PENDAHULUAN
Koperasi merupakan badan hukum yang berdasarkan atas asas kekeluargaan yang
anggotanya terdiri dari orang perseorangan atau badan hukum dengan tujuan untuk
adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong
menolong. Semangat tolong menolong tersebut di dorong oleh keinginan memberi jasa kepada
kawan berdasarkan’ seseorang buat semua dan semua buat orang; di indonesia sendiri terdapat
tiga jenis koperasi yaitu koperasi produksi yang bertujuan untuk menghasilkan barang yang
akan diolah dan akan di urus bersama- sama. Kedua, koperasi kosumsi bertujuan untuk
menyediakan anggotanya dari barang kosumsi dengan harga yang relative murah dengan
kualitas yang bagus. Dan yang ke tiga adalah koperasi simpan pinjam yang digunakan untuk
Sesuai dengan amanat Undang- undang No 17 Tahan 2012 tentang perkoperasian, dalam
Bab II pasal 2 dan 3 menyatakan bahwa koperasi berlandaskan pancasila dan Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, dan koperasi bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota pada kususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratif dan berkeadialan.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya bekerja sama dengan Koperasi
SAE Pujon sebagai lokasi praktik kerja lapangan, bagi bakal calon dokter hewan atau yang biasa disebut
mahasiswa PPDH (Pendidikan Profesi Dokter Hewan). Koperasi SAE Pujon merupakan slah satu sektor
1
pemerintahan yang bertujuan untuk mensejahterakan para anggota dan masyarakat sekitar melalui
beternak sapi perah dengan cara menjaga kualitas kesehatan hewan, kuaitas susu dan produk olahan
susu agar layak dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat hal ini sangatlah penting bagi mahasiswa
PPDH sebagai sarana dalam menerapkan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan kedalam dunia
kesehatan masyarakat veteriner dan sebagai sarana menimba ilmu praktis di lapangan.
Kegiatan yang dilakukan di Koperasi SAE Pujon meliputi bidang kesehatan hewan dan system
penampungan dan pengelolaan susu. Dengan adanya praktik kerja lapangan yang dilaksanakan di
Koperasi SAE Pujon dapat menciptakan Dokter Hewan yang profesional. Pengalaman yang didapat
selama menjalani praktik kerja lapangan dapat dijadikan pembelajaran saat terjun langsung dalam dunia
kerja.
1. Kasus apa saja yang terjadi pada ternak sapi perah di kecamatan Pujon?
2. Bagaimana proses penampungan dan pengujian susu di Kopeasi susu SAE Pujon?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kasus apa sja yang terjadi pada ternak sapi perah di kecamatan pujon.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses penampungan dan pengujian susu di koperasi SAE
Pujon.
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Indigest
indigesti kronis dan akut.Indigesti akut merupakan sindrom yang bersifat kompleks dengan
berbagai manifestasi klinis, tanpa disertai (atau hanya ringan) perubahan anatomis pada
lainnya(Soebronto,2008)
dibagimenjadi beberapa bagian, antara lain: a. Indigesti sederhana atau simpleks b. Indigesti
asam (asidosis rumen) c. Alkalosis rumen d. Kembung rumen (bloat, timpani rumen) e.
Indigesti Toksem
rumenatau reticulum, ditandai oleh hilangnya gerak rumen atau lemahnya tonus rumen
yangmendadak, terutama pada hewan muda yang mulai menyesuaikan diri untuk diberikan
ransum hewan dara. Pakan yang mengandung serat kesar terlalu tinggi juga
3
dapatmenyebabkan hal ini terjadi. Pemberian obat bakterial yang berlebihan juga dapat
menyebabkan indigesti.
penguat atau makanankasar hendaknya dihentikan sementara. Air minum yang ditambahi
pada sapid an kerbau dewasa untuk merangsanggerak rumen. Secara oral, preparat
magnesium sulfat atau sodium sulfat, dengan dosis 100-400 gram dapat diberikan dengan
aman.
Indigesti rumen serat biasanya disebabkan karena sapi-sapi memakan bahan makanan
penguat yang kayaakan karbohidrat secara berlebihan.. Selain itu juga karena kesalahan
pengelolaan pakan,sapi-sapi yang terdiri dari berbagai umur yang dicampur dan
mendapatkan jenis konsentratyang sama, sapi yang lebih kuat akan mendapat porsi jauh
lebih banyak daripada yang lemah.Karena terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu
tinggi karbohidratnya, seekor sapidapat menderita asidosis rumen. Kejadian rumen sarat
banyak ditemui di lapangan dan terjadikarena kondisi hewan yang jelek dengan kualitas
pakan yang kurang bermutu, yangkebanyakan terdiri dari serat kasar ( jerami ).
Untuk pengobatan pada gangguan yang bersifat awal, dapat diberikan larutan
magnesium sulfat atausodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti Delladryl sebanyak 10-15
penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi. Untuk
4
mengurangi asidosis dapat diberikanlarutan sodium bikarbonat 2,5% sebanyak 500ml secara
intravena perlahan-lahan untuk menghindari alkaliemia, atau pemberian soda roti 250 gram
nitrogen darisenyawa non-protein, antara lain urea, biuret, dan garam ammonium. Senyawa
intoksikasi(Subronto,2008).
Untuk menetralkann isi rumen maka dapat diberikan larutan cuka (vinegar) 5%
dilakukan.
Kembung rumen disebab kan olehFaktor pakan yang termasuk dalam tanaman
leguminosa seperti alfafa dan ladino.Imbangan antara pakan hijau dan konsentrat yang tidak
kembung rumen.keadaan sapi juga berpengaruh dalam timbulnya kembung antara lain factor
keturunan dan susunan serta pH saliva yang pada normal dapat mencegah pembentukan busa
berisikan gas.
lambung ( via eruktasi ). Umumnya berupaminyak volatil yang mudah diekskresikan lewat
5
Indigesti toksemia disebabkan karena adanya senyawa-senyawa amine .Senyawa yang
berlebihan akan diserap oleh darah. Terapi yang diberikan biasanya bersifat simtomatik.
Pemberian cairan elektrolit dandextrose fisiologis. Diberikan pula obat yang merangsang
motilitasrumen, hilangnya proses mastikasi, lambatnya pasasi tinja dan adanya distensi
rumen. Penurunan motilitas rumen diakibatkan karena adanya lesi yang mengenai ramus
ventralis dari nervusvagus. Indigesti ini berlangsung kronik dalam beberapa minggu.Pada
b. Milk fever
Hipokalsemia pada sapi perah mempunyai beberapa sinonim yaitu milk fever, paresis
puerpuralis dan parturient paresis (Goff 2006). Milk fever adalah penyakit gangguan
menyebabkan sapi menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium
(Ca) dalam darah (Horst et al. 1997). Ca berperan penting dalam fungsi system syaraf. Jika
kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan terganggu,
sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami kelumpuhan. Kasus milk fever
terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini
biasanya sapi yang telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi
tinggi (lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka kejadian milk
fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari induk yang pernah mengalami milk
fever.
6
Etiologi
Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga jika Ca dalam
pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air
susu mengandung 1.2 – 1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl
memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca dalam darah tidak dapat
dipertahankan, maka sapi akan mengalami paresis puerpuralis atau milk fever.
vitamin D3 (DeGaris & Lean 2008). Pemberian pakan tinggi Ca pada periode kering dapat
kadar Ca dalam darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi
cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006). Kejadian ini cenderung
menghambat adaptasi normal sapi terhadap kekurangan Ca pada permulaan partus dan
laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam
Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan, akibatnya akan
7
Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut dari tulang
Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi menjelang melahirkan.
Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur mukosa sel-
Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang melahirkan,
Gejala Klinis
Gejala awal yang ditemui yaitu sapi masih berbaring, nafsu makan turun, kurang
peka terhadap lingkungan, cermin hidung kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki
belakang lemah dan terjadi penimbunan gas di dalam rumen. Jika semakin parah, maka
sapi hanya mampu bertahan 6 – 24 jam. Sebenarnya angka kesembuhannya cukup baik dan
tingkat mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan diberi pertolongan
Pengobatan
borogluconas 40 % secara intravena pada vena jugularis (Braun et al. 2006). Suntikan dapat
8
diulangi kembali setelah 8 – 12 jam kemudian. Apabila belum menampakkan hasil, maka
dapat diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit susu yang boleh
diperah selama 2 – 3 hari. Pengosongan ambing sebaiknya dihindari selama waktu tersebut
untuk mencegah terjadinya paresis peurpuralis. Kadar kalsium dalam pakan harus
dikurangi pada akhir periode laktasi. Pemberian kosentrat dapat diberikan 2 kg/hari atau
selama periode kering kandang dengan mengurangi pemberian legum atau suplemen
mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru dapat dilakukan 2 minggu menjelang sapi
c. Mastitis
Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada
peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval, 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak
menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari
seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika
pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya
penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan
kualitas susu (Kirk et al. 1994). Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat
dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval, 1997). Mastitis dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri penyebab
mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Sapi yang terkena
mastitis akut masih bias diobati dengan pemberian antibiotic, sedangkan yang kronis dapat
disembuhkan namun kelenjar ambing sudah rusak dan terbentuk jaringan ikat sehingga
tidak dapat memproduksi susu.Oleh karena itu, sapi yang terkena mastitis kronis secara
9
Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila
pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing
seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi
seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis
terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya
dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley
mastitisperakut, akut, sub akut, subklinis dan kronis (Nelson dan Nickerson 1991).
Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan dkk.
1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya
mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Mastitis
subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih
banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000). Sebagian besar
kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada
mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya mikroorganisme patogen
dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Diagnosis mastitis subklinis dapat
dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley
1991), tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya
bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada
kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi
10
bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar
1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing dengan terapi
antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam,
1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid
antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998).
Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat
pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses
apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).
Histopatologi Mastitis
dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan
adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997),
deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak
Patogenesis Mastitis
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui
11
dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun
Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama
yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme
akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya
demam
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali
dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai
respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan
aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan
metabolit oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya
filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi
diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju
jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap
Pengobatan
infusa antibiotic intra mamaria bias mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin,
12
menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan
mengatasi mastitis juga telah merugikan peternak, karena susu yang mengandung residu
d. Retensio
Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah diantaranya
adalah retensio sekundinae dan endometritis (Dascanio et al.,2000; Ratnawati et al., 2007).
Retensi plasenta adalah gangguan komplek yang ditandai dengan kegagalan pelepasan
membrane fetus pada stadium membran fetus. Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan
dalam waktu 3-5 jam postpartus, apabila plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam
sehingga disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan, 2002). Retensi plasenta
adalah suatu kondisi kegagalan pemisahan selaput fetus dari maternal karunkula sehingga
selaput fetus tertahan dalam kandungan setelah fetus lahir, baik pada kelahiran normal
maupun abnormal. Pada partus yang berjalan normal secara fisiologis selaput fetus akan
keluar dalam waktu 1-12 jam (Manspeaker, 2009). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor internal dan eksternal seperti uterus paresis, aborsi, stres, terlambat melahirkan atau
prematur, distoksia, kembar, status hormonal yang tidak seimbang, infeksi, faktor genetik,
defisiensi vitamin dan mineral (Yeon Lee dan Kim, 2006). Menurut penelitian Barnouin
dan Chassagne (1996), masa bunting yang tidak normal dan gangguan saat melahirkan
merupakan faktor yang paling berpengaruh seperti gangguan kontraksi uterus akibat
perlukaan atau mekanisme stress. Dilaporkan juga adanya keterkaitan munculnya retensi
plasenta dengan gangguan metabolisme setelah melahirkan. Menurut Larsons (1985) dan
Joosten (1991) ada pengaruh musim terhadap kejadian retensi plasenta, dimana angka
13
kejadian retensi plasenta meningkat pada musim panas atau musim gugur. Faktor- faktor
penyebab munculnya retensi plasenta berbeda antara suatu negara dan negara lainnya
karena adanya perbedaan manajemen, kondisi lingkungan, temperatur, dan kontrol kondisi
kesehatan pada suatu peternakan di negara tertentu sehingga retensi plasenta juga akan
berfungsi sebagai pertukaran metabolit antara konseptus dan induk. Plasenta berperan juga
sebagai organ endokrin yang tersusun darikomponen fetus yaitu kotiledondan komponen
Etiologi
Retensio plasenta merupakan keadaan dimana gagalnya pelepasan vili kotiledon fetal
dari kripta karunkula maternal (Manan, 2002). Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis
putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan
mengendur terhadap kripta karankula.Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang
tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai
darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili
kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensi plasenta,
pemisahan dan pelepasan vili fetalis dari kripta maternal terganggu sehingga masih terjadi
pertautan. Kurang dari 3% kasus kejadian retensio sekundinae disebabkan oleh gangguan
mekanis, 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan
14
sekundinae setelah melahirkan, mungkin juga karena defisiensi hormon yang menstimulir
Gejala Klinis
Beberapa gejala klinis yang cukup jelas pada sapi yang mengalami retensio plasenta
yaitu sebagian selaput fetus menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah
kelahiran normal, abortus atau distokia. Presentasi retensio plasenta yang menunjukkan
gejala sakit kurang lebih 75% tetapi kurang lebih 20 % gejala metritis diperlihatkan antara
lain depresi, tidak ada nafsu makan, peningkatan suhu tubuh, frekuensi pulsus meningkat
dan berat badan menurun (Purba, 2008). Adapun gejala lain yang nampak yaitu adanya
Diagnosa
gejala klinis dan pemeriksaan klinis seperti palpasi intravaginal. Berdasarkan anamnesis
biasanya plasenta belum keluar lebih dari 8 jam setelah melahirkan. Palpasi intravaginal
dilakukan untuk memastikan penyebab dari terjadinya retensio plasenta dan juga
Penanganan
Penanganan yang dapat dilakukan dengan pelepasan selap t fetus secara manual,
Tetracyclin). Pengobatan secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian daun waru
15
Pencegahan
menyebakan retensi plasenta. Menurut Gupta dkk. (2005) pemberian vitamin E 1100 IU
dan selenium 30 mg dapat mencegah terjadinya retensi plasenta. Brozos dkk (2009)
menggunakan vitamin E 1000 IU, selenium 0.05 ppm dan ammonium chloride 60 gram
menyebakan penghambatan aktivitas neutrophil (Gupta dkk., 2005; Brozos dkk., 2009).
e. Abses
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi bakteri. Jika
bakteri menyusup kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel
akan mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang
terinfeksi. Sel- sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dari infeksi bergerak
kedalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah
putih yang mati akan membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan
nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong. Pada akhirnya jaringan akan tumbuh
disekeliling abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah terjadinya infeksi
lebih lanjut. Jika abeses pecah maka infeksi bisa menyebar didalam tubuh maupun
Etiologi ABSES
Penyebab utama terjadi abese yaitu adanya benda asing yang diikuti bakteri pyogenic (
16
bersifatob ligat anaeorob ( Bakteriodes sp, Clostridium, Fasobakterium). Infeksi bisa
menyebar baik local maupun sistematis. Penyebaranmn infeksi ini melalui aliran darah
menyebabkan sepsis. Maka dari itu penaganan abses perlu sesegera mungkin. Jika abses
akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatas menipis. Abses
bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru, mulut, rectum dan otot. Abses
sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah kulit. (Nutrition.H, 2011)
Gejala klinis
Gejala klinis dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu
organ atau saraf. Gejalanya berupa: nyeri, nyeri karena tekanan, terasa hangat, terjadi
pembengkakan, kemerahan dan demam. Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit
Pengobatan
Pengobatan abses bisa dengan cara operasi atau abses disedot, operasi dilakukan apabila
abses telah matang. Daerah sekitar abses dicukur, dibersihkan dan didesinfeksi, dilakukan
anestesi local. Insisi bagian bentral abses, nanah dikeluarkan. Prinsip penaganannya adalah
17
Proses obreasi penagan abses
Pengobatan abses juga dapat menggunakan antibiotic. Salah satu contoh antibiotic
yang dapat diberikan pada kondisi abses contohnya penstrep (Penisillin streptomisin).
Penisillin dan streptomisin merupakan agen bakterisida yang berspektrum luas dan
efektif membunuh bakteri gram postif. Perawatan post operasi dilakukan dirumah
dengan memberi amoxicillin selama 7 hari dua kali sehari dengan dosis 20 mg/kg BB.
Perban dibuka sekitar keekmpat bila daerah bekas abses tidak lagi
f. Bloat / timpani
Bloat atau tympani merupakan penyakit alat pencernaan yang disertai penimbunan
rumenoretikulum oleh gas yang terbentuk, bisa dalam bentuk busa persisten yang
18
bercampur isi rumen (kembung primer) dan gas bebas yang terpisah dari ingesta
(kembung sekunder). Bloat atau kembung perut yang diderita sapi, dapat
menyebabkan kematian karena struktur organ sapi yang unik. Dimana pada sapi,
jantungnya terletak disebelah kanan perut, bukan dibagian dada seperti halnya
manusia. Hal tersebut akhirnya menyebabkan jantung sapi terhimpit oleh angin dan
asam lambung saat menderita kembung. Karena kembung yang terjadi, mendesak dan
mengakibatkan perut sapi membesar kesamping. Kematian pada sapi yang menderita
kembung perut, biasanya rentan terjadi karena ketidaktahuan dan salah penanganan
oleh peternak. Saat sapi mengalami kelumpuhan dengan perut yang kembung, banyak
peternak yang memposisikan sapi mereka telentang. Hal itu menyebabkan, jantung
sapi terhimpit dengan lebih cepat. Namun penyakit kembung perut tidak
membahayakan atau menular kepada binatang lain atau manusia, daging sapi yang
dalam rumen. Kondisi rumen yang terlalu penuh dan padat yang berujung menurunkan
gerakan rumen dan menurunkan derajat keasaman dari rumen. Pakan hijauan yang
masih muda dapat memicu timbulnya bloat, selain itu tanaman kacang-kacangan juga
(Sitepoe, 2008).
Patogenesis
yang banyak atau gangguan dalam esophagus dan alat tubuh lain. Faktor yang
mendorong terjadinya timpani antara lain viskositas dan tegangan permukaan cairan
19
rumen, aliran dan susunan air liur dan aktivitas mikroba. Air liur mengandung protein
mucin yang mencegah terjadinya timbulnya busa pada air liur. Penguraian protein
busa dalam rumen. Banyaknya air liur juga berpengaruh terhadap kemungkinan
terjadinya timpani. Sapi dengan air liur yang sedikit lebih beresiko. Aktivitas mikroba
akibat peningkatan jumlah sukrosa dalam rumen juga memiliki pengaruh dalam
pembentukan gas. Metabolisme sukrosa oleh bakteri menghasilkan gas yang akan
terperangkap dalam biofilm yang terbentuk oleh bakteri tersebut, sehingga menjadi
gelembung yang memenuhi rumen. Dalam kondisi normal, kelebihan gas pada rumen
menyebabkan tidak bisa keluarnya gas dari rumen, sehingga terjadi timpani.
Gangguan reflek eruktasi berkaitan dengan gangguan pada esophagus dan alat
tubuh lain. Saat terjadi penumpukan gas, rumen bereaksi dengan kontraksi yang lebih
sering dan lebih kuat dari keadaan normal. Karena kecepatan pembentukan gas
menyebabkan penumpukan gas yang banyak. Kekuatan kontraksi rumen juga akan
menurun dan mungkin hilang tonusnya. Volume rumen akan terus membesar karena
gas yang terbentuk semakin banyak. Rumen akan mendesak ke arah rongga dada dan
menimbulkan gangguan pernafasan. Dari titik tersebut kematian bisa terjadi jika tidak
ditangani.(sitepoi, 2008)
20
Penyebab Bloat
Kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan dan kesehatan akan lebih terpenuhi jika
berbagai jenis hijauan tersedia pada padang rumput maupun kandang (Provenza et al.,
2003). Usaha untuk memenuhi kebutuhan nutrien juga dapat dilakukan dengan sistem
integrasi dengan tanaman hijauan pakan ternak sebab banyak manfaat yang dapat
dihasilkan dari sistem tersebut (Osak et al., 2015). Selain hal tersebut di atas, variasi
berbagai macam penyakit non infeksius seperti bloat atau bahkan kematian pada ternak
ruminansia. Kejadian bloat primer pada ruminansia biasanya disebabkan oleh tanaman
leguminosa, rumput dan bijian yang mengandung protein terlarut tinggi, lignin rendah
serta banyak mengandung dinding sel tumbuhan yang mudah. Howarth (1975) dan
Majak et al. (1995) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil yang berasal dari
leguminosa dalam rumen berkaitan erat dengan bloat primer. Pencernaan klorofil
dinamakan faktor I dan II dan diyakini sebagai faktor utama terbentuknya busa dalam
rumen. Leguminosa sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu leguminosa penyebab bloat
dan leguminosa yang tidak mengakibatkan bloat. Menurut Austin (1981) ada beberapa
hipotesis mengapa jenis leguminosa ada yang dapat mengakibatkan dan tidak
kombinasi faktor seperti tanaman, hewan dan mikroba yang akhirnya semua memiliki
21
Gejala Klinis Bloat
Volume gas dalam jumlah yang besar akan dihasilkan terus menerus melalui proses
fermentasi mikroba rumen. Secara normal gas yang terbentuk tersebut dibuang melalui
mekanisme sendawa atau eruktasi. Menurut Bani-Ismail et al. (2007) pada tahap awal
kejadian bloat, fossa paralumbar sebelah kiri menunjukkan distensi ringan dan bagian
lebih jelas dan ada kemungkinan terjadi penonjolan rektum. Pada kondisi bloat, baik
bentuk primer maupun sekunder distensi dari rumen tersebut akan mengakibatkan
tekanan pada diafragma rongga dada maupun abdomen sehingga ternak akan sulit
menjadi dangkal serta memaksa hewan bernafas melalui mulut. Gejala klinis lain yang
muncul adalah penurunan atau hilangnya nafsu makan dan jika tidak tertangani dengan
Berbagai macam metode untuk pencegahan bloat telah banyak diteliti dan
penelitian terutama difokuskan pada faktor pakan atau agen kemoterapi yang memiliki
pencegahan kejadian bloat sulit diterapkan karena menyangkut berbagai macam aspek
yang harus dicermati. Aspek tersebut terutama ditujukan pada tata kelola peternakan
(1994) menyatakan bahwa tidak ada metode tunggal pada pencegahan kejadian bloat
22
yang dapat diterapkan dalam setiap situasi yang berbeda, namun demikian, ada metode
risiko. Metode penggembalaan untuk mencegah kejadian bloat yang paling umum
suplemen makanan ringan, dan pemberian agen antibakteri dan anti pembusaan
antara tanin terkondensasi dengan mikroorganisme dalam rumen dan dampak yang
alcohol ethoxylate dengan pluronic detergents yang terlarut dalam air untuk
sebagai anti pembentukan busa merupakan metode yang efektif untuk mencegah bloat
gel yang diklasifikasikan sebagai agen anti pembentukan busa. Secara fisiologis
Simethicone bersifat tidak aktif dan tidak beracun jika diberikan secara oral pada
23
meskipun dalam penelitian selanjutnya ternyata tidak mampu mencegah insiden awal
dalam diet juga dapat mencegah kejadian bloat karena NaCl mampu meningkatkan
asupan air dan meningkatkan laju cairan saat melintasi saluran pencernaan (Wang et
al., 2012). Penggunaan antibiotika untuk pencegahan bloat juga telah diteliti dan
streptomycin, dan penicillin, untuk pencegahan bloat. Dari berbagai macam antibiotika
tersebut hanya penicillin yang efektif mencegah bloat dan tidak memiliki dampak
buruk ketika diberikan dengan dosis tunggal 300 mg atau kurang Konsentrat atau
pakan bentuk blok yang dicampur dengan antibiotika 75 sampai 100 mg untuk setiap
sapi per hari cukup berhasil dalam menurunkan kejadian bloat. Mekanisme penurunan
kejadian tersebut tampaknya terkait dengan perubahan mikroflora dalam rumen dan
bergantung pada kondisi di mana bloat terjadi, bentuk bloat (primer atau sekunder) dan
digunakan untuk terapi bloat seperti penggunaan senyawa oral atau stomach tube yang
pada prinsipnya digunakan untuk menghilangkan akumulasi gas yang terjadi. Prinsip
pembentukan gas dan membantu mengeliminasi gas tersebut. Jika upaya tersebut
kurang berhasil maka dapat dipergunakan trokar dan kanul yang digunakan untuk
menusuk rumen dalam usaha mengeluarkan gas. Pengobatan harus dilakukan secepat
24
mungkin terutama pada kasus bloat akut dan penggunaan trokar atau kanul merupakan
upaya terakhir karena dapat mencegah asfiksia atau perdarahan internal serta kematian
Paraplegia post partum merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada induk
hewan yang sedang bunting tua atau beberapa hari sesudah partus yang memyebabkan sapi
tidak dapat berdiri, tetapi selalu dalam keadaan berbaring pada salah satu sisi tubuhnya
1. Adanya kelemahan badan akibat menerima beban terlalu berat, mis : bunting dengan
anak yang terlalu besar, anak kembar, induk yang menderita hidrop allantois
2. Patah (frakture) tulang femur, sakrum, atau lumbal dan melesatnya (luxatio) pada
persendian panggul
3. Adanya benturan (contusio) pada otot di bagian tubuh sebelah belakang waktu
berbaring atau menjatuhkan diri, sehingga ada kerusakan urat daging atau tulang
pelvisnya
5. Defisiensi Kalsium
25
Gejala :
1. Secara tiba-tiba induk hewan yang baru saja melahirkan terlihat jatuh dan tidak
dapat berdiri karena adanya kelemahan di bagian belakang badannya, gejala ini bisa
2. Keadaan umum dari tubuhnya tidak terganggu, sensitivitas urat daging paha masih
3. Induk sering berusaha berdiri, kalau berdiri mencoba berjalan sempoyongan, kaki
depan dan leher tetap kuat hanya bagian tubuh sebelah belakang yang lemah.
Diagnosa :
1. Eksplorasi rektal dengan meraba seluruh bagian rongga pelvis dan tulang pelvis.
2. Sensibilitas urat daging paha baik ditandai dengan bila ditusuk dengan benda tajam
memberikan reaksi.
3. Beberapa hari kemudian induk sapi akan dapat berdiri dengan sendirinya.
1. Dekubitus : luka pada kulit dan otot, khususnya pada bagian tulang yang menonjol
2. Prolapsus vagina : karena tekanan pada waktu berbaring oleh rumen terhadap uterus
berbaring diatas lantai kandang yang dingin dalam waktu yang lama.
26
Pengobatan :
3. Sebagai treatmen sapi harus sering di balik, minimal tiap 8 jam agar tidak terjadi
ganguan sirkulasi darah pada sisi tertentu sehinggga menyebabkan sapi tidak akan
Koperasi Sae Pujon memiliki 32 pos penampung susu yang tersebar di wilayah
kecamatan Pujon. Susu diperoleh dari setiap anggota yang terdaftar di Koperasi yang
di tunjukan dengan nomor keanggotaan. Susu ditampung pagi dan sore pada waktu
yang telah di tentukan setiap masing masing wilayah. Pemeriksaan susu dilakukan 2
kali yaitu pada waktu penampungan susu dan pada saat di laboratorium. Susu yang
telah di tampung sebagian di olah oleh koperasi untuk dijadikan olahan siap konsumsi
dan sebagian dikirim ke Perusahaan susu Netsle untuk di olah sebagai susu buuk dan
olahan lain nya. Susu dikirim ke perusahaan Netsle di Pasuruhan menggunakan truk
PEMERIKSAAN ORGANOLEPTIK
A. Tujuan:
27
untuk mengetahui kelainan-kelainan pada susu secara organoleptis (warna, bau, rasa
dan kekentalan).
B. Cara kerja
a) Uji warna: kedalam tabug reaksi dimasukkan susu 5 ml, kemudian dilihat dengan latar
b) Uji bau: ke dalam tabung reaksi dimasukkan susu 5 ml, kemudia dicium baunya.
c) Uji rasa: untuk pertimbangan kesehatan, susu harus dididihkan terlebih dahulu.
Tuangkan sejumlah kecil susu di telapak tangan kemudian dicicipi dan rasakan
perubahannya.
d) Uji kekentalan: ke dalam tabung reaksi dimasukkan susu 5 ml, kemudian di goyang
perlahan-lahan. Amati sisa goyangan yang ada pada dinding tabung. Jika cepat hilang
A. Tujuan :
B. Cara kerja
a. Homogenkan susu dengan cara menuangkan bolak-balik dari gelas ukur kedalam
b. Masukkan hasil homogenitas terakhir kedalam gelas ukur sampai 2/3 dari volumenya.
28
c. Baca tera suhu laktodensimeter ºC. Masukkan laktodensimeter kedalam gelas ukur dan
kemudian benamkan serta dibiarkan timbul tenggelam sampai diam, tidak bergoyang.
UJI ALKOHOL
A. Tujuan
B. Cara Kerja
UJI REDUKTASE
A. Tujuan
Untuk menunjukan adanya kuman di dalam susu (kualitatif) dalam waktu cepat.
B. Cara kerja
Tabung reduktase steril diisi masing – masing 0,5 ml larutan methylen blue.
Sampel susu diaduk sampai rata, diambil 20 ml dan di masukan ke tabung reduktase.
Tabung di sumbat.
A. Tujuan
Untuk mengetauhi apakah kandungan lemak susu masih dalam batas yang diijinkan.
29
B. Cara kerja
Tutup butiro meter dengan sumbat karet dan homogenkan seperti angka 8, pegang
Masukan butiro meter ke penangas air dengan suhu 65˚C selama 5 menit dengan posisi
terbalik
Baca hasil dengan melihat jumlah larutan berwarna kuning pada skala tabung butiro
meter.
UJI Glukosa
A. Tujuan
B. Cara Kerja
d. Kemudian panaskan pada air mendidih selama 10 dtik dan dinginkan di air
mengalir.
e. Bila lautan berubah warna ungu menandakan bahwa susu mengandung gula lain.
30
UJI RESIDU ANTIBIOTIK
A. Tujuan
B. Cara kerja
- Hasil negative apabila warna pada garis bawah lebih tebal atau pekat
negative, hal ini terlihat dari hasil test kit muncul 2 garis berwarna merah dan warna
Keberadaan residu antibiotika dalam air susu dapat terjadi karena pengobatan
antibiotika pada ternak, baik itu secara injeksi intramuscular, intravena maupun
intramamary, maka antibiotika akan terabsorbsi dan masuk ke dalam sistem peredaran
darah. Selanjutnya aliran darah yang mengandung antibiotika menyebar ke bagian lain
termasuk ke dalam ambing. Hasil pemerahan dari ambing yang salah satu puttingnya
residu antibiotika. Pemberian pengobatan herbal atau suplemen pakan ternak yang
mengandung campuran antibiotika dalam kadar tertentu, kontaminasi dari sisa susu
atau ember penampung yang tidak dicuci dengan bersih dan tercampurnya susu yang
31
tidak mengandung residu antibiotika dengan susu yang mengandung antibiotika
penyakit tertentu seperti kasus mastitis, pneumonia, enteritis, penyakit kuku maupun
penyakit lain yang disebabkan oleh adanya infeksi bakterial. Antibiotika merupakan
senyawa kimia yang dihasilkan dari berbagai jasad renik, mikroorganisme, dan
residu antibiotika pada susu sapi tersebut, dimana konsentrasi residu antibiotika
tergantung dari jumlah dan dosis pengobatan, serta akan semakin berkurang seiring
Dampak yang mungkin muncul karena adanya residu antibiotika pada air susu antara
lain
Dapat memberikan reaksi alergi atau intoleransi pada individu yang memiliki alergi
pada jenis antibiotika tertentu, terutama jika konsentrasi antibiotika dalam susu cukup
tinggi
Menurunkan kualitas hasil olahan khususnya pada pengolahan keju dan yoghurt
32
Kerugian ekonomi pada peternak/koperasi apabila susu yang mengandung antibiotika
tercampur dengan susu lain dalam jumlah besar dan ditolak oleh IPS. Hal ini karena
sebagian IPS sudah memberlakukan penolakan susu yang tidak lolos uji residu
kerugian karena adanya residu antibiotika pada air susu dapat dilakukan antara lain
melalui pemisahan ternak yang sakit dalam suatu kelompok ternak, pemberian tanda
sesuai jenis obat yang digunakan, perbaikan sistem pencatatan, pelaporan pengobatan
dan informasi dalam farm atau dari peternak ke koperasi pengumpul susu. Ternak yang
diobati dengan antibiotika sebaiknya diperah terakhir dan dilakukan pemisahan susu
yang mengandung antibiotik dalam tempat khusus. Apabila akan ditimbang dan diuji
alkohol/BJ maka harus dipastikan alat yang dipakai kembali dicuci bersih. Pemilihan
jenis suplemen/pakan sebaiknya untuk ternak yang dalam fase laktasi tidak
Pengujian mutu susu sangat diperlukan untuk menjaga keamanan produk dan
mengetahui penyimpangan kualitas susu yang tidak sesuai persyaratan. Beberapa jenis
uji saat ini dapat dilakukan oleh laboratorium untuk mendeteksi adanya residu
antibiotika pada air susu. Pemilihan jenis uji dan reagen tergantung dari kebutuhan
pengguna, spektrum jenis antibiotika yang ingin diuji, lama waktu pengujian dan
33
Metode uji cepat terhadap residu antibiotika pada air susu sangat membantu
pada susu segar maupun olahan susu. Konjugat reseptor partikel emas (yang
terkandung dalam vial) diinkubasikan dengan sampel susu selama 3 menit. Jika
Stik uji kemudian dimasukkan kedalam vial dan dilanjutkan inkubasi 2 menit.
Selanjutnya garis merah akan terbentuk dimana intensitasnya tergantung pada kadar
antibiotik dalam sampel. Pembacaan menggunakan The Reveal Accu Scan III Reader,
jika rasio >1 menunjukkan hasil negatif, dan jika rasio <1 menunjukkan hasil positif.
34
BAB III
KESIMPULAN
Selama melakukan praktik PKL PPDH di Koperasi SAE Pujon, mahasiswa mendapat
kan bnyak pengalaman baik dalam bidang Keswan maupun dalam bidang susu. Dalam
bidang keswan terdapat beberapa kasus yang ditanganin antara lain: indidgesti, milk
fever, mastitis, bloat, retensio, abses. Sementara pada bidang susu mahasiswa diajarkan
untuk melakukan penampungan dan pengujian sampel susu, pengujain yang dilakukan
pemalsuan (gula), uji gerber, uji BJ, uji alkohol, uji reduktse dan uji Antibiotik.
35
DAFTAR PUSTAKA
Affandhy, L., W.C. Pratiwi, dan D. Ratnawati. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Peternakan. Pasuruan.
Bani Ismail, Z. Al-Majali A., and AlQudah, K. 2007. Clinical and Surgical Findings and
Bewley & Phillips. 2010. Prevention of Milk Fever. University of Kentucky. Braun U, Jehle
Clarke, R., and Reid, C. 1974. Foamy bloat of cattle. A review. J. Dairy Sci., 57(7),
36
753–785.
Endometritis.AAEP 46:316-318.
DeGaris PJ & Lean IJ. 2008. Milk Fever in Dairy Cows: A Review of Pathophysiology and
Duirs GF, Macmillan KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production,
age and mastitis organisms in individual cows. Proceedings of the New Zealand
http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm
Goff JP. 2006. Macromineral physiology and application to the feeding of the dairy cow for
prevention of milk fever and other periparturient mineral disorders. Animal Feed
Gupta, S., Gupta, H. K., dan Soni, J. 2005.Effect of Vitamin E and Selenium supplementation
(2005) 1273-1286.
Hall, J. W., Majak, W., McAllister, T. A., and Merrill, J. K. 2001. Efficacy of
37
Rumensin controlled release capsule for the control of alfalfa bloat in cattle. Can. J.
Hill’s Pet Nutrition. 2011.Anal Sac Abscess. Trademarks owned by Hills’s Pet Nutrition,Inc.
Horst RL, Goff JP, Reinhardt TH, Buxton DR. 1997. Strategies for Preventing Milk Fever in
Howarth, R.E., Cheng, K.J., Majak, W., and Costerton, J.W. 1986. Ruminant bloat.
In: Milligan, L.P., Grovum, W.L., Dobson, A., (eds.), Control of digestion and
Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis
Management.
38
Naeini, AB, Jahroni AR and Mehrshad S. 2010. Bilateral abscesses of the maxillary
carnassial teeth in a female Pekinese. Turk.J. Vet. Anim. Sci. 34(5): 461-46
Osak, R.E.M.F., Hartono, B., Fanani, Z., and Utami, H.D. 2015. Profil sistem integrase usaha
Provenza, F.D., Villalba, J.J., Dziba, L.E., Atwood, S.B., and Banner, R.E. 2003. Linking
herbivore experience, varied diets, and plant biochemical diversity. Small Rum. Res.,
49(3), 257–274.
Purba, HJ. 2008. Gangguan Reproduksi Sapi Perah di PT Greenfields Indonesia, Malang.
Senger, P. L. 2005. Pathway to Pregnancy and Parturition 2nd Revised Edition. Current
Conceptions, inc.,Washington.
:Yogyakarta
Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Kursus Kesehatan Ambing dan
Sudisman, IGN. 2006. Ilmu Bedah Veterinr Dan Teknik Operasi. Pelawa Sari. Denpasar.
39
Thirunavukkarasu M., Kathiravan G, Kalaikannan A, Jebarani W. 2010. Quantifying
Thomas, L. 2003. A new bloat control product hits the market. Cattlemen. June/July
2003. 30.
Toelihere MR, 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Wang, Y., Majak, W., and McAllister, T.A. 2012. Frothy bloat in ruminants: Cause,
occurrence, and mitigation strategies. Animal Feed Science and Technology, 172(1-
2), 103-114
Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus
agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil
Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998.
Yeon Lee J and Kim H. 2006.Advancing parity is associated with high milk production at
the cost of body condition and increased periparturient disorders in dairy. J. Vet Sci
7(2): 161-166.
40
DAFTAR LAMPIRAN
41