komponen-komponen lainnya. Komponen dari serat kasar ini tidak mempunyai
nilai gizi akan tetapi serat ini sangat penting untuk proses memudahkan dalam
pencernaan di dalam tubuh agar proses pencernaan tersebut lancar. Pada praktikum
Analisis Pangan yang berjudul “Penentuan Kadar Serat” ini dilakukan pada
beberapa sampel, antara lain toge dan nutrisari. Hasil rata-rata serat kasar yang
didapat pada sampel toge sebesar 0,50% dengan standar deviasi 0,0202, sedangkan
pada sampel nutrisari didapatkan rata-rata kadar serat kasar sebesar 0,36 % dengan
standar deviasi 0,0076. Pada hasil perhitungan didapatkan kedua data sampel
tersebut memiliki standar deviasi >1 sehingga dapat disimpulkan bahwa data
tersebut tidak bervariasi dan tingkat error-nya kecil.
5.2 Saran
Praktikum sudah berjalan dengan cukup baik dan kondusif. Praktikan
seharusnya sudah membaca modul dan mencari tahu materi yang akan
dipraktikumkan supaya bisa lebih paham tentang praktikum yang akan
dilaksanakan. Asisten praktikum seharusnya bisa menjelaskan secara lebih jelas
mengenai materi praktikum dan juga mengarahkan praktikan dengan baik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hardiyanti dan Khairun, N. 2019. Analisis Kadar Serat pada Bakso Bekatul dengan
Metode Gravimetri. Jurnal Amina. Vol. 1(3): 103-107.
Hermayanti, Y. dan Eli, G. 2016. Modul Analisa Proksimat. SMAK 3 Padang:
Padang.
Korompot, A. R. H., Feti, F., dan Audy, D. W. 2018. Kandungan Serat Kasar dari
Bakasang Ikan Tuna (Thunnus sp.) pada Berbagai Kadar Garam dan
Waktu Fermentasi. Jurnal Ilmiah Sains. Vol. 18(1): 31-34.
Kurniawati, I., Maftuch, dan Anik, M. H. 2016. Penentuan Pelarut dan Lama
Ekstraksi Terbaik pada Teknik Maserasi Gracilaria sp. serta
Pengaruhnya terhadap Kadar Air dan Rendemen. Jurnal Ilmu
Perikanan. Vol. 7(2): 72-77.
Lubis, Z. 2010. Hidup Sehat dengan Makanan Kaya Serat. IPB Press: Bogor.
McDonald, P., Edwards, J. F. D., Greenhalgh, C. A., Morgan, L. A., Sinclair, R. G.,
dan Wilkinson. 2012. Animal Nutrition. Prentice Hall: New Jersey.
Nugroho, Cahyo Budi, Nidia Yuniarsih, dan Soni Widiawan. 2015. Pengaruh
Kecepatan Putar Poros terhadap Massa dan Volume Bakso yang
Dihasilkan pada Vertical Meatballs Machine. Jurnal Integrasi.
Volume 7(2): 119-122.
Pangestu, G. A., R. I. Pujaningsih, dan I. Mangisah. 2018. Pengaruh Ransum yang
Mengandung Limbah Tauge Fermentasi terhadap Kecernaan Serat
Kasar, Protein Kasar, dan Energi Metabolis pada Itik Lokal Fase
Starter. Jurnal Ilmuah Peternakan Terpadu. Vol. 6(1): 77-82.
Suparjo, Murni, R., Akmal, B. L., dan Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi
Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan. Jambi University Press: Jambi.
16
Tillman, A. D., Hartadi, S., Reksodiprodjo, S., Prwawirokusomo, dan
Lebdosoekojo, S. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
17
LAMPIRAN
Kelas A
Kelas B
Kelas C
Kelas A
Kelas B
Kelas C