theirturn.net
The picture is more complex; oil palm is neither one thing nor the other but both at the same time.
It is no longer a question of halting the expansion of the oil palm, but of finding a smart way to
manage it.
Ini adalah refleksi sehari-hari mengenai masalah lingkungan Indonesia yang menempatkan
negeri tercinta Indonesia di antara pilihan yang dilematis: sebuah pertarungan antara pembangunan
ekonomi berbasis ekstraksi sumber alam dan kekhawatiran manfaat keberlanjutan sumber alam
tersebut. Dalam dekade ini, pergumulan panjang itu dipenuhi tarik-menarik dan ketegangan.
Indonesia sendiri memiliki dua target utama untuk tahun 2020: Mengurangi emisi gas rumah kaca
(GRK) dengan melakukan konservasi terhadap hutan hujan tropis dan meningkatkan produksi kelapa
sawit hingga dua kali lipat. Sekilas, memang tampak tidak mungkin untuk mencapai
kedua goals tersebut secara bersamaan, namun benarkah demikian?
Melihat kenyataan diatas, tanaman kelapa sawit tidak dapat dipandang semata-mata sebagai
pendorong pembangunan seperti yang diklaim pengusaha sawit, atau sebagai pertanda meningkatnya
angka kemiskinan, seperti yang didengungkan pihak lainnya.
Pandangan yang berbeda ini akan tergantung pada stakeholder yang terlibat. Konversi hutan
primer menjadi perkebunan kelapa sawit jelas merupakan bencana ekologis. Tetapi, sekali lagi perlu
diingat: its not all about the oil palm itself, dan inilah saatnya untuk beralih dari posisi ekstrim:
ketimbang mendemonisasi ataupun memuji sawit secara berlebihan, sebagai gantinya kita perlu
bersinergi, mengidentifikasi cara untuk memastikan dan menjaga agar produksi komoditas berharga
ini berlangsung secara berkelanjutan.
Lalu, bagaimana negara harus mengelola industri ini secara tepat dan juga mengatasi tumpang
tindihnya kepentingan terkait kelapa sawit? Jawabannya adalah Indonesia harus merangkul konsep
pembangunan hijau pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi kepada konservasi sumber
daya alam (natural resource oriented) dan pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) untuk
menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, dengan menggunakan pendekatan
yang bercorak komprehensif dan terpadu sehingga lingkungan juga bisa menjadi bagian penciptaan
lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Tak lupa konsep sustainable development harus pula diperkaya dengan narasi lokal sebab
masyarakat adat disekitar area perkebunan sawit pun merupakan bagian integral dari lingkungan itu
sendiri.
Studi terbaru yang dilakukan oleh Duke University dan World Resources Institute menemukan
bahwa adalah mungkin bagi Indonesia untuk melindungi hutan secara penuh, mengurangi emisi
karbon sebesar 35% dengan resiko mengurangi sedikit profit. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
Memperkuat Regulasi Kelapa Sawit dan Pengawalan Sosial oleh Masyarakat Lokal
Peran pemerintah sangat sentral dalam memberikan arahan dalam pengembangan
pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Komitmen dan
konsistensi pemerintah akan tercermin dengan struktur dan kerangka kerja kebijakan (policy
framework) yang merupakan penerjemahan praktis prinsip-prinsip tersebut.
Saat ini, penetapan regulasi kelapa sawit masih cenderung lemah, bersifat sektoral
dan kurang terkoordinasi yang sering kali disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan
antara pihak-pihak terlibat di dalamnya.
Selain itu, terdapat kelemahan-kelemahan dalam komunikasi antar pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat. Di beberapa daerah di Indonesia kelemahan-kelemahan itu telah
menjadi ancaman serius terhadap kelestarian sumberdaya alam dan bahkan budaya setempat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat dan memperjelas regulasi; mengusahakan
konsistensi dan sinergi peraturan terkait perlindungan hutan dan industri kelapa sawit mulai
dari pemerintah pusat sampai daerah.
Pemerintah dan aparat penegak hukum juga diminta lebih tegas kepada perusahaan
sawit yang melanggar hukum atau terlibat konflik dengan masyarakat. Dukungan untuk
pengawasan sosial dan penegakan hukum perlu digalang dari seluruh masyarakat, media
massa (koran, TV, radio), Ilmuwan, LSM, Praktisi dan Ahli Hukum, Aparat/Lembaga
penegak hukum, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dll. Semua dukungan harus berjalan
searah dan saling mendukung (bersinergi).
Best Management Practices (BMP), Intensifikasi Penanaman Kelapa Sawit, dan Inovasi
Penelitian
Produsen minyak sawit, pemerintah Indonesia, Lembaga Penelitian, dan LSM perlu
bekerja sama untuk memastikan penerapan Best Management Practices (BMP), intensifikasi
produksi kelapa sawit yang berkelanjutan (salah satunya dengan penanaman di lahan
terdegradasi), dan inovasi penelitian mengenai teknik produksi kelapa sawit.
BMP adalah suatu metoda dan teknik agronomis yang diterapkan dengan biaya
efektif dan secara praktek ditujukan untuk memperkecil jarak antara perolehan Yield
Aktual terhadap Yield Potensial perkebunan sawit serta mengurangi dampak buruk terhadap
lingkungan hidup dengan menggunakan input produksi dan sumber sumber produksi secara
efisien.
Keberhasilan BMP bergantung pada komitmen yang kuat dari manajemen
perkebunan untuk memberikan arahan serta anggaran dan sumber daya yang memadai, dan
untuk melaksanakan BMP secara ketat dan tepat waktu.
Untuk perusahaan, program Corporate Social Responsability (CSR) juga sebaiknya
diprioritaskan ke arah konsep menyalamat petak danum (ungkapan dari Bahasa Dayak untuk
"Penyelamatan Lingkungan Tanah Air") dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Pemerintah Indonesia juga dapat bekerja sama dengan industri dan LSM untuk
mempromosikan intensifikasi produksi di lahan-lahan terdegradasi. Faktanya, penelitian
menunjukkan bahwa pengembangan lahan terdegradasi di tanah mineral (mineral soils)
memberikan tingkat pengembalian ekonomi yang sama atau bahkan lebih baik daripada
pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan hutan tropis karena biaya investasi yang
lebih rendah dan hasil panen yang tinggi.
Di bawah BMP, analisis keuangan menunjukkan bahwa lahan yang 'terdegradasi'
menawarkan tingkat pengembalian yang superior kepada petani kelapa sawit daripada hutan
primer dan lahan gambut. Disamping itu, penanaman kelapa sawit di lahan terbuka atau lahan
yang sudah terdegradasi dapat membuahkan net zero carbon footprint (karbon netral).
Sebagai contoh, Brasil telah sukses dalam menerapkan model intensifikasi untuk
mengurangi deforestasi di Hutan Amazon yang ditunjang dengan peningkatan akses terhadap
kredit pedesaan terkait dengan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan hidup. Konsep ini
telah terbukti menjadi model yang efektif untuk meningkatkan produktivitas pertanian di
lahan pertanian yang ada dan mencegah pembukaan hutan untuk perluasan lahan pertanian.
Balmford, dkk. (2005) menemukan bahwa kenaikan hasil (yield) perkebunan sama
pentingnya dengan perluasan areal panen. Hal ini sekali lagi menyoroti pentingnya
meningkatkan hasil panen sebagai upaya pencegahan deforestasi untuk ekspansi pertanian.
Perkembangan di masa depan juga menjanjikan: penelitian tentang tanaman hasil rekayasa
genetika dapat menciptakan pohon kelapa sawit yang lebih pendek dan dapat hidup lebih dari
25 tahun, yang akan mengurangi kebutuhan untuk pembuangan dan penanaman kembali
pohon dan meningkatkan frekuensi panen.
Dengan mengakui manfaat ekonomi minyak sawit ke Indonesia, kita dapat berfokus pada
peningkatan hasil panen untuk menghasilkan lebih banyak tanpa mendorong perkebunan lebih dalam
ke kawasan hutan.
Masalahnya bukan terletak pada komoditas kelapa sawit itu sendiri, tetapi pada cara manusia
memanfaatkannya secara cerdas. Industri kelapa sawit di Indonesia memang terlihat "jahat", tetapi
dengan penilaian yang rasional tentang aspek-aspek penting industri sawit yang didukung dengan
sinergi berbagai stakeholder yang terlibat, kita masih dapat menikmati keuntungan dari komoditas ini
tanpa mengorbankan kelestarian alam bumi pertiwi.