Anda di halaman 1dari 8

INTOKSIKASI KARBAMAT

I. Pendahuluan

Istilah "bahan kimia pertanian" sebagian besar telah digantikan dengan istilah
"pestisida," didefinisikan sebagai racun ekonomis, diatur oleh undang-undang federal dan
negara bagian, yang digunakan untuk mengontrol, membunuh, atau mengusir hama.
Berdasarkan senyawa yang dirancang, pestisida dikelompokkan menjadi beberapa kategori
primer kelas pestisida yang digunakan saat ini adalah Fumigan, fungisida, herbisida, dan
insektisida.

Insektisida adalah racun serangga yang banyak dipakai dalam pertanian, perkebunan,
dan dalam rumah tangga. Penggolongan insektisida adalah hidrokarbon terkhlorinasi,
inhibitor kolinesterasi, dan lain-lain. Insektisida golongan inhibitor kolinesterasi terbagi atas
golongan fosfat organic dan karbamat.

Penggunaan pestisida golongan karbamat di Indonesia relatif baru terutama setelah


pelarangan penggunaan dan peredaran sebagian besar pestisida golongan organokhlorin
(OC). Insektisida golongan karbamat yang umum digunakan dalam kegiatan pertanian adalah
karbofuran (Furadan), aldikarb (Temik) dan karbaril (Sevin). Bila penggunaan insektisida
dilakukan sesuai aturan dapat memberikan keuntungan, tetapi bila tidak, akan menimbulkan
kerugian seperti keracunan, gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan dan residu pada
produk pangan. Berdasarkan monitoring penggunaan karbamat di Pulau Jawa terdeteksi
residu karbofuran pada tanah sawah (0,8 56,3 ppb), air sawah (0,1 5,0 ppb), beras (tt 5,0
ppb), kedelai (1,2 610 ppb); pakan ternak (12 102 ppb); daging sapi (110 269 ppb); dan
serum sapi potong (167 721 ppb). Beberapa sampel pangan tersebut mengandung residu
karbofuran yang melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi
Nasional (BSN). Keberadaan residu karbofuran dalam produk pangan tersebut perlu menjadi
perhatian mengingat karbamat merupakan pestisida yang bersifat toksik bagi kesehatan
masyarakat dan ternak.

II. Definisi

Secara umum, pestisida pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1970-an
bertepatan dengan pelaksanaan program intensifikasi pertanian padi dan tanaman pangan lain
yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas. Sepuluh tahun kemudian pada awal tahun
1980-an, Indonesia menjadi negara ketiga terbesar dalam menggunakan pestisida untuk
kegiatan tanaman pangan setelah Cina dan India, dan antara tahun 1989 sampai 1993
peningkatan penggunaan pestisida terjadi untuk seluruh tanaman. Berdasarkan golongannya,
pestisida dikelompokkan menjadi golongan OC, OP dan karbamat yang masingmasingnya
memiliki toksisitas yang berbeda.

Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai
nematosida dan akarisida. Golongan karbamat pertama kali disintesis pada tahun 1967 di
Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan. Umumnya karbamat digunakan untuk
membasmi hama tanaman pangan dan buah-buahan pada padi, jagung, jeruk, alfalfa, ubi
jalar, kacang-kacangan dan tembakau. Dengan dilarangnya sebagian besar pestisida golongan
organokhlorin (OC) di Indonesia, maka pestisida golongan organofosfat (OP) dan karbamat
menjadi alternatif bagi petani di dalam mengendalikan hama penyakit tanaman di lapangan.

SADJUSI dan LUKMAN melaporkan bahwa insektisida golongan karbamat yang


banyak digunakan di lapangan terdiri dari jenis karbofuran, karbaril dan aldikarb. Sementara
itu, beberapa jenis pestisida golongan karbamat yang umum digunakan pada lahan sawah
irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah antara lain karbaril (Sevin), karbofuran (Furadan
dan Curater), tiodikarb (Larvin) dan BPMC/Butyl Phenyl-n-Methyl Carbamate
(Bassa, Dharmabas dan Baycarb).

III. Farmakokinetik

Inhibitor kolinesterase diabsorbsi secara cepat dan efektil melalui oral, inhalasi,
mukosa dan kulit. Setelah diabsorpsi sebagian besar diekskresikan dalam urin, hampir
seluruhnya dalam bentuk metabolic. Metabolic dan senyawa aslinya didalam darah dan
jaringan tubuh terikat pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat dalam
metabolism senyawa organosfosfat. Selang waktu antar absorbsi dengan ekskresi bervariasi.

IV. Farmakodinamik

Setelah masuk dalam tubuh akan mengikat enzim asetil kolinesterase (AChE),
sehingga AChE menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetil kolin. Asetil kolin bekerja pada
ganglion simpatis dan parasimpatis, receptor parasimpatik, neuromuscular junction,
neurotransmitter, sel-sel saraf dan medulla kelenjar suprarenal. Keadaan ini akan
menimbulkan efek yang luas.
Potensiasi aktifitas parasimpatik post ganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil,
stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontaksi otot brochial,
kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrioventikular dihambat.
Depolarisasi yang menetap pada otot-otot rangka, sehingga mula-mula terjadi fasikulasi yang
disusul dengan blok neuromuscular dan paralisis. Mula-mula stimulasi disusul dengan
depresi pada sel SSP, sehingga menghambat pusat pernapasan dan pusat kejang.

Stimulasi dan blok yang bervariasi pada ganglion, sehingga tekanan darah dapat naik
atau turun serta dilatasi atau miosis pupil. Kematian disebabkan kegagalan pernapasan dan
blok jantung. Takaran fatal untuk golongan karbamat, aldicarb 0,9-1mg/kgBB dan propoxur
95mg/kgBB.

V. Penggunaan Karbamat

Penggunaan pestisida golongan karbamat di Indonesia relatif baru setelah sebagian


besar pestisida dari golongan OC dilarang penggunaan dan peredarannya antara tahun 1977
s/d 1994. Bila penggunaan pestisida dilakukan sesuai aturan akan memberikan keuntungan
yang tinggi di mana tanaman terhindar dari serangan penyakit dan hama, tetapi bila terjadi
kesalahan penggunaan dapat menimbulkan pengaruh terhadap produktivitas seperti
keracunan, gangguan kesehatan pada hewan nontarget, pencemaran lingkungan dan residu
pada produk pangan.

Pencemaran pestisida pada lingkungan umumnya merupakan dampak penggunaan


pestisida secara intensif dan berlebihan dalam kegiatan pertanian. Penggunaan pestisida
ternyata memiliki kelemahan-kelemahan seperti efek toksik (keracunan) terhadap kesehatan
manusia dan ternak yang bukan target utamanya serta menimbulkan pencemaran lingkungan.
Dari ketiga golongan pestisida tersebut, golongan OP dan karbamat bersifat sangat toksik
pada hewan non-target meskipun kedua golongan ini mudah terurai di alam bebas maupun
dalam mata rantai makanan.

VI. Tanda dan gejala keracunan Karbamat

Keracunan karbamat merupakan efek nikotinik dan parasimpatetik yang dihasilkan


akibat hambatan asetilkholinesterase di dalam sistem syaraf somatik dan autonom perifer.

Keracunan karbamat bersifat akut yang dapat terjadi melalui inhalasi, gastrointestinal
(oral) atau kontak kulit. Karbamat dapat menimbulkan efek neurotoksik melalui hambatan
enzim asetilkholinesterase (AchE) pada sinapsis syaraf dan myoneural junctions yang bersifat
reversible. Gejala klinis keracunan karbamat merupakan reaksi kholinergik yang berlangsung
selama 6 jam. Tingkat keparahannya tergantung pada jumlah karbamat yang terkonsumsi
dengan gejala klinis berupa pusing, kelemahan otot, diare, berkeringat, mual, muntah, tidak
ada respon pada pupil mata, penglihatan kabur, sesak napas dan konvulsi. Keracunan
karbamat pada manusia dilaporkan pernah terjadi di Spanyol pada tahun 1998 dengan gejala
berkeringat, tremor, myosis, gangguan pernapasan, dan muntah. Karbamat, khususnya
karbofuran dilaporkan dapat menimbulkan kanker paru-paru pada manusia.

Tanda dan gejala keracunan berdasarkan lama keracunan dan tingkat keparahan

- Pada keracunan akut, gejala-gejala timbul dalam 30 sampai 60 menit dan mencapai
puncaknya dalam 2-8 jam.
- Pada keracunan ringan tampak anoreksi, sakit kepala, pusing, lemah, gelisah, tremor
lidah dan kelopak mata, miosis dan penglihatan kabur.
- Pada keracunan sedang, mual, salvias, lacrimasi, kejang perut, muntah, banyak
keringat, nadi lambat, dan fasiculasi otot-otot.
- Pada keracunan berat, diare, pupil pin point dan tidak bereaksi, pernapasan sukar,
edema paru, sianosis, kendali sfingter hilang, kejang, koma, dan blok jantung.
- Pada keracunan kronik, tidak akan timbul keracunan kronik.

VII. Penanganan

Penangann pada keracunan akut

Tindakan darurat :
- Berikan sulfas atropine dalam dosis tinggi.
- Pernapasan buatan dan oksigen. Pernapasan buatan mulut kemulut tidak boleh
dilakukan.
- Kulit yang terkontaminasi dicuci dengan air dan sabun, dan dilakukan sebelum
timbul gejala atau setelah gejala terkontrol dengan atropine.
- Bilas lambung atau emetika. Bila gejala-gejala belum timbul, lakukan bilas
lambung dengan air hangat atau induksi muntah dengan sirup ipekak.
- Laksativa, magnesium sulfat 25 gr dalam 1 gelas air. Castrol oil merupakan
kontaindikasi karena dapat mempermudah larutnya racun.
- Pemberian antidotum : sulfas atropine, 2 mg IM dan diulang tiap 3-6 menit
sampai timbul tanda atropinisasi (wajah merah, mulut kering, dilatasi pupil
dan nadi cepat). Pertahankan atroinisasi dengan mengulang pemberian
atropine 2 mg. Pemberian atropine sebanyak 12 mg dalam 2 jam pertama
cukup aman. Terapi atropine yang terputus akan segera disusul dengan
kegagalan pernapasan. Takaran sulfat atropine untuk anak-anak adalah 0,04
mg/kgBB. Bila timbul taki kardi hebat dapat diberi propanolol.
- 2-PAM harus diberikan secepatnya karena dapat timbul aging phenomen,
yaitu keadaan dengan ikatan insektisida AChE telah mengalami dialkilasi
sehingga 2-PAM tidak lagi dapat melepaskan ikatan tesebut. Hal ini berbahaya
karena atropine tidak memperbaiki paralisis otot-otot pernapasan.
Tindakan Umum :
- Sekresi jalan napas dikeluarkan dengan postural drainase atau dengan
penyedot kateter.
- Hindari pemakaian morfin, aminofilin, barbiturate, fenotiazin dan obat yang
menimbulkan depresi pernapasan lain.
- Kejang-kejang diatasi dengan obat anti kejang.
Prognosis
Pada keracunan saat kritis adalah 4-6 jam pertama. Pengobatan yang tepat sangat
menentukan.

VIII. Pemeriksaan kedokteran forensic

Pada kasus kematian akibat keracunan, Pasal 133 (1) KUHAP, berbunyi : dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peistiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwewenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan
atau ahli lainnya, pengertian atau batasan racun itu sendiri tidak dijelaskan, dengan demikian
dipakai pengertian racun yang telah disepakati oleh para ahli.

Tugas dokter ahli forensic dan atau ahli toksikologi forensic pada pemeriksaan di TKP antara
lain :

1. Menentukan apakah korban masih hidup atau sudah meninggal.


2. Bila masih hidup, segera dilakukan pertolongan secepatnya.
3. Mengumpulkan barang bukti atau bahan-bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan
toksikologi, misalnya:
- Sisa-sisa bahan yang telah dimakan atau diminum.
- Bahan lain (missal obat) yang berada dekat disekitarnya dan diduga sebagai
bahan penyebab keracunan.
- Bahan muntahan.
- Hasil cucian lambung, urin, darah dan feses (apabila sempat dirawat).
4. Sedapat mungkin tentukan apakah keracunan tersebut suatu peristiwa pembunuhan
atau bunuh diri.
5. Apabila korban telah meninggal dan ada permintaan visum et repertum, maka jenazah
segera diangkut kerumah sakit setelah sebelumnya diberi label dan segel.

Ditinjau dari kejadiannya, maka pemeriksaan pada peristiwa keracunan diatas dapat berupa :

1. Kecelakaan (tidak disengaja).


Dalam hal ini, keracunan umumnya bersumber pada kekurang hati-hatian korban atau
kelalaian korban maupun orang lain sehingga berakibat fatal. Dapat terjadi :
a. Di lingkungan rumah tangga
Sering terjadi pada anak-anak karena keingintahuannya akan segala apa yang ada
di sekitarnya. Keracunan dapat terjadi akibat obat-obatan, pestisida, detergent,
desinfektan. Pada orang dewasa biasanya karena kekeliruan penyimpanan,
penandaan, dan kecerobohan penggunaan bahan racun.
b. Di bidang medis
Dapat berupa kesalahan pemberian obat oleh dokter/ apoteker/ tenaga kesehatan
lainnya misalnya dalam hal :
- Kesalahan dosis obat
- Kesalahan pemberian etiket
- Kesalahan aturan pakai dan lain-lain.
c. Di lapangan pertanian
Akibat dari meluasnya pemakaian obat-obatan/ racun anti serangga tanpa di
imbangi informasi dan pengetahuan yang cukup, jelas dan terarah.
d. Di bidang industry
Terjadi karena keracunan bahan baku (yang toksik) atau hasil samping/limbah
industry
e. Penyalahgunaan obat
Merupakan sumber bermacam-macam keracunan obat, baik obat terlarang
maupun tidak. Misalnya : keracunan fatal akibat heroin, morfin, phencyclidine
(PCP). Kematiannya biasanya karena over dosis.
2. Disengaja
a. Bunuh diri
Kematian akibat keracunan akibat bunuh diri biasanya merupakan kasus
terbanyak dari kasus keracunan fatal. Untuk tujuan ini, biasanya dipilih racun
yang aksinya cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit. Contoh : gas karbon
monoksida, obat tidur, kombinasi obat tidur dan alcohol.
b. Pembunuhan
Biasanya untuk tujuan ini dipih racun yang mudah dimasukkan kedalam makanan
atau minuman calon korban, tidak berwarna, berbau, berasa untuk mencegah
kecurigaan calon korban atau pihak-pihak lain. Walaupun pembunuhan dengan
racun ini jarang ditemukan pada waktu dini, namun haruslah dipupuk kerjasama
yang baik antara pihak penyidik dengan dokter ahli forensic (patologi) dan atau
ahli toksikologi forensic yang melaksanakan pemeriksaan post mortam terhadap
korban untuk menentukan sebab dan cara kematian korban.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hodgson, Ernest. A Textbook of Modern Toxicology. Third Edition. New


Jersey: John Wiley & Sons, Inc. 2004. Page 55, 60.
2. Budiyanto, Arif, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta :
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1997. Hal 121, 123-124.
3. Munim, Abdul. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi satu. Jakarta :
Binarupa Aksara. 1997. Hal 331.
4. Hoediyanto. A., Hariadi. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Edisi
tujuh. Surabaya: FK Universitas Airlangga. Hal 132-134.

Anda mungkin juga menyukai