Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Koperasi merupakan badan hukum yang berdasarkan atas asas kekeluargaan yang

anggotanya terdiri dari orang perseorangan atau badan hukum dengan tujuan untuk

mensejahterakan anggotanya. Menurut bapak koperasi indonesia Muhamat Hatta, koperasi

adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong

menolong. Semangat tolong menolong tersebut di dorong oleh keinginan memberi jasa kepada

kawan berdasarkan’ seseorang buat semua dan semua buat orang; di indonesia sendiri terdapat

tiga jenis koperasi yaitu koperasi produksi yang bertujuan untuk menghasilkan barang yang

akan diolah dan akan di urus bersama- sama. Kedua, koperasi kosumsi bertujuan untuk

menyediakan anggotanya dari barang kosumsi dengan harga yang relative murah dengan

kualitas yang bagus. Dan yang ke tiga adalah koperasi simpan pinjam yang digunakan untuk

menyediakan uang bagi para anggota untuk berbagai keperluan.

Sesuai dengan amanat Undang- undang No 17 Tahan 2012 tentang perkoperasian, dalam

Bab II pasal 2 dan 3 menyatakan bahwa koperasi berlandaskan pancasila dan Undang – Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, dan koperasi bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan anggota pada kususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratif dan berkeadialan.

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya bekerja sama dengan Koperasi

SAE Pujon sebagai lokasi praktik kerja lapangan, bagi bakal calon dokter hewan atau yang biasa disebut

mahasiswa PPDH (Pendidikan Profesi Dokter Hewan). Koperasi SAE Pujon merupakan slah satu sektor

1
pemerintahan yang bertujuan untuk mensejahterakan para anggota dan masyarakat sekitar melalui

beternak sapi perah dengan cara menjaga kualitas kesehatan hewan, kuaitas susu dan produk olahan

susu agar layak dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat hal ini sangatlah penting bagi mahasiswa

PPDH sebagai sarana dalam menerapkan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan kedalam dunia

kesehatan masyarakat veteriner dan sebagai sarana menimba ilmu praktis di lapangan.

Kegiatan yang dilakukan di Koperasi SAE Pujon meliputi bidang kesehatan hewan dan system

penampungan dan pengelolaan susu. Dengan adanya praktik kerja lapangan yang dilaksanakan di

Koperasi SAE Pujon dapat menciptakan Dokter Hewan yang profesional. Pengalaman yang didapat

selama menjalani praktik kerja lapangan dapat dijadikan pembelajaran saat terjun langsung dalam dunia

kerja.

1.2 Rumusan masalah

1. Kasus apa saja yang terjadi pada ternak sapi perah di kecamatan Pujon?

2. Bagaimana proses penampungan dan pengujian susu di Kopeasi susu SAE Pujon?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui kasus apa sja yang terjadi pada ternak sapi perah di kecamatan pujon.

2. Untuk mengetahui bagaimana proses penampungan dan pengujian susu di koperasi SAE

Pujon.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kasus yang terjadi pada ternah sapi perah di pujon

a. Indigest

Indigesti merupakan penyakit saluran pencernaan yang di bagi menjadi 2 yaitu

indigesti kronis dan akut.Indigesti akut merupakan sindrom yang bersifat kompleks dengan

berbagai manifestasi klinis, tanpa disertai (atau hanya ringan) perubahan anatomis pada

lambunghewan ruminansia. Istilah indigesti digunakan apabila secara organic tidak

digunakan perubahan patologis yang bersifat seperti ruminitis, retikulitis, dan

lainnya(Soebronto,2008)

Dikarenakan kompleksnya gangguan pencernaan pada lambung muka maka untuk

kepentingan akademik serta untuk kepentingan penanganan, penderita indegisti akut

dibagimenjadi beberapa bagian, antara lain: a. Indigesti sederhana atau simpleks b. Indigesti

asam (asidosis rumen) c. Alkalosis rumen d. Kembung rumen (bloat, timpani rumen) e.

Indigesti Toksem

Indigesti sederhana merupakan gangguan sindrom pencernaan yang berasal dari

rumenatau reticulum, ditandai oleh hilangnya gerak rumen atau lemahnya tonus rumen

hinggaingesta tertimbun di dalamnya dan serta juga ditandai dengan konstipasi

Menurut Subronto (2008), kebanyakan kasus terjadi akibat perubahan pakan

yangmendadak, terutama pada hewan muda yang mulai menyesuaikan diri untuk diberikan

ransum hewan dara. Pakan yang mengandung serat kesar terlalu tinggi juga

3
dapatmenyebabkan hal ini terjadi. Pemberian obat bakterial yang berlebihan juga dapat

menyebabkan indigesti.

Pengobatan nya Umumnya dapat sembuh dengan sendirinya, pemberian makanan

penguat atau makanankasar hendaknya dihentikan sementara. Air minum yang ditambahi

garam harus diberikansecaraad libitum.Untuk pengobatan dapat pula obat

parasimpatomimetik seperti carbamyl-cholinedengan dosis 2-4 ml, disuntikkan subkutan

pada sapid an kerbau dewasa untuk merangsanggerak rumen. Secara oral, preparat

magnesium sulfat atau sodium sulfat, dengan dosis 100-400 gram dapat diberikan dengan

aman.

Indigesti rumen serat biasanya disebabkan karena sapi-sapi memakan bahan makanan

penguat yang kayaakan karbohidrat secara berlebihan.. Selain itu juga karena kesalahan

pengelolaan pakan,sapi-sapi yang terdiri dari berbagai umur yang dicampur dan

mendapatkan jenis konsentratyang sama, sapi yang lebih kuat akan mendapat porsi jauh

lebih banyak daripada yang lemah.Karena terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu

tinggi karbohidratnya, seekor sapidapat menderita asidosis rumen. Kejadian rumen sarat

banyak ditemui di lapangan dan terjadikarena kondisi hewan yang jelek dengan kualitas

pakan yang kurang bermutu, yangkebanyakan terdiri dari serat kasar ( jerami ).

Untuk pengobatan pada gangguan yang bersifat awal, dapat diberikan larutan

magnesium sulfat atausodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti Delladryl sebanyak 10-15

ml secara suntikan.Pemberian antibiotic secara oral, misalnya penisilin untukmengurangi

jumlah Lactobacillusdengan dosis 10 juta unit untuk sapi,kemudian diulang 12 jam

kemudian (Subronto, 2008).Pada penderita yang mengalami dehidrasi dilakukan

penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi. Untuk

4
mengurangi asidosis dapat diberikanlarutan sodium bikarbonat 2,5% sebanyak 500ml secara

intravena perlahan-lahan untuk menghindari alkaliemia, atau pemberian soda roti 250 gram

peroral 2 kali/hari (Subronto,2008).

Alkalosis rumen dikaibatkan oleh penggantian pakan dengan senyawa penghasil

nitrogen darisenyawa non-protein, antara lain urea, biuret, dan garam ammonium. Senyawa

tersebutumumnya digunakan sebagai pengganti protein, yang apabila digunakan secara

berlebihdapat menyebabkan terjadinya alkalosis rumen yang disertai dengan

intoksikasi(Subronto,2008).

Untuk menetralkann isi rumen maka dapat diberikan larutan cuka (vinegar) 5%

sebanyak 2-6 liter. Diberikan langsung intraruminal dengan sonde kerongkongan.

Penyuntika MgSO4untuk mengurangi kejang otot secara intramuscular juga dapat

dilakukan.

Kembung rumen disebab kan olehFaktor pakan yang termasuk dalam tanaman

leguminosa seperti alfafa dan ladino.Imbangan antara pakan hijau dan konsentrat yang tidak

seimbang, serta tanaman yangdipanen sebelum berbunga(muda) dapat berpotensi terjadinya

kembung rumen.keadaan sapi juga berpengaruh dalam timbulnya kembung antara lain factor

keturunan dan susunan serta pH saliva yang pada normal dapat mencegah pembentukan busa

berisikan gas.

Terapi dapat dengan perlakuan trokarisasi atau pemberian obat

karminativa.Karminativa merupakan obat yang dapat meningkatkan pengeluaran gas dari

lambung ( via eruktasi ). Umumnya berupaminyak volatil yang mudah diekskresikan lewat

paru-paru, ginjal, dan kulit.

5
Indigesti toksemia disebabkan karena adanya senyawa-senyawa amine .Senyawa yang

berlebihan akan diserap oleh darah. Terapi yang diberikan biasanya bersifat simtomatik.

Pemberian cairan elektrolit dandextrose fisiologis. Diberikan pula obat yang merangsang

ruminatoria dan pemberianantihistamin (diphenhidramin HCl).

Indigesti kronis merupakan gangguan pencernaan yang ditandai dengan hilangnya

motilitasrumen, hilangnya proses mastikasi, lambatnya pasasi tinja dan adanya distensi

rumen. Penurunan motilitas rumen diakibatkan karena adanya lesi yang mengenai ramus

ventralis dari nervusvagus. Indigesti ini berlangsung kronik dalam beberapa minggu.Pada

proses yang masih awal, pengobatan intensif terhadap retikulo-peritonitisdapat

menyembuhkan indigesti vagus secara tidak langsung. (Howard, 2006).

b. Milk fever

Hipokalsemia pada sapi perah mempunyai beberapa sinonim yaitu milk fever, paresis

puerpuralis dan parturient paresis (Goff 2006). Milk fever adalah penyakit gangguan

metabolisme yang terjadi pada sapi betina menjelang/saat/sesudah melahirkan yang

menyebabkan sapi menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium

(Ca) dalam darah (Horst et al. 1997). Ca berperan penting dalam fungsi system syaraf. Jika

kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan terganggu,

sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami kelumpuhan. Kasus milk fever

terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini

biasanya sapi yang telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi

tinggi (lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka kejadian milk

fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari induk yang pernah mengalami milk

fever.

6
Etiologi

Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga jika Ca dalam

pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air

susu mengandung 1.2 – 1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl

(Thirunavukkarasu et al. 2010), sehingga sekresi susu yang mendekati 2 kg akan

memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca dalam darah tidak dapat

dipertahankan, maka sapi akan mengalami paresis puerpuralis atau milk fever.

Homeostasis Ca darah diatur oleh kalsitonin, hormon paratiroid (parathormon) dan

vitamin D3 (DeGaris & Lean 2008). Pemberian pakan tinggi Ca pada periode kering dapat

merangsang pelepasan kalsitonin dari sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid, sehingga

menghambat penyerapan Ca dalam tulang oleh parathormon. Hiperkalsemia (tingginya

kadar Ca dalam darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi

(pengeluaran) kalsitonin. Kalsitonin ini dapat menurunkan konsentrasi Ca darah dengan

cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006). Kejadian ini cenderung

menghambat adaptasi normal sapi terhadap kekurangan Ca pada permulaan partus dan

laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam

darah di bawah 5 mg/dl. Berkurangnya Ca menurut Champness & Hamilton (2007)

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

 Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan, akibatnya akan

menurunkan jumlah vitamin D yang berpengaruh pada jumlah Ca dalam darah.

7
 Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut dari tulang

akibat dari kerja hormon estrogen dan steroid kelenjar adrenal

 Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi menjelang melahirkan.

 Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur mukosa sel-

sel usus dalam menyerap dan mengatur kadar Ca dalam darah.

 Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang melahirkan,

akibatnya ketersediaan kalsium yang siap diserap juga menurun.

 pH pakan dan kadar lemak yang tinggi

 Sapi-sapi tua akan mengalami penurunan penyerapan Ca.

 Ketidak seimbangan komposisi Ca dan P dalam pakan. Perbandingan yang

ideal adalah Ca:P = 1:1.

Gejala Klinis

Gejala awal yang ditemui yaitu sapi masih berbaring, nafsu makan turun, kurang

peka terhadap lingkungan, cermin hidung kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki

belakang lemah dan terjadi penimbunan gas di dalam rumen. Jika semakin parah, maka

sapi hanya mampu bertahan 6 – 24 jam. Sebenarnya angka kesembuhannya cukup baik dan

tingkat mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan diberi pertolongan

(Champness & Hamilton 2007).

Pengobatan

Pengobatan sapi yang menampakkan gejala adalah penyuntikan 1000 ml calcium

borogluconas 40 % secara intravena pada vena jugularis (Braun et al. 2006). Suntikan dapat

8
diulangi kembali setelah 8 – 12 jam kemudian. Apabila belum menampakkan hasil, maka

dapat diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit susu yang boleh

diperah selama 2 – 3 hari. Pengosongan ambing sebaiknya dihindari selama waktu tersebut

untuk mencegah terjadinya paresis peurpuralis. Kadar kalsium dalam pakan harus

dikurangi pada akhir periode laktasi. Pemberian kosentrat dapat diberikan 2 kg/hari atau

selama periode kering kandang dengan mengurangi pemberian legum atau suplemen

mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru dapat dilakukan 2 minggu menjelang sapi

melahirkan (Bewley & Phillips 2010).

c. Mastitis

Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada

peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval, 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak

menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari

seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika

pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya

penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan

kualitas susu (Kirk et al. 1994). Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat

dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval, 1997). Mastitis dapat disebabkan oleh

berbagai macam mikroorganisme, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri penyebab

mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Sapi yang terkena

mastitis akut masih bias diobati dengan pemberian antibiotic, sedangkan yang kronis dapat

disembuhkan namun kelenjar ambing sudah rusak dan terbentuk jaringan ikat sehingga

tidak dapat memproduksi susu.Oleh karena itu, sapi yang terkena mastitis kronis secara

ekonomi sangat merugikan dan lebih baik dijual.

9
Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila

pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing

membengkak, oedematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya,

seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi

seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis

terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya

dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley

1991).Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi :

mastitisperakut, akut, sub akut, subklinis dan kronis (Nelson dan Nickerson 1991).

Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan dkk.

1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya

mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Mastitis

subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih

banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000). Sebagian besar

kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada

mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya mikroorganisme patogen

dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Diagnosis mastitis subklinis dapat

dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley

1991), tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya

umur sapi (Duirs and Macmillan 1979).

S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis karena

bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada

kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi

10
bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar

1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing dengan terapi

antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam,

menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Arpin et al.

1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid

(Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan

antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998).

Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat

menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan menimbulkan kerusakan

pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses

apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).

Histopatologi Mastitis

Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan

dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan

adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997),

deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak

ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984)

Patogenesis Mastitis

Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui

beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah

mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian

11
dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun

karena adanya luka

Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama

ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme

yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme

akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya

demam

Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali

dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai

respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan

aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan

pembentukan produkproduk inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan

metabolit oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya

filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi

diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju

jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap

berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.

Pengobatan

Subroto (2003) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya

dilakukan uji sensitifitas. Pengobatatan mastitis sebaiknya menggunakan:

Lincomycin,Erytromycin, dan Chloramphenicol. Desinfeksi puting dengan alcohol dan

infusa antibiotic intra mamaria bias mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin,

dihydrostrerptomycin, dexamethashone, dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan

12
menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan

antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz,2006). Penggunaan antibiotic untuk

mengatasi mastitis juga telah merugikan peternak, karena susu yang mengandung residu

antibiotic bias meniimbulkan gangguan kesehatan

d. Retensio

Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah diantaranya

adalah retensio sekundinae dan endometritis (Dascanio et al.,2000; Ratnawati et al., 2007).

Retensi plasenta adalah gangguan komplek yang ditandai dengan kegagalan pelepasan

membrane fetus pada stadium membran fetus. Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan

dalam waktu 3-5 jam postpartus, apabila plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam

sehingga disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan, 2002). Retensi plasenta

adalah suatu kondisi kegagalan pemisahan selaput fetus dari maternal karunkula sehingga

selaput fetus tertahan dalam kandungan setelah fetus lahir, baik pada kelahiran normal

maupun abnormal. Pada partus yang berjalan normal secara fisiologis selaput fetus akan

keluar dalam waktu 1-12 jam (Manspeaker, 2009). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa

faktor internal dan eksternal seperti uterus paresis, aborsi, stres, terlambat melahirkan atau

prematur, distoksia, kembar, status hormonal yang tidak seimbang, infeksi, faktor genetik,

defisiensi vitamin dan mineral (Yeon Lee dan Kim, 2006). Menurut penelitian Barnouin

dan Chassagne (1996), masa bunting yang tidak normal dan gangguan saat melahirkan

merupakan faktor yang paling berpengaruh seperti gangguan kontraksi uterus akibat

perlukaan atau mekanisme stress. Dilaporkan juga adanya keterkaitan munculnya retensi

plasenta dengan gangguan metabolisme setelah melahirkan. Menurut Larsons (1985) dan

Joosten (1991) ada pengaruh musim terhadap kejadian retensi plasenta, dimana angka

13
kejadian retensi plasenta meningkat pada musim panas atau musim gugur. Faktor- faktor

penyebab munculnya retensi plasenta berbeda antara suatu negara dan negara lainnya

karena adanya perbedaan manajemen, kondisi lingkungan, temperatur, dan kontrol kondisi

kesehatan pada suatu peternakan di negara tertentu sehingga retensi plasenta juga akan

memberikan penampilan reproduksi yang berbeda setelah melahirkan di masing-masing

negara tersebut (Faye 1991).

Menurut Senger (2003) bahwa plasenta ruminansia merupakan organ yang

berfungsi sebagai pertukaran metabolit antara konseptus dan induk. Plasenta berperan juga

sebagai organ endokrin yang tersusun darikomponen fetus yaitu kotiledondan komponen

induk yaitukarunkula, gabungan keduanya disebut plasentom. Plasenta ruminansia

termasuk dalam tipe kotiledonari.

Etiologi

Retensio plasenta merupakan keadaan dimana gagalnya pelepasan vili kotiledon fetal

dari kripta karunkula maternal (Manan, 2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis

putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan

mengendur terhadap kripta karankula.Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang

tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai

darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili

kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta,

pemisahan dan pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi

pertautan. Kurang dari 3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh gangguan

mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan

14
sekundinae setelah melahirkan, mungkin juga karena defisiensi hormon yang menstimulir

kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperti oksitosin atau estrogen.

Gejala Klinis

Beberapa gejala klinis yang cukup jelas pada sapi yang mengalami retensio plasenta

yaitu sebagian selaput fetus menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah

kelahiran normal, abortus atau distokia. Presentasi retensio plasenta yang menunjukkan

gejala sakit kurang lebih 75% tetapi kurang lebih 20 % gejala metritis diperlihatkan antara

lain depresi, tidak ada nafsu makan, peningkatan suhu tubuh, frekuensi pulsus meningkat

dan berat badan menurun (Purba, 2008). Adapun gejala lain yang nampak yaitu adanya

keberadaan selaput fetus di dalam servik (Toelihere,1985).

Diagnosa

Diagnosa retensio plasenta dilapangan berdasarkan anamnesis dari pemilik hewan,

gejala klinis dan pemeriksaan klinis seperti palpasi intravaginal. Berdasarkan anamnesis

biasanya plasenta belum keluar lebih dari 8 jam setelah melahirkan. Palpasi intravaginal

dilakukan untuk memastikan penyebab dari terjadinya retensio plasenta dan juga

menentukan seberapa parah kejadian retensio plasenta (Affandy, 2001).

Penanganan

Penanganan yang dapat dilakukan dengan pelepasan selap t fetus secara manual,

pemberian preparat antibiotika spektrum luas (oxytetracyclin, Chlortetracyclin atau

Tetracyclin). Pengobatan secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian daun waru

dan bambu dengan cara diberikan langsung lewat pakan.

15
Pencegahan

Penghilangan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat

menyebakan retensi plasenta. Menurut Gupta dkk. (2005) pemberian vitamin E 1100 IU

dan selenium 30 mg dapat mencegah terjadinya retensi plasenta. Brozos dkk (2009)

menggunakan vitamin E 1000 IU, selenium 0.05 ppm dan ammonium chloride 60 gram

dapat mencegah terjadinya retensi plasenta. Vitamin E dan selenium mengurangi

pertambahan metabolit oksigen reaktif. Metabolit oksigen reaktif yang tinggi

menyebakan penghambatan aktivitas neutrophil (Gupta dkk., 2005; Brozos dkk., 2009).

e. Abses

Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi bakteri. Jika

bakteri menyusup kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel

akan mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang

terinfeksi. Sel- sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dari infeksi bergerak

kedalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah

putih yang mati akan membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan

nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong. Pada akhirnya jaringan akan tumbuh

disekeliling abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah terjadinya infeksi

lebih lanjut. Jika abeses pecah maka infeksi bisa menyebar didalam tubuh maupun

dipermukaan kulit. (Nutrition.H, 2011)

Etiologi ABSES

Penyebab utama terjadi abese yaitu adanya benda asing yang diikuti bakteri pyogenic (

Stapilococcus sp, Esceriscia coli, Streptokokkus beta haemoliticus sp, Pseodomonas,

Mycobakteria, Pasteurella multocida, Ccorino bacteria,chinomicetes) dan juga bakteri yang

16
bersifatob ligat anaeorob ( Bakteriodes sp, Clostridium, Fasobakterium). Infeksi bisa

menyebar baik local maupun sistematis. Penyebaranmn infeksi ini melalui aliran darah

menyebabkan sepsis. Maka dari itu penaganan abses perlu sesegera mungkin. Jika abses

akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatas menipis. Abses

bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru, mulut, rectum dan otot. Abses

sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah kulit. (Nutrition.H, 2011)

Gejala klinis

Gejala klinis dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu

organ atau saraf. Gejalanya berupa: nyeri, nyeri karena tekanan, terasa hangat, terjadi

pembengkakan, kemerahan dan demam. Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit

biasanya tampak sebagai suatu benjolan. (Naeini,AB et al, 2010)

Pengobatan

Pengobatan abses bisa dengan cara operasi atau abses disedot, operasi dilakukan apabila

abses telah matang. Daerah sekitar abses dicukur, dibersihkan dan didesinfeksi, dilakukan

anestesi local. Insisi bagian bentral abses, nanah dikeluarkan. Prinsip penaganannya adalah

mengeluarkan eksudat, termasuk mengeluarkan benda-benda asing dari rongga abses.

Eksudat dikeluarkan dengan jalan dibuat drainage.(Sudisman, IGN. 2006)

17
Proses obreasi penagan abses

Pengobatan abses juga dapat menggunakan antibiotic. Salah satu contoh antibiotic

yang dapat diberikan pada kondisi abses contohnya penstrep (Penisillin streptomisin).

Penisillin dan streptomisin merupakan agen bakterisida yang berspektrum luas dan

efektif membunuh bakteri gram postif. Perawatan post operasi dilakukan dirumah

dengan memberi amoxicillin selama 7 hari dua kali sehari dengan dosis 20 mg/kg BB.

Perban dibuka sekitar keekmpat bila daerah bekas abses tidak lagi

mengeluarkancairan. Treatment dilanjutkan dengan mengolesi luka dengan balsam

10% untuk merangsang proses granulasi .(Sudisman, IGN. 2006)

f. Bloat / timpani

Bloat atau tympani merupakan penyakit alat pencernaan yang disertai penimbunan

gas dalam lambung akibat proses fermentasi berjalan cepat. Pembesaran

rumenoretikulum oleh gas yang terbentuk, bisa dalam bentuk busa persisten yang

18
bercampur isi rumen (kembung primer) dan gas bebas yang terpisah dari ingesta

(kembung sekunder). Bloat atau kembung perut yang diderita sapi, dapat

menyebabkan kematian karena struktur organ sapi yang unik. Dimana pada sapi,

jantungnya terletak disebelah kanan perut, bukan dibagian dada seperti halnya

manusia. Hal tersebut akhirnya menyebabkan jantung sapi terhimpit oleh angin dan

asam lambung saat menderita kembung. Karena kembung yang terjadi, mendesak dan

mengakibatkan perut sapi membesar kesamping. Kematian pada sapi yang menderita

kembung perut, biasanya rentan terjadi karena ketidaktahuan dan salah penanganan

oleh peternak. Saat sapi mengalami kelumpuhan dengan perut yang kembung, banyak

peternak yang memposisikan sapi mereka telentang. Hal itu menyebabkan, jantung

sapi terhimpit dengan lebih cepat. Namun penyakit kembung perut tidak

membahayakan atau menular kepada binatang lain atau manusia, daging sapi yang

terserang penyakit inipun masih aman untuk dikonsumsi.

Kembung merupakan akibat mengkonsumsi pakan yang mudah menimbulkan gas di

dalam rumen. Kondisi rumen yang terlalu penuh dan padat yang berujung menurunkan

gerakan rumen dan menurunkan derajat keasaman dari rumen. Pakan hijauan yang

masih muda dapat memicu timbulnya bloat, selain itu tanaman kacang-kacangan juga

memicu timbulnya kembung

(Sitepoe, 2008).

Patogenesis

Pada ruminansia (sapi) timpani biasa disebabkan karena konsumsi leguminosa

yang banyak atau gangguan dalam esophagus dan alat tubuh lain. Faktor yang

mendorong terjadinya timpani antara lain viskositas dan tegangan permukaan cairan

19
rumen, aliran dan susunan air liur dan aktivitas mikroba. Air liur mengandung protein

mucin yang mencegah terjadinya timbulnya busa pada air liur. Penguraian protein

tersebut yang mungkin terjadi karena aktivitas bakteri menimbulkan terbentuknya

busa dalam rumen. Banyaknya air liur juga berpengaruh terhadap kemungkinan

terjadinya timpani. Sapi dengan air liur yang sedikit lebih beresiko. Aktivitas mikroba

akibat peningkatan jumlah sukrosa dalam rumen juga memiliki pengaruh dalam

pembentukan gas. Metabolisme sukrosa oleh bakteri menghasilkan gas yang akan

terperangkap dalam biofilm yang terbentuk oleh bakteri tersebut, sehingga menjadi

gelembung yang memenuhi rumen. Dalam kondisi normal, kelebihan gas pada rumen

akan dikeluarkan melalui mekanisme eruktasi. Gangguan pada reflek eruktasi

menyebabkan tidak bisa keluarnya gas dari rumen, sehingga terjadi timpani.

Gangguan reflek eruktasi berkaitan dengan gangguan pada esophagus dan alat

tubuh lain. Saat terjadi penumpukan gas, rumen bereaksi dengan kontraksi yang lebih

sering dan lebih kuat dari keadaan normal. Karena kecepatan pembentukan gas

melebihi kemampuan rumen untuk mengeluarkan ditambah dengan gangguan eruktasi

menyebabkan penumpukan gas yang banyak. Kekuatan kontraksi rumen juga akan

menurun dan mungkin hilang tonusnya. Volume rumen akan terus membesar karena

gas yang terbentuk semakin banyak. Rumen akan mendesak ke arah rongga dada dan

menimbulkan gangguan pernafasan. Dari titik tersebut kematian bisa terjadi jika tidak

ditangani.(sitepoi, 2008)

20
Penyebab Bloat

Kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan dan kesehatan akan lebih terpenuhi jika

berbagai jenis hijauan tersedia pada padang rumput maupun kandang (Provenza et al.,

2003). Usaha untuk memenuhi kebutuhan nutrien juga dapat dilakukan dengan sistem

integrasi dengan tanaman hijauan pakan ternak sebab banyak manfaat yang dapat

dihasilkan dari sistem tersebut (Osak et al., 2015). Selain hal tersebut di atas, variasi

hijauan memberi kesempatan ruminansia untuk membatasi asupan senyawa sekunder

yang berpotensi toksik. Asupan konsentrasi senyawa tersebut dapat menyebabkan

berbagai macam penyakit non infeksius seperti bloat atau bahkan kematian pada ternak

ruminansia. Kejadian bloat primer pada ruminansia biasanya disebabkan oleh tanaman

leguminosa, rumput dan bijian yang mengandung protein terlarut tinggi, lignin rendah

serta banyak mengandung dinding sel tumbuhan yang mudah. Howarth (1975) dan

Majak et al. (1995) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil yang berasal dari

leguminosa dalam rumen berkaitan erat dengan bloat primer. Pencernaan klorofil

mengakibatkan kerusakan membran kloroplas dan melepaskan protein terlarut yang

dinamakan faktor I dan II dan diyakini sebagai faktor utama terbentuknya busa dalam

rumen. Leguminosa sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu leguminosa penyebab bloat

dan leguminosa yang tidak mengakibatkan bloat. Menurut Austin (1981) ada beberapa

hipotesis mengapa jenis leguminosa ada yang dapat mengakibatkan dan tidak

mengakibatkan kejadian bloat. Hipotesis tersebut melibatkan berbagai macam

kombinasi faktor seperti tanaman, hewan dan mikroba yang akhirnya semua memiliki

peran terhadap kejadian tersebut.

21
Gejala Klinis Bloat

Volume gas dalam jumlah yang besar akan dihasilkan terus menerus melalui proses

fermentasi mikroba rumen. Secara normal gas yang terbentuk tersebut dibuang melalui

mekanisme sendawa atau eruktasi. Menurut Bani-Ismail et al. (2007) pada tahap awal

kejadian bloat, fossa paralumbar sebelah kiri menunjukkan distensi ringan dan bagian

abdomen mengalami kembung. Saat proses kembung berlangsung dan terjadi

peningkatan tekanan intraabdominal maka distensi di fosa paralumbar kiri menjadi

lebih jelas dan ada kemungkinan terjadi penonjolan rektum. Pada kondisi bloat, baik

bentuk primer maupun sekunder distensi dari rumen tersebut akan mengakibatkan

tekanan pada diafragma rongga dada maupun abdomen sehingga ternak akan sulit

bernafas.Keadaan tersebut akan membuat frekuensi pernafasan meningkat dan

menjadi dangkal serta memaksa hewan bernafas melalui mulut. Gejala klinis lain yang

muncul adalah penurunan atau hilangnya nafsu makan dan jika tidak tertangani dengan

depat akan mengakibatkan kematian.

Pencegahan dan Pengobatan Bloat

Berbagai macam metode untuk pencegahan bloat telah banyak diteliti dan

diaplikasikan di lapangan. Di masa mendatang tampaknya masih banyak diperlukan

penelitian terutama difokuskan pada faktor pakan atau agen kemoterapi yang memiliki

sifat eruktogenik. Praktek di lapangan menunjukkan bahwa metode tunggal pada

pencegahan kejadian bloat sulit diterapkan karena menyangkut berbagai macam aspek

yang harus dicermati. Aspek tersebut terutama ditujukan pada tata kelola peternakan

menyangkut peningkatan pengetahuan peternak terhadap tata kelola pakan. Ruffin

(1994) menyatakan bahwa tidak ada metode tunggal pada pencegahan kejadian bloat

22
yang dapat diterapkan dalam setiap situasi yang berbeda, namun demikian, ada metode

pengelolaan dalam pencegahan dan pengobatan yang dapat membantu memperkecil

risiko. Metode penggembalaan untuk mencegah kejadian bloat yang paling umum

adalah pengelolaan padang rumput disertai kontrol dalam penggembalaan, pemberian

suplemen makanan ringan, dan pemberian agen antibakteri dan anti pembusaan

(Clarke dan Reid 1974).

Pencegahan bloat dapat dilakukan dengan menambahkan leguminosa yang

mengandung tanin terkondensasi. Metode pencegahan tersebut diatas kemungkinan

melalui mekanisme pengikatan protein dalam rumen oleh tannin terkondensasi

sehingga menurunkan stabilisasi gas yang terperangkap busa. Namun, masih

diperlukan penelitian untuk mengetahui lebih dalam kemungkinan adanya interaksi

antara tanin terkondensasi dengan mikroorganisme dalam rumen dan dampak yang

mungkin muncul pada saluran pencernaan bagian belakang.

Thomas (2003) menyatakan bahwa dokter hewan di Kanada menggunakan

polyoxypropylenepolyoxyethylene glycol surfactant polymer (PPG) atau campuran

alcohol ethoxylate dengan pluronic detergents yang terlarut dalam air untuk

pencegahan bloat. Sebagian besar praktisi menyatakan bahwa pemberian simethicone

sebagai anti pembentukan busa merupakan metode yang efektif untuk mencegah bloat

primer. Simethicone adalah kombinasi dari polydimethylsiloxane dan hydrated silica

gel yang diklasifikasikan sebagai agen anti pembentukan busa. Secara fisiologis

Simethicone bersifat tidak aktif dan tidak beracun jika diberikan secara oral pada

ruminansia. Sedangkan penggunaan monensin dapat menurunkan kejadian bloat

23
meskipun dalam penelitian selanjutnya ternyata tidak mampu mencegah insiden awal

(Hall et al. 2001).

Pencegahan dengan menggunakan NaCl sejumlah 40 g/kg yang ditambahkan ke

dalam diet juga dapat mencegah kejadian bloat karena NaCl mampu meningkatkan

asupan air dan meningkatkan laju cairan saat melintasi saluran pencernaan (Wang et

al., 2012). Penggunaan antibiotika untuk pencegahan bloat juga telah diteliti dan

diterapkan. Antibiotika seperti telah digunakan aureomycin, terramycin, bacitracin,

streptomycin, dan penicillin, untuk pencegahan bloat. Dari berbagai macam antibiotika

tersebut hanya penicillin yang efektif mencegah bloat dan tidak memiliki dampak

buruk ketika diberikan dengan dosis tunggal 300 mg atau kurang Konsentrat atau

pakan bentuk blok yang dicampur dengan antibiotika 75 sampai 100 mg untuk setiap

sapi per hari cukup berhasil dalam menurunkan kejadian bloat. Mekanisme penurunan

kejadian tersebut tampaknya terkait dengan perubahan mikroflora dalam rumen dan

hanya bersifat sementara. Meskipun demikian penggunaan antibiotika haruslah

dibatasi karena dikhawatirkan akan mengakibatkan resistensi. Pendekatan terapi bloat

bergantung pada kondisi di mana bloat terjadi, bentuk bloat (primer atau sekunder) dan

apakah kejadian tersebut mengancam nyawa ternak.Ada berbagai metode telah

digunakan untuk terapi bloat seperti penggunaan senyawa oral atau stomach tube yang

pada prinsipnya digunakan untuk menghilangkan akumulasi gas yang terjadi. Prinsip

pengobatan bloat pada ruminansia diawali dengan upaya menghentikan proses

pembentukan gas dan membantu mengeliminasi gas tersebut. Jika upaya tersebut

kurang berhasil maka dapat dipergunakan trokar dan kanul yang digunakan untuk

menusuk rumen dalam usaha mengeluarkan gas. Pengobatan harus dilakukan secepat

24
mungkin terutama pada kasus bloat akut dan penggunaan trokar atau kanul merupakan

upaya terakhir karena dapat mencegah asfiksia atau perdarahan internal serta kematian

ternak (Wang et al., 2012).

g. Paralisis Post Partum \ Paralegia Post Partum

Paraplegia post partum merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada induk

hewan yang sedang bunting tua atau beberapa hari sesudah partus yang memyebabkan sapi

tidak dapat berdiri, tetapi selalu dalam keadaan berbaring pada salah satu sisi tubuhnya

karena adanya kelemahan pada bagian belakang tubuh.

Berberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adalah :

1. Adanya kelemahan badan akibat menerima beban terlalu berat, mis : bunting dengan

anak yang terlalu besar, anak kembar, induk yang menderita hidrop allantois

2. Patah (frakture) tulang femur, sakrum, atau lumbal dan melesatnya (luxatio) pada

persendian panggul

3. Adanya benturan (contusio) pada otot di bagian tubuh sebelah belakang waktu

berbaring atau menjatuhkan diri, sehingga ada kerusakan urat daging atau tulang

pelvisnya

4. Adanya osteomalasia karena defisiensi vitamin D (5) pembendungan pembuluh darah

pada kaki belakang sehingga menimbulkan gangguan peredaran darah.

5. Defisiensi Kalsium

25
Gejala :

1. Secara tiba-tiba induk hewan yang baru saja melahirkan terlihat jatuh dan tidak

dapat berdiri karena adanya kelemahan di bagian belakang badannya, gejala ini bisa

terlihat 2-3 hari sebelum partus.

2. Keadaan umum dari tubuhnya tidak terganggu, sensitivitas urat daging paha masih

baik, induk berbaring saja tanpa terlihat gejala-gejala kesakitan.

3. Induk sering berusaha berdiri, kalau berdiri mencoba berjalan sempoyongan, kaki

depan dan leher tetap kuat hanya bagian tubuh sebelah belakang yang lemah.

Diagnosa :

1. Eksplorasi rektal dengan meraba seluruh bagian rongga pelvis dan tulang pelvis.

2. Sensibilitas urat daging paha baik ditandai dengan bila ditusuk dengan benda tajam

memberikan reaksi.

3. Beberapa hari kemudian induk sapi akan dapat berdiri dengan sendirinya.

Komplikasi yang mungkin terjadi :

1. Dekubitus : luka pada kulit dan otot, khususnya pada bagian tulang yang menonjol

2. Prolapsus vagina : karena tekanan pada waktu berbaring oleh rumen terhadap uterus

yang masih kontraksi.

3. Gangguan pencernaan dan timpani : berkumpulnya udara dalam perut disebabkan

berbaring diatas lantai kandang yang dingin dalam waktu yang lama.

26
Pengobatan :

1. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi

2. Saraf di kaki belakang dirangsang dengan memberikan vitamin B1 dan B6.

3. Sebagai treatmen sapi harus sering di balik, minimal tiap 8 jam agar tidak terjadi

ganguan sirkulasi darah pada sisi tertentu sehinggga menyebabkan sapi tidak akan

mampu berdiri lagi.

4. Penyuntikan calsium 100 ml yang diberikan 25% IV dan 75% SC

2.2 proses penampungan dan pengujian susu di koperasi SAE Pujon.

2.2.1 Proses Penampungan susu

Koperasi Sae Pujon memiliki 32 pos penampung susu yang tersebar di wilayah

kecamatan Pujon. Susu diperoleh dari setiap anggota yang terdaftar di Koperasi yang

di tunjukan dengan nomor keanggotaan. Susu ditampung pagi dan sore pada waktu

yang telah di tentukan setiap masing masing wilayah. Pemeriksaan susu dilakukan 2

kali yaitu pada waktu penampungan susu dan pada saat di laboratorium. Susu yang

telah di tampung sebagian di olah oleh koperasi untuk dijadikan olahan siap konsumsi

dan sebagian dikirim ke Perusahaan susu Netsle untuk di olah sebagai susu buuk dan

olahan lain nya. Susu dikirim ke perusahaan Netsle di Pasuruhan menggunakan truk

tangki yang berkapasitas 5 ton, 10 ton dan 12 ton.

2.2.2 Pengujian sampel susu

PEMERIKSAAN ORGANOLEPTIK

A. Tujuan:

27
untuk mengetahui kelainan-kelainan pada susu secara organoleptis (warna, bau, rasa

dan kekentalan).

B. Cara kerja

a) Uji warna: kedalam tabug reaksi dimasukkan susu 5 ml, kemudian dilihat dengan latar

belakang kertas putih. Amati terjadinya kelainan pada warna susu.

b) Uji bau: ke dalam tabung reaksi dimasukkan susu 5 ml, kemudia dicium baunya.

Perhatikan bau khas susu.

c) Uji rasa: untuk pertimbangan kesehatan, susu harus dididihkan terlebih dahulu.

Tuangkan sejumlah kecil susu di telapak tangan kemudian dicicipi dan rasakan

perubahannya.

d) Uji kekentalan: ke dalam tabung reaksi dimasukkan susu 5 ml, kemudian di goyang

perlahan-lahan. Amati sisa goyangan yang ada pada dinding tabung. Jika cepat hilang

berarti susu encer.

UJI BERAT JENIS SUSU

A. Tujuan :

Untuk mengukur berat jenis susu

B. Cara kerja

a. Homogenkan susu dengan cara menuangkan bolak-balik dari gelas ukur kedalam

erlenmeyer sebanyak 3x.

b. Masukkan hasil homogenitas terakhir kedalam gelas ukur sampai 2/3 dari volumenya.

28
c. Baca tera suhu laktodensimeter ºC. Masukkan laktodensimeter kedalam gelas ukur dan

kemudian benamkan serta dibiarkan timbul tenggelam sampai diam, tidak bergoyang.

Kemudian baca skala desimal ke 2 dan ke 3

d. Lakukan pengulangan pembacaan suhu dan buat rata-ratanya.

UJI ALKOHOL

A. Tujuan

Untuk memeriksa dengan cepat derajat keasaman susu.

B. Cara Kerja

 Ambil susu sebanyak 3 ml

 Tambahkan alkohol 70%

 Amati gumpalan, jika menggumpal susu bersifat asam

UJI REDUKTASE

A. Tujuan

Untuk menunjukan adanya kuman di dalam susu (kualitatif) dalam waktu cepat.

B. Cara kerja

 Tabung reduktase steril diisi masing – masing 0,5 ml larutan methylen blue.

 Sampel susu diaduk sampai rata, diambil 20 ml dan di masukan ke tabung reduktase.

 Tabung di sumbat.

 Tabung di inkubasi dengan suhu 37˚C.

 Diperiksa tiap jam, sampai warna lenyap.

UJI KADAR LEMAK METODE GERBER

A. Tujuan

Untuk mengetauhi apakah kandungan lemak susu masih dalam batas yang diijinkan.

29
B. Cara kerja

 Masukan berturut – turut ke dalam butiro meter Gerber 10 ml H2SO2 91%, 11 ml

sampel susu yang sudah di homogenisasi dan1 ml amil alkohol.

 Tutup butiro meter dengan sumbat karet dan homogenkan seperti angka 8, pegang

dengan kain lap karena panas.

 Sentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 1200rpm.

 Masukan butiro meter ke penangas air dengan suhu 65˚C selama 5 menit dengan posisi

terbalik

 Baca hasil dengan melihat jumlah larutan berwarna kuning pada skala tabung butiro

meter.

UJI Glukosa

A. Tujuan

Penggujian ini untuk membuktikan adanya sukrosa lain selain laktosa

(monosakarosa) didalam susu.

B. Cara Kerja

a. Isi tabung reaksi dengan 2 tetes sampel susu

b. Tambahkan 1 tetes alfanaftol

c. Tambahkan 3 ml HCL pekat

d. Kemudian panaskan pada air mendidih selama 10 dtik dan dinginkan di air

mengalir.

e. Bila lautan berubah warna ungu menandakan bahwa susu mengandung gula lain.

30
UJI RESIDU ANTIBIOTIK

A. Tujuan

Untuk mengetahui kadar/residu antibiotic pada susu peternak

B. Cara kerja

- Siapkan test kit Beta Star

- Teteskan susu pada botol yang telah disediakan sebanyak 2 tetes

- Celupkan kertas test, lalu tunggu selama 3 menit

- Hasil negative apabila warna pada garis bawah lebih tebal atau pekat

Dari pemeriksaan di 32 pos penerimaan susu semua menunjukkan hasil yang

negative, hal ini terlihat dari hasil test kit muncul 2 garis berwarna merah dan warna

merah lebih tebal pada bagian bawah.

Keberadaan residu antibiotika dalam air susu dapat terjadi karena pengobatan

ternak penghasil susu menggunakan antibiotika. Setelah perlakuan menggunakan

antibiotika pada ternak, baik itu secara injeksi intramuscular, intravena maupun

intramamary, maka antibiotika akan terabsorbsi dan masuk ke dalam sistem peredaran

darah. Selanjutnya aliran darah yang mengandung antibiotika menyebar ke bagian lain

termasuk ke dalam ambing. Hasil pemerahan dari ambing yang salah satu puttingnya

mendapatkan pengobatan antibiotika maka susu yang diperoleh akan mengandung

residu antibiotika. Pemberian pengobatan herbal atau suplemen pakan ternak yang

mengandung campuran antibiotika dalam kadar tertentu, kontaminasi dari sisa susu

yang mengandung antibiotika sebagai akibat kurang bersihnya peralatan pemerahan

atau ember penampung yang tidak dicuci dengan bersih dan tercampurnya susu yang
31
tidak mengandung residu antibiotika dengan susu yang mengandung antibiotika

karena kelalaian dalam recording juga dapat menyebabkan terdapatnya residu

antibiotika dalam susu.

Terapi antibiotika seringkali menjadi pilihan dalam penanganan/pengobatan jenis

penyakit tertentu seperti kasus mastitis, pneumonia, enteritis, penyakit kuku maupun

penyakit lain yang disebabkan oleh adanya infeksi bakterial. Antibiotika merupakan

senyawa kimia yang dihasilkan dari berbagai jasad renik, mikroorganisme, dan

aktinomiset yang memiliki khasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh

bakteri/mikroorganisme. Jenis dan golongan antibiotika antara lain : Penicillin,

Sulfonamida, Cephalosporin, Makrolida, Tetrasiklin dan Aminoglikosida. Perlakuan

pengobatan pada sapi perah menggunakan jenis antibiotika memungkinkan adanya

residu antibiotika pada susu sapi tersebut, dimana konsentrasi residu antibiotika

tergantung dari jumlah dan dosis pengobatan, serta akan semakin berkurang seiring

dengan jalannya waktu pasca pengobatan.

Dampak yang mungkin muncul karena adanya residu antibiotika pada air susu antara

lain

 Dapat menyebabkan resistensi bakterial bagi individu yang mengkonsumsinya, baik

anak sapi maupun manusia

 Dapat memberikan reaksi alergi atau intoleransi pada individu yang memiliki alergi

pada jenis antibiotika tertentu, terutama jika konsentrasi antibiotika dalam susu cukup

tinggi

 Menurunkan kualitas hasil olahan khususnya pada pengolahan keju dan yoghurt

32
 Kerugian ekonomi pada peternak/koperasi apabila susu yang mengandung antibiotika

tercampur dengan susu lain dalam jumlah besar dan ditolak oleh IPS. Hal ini karena

sebagian IPS sudah memberlakukan penolakan susu yang tidak lolos uji residu

antibiotika (tidak memenuhi standar SNI)

Perbaikan manajemen dalam pemeliharaan ternak pernah untuk mengurangi resiko

kerugian karena adanya residu antibiotika pada air susu dapat dilakukan antara lain

melalui pemisahan ternak yang sakit dalam suatu kelompok ternak, pemberian tanda

ternak yang dalam pengobatan antibiotika, pemberlakuan withdrawal time antibiotika

sesuai jenis obat yang digunakan, perbaikan sistem pencatatan, pelaporan pengobatan

dan informasi dalam farm atau dari peternak ke koperasi pengumpul susu. Ternak yang

diobati dengan antibiotika sebaiknya diperah terakhir dan dilakukan pemisahan susu

yang mengandung antibiotik dalam tempat khusus. Apabila akan ditimbang dan diuji

alkohol/BJ maka harus dipastikan alat yang dipakai kembali dicuci bersih. Pemilihan

jenis suplemen/pakan sebaiknya untuk ternak yang dalam fase laktasi tidak

menggunakan produk yang mengandung antibiotika

Pengujian mutu susu sangat diperlukan untuk menjaga keamanan produk dan

mengetahui penyimpangan kualitas susu yang tidak sesuai persyaratan. Beberapa jenis

uji saat ini dapat dilakukan oleh laboratorium untuk mendeteksi adanya residu

antibiotika pada air susu. Pemilihan jenis uji dan reagen tergantung dari kebutuhan

pengguna, spektrum jenis antibiotika yang ingin diuji, lama waktu pengujian dan

sarana yang dimiliki laboratorium penguji.

33
Metode uji cepat terhadap residu antibiotika pada air susu sangat membantu

dilapangan. Beberapa metode yang sudah banyak digunakan antara lain :

1. Beta-Star Test. Dapat digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika betalactam,

termasuk didalamnya amoxicillin, ampicillin, cephapirin, cloxacillin, dan penicillin

pada susu segar maupun olahan susu. Konjugat reseptor partikel emas (yang

terkandung dalam vial) diinkubasikan dengan sampel susu selama 3 menit. Jika

terdapat antibiotika betalactam akan terikat ke dalam konjugat reseptor-partikel emas.

Stik uji kemudian dimasukkan kedalam vial dan dilanjutkan inkubasi 2 menit.

Selanjutnya garis merah akan terbentuk dimana intensitasnya tergantung pada kadar

antibiotik dalam sampel. Pembacaan menggunakan The Reveal Accu Scan III Reader,

jika rasio >1 menunjukkan hasil negatif, dan jika rasio <1 menunjukkan hasil positif.

34
BAB III
KESIMPULAN

Selama melakukan praktik PKL PPDH di Koperasi SAE Pujon, mahasiswa mendapat

kan bnyak pengalaman baik dalam bidang Keswan maupun dalam bidang susu. Dalam

bidang keswan terdapat beberapa kasus yang ditanganin antara lain: indidgesti, milk

fever, mastitis, bloat, retensio, abses. Sementara pada bidang susu mahasiswa diajarkan

untuk melakukan penampungan dan pengujian sampel susu, pengujain yang dilakukan

di koperasi susu SAE Pujo meliputi uji Organoleptik (bau,warna,rasa,kekentalan), uji

pemalsuan (gula), uji gerber, uji BJ, uji alkohol, uji reduktse dan uji Antibiotik.

35
DAFTAR PUSTAKA

Affandhy, L., W.C. Pratiwi, dan D. Ratnawati. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan

Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan. Pasuruan.

Agriculture Note. Department of Primary Industries. State of Victoria.

Arpin C, Lagrange I, Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal study of an

outbreak of infection with Staphylococcus aureus resistant to lincosamides and

streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.

Austin, A. R. 1981. Legume use in relation to animal health. Legumes in Grassland:

Proceedings of the 5th Study Conference of the Scottish Agricultural Colleges,

Auchincruive, Ayr: West of Scotland Agricultural College.

Bani Ismail, Z. Al-Majali A., and AlQudah, K. 2007. Clinical and Surgical Findings and

Outcome Following Rumenotomy in Adult Dairy Cattle Affected with Recurrent

Rumen Tympany Associated with Non-Metallic Foreign Bodies. American Journal of

Animal and Veterinary Sciences, 2 (3), 66-71.

Bewley & Phillips. 2010. Prevention of Milk Fever. University of Kentucky. Braun U, Jehle

W, Siegwart N, Bleul U, Hässig M. 2006. Treatment of Parturient Paresis with High-

dose Calcium. Departement für Nutztiere, Universität Zürich 148(3):121-9.

Champness D & Hamilton. 2007. Milk Fever (Hypocalcaemia) in Cows.

Clarke, R., and Reid, C. 1974. Foamy bloat of cattle. A review. J. Dairy Sci., 57(7),

36
753–785.

Dascanio J, Ley W, Schweizer C. 2000. How to Diagnose and Treat Fungal

Endometritis.AAEP 46:316-318.

DeGaris PJ & Lean IJ. 2008. Milk Fever in Dairy Cows: A Review of Pathophysiology and

Control Principles. The Vet. J.176(1): 158-6.

Duirs GF, Macmillan KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production,

age and mastitis organisms in individual cows. Proceedings of the New Zealand

Society of Animal Production. 39:175-179.

Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects.

http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm

Faye B. 1991. Interrelationships between health status and farm managementsystem in

French herds. J. Vet Med 12: 133-152

Goff JP. 2006. Macromineral physiology and application to the feeding of the dairy cow for

prevention of milk fever and other periparturient mineral disorders. Animal Feed

Science and Technology 126 (2006) 237–257

Gupta, S., Gupta, H. K., dan Soni, J. 2005.Effect of Vitamin E and Selenium supplementation

on concentrations of plasma cortisol and erytrhocyte lipid peroxides and the

incidence of retained fetal membranes in crossbred dairy catte.Theriogenolgy.64

(2005) 1273-1286.

Hall, J. W., Majak, W., McAllister, T. A., and Merrill, J. K. 2001. Efficacy of

37
Rumensin controlled release capsule for the control of alfalfa bloat in cattle. Can. J.

Anim. Sci, 81(2), 281–283.

Hill’s Pet Nutrition. 2011.Anal Sac Abscess. Trademarks owned by Hills’s Pet Nutrition,Inc.

Horst RL, Goff JP, Reinhardt TH, Buxton DR. 1997. Strategies for Preventing Milk Fever in

Dairy Cattle. J. Dairy Sci 80:1269–1280.

Howard, Jimmy L. 2006. Current Veterinary Therapy 4: Food Animal Practice.

W.BSaunders Company: Philadelphia

Howarth, R.E., Cheng, K.J., Majak, W., and Costerton, J.W. 1986. Ruminant bloat.

In: Milligan, L.P., Grovum, W.L., Dobson, A., (eds.), Control of digestion and

metabolism in ruminants. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. USA. 516– 527.

Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis

in cattle. JAVMA 204:1152-1158

Larsons M. 1985.Relationship of physiological factors to placental retention in dairy

cattle.J. Anim Reprod Sci 9:31-43.

Manan D. 2002.Ilmu Kebidanan pada Ternak.Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Manspeaker JE. 2009. Metritis and Endometritis. J. Dairy Integrated Reproductive

Management.

Menzies BE, Kourteva I. 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial

Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.

38
Naeini, AB, Jahroni AR and Mehrshad S. 2010. Bilateral abscesses of the maxillary

carnassial teeth in a female Pekinese. Turk.J. Vet. Anim. Sci. 34(5): 461-46

Nelson W, Nickerson S. 1991. Mastitis counter attack. Babson Bros

Osak, R.E.M.F., Hartono, B., Fanani, Z., and Utami, H.D. 2015. Profil sistem integrase usaha

sapi perah dengan tanaman hortikultura di Nongkojajar Kecamatan Tutur Kabupaten

Pasuruan. Jurnal IlmuIlmu Peternakan, 25(2), 49 – 61.

Provenza, F.D., Villalba, J.J., Dziba, L.E., Atwood, S.B., and Banner, R.E. 2003. Linking

herbivore experience, varied diets, and plant biochemical diversity. Small Rum. Res.,

49(3), 257–274.

Purba, HJ. 2008. Gangguan Reproduksi Sapi Perah di PT Greenfields Indonesia, Malang.

Laporan Praktik Kerja Lapangan. Program Keahlian Teknologi dan Manajemen

Ternak. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Senger, P. L. 2005. Pathway to Pregnancy and Parturition 2nd Revised Edition. Current

Conceptions, inc.,Washington.

Soebronto. 2008.ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Universitas Gadjah Mada Press

:Yogyakarta

Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Kursus Kesehatan Ambing dan

Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB

Sudisman, IGN. 2006. Ilmu Bedah Veterinr Dan Teknik Operasi. Pelawa Sari. Denpasar.

39
Thirunavukkarasu M., Kathiravan G, Kalaikannan A, Jebarani W. 2010. Quantifying

Economic Losses due to Milk Fever in Dairy Farms. Agricultural Economics

Research Review Vol. 23. pp 77-81

Thomas, L. 2003. A new bloat control product hits the market. Cattlemen. June/July

2003. 30.

Toelihere MR, 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Wang, Y., Majak, W., and McAllister, T.A. 2012. Frothy bloat in ruminants: Cause,

occurrence, and mitigation strategies. Animal Feed Science and Technology, 172(1-

2), 103-114

Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus

agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil

Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.

Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998.

Heterogeneous location of the mupA high-level mupirocin sesistance gene in

Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835

Yeon Lee J and Kim H. 2006.Advancing parity is associated with high milk production at

the cost of body condition and increased periparturient disorders in dairy. J. Vet Sci

7(2): 161-166.

40
DAFTAR LAMPIRAN

41

Anda mungkin juga menyukai