Bidah dalam agama Islam berarti sebuah peribadahan yang tidak pernah
diperintahkan ataupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad atau
dikerjakan oleh para sahabat, tetapi banyak dilakukan oleh umatnya.
Hukum dari bid'ah menurut pendapat para ulama Salaf adalah haram,
berdasarkan hadits dari nabi.Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru
atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti
sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan
rukunnya. Bidah menurut etimologi adalah hal baru yang disisipkan pada
syariat, setelah syariat itu sudah sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat
bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah
(mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu
perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti
perkataan anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah
mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
(Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Asy-syafiI
(pustakaimamsyafii.com), islamcendikia.com)
Apa pernah yang berani menambah atau memperbaharui ibadah semacam itu?
Jawabannya ada, yaitu Muawiyah. Dalam Sunah Rasulullah ibadah jumat
didahului dengan 2 khotbah, sedangkan sholat 2 Id didahului sholat baru
kemudian khutbah. Ibadah cara ini kemudian oleh Muawiyah diubah yaitu
tatakala sholat Id, dia melangkah ke mimbar dan memberi khotbah baru
kemudian sholat. Oleh para ulama pada masa itu telah diingatkan,
Hai Muawiyah, sungguh engkau melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah Kemudian Muawiyah menjawab,
Kalau aku khutbah setelah usai sholat maka tidak ada manusia yang akan
mendengarkan khutbahku sambil berlalu menuju ke mimbar dan ia sungguh
telah berkotbah sebelum sholat Id didirikan. Inilah bidah yang sesat itu.
Sholat dengan bahasa Indonesia, seperti yang terjadi di Jawa Timur, itu juga
bidah dholalah (sesat) karena sholat masuk ke dalam ranah ibadah mahdoh
sehingga mengubah dan menambahi aturan di dalamnya termasuk kategori
sesat. Bukankah Rasulullah sduah menggariskan Sholluu kamaa roaitumuuni
usholli sholatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku sholat. Ibadah bentuk
ini memiliki 4 prinsip, yaitu:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari
al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh
ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah
ini selama tidak ada perintah.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu
tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin
Allah(QS. 64)
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa
yang dilarang, maka tinggalkanlah( QS. 59: 7).
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini
bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal
hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri. Shalat,
adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan syariat, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun
yang ketat.
d. Azasnya taat, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah
ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan
kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus
Rasul adalah untuk dipatuhi.
Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah
segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah
ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-
prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang.
Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh
diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan
ibadah ini.
Maka segala bentuk kegiatan baik yang ditujukan untuk meraih ridho Allah
masuk ke dalam ranah ibadah ghoiru mahdoh.
Lha itu peringatan mulid nabi, isro miroj kan juga bidah tho ustadz? Betul,
itu bidah namun ia masuk ke dalam kategori sunnah hasanah (bukan sunnah
sayyi-ah). Mengapa? Dahulu Buya Hamka ketika kali pertama mendengar
aktifitas Maulid Nabi dan Isro Miroj juga mengatakan itu adalah bidah
sesuatu yang tidak pernah dijalankan oleh Rasulullah. Namun ketika beliau
menyaksikan sendiri rangkaian kegiatan tersebut yanga ternyata berisi dzikir-
dzikir kepada Allah dan mauidhoh hasanah yang mengajak umat untuk amar
maruf nahi munkar serta untuk menteladani pribadi Rasulullah dan
memikirkan kekuasaan Allah yang telah menjalankan hambaNya Muhammad
saw dari Masjidil Haram-Masjidil Aqsha-Sidratul .
Sumber :
al Bantani, Imam Nawawi, Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.
al Ghazali, Abu Hamid, 2007. Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta:
Diva Press.
ash Shiddieqy, Hasbi, 1991. Kuliah Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Syukur, Prof. Amin MA, 2003. Pengantar Studi Islam. Semarang :CV.
Bima Sakti
Alim, Drs. Muhammad, 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Orang yang berhak menerima zakat fitrah ditetapkan oleh Allah SWT dalam
Al-Quran ada delapan Golongan. Sesungguhnya sedekah sedekah (zakat)
itu hanya untuk orang orang Fakir, Miskin, Pengurus zakat (amil),orang
orang yang telah dibujuk hatinya (muallaf), Untuk memerdekakan budak
budak yang telah dijanjikan akan dimerdekakan, orang yang berhutang
(gharim) untuk dijalan Allah (sabilillah) dan untuk orang musafir (orang
yang dalam perjalanan). Yang demikian ketentuan Allah (Q.S. At taubah : 60)
Penjelasan ayat tersebut menurut imam syafii sebagai berikut :
1. Fakir, adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak
memiliki harta.
2. Miskin, adalah orang yang memiliki pekerjaan namun penghasilanya
tidak mencukupi kebutuhannya.
3. Amil, adalah panitia yang menerima dan membagikan zakat.
4. Muallaf, adalah
Orang yang baru masuk Islam karena Imannya belum teguh.
Orang Islam yang berpengaruh pada kaumnya dengan harapan agar
orang lain dari kaumnya masuk Islam.
Orang Islam yang berpengaruh di orang Kafir agar kita terpelihara
dari kejahatan orang orangkafir dibawah pengaruhnya.
Orang yang sedang menolak kejahatan dari orang orang yang anti
zakat.
5. Riqab, adalah budak yang ingin memerdekakan diri dengan
membayar uang tebusan.
6. Gharim, adalah orang yang banyak hutang, baik untuk diri sendiri
maupun untuk mendamaikan orang yang berselisih maupun untuk
menjamin hutang orang lain.
7. Sabilillah, adalah untuk kepentingan agama.
8. Ibnu sabil, adalah musafir yang kehabisan bekal.
Dalam petikan surat Maryam ayat 26 dijelaskan bahwa, Sesungguhnya aku telah Aku
telah bernazar berpuasa demi Tuhan yang Maha Pemurah, bahwasanya Aku tidak
akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini."
Sementara Pengertian puasa menurut secara syariah Islam disepakati para ulama,
yaitu menahan dari apa pun yang membatalkan puasa, disertai niat untuk berpuasa
dari terbit fajar sampai tenggelam matahari (maghrib). Ada pula sebagian ulama yang
mendefinisikan kata-kata membatalkan puasa itu sebagai perbuatan dua anggota
badan, yaitu perut dan alat kelamin.
Dalam selain agama Islam, dikenal pula kegiatan puasa. Para pendeta, misalnya
senantiasa melaksanakan puasa untuk menambah pahala, kaum Yahudi pun mengenal
puasa bicara. Puasa bagi umat Buddha dan sebagian Yahudi merupakan bagian dari
kegiatan bertapa.
Bagi umat muslim, salah satu hikmah melaksanakan puasa adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt dan memperoleh derajat yang agung di hadapan Allah Swt
berupa ketakwaan. Hal ini seperti dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
183, yang artinya, Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana telah diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertakwa.
Dan puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan
dan seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.
Puasa jenis khusus ini diambil dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hakikat
disyariatkannya puasa itu untuk sebuah hikmah meraih derajat ketakwaan dan takut
kepada Allah, sehingga dengannya orang yang berpuasa bersih jiwanya dari seluruh
kemaksiatan dan menjadi orang yang diridhai oleh-Nya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah
firman Allah Taala,
Adapun puasa super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran
yang menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Taala serta menahan hati dari
berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Taala secara totalitas
Adapun dalil-dalil tentang puasa super khusus ini adalah:
Dalil-dalil tentang jenis puasa khusus yang telah disebutkan di atas dan dalil tentang
bahwa baiknya hati adalah asas bagi baiknya anggota tubuh yang lainnya. Sehingga
ketakwaan yang asasi adalah ketakwaan hati, maka jika hikmah disyariatkannya
puasa itu adalah untuk meraih ketakwaan, maka hakikatnya, yang pertama kali
tercakup adalah ketakwaan hati, karena ketakwaan yang paling mendasar dan paling
agung adalah ketakwaan hati.
Dari An Numan bin Basyir radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
.
Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula
seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia
adalah hati (jantung) (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdur Rahman As-Sadi rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang bentuk
ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa, setelah menyebutkan firman Allah,
Sesungguhnya puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena
di dalam ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya
, :
, , , .
Yang termasuk dalam cakupan takwa (yang terdapat dalam ibadah puasa ini, pent.)
adalah bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh
Allah berupa makan, minum, bersetubuh, dan lainnya yang disenangi oleh nafsunya,
dengan niat mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan
meninggalkan perkara-perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketakwaan.
, , , :
Dan diantara bentuk-bentuk ketakwaan dari ibadah puasa ini adalah bahwa orang
yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Taala,
sehingga ia meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki
kemampuan untuk melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya.
, , , , :
Dan diantaranya juga bahwa orang yang berpuasa berarti menyempitkan jalan-jalan
setan dalam tubuhnya, karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam -alaihis
salam- di tempat aliran darah. Maka dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan
menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.
Salah satu persyaratan utama suatu dzat sebagai tuhan adalah ketika ada yang
menyembahnya. Di dalam agama apapun yang ada di dunia ini, selalu ada kegiatan
ritual khusus untuk penyembahan terhadap tuhan. Bagi para penyembah berhala
misalnya, mereka relah meskipun harus mengorbankan materi yang tidak sedikit
untuk membuat patung maupun makanan bahkan nyawa yang disediakan untuk
sesembahan. Tujuannya tentu hanya satu, yakni untuk mengagungkan
sembahan/tuhan mereka. Dalam Islam, ritual tersebut adalah Sholat. Dengan Sholat,
kita mengagungkan, mengakui, dan memintah pertolongan hanya kepada Allah SWT.
Dalam doa iftitah, kita mengucapkan Innassholati, wanusuki, wa mahyaya,
wamamati liloohi robbil alamin. Artinya sesungguhnya Sholatku, hidupku, ibadaku
dan matiku, hanya untuk Allah tuhan semesta alam. Inilah bukti nyata dari
pengakuan seorang hambah terhadap Allah SWT sebagai Tuhan. Bagaimana mungkin
kita menganggap / meyakini Allah SWT sebagai Tuhan sementara kita sendiri tidak
pernah menyembahnya. Ini tentu merupakan suatu tindakan kemunafikan terhadap
Allah SWT. Dalam Syahadat, kita mengakuinya sebagai satu-satunya tuhan yang kita
sembah. Namun kita tidak pernah mewujudkannya melalui sholat.
Segala sesuatu yang diciptakan, pasti memiliki tujuan. Tidak ada satu pun yang
menciptakan sesuatu, kalau tidak memiliki tujuan yang jelas. Di jaman modern seperti
sekarang ini, kita bisa melihat begitu banyak hasil karya cipta manusia, yang
semuanya dibuat dengan tujuan tertentu. Begitu pula Allah SWT menciptakan
manusia, semuanya telah diprogramkan dan memiliki tujuan yang begitu jelas. Dalam
Alquan, Allah SWT menjelaskan mengenai tujuan penciptaan manusia, sbb :
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.
Untuk mewujudkan tujuan penciptaan manusia tersebut, kita tentu harus
mewujudkannya dengan beribadah, salah satunya adalah Sholat. Hal ini mengingat,
kalau kita tidak melakukannya, tentu kita bisa menjadi penciptaan yang gagal.
Tentunya bukan Allah, SWT yang gagal, tetapi kita manusia yang gagal memenuhi
tujuan penciptaan tersebut. Segala sesuatu ciptaan yang gagal, tentu memiliki
konsekuensi. Jika manusia menciptakan sesuatu yang tidak berfungsi seperti yang
diinginkan, ciptaan tersebut kemudian dirusak, dimusnahkan atau ditarik dari
peredaran. Begitu pula manusia sebagai ciptaan Allah SWT, apabila gagal
mewujudkan tujuan Allah SWT
Kita pasti semua tahu atau pernah mendengar peristiwa Isra' Mi'raj. Setiap
tahun, tidak sedikit umat Islam yang memperingati Isra' Mi'raj. hal ini wajar,
mengingat peristiwa isra' Mi'raj merupakan salah satu mukzizat Nabi Muhammad,
SAW dan belum pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi di dunia ini. salah satu
dari inti Isra Mi'raj tersebut adalah turunnya perintah Shalat. Perintah tersebut
disampaikan langsung oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad,
SAW.Awalnya, Rasulullah SAW menerima perintah sholat sebanyak 50
rakaat.Namun, dengan saran Nabi Musa, AS,Rasulullah SAW meminta keringanan
hingga tinggal 5 rakaat. Jadi, wajarlah jika Sholat menjadi ibadah yang pertama kali
dihisab dan menjadi penetu diterimanya amalan - amalan ibadah kita yang lain.
Jawaban :
Memahami Makna Ibadah Haji dari berbagai Dimensi
Setiap ibadah dalam Islam memiliki dimensi hablun minallah dan hablun minannas,
dimensi hakikat dan syariat. Khusus untuk ibadah haji, terdapat dimensi memahami
dan menghayati semua dimensi tersebut.
Secara umum, tujuan pokok ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Haj
27-28, adalah agar manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar
mereka mengingat dan menyebut nama Allah.
1. Dimensi Sejarah
Melalui ibadah haji, umat Islam dapat menyaksikan secara langsung, tempat-
tempat suci dan bersejarah yang merupakan saksi abadi perjalanan hidup dan
perjuangan habibullh Muhammad Saw dan khalilullh Ibrahim As. Ketika berada
di kota Mekah, terbayang dalam imaji kita, tatkala Muhammad lahir dalam
keadaan yatim, kemudian tumbuh menjadi remaja dan pemuda di kota suci ini,dan
di sekitar Kabah ini. Terbayang ketika Muhammad muda yang bijak
memadamkan perselisihan yang hampir menyulut peperangan antar suku Arab,
karena berebut meletakkan hajar aswad pada tempatnya, memulai dakwah-
dakwahnya dalam situasi yang sangat sulit, ditolak, dicemooh, dan dilawan oleh
paman-pamannya sendiri, bahkan hendak dibunuh, sampai akhirnya hijrah ke
Madinah. Terbayang pula ketika Nabi Muhammad Saw menaklukkan Mekah,
beberapa tahun kemudian, dan juru bicaranya mengumumkan kepada penduduk
Mekah yang gemetaran menunggu hukuman: Al-yaum yaumul marhamah - hari
ini adalah haari kasih sayang, siapa saja yang masuk Masjidil Haram, ia akan
aman dan dilindungi. Siapa saja, termasuk tokoh-tokoh Musyrikin yang dulu
mengusirnya dari Mekah, yang dulu menghalanginya masuk dan beribadah di
sekitar Kabah. Dengan pengalaman rohaniah seperti ini, akan lahir solidaritas dan
tekad yang kuat untuk melanjutkan perjuangan membela Islam, dalam diri seorang
haji yang sadar dan mampu mengambil hikmah dari perjalanan hajinya. Lebih
jauh melalui manasik haji, umat Islam diajak menghayati pengalaman Nabi
Ibrahim As. bersama keluarganya. Ibadah thawaf, shalat di maqam Ibrahim dan
hijir Ismail, meminum air zamzam, sai, dan lempar jumrah, pada hakekatnya
adalah napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim As bersama
keluarganya, dalam melaksanakan perintah dan ujian dari Allah Swt. Ibrahim dan
keluarganya adalah prototipe pribadi mukmin-muslim sejati, dengan keteguhan
imandan kepasrahan iman dan kepasrahan tanpa batas kepada Allah.
Disamping itu, ibadah haji sarat dengan dimensi hablun minanns. Di musim
haji itulah terselenggara muktamar umat Islam sedunia. Di dalam Muktamar
itulah universalitas Islam dan pluralitas umat Islam mewujud dengan nyata. Di
sekeliling Kabah, di padang Arafah, atau di sekitar jamarat, berbaur umat
muhammad dari berbagai negeri yang berbeda-beda kebangsaan, kesukuan,
warna kulit, budaya, adat-istiadat, mazhab keagamaan, dan beragam strata
sosial, tapi mereka menyatu dalam talbiyah, menyatu dalam takbir, tahmid,
tasbih, istigfar, dan doa-doa.
Di sinilah nilai-nilai persamaan, ukhuwah, solidaritas, tsr, dan
tasmuh, antara saudara seiman sedang diujikan. Maka setiap tamu Allah,
yang sedang dijamu di rumah-Nya yang suci, wajib memasang niat untuk
mengokohkan silaturahim dengan sesama umat muhammad dari berbagai
penjuru dunia. Untuk itu pertama-tama harus ditanamkan husnu zhan dan
dipinggirkan suu zhan. Image tentang saudara Afrika kita yang katanya kasar
dan brutal, saudara Turki kita yang katanya suka main tabrak, saudara Pakistan
kita yang katanya suka minta uang, para sopir yang katanya suka menipu dan
minta bakhsis, hendaklah kita buang jauh-jauh. Kebaikan bukanlah monopoli
suatu bangsa. Kalau kita berbaik sangka, insyaallah kita aka dipertemukan
dengan yang baik-baik. Seusai shalat dhuhur, di sebuah tangga turun dari
tingkat dua Masjidil Haram, seorang ibu Indonesia yang bertubuh kecil jatuh
di sebuah anak tangga, di tengah himpitan jamaah wanita Turki yang bertubuh
besar. Tapi sebuah pemandangan menakjubkan seera terlihat. Ibu-ibu turki
yang selalu kompak itu secara spontan membentuk sebuah lingkaran untuk
melindungi, dan salah seorang dari mereka mengangkat ibu yang jatuh tadi.
Setelah aman sampai lantai dasar, dengan mengucapkan syukur
alhamdulillah,mereka bergantian menciumi dengan penuh kasih ibu Indonesia
yang mereka tolong tadi. Mereka tidak saling mengenal secara pribadi. Tapi
mereka merasa sebagai sesama manusia meskipun berbeda kebangsaan,
apalagi sesama orang beriman yang mengikrarkan dua kalimat syahadat.