Studi kelayakan usaha secara umum dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Tahap Penemuan ide. Pada tahap ini wirausaha memiliki ide untuk merintis usaha
barunya. Ide tersebut kemudian dirumuskan dan diidentifikasi. Misalnya peluang bisnis
apa saja yang paling memberikan keuntungan, yaitu: bisnis industri, perakitan,
perdagangan, usaha jasa, atau jenis usaha lainnya yang dianggap paling layak.
2. Memformulasikan Tujuan. Tahap ini adalah tahap perumusan visi dan misi bisnis. Apa
visi dan misi bisnis yang hendak diemban setelah jenis bisnis tersebut diidentifikasi?
Apakah misinya untuk menciptakan barang dan jasa yang sangat diperlukan masyarakat
sepanjang waktu ataukah untuk menciptakan keuntungan yang langgeng?
3. Tahap Analisis. Proses sistematis yang dilakukan untuk membuat suatu keputusan apakah
bisnis tersebut layak dilaksanakan atau tidak. Tahapan ini dilakukan seperti prosedur
proses penelitian ilmiah lainnya, yaitu dimulai dengan mengumpulkan data, mengolah,
menganalisis, dan menarik kesimpulan. Kesimpulan dalam studi kelayakan usaha hanya
dua, yaitu dilaksanakan (go) atau tidak dilaksanakan (no go).
4. Tahap Keputusan. Langkah berikutnya adalah tahap mengambil keputusan apakah bisnis
layak dilaksanakan atau tidak. Karena menyangkut keperluan investasi yang mengandung
risiko, maka keputusan bisnis biasanya berdasarkan beberapa kriteria investasi, seperti
Pay Back Period (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return, dan
sebagainya
Setelah ide untuk memulai usaha muncul, maka langkah pertama yang harus dilakukan
adalah membuat perencanaan. Perencanaan usaha adalah suatu cetak biru tertulis (blue-
print) yang berisikan tentang misi usaha, usulan usaha, operasional usaha, rincian finansial,
strategi usaha, peluang pasar yang mungkin diperoleh, dan kemampuan serta keterampilan
pengelolanya. Perencanaan usaha sebagai persiapan awal memiliki dua fungsi penting, yaitu :
Sebagai pedoman mencapai keberhasilan manajemen usaha
Sebagai alat untuk mengajukan kebutuhan permodalan yang bersumber dan luar.
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS) mendefinisikan usaha kecil dengan ukuran tenaga kerja,
yaitu 5 sampai dengan 19 orang yang terdiri (termasuk) pekerja kasar yang dibayar, pekerja
pemilik, dan pekerja keluarga. Perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja kurang dan 5
orang diklasifikasikan sebagai industri rumah tangga (home industri). Berbeda dengan
klasifikasi yang dikemukakan oleh Stanley dan Morse, bahwa industri yang menyerap tenaga
kerja 1-9 orang termasuk industri kerajinan numah tangga. Industri kecil menyerap 10-49
orang, industri sedang menyerap 50-99 orang, dan industri besar menyerap tenaga kerja 100
orang lebih.
Pada usaha kecil, manajer yang mengoperasikan perusahaan adalah pemilik, majikan, dan
investor yang me-ngambil berbagai keputusannya secara mandiri. Jumlah modal yang
diperlukan juga biasanya relatif kecil dan hanya dari beberapa sumber saja. Karena
permodalan nelatif kecil dan dikelola secana mandiri, maka daerah operasinya juga adalah
lokal, majikan dan karyawan tinggal dalam suatu daerah yang sama, bahan baku lokah dan
pemasarannyapun hanya pada lokasi/daerah tertentu. Akan tetapi, secara keseluruhan meru-
pakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lokal yang cukup besar dan tersebar.
Komisi untuk Perkembangan Ekonomi (Commity for Economic DevelopmentCED),
mengemukakan kriteria usaha kecil sebagai berikut:
1) Manajemen berdiri sendiri, manajer adalah pemilik.
2) Modal disediakan oleh pemilik atau sekelompok kecil.
3) Daerah operasi bersifat lokal.
4) Ukuran dalam keseluruhan relatif kecil.
1. Memiliki kebebasan untuk bertindak. Bila ada perubahan, misalnya perubahan produk
baru, teknologi baru, dan perubahan mesin baru, usaha kecil bisa bertindak dengan cepat
untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berubah tersebut. Sedangkan, pada
perusahaan besar, tindakan cepat tersebut susah dilakukan.
2. Fleksibel. Perusahaan kecil sangat luwes, ia dapat menyesuaikan dengan kebutuhan
setempat. Bahan baku, tenaga kerja dan pemasaran produk usaha kecil pada umumnya
menggunakan sumber-sumber setempat yang bersifat lokal. Beberapa perusahaan kecil di
antaranya menggunakan bahan baku dan tenaga kerja bukan lokal yaitu menda-tangkan
dari daerah lain atau impor.
3. Tidak mudah goncang. Karena bahan baku dan sumber daya lainnya kebanyakan lokal,
maka perusahaan kecil tidak rentan terhadap fluktuasi bahan baku impor. Bahkan bila
bahan baku impor sangat mahal sebagai akibat tingginya nilai mata uang asing, maka
kenaikan mata uang asing tersebut dapat dijadikan peluang dengan memproduksi barang-
barang untuk keperluan ekspor.
Berdasarkan pandangan para ahli di atas, jelaslah bahwa kelangsungan hidup perusahaan
baik kecil maupun besar pada umumnya sangat tergantung pada strategi manajemen
perusahaan dalam memberdayakan sumber daya internalnya
.Bahan bacaan: