Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Insomnia kronis mempengaruhi sekitar 10 sampai 15% dari populasi orang
dewasa di AS. Meskipun insomnia kejadian umum dikenali, didiagnosis, dan sebagai
hasilnya, diobati. Sekitar dua pertiga dari pasien yang memiliki gejala insomnia tidak
mengkomunikasikan informasi ini kepada dokter mereka dan dokter tidak selalu
menanyakan tentang pola tidur.
American Psychiatric Association Diagnostik dan Statistik Manual Mental
Disorders (DSM-IV) mendefinisikan insomnia sebagai kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur atau tidur yang menyegarkan menyebabkan distress klinis
secara signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting.
Insomnia yang berlangsung antara satu malam dan beberapa minggu disebut insomnia
akut, sedangkan insomnia yang terjadi setidaknya tiga malam per minggu selama satu
bulan atau lebih disebut insomnia kronis. Insomnia dapat diklasifikasikan sebagai
primer atau sekunder. insomnia primer patogenesisnya tidak diketahui, tetapi bukti
menunjukkan keadaan hyperarousal. Insomnia sekunder dapat disebabkan oleh stres
psikososial, kesehatan tidur yang buruk, kondisi medis, dan obat-obatan atau
penggunaan zat. Artikel ini akan fokus pada manajemen farmakologis dari insomnia
primer kronis. Namun, perlu dicatat bahwa modifikasi perilaku memainkan peran
penting dalam pengelolaan insomnia.

1
BAB II
TELAAH JURNAL

2.1 Judul
Pharmacologic Management of Chronic Insomnia

2.2 Jenis Jurnal


Jenis jurnal ini adalah Revies article yang ditulis oleh James R. Taylor,
PharmD, Cristina M. Vazquez, PharmD, MPH, and Kendall M. Campbell pada
Southern Medical Journal di Department of Pharmacy Practice, University of Florida
College of Pharmacy, and the Department of Community Health and Family Medicine,
University of Florida College of Medicine, Gainesville, FL. Jurnal ini diterima pada
tanggal 13 July 2006.

2.3 Isi Jurnal


Jurnal ini mengangkat tema insomnia, terutama memfokuskan pembahasannya
pada terapi farmakologi insomnia kronik. Tema yang dibahaspun cukup menarik
Karena insomnia menjadi permasalahan sehari-hari banyak orang, tapi banyak yang
tidak menyadarinya. Sehingga luput dari diagnose dan menyebabkan tidak tertangani
dengan baik. Setidaknya dua per tiga pasien yang memiliki gejala insomnia tidak
pernah membicarakannya kepaada dokter mereka dan kebanyakan dokter umum tidak
mengetahui tentang pola tidur. Jurnal ini membahas tentang obat-obatan golongan
benzodiazepine dan non benzodiazepine. Pada jurnal ini juga disarankan penelitian
lebih lanjut mengenai efek jangka panjang dari terapi farmakologi, perbandingan antar
agen farmakologi satu dengan yang lainnya, menentukan pasien dengan respon tinggi
terhadap terapi perilaku dan untuk menjelaskan peran dari kombinasi terapi
farmakologi dan terapi perilaku. Strategi untuk meningkatkan ketersediaan terapi
perilaku dan pelatihan bagi dokter umum juga harus ditingkatkan.

2
2.3.1 Abstrak
Insomnia kronis merupakan gangguan yang umum dikenali, didiagnosis dan
diobati. Penilaian awal harus fokus pada mengidentifikasi dan mengobati, jika ada,
penyebab sekunder insomnia. Insomnia primer dapat diobati dengan terapi perilaku
dan atau farmakologis. Riwayat tidur secara menyeluruh dapat mengidentifikasi
jenis insomnia, tingkat keparahan, dan terapi. Terapi perilaku telah terbukti setara
dengan atau lebih unggul dari terapi farmakologis pada beberapa pasien. Hal ini
merupakan pendekatan awal yang wajar, meskipun ada hambatan untuk
penggunaannya. Ada beberapa terapi farmakologis yang tersedia, beberapa di
antaranya lebih efektif dalam mengurangi waktu untuk tertidur dan yang lain untuk
mempertahankan tidur. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
menggabungkan pendekatan dapat mengurangi hasil. Ada sedikit data tentang
penggunaan jangka panjang dari agen farmakologis.

2.3.2 Terapi Farmakologi


Tatalaksana insomnia harus dapat mengatasi semua komponen insomnia,
seperti onset tidur, maintenance tidur, kualitas tidur, dan fungsi di hari berikutnya.
Identifikasi riwayat pengobatan sebelumnya dan outcome terapi tersebut juga
bermanfaat. Polisomnogram berguna untuk pasien yang gagal memberikan respon
terhadap terapi yang tepat. Terdapat beberapa obat obatan untuk terapi insomnia
(Tabel 1). Pilihan obat obatan yang diberikan dipengaruhi oleh apakah pasien
mengalami sleep onset insomnia atau sleep maintenance insomnia.

Tabel 1. Agen agen farmakologi untuk tatalaksana insomnia


Nama Obat Indikasi Komentar
Benzodiazepin
Flurazepam Sleep maintenance Memperbaiki waktu tidur total dan jumlah
(Dalmane) insomnia terbangun, tetapi memiliki waktu paruh
panjang. Efek ansiolitik berguna pada
pasien dengan gangguan ansietas. Efek
residual di siang hari lebih besar.

3
Quazepam Sleep maintenance Memperbaiki waktu tidur total dan jumlah
(Doral) insomnia terbangun, tetapi memiliki waktu paruh
yang sangat panjang. Efek ansiolitik
berguna pada pasien dengan gangguan
ansietas. Efek residual di siang hari lebih
besar.
Estazolam Sleep maintenance Memperbaiki waktu tidur total dan jumlah
(ProSom) insomnia terbangun. Efek ansiolitik berguna pada
pasien dengan gangguan ansietas. Dapat
menyebabkan efek residual di siang hari.
Temazepam Sleep maintenance Memperbaiki waktu tidur total dan jumlah
(Restoril) insomnia terbangun. Efek ansiolitik berguna pada
pasien dengan gangguan ansietas. Dapat
menyebabkan efek residual di siang hari.
Triazolam Sleep onset Memperbaiki waktu tidur total dengan
(Halcion) insomnia manfaat yang lebih besar terhadap latensi
tidur. Efek ansiolitik berguna pada
pasien dengan gangguan ansietas.
Berkaitan dengan rebound insomnia.

Nama Obat Indikasi Komentar


Nonbenzodiazepin
Zolpidem Sleep onset Memperbaiki latensi tidur dengan
(Ambien atau insomnia efek terhadap waktu tidur total yang
Ambien CR) lebih sedikit. Dapat memperbaiki
efisiensi tidur dan jumlah
terbangun. Efek residual di siang
hari dan rebound insomnia yang
lebih sedikit.

4
Zaleplon (Sonata) Sleep onset atau Memperbaiki latensi tidur, data
sleep tentang perbaikan maintenance
maintenance tidur kurang. Efek residual di siang
insomnia hari dan rebound insomnia yang
lebih sedikit.
Eszopiclone Sleep Memperbaiki latensi tidur, total
(Lunesta) maintenance waktu tidur, dan jumlah terbangun.
insomnia Kurang dapat ditoleransi.
Ramelteion Sleep onset Memperbaiki latensi tidur, total
(Rozerem) insomnia waktu tidur, dan efisiensi tidur.
Tidak berpotensi untuk
penyalahgunaan.
Trazodone Data untuk insomnia terbatas. Dapat
(Desyrel) memperbaiki latensi tidur dan
kualitas tidur. Berguna pada pasien
dengan depresi. Risiko kecil untuk
penyalahgunaan.
Obat bebas Perbaikan latensi tidur total, jumlah
(antihistamin) terbandung, total waktu tidur,
kualitas tidur yang baik dan dalam
jangka panjang.

Benzodiazepin
Saat ini di Amerika Serikat, terdapat 5 benzodiazepin yang diterima untuk
tatalaksana jangka pendek insomnia : flurazepam (Dalmane), estazolam (ProSom),
quazepam (Doral), temazepam (Restoril), dan triazolam (Halcion). Belum ada
penelitian jangka panjang selama lebih dari 6 bulan yang pernah dilaporkan.
Benzodiazepin berikatan dengan subunit reseptor GABAA, juga dikenal sebagai
reseptor benzodiazepin atau reseptor omega. Agen agen tersebut dibedakan oleh

5
sifat farmakokinetiknya. Flurazepam dan quazepam memiliki waktu paruh yang
panjang karena metabolitnya (48 120 jam), estazolam dan temazepam memiliki
waktu paruh intermediate (10 24 jam dan 8 15 jam), dan triazolam memiliki
waktu paruh yang lebih pendek (2 5 jam). Agen agen tersebut dimetabolisme di
hepar. Pemberian bersamaan dengan alkohol atau depresan SSP lain dapat
meningkatkan efek SSP.
Benzodiazepin berkaitan dengan sedasi di hari berikutnya, gangguan
psikomotor, dan gangguan kognitif. Semua gejala tersebut penting diperhatikan
ketika agen tersebut diberikan pada lansia, terutama benzodiazepin dengan waktu
paruh yang lebih panjang. Agen long acting juga berkaitan dengan risiko jatuh
yang menyebabkan fraktur pinggul pada lansia, akibat sedasi residual dan
koordinasi motorik yang terganggu, dan saat ini memiliki peran terbatas dalam
tatalaksana insomnia. Agen short acting berkaitan dengan rebound insomnia dan
amnesia anterograde. Selain itu, semua benzodiazepin berisiko untuk menyebabkan
toleransi, penyalahgunaan, dan ketergantungan. Benzodiazepin berada pada
kategori X untuk kehamilan, sehingga dikontraindikasikan pada ibu hamil. Obat ini
juga tidak direkomendasikan pada anak sebagai terapi insomnia. Benzodiazepin
harus digunakan dengan hati hati pada pasien dengan riwayat kejang, depresi
pernapasan, penyakit hati berat, atau gangguan ginjal. Dosis awal untuk agen dengan
waktu paruh pendek dan sedang adalah : estazolam 1 2 mg di waktu tidur,
temazepam 15 mg 30 menit sebelum tidur, dan triazolam 0.25 mg pada waktu tidur.
Dosis harus diturunkan sebanyak 50% pada lansia atau pada pasien dengan
gangguan hepar.
Data penelitian menunjukkan bahwa benzodiazepin menyebabkan perbaikan
subjektif yang signifikan dalam total waktu tidur, jumlah pasien terbangun, dan
kualitas tidur dibandingkan dengan plasebo. Hasil terhadap latensi tidur masih
diperdebatkan. Benzodiazepin dengan waktu paruh sedang dan panjang dilaporkan
menurunkan waktu terbangun setelah onset tidur dan jumlah pasien terbangun, yang
memperbaiki maintenance tidur. Triazolam memiliki efek yang lebih besar terhadap
latensi tidur.

6
Nonbenzodiazepin
Zolpidem. Zolpidem (Ambien) bekerja pada reseptor GABAA di lokasi
benzodiazepin. Obat ini memiliki onset kerja 30 menit, waktu paruh 2.5 jam dan
efeknya akan bertahan selama 8 jam. Zolpidem controlled release (Ambien CR)
dengan cepat melepaskan 80% dari dosisnya, dan sisanya dilepaskan 3 jam
kemudian. Zolpidem dimetabolisme di hepar menjadi metabolit inaktif. Inhibitor
protease antiretrovirus dapat menghambat metabolisme zolpidem, yang
menyebabkan sedasi berlebihan. Begitu juga dengan alkohol dan obat depresan SSP
lain yang mungkin memiliki efek tambahan terhadap kerja psikomotor ketika
digunakan bersamaan dengan zolpidem. Efek samping yang terjadi berkaitan
dengan jumlah dosis, seperti rasa mengantuk, amnesia, pusing, nyeri kepala, dan
gangguan saluran pencernaan.
Penggunaan zolpidem pada pasien berusia <18 tahun belum dievaluasi.
Zolpidem controlled release diklasifikasikan sebagai kategori C pada kehamilan,
sementara regular release merupakan kategori B. Tidak ada penelitian yang adekuat
dan terkontrol dengan baik pada wanita hamil. Meskipun tidak ada kontraindikasi
absolut, obat ini harus digunakan dengan hati hati pada pasien dengan gangguan
hati, penyakit paru obstruktif kronik, atau depresi. Dosis yang direkomendasikan
adalah 10 mg pada waktu tidur pada individu sehat dan 5 mg pada lansia, pada
pasien dengan disfungsi hepar atau pasien yang mendapat obat obatan depresan
SSP lain. Untuk sediaan extended release dosis yang diberikan adalah 12.5 mg atau
6.25 mg.
Zolpidem telah dilaporkan memberikan efek yang serupa terhadap latensi
tidur dan total waktu tidur denga efek residual di keesokan hari yang lebih sedikit
dibandingkan dengan benzodiazepin. Obat ini juga dapat memperbaiki efisiensi
tidur (rasio waktu tidur dengan waktu pasien berada di kasur), tetapi tidak
menunjukkan perbaikan yang konsisten dibandingkan dengan plasebo dalam
nenurunkan waktu bangun setelah onset tidur atau jumlah pasien terbangun.
Manfaat zolpidem terhadap tidur terjadi karena efek obat tersebut terhadap onset
tidur, bukan terhadap maintenance tidur. Penggunaan kontinu zolpidem hingga 5

7
minggu dan penggunaan intermitten selama 12 minggu telah diteliti. Toleransi
jangka pendek tidak disebutkan dalam penelitian tersebut. Selain itu, setelah
penghentian zolpidem, rebound insomnia jarang terjadi dengan penggunaan jangka
pendek.
Zaleplon. Zaleplon (Sonata), seperti zolpidem, mengikat pada reseptor
GABA seperti benzodiazepine tetapi dengan sedikit afinitas. Obat Ini memiliki
onset kerja 20 menit, waktu paruh 0,5 sampai 1 jam, dan efeknya akan berlangsung
sekitar 4 jam. Obat ini dimetabolisme di hepar. Obat yang memiliki efek depresan
pada SSP (misalnya, alkohol, anxiolytics, barbiturat) efek potensial terhadap
zaleplon di SSP. Zaleplon mengandung pewarna tartrazine sehingga tidak boleh
digunakan pada pasien dengan alergi terhadap pewarna ini. Keamanannya belum
ditetapkan pada anak-anak. Obat ini termasuk dalam kategori kehamilan C dengan
belum pernah ada penelitian pada wanita hamil. Zaleplon harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan depresi atau insufisiensi pernapasan dan tidak
direkomendasikan untuk orang-orang dengan penyakit hati berat. Efek samping
yang paling umum termasuk sakit kepala, mengantuk, pusing, mual, dan dispepsia.
Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg saat tidur, tetapi rekomendasi dosis
yang dianjurkan untuk orang tua adalah 5 mg, orang-orang dengan gangguan hepar
ringan ataupun sedang atau pada pasien yang mendapatkan terapi obat depresan
SSP yang lain.
Zaleplon telah terbukti efektif dalam mengurangi kesulitan tidur
dibandingkan dengan plasebo, tetapi tidak memiliki data pendukung tentang efek
dalam pemeliharaan tidur bila diberikan pada saat tidur. Zaleplon berguna untuk
pasien yang sering terbangun di malam hari karena bisa diberikan di tengah malam
tanpa menyebabkan penurunan pada hari berikutnya, asalkan diberikan 4 jam
sebelum waktu yang diperlukan untuk bangun.
Eszopiclone. Eszopiclone (Lunesta) diyakini berinteraksi dengan kompleks
reseptor GABA. sifat farmakologisnya mirip dengan benzodiazepin, sebagai
anxiolytic, hipnotis, dan sedatif. Eszopiclone memiliki waktu paruh dari 5 sampai 7
jam dan durasinya sekitar 8 jam. Eszopiclone dimetabolisme di hepar menjadi dua

8
metabolit, satu dengan potensi minimal dan satu yang tidak aktif. Penggunaan
eszopiclone dengan alkohol atau depresan SSP lainnya mungkin memiliki efek
aditif. Efek samping yang paling umum adalah rasa pahit, mulut kering, mengantuk,
dan pusing. Keamanan pada anak-anak belum ditetapkan. Eszopiclone termasuk
kategori kehamilan C. Tidak ada laporan yang diterbitkan penggunaannya pada
wanita hamil. Harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan depresi
pernafasan atau mereka dengan depresi. Dosis awal biasanya 2 mg pada saat tidur,
meskipun dosis dapat dititrasi sampai 3 mg sesuai kebutuhan. pasien lanjut usia
atau mereka dengan gangguan hepar berat harus dimulai dengan 1 mg. Tidak ada
penyesuaian dosis pada penderita gangguan hepar ringan sampai sedang.
Eszopiclone telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam
mengobati kesulitan tidur dan pada perbaikan pemeliharaan tidur. Obat ini adalah
obat sedatif pertama yang dapat digunakan hingga 12 bulan.
Ramelteon. Ramelteon (Rozerem) merupakan agonis selektif pada reseptor
melatonin MT1/MT2. Melatonin diyakini memediasi ritme sirkadian di mammals.
Obat ini merupakan golongan hipnotis pertama yang tidak digolongkan sebagai obat
terlarang. Ramelteon memiliki onset kerja 30 menit dan waktu paruh 1 sampai 2
jam. Obat ini dimetabolisme di dalam hepar. Penggunaan yang bersamaan dengan
SSRI fluvoxamine secara signifikan meningkatkan konsentrasi serum Ramelteon,
dan dengan demikian obat-obat ini tidak boleh digunakan bersama-sama. Obat-obat
lain yang bisa menghambat metabolisme Ramelteon adalah golongan seperti
ciprofloxacin, norfloksasin, dan mexiletine. Alkohol tidak secara langsung
mempengaruhi efek Ramelteon, tapi mungkin masih mengakibatkan efek aditif pada
psikomotor. Potensi efek samping yaitu mengantuk, pusing, mual, kelelahan dan
sakit kepala. Serum prolaktin meningkat pada 32% pasien dalam satu studi.
Penilaian konsentrasi serum prolaktin dan testosteron harus dipertimbangkan pada
pasien dengan amenore, galaktore, penurunan libido, atau masalah dengan fertilitas.
Kontraindikasi obat ini tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak, ibu menyusui,
dan orang-orang dengan gangguan hepar berat. Obat ini termasuk kategori
kehamilan C dengan studi manusia terkontrol tidak baik. Ramelteon harus

9
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan neurologis, gangguan
hepar ringan sampai sedang, penyakit endokrin, kejang, atau orang tua. Dosis yang
dianjurkan adalah 8 mg diberikan 30 menit sebelum tidur.
Ramelteon telah terbukti secara signifikan lebih efektif daripada plasebo
dalam mengurangi masalah kesulitan tidur, meningkatkan waktu tidur total dan
efisiensi. Ramelteon tidak berefek pada perilaku dan kognitif, dan tidak
menunjukkan potensi penyalahgunaan.
Trazadone. Trazadone (Desyrel) merupakan antidepresan dengan efek sedasi
yang banyak diresepkan untuk pengobatan insomnia, meskipun FDA kurang
menyetujui penggunaannya. Obat ini menghambat re-uptake hormon serotonin,
menghambat kerja -adrenergik dan histamin. Dimetabolisme di hepar menjadi
metabolit inaktif. Dapat berinteraksi dengan banyak obat, termasuk obat yang
mempengaruhi hormon serotonin (contoh, selective serotonin re-uptake
inhibitors/SSRI), depresan SSP (contoh, alkohol), keteokonazol dan itrakonazol.
Efek samping yang paling sering adalah mengantuk, mulut kering, mual muntah,
konstipasi, nyeri kepala dan pandangan kabur. Penggunaan trazadon tidak
diperbolehkan untuk usia anak-anak dan termasuk kategori C pada indeks keamanan
kehamilan. Penggunaannya juga harus diperhatikan pada penderita dengan
gangguan hepar dan ginjal. Dosis rekomendasi yang digunakan untuk terapi
insomnia adalah 50mg saat waktu tidur. Obat ini juga dapat digunakan untuk terapi
depresi dengan dosis yang lebih tinggi.
Sebagai antidepresan, trazadone bermanfaat sebagai terapi untuk kondisi
insomnia yang diikuti dengan depresi dan gangguan psikologis. Trazadone juga
dinilai lebih murah untuk pengobatan jangka panjang dan memiliki peluang yang
rendah untuk disalahgunakan. Namun, ada keterbatasan data penelitian terkontrol
tentang efektivitas obat ini terhadap terapi insomnia. Trazadone terbukti efektif pada
dua penelitian kecil pasien insomnia dengan depresi dan tanpa penggunaan
hiptnotis. Trazadone membuat pasien menjadi lebih mudah tidur dan terdapat
peningkatan kualitas tidur, serta berefek negatif pada kondisi mudah terbangun.
Penelitian tersebut juga mengatakan bahwa terjadi penurunan efektivitas pada

10
trazadone setelah penggunaan satu sampai dua minggu. Efek samping pada lansia
adalah hipotensi ortostatik dan pandangan kabur. Trazadone juga berhubungan
dengan rebound insomnia setelah putus obat.
Agen golongan lain. Antihistamin sedatif seperti difenhidramin telah
dipasarkan sebagai obat tidur. Difenhidramin selalu tersedia di pasaran, relatif
murah dan sudah sering digunakan oleh banyak pasien. Namun, data tentang
penggunaan obat ini sangat jarang dan dengan kualitas yang buruk. Obat ini
berhubungan dengan rasa mengantuk berkepanjangan, efek samping kolinergik,
gangguan psikomotor dan peningkatan ambang bata toleransi terhadap obat ini.
Melatonin dan valerian merupakan terapi alterntif yang juga tersedia di pasaran.
Melatonin terbukti dapat menstimulasi tidur pada orang sehat, lansia dan penderita
insomnia. Berefek pada pemeliharaan tidur dan banyak pendapat. Penelitian telah
melibatkan beberapa subjek dengan pengobatan jangka pendek dan hasilnya lebih
dapat ditoleransi. Valerian dapat menurunkan latensi tidur dan meningkatkan
pemeliharaan tidur. Perlu pengobatan selama 2-4minggu sebelum efek yang
signifikan muncul. Efek sampingnya meliputi, mengantuk berkepanjangan, rasa
tidak nyaman, nyeri kepala dan eksitabilitas. Tanpa pengetahuan lebih lanjut tentang
efektivitas dan keamanan, obat ini tidak direkomendasikan untuk digunakan.

2.3.3 Kesimpulan dan Rekomendasi


Sebelum menegakkan diagnosa insomnia primer, apa saja penyebab
sekundernya harus diidentifikasi dan diatasi. Pendekatan yang tepat adalah memulai
terapi perilaku terlebih dahulu. Beberapa dokter dapat melakukan terapi ini sendiri
atau merujuk pasien ke spesialis. Mengetahui kapan saat yang tepat untuk merujuk
adalah hal yang sangat perlu diketahui oleh dokter umum. Perujukkan tepat untuk
kasus insomnia yang kronis, resisten dan atau yang tak dapat dijelaskan. Namun,
tidak semua pasien akan memiliki respon yang adekuat terhadap terapi perilaku.
Meskipun keterangan jangka panjang sangat terbatas, pasien yang tidak
merespon terhadap terapi perilaku akan dilanjutkan ke terapi farmakologi.
Efektivitas, toleransi dan efek samping harus diawasi secara ketat. Dua pendekatan

11
tersebut umumnya tidak dikombinasikan, karena dapat menurunkan manfaat jangka
panjang dari terapi perilaku, meskipun rekomedasi tersebut berasal dari data yang
terbatas. Tetapi, terapi farmakologi dapat dipertimbangkan untuk penggunaan
jangka pendek saat memulai terapi perilaku, khususnya mereka yang membutuhkan
hasil yang cepat. Penggunaan kombinasi dari kedua terapi tersebut dapat diterapkan
pada pasien yang bersedia mengikuti terapi perilaku. Penggunaan zolpidem,
zaleplon atau ramelteon dapat dipertimbangkan untuk pasien insomnia yang sulit
memulai tidur. Ramelteon diketahui memiliki efek yang paling rendah dalam
memperburuk fungsi kognitif dan perilaku pada jangka pendek, namun efek pada
pemakaian jangka panjang belum diketahui. Penggunaan eszopiclone atau golongan
benzodiazepin kerja sedang (seperti, estazolam, temazepan) akan tepat pada
penderita insomnia dengan kesulitan memelihara tidur (selalu terbangun tengah
malam). Zaleplon juga dapat digunakan pada penderita tersebut dengan
mengkonsumsi di tengah malam. Penggunaan agen hipnotik jangka panjang sangat
tidak direkomendasikan.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai efek jangka panjang dari terapi
farmakologi, perbandingan antar agen farmakologi satu dengan yang lainnya,
menentukan pasien dengan respon tinggi terhadap terapi perilaku dan untuk
menjelaskan peran dari kombinasi terapi farmakologi dan terapi perilaku. Strategi
untuk meningkatkan ketersediaan terapi perilaku dan pelatihan bagi dokter umum
juga harus ditingkatkan.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan
berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi
medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur
penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis,
riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan
untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam,
Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital).
Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.

3.2 Saran
Sebaiknya pada jurnal ini ditambahkan contoh kasus-kasus supaya dapat
menggambarkan gejala-gejala yang terjadi pada insomnia kronis.

3.3 Penilaian dan Kritik


1. Penilaian dan kritik terhadap judul jurnal :
a. Judul jurnal spesifik, singkat dan menarik karena pembaca dapat langsung
menangkap makna yang disampaikan pada jurnal dalam sekali baca.
b. Judul jurnal sudah efektif karena judul tidak lebih dari 12 kata.
c. Keefektifan judul dapat dilihat dari kelugasan penulisannya menunjukkan
jenis karya ilmiah secara jelas, yakni review article.

13
2. Penilaian dan kritik terhadap penulis jurnal :
a. Penulisan nama peneliti pada jurnal ini kurang tepat karena diulis dengan
mencantumkan gelar peneliti. Namun, pada jurnal ini masih dicantumkan
alamat dari peneliti berupa alamat email peneliti utama serta tercantum
nama lembaga tempat peneliti bekerja.
b. Peneliti jurnal ini berupa tim yang terdiri dari 3 orang. Nama peneliti
diurutkan berdasarkan besar kontribusi pada penelitian, sehingga peneliti
utama selalu diurutkan pada urutan pertama.
3. Penilaian dan kritik terhadap abstark jurnal :
a. Abstrak pada penelitian ini terdiri dari 129 kata. Abstrak penelitian ini
dikatakan efektif karena tersusun tidak lebih dari 250kata.
b. Abstrak berdiri sendiri dalam satu alinea terpisah.
c. Abstrak ditulis tanpa tabel, tanpa gambar dan tanpa acuan pustaka. Abtrak
berisi data-data dan hasil penelitian serta argumen yang didapat dari
penelitian.
d. Pada jurnal ini, tercantum kata kunci atau keyword dibawah abstrak.
Namun, hanya terdapat 2 kata kunci yang tertulis, seharusnya paling sedikit
terdiri dari 3 kata yang relevan dan mewakili isi jurnal.
4. Penilaian dan kritik terhadap latar belakang masalah jurnal :
a. Penulisan latar belakang pada jurnal ini berisikan tentang pentingnya
permasalahan tersebut diangkat dan terdapat fakta-fakta pendukung penelitian.
b. Konsep yang terdapat pada penelitian ini sudah sesuai dengan sistem
mengerucut, yaitu dari hal-hal umum kemudian ke hal yang lebih khusus.
c. Pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting dan metode penulisan
pustaka rujukan sesuai dengan contoh ketentuan, yakni menggunakan rujukan.
5. Penilaian dan kritik terhadap diskusi/isi jurnal :
a. Pada jurnal ini tidak disertakan diskusi penelitian, namun jurnal ini langsung
membahas tentang permasalahan yang menjadi tujuan utamanya, yaitu terapi
farmakologi untuk insomnia primer kronis.

14
6. Penilaian dan kritik terhadap kesimpulan jurnal :
a. Kesimpulan jurnal ini telah sesuai karena telah mencakup tujuan dan target
penelitian.
b. Kesimpulan telah ditulis secara padat dan sistematis serta terdapat saran yang
berguna bagi pembaca penelitian serta saran untuk penelitian lebih lanjut.
7. Penilaian dan kritik terhadap referensi jurnal :
a. Literatur yang digunakan sudah tepat. Semua bahan acuan dalam bentuk jurnal
ataupun naskah ilmiah yang digunakan sebagai referensi ditulis pada bagian ini.
Referensi yang dirujuk benar-benar mempunyai kontribusi nyata dalam
penelitian ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Costa e Silva JA, Chase M, Sartorius M, et al. Special report from a symposium
held by the World Health Organization and World Federation of Sleep Research
Societies: an overview of insomnias and related disorders: recognition,
epidemiology, and rational management. Sleep 1996;I9:41216.
2. Morin CM, Culbert JP, Schwartz SM. Nonpharmacolgical interventions for
insomnia: a meta-analysis of treatment efficacy. Am J Psychiatry 1994;151:1172-
1180.
3. Roth T. New developments for treating sleep disorders. J Ctin Psychiatry
200\;62{Supp\ \oy.3-4.
4. Shochat T, Umphress J, Israel AG, et al. Insomnia in primary care patients. Sleep
1999;22(Suppl 2):S359-S365.
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 4th ed. Washington, DC, Ameriean Psychiatrie Association, 1994.
6. The International Classification of Sleep Disorders, Revised: Diagnostic and
Coding Manual. Rochester, Minn, American Sleep Disorders Association, 1997.
7. Roth T, Roehrs TA. A review of the safety profiles of benzodiazepine hypnotics.
J Clin Psychiatry 1991;52(Suppl):38-4l.
8. Meddelson WB. Clinical distinctions between long-acting and shortacting
benzodiazepines. J Clin Psychiatry 1992;53(Suppl):8-9.
9. Nowell PD, Mazumdar S, Buysse DJ, et al. Benzodiazepines and zolpidem for
chronic insomnia: a meta-analysis of treatment efficacy. JAMA 1997;278:2170-
2177.
10. Holbrook AM, Crowther R, Lotter A, et al. Meta-analysis of benzodiazepine use in
the treatment of insomnia. CM^J 2000; 162:225-233.
11. Prescribing information. Ambien (zolpidem). New York, NY, Sanofi Synthelabo,
March 2004.

16
12. Scharf MB, Roth T, Vogel GW, et al. A multicenter, placebo-controlled study
evaluating zolpidem in the treatment of chronic insomnia. J Clin Psychiatry
1994;55:192-199.
13. Walsh JK, Roth T, Randazzo A, et al. Eight weeks of non-nightly use of zolpidem
for primary insomnia. Sleep 2000;23:1087-1096.
14. Perlis ML, McCall WV, (Crystal AD, et al. Long-term, non-nightly administration
of zolpidem in the treatment of patients with primary insomnia. J Clin Psychiatry
2004;65:l 128-1137.
15. Prescribing information. Sonata (zaleplon). Philadelphia, Pa, Wyeth
Pharmaceuticals, March 2006.
16. Elie R, Ruther E, Farr 1, et al. Sleep latency is shortened during 4 weeks of
treatment with zaleplon, a novel nonbenzodiazepine hypnotic: Zaleplon Clinical
Study Group. J Clin Psychiatry 1999;60:536-544.
17. Walsh JK, Vogel GW, Seharf M, et al. A five week, polysomnographic assessment
of zaleplon lOmg for the treatment of primary insomnia. Sleep Med 2000;l:4l-49.
18. Walsh JK, Pollak CP, Scharf MB, et al. Lack of residual sedation following middle-
of-the-night zaleplon administration in sleep maintenance insomnia. Clin
Neuropharmacol 2000;23:17-21.
19. Prescribing information. Lunesta (eszopiclone). Marlborough, Mass, Sepracor,
February 2005.
20. Krystal AD, Walsh JK, Laska E, et al. Sustained efficacy of eszopiclone over 6
months of nightly treatment: results of a randomized, doubleblind, placebo-
controlled study of adults with chronic insomnia. Sleep 2003;26:793-799.
21. Zammit GK, McNabb LJ, Caron J, et al. Efficacy and safety of eszopiclone across
6-weeks of treatment for primary insomnia. Curr Med Res Opin2004;20:1979-
1991.
22. Scharf M, McCall WV, Erman M, et al. Patient-reported efficacy of eszopiclone
(ESZ) in elderly patients with chronic insotnnia (abstract). JAm Geriatr Soc
2004;52:S14.

17
23. Erman M, Rosenburg R, Caron J. Polysomnographic and patient-reported
evaluation of the efficacy and safety of eszopiclone in elderly subjects with
chronic insomnia (abstract). Steep 2004;27(Suppl):A257.
24. Roth T, Krystal A, Walsh J, et al. Twelve months of nightly eszopiclone
treatment in patients with chronic insomnia: assessment of long-term efficacy
and safety (abstract). Sleep 2004;27(Suppl):A260.
25. Prescribing information. Rozerem (ramelteon). Lincolshire, III, Takeda,
August 2005.
26. Roth T, Seiden D, Weigand S, et al. Phase III study to determine the efficacy
of ramelteon in elderly patients with chronic insomnia (abstract). 45th Annual
Meeting of the New Clinical Drug Evaluation Unit (NCDEU); June 6-9, 2005,
Boca Raton, Fla.
27. Zammit G, Roth T, Erman M, et al. Polysomnogaraphy and outpatient study to
determine the efficacy of ramelteon in adults with chronic insomnia (abstract).
158th Annual Meeting of the American Psychiatric Association: New Research
Abstracts; May 21-26, 2005, Atlanta, p227.
28. Roth T, Seiden D, Zee P, et al. Phase III outpatient trial of ramelteon for the
treatment of chronic insorrmia in elderly patients (abstract). J Am Geriatr Soc
2005;53(Suppl 4):S25.
29. Zammit G, Roth T, Erman M, et al. Double-blind, placebo-controlled
polysomnography and outpatient trial to evaluate the efficacy and safety of
ramelteon in adult patients with chronic insomnia (abstract). Sleep
2005;28:A228-A229.
30. Seiden D, Zee P, Weigand S, et al. Double-blind, placebo-controlled outpatient
clinical trial of ramelteon for the treatment of chronic insomnia in an elderly
population (abstract). Sleep 2005;28:A228.
31. Erman M, Seiden D, Zammit G, et al. An efficacy, safety, and doseresponse
study of ramelteon in patients with chronic primary insomnia. Sleep Med
2006;7.\l-24.

18
32. Nierenberg AA, Adler LA, Peselow E, et al. Trazodone for antidepressant-
associated insomnia. Am J Psychiatry 1994; 151:1069-1072.
33. Walsh JK, Erman M, Erwin CW, et al. Subjective hypnotic efficacy of
trazodone and zolpidem in DSM-III-R primary insomnia. Hum
Psychopharmacol I998;13:191-198.
34. Montgomery 1, Oswald I, Morgan K, et al. Trazodone enhances sleep in
subjective quality but not in objective duration. Br J Clin Pharmacol
1983;16:139-144.
35. Rickels K, Morris RJ, Newman H, et al. Diphenhydramine in insomniac family
practice patients: a double-blind study. J Clin Pharmacol 1983; 23:234-242.
36. Kudo Y, Kurihara M. Clinical evaluation of diphenhydramine hydrochloride
for the treatment of insomnia in psychiatric patients: a doubleblind study. J Clin
Pharmacol 1990;30:1041-1048.
37. Richardson GS, Roehrs TA, Rosenthal L, et al. Tolerance to daytime sedative
effects of HI antihistamines. J C// Psychopharmacol 2002;22: 511-515.
38. Roth T, Roehrs T, Koshorek G, et al. Sedative effects of antihistamines. J
Allergy Clin Immunol 1987;80:94-98.
39. Mishima K, et al. Hypnotic and hypothermic action of daytime-administered
melatonin. Psychopharmacology (Berl) 1997; 133:168-171.
40. Haimov I, Lavie P, Laudon M, et al. Melatonin replacement therapy of elderly
insomniacs. Sleep 1995;18:598-603.
41. Hughes RJ, Sack RL, Lewy AJ. The role of melatonin and circadian phase in
age-related sleep-maintenance insomnia: assessment in a clinical trial of
melatonin replacement. Sleep 1998;21:52-68.
42. Andrade C, Srihari BS, Reddy KP, et al. Melatonin in medically ill patients
with insomnia: a double-blind, placebo-controlled study. J Clin Psychiatry
2001 ;62:41-45.
43. Wagner J, Wagner ML, Hening WA. Beyond benzodiazepines: alternative
pharmacologic agents for the treatment of insomnia. Ann Pharmacother
1998;32:680-691.

19

Anda mungkin juga menyukai