Anda di halaman 1dari 14

Hubungan antara Faktor Sosial dengan Gangguan

Mood di Asia

Arista Walay, Citra Anggar Kasih Masang, Cristomi Thenager, Fergie Merrywen Tamu
Rambu, Septian Dwi Chandra

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Dasar

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor adat budaya, pendidikan, usia,
pekerjaan dan status ekonomi dengan kejadian depresi pada berbagai orang di indonesia. Ada
berbagai faktor resiko yang menyebabkan seseorang menderita gangguan mood atau biasa yang
disebut depresi. Penelitian diambil dari berbagai rumah sakit di indonesia dan berbagai golongan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan yang berpola pada pengumpulan data
dengan penelitian sekunder.

Dari penelitian diperoleh 26% responden mengalami lansia. Tiga puluh tiga persen lansia
berjenis kelamin laki-laki mengalami depresi, lebih banyak daripada lansia perempuan (20,7%).
Depresi pada lansia old-old (27,8%) sedikit lebih banyak pada depresi pada lansia young-old
(25%). Prevalensi depresi pada lansia di masyarakat cukup tinggi, melebihi proporsi rata-rata.
Perlu dilakukan analisis lebih mendalam mengenai penyebab tingginya prevalensi depresi pada
masyarakat sebab depresi merupakan hal yang dapat memperburuk kualitas hidup

Kata kunci : depresi, faktor resiko

Abstract

This study aims to determine the relationship between indigenous culture, education, age,
occupation and economic status with the incidence of depression in different people in Indonesia.
There are various risk factors that cause a person suffering from a mood disorder or usually called
a depression. Research taken from various hospitals in Indonesia and various groups. This research
is descriptive analytic approach that is patterned on data collection with secondary research.

From the study showed 26% of respondents experienced seniors. Thirty-three percent of
elderly male sex depressed, more than elderly women (20.7%). Depression in the elderly old-old
(27.8%) is a little more on depression in elderly young-old (25%). The prevalence of depression
in elderly in the community is quite high, exceeding the average proportion. Need to do a deeper
analysis of the causes of the high prevalence of depression in the community because depression
is a thing that can worsen quality of life

Keywords: depression, risk factors

Pendahuluan

Latar belakang

Istilah depresi kini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat karena dapat menyerang seluruh
usia dan lapisan masyarakat. Depresi merupakan gangguan suasana perasaan (mood) yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pola tidur
dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya,
serta gagasan bunuh diri. Prevalensi depresi di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 17-27%.
Prevalensi depresi di dunia diperkirakan 5-10% per tahun dan life time prevalence bisa mencapai
dua kali lipatnya. Hasil survei di 14 negara tahun 1990 menunjukkan depresi merupakan masalah
kesehatan dengan urutan ke-4 terbesar di dunia yang mengakibatkan beban sosial. WHO
memperkirakan bahwa depresi akan menjadi penyakit dengan beban global kedua terbesar di dunia
setelah penyakit jantung iskemik pada tahun 2020. Berdasarkan data yang dihimpun CDC pada
tahun 2007-2010, prevalensi depresi paling tinggi diderita oleh kelompok usia 40-59 tahun, yakni
sebesar 9,45%.

Angka tertinggi kedua diperoleh oleh kelompok usia 18-39 tahun, yakni sebesar 8%,
disusul dengan kelompok usia 12-17 tahun sebesar 6,3%. Dua kelompok terakhir merupakan
kelompok usia ideal seseorang memasuki masa pendidikan di universitas, atau lebih tepatnya
menjadi mahasiswa. Usia rata-rata orang memasuki universitas di Indonesia ialah 17-21 tahun,
atau bisa dikategorikan sebagai masa remaja akhir. Masa remaja awal (11-13 tahun), pertengahan
(14-16 tahun), dan akhir (17-20 tahun) dibedakan berdasarkan kematangan psikoseksual.

Menurut perspektif perkembangan manusia, depresi mulai banyak muncul pada usia
remaja. Para peneliti menduga tingginya angka depresi pada remaja terkait dengan meningkatnya
angka perceraian, tuntutan akademis, dan tekanan social. Marcotte menemukan bahwa 20-35%
remaja laki- laki dan 25-40% remaja perempuan di Kanada dan Amerika Serikat mengalami
depresi. Banyak studi menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan lebih rentan menderita depresi,
namun terdapat pengecualian pada populasi mahasiswa, yang menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan mencolok antara jumlah mahasiswa maupun mahasiswi yang depresi.

Manifestasi depresi pada sangat bergantung pada tahap perkembangan individu. Pada
remaja, gangguan depresi sangat khas, dan dikaitkan dengan gangguan kepribadian. Meski
demikian, beberapa manifestasi depresi pada dewasa juga dapat terjadi pada remaja, seperti lemas,
rasa ingin tidur meningkat, insomnia, perubahan nafsu makan, masalah pencernaan, dan
ketidaktertarikan seksual. Penelitian di Texas, Amerika Serikat, menyatakan bahwa mahasiswi
yang depresi memang mengalami penurunan dorongan seksual dengan lawan jenis, namun lebih
menikmati pemuasan seksual dengan diri sendiri, yakni masturbasi, dibandingkan dengan
mahasiswi yang tidak depresi. Hingga saat ini, masturbasi banyak direkomendasikan sebagai salah
satu cara mengurangi depresi dan kecemasan.

Definisi

Pemahaman tentang depresi telah ada sejak zaman Hippocrates (460-377 SM). Depresi
pada saat itu disebut melankoli, yang digambarkan sebagai kemurungan atau kesedihan karena
kelebihan cairan empedu. Pada tahun 1905, istilah melankoli digantikan dengan istilah depresi
karena mengandung etiologi yang lebih luas. Depresi adalah gangguan alam perasaan hati (mood)
yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sampai
hilangnya gairah hidup, namun tidak terdapat gangguan menilai realitas, dan kepribadian tetap
utuh (tidak ada splitting of personality). Pada penderita depresi, perilaku dapat terganggu tetapi
dalam batas-batas normal.
Epidemiologi

Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di dunia. Rata-rata usia
awitan adalah akhir dekade kedua, meskipun sebenarnya depresi dapat dijumpai pada semua
kelompok usia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi mayor lebih sering diderita
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 2:1. Prevalensi selama kehidupan pada perempuan
10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Walaupun depresi lebih sering terjadi pada perempuan,
kejadian bunuh diri lebih sering terjadi pada laki-laki terutama usia muda dan tua.1

Etiologi

Depresi dapat disebabkan oleh empat faktor, yakni faktor biologis, faktor keturunan, faktor
psikososial, dan faktor lingkungan atau sosiokultural. Faktor biologis yang berperan dibagi
menjadi dua, yakni faktor neurotransmitter dan neuroendokrin. Neurotransmitter yang berperan
terhadap terjadinya depresi adalah norepinefrin, serotonin, dan dopamin. Hipotalamus adalah
pusat regulasi neuroendokrin yang menerima rangsangan neuronal menggunakan neurotransmitter
biogenik amin. Banyak disregulasi endokrin yang dapat dijumpai pada pasien gangguan mood.
Faktor keturunan juga disinyalir berperan terhadap kejadian depresi. Selain itu, saudara kembar
dari penderita depresi kemungkinan berpotensi 40-50% menderita depresi pula. Dari segi stressor
psikososial, anak yang ditinggalkan orang tuanya berpotensi menderita depresi pada masa yang
akan datang. Sedangkan dari segi sosiokultural antara lain hubungan sosial yang buruk, beban
pikiran, kesendirian atau kesepian, kehilangan sesuatu yang berharga, dan mengalami peristiwa
yang buruk.2

Faktor yang diasumsikan berpengaruh terhadap depresi pada remaja antara lain faktor
demografi atau karakteristik umum (meliputi umur, jenis kelamin, kesan sosial ekonomi, ras,
daerah asal, tipe akomodasi, ketaatan beragama, dan dengan siapa dia tinggal), faktor internal
(meliputi kepribadian, strategi coping, dan tanggung jawab personal), dan faktor eksternal
(meliputi stressor kehidupan, baik yang akut maupun kronis). Faktor yang paling sering
mempengaruhi depresi pada remaja berasal dari lingkungan, misalnya perpisahan dengan orang
terdekat, kehilangan yang tiba-tiba, penolakan, berkurangnya perhatian lingkungan, dan depresi
pada orang tua.2
Gejala

Individu dengan gejala depresi tidak selalu mengalami gangguan depresi, karena gejala
depresi dapat terjadi pada siapapun termasuk orang-orang yang tidak dapat didiagnosis menderita
gangguan depresi. Beberapa tanda umum yang menandakan gejala depresi yakni adanya
perbedaan gambaran emosi, kognitif, vegetatif, dan psikomotorik. Pada remaja, gejala depresi
yang terjadi berbeda dengan depresi pada dewasa. Depresi pada remaja sering dikaitkan dengan
gangguan kepribadian. Kebanyakan remaja menunjukkan sikap mudah tersinggung yang menjadi
tanda khas. Tanda dari mudah tersinggung meliputi perasaan terganggu oleh apapun dan siapapun,
Dibanding ekspresi kesedihan, remaja yang depresi cenderung tampak kalut, negatif, argumentatif,
dan suka bertengkar. Selain itu, remaja yang depresi juga merasa tidak diperhatikan siapapun,
bersedih tentang hal yang tidak jelas, berpenampilan murung dan seolah tanpa harapan, percaya
bahwa segalanya tidak adil, serta merasa selalu mengecewakan orang tua dan guru. Rasa tertarik
terhadap hal yang biasanya dianggap menyenangkan juga menurun. Remaja yang mengalami
depresi bahkan cenderung kehilangan minat dalam berteman. Jika mereka tergolong aktif secara
seksual, akan terjadi perubahan perilaku seksual, seperti masturbasi, penting, dan hubungan
seksual. Pada remaja usia menjelang dewasa, depresi dimanifestasikan dalam bentuk
penyalahgunaan zat, petualangan seks, identifikasi negatif pada tokoh kriminal, dan usaha bunuh
diri pada kasus berat.3

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini berpola pada cara pengumpulan
data dengan penelitian sekunder. Penelitian sekunder adalah pendekatan penelitian yang
menggunakan data yang sudah ada untuk dianalisis dan diinterpretasi sesuai tujuan peneliti. Data
yang sudah ada berupa hasil kajian sejarah atau data kepustakaan yang sudah ada.

Penelitian dilakukan menggunakan metode analitik korelasional dengan pendekatan cross-


sectional. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian data dianalisa
menggunakan uji statistik Chi Square.Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah semua penderita
depresi yang bersedia menjadi responden, mampu berkomunikasi dengan baik, dan sedang di
rawat inap.
Penelitian ditempat lain dilakukan menggunakan penelitian observasi analitik dengan
rancangan Cross Sectional Study. Dimana pengambilan data menggunakan kuesioner dan data
sekunder rekam medik pasien depresi dalam beberapa tahun di berbagai rumah sakit.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase(%)

Jenis kelamin
Perempuan 104 56,5
Laki-laki 80 43,5
Kelompok Umur (tahun)
13 - 18 35 18,1
19 - 30 30 16,2
31 - 40 1 0,5
41 - 50 38 20,6
51 - 60 59 32
61 - 70 86 46,7
Pekerjaan
Tidak bekerja 15 8,15
IRT 54 29,3
Pedagang 30 16,3
Wiraswasta 21 11,4
Pensiuanan 43 23,4
Karyawan swasta 4 2,2
PNS 17 9,2
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah 11 6
SD 31 16,8
SMP 31 16,8
SMA 44 23,9
Diploma 2 1,08
Sarjana 65 35,3
Jumlah 249 100
Faktor-faktor yang berhubungan dengan depresi

1. Ekonomi
Analis hubungan antara status pendapatan dan kejadian depresi menjelaskan bahwa lansia yang
berpenghasilan tidak tetap 62,9 % menderita depresi, sedangkan yang berpenghasilan tetap hanya
37,1 % akan tetapi uji statistik menjelaskan tidak adanya hubungan yang bermakna antara status
penghasilan dan kejadian depresi1
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Kessler (1994 dalam Culbeston,1997), yang
mengatakan bahwa kejadian depresi tidak berhubungan dengan penghasilan. Pendapat berbeda
dikemukakan oleh Danesh dan Lendeen (2007), yang mengatakan bahwa pendapatan yang tidak
tetap dengan rata-rata kurang dari standar pendapatan minum berhubungan dengan terjadinya
depresi. Pendapat senada dengan Danesh dan Landeen juga sejalan hasil dengan penelitian
Strawbridge et al (2002), yang mengatakan lansia yang memiliki gangguan pendapatan berpeluang
menderita depresi 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki masalah keuangan. Hal ini
di dukung oleh pendapat Raphael (2000) yang menyebutkan bahwa depresi terjadi sebagai akibat
dari kemiskinan. Pendapatan yang tidak tetap dan rendah merupakan faktor risiko terjadinya
depresi (Cassel et al,2003; Mauk, 2010).2
Penghasilan tetap dan cukup merupakan salah satu komponen yang dapat meningkatkan self
esteem lansia, sehingga dapat menjadi faktor yang dapat mengurangi risiko terjadinya depresi
(Lee,1999). Menurut Pei, Xiaomei dan Hui (2009), tidak adanya hubungan antara pendapatan dan
depresi.1
Orangtua diharapkan dapat membantu anaknya dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya untuk mengatasi masalahnya secara realistis dan simpati. Oleh karena itu, keluarga
sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai positif pada anak. Status sosial ekonomi
orangtua terkadang mempengaruhi perilaku seorang anak dalam keluarga, misalnya, anak yang
berdasarkan ekonomi orang tuanya cukup berada, biasanya hanya bersenang-senang dan berfoya-
foya. Sehingga banyak anak yang berasal dari golongan mampu bersifat konsumtif atau boros,
karena seperti diketahui bahwa keluarga merupakan lingkungan atau tempat pertama terjadinya
proses pembentukan diri seorang anak.4,5
Status sosial ekonomi orang tua juga diperlukan dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarga
agar kehidupan keluarga tetap berlangsung dan selain itu juga berpengaruh terhadap
berlangsungnya fungsi keluarga sebagai unit sosial ekonomi yang membentuk dasar kehidupan
sosial ekonomi bagi anak-anaknya4,5

Tabel 2. Gambaran Perbandingan antara Ekonomi dan Persentase yang Mengalami Depresi

Ekonomi Persentase %

Penghasilan tetap 37,1 %

Penghasilan tidak tetap 62,9 %

2. Pekerjaan
Bekerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan individu untuk mencapai suatu
kesejahteraan dan kelangsungan hidup. Dengan bekerja, disamping individu bisa mendapatkan
penghasilan dan fasilitas, bekerja juga merupakan suatu status sosial untuk memperoleh kepuasan
serta kebanggaan tersendiri. Pada saat individu memperoleh suatu prestasi dari pekerjaannya,
individu akan mengaktualisasikan secara optimal kemampuan dan kreativitas yang dimiliki
sehingga memperoleh suatu penghargaan yang baik dalam tempatnya bekerja. Akan tetapi, ada
saatnya seseorang yang bekerja akan pensiun dari pekerjaannya karena setiap perusahaan atau
organisasi mempekerjakan karyawan sampai batas usia tertentu.8
Ketakutan dalam menghadapi masa pensiun membuat banyak orang mengalami masalah serius
baik dari sisi kejiwaan maupun fisik. Pada individu dengan kondisi kejiwaan yang stabil, konsep
diri positif, rasa percaya diri kuat serta didukung oleh keuangan yang cukup, maka individu
tersebut akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan kondisi pensiun tersebut. Namun individu
yang mengalami problem saat pensiun biasanya justru mereka yang memiliki kondisi mental yang
tidak stabil, konsep diri yang negatif dan rasa kurang percaya diri terutama berkaitan dengan
kompetensi diri dan keuangan.8
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan pihak yang paling takut menghadapi masa pensiun.
Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian daerah, Batas Usia Pensiun (BUP) bagi PNS adalah 56
tahun. Pegawai Negeri Sipil yang memasuki masa pensiun, baik sukarela maupun terpaksa,
menyebabkan hilangnya identitas peran. Tuntutan hidup yang terus mendesak dan dirinya adalah
satu-satunya penopang hidup keluarga, menyebabkan risiko terjadinya depresi semakin besar.8
Menurut seorang ilmuwan terkemuka yaitu Aaron T.Beck, depresi adalah gangguan mood,
konsep diri yang negatif yang berlanjut pada perasaan rendah diri, gangguan terhadap fungsi
fisiologis, dan kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir,
berperasaan dan berperilaku) seseorang.Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2007 yang
diadakan Departemen Kesehatan RI, gangguan depresi dialami sekitar 11,6% dari populasi
Indonesia (24.708.000 orang) yang usianya di atas 15 tahun. Sebagaimana yang dikutip Eliana,
penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe bahkan, mengungkapkan bahwa masa pensiun
menempati rangking 10 besar untuk posisi depresi. Beberapa studi secara konsisten melaporkan
antara 3033% pensiunan menyatakan berbagai perasaan negatif menjadi pensiunan. Penelitian
terhadap lansia dengan menggunakan Geriatric Scoring System (GSS), didapatkan 14% lansia
mengalami depresi akibat pensiun. 8

Tabel 3. Hubungan Perbandingan antara Pensiunan dan Depresi

Pekerjaan Persentase

33%
Pensiun
27%
Belum pensiun

3. Pola asuh
Pengasuhan adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, mempimpin, atau
mengelola. Menurut derajat mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak
tersebut, memberikan makan, minum, pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode yang
pertama sampai dewasa.6
Perkembangan anak juga di pengaruhi oleh simulasi dan psikologis. Rangsangan/ stimulasi
khusunya dalam keluarga, misalnya dengan menyediakan alat permainan, sosialisasi anak,
keterlibatan ibu dan anggota keluarga yang lain akan mempengaruhi anak dalam mencapai
perkembangan yang optimal. Jika seorang anak mendapatkan pola asuh yag salah ataupun kurang
kurang perhatian dari orang tua maka pertumbuhan dan perkembangannya akan akan mengalamin
hambatan dan sangat berpengaruh pada psikis anak tersebut.6
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam mengasuh
putra-putrinya. Hasil dari pola asuh orang tua sangat berperan pada pekira dan perilaku seorang
anak. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang tua dapat merealisasikan dan menciptakan situasi
dan kondisi yang di hayati oleh anak-anaknya gar memilki dasar dalam pengembangan diri.6

Tabel 4. Hubungan antara Pola Asuh dengan Persentase Depresi

Pola Asuh Ringan Sedang

10.0 % 9%
Otoriter
86,7 % 11 %
Demokratis
15 % 15 %
Permisif
83,8 6%
Campuran

4. Usia
Depresi pada lansia dapat muncul dalam bentuk keluhan fisis seperti insomnia, kelemahan
umum, kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala. Gejala-gejala tersebut
sering mengacaukan diagnosis depresi pada lansia dikarenakan dokter menganggap gejala tersebut
normal unttuk lansia. Hal ini mengakibatkan depresi pada lansia lebih sulit dideteksi. Namun
diagnosis awal dan terapi segera terhadap depresi pada pasien geriatri dapat meningkatkan kualitas
hidup, status fungsional dan mecegah kematian dini. Terdapat beberapa cara untuk menegakkan
diagnosis depresi, menurut DSM-IV atau menurut ICD-10. Penggunaaan DSM IV tidak spesifik
dan dianjurkan dengan skala Depresi Khusus Usia Lanjut (Geriatric Depression Scale) atau skala
penilaian depresi Hamilton (Hamilton Rating Scale).
Salah satu teori tentang etiologi depresi adalah teori neurobiologi yanng menyebutkan bahwa
ada peranan faktor genetik dalam hal ini. Beberapa penelitian genetika menunjukkan bahwa risiko
depresi merupakan hasil dari pengaruh beberapa gen bersama faktor lingkungan. Penelitian
keluarga menemukan bahwa sanak saudara sederajat pertama dari penderita gangguan depresif
berat memiliki kemungkinan 2-3 kali lebih besar untuk menderita gangguan depresif berat.7
Ada perubahan-perubahan perkembangan baik fisik maupun hormonal dialami remaja. Remaja
perempuan lebih cepat masak daripada remaja laki-laki, akibatnya perempuan lebih awal
mengalami perubahan perkembangan. Perubahan hormonal yang mengakibatkan perubahan pada
tubuh, membuat remaja perempuan mudah merasa tertekan, dibanding laki-laki. Steinberg (2002)
menemukan fakta bahwa ternyata perempuan lebih rentan terhadap pengaruh genetik daripada
laki-laki, sehingga remaja perempuan yang orangtuanya mengalami depresi, cenderung lebih
rentan mengalami depresi dibandingkan remaja laki-laki yang mempunyai orangtua depresi. Di
sisi lain, Dacey dan Kennedy (1997) melaporkan bahwa ada perbedaan kejadian-kejadian menekan
yang dialami oleh remaja perempuan dan laki-laki. Remaja perempuan, pada usia 12 tahun sampai
14 tahun lebih banyak mengalami kejadian negatif sehari-harinya dibanding remaja laki-laki, dan
remaja perempuan lebih merasa tertekan dengan problem keluarga, seperti : perceraian, dan
kematian orangtua. Menurut Kendal & Hammen (1998) terjadinya perbedaan depresi diantara
remaja perempuan dan laki-laki disebabkan oleh adanya perbedaan dalam cara menghayati dan
mengekspresikan gangguan psikologis itu sendiri. Perbedaan ini menyangkut cara
mengekspresikan konflik dan kekecewaan mereka. Di sisi lain, kebanyakan masyarakat memiliki
standar dan harapan yang berbeda pada perilaku yang ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki.7

Tabel 5. Hubungan antara Usia dan Persentase Depresi

Laki-laki Perempuan
Usia
35 % 60 %
Dibawah 14 tahun
65 % 40 %
Diatas 14 tahun

5. Adat budaya
Lansia di luar Amerika dan Eropa memiliki kecenderungan lebih rendah mengalami depresi,
karena budaya yang memberikan peran terhadap keluarga dalam merawat lansia (Kleinman, 2004).
Saat ini kecenderungan itu berubah dan lebih membahayakan akibat pergeseran budaya yang cepat
dan belum bisa diadaptasi oleh lansia, terutama dinegara-negara berkembang (Widnya, 2008). Di
negara berkembang, pola budaya hubungan masyarakat cenderung komunal dan collective. Model
ini berdampak pada adanya bentuk hubungan sosial yang baik, yang merupakan salah satu faktor
yang dapat memproteksi terjadinya depresi (Walen dan Lachman, 2000).1
Penelitian tentang depresi yang berbasis adat dan budaya menunjukkan bahwa kaum
minoritas dan masyarakat miskin memiliki risiko lebih banyak menderita depresi ( Klienmen,
2004; Ahmed dan Bhugra, 2007). Menurut Tanaka dan Matsuni (2001 dalam Stewart et al, 2004),
etnis terkait budaya memegang peranan yang sangat penting dalam mengurangi
ketidakharmonisan yang dapat memicu depresi. Etnis asia cenderung mengalami depresi lebih
rendah akibat budaya keluarga, dimana salah satu anak bertanggungjawab terhadap orang tua.
Etnis yang memiliki self efficacy tinggi, kekerabatan kuat diperkirakan memiliki social support
yang kuat sehingga dapat menjadi faktor pencegah depresi (Stewart et al, 2004).1

Table 6. Hubungan antara Adat Budaya dengan Tingkat Depresi

Persentase depresi
Daerah

Asia 15 %

Luar asia 40 -50 %

6. Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia yang tidak sekolah 59,6 % menderita depresi,
sedangkan yang bersekolah hanya 17,4 %. Pendidikan memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian depresi. Lansia yang tidak bersekolah berpeluang menderita depresi 7 kali dibanding yang
bersekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang ditemukan oleh Danesh dan Landeen ( 2007),
yang mengatakan ada hubungan yang sangat bermakna antara pendidikan dengan kejadian depresi.
Hasil yang hampir sama juga ditemukan pada penelitian Strawbridge et al (2001), dimana 8,7 %
lansia yang berpendidikan < 12 tahun menderita depresi.1
Secara umum diketahui bahwa pendidikan merupakan modal awal dalam pengembangan
kognitif, dimana kognitif dapat menjadi mediator antara suatu kejadian dan mood (Beck et al,1997
dalam Stewart,2004), sehingga kurangnya pendidikan dapat menjadi faktor risiko lansia menderita
depresi ( Khan, et al,2009). Secara umum diketahui bahwa jumlah lansia yang tidak bersekolah
hingga lulus SD, lebih tinggi dibandingkan yang pernah mengenyam pendidikan hingga lulus SD.
Kondisi ini kemungkinan menjadi sebab kurangnya kemampuan lansia di Kecamatan Karangasem
dalam menemukan solusi dalam mengatasi masalah kehidupannya, sehingga banyak yang
menderita depresi.1
Tabel 7. Hubungan antara Pendidikan Lansia dengan Persentase Depresi

Pendidikan Persentase

Sekolah 59,6 %

Tidak sekolah 40,4 %

Kesimpulan

Gangguan mood adalah suatu kelompok kondisi klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan
kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Gangguan mood terdiri dari episode
yang mendasari gangguan tersebut, yaitu episdoe depresi, manik, campuran, dan hipomanik.

Gangguan mood dikatakan sebagai Gangguan Depresif Mayor apabila terdapat lima atau
lebih gejala dari episode terdepresi tanpa ada gejala episode manik, campuran, maupun hipomanik.
Gangguan ini tidak memenuhi kriteria episode campuran, serta tidak disebabkan oleh efek suatu
zat maupun akibat kondisi medis umum.

Selain gangguan mood di atas, terdapat sebuah klasifikasi gangguan mood lainnya, yaitu
apabila disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan bila merupakan efek fisiologis langsung
dari pengguanaan suatu zat. Prognosis gangguan mood pada umumnya cukup baik. Dengan
pemberian terapi yang tepat yang disertai dukungan penuh dari keluarga dapat membantu
penderita gangguan mood untuk sembuh dan kembali menjalani fungsinya seperti biasanya.
Daftar Pustaka

1. Ade C.F dan Dewi A.H. Pengaruh Status Social Ekonomi Orangtua terhadap Perilaku Anak
(study di SMA Negri 4 Bandar Lampung);2011. hal:263-268
2. Abdur R. Hubungan antara Tingkat Stress dan Status Social Ekonomi Orangtua dengan
Perilaku Merokok pada Remaja;2012. hal:2-16.
3. Finna D.P, Amel Y dan Elmatris. Prevalensi Depresi pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil
yang mengambil Dana Pensiun di bank BTPN Cabang M.Yamin Padang; 2015. hal:382-385.
4. Debby A.D dan Nana Z.S. Perbedaan Psikologikal Well-Being antara Wanita Menopause
yang Bekerja dan Tidak Bekerja; 2013. hal:50-58.
5. Yuhanda S dan Eny H. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Depresi
Remaja di SMK 10 November Semarang; 2010. hal:12-15
6. Nefi Darmayanti. Gender dan Depresi pada Remaja; 2012. hal:164-179
7. Meta A.W.S dan Endang S.I. Hubungan antara Dukungan Social dengan Depresi pada Lanjut
Usia yang Tinggal di Panti Werda Wening Wardoyo Jawa Tengah; 2011. hal:66-70
8. Suwardana I.W.Hubungan Factor Sosiodemografi, Dukungan Social dan Status Kesehatan
dengan Tingkat Depresi pada Agregat Lanjut Usia di Kecamatan Karang Asem, Kabupaten
Karang Asem Bali; 2011. hal:95-129

Anda mungkin juga menyukai