Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit mematikan yang di derita oleh kaum wanita setelah kardiovaskuler

adalah kanker payudara. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengestimasikan bahwa

84 juta orang meninggal dalam rentang waktu 2005-2015. Penelitian di Jakarta


Breast Cancer pada April 2001 sampai April 2003 menunjukan bahwa dari 2.834

orang memeriksakan benjolan di payudaranya, 2.229 diantaranya (78%) merupakan

tumor jinak, 368 orang (13%) terdiagnosis kanker payudara dan sisanya merupakan

infeksi dan kelainan bawaan payudara (Anggorowati, 2013).

Kemoterapi merupakan alternative pengobatan kanker payudara yang

dilakukan setelah operasi. Efek yang ditimbulkan dari pengobatan ini lebih buruk dari

kanker yang diderita oleh pasien. Oleh karna itu di butuhkan alternative pengobatan

yang lebih baik untuk meminimalisir efek samping pengobatan secara medis

(Hariyanto, dkk. 2015).

Laut memiliki keanekaragaman organismeyang sangat besar sebagai sumber

dayaalam yang sangat potensial. Berbagaipenelitian menunjukkan bahwa


organismelaut memiliki potensi yang sangat besardalam menghasilkan senyawa-

senyawa aktifyang dapat digunakan sebagai bahan bakuobat-obatan (Krisyanella,

dkk., 2011).

Potensi biota laut sebagai sumber bahan bioaktif baru banyak diteliti dalam

tahun-tahun terakhir, meskipun belum sebanyak penelitian terhadap biota darat.

Sejarah evolusi yang panjang pada biota laut menyebabkan biota laut mempunyai
keaneka ragaman molekul yang sangat tinggi. Berbagai jenis senyawa dengan
bermacam-macam bioaktivitas telah ditemukan dari biota tersebut mulai dari

antibakteri, anti jamur, anti virus, antiplasmodium dan sebagainya (Triyanto, dkk.,

2004).

Perairan Indonesia memiliki kekayaan biota laut yang jenisnya sangat

beranekaragam dan sangat besar jumlahnya serta tiada duanya di dunia. Dengan

kondisi tersebut lautan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

Bangsa Indonesia, hal ini baik ditinjau dari segi alamnya, sebagai sarana transportasi,
sarana rekreasi, pendidikan dan penelitian, konservasi alam serta sarana pertahanan

keamanan negara. Bahkan untuk masa depan akan lebih banyak ditentukan pada

kemampuan kita untuk memanfaatkan sumberdaya laut. Oleh karena itu

pendayagunaan lautan nusantara secara penuh dan bijaksana sangat mendukung

pembangunan ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha

serta sangat memerlukan pendalaman IPTEK untuk menggali potensi-potensi yang

terkandung di dalamnya (Pratiwi, 2013).

Adapunjumlah biota laut yang ada untuksementaradapatdiprediksikanseperti

coral sekitar 590 jenis, seagrass 12 jenis, mangrove 43 jenis, sponge 850 jenis, ikan

karang 2057 jenis, crustacean 1512 jenis, echinodermata 1412 jenis dan moluska
2500 jenis (Pratiwi, 2013).

Salah satu contoh organisme laut yang memiliki kandungan kimia yang

menarik adalah spon. Spon diketahui dapat menghasilkan sejumlahproduk laut yang

bersifat alami dan mampu menunjukkan keseragaman senyawa kimiayang sangat

besar. Senyawa-senyawa kimia yang mampu dihasilkannya antara lainalkaloid,

terpenoid, steroid, fenolik dan lain-lain (Krisyanella, 2003). Beberapa jenis spon yang

memiliki bioaktivitas yang menarik seperti aktivitas antibakteri dari Petrosia nigran
(Handayani, Sayuti & Dachriyanus., 2008), aktivitas antifungi dari Stylissa

flambeliformis dan Haliclona sp (Setyowati, 2005), aktivitas antiinflamasi dari

Axinella brenstyla (Yalcin, 2007), dan aktivitas sitotoksik dari spongia sp dan

petrosia sp (Mayer & Gustafson, 2008).

Penelitian tentang potensi antikanker dari biota laut mengalami

perkembangan pesat. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa kira-kira 35

komponen telah diketahui mekanisme anti tumornya, dan setidaknya 12


diantaranya telah digunakan sebagai terapi berbagai macam kanker(Sijabat, 2009).

Senyawa bioaktif ditemukan dari sekitar 11 genera spons. Tiga genera spons

yaitu Haliclona, Petrosia dan Discodemia memiliki efek antikanker yang sangat kuat

(Jha dan Zi-rong, 2004 dalam Rahman, 2013).

Sponge Haliclona sp merupakan salah satu biota laut yang kaya akan

metabolit aktif, yaitu Haliclonacylamine A dan Haliclonacylamine B yang

memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel tumor. Biota laut yang biasa disebut

spon laut ini merupakan spesies yang toksik, sementara studi mengenai

toksisitasnya masih dilakukan secara in vitro (Sariningrum, 2009). Berdasarkan

uraian diatas maka dilakukanlah penelitian tentang isolasi dan identifikasi senyawa
antikanker dari spons haliclona sp. di kabupaten bulukumba.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak spons haliclona sp. terhadap

pertumbuhan larva udang artemia salina sebagai metode uji aktivitas antikanker

(BSTL).
C. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan isolasi senyawa murni dari spons haliclona yang berasal

dari pantai merpati kab. Bulukumba

2. Mengetahui tingkat toksisitas ekstrak spons haliclona terhadap pertumbuhan

larva udang artemia salina sebagai metode uji aktivitas antikanker (BSTL).

D. Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat biota laut spons


haliclona sp.

2. Sebagai sumber pustaka tentang profil dan kandungan spons haliclona sp.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Spons Haliclona sp.

Sponge termasuk hewan metazoa multiseluler yang tergolong ke dalam

Filum Forifera. Forifera berasal dari kata Pori = pori-pori, Fera/Faro = memiliki

(Ahmad dan Suryati, 1996). Filum Porifera terdiri dari tiga kelas yaitu : Calcarea,
Demospongiae dan Hexactinellida. Filum Porifera terdiri dari empat kelas yaitu :

Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida dan Sclerospongia (Pratama, 2014).

Menurut Kozloff (1990) sponge dapat diklasifikasikan berdasarkan pada

pengelompokan secara umum dan komponen rangka yang dimiliki yaitu :

1. Kelas Calcarea atau Calcispongiae

Merupakan sponge yang hidup di daerah pantai yang dangkal, bentuk

tubuhnya sederhana. Spikula sponge ini tersusun dari Kalsium Karbonat dan tidak

mengandung spongin. Sebagian besar sponge dari kelas ini bentuknya kecil-kecil dan

berwarna putih keabu-abuan dan ada beberapa jenis berwarna kuning, merah jambu

dan hijau. Elemen kerangka dari calcarea berbentuk spikula triaxon dan tidak ada

perbedaan megasklera dan mikrosklera. Beberapa jenis sponge ini adalah Sycon

gelatinosum (berbentuk selinder berwarna coklat muda) (Pratama, 2014)

Perkembangan Calcarea, sponge ini memiliki sel amoeboid yang berbeda di

dalam mesohil (lapisan gelatin yang tersusun atas sel-sel amoebosit yang dapat

bergerak mengambil makanan dari sel koanosit dan mendistribusikan keseluruh

bagian tubuh porifera). Di dalam mesohil sponge memiliki bentuk sel seperti amoeba

yang berbeda-beda. Acheohytes adalah sel berukuran besardengan ukuran inti sel

yang besar. Sel-sel ini bersifat totipoten, mampu mengakumulasi kalsium di dalam
mesohil untuk memproduksi spikula, tiga sklerosit akan melebur menjadi satu untuk

membentuk spikula pada ruang antar sel (Kosloff, 2003 dalam Pratama, 2014)

2. Kelas Hexactinellida atau Hyalospongiae

Kelas Hexactinellida atau Hyalospongiae merupakan sponge yang hidup

di daerah dalam dengan kedalaman 50 meter bahkan ada yang dapat tumbuh

hingga 1 meter. Disebut juga sponge gelas. Spikula terdiri dari silikat dan tidak

mengandung spongin. Spikulanya berbentuk bidang triaxon, dimana masingmasing


bidang terdapat dua jari-jari (Hexactinal). Sponge dari kelas ini belum banyak

dikenal, karena sulit mendapatkan. Contoh sponge ini adalah Euplectella sp dan

Aspergullum sp Terdiri dari 2 ordo yaitu : Ordo Hexastorophora dan Ordo

Amphidiscophora (Pratama, 2014).

Perkembangan dan pola makan kelas Hexactinellida, sponge hidup pada

material detritus makroskopik mengonsumsi bahan selular bakteri dan partikel

abiotik yang sangat kecil. Partikel kecil diambil ke dalam melalui arus yang di

ciptakan oleh colla bodies, partikel tersebut diserap melalui saluran dalam

sponge. Collar bodies dilapisi dengan microvili yang menjebak makanan dan

kemudian melewati vakuola melalui colla bodies menuju ke dalam syncytia (Kosloff,
2003 dalam Pratama, 2014)

3. Kelas Demospongiae

Hampir 75 % jenis sponge yang dijumpai di laut adalah kelas Demospongia.

Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula triaxon (spikula kelas Hexactinellida),

tetapi spikulanya berbentuk monoaxon, teraxon yang mengandung silikat.

Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya
mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja. Contohnya Cliona sp dan Spongia

sp (Pratama, 2014).

Anggota dari Demospongiae berbentuk asimestris. Demospongiae tumbuh

pada berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai lebih dari 2 meter. Mereka

dapat membentuk krusta tipis, benjolan, pertumbuhan seperti jari, atau bentuk

guci. Butiran pigmen pada sel amoebocytes sering membuat anggota kelas ini

berwarna cerah, seperti kuning terang, oranye, merah, ungu dan hijau. Tingkatan
organisasi merupakan petunjuk yang dapat diandalkan untuk mengetahui

hubungan filogenetik pada Kelas Demospongiae. Namun, diantara dari Filum

Porifera, sulit untuk membedakan hubungan evolusioner. Organisme tidak selalu

berhubungan dengan filogeni misalnya pada struktur leukonoid telah berevolusi

secara independen beberapa kali (Hickman, 1990 dalam Pratama, 2014)

Demospongiae merupakan kelompok sponge yang paling berbeda. Lebih

dari 90% dari 5.000 jenis sponge diketahui tergolong ke dalam Demospongiae.

Perbandingan ini belumlah termasuk dari catatan fosil dimana kurang dari setengah

dari genera dan famili yang diketahui adalah Demospongiae. Bagaimanapun,

mayoritas luas hidup Demospongiae tidak memiliki rangka yang dengan mudah
menjadi fosil, begitu keanekaragaman fosil mereka, yang mana ujung-ujungnya

menghasilkan kapur yang mungkin saja menurunkan jumlahkeanekaragaman

populasi mereka yang sebenarnya. Sebagai spesies dalam jumlah besar dapat

diperkirakan bahwa Demospongiae dapat ditemukan pada banyak lingkungan yang

berbeda, dari lingkungan intertidal yang menghasilkan energi hangat yang tinggi

hingga ke perairan abisal yang dalam dan dingin. Tentu saja, semua Porifera yang
hidup di air tawar adalah Demospongiae (Pechenik, 1991). Salah satu spesies dari

kelas Demospongia adalah Haliclona sp.

Haliclona merupakan salah satu jenis sponge yang termasuk dalam filum

porifera (Sijabat, 2009) kelas Demospongiae dan famili Chalinidae (Massarani, dkk.,

2016). Famili Chalinidae merupakan keluarga terbesar dari ordo Haplosclerida dan

dilaporkan bahwa telah ditemukan 197 spesies dari genus Haliclona didunia (Kang,

dkk., ) populasi terbaru dari Haliclona sp telah ditemukan sejak awal penemuan spon
pada tahun 1989 di Rottnest Island (Abdo, dkk., 2007). Menurut Abdo, dkk (2007)

penyelidikan terbaru mengenai populasi tersebut pada 2 jenis morfologi yaitu Green

Haliclona dan Brown Haliclona memiliki hasil identifikasi yang sama terhadap

karakteristik spikula dan skeleton.

Haliclona mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder termasuk

alkaloid, poliasetilena, poliketida, steroid dan peptida sehingga memiliki aktivitas

biologis sebagai antikanker, antidiabetes, antiinflamasi dan aktivitas antimikroba

(Massarani, dkk., 2016).

Sponge dari genus Haliclona, Xestospongia, dan Amphimedon spp kaya akan

kompleks struktural dari cytotoxic alkaloid turunan 3-alkalypiridine. Variasi dan


potensi biologik 3-alkalypiridine akan meningkat sebanding dengan derajat

polimerisasinya, dan akan menghasilkan suatu mekanisme toksisitas yang komplek

dan belum pernah terjadi sebelumnya (Sijabat, 2009).

Dua jenis alkaloid yang diisolasi dari spesies Haliclona sp adalah

Haliclonacylamine A dan Haliclonacylamine B.29 Sumber lain menyebutnya

halicynone A dan halicynone B.31 Haliclonacylamine A (C32H56N2) tersusun atas 8


methine (4 diantaranya adalah alkena) dan 24 metylene. Haliclonacylamine B

merupakan isomer19 dari Haliclonacylamine A.

Kedua senyawa ini menunjukkan aktivitas biologik yang poten dan

sitotoksisitas yang tidak biasanya seperti pada alkaloid jenis Porifera lain.

Haliclonacylamine A dan Haliclonacylamine B merupakan suatu polyacetylen rantai

panjang yang memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel tumor. Mekanisme yang

terjadi adalah induksi apoptosis pada sel tumor. Metabolit lain dari Haliclona sp
adalah Triangulyne A, Triangulyne E, Pellynol A, B, C, D, I. Pellynol A menunjukkan

aktivitas

antitumor yang kuat terhadap human colon tumor cell line HCT-116 (IC50 0.026

g/ml). Polyacetylene lebih berperan dalam uji tokisisitas karena ambang

toksisitasnya paling tinggi dibanding triangulyne dan pellynol.

Renieramisin juga merupakan suatu metabolit yang dapat diekstrak dari

Halicona sp. Renieramisin mempunyai susunan identik dengan saframisin. Metabolit

ini mempunyai sifat sitotoksik kuat terhadap cultured cells serta mempunyai aktivitas

anti tumor terhadap beberapa sel tumor yang diujikan secara in vitro. Goldstein

menemukan adanya senyawa lain yang berperan sebagai toksin. Senyawa tersebut
adalah adocia sulfate-2(AS-2) yang menghambat kerja dari kinesin yang berfungsi

dalam transpor seluler (Sijabat, 2009).

B. Kanker payudara

Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh

dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Kanker

paru, hati, perut, kolorektal dan kanker payudara (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Kanker payudar aadalah sel yang mengalami pertumbuhan abnormal pada jaringan

payudara seperti duktus, lobules dan limfe (Wahyuni, 2015).

Berdasarkan data World Health Organization padatahun 2011 sekitar 508.000

wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker payudara (Rondonuwu, dkk. 2016).

Berdasarkan data penelitian Harrianto dkk di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo

tahun 2005, faktor risiko kanker payudara di antaranya adalah riwayat keluarga

dengan penderita kanker payudara (15,79%), menarche dini (8,77%), nullipara


(7,02%) dan pemakaian pil yang mengandung estrogen jangka panjang (42,11%).

Selain itu, juga terdapat faktor risiko lain yang diduga berpengaruh terhadap kejadian

kanker payudara yaitu menopause terlambat, riwayat pemberian ASI, dan

obesitas(Anggorowati, 2013).

Pencarian obat baru anti kanker juga sangat gencar dilakukan. Hal ini

disebabkan kanker masih merupakan penyakit yang mematikan dan belum ada obat

yang dapat menyembuhkan hingga seratus persen. Di Amerika pada tahun 2000

hampir 9.6 juta jiwa terdeteksi mengindap kanker ( NCI, 2003) . Walaupun tingkat

keberhasilan dalam terapi kanker semakin meningkat, namun terapi modern yang ada

saat ini seperti operasi, kemoterapi, atau radiasi bervariasi tingkat kesuksesannya
tergantung pada stadium dan jenis tumor/kanker. Disamping biayanya tinggi, terapi

tersebut juga masih mempunyai efek samping yang tinggi. Hal ini menyebabkan

banyak penderita kanker menyerah karena tidak tahan terhadap efek samping yang

ditimbulkan oleh obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi dewasa ini,

disamping mahalnya biaya pengobatan itu sendiri. Tingginya efek samping dari

kemoterapi disebabkan obat yang dipergunakan masih belum mempunyai mekanisme

yang spesifik terhadap sel kanker saja, tetapi obat tersebut juga menyerang sel-sel
normal. Munculnya sel kanker yang bersifat Multidrug resistance (MDR) atau tahan

terhadap berbagai obat kanker juga memacu peneliti untuk menemukan obat anti

kanker baru yang mampu menembus dan mematikan sel kanker tersebut (Tanaka et

al, 2000, NCI, 2004).

C. Kemoterapi

Kemoterapi adalah jenis pengobatan kanker payudara dengan pemberian obat

khusus untuk membunuh sel kanker. Beberapa Jenis kemoterapi antara lain
Neoajuvant, Kemoterapi Ajuvant dan kemoterapi Paliatif (Yudissanta danRatna,

2012). Kemoterapi yang paling baik adalah kemoterapi ajuvan karena telah terbukti

dapat mengurangi efek samping, dapat lebih mengontrol metastasis, serta memiliki

tingkat kerusakan sistem genital yang lebih sedikit (AmbarwatidanWardani, 2014).

Kemoterapi memiliki efek samping dalam berbagai bidang kehidupan antara

lain efek terhadap fisik dan psikologis. Efek tersebut antara lain alopesia, mual dan

muntah, myalgia, neuropati, rentan infeksi, stomatitis, diare, penurunan imunitas dan

trauma melakukan pengobatan kemoterapi (Wahyuni, dkk. 2015).

D. Metabolit sekunder

Metabolit sekunder merupakan senyawa-senyawa yang terdapat pada spesies


tertentu dan sangat khas untuk setiap spesies. Metabolit sekunder berperan untuk

kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan untuk menghadapi spesies-

spesies lain. Penyebarannya lebih terbatas, terutama pada tumbuhan dan

mikroorganisme serta memilki spesifikasi untuk setiap spesiesnya. Senyawa

metabolit sekunder terbentuk pada saat tidak ada pertumbuhan sel yang dikarenakan

keterbatasan nutrien zat gizi dalam medium sehingga merangsang dihasilkannya

enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan metabolit sekunder dengan


memanfaatkan metabolit primer untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya

(Firda, 2010: 18).

1. Flavonoid

Flavonoid telah dikenal sebagai produk hasil alam dengan efek yang

menguntungkan bagi kesehatan jauh sebelum senyawa tersebut dapat diisolasi

sebagai senyawa yang efektif. Flavonid pertama kali ditemukan oleh pemenang

Nobel, Albert Szent Gyorgyi pada tahun 1930. Flavoniod merupakan metabolit
sekunder yang secara kimia mempunyai struktur dasar dengan dua cincin aromatis

dengan tiga atom C diantara C6-C3-C6. Tiga atom C antar cincin tersebut membentuk

cincin ketiga yang berupa heterosiklik O. Kedua cincin aromatis berasal dari

biosintesis yang berbeda, cincin A dari jalur poliketida sementara cincin B berasal

dari jalur shikimat (Soekardjiono, 2012: 78).

Flavonoid merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas

dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini merupakan

penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, merah, ungu, dan biru

dalam daun bunga, daun, dan buah pada tumbuhan tinggi. Antosianin adalah molekul

yang tidak stabil. Stabilitas warna dari antosianin sangat dipengaruhi oleh pH,
pelarut, suhu, konsentrasi antosianin dan strukturnya, oksigen, cahaya, asam askorbat,

enzim dan zat lain yang menyertainya. Degradasi dapat terjadi pada proses ekstraksi,

pemurnian dan juga pada proses penyimpanan (Pratama, 2013: 8).

2. Alkaloid

Alkaloid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder yang mempunyai

sifat alkali. Sifat inilah yang membuat penamaan golongan senyawa-senyawa ini

disebut sebagai alkaloid. Sifat alkali dimungkinakan karena secara kimia alkaloid
adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen baik satu atau lebih dalam bentuk

amina primer sekunder maupun tersier. Defenisis umum yang digunakan untuk

alkaloid dalam kimia hasil alam atau hasil alam adalam senyawa organik siklik yang

mengandung N dengan tingkat oksida negatif yang terdapat secara terbatas dalam

makhluk hidup (Soekardjiono, 2012: 102).

Golongan alkaloid bersifat racun, aktifitas fisiologi yang kuat dan luas bersifat

basa dan nitrogen terdapat sebagai heterosiklik. Alkaloid ini secara biosintesis adalah
merupakan turunan asam amino. Alkaloid yang paling terkenal adalah kelompok

morfin yang diisolasi dari tumbuhan opium. Protoalkaloid secara biosintesis

diturunkan dari asam amino dan dianggap sebagai derivat amina sederhana. Atom

nitrogen biasanya berada di luar cincin. Pseudoalkaloid secara biosintesis merupakan

derivat amino sehingga disebut alkaloid semu. Pseudo alkaloid yang paling banyak

ditemukan dalam kehidupan ialah kafein yag terdapat pada kopi (Sitorus, 2010: 193).

3. Steroid

Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan

didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing senyawa.

Kelompok-kelompok tersebut adalah sterol, asam-asam empedu, hormon seks,


hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin. Percobaan-percobaan

biogenetik menunjukkan bahwa steroid yang terdapat dialam berasal dari triterpenoid

(Soekardjiono, 2012: 112).


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November , pengambilan sampel pada

bulan Oktober dan dilakukan isolasi dan pengujian bioaktivitas pada bulan di

Laboratorium Kimia Organik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu oven, lampu UV 254-

336 nm, neraca analitik, pompa vakum, kolom kromatografi cair vakum (KKCV),

adaptor, hotplate, kondensor, steel head, termometer 110C, labu alas bulat 1000 mL,

Erlenmeyer 500 mL, gelas kimia 500 mL, chamber, corong sintered glass, gelas ukur

100 ml, gelas kimia 100 ml, statif, klem, batang pengaduk, spatula, corong, mangkok

kaca, pipet skala, tabung reaksi, pipa kapiler, labu semprot, spatula, batang pengaduk,

pipet tetes 3 ml, botol vial, botol reagen, toples, mangkok kaca, botol kaca, selang,
karet dan ember.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aluminium foil,

aquades (H2O), asam sulfat (H2SO4) 10%, batu didih, es batu, ekstrak kental spons,

etanol 96% (C2H5OH), etil asetat (C4H8O2), kain blacu, kertas saring, n-heksan

(C6H14), metanol (CH3OH), plat KLT (Kromatografi Lapis Tipis) ukuran 7x1 cm,
silica G60 (230-400 mesh) no. katalog 7730, silica G60 (230-400 mesh) no. katalog

7733, silica G60 (230-400 mesh) no. katalog 7734 dan tissu.

C. Prosedur Kerja

1. Sampling

Sampel diambil dari kedalaman laut sekitar 3-10 m karena pertumbuhan dan

komunitas dari terumbu karang dan spons adalah optimum pada kedalaman tersebut

(Suharyanto, 2008).
2. Preparasi Sampel

Sampel diambil langsung dari laut, dicuci dan dibersihkan kemudian disimpan

dalam plastik lalu dikeringkan, digerus dan diidentifikasi taksonominya di

Laboratorium Ilmu Lingkungan dan Kelautan jurusan Biologi FMIPA UNHAS

(Aminah, dkk., ).

3. Ekstraksi dan Isolasi

a. Maserasi

Sampel ditimbang sebanyak 100 gram dan dimasukkan ke dalam toples.

Toples yang telah berisi spons tersebut ditambahkan pelarut metanol (CH3OH).

hingga sampel terendam. Didiamkan selama 1 x 24 jam kemudian disaring


menggunakan kain blacu ke dalam botol, proses tersebut dilakukan selama 3 hari.

Hasil maserat kemudian diperas, lalu didestilasi sampai terbentuk ekstrak kental.

Ekstrak yang dihasilkan dimasukkan ke dalam mangkuk yang telah diketahui bobot

kosongnya dan setelah itu ditimbang.

b. Uji KLT

Dipotong plat KLT ukuran 7x1 cm kemdudian plat KLT diaktivasi dalam

oven selama 10 menit. Ekstrak kental diencerkan dengan pelarut yang sesuai lalu
sampel ditotol di atas plat KLT dengan pipa kapiler. Plat KLT yang sudah ditotolkan

sampel dimasukkan ke dalam chamber. Setelah dielusi, plat KLT diangkat dan

dikeringkan. Setelah itu, dilihat penampakan noda disinari UV apabila noda tidak

terlihat plat KLT disemprot asam sulfat dan dioven.

c. Pembuatan Eluen

Pelarut organik dinaikkan kepolarannya masing-masing 100 ml, perbandingan

eluennya yaitu non polar murni 100%, non polar : polar 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6,
3:7, 2:8, 1:9 dan pelarut polar 100%. Kemudian eluen ditampung dibotol reagen.

d. Fraksinasi KKCV

Ekstrak ditimbang sebanyak 3 gram dalam cawan porselin kemudian

diimpregnasi dengan silica gel no. catalog 7733. Fasa diam atau adsorben KKCV

silica gel no. catalog 7730 dikemas pada kolom KKCV dalam keadaan vakum

kemudian ekstrak yang telah diimpregnasi diratakan diatas fasa diam. Kemudian

permukaan ekstrak ditutup dengan kertas saring. Setelah itu, dialiri dengan eluen

yang ditingkatkan kepolarannya. Hasil fraksi masing-masing ditampung ke wadah.

e. Fraksinasi KKG

Percobaan ini dilakukan dengan cara silica G60 (230-400 mesh) no. katalog
7734 yang dialiri dengan n-heksan dimasukkan di dalam kolom gravitasi dan diatur

sedemkian rupa hinga tak ada gelembung udara. Ekstrak kental spons digerus dengan

silica G60 (230-400 mesh) no. katalog 7733 dengan tabung reaksi hingga rata.

Kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang berisi silica G60 (230-400 mesh) no.

katalog 7734 yang telah dialiri n-heksan hingga memadat. Setelah itu, dialiri dengan

eluen yang memiliki perbandingan berturut-turut. Setelah itu, fraksi disimpan dalam

botol vial yang digunakan untuk satu jenis perbandingan eluen.


DAFTAR PUSTAKA

AmbarwatidanWardani. Efek Samping Kemoterapi Secara Fisik Pasien Penderita


Kanker Servik.Ilmu Keperawatan. Surakarta: 2014.
Anggorowati, Lindra. Faktor Risiko Kanker Payudara Wanita, Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 8 no 2 (2013):h.102-108.
Kang, Dong Won, dkk. Two New Marine Sponges of The Genus Haliclona
(Haplosclerida : Chalinidae) from Korea. Animal Systematics, Evolution dan
Diversity.
KementerianKesehatan RI, SituasiPenyakitKanker, Riau: 2014.
Lee, Yoonyeong dkk. Cyclic Bis-1,3-dialkylpyridiniums from the Sponge Haliclona
sp.. Jurnal Marine Drugs 10, no. 10 (2012): h. 2126-2137.
Massarani, Shaza Mohamed Al, dkk. Studies on the red sea sponge Haliclona sp. for
its chemical and cytotoxic properties. Pharmacognosy Magazine 12, no. 46
(2016): h. 114-119
Rondonuwu, dkk. Profil Kanker Payudara di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
ManadoTahun 2013 2014. E-clinic 4, no. 1 (2016): h.302-307.
Setyowati, Erna Prawita. dkk. Isolasi senyawa sitotoksik spons Kaliapsis. Majalah
Farmasi Indonesia 18, No. 4 (2007): h. 183 189.
Sijabat, Lanceria. Pengaruh Pemberian Ekstrak Sponge Haliclona sp terhadap
Aktivitas Proliferasi Sel dengan Metode Hitung AgNOR pada Sel
Adenocarcinoma Mammae Mencit C3H. Skripsi, Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, 2009.
Wahyuni, dkk. Studi Fenomenologi: Pengalaman Pasien Kanker Stadium
LanjutYang Menjalani Kemoterapi. Jom 2 no. 2 (2015): h.1041-1047.
Wahyuni, Tri. Hubungan Antara Frekuensi Kemoterapi dengan Kualitas
HidupPerempuan dengan Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di
Ruang Kemoterapi Rsud.A.M Parikesit Tenggarong. Ilmu Kesehatan3, no.2
(2015): h. 1-13.
Yudissantadanratna. Analisis Pemakaian Kemoterapi pada KasusKanker Payudara
dengan Menggunakan MetodeRegresi Logistik Multinomial (Studi Kasus
Pasien di Rumah Sakit X Surabaya). SainsdanSeni 1, no. 1 (2012): h. 112-
117.

Anda mungkin juga menyukai