Anda di halaman 1dari 28

PORTOFOLIO KASUS

Nama Peserta : dr. Juwita Dewi Pratiwi


Nama Wahana : RSI Hasanah Mojokerto
Topik : Kasus Medik Decompensatio Cordis Functional Class IV dengan Edema Paru Cardiogenic
Tanggal (kasus): 25 Januari 2017
Nama Pasien: Ny SM/ 70 th No RM:1187xxx
Tanggal Presentasi: Pendamping:
Dr.Elies
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Wanita 70 tahun datang ke unit gawat darurat dengan sesak nafas
Tujuan:Mengoptimalkan penatalaksanaan kasus DCFC IV dan edema paru kardiogenik
Bahan bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Diskusi Presentasidan diskusi E-mail Pos
membahas

Data pasien Nama: Ny SM. No RM: 1187xxx


Nama Klinik:RSI Hasanah Telp: (-) Terdaftar sejak 25 Januari 2017
Mojokerto
Data utama untuk bahan diskusi

Latar belakang
Decompensatio cordis (heart failure/Gagal jantung) merupakan suatu permasalahan medis yang
secara global semakin berkembang. WHO memperkirakan 15 juta orang di dunia meninggal akibat
penyakit jantung setiap tahun, sama dengan 30% total kematian di dunia. (Rakhman, 2010)
Pembaruan 2010 dari American Heart Association (AHA) memperkirakan bahwa terdapat 5,8
juta orang dengan gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2006 dan juga terdapat 23 juta orang
dengan gagal jantung di seluruh dunia. (Rakhman, 2010)
Hasil penelitian WHO (2002) menunjukkan bahwa 62% kasus stroke dan 49% kasus serangan
jantung disebabkan oleh hipertensi. Secara global, hipertensi diestimasikan penyebab kepada 7,1 juta
angka kematian, sekitar 13 % dari nilai total. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler khususnya
decompensasi cordis adalah 27 %. Sekitar 3 - 20 per 1000 orang mengalami decompensasi cordis, angka
kejadian decompensasi cordis meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas
60 tahun). (Rakhman, 2010)
Gagal jantung (heart failure) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi
masalah serius di dunia. American Heart Association (AHA) pada tahun 2004 melaporkan 5,2 juta
penduduk Amerika menderita gagal jantung. Di Asia tercatat 38,4% juta penderita hipertensi pada tahun
2000 dan diprediksi akan meningkat menjadi 67,4 juta orang pada tahun 2005. Menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia tahun 1995, prevalensi hipertensi untuk penduduk

1
berumur > 25 tahun adalah 8,3 %, dengan prevalensi pada laki-laki sebesar 7,4 % dan pada perempuan
sebesar 9,1 %. Berdasarkan SKRT tahun 2004, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 14 %, dengan
prevalensi laki-laki sebesar12,2% dan perempuan 15,5%. Penyakit system sirkulasi dari hasil SKRT
tahun 1992, 1995,dan 2001 selalu menduduki peringkat pertama dengan prevalensi terus meningkat
yaitu 16%, 18,9%, dan 26,4%. (Rakhman, 2010)
Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki.
Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan
pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. (Kasper, 2005)
Walaupun gagal jantung diperkirakan berkembang akibat fraksi ejeksi yang menurun pada
ventrikel kiri, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar separuh pasien yang terkena gagal
jantung memiliki fraksi ejeksi (Ejection Fraction/EF) yang normal (EF > 40-50%). Karena itu, pasien
gagal jantung sekarang dikategorikan menjadi dua kelompok : (1) gagal jantung dengan EF yang
menurun (biasanya dianggap systolic failure) atau (2) gagal jantung dengan EF normal (biasa disebut
diastolic failure). (Purwaningtyas, 2007)

Tinjauan pustaka
Decompensatio Cordis
Definisi
Gagal jantung adalah keadaan (kelainan) patofisiologi berupa sindroma klinik. Diakibatkan oleh
ketidakmampuan jantung untuk memenuhi cardiac output/ CO yang cukup untuk melayani kebutuhan
jaringan tubuh akan 02 dan nutrisi lain meskipun tekanan pengisian (filling pressure atau volume
diastolik) telah meningkat. (Purwaningtyas, 2007)

Dalam keadaan normal jantung dapat memenuhi CO yang cukup stiap waktu, pada gagal jantung
ringan keluhan baru timbul pada beban fisik yang meningkat, pada gagal jantung berat keluhan sudah
timbul pada keadaan istirahat. (Purwaningtyas, 2007)

Jantung mengalami kegagalan (dekompensatio) apabila berbagai mekanisme sudah berlebihan


(yaitu retensi garam dan air, meningkatnya resistensi perifer, hipertrofi miokard, dilatasi ventrikel,
meningkatnya tekanan atria, meningkatnya kekuatan kontraksi) tetapi jantung tidak mempertahankan
fungsinya dengan cukup. (Purwaningtyas, 2007)

Gagal jantung merupakan akhir dari suatu proses yang berkesinambungan, dimulai dari
terdapatnya penyakit jantung tanpa kelainan hemodinamik, kemudian berlanjut dengan fase preklinik
dimana sudah didapati keluhan dan tanda-tanda gagal jantung (symptomand sign). (Rakhman, 2010)

Etiologi
Setiap keadaan yang mengakibatkan perubahan pada struktur atau fungsi ventrikel kiri dapat
menyebabkan pasien terkena gagal jantung. Walaupun etiologi gagal jantung pada pasien dengan EF
yang normal berbeda dengan yang EF yang menurun, terdapat suatu etiologi yang dianggap overlap
untuk kedua keadaan ini. Pada negara industrialisasi, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu
penyebab dominant pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi
berperan pada perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Baik PJK

2
dan hipertensi dapat bekerja sama untuk meningkatkan resiko gagal jantung, begitu pula dengan diabetes
mellitus. (Rakhman, 2010)

Tabel 1 Etiologi Gagal Jantung (Purwaningtyas, 2007)

Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)


Penyakit Jantung Koroner Cardiomyopathi noniskemik dilatasi
a
Infark Myokard Kelainan genetic/familial

Iskemik Myokarda Gangguan infiltratifa

Pressure overload kronik Kerusakan akibat toxic/obat-obatan


Hipertensia Gangguan Metabolika

Penyakit katup obstruktifa Viral

Volume Overload kronik Penyakit Chagas


Penyakit katup regurgitasi Gangguan ritme
Shunting intrakardiak (left-to-right) Bradyarrhythmias kronik
Shunting extrakardiak Tachyarrhythmias kronik
Fraksi Ejeksi Normal (>4050%)
Hipertrofi Patologis Kardiomyopati restriktif
Primer (Kardiomyopati hipertrofi) Gangguan Infiltratif (amyloidosis, sarcoidosis)
Sekunder (hipertensi) Gangguan penyimpanan (hemochromatosis)
Penuaan Fibrosis
Gangguan Endomyocardial
Pulmonary Heart Disease
Cor pulmonale
Gangguan vaskuler pulmoner
Keadaan High-Output
Gangguan metabolic Peningkatan kebutuhan aliran darah berlebih
Thyrotoxicosis Systemic arteriovenous shunting
Gangguan Nutrisi (beriberi) Chronic anemia

3
Patofisiologi

Ada beberapa mekanisme gagal jantung: (Purwaningtyas, 2007)

I. Aktivasi sistem RAA (Renin Angiotensin Aldosteron)


Akibat cardiac output yang menurun pada gagal jantung terjadi peningkatan seksresi renin yang
merangsang pembentukan angiotensin II. Aktivasi sistem RAA dimaksudkan mempertahankan cairan,
keseimbangan/ balance elektrolit dan tekanan darah cukup. Renin adalah enzim yang dikeluarkan oleh
aparatus juxta glomerular yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin-I kemudian menjadi
angiotensin-II oleh angiotensin converting enzyme. ACE juga mengubah bradikinine suatu vasodilator
menjadi peptide yang tidak aktif.
Pengaruh angiotensin II :
- Vasokonstriktor kuat
- Merangsang neuron simpatis dengan akibat pengeluaran adrenalin bertambah
- Merangsang terjadinya hipertropi vaskular yang berakibat menambah resistensi perifer
meningkat yang berati afterload meningkat
- Merangsang terjadinya hipertropi miokard
- Merangsang pengeluaran aldosteron dari korteks adrenal dengan akibat reasorbsi garam dan
air pada tubulus proksimal ginjal meningkat.
II. Aktivasi sistem saraf simpatis
Meningkatnya pengeluaran katekolamin oleh adrenergic cardiac nerve dan medula adrenalis
memperkuat kontraktilitas miokard, bersama sistem RAA dan neurohormonal lain dimaksudkan untuk
mempertahankan tekanan arteri dan perfusi pada organ vital. Sistem saraf otonomik adalah sangat
penting dalam pengaturan heart rate (HR), kontraksi miokard, capacitance dan resistance vascular
bed pada setiap saat, dengan demikian mengontrol CO, distribusi aliran darah dan tekanan arterial.
Pengaturan neural ini memungkinkan perubahan-perubahan fungsi kardiovaskuler yang diperlukan
secara cepat, dalam beberapa detik, sebelum mekanisme yang lebih lambat yaitu stimulus metabolik,
katekolamin dalam sirkulasi dan sistem RAA bekerja.
Pada permulaan gagal jantung, aktivitas sistem adrenergik dapat mempertahankan CO dengan
cara kontraktilitas yang meningkat dan kenaikan heart rate, pada gagal jantung yang lebih berat terjadi
vasokonstriksi akibat sistem simpatis dan pengaruh angiotensin II dengan maksud mempertahankan
dan redistribusi CO, pada gagal jantung yang lebih berat (NYHA klas IV) terjadi peningkatan afterload
yang berlebihan akibat vasokontriksi dengan akibat penurunan stroke volume dan cardiac output.
III. Mekanisme Frank Starling
Pada semua otot bergaris termasuk miokard, kekuatan kontraksi tergantung pada panjangnya
serabut otot miofibril, makin panjang kontraksi makin kuat.
Pada panjang sarkomer 2,2 um, miofibril peka terhadap Ca++ sehingga mengahasilkan aktivasi
sistem kontraksi yang maksimal, apabila sarkomer bertambah panjang mencapai 3,65 um kepekaan
terhadap Ca++ berkurang, kontraksi juga berkurang. Pengertian tersebut merupakan dasar dari Starling

4
law of the heartI yang menyatakan bahwa dalam batas panjang miofibril tertentu, kekuatan kontraksi
ditentukan oleh volume pada akhir diastole yaitu preload
IV. Kontraksi miokard
Hipertropi miokard disertai atau tidak disertai dilatasi ruang-ruang jantung merupakan upaya
untuk menambah kontraksi ventrikel pada afterload dan preload yang meningkat
V. Redistribusi CO yang subnormal
Redistribusi dengan maksud mempertahankan oksigenasi kepada organ-organ vital yaitu jantung
dan otak, darah yang mengalir ke organ yang kurang vital seperti kulit, otot skletal, ginjal berkurang.
Redistribusi cairan (darah) terjadi pada penderita gagal jantung yang mengalami aktivitas fisik, pada
gagal jantung yang lanjut redistribusi terjadi meskipun pada istirahat. Mekanismenya melalui
deregulasi saraf simpatis bersam parasimpatis dengan akibat vasodilataso ke organ vital dan
vasokontriksi pada organ yang kurang vital untuk mempetahankan kelangsungan hidup.
VI. Metabolisme anaerobik
Perfusi ke jaringan yang menurun pada gagal jantung, terjadi metabolisme anaerobik. Banyak
jaringan terutam otot skeletal mengalami metabolisme anaerobik sebagai cadagan untuk
men`ghasilkan energi. Pada individu normal dalam latihan sedang terjadi metabolisme anaerobik
menghasilkan 5% energi yang diperlukan. Penderita dengan gagal jantung menghasilkan 30%.
VII. Arginin Vasopresin (AVP)
AVP merupakan vasokonstriktor kuat. Pada penderita gagal jantung level AVP meningkat 2 kali
dibandingkan orang normal.
VIII. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
Suatu tekanan atrial yang meningkat menghasilkan ANP. Hormon memilik efek
vasokonstriktor, retensi Na dan air, hormon adrenergik. Oleh karena itu ANP melindungi sirkulasi
dan volume dan pressure overload, ANP juga menyebabkan
Diagnosis
Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, foto
thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi. (Purwaningtyas, 2007)

Berdasarkeluhan (symptom) terdapatklasifikasifungsionaldari New York Heart Association ( NYHA)


(Mc Cance, 2006):

NYHA klas I :
Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau angina.
NYHA klas II :
Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan ringan aktivitas fisik. Merasa enak pada
istirahat. Aktivitas fisik sehari-hari (ordinary physical activity) menyebabkan kelelahan, palpitasi,
dispnoe atau angina.
NYHA kelas III :
Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan berat aktivitas fisik. Merasa enak pada

5
istirahat. Aktivitas yang kurang dari aktivitas sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau
angina.
NYHA KELAS IV :
Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun.
Keluhan timbul maupun dalam keadaan istirahat

Dibawah ini adalah kriterian diagnosis CHF kiri dan kanan dari Framingham (Mc Cance, 2006)

Kriteria mayor:
1. Paroxismal Nocturnal Dispneu
2. distensi vena leher
3. ronkhi paru
4. kardiomegali
5. edema paru akut
6. gallop S3
7. peninggian tekanan vena jugularis
8. refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. edema ekstremitas
2. batuk malam hari
3. dispneu de effort
4. hepatomegali
5. efusi pleura
6. takikardi
7. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal

Kriteria mayor atau minor (Mc Cance, 2006)

Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi


Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor harus ada pada
saat yang bersamaan.

6
Anamnesis

Gejala kardinal dari gagal jantung adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah
dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada gagal jantung, sepertinya abnormalitas otot
skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (misal anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini.
Pada tahap gagal jantung yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu deffort);
namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada
akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada gagal
jantung. Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan
interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi
pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor lain yang
berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians
pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia.
Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan
regurgitasi tricuspid. (Mc Cance, 2006)

1. Orthopnea

Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya
merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu deffort. Hal ini terjadi akibat
redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama
berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami
pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan
gejala gagal jantung yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring
dengan lebih dari 1 bantal. walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada
gagal jantung, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien
dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak. (Mc Cance,
2006)

2. Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)

Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya
terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur.
PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan
pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan
setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten
walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.

7
3. Pernapasan Cheyne-Stoke

Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stoke
umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput.
Pernapasan Cheyne-Stoke disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap
tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial
meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan,
mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stoke
dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
(Mc Cance, 2006)

4. Edema Pulmoner Akut

Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, tachynepa,
tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari perbronchial
cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous. (Mc
Cance, 2006)

Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema paru akut.
Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi katup.
Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk
infark myokard dan sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi
arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal
jantung sebagai etiologi sesak napas akut dengan edema pulmoner . (Mc Cance, 2006)

Gejala Lainnya

Pasien dengan gagal jantung dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. anorexia, nausea,
dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan
dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya
yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan
tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pasien lanjut usia
dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. nocturia umum terjadi pada gagal
jantung dan dapat berperan dalam insomnia. (Mc Cance, 2006)

Pemeriksaan fisik

Manifestasi klinis gagal jantung kanan (decompensatio dextra) antara lain: JVP meningkat, batas
jantung kanan melebar (terdapat RVH dan pulsasi epigastrium), pembesaran hati (hepatomegali),
pembesaran limpa (splenomegali), cairan di rongga perut (ascites), bengkak (oedem) pada tungkai.
(Kasper, 2005)

8
Sedangkan manifestasi klinis gagal jantung kiri (decompensatio sinistra) antara lain: sesak nafas
(dispneu, orthopneu, paroxismal nocturnal dispneu), batas jantung kiri melebar (terdapat LVH), nafas
cheyne stokes, kebiruan (cyanosis), Right Bundle Branch (RBB), dan suara S3 (gallop). (Kasper, 2005)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin

Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi akut sebaiknya
melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean nitrogen (BUN), kreatinin serum,
enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien tertentu sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada
Diabetes Mellitus (gula darah puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan
abnormaltas thyroid ( kadar TSH). (Rakhman, 2010)

2. Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme,
menentukan keberadaan hypertrophy pada LV atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG
Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolic pada LV. (Rakhman, 2010)

3. Radiologi

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, begitu
pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
Walaupun pasien dengan HF akut memiliki bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial,
dan/atau edema pulmoner, kebanyakan pasien dengan HF tidak ditemukan bukti-bukti tersebut.
Absennya penemuan klinis ini pada pasien HF kronis mengindikasikan adanya peningkatan kapasitas
limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau cairan pulmoner. (Rakhman, 2010)

4. Penilaian fungsi LV

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan menangani HF.
Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas
pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV
yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai HF dengan EF yang normal. Echocardiogram
2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat
penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan

9
volume LV. (Rakhman, 2010)

Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-
diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.
Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan
sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload.
Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium
kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi
sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%). (Rakhman, 2010)

5. Biomarker

Kadar peptide natriuretik yang bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan dalam diagnosis HF.
Baik B-type natriuretic peptide dan N-terminal pro-BNP, yang dikeluarkan dari jantung yang mengalami
kerusakan, merupakan marker yang relative sensitif untuk menentukan keberadaan HF dengan EF yang
rendah; peptide ini juga meningkat pada pasien HF dengan EF yang normal, walaupun dengan kadar
yang lebih sedikit. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa kadar peptide natriuretik juga
meningkat seiring umur dan dengan gangguan ginjal, lebih meningkat pula pada wanita, dan dapat
meningkat pada HF kanan dari penyebab apapun. (Rakhman, 2010)

6. Pemeriksaan latihan

Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien HF, namun bermanfaat untuk
menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan HF berat. (Rakhman, 2010)

Tatalaksana
Tujuan terapi untuk gagal jantung kongestif adalah meningkatkan curah jantung. Golongan obat gagal
jantung yang digunakan adalah (Purwaningtyas, 2007) :

1) Vasodilator

Gangguan fungsi kontraksi jantung pada gagal jantung kongestif, diperberat oleh peningkatan
kompensasi pada preload (volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole) dan afterload (tekanan
yang harus diatasi jantung ketika memompa darah ke sistem arteriol). Vasodilatasi berguna untuk
mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan
berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial menurunkan
resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload. Obat-obat yang berfungsi sebagai vasodilator
antara lain captopril, isosorbid dinitrat, hidralazin

a) Inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (Inhibitor ACE)

Obat-obat ini menghambat enzim yang berasal dari angiotensin I membentuk


vasokonstriktor kuat angiotensin II. Inhibitor ACE mengurangi kadar angiotensin II dalam
sirkulasi dan juga mengurangi sekresi aldosteron, sehingga menyebabkan penurunan sekresi

10
natrium dan air. Inhibitor ACE dapat menyebabkan penurunan retensi vaskuler vena dan tekanan
darah, menyebabkan peningkatan curah jantung.

Pengobatan ini sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Penggunaan inhibitor ACE
awal diutamakan untuk mengobati pasien gagal ventrikel kiri untuk semua tingkatan, dengan
atau tanpa gejala dan terapi harus dimulai segera setelah infark miokard. Terapi dengan obat
golongan ini memerlukan monitoring yang teliti karena berpotensi hipotensi simptomatik.
Inhibitor ACE ini tidak boleh digunakan pada wanita hamil. Obat-obat yang termasuk dalam
golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, dan
quinapril

b) Angiotensi II receptor Antagonists

Pasien yang mengalami batuk pada penggunaan ACE Inhibitor, dapat digunakan
angiotensin II receptor Antagonists seperti losartan dosis 25-50 mg/hari sebagai alternatif.
Losartan efektif menurunkan mortalitas dan menghilangkan gejala pada pasien dengan gagal
jantung

c) Relaksan otot polos langsung

Dilatasi pembuluh vena langsung meyebabakan penurunan preload jantung dengan


meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial mengurangi resistensi sistem arteriol dan
menurunkan afterload. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah hidralazin, isosorbid,
minoksidil, dan natrium nitropusid

d) Antagonis Reseptoris - Adrenergik

Antagonis reseptor -adrenergik yang paling umum adalah metoprolol, suatu antagonis
reseptor yang selektif terhadap 1- adrenergik mampu memperbaiki gejala, toleransi kerja fisik
serta beberapa fungsi ventrikel selama beberapa bulan pada pasien gagal jantung karena
pembesaran kardiomiopati idiopati

2) Diuretik

Diuretik akan mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer. Obat-obat ini berguna
mengurangi gejala volume berlebihan, termasuk ortopnea dan dispnea noktural paroksimal. Diuretik
menurunkan volume plasma dan selanjutnya menurunkan preload jantung. Ini mengurangi beban kerja
jantung dan kebutuhan oksigen. Diuretik juga menurunkan afterload dengan mengurangi volume plasma
sehingga menurunkan tekanan darah. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah diuretik tiazid dan
loop

3) Antagonis Aldosteron

Penggunaan spironolakton sebagai antagonis aldosteron menunjukkan penurunan mortalitas pada


pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat. Aldosteron berhubungan dengan retensi air dan

11
natrium, aktivasi simpatetik, dan penghambatan parasimpatetik. Hal tersebut merupakan efek yang
merugikan pada pasien dengan gagal jatung. Spironolakton meniadakan efek tersebut dengan
penghambatan langsung aktifitas aldosteron

4) Obat-obat inotropik

Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan meningkatkan curah
jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanisme yang berbeda dalam tiap kasus kerja
inotropik adalah akibat peningkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memacu kontraksi otot jantung

a) Digitalis

Obat-obat golongan digitalis ini memiliki berbagai mekanisme kerja diantaranya


pengaturan konsentrasi kalsium sitosol. Hal ini menyebabkan terjadinya hambatan pada aktivasi
pompa proton yang dapat menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intrasel, sehingga
menyebabkan terjadinya transport kalsium kedalam sel melalui mekanisme pertukaran kalsium-
natrium. Kadar kalsium intrasel yang meningkat itu menyebabkan peningkatan kekuatan
kontraksi sistolik. Mekanisme lainnya yaitu peningkatan kontraktilitas otot jantung, Pemberian
glikosida digitalis menngkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
volume distribusi aksi, jadi meningkatkan efisiensi kontraksi.

Terapi digoxin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri
yang hebat setelah terapi diuretik dan vasodilator. Obat yang termasuk dalam golongan glikosida
jantung adalah digoxin dan digitoxin. Glikosida jantung mempengaruhi semua jaringan yang
dapat dirangsang, termasuk otot polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum
diselidiki secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+K+ - ATPase didalam
jaringan ini.

Hipokalemia dapat menyebabkan aritmia hebat. Penurunan kadar kalium dalam serum
sering ditemukan pada pasien-pasien yang mendapatkan thiazid atau loop diuretik dan biasanya
dapat dicegah dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium karbonat. Hiperkalsemia dan
hipomagnesemia juga menjadi predisposisi terhadap toksisitas digitalis. Tanda dan gejala
toksisitas glikosida jantung yaitu anoreksia, mual, muntah, sakit abdomen, penglihatan kabur,
mengigau, kelelahan, bingung, pusing, meningkatnya respons ventilasi terhadap hipoksia, aritmia
ektopik atrium dan ventrikel, dan gangguan konduksi nodus sinoatrial dan atrioventrikel

b) Agonis -adrenergic

Stimulan - adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek inotropik spesifik


dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya ion kalsium kedalam sel miokard
meningkat,sehingga dapat meningkatkan kontraksi. Dobutamin adalah obat inotropik yang paling
banyak digunakan selain digitalis

c) Inhibitor fosfodiesterase

12
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik-AMP. Ini menyebabkan
peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat yang termasuk dalam golongan
inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan milrinon.

EDEMA PARU
Definisi

Edema paru adalah akumulasi cairan di interstisial paru dan air space paru. Edema paru terjadi
dari darah karena adanya aliran cairan keruang intertsisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, yang
melebihi aliran limfatik. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari
pembuluh darah ke ruang intertsisial. (Susetyo, 2009)

Edema paru timbul ketika alveolus dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes ke keluar.
Edema paru-paru mudah timbul jika terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru,
penurunan tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler
yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia, atau
karena gangguan lokal proses oksigenasi. (Susetyo, 2009)

Etiologi

Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus yaitu sebagai berikut. (Ingram, 2005)

1. Ketidak-seimbangan Starling Forces :


a. Peningkatan tekanan kapiler paru :
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri.
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

b. Penurunan tekanan onkotik plasma :


Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome).


a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl

13
thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.

3. Insufisiensi Limfatik :
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

4. Tak diketahui
1) High Atitude Pulmonary Edema.
2) Neurogenic Pulmonary Edema.
3) Narcotic overdose.
4) Pulmonary embolism.
5) Eclampsia
6) Post Cardioversion.
7) Post Anesthesia.
8) Post Cardiopulmonary Bypass.

Secara umum edema paru secara umum dibagi kedalam dua kelompok, secara etiologi yaitu:

1. Edema paru karena penyakit diluar jantung (Edema paru non cardiogenik)
2. Edema paru karena sebagai komplikasi penyakit jantung (Edema paru cardiogenik)

Dari beragam kasifikasi di atas, edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Udema
hidrostatik seperti pada gagal jantung, adalah akibat dari meningkatnya permeabilitas merupakan akibat
dari jejas paru, yaitu Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Udema yang sering terjadi adalah
akibat dari meningkatnya tekanan hidrostatik dan permeabilitas vaskuler.

Patogenesis Edema Paru

Patogenesis edma paru dapat dibagi menjadi dua peristiwa. Yaitu, berpindahnya cairan dari
rongga vaskuler kedalam interstisium dan masuknya cairan kedalam rongga alveolar. Dalam ruang
interstisial terdapat reseptor justakpiler yang peka terhadap pembengkakan, rangsangan pada reseptor
tersebut akan menimbulkan takipneu. Apabila tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik benar-benar
terganggu maka air akan meninggalkan ruang interstisial menuju alveoli, surfaktan akan terlepas dan
menyebabkan alveoli kolaps. Alveolus yang kolaps semula berbintik kemudian tergenang air, terjadi

14
sembab alveolar yang terisi protein dan akhirnnya juga darah. Setelah tekanan hidrostatik kapiler paru
meningkat, maka hubungan interendotel terganggu dan protein mengalir ke interstisial. Apabila hal ini
terus meningkat, maka edema akan menetap. (Hall, 2007)

1. Edema paru kardiogenik

Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ jantung.
Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak
kuat lagi memompa. (Harun, 2006)

Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh
darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang
disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arhythmia
dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep
jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-
pembuluh darah dari paru-paru. Pada akhirnya, menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah
didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar. (Harun, 2006)

Secara patofisiologis edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan
kandungan protein yang rendah ke paru. Akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar di atrium kiri,
peningkatan volume berlebihan di ventrikel kiri atau obstruksi jalur keluar dari ventrikel kiri. Dampak
akhir yang ditimbulkan adalah hipoksia berat. (Harun, 2006)

2. Edema paru non kardiogenik

Ada beberapa keadaan klinik yang berhubungan dengan edema paru yang disebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma, misal apa penyakit hati (sirosis) dan sindrom nefrotik. Tekanan intertsisial yang
menurun dengan cepat akibat pengosongan udara dalam rongga pleaura akan menimbulkan edema
pleura. Demikian pula tekanan intrapleura yang terlalu negatif akan menimbulkan edema intertsisial.
Pembendungan limfe akibat fibrosis peradangan atau keganasan dapat pula menimbulkan edema paru.
Beberapa penyebab lain misalnya infeksi, aspirasi dan syok, menimbulkan edema paru difus
berhubungan dengan hemodinamika. Beberapa penyebab edema pulmo non kardiogenik adalah sebagai
berikut (Harun, 2006):

a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS), adalah sindrom yang ditandai oleh peningkatan
permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai
kerusakan alveolar yang difus sebagai akibat dari respon peradangan yang mendasarinya, pada
alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah. ditandai
dengan distress pernafasan, hipoksemia berat, infiltrat difus pada kedua paru. Patofisiologi
ARDS adalah jejas paru difus akut yang dipicu secara langsung oleh saluran nafas (aspirasi isi
lambung atau inhalasi bahan toksik) atau secara tidak langsung yaitu melalui sirkulasi sistemi
seperti sepsis.

15
b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka
paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-
paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat menyebabkan
penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada
orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialisis mungkin perlu untuk mengeluarkan
kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke
ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau
operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan
neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary
edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau
jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada
ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang
terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
g. Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema. Overdosis
aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada aspirin
intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin
termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru
akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI),
beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

Manifestasi Klinis

Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Gejala-gejala umum lain
termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang
biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), pusing, kelemahan. Tingkat oksigen darah
yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh,
atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang
abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas). (Susetyo, 2009)

Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium. Meski secara klinik
kenyataannya sukar di deteksi (Susetyo, 2009):

Stadium 1.

Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di
paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya

16
berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.

Stadium 2.

Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian
pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan
cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah
basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat
takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada
pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.

Stadium 3.

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia.

17
Tabel 1. Perbedaan Klinis Edema Paru Cardiac dan Edema Paru Non Cardiac
Edema Paru Edema Paru Non Kardgeniki
Kardiogenik
Anamnesis Penyakit Jantung Akut Pennyakit Dasar di Jantung
Luar
Pemeriksaan klinik
Perifer : Akral dingin Akral hangat, nadi meningkat
S3 gallop/Kardiomegali: (+) (-)
JVP : Meningkat Tidak meningkat
Ronkhi : Ronkhi basah Ronkhi kering

Tes Laboratorium
EKG : Iskemia/infark Biasanya norma
Foto thoraks : Distribusi edema perihiler Distribusi edeme perifer
Enzim kardiak : Mungkin meningkat Biasanya normal

PCWP : 18 mmHg 18 mmHg


Shunt : Meningkat ringan Sangat meningkat
Intrapulmoner :
Cairan :
Edema/protein : 0,5 0,7

JVP : Jugularis Venous Pressure


PCWP :Pulmonary Capilory Wedge Pressure

Anamnesis

Edema paru kardiogenik berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal dispnea, karena
kejadiannya sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Pasien batuk-batuk
dan biasanya pada posisi duduk agar dapat mempergunakan otot bantu napas dengan baik saat respirasi,
atau sedikit bungkuk ke depan, sesak hebat disertai sianosis, berkeringat dingin, batuk dengan sputum
warna kemerahan (pink frothy sputum). (Susetyo, 2009)
18
Edema paru non kardiogenik muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan penyakit yang
mempengaruhi paru secara langsung (seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat, dan kontusio paru)
atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat, pankreatitis). (Susetyo, 2009)

Pemeriksaan Fisik

Pada edema paru kardiak ditemukan frekuensi napas yang meningkat, dilatasi alae nasi, retraksi
inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikular menunjukan tekanan negatif intrapleural yang
besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pau terdengar ronkhi basah kasar setengah lapangan
paru atau lebih sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung ditemukan protodiastolik gallop, bunyi
jantung II mengeras, dan tekanan darah meningkat. (Susetyo, 2009)

Pemeriksaan Penunjang

1) Foto toraks
Menunjukan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda-tanda bendungan paru,
akibat edema intertsisial atau alveolar.
1. Garis Kerley A : Garis-garis memanjang dari hilus kearah perifer
2. Garis Kerley B : Garis-garis sejajar dari perifer
3. Garis Kerley C : Garis-garis yang mirip sarang laba-laba pada bagian tengah paru
Hilus berkabut : batas hilus tak jelas

Gambaran berkabut atau kesuraman yang merata dari sentral dan meluas tersebar seperti kupu-
kupu (butterfly pattern) disertai garis kerley A, B, dan C. Gambaran radiologi seperti terlihat pada kedua
tipe edema paru. Pada edema paru non kardiogenik, gambaran radiologi kadang-kadang tampak normal.
(Susetyo, 2009)

Pada foto toraks edema paru non-kardiologik nampak infiltrat difus bilateral yang ringan atau
alveolar, bercak-bercak (patchy bilateral) atau konflurens. Sulit untuk membedakan foto toraks antara
ARDS dan edema paru karena gagal jantung. (Susetyo, 2009)

Gambaran Radiologi yang ditemukan :

1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)


2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

19
Gambar 1. Edema intertsisial

Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi)

Gambar 2. Kardiomegali dan edema paru


1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2. Edema Butterfly atau Bats Wing (edema sentral)

Gambar 4. Bats Wing

1. Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang memiliki kelainan
sebelumnya, contoh : emfisema)

20
2) Elektrokardiografi

EKG normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda isekemik atau infark biasanya hipertrovi
ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik non iskemik terdapat gambaran gelombang T
negatif lebar dengan QT memanjang dan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil. (Susetyo, 2009)

3) Ecokardiografi :

Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental
wall motion abnormally (penyakit jantung koroner) (Susetyo, 2009)

4) Laboraorium :
Pada edema paru kardiogenik :
1. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
4. Kadar BNP (Brain Naturetic peptide) untuk membedakan edema paru kardiogenik
dengan penyakit lain seperti asma bronkial akut.

Pada edema paru non kardiogenik / ARDS:

1. Hasil analisa gas darah normal. Rasio PaO2 terhadap fraksi O2 yang dihirup (FiO2)
menurun < 200 mmHg. Awalnya terdapat alkalosis respirasi yang kemudian dalam
perjalanan penyakit menjadi asidosis respiratorik karena eleminasi CO2 menurun.
2. Lekositosis atau leukopenia, anemia, trombositopenia. Jarang terjadi disseminated
intravascular coagulation (DIC),yang dapat terjadi pada keadaan sepsis, trauma berat atau
trauma kepala.
3. Gangguan faal hati dapat terjadi karena timbulnya multiple organ dysfunction syndrome
(MODS)

Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakan antara cardiac dan
noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis. Pulmonary artery catheter
(Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar
dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam
kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam
pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. (Susetyo, 2009)

1) Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary
edema,
2) sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic
cause of pulmonary edema.

21
Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit
(ICU) setting.

Penatalaksanaan

Terapi kegagalan jantung kiri adalah pengobatan seumur hidup dengan tetap memperhatikan
faktor dasar penyebab, tetapi keadaan gawat darurat edema paru harus segera diatasi. (Susetyo, 2009)

Terapi edema paru kardiak harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakan yaitu sebagai
berikut (Susetyo, 2009) :

1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5 10 menit. Jika
tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5
ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai
didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada pasien yang
tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat
ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau
dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan
sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel / corda tendinae.

Penatalaksanaan edema paru non kardiogenik adalah (Susetyo, 2009) :

1. Memperbaiki ventilasi dengan:


a. Pemberian O2 sehingga O2 dalam udara inspirasi mencapai 50-100%
b. Intubasi endotrakheal

22
c. Menggunakan alat bantu nafas (ventilator) bila diperlukan
2. Mempertahankan sirkulasi, dengan :
a. Memperbaiki dehidrasi atau mengurangi cairan bila terjadi over hidrasi
3. Diperlukan terapi spesifik untuk hal-hal khusus :
a. Tempat tinggi, dengan oksigen dan transportasi ke daerah yang lebih rendah
b. Bila obat atau racun sebagai penyebab, beri obat antagonis

Kasus
Anamnesis (Heteroanamnesa)
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat perjalanan penyakit
Sesak nafas di bagian dada dirasakan mendadak sejak subuh. Sesak nafas dirasa seperti diikat
sehingga tidak bisa bernafas lega, munculnya mendadak tanpa didahului adanya aktifitas apapun. Sesak
dirasakan terus menerus, memberat jika pasien berbaring dan sedikit berkurang jika duduk tegak.
Selama serangan muncul beliau tidak merasakan adanya bunyi mengi saat bernafas. Pasien juga
mengeluhkan badan terasa lemas disertai batuk-batuk berdahak warna putih sejak dua hari yang lalu.
Untuk keluhan sesaknya pasien mengaku belum pernah dibawa ke dokter atau meminum obat apapun.
Tidak merasakan ada demam. BAB normal dan BAK terasa lebih sedikit dari biasanya. Pasien tidak
mengeluhkan adanya pusing, mual, muntah dan bengkak di tangan dan kakinya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, riwayat asma (-), riwayat hipertensi +
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan seperti pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : GCS 456
Tekanan darah : 180/100 mmHg
Nadi : 88x/ menit
Pernapasan : 28x/ menit
Temperatur : 360C
Kepala & leher :
a/i/c/d -/-/-/+
PBI 3mm/3mm
JVP : DBN
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi inter costal space (+) deformitas (-) , spider nevi (-),
pelebaran vena kolateral (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Batas jantung kanan : 2cm lateral dari sternal line dextra

23
Batas jantung kiri : anterior axillary line sinistra
Pulmo : vesikuler/vesikuler, wheezing +++/+++, rhonchi ++-/++-
Abdomen : supel, BU (+)Normal, hepar dan lien tidak teraba, asites (-)
Extremitas : akral dingin kering merah, CRT<2detik, tidak didapatkan edema
Pemeriksaan Elektrokardiografi

Irama sinus 75x/menit, Omi inferior

Pemeriksaan Laboratorium
DL
HB : 13,2 Gr%
Leukosit : 10.700 Ul
Eritrosit : 4.69 juta/UL
Hct : 39.6 Vol%
Trombosit : 188.000 UI
RFT
BUN :10,1 mg/dl
SK : 1,3 mg/dl
AU : 4,2 mg/dl
LFT
OT : 25,3 U/L
PT : 15,5 U/L
Serum Elektrolit
Kalium : 3.61 mmol/L
Natrium : 135,4 mmol/L
Chlorida : 107,58 mmol/L
Albumin : 3,6 G/dl
GDA: 127

24
Pemeriksaan Radiologi

25
Daftar Pustaka:
Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2007.

Harun S, Nasution SA. Edema Paru Akut. In : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simandibarata,
Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.

Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and noncardiogenic. In: Han Disease.
Textbook pf Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders
Co. 2012, pp. 544-60

Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Longo DL, Jameson JL,. Harrisons. Principles of Internal
Medicine. 16th edition. Mc.Graw-Hill; 2005.

Mc.Cance KL, Huether SE. Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease in Adults and Children.
5th edition. Elsevier Mosby; 2006.

Purwaningtyas, Niniek. 2007. Gagal Jantung (Decompensatio Cordis). Dalam : Cardiology After Mid.
Surakarta : Filamen 05 FKUNS.

Rakhman, Otte. 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Jantung. Dalam : Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Susetyo B. Diagnosis dan Pengelolaan Edema Paru Kardiogenik Akut. Cermin

Dunia Kedokteran No. 85, 2009. Pp 10-15

Hasil pembelajaran:

Definisi dan patofisiologi decompensaio cordis dan edema paru cardiogenik


Diagnosis decompensatio cordis dan edema paru cardiogenik
Tatalaksana decompensatio cordis dan edema paru cardiogenik
Rencana tindak lanjut decompensatio cordis dan edema paru cardiogenik

26
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO KASUS
1. Subyektif
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas di bagian dada dirasakan mendadak sejak subuh.
Sesak nafas dirasa seperti diikat sehingga tidak bisa bernafas lega, munculnya mendadak tanpa
didahului adanya aktifitas apapun. Sesak dirasakan terus menerus, memberat jika pasien berbaring
dan sedikit berkurang jika duduk tegak. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas disertai batuk-
batuk berdahak warna putih sejak dua hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol.

2. Obyektif
Pemeriksaan fisik dan laboratorium yang mendukung didapatkan pada pasien ini:
Keadaan umum : lemah
Tekanan darah : 180/100 mmHg
Pernapasan : 28x/ menit
Kepala & leher : dispnea (+)
Thorax : retraksi inter costa (+)
Pulmo : vesikuler/vesikuler, wheezing +++/+++, rhonchi ++-/++-
Cor : Batas jantung kanan : 2cm lateral dari sternal line dextra
Batas jantung kiri : anterior axillary line sinistra
Extremitas : akral dingin kering
EKG : OMI inferior
Rontgen Thorax AP : cardiomegali dan edema paru

3. Assesment

keluhan sesak nafas terus menerus yang memberat jika berbaring dan semakin berkurang jika
duduk tegak disertai badan terasa lemas dapat dipertimbangkan sebagai gejala decompensasi kordis.
Pada keadaan tersebut sesuai dengan protokol yg ada harus dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin,
elektrolit, BUN, kreatinin serum, enzim hepatik dan urinalisis serta dilakukan pemeriksaan ekg dan
radiologi.
4. Plan
Diagnosis:-

Terapi Unit Gawat Darurat:


Masker O2 8 Lpm
Infus asering 15 tpm
Injeksi Furosemide 1 ampul
Injeksi Dexamethasones 1 ampul
Injeksi Ranitidin 1 ampul
Injeksi Ketorolac 1 ampul

27
ISDN 1 tablet
Aspilet 1 tablet
Pasang kateter urin
Observasi vital sign
Konsul dr. Huluwiyah Sp. An

Terapi Ruang
Head up 30o
O2 masker NRM 10 lpm
Fisioterapi nafas
Nebul pz + ventolin + bisolvon 6x/hari
Suction sesuai indikasi
Oral dan personal hygiene 2 kali/24 jam
Oral dan personal hygiene 2 kali/24 jam
Infus Asering 1000 cc/24 jam
Sementara puasa
Injeksi Ranitidine 2x 50 mg
Injeksi Bisolvon 3x1
Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 g
Pump furosemide 3mg/jam
Drip neurobion 1amp dalam 100ccpz/24jam

Monitoring
Keluhan, vital sign, produksi urin, laboratorium, ekg.

Edukasi :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarg apasien bahwa penyakit yang diderita pasien adalah
penyakit decompensatio cordis derajat IV dengan edema paru kardiogenik
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa decompensatio cordis derajat IV dengan
edema paru kardiogenik tidak menular
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk pembatasan aktivitas fisik
Pembatasan cairan yang masuk
Diet rendah garam

28

Anda mungkin juga menyukai