Anda di halaman 1dari 3

BAB ll

1.Depresi pada lanjut usia


Depresi adalah gangguan mental dengan penampilan mood yang terdepresi, kehilangan minat
atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur atau
nafsu makan, dan kurang konsentrasi. Pada lansia, depresi merupakan salah satu penyakit
mental yang sering terjadi.Kaplan dan Sadock (1997) mengungkapkan bahwa gejala depresi
ditemukan pada 25% dari semua penduduk komunitas lanjut usia dan pasien rumah
perawatan (home nursing care). Kerentanan seorang lansia terhadap kejadian depresi tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal, namun multifaktorial, yaitu faktor biologis, fisis,
psikologis, dan sosial. Depresi pada lansia dapat muncul dalam bentuk keluhan fisis seperti
insomnia, kelemahan umum, kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala.
Gejala-gejala tersebut sering mengacaukan diagnosis depresi pada lansia dikarenakan dokter
menganggap gejala tersebut normal unttuk lansia. Hal ini mengakibatkan depresi pada lansia
lebih sulit dideteksi. Namun diagnosis awal dan terapi segera terhadap depresi pada pasien
geriatri dapat meningkatkan kualitas hidup, status fungsional dan mecegah kematian
dini.Terdapat beberapa cara untuk menegakkan diagnosis depresi, menurut DSM-IV atau
menurut ICD-10. Penggunaaan DSM IV tidak spesifik dan dianjurkan dengan skala Depresi
Khusus Usia Lanjut (Geriatric Depression Scale) atau skala penilaian depresi Hamilton
(Hamilton Rating Scale).
2. Etiologi
Penyebab depresi sangat kompleks, yaitu penyebab eksternal dan penyebab internal, tetapi
lebih sering merupakan hasil kombinasi dari keduanya. Berat ringannya depresi tergantung
pada kepribadian mental, kematangan individu, progresifitas penyakit fisik, dan tingkat
pendidikan.Hingga saat ini etiologi depresi yang pasti belum diketahui. Terdapat beberapa
faktor predisposisi yang telah diketahui berkaitan dengan terjadinya depresi, yaitu antara lain
faktor genetik.
Faktor ini berperan secara sangat kompleks dalam perkembangan gangguan mood.Pada
penelitian mengenai depresi dalam keluarga diperoleh bahwa generasi pertama berpeluang
lebih sering dua sampai sepuluh kali mengalami depresi berat.Penelitian yang berhubungan
dengan anak kembar mengemukakan bahwa kembar monozigot berpeluang sebesar 50%,
sedangkan kembar dizigot sebesar 10-25%. Mengenai faktor neurobiologik, adanya
perubahan neurotransmiter otak, yaitu antara lain: norepinefrin, serotonin, dopamin, dan juga
menurut teori amina biogenik, depresi disebabkan karena defisiensi senyawa monoamin,
terutama noradrenalin dan serotonin). Juga perlu dipertimbangkan peran faktor psiko-sosial
(peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan) dan faktor kognitif(BalloKaunang,
Munayang, & Elim, 2012).
3. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek
yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai
penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan
kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi,
kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan,peningkatan isolasi diri,
keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010), sedangkan menurut
Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan
hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit
fisik (Kane, 2001).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor
lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan
dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan
mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010).
Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor
kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) menemukan bahwa hubungan partisipasi
sosial kurang, partisipasi sosial cukup, dan gangguan fungsional sedang dengan kejadian
depresi pada lanjut usia di panti wreda mendapatkan nilai p<0,05, sehingga dinyatakan semua
faktor risiko yang diteliti ada hubungan dengan kejadian depresi pada lansia. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa status perkawinan orang tua, jumlah sanak saudara, status sosial
keluarga,perpisahan orang tua, perceraian, fungsi perkawinan atau struktur keluarga banyak
berperan dalam terjadinya gangguan.
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi lansia, telah ditunjukkan dalam sebuah
penelitian oleh Saputri dan Indrawati (2012), bahwa dukungan sosial memiliki korelasi
negatif yang tinggi dan bermakna terhadap timbulnya gejala-gejala depresi lanjut usia.
Depresi terjadi lebih banyak pada umur yang lebih tua dan dukungan keluarga yang rendah.
Faktor-faktor psikososial usia lanjut merupakan permasalahan yang sangat rawan membebani
kehidupannya yang pada gilirannya dapat mempengaruhi gangguan fisik, sosial, dan
mentalnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Manabung (2006) juga menunjukkan bahwa
terjadinya stres pada psikososial adalah dapat disebabkan oleh takut akan datangnya kematian
namun dukungan sosial keluarga memiliki pengaruh yang lebih tinggi. Stanley dan Beare
(2007) menyebutkan bahwa terjadinya depresi pada lansia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti gangguan
fisik, isolasi sosial dan kesepian, sikap dari lanjut usia, penyangkalan, dan pengabaian
terhadap proses penuaan normal. Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang
terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan
paranoid (kepribadian yangmemakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai
resiko yang rendah (Kaplan, 2010). Kepribadian dasar seseorang amat ditentukan pada masa
kanak-kanak. Salah satunya adalah lingkungan sosial. Peristiwa tidak menyenangkan pada
masa kecil dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang ketika ia dewasa
(Santoso dan Ismail, 2009). Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan,
2010). Upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010)
mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Kaplan (2010)
menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena
identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan
cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau
depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri
yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan
mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian. Faktor kognitif.
Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi
negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan.
Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).

Anda mungkin juga menyukai