Anda di halaman 1dari 20

PROSES PENGOLAHAN DAN MANAJEMEN MUTU

PRODUK KOPI DAN KAKAO PUSAT PENELITIAN KOPI


DAN KAKAO INDONESIA

LAPORAN HASIL KUNJUNGAN LAPANG

diajukan guna memenuhi syarat Matakuliah Manajemen Agroindustri

Oleh

Ali Syech Chasni NIM 151710201037

PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO


JURUSAN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pusat Penelitian kopi dan kakao di kabupaten Jember merupakan salah
satu pusat pengolahan kopi dan kakao di Indonesia. Proses pengolahan kopi dan
kakao tersebut dilakukan menggunakan fasilitas yang sangat memadai seperti alat
dan mesin produksi yang sudah dirancang oleh Peneliti Pasca Panen.
Adapun untuk menghasilkan olahan biji kopi dan kakao yang bermutu
baik, maka diperlukan penanganan pasca panen yang tepat dengan melakukan
setiap tahapan-tahapan secara benar , efektif dan efisien.
Pusat Penelitian kopi dan kakao di kabupaten Jember tersebut sangat
menjaga kualitas dan kuantitas produksi kopi dan kakao mereka, sehingga setiap
proses dan tahapan produksinya benar-benar dirancang dan diteliti oleh lembaga-
lembaga tertentu baik nasional maupun internasional.
Oleh karena itu, perlunya melakukan kunjungan lapang ke Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao supaya lebih mengetahui proses pengolahan dan manajemen
mutu serta memperoleh bekal/wawasan baik input maupun output sebagai seorang
The legend of change.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui penerapan metode manajemen mutu yang digunakan oleh
PUSLITKOKA.
2. Memperoleh input dan output dari hasil kunjungan lapang PUSLITKOKA;

1.3 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan laporan ini bagi mahasiswa
tentunya memperoleh input dan output baik berupa pengetahuan, wawasan, serta
penerapan ilmu.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kopi
Di Indonesia, kopi mulai dikenal pada tahun 1696, yang dibawa oleh
VOC. Tanaman kopi di Indonesia mulai diproduksi di pulau Jawa dan hanya
bersifat coba-coba. Namun, hasilnya memuaskan dan dipandang oleh VOC cukup
menguntungkan sebagai komoditi perdagangan, sehingga VOC menyebarkannya
ke berbagai daerah agar para penduduk menanamnya (Najiyanti dan Danarti,
2004).
Menurut Rahardjo (2012), kopi merupakan salah satu jenis tanaman
perkebunan yang sudah lama dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis yang
lumayan tinggi. Konsumsi kopi dunia mencapai 70% berasal dari spesies kopi
arabika dan 26% berasal dari spesies kopi robusta. Asal kopi pertama kali berasal
dari Afrika, yaitu daerah pegunungan di Etopia. Namun, kopi sendiri baru dikenal
oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di luar daerah
asalnya, yaitu Yaman di bagian selatan Arab, melalui para saudagar Arab.
Menurut Ed (2014), kopi dapat tumbuh dengan baik di wilayah sekitar
garis khatulistiwa. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sesuai untuk
ditumbuhi tanaman kopi. Perkebunan kopi di Indonesia diperoleh dari 96,1%
perkebunan rakyat, 1,9% perkebunan besar Negara, dan 2% perkebunan besar
Swasta.

2.2 Jenis-jenis dan Proses Pengolahan Kopi


Indonesia merupakan produsen kopi terbesar urutan keempat di dunia
setelah Brazil, Vietnam, dan Colombia. Di dunia perdagangan dikenal beberapa
golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi arabika,
robusta, dan liberika. Pada umumnya, penggolongan kopi berdasarkan spesies,
kecuali kopi robusta. Kopi robusta bukan nama spesies karena kopi ini merupakan
keturunan dari berapa spesies kopi terutama Coffea canephora (Najiyati dan
Danarti, 2004). Menurut Aak (1980), terdapat 4 jenis kopi yang telah
dibudidayakan yaitu:
2.2.1 Kopi Arabika
Kopi Arabika merupakan jenis kopi yang paling baik mutu cita rasanya,
tanda-tandanya yaitu biji picak dan daun hijau tua serta berombak-ombak. Jenis-
jenis kopi yang termasuk dalam golongan Arabika adalah Abesinia, Pasumah,
Marago dan Congensis. Kopi arabika merupakan kopi yang paling banyak
dikembangkan di dunia maupun di Indonesia khususnya. Kopi ini ditanam pada
dataran tinggi yang memiliki iklim kering sekitar 1350-1850 m dari permukaan
laut, sedangkan di Indonesia sendiri kopi ini dapat tumbuh dan berproduksi pada
ketinggian 1000-1750 m dari permukaan laut (Najiyati dan Danarti, 1997).
2.2.2 Kopi Liberika
Kopi Liberika berasal dari Angola dan masuk ke Indonesia sejak tahun
1965. Meskipun sudah cukup lama penyebarannya tetapi hingga saat ini
jumlahnya masih terbatas karena kualitas buah yang kurang bagus dan
rendemennya rendah (Najiyati dan Danarti, 1997). Jenis Liberika antara lain: kopi
Abeokutae, kopi Klainei, kopi Dewevrei, Kopi Excelsa dan kopi Dybrowskii.
Jenis-jenis tersebut pernah dicoba di Indonesia hanya satu jenis yaitu jenis
Excelsa. Kopi ini memiliki kualitas yang lebih buruk dari kopi Arabika baik dari
segi buah dan tingkat rendemennya rendah (Aak, 1988).
2.2.3 Kopi Robusta (Canephora)
Kopi Canephora juga disebut kopi Robusta. Nama Robusta dipergunakan
untuk tujuan perdagangan, sedangkan Canephora adalah nama botanis. Jenis kopi
ini berasal dari Afrika, dari pantai barat sampai Uganda. Kopi robusta memiliki
kelebihan dari segi produksi yang lebih tinggi dibandingkan jenis kopi Arabika
dan Liberika. Jenis-jenis kopi Robusta adalah Quilou, Uganda dan Canephora
Kopi Robusta digolongkan lebih rendah mutu citarasanya dibandingkan dengan
cita rasa kopi Arabika. Hampir seluruh produksi kopi Robusta di seluruh dunia
dihasilkan secara kering dan untuk mendapatkan rasa lugas tidak boleh
mengandung rasa-rasa asam dari hasil fermentasi. Kopi Robusta memiliki
kelebihan yaitu kekentalan lebih dan warna yang kuat (Najiyati dan Danarti,
1997).
2.2.4 Proses Pengolahan Kopi
Menurut Najiyati dan Danarti (1997), tahapan pengolahan kopi pada
pengolahan primer yaitu dari buah kopi diolah menjadi biji kadar air 12-13%.
Pengolahan primer kopi dibagi menjadi 2 yaitu ada pengolahan kering dan ada
pengolahan basah. Pengolahan kering diproses dari buah merah langsung dijemur,
sedagkan oleh basah diproses dari buah melalui sortir, depulper (pengupasan buah
merah), fermentasi, lalu ke washing (pencucian), pengeringan (bertujuan
menguapkan kadar air 12-13% yang ada di biji kopi), proses hulling (pengupas
kulit tanduk), sortasi (untuk mengelompokkan ukuran).

2.2 Kakao
Menurut Prastowo et al. (2010), biji kakao merupakan bahan baku produk
pangan dan non pangan (obat-obatan dan kosmetik). Biji kakao yang akan
dijadikan bahan baku pangan berbeda dalam hal penanganan pasca panennya
dengan bahan baku non pangan. Pada bahan baku pangan, diperlukan proses
fermentasi agar dapat diperoleh cita rasa yang baik, sedangkan Biji kakao yang
digunakan sebagai bahan baku non pangan tidak memerlukan proses fermentasi.

2.2 Jenis-jenis dan Proses Pengolahan Kakao


Prastowo et al. (2010), kakao merupakan satu-satunya dari 22 jenis marga
Theobroma, suku Sterculiaceae, yang diusahakan secara komersial.
2.2.1 Jenis-jenis Kakao
Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat
populasi. Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah
anggota sub jenis sphaerocarpum. Bentuk bijinya lonjong, pipih dan keping
bijinya berwarna ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada sub
jenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena alur-alurnya dangkal.
Kulit buah tipis tetapi keras (liat).
Menurut Wood dalam Prastowo et al. (1975), kakao dibagi tiga kelompok
besar, yaitu criollo, forastero, dan trinitario. Sifat dan bentuk criollo yaitu
pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada forastero, relatif
gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah criollo kasar,
berbenjol-benjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal, tetapi lunak sehingga
mudah dipecah. Kadar lemak biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran
bijinya besar, bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik. Dalam tata niaga
kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured). Sementara itu,
kakao forastero termasuk kelompok kakao lindak (bulk), kelompok kakao
trinitario merupakan hibrida criollo dengan farastero. Sifat morfologi dan
fisiologinya sangat beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata
niaga, kelompok trinitario dapat masuk ke dalam kakao mulia dan lindak,
tergantung pada mutu bijinya.
2.2.2 Proses Pengolahan Kakao
Menurut Najiyati dan Danarti (1997), proses pengolahan kopi dibagi
menjadi 2 yaitu pengolahan primer dan pengolahan sekunder. Pengolahan primer
pada kakao diawali dari buah kakao diolah menjadi biji kakao kadar air 7%.
Tahapan pengolahannya yang pertama yaitu pemecahan buah kakao, berfungsi
memisahkan antara kulit dengan biji. Kemudian yang kedua depulper engine,
yaitu mesin pemeras lendir yang fungsinya yaitu untuk mengurangi lendir yang
ada pada biji kakao agar tidak menghambat proses pengeringan dan fermentasi.
Tahapan ketiga yaitu fermentasi, yang bertujuan pada pembuatan produk dan
makanan agar menciptakan rasa dan aroma yang khas pada coklat. Tahapan
keempat yaitu pengeringan, yang bertujuan mengeluarkan kadar air yang ada di
dalam biji kakao sampai 7%. Tahapan kelima yaitu sortasi, yang bertujuan
mengelompokkan ukuran diameter baik kualitas maupun kuantitas biji kakao.

2.3 Manajemen Mutu Metode Quality Function Deployment (QFD)


Menurut Jaelani (2012), Quality Function Deployment (QFD)
diperkenalkan oleh Yoji Akao, Professor of Management Engineering
Tamangawa University yang dikembangkan dari praktek dan pengalaman
industri-industri di Jepang. Pertama kali dikembangkan pada tahun 1972 oleh
perusahaan Mitsubishi di Kobe Shipryard, dan diadopsi oleh Toyota pada tahun
1978, dan tahun-tahun selanjutnya dikembangkan oleh perusahaan lainnya.
2.3.1 Definisi Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Tutuhatunewa (2010), QFD merupakan sebuah penerjemahan
yang sistematis dari produk yang diinginkan oleh konsumen (voice of customer)
menjadi apa yang dihasilkan organisasi. Metode QFD memungkinkan organisasi
untuk memprioritaskan kebutuhan pelanggan, menemukan tanggapan inovatif
terhadap kebutuhan tersebut, dan memperbaiki proses hingga tercapainya
efektivitas maksimum. QFD juga merupakan praktek menuju perbaikan proses
yang dapat memungkinkan organisasi untuk melampaui harapan pelanggannya.
2.3.2 Prinsip Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Sriwahyuni (2006:34), prinsip dari Quality Function Deployment
(QFD) sebagai berikut:
a. Bagaimana memasukkan atau menerjemahkan kebutuhan pelanggan (customer
requirement) menjadi aspek karakteristik teknis (engineering) pada suatu
produk;
b. Aktivitas pengambilan keputusan yang dilakukan oleh tim.
c. Tidak adanya pembagian tugas bagi orang-orang yang terlibat dalam
perusahaan. Namun, setiap individu harus memahami posisinya yang paling
tepat dalam proses tersebut.
2.3.3 Tahap Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Henuk et al. (Tanpa Tahun:16-19), pada metode QFD terdapat
tahapan-tahapan yang digunakan QFD untuk mengubah suara pelanggan menjadi
produk yang diinginkan pelanggan tersebut. Tahapan-tahapannya sebagai berikut:
a. Tahap Perencanaan Produk (House of Quality)
Rumah kualitas (HoQ) merupakan tahap pertama dalam penerapan metode
QFD. Secara garis besar matriks ini adalah upaya untuk menggabungkan suara
pelanggan secara langsung terhadap persyaratan teknis dari produk atau jasa yang
dihasilkan.
b. Tahap Perencanaan Komponen (Part Deployment)
Part Deployment merupakan tahap kedua dalam metode QFD.
c. Tahap Perencanaan Proses (Proses Deployment)
Operasi proses kunci ditentukan oleh karakter kualitas bagian dari matriks
sebelumnya.
d. Tahap Perencanaan Produksi (Manufacturing/ Production Planning)
Menurut Henuk et al. (Tanpa Tahun:16-19), persyaratan produksi ditentukan
dari operasi proses kunci. Pada fase ini dihasilkan prototype dari peluncuran
produk.
2.3.4 Kekurangan Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Wicaksono (2013:31), metode QFD memiliki kekurangan
sebagai berikut:
a. Memerlukan keahlian spesifik yaitu input pada QFD memerlukan analisis
pasar. Penerjemahan karakteristik kualitas membutuhkan keahlian perancangan
dalam bidang spesifikasi data kualitatif diubah ke kuantitatif;
b. Kesulitan dalam pengisian matriks;
c. Tidak ada kejelasan kerangka pemecahan masalah;
d. Bersifat proyek tanpa kelanjutan atau tidak adanya pembagian tugas yang tepat
untuk orang-orang yang terlibat di dalam perusahaan.
2.3.5 Kelebihan Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Wicaksono (2013:25-26), kelebihan Quality Function
Deployment sebagai berikut:
a. Menyediakan format standar untuk menerjemahkan kebutuhan pelanggan
menjadi persyaratan teknis, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelanggan;
b. Menolong tim perancang untuk memfokuskan proses perancangan yang
dilakukan pada fakta- fakta yang ada;
c. Selama proses perancangan, pembuatan keputusan dalam bentuk matriks-
matriks sehingga dapat diperiksa ulang serta dimodifikasi di masa yang akan
datang.

2.4 Manajemen Mutu Metode Total Quality Management (TQM)


Di Indonesia, TQM pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980-an dan
sekarang cukup populer di sektor swasta khususnya dengan adanya program ISO
9000. Banyak perusahaan terkemuka dan perusahaan milik negara telah
mengadopsi TQM sebagai bagian dari strategi mereka untuk kompetitif baik di
tingkat nasional maupun internasional (Rahmi, 2015).
2.4.1 Definisi Total Quality Management (TQM)
Total Quality Management (TQM) merupakan suatu pendekatan yang
berorientasi pada pelanggan dengan memperkenalkan perubahan manajemen
secara sitematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk dan
pelayanan suatu organisasi. Pada dasarnya TQM dapat diartikan sebagai sebuah
pendekatan praktis dan strategis dalam menjalankan roda organisasi yang
memfokuskan pada terpenuhinya ekspektasi pelanggan dengan cara melakukan
perbaikan produk secara terus menerus dan berkelanjutan serta melibatkan seluruh
sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien (Universitas Islam Negri Malang,
Tanpa Tahun).
2.4.2 Prinsip Total Quality Management (TQM)
Menurut Hensler dan Brunel (dalam Ahmad, Tanpa Tahun), ada empat
prinsip utama dalam TQM, diantaranya yaitu :
a. Kepuasan Pelangan
Dalam TQM, konsep mengenai pelanggan dan kualitas diperluas. Kualitas
tidak lagi hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu,
tetapi kualitas tersebut ditentukan oleh pelanggan (Ahmad, Tanpa Tahun).
b. Respek Terhadap Setiap Orang
Setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan
untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan (Ahmad,
Tanpa Tahun).
c. Manajemen Berdasarkan Fakta
Setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan
(feeling) (Ahmad, Tanpa Tahun).
d. Perbaikan Berkesinambungan
Agar dapat sukses, setiap perusahaan perlu melakukan proses secara sistematis
dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan (Ahmad, Tanpa Tahun).
2.4.3 Tahap Total Quality Manegement (TQM)
Menurut Soeharso Hardjosoedarmo (1996:40) untuk menjamin
keberhasilan pengimplementasian TQM dalam perusahaan maka perlu mengikuti
tahapan sebagai berikut:
a. Tanamkan satu falsafah kualitas
Pada proses ini manajemen dan karyawan harus memahami sepenuhnya bahwa
untuk mencapai kelangsungan hidup organisasi secara berkesinambungan
dalam iklim persaingan, maka perusahaan harus mencapai kualitas total.
b. Manajemen harus membimbing dan menunjukkan kepemimpinan yang
bermutu
Dari tahap pertama, maka CEO (Chief Executive Officer) harus mampu
memberikan contoh baik dalam pola sikap, pola pikir, maupun pola tindak dan
menunjukkan kepemimpinan yang teguh dalam gerakan mutu.
c. Adakan perubahan terhadap sistem yang lebih kondusif
Tahap ketiga adalah dengan melakukan evaluasi terhadap sistem dan prosedur
yang ada dalam organisasi, apakah sistem tersebut masih kondusif dan
konsistem terhadap kualitas total.
4. Didik, latih dan berdayakan (empower) seluruh karyawan.
Melakukan pelatihan tentang kualitas total kepada seluruh anggota organisasi,
termasuk para manajer. Dalam pemberdayaan ini seluruh karyawan diberi
kepercayaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengorganisasikan
diri ke dalam self-managing teams guna perbaikan proses dalam mencapai
mutu produk atau jasa (Ahmad, Tanpa Tahun).
2.4.4 Kekurangan Total Quality Manegement (TQM)
Kurangnya pemantauan atas cacat produksi, kualitas sering di
kesampingkan dan menjadi masalah yang sering dihadapi (Universitas Islam
Negri Malang, Tanpa Tahun).
2.4.5 Kelebihan Total Quality Manegement (TQM)
Memenuhi kepuasan pelanggan, mengurangi biaya, meningkatkan
produktivitas, meningkatkan keterampilan manajerial dan operasional secara
efektif dan efisien, serta untuk pemberdayaan karyawan (Universitas Islam Negri
Malang, Tanpa Tahun).
2.5 Manajemen Mutu Metode Taguchi
Metode Taguchi dicetuskan oleh Dr. Genichi Taguchi pada tahun 1949
saat mendapat tugas untuk memperbaiki sistem komunikasi di Jepang. Ia memiliki
latar belakang engineering, juga mendalami statistika dan matematika tingkat
lanjut sehingga ia dapat menggabungkan antara teknik statistik dan pengetahuan
engineering (Ciptani, 1999:59-60).
2.5.1 Definisi Taguchi
Taguchi merupakan suatu pembeda dengan model pengukuran biaya
lainnya yaitu pengujian secara statistik atas suatu produk harus dilakukan sejak
tahap desain produk atau prototype produk agar produk yang dihasilkan serta
proses produksi yang dilakukan untuk menghasilkan produk tersebut tidak
memiliki penyimpangan terhadap nilai target yang telah ditetapkan (robust
condition) (Ciptani, 1999:79).
2.5.2 Nilai Penting Taguchi
Menurut Ciptani (1997:82) terdapat tujuh poin dari Taguchi yang
membedakan pendekatan Taguchi dengan pendekatan tradisional dalam menjamin
kualitas, yaitu :
a. Taguchi mendefinisikan kualitas sebagai penyimpangan dari performansi tepat
target, yang pada awal pemunculannya menjadi suatu paradok.
b. Dalam persaingan ekonomi, Continous Quality Improvement (CQI) atau
peningkatan kualitas terus-menerus dan penurunan biaya amat penting untuk
tetap bertahan dalam bisnis.
c. Sebuah program CQI melibatkan reduksi terus-menerus dalam variasi
karakteristik performansi produk dalam nilai-nilai target mereka.
d. Kerugian yang diderita konsumen akibat variasi performansi produk seringkali
proporsional dengan kuadrat penyimpangan karakteristik performansi dari nilai
targetnya.
e. Kualitas dan biaya akhir (R&D, manufaktur, dan operasi) dari produk
manufaktur bergantung pada desain rekayasa produk dan proses
manufakturnya.
f. Variasi dalam suatu performansi produk (atau proses) dapat dikurangi dengan
mengeksploitasi pengaruh-pengaruh non linier berbagai parameter produk
(atau proses) pada karakteristik performansi.
g. Percobaan-percobaan perencanaan secara statistik dapat secara efisien dan
diandalkan mengidentifikasi berbagai setting dan parameter produk (atau
proses) yang akan mengurangi variasi performansi.
2.5.3 Tahap Metode Mutu Taguchi
Langkah penelitian Taguchi dibagi menjadi tiga fase utama yang meliputi
keseluruhan pendekatan eksperimen. Tiga fase tersebut adalah :
a. Fase perencanaan, merupakan fase yang paling penting dari eksperimen untuk
menyediakan informasi yang diharapkan. Fase perencanaan adalah ketika
faktor dan levelnya dipilih, dan oleh karena itu, merupakan langkah yang
terpenting dalam eksperimen.
b. Fase pelaksanaan, ketika hasil eksperimen telah didapatkan. Jika eksperimen
direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, analisis akan lebih mudah dan
cenderung untuk dapat menghasilkan infomasi yang positif tentang faktor dan
level.
c. Fase analisis, adalah ketika informasi positif atau negatif berkaitan dengan
faktor dan level yang telah dipilih dihasilkan berdasarkan dua fase
sebelumnya. Fase analisis adalah hal penting terakhir yang mana apakah
peneliti akan dapat menghasilkan hasil yang positif (Metasari, 2008).
Dalam metode Taguchi terdapat 3 tahap untuk mengoptimasi desain
produk atau produksi yaitu :
a. System Design
Merupakan tahap pertama dalam desain dan merupakan tahap konseptual
pada pembuatan produk baru atau inovasi proses. Konsep mungkin berasal dari
percobaan sebelumnya, pengetahuan alam/teknik, perubahan baru atau
kombinasinya. Tahap ini adalah untuk memperoleh ide-ide baru dan
mewujudkannya dalam produk baru atau inovasi proses.
b. Parameter Design
Tahap ini merupakan pembuatan secara fisik atau prototype
matematis berdasarkan tahap sebelumnya melalui percobaan secara statistik.
Tujuannya adalah mengidentifikasi setting parameter yang akan memberikan
performasi rata-rata pada target dan menentukan pengaruh dari faktor gangguan
pada variasi dari target.
c. Tolerance Design
Penentuan toleransi dari parameter yang berkaitan dengan kerugian pada
masyarakat akibat penyimpangan produk (Metasari, 2008).
2.5.4 Kelebihan Metode Mutu Taguchi
a. Dapat mengurangi jumlah pelaksanaan percobaan jika dibandingkan
dengan menggunakan percobaan full factorial, sehingga dapat menghemat waktu
dan biaya.
b. Dapat melakukan penghematan terhadap rata-rata dan variasi karakteristik
kualitas sekaligus, sehingga ruang lingkup pemecahan masalah lebih luas.
c. Dapat mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik
kualitas melalui perhitungan Average dan Rasio S/N, sehingga faktor- faktor
yang berpengaruh tersebut dapat diberikan perhatian khusus (Anonim, Tanpa
Tahun).
2.5.5 Kekurangan Metode Mutu Taguchi
Apabila percobaan ini dilakukan dengan banyak faktor dan interaksi, akan
terjadi pembauran beberapa interaksi oleh faktor utama. Akibatnya, keakuratan
hasil percobaan akan berkurang, jika interaksi yang diabaikan tersebut memang
benar-benar berpengaruh terhadap karakteristik yang diamati (Anonim, Tanpa
Tahun).
2.6 Manajemen Mutu ISO:9000
ISO 9000 adalah suatu rangkaian dari lima standar mutu internasional
yang dikembangkan oleh The Internasional Organization for Standardization di
Geneva, Switzerland yang diprakarsai oleh American National Standards Institute,
didirikan pada tanggal 23 Februari 1943 (Tunggal, 1998: 106).
2.6.1 Definisi Standarisasi ISO 9000
ISO 9000 merupakan suatu seri dari standar-standar internasional untuk
sistem kualitas, yang menspesifikasikan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi
untuk desain dan untuk penilaian dari suatu sistem manajemen dengan tujuan
untuk menjamin bahwa pemasok (perusahaan) akan menyerahkan barang dan /
atau jasa yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan (Wahyono, 2012).
Menurut Tunggal (1998: 106) standar ISO 9000 adalah sebagai berikut:

a. ISO 9000: Standar manajemen dan jaminan mutu pemandu untuk pemilihan
dan penggunaan standar.
b. ISO 9001: Sistem mutu-model untuk jaminan mutu dalam perancangan
produksi, instalasi, dan pelayanan jasa.
c. ISO 9002: Sistem mutu model untuk jaminan mutu dalam sistem produksi
dan instalasi.
d. ISO 9003: Sistem mutu model untuk jaminan mutu dalam inspeksi akhir dan
pengujian.
e. ISO 9004: Elemen-elemen manajemen mutu dan sistem mutu pedoman.
2.6.2 Tujuan dan Manfaat ISO
Menurut Tunggal (1998:107) ISO 9000 memilki tiga tujuan mutu, yaitu:

a. Organisasi harus mencapai dan mempertahankan mutu produk atau jasa yang
dihasilkan, sehingga secara berkesinambungan dapat memenuhi kebutuhan
para konsumen.
b. Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak manajemennya sendiri,
bahwa mutu tersebut telah tercapai dan dapat dipertahankan.
c. Organisasi harus memberikan keyakinan kepada konsumen akan mutu yang
dituju atau yang akan dicapai dalam produk atau jasa yang dijual.
2.6.3 Perkembangan ISO 9000
Bersamaan dengan popularitas isu tentang TQM maka kehadiran ISO
9001/2/3:1994 memiliki peran mengisi kekurangan dan menyempurnakan praktek
TQM seperti pengendalian continuous improvement, customer focus,
employeeinvolvement dan empowerment melalui sistem dokumentasi dan
recording/rekaman. ISO 9000:1994 dinilai lemah dalam pengendalian continous
improvement dan belum mampu mendukung keunggulan daya saing. Fakta
menunjukkan bahwa pelaksanaan ISO 9000:1994 dinilai belum efektif, maka
panitia teknis (technical committee) melakukan revisi dan mempublikasikan
kedua kalinya menjadi ISO 9000:2000. Hingga kini, standarisasi lingkungan
menjadi isu penting untuk diterapkan pada usaha manufaktur, walaupun demikian
perusahaan mengadobsi ISO 9000:2000 untuk tujuan kepuasan pelanggan.
ISO 9000 meliputi elemen yang berbeda / bertolak belakang dengan
prinsip TQM seperti :
a. Terlalu banyak birokrasi; Birokrasi ini menjadikan demotivasi dan
ketidakmudahan diantara para pekerja.
b. Kurangnya fleksibilitas, pelaksanaan yang benar dari norma mungkin dapat
mengahalangi perubahan yang dianggap penting dari sebuah proses yang
membutuhkan pengembangan yang berkelanjutan.
c. ISO 9000 bisa menjadi kekuatan perusahaan pada pengawasan produk-produk
yang diterrima dari suplier, kalau TQM membenarkan pengendalian ini dan
mengolah hubungan dengan suplier atas dasar kepercayaan.
d. ISO 9000 bisa menjadi kekuatan perusahaan untuk melakukan pengendalian
pada intermediate dan produk akhir. TQM menekankan pada pencegahan dari
pada pengawasan, bagaimanapun ISO 9000 memberikan pentingnya
pengawasan (Respati, 2007).
2.6.4 Tahapan Sertifikasi Manajemen Mutu ISO:9000
Sertifikasi sistem manajemen kualitas ISO-9000 tidak dapat diperoleh
dengan sekali jadi tapi dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Adopsi
Sebelum manajemen mengadopsi sistem manajemen kualitas ISO-9000, maka
pihak manajemen harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu apa itu sistem
manajemen kualitas ISO-9000. Dari mengetahui dan memahami akan timbul
keyakinan akan manfaat sistem manajemen kualitas ISO-9000. Keyakinan akan
menimbulkan niat dan motivasi yang akhirnya timbul komitmen untuk
mengadopsinya.
b. Persiapan
Tahap persiapan ini berisikan segala bentuk persiapan yang perlu dilakukan
mulai dari seleksi konsultan untuk mendiagnostik sistem organisasi hingga
menyusun program kerja.
c. Pengembangan
Tahap pengembangan ini adalah tahap yang sangat penting dalam
implementasi sistem manajemen kualitas ISO-9000. Kebijakan kualitas
merupakan pernyataan dari top manajemen tentang komitmennya terhadap
kualitas, kebijakan kualitas ini harus dipahami dan dimengerti oleh setiap
karyawan.
d. Implementasi
Pada tahap implementasi ini tanggung jawab sangat penting karena
karyawanlah yang menjalankan sistem tersebut. Jika terjadi beberapa proses tidak
sesuai dengan prosedur yang telah disusun, maka akan mempengaruhi perusahaan
dalam memperoleh sertifikat.
e. Assessment
Badan sertifikasi akan menuju semua dokumen (document review) yang ada
dan dibandingkan dengan ketentuan dalam ISO-9000. Kemudian membandingkan
semua prosedur yang telah ditulis dengan penerapannya dilapangan (Respati,
2007).
Waktu yang dibutuhkan perusahaan mulai tahap adopsi sampai dengan
tahap sertifikasi sangat bervariasi, namun dibutuhkan waktu rata-rata antara 12-
18 bulan. Setelah sertifikasi diperolehi bukan berarti semuanya sudah berakhir,
namun merupakan permulaan yang baik dari penerapan sistem manajemen
kualitas ISO-9000 untuk masuk dalam kompetisi global (Respati, 2007).
BAB 3. PEMBAHASAN

Proses pengolahan kopi dan Kakao dibagi menjadi 2 yaitu pengolahan


primer dan pengolahan sekunder. Pengolahan primer pada kakao diawali dari
buah kakao diolah menjadi biji kakao kadar air 7%. Tahapan pengolahannya
yaitu:
1. Pemecahan buah kakao, berfungsi memisahkan antara kulit dengan biji;
2. Kemudian depulper engine, yaitu mesin pemeras lendir yang fungsinya
yaitu untuk mengurangi lendir yang ada pada biji kakao agar tidak
menghambat proses pengeringan dan fermentasi.;
3. Fermentasi, yang bertujuan pada pembuatan produk dan makanan agar
menciptakan rasa dan aroma yang khas pada coklat.;
4. Pengeringan, yang bertujuan mengeluarkan kadar air yang ada di dalam biji
kakao sampai 7%.;
5. Sortasi, yang bertujuan mengelompokkan ukuran diameter baik kualitas
maupun kuantitas biji kakao;
Pada pengolahan biji kakao menggunakan fast breaker yaitu alat untuk
memisahkan antara buah sekaligus untuk memisahkan antara biji dan buah.
Kapasitas yang dimiliki alat ini yaitu 3000 tongkol per jam Terdapat dua offset
pada fast breaker yaitu atas untuk bagian kulit dan bawah untuk bagian biji.
Depulper berfungsi untuk memisahkan biji dengan lender, alat ini memiliki
kapasitas 1 ton per jam, sehingga pada alat ini merupakan pengolahan biji kakao
tanpa limbah. Tahap selanjutnya yaitu fermentasi yang dilakukan selama 5 hari
dan pengeringan dibutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai kadar air 7%, bahan
bakarnya pake kayu bakar dan blowernya menggunakan 1 PK serta kapasitasnya 2
ton per byte.
Adapun tahapan pengolahan kopi pada pengolahan primer yaitu dari buah
kopi diolah menjadi biji kadar air 12-13%. Pengolahan primer kopi dibagi
menjadi 2 yaitu ada pengolahan kering dan ada pengolahan basah. Pengolahan
kering diproses dari buah merah langsung dijemur, sedagkan oleh basah diproses
dari buah melalui sortir, depulper (pengupasan buah merah), fermentasi, lalu ke
washing (pencucian), pengeringan (bertujuan menguapkan kadar air 12-13% yang
ada di biji kopi), proses hulling (pengupas kulit tanduk), sortasi (untuk
mengelompokkan ukuran).

BAB 3. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Manajemen mutu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao menggunakan metode


TQM (Total Quality Management) dengan empat prinsip utamanya yaitu
kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap anggota, manajemen
berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan;
2) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao menggunakan pendekatan sistematis
melalui tahapan dari fakta-fakta di lapang dalam menentukan kepuasan
pelanggan, respek terhadap setiap anggota, manajemen berdasarkan fakta,
dan perbaikan yang berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA

Aak. 1980. Budidaya Tanaman Kopi. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Ed. 2014. Mengenal Jenis-jenis Kopi. http://www.bakorluh.riau.go.id/berita/429-


mengenal-jenis-jenis-kopi.pdf. [16 Novenber 2016].

Najiyati, S., dan Danarti. 2004. Budidaya Tanaman Kopi dan Penanganan Pasca
Panen. Jakarta: Penebar Swadaya.

Prastowo, B., Karmawati, E., Rubijo., Siswanto., Indrawanto, C., Munarso, S. J.,
Budidaya Pasca Panen Kopi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan.

Rahardjo, Pudji. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan
Robusta. Jakarta: Penebar Swadaya.

Starfarm. 2010a. Pengolahan Pasca Panen Kopi. http://www.starfarmagris.co.cc


/2009/06/pengolahanpasca-panen-kopi.pdf [16 November 2016].

Wood. G. A. R. 1975, Cocoa Tropical Agriculture Series, 3 Ed, London,


Longmans dalam Budidaya Pasca Panen Kopi. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan.

Ahmad, M. Tanpa Tahun. Analisis Manajemen Mutu Terpadu (Tqm) Dalam


Pelayanan Rumah Sakit. 77e-087. [12 Oktober 2016].

Anonim. 2009. TAGUCHI. library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC


/2009-2-00454-TI%20BAB%202.doc.[12 Oktober 2016].

Ciptani, P. I., dan Purnawan. 2014. Kajian Kondisi Proses Delignifikasi Tepung
Sohun Dengan Metode Taguchi. Jurnal Teknologi. Vol 7 (2).

Henuk. Y. G., Santoso. C. H., dan Kristanti, M. (Tanpa Tahun). Perencanaan


Quality Function Deployment (QFD) pada Hotel Everbright Surabaya.
Artikel Ilmiah. Surabaya: Jurusan Manajemen Perhotelan Universitas
Kristen Petra.

Jaelani, E. 2012. Perencanaan dan Pengembangan Produk dengan Quality


Function Deployment (QFD). Jurnal Sains Manajemen dan Akutansi.
Vol. IV(1): 1-19.

Metasari, N. 2008. Quality Engeenering. https://qualityengineering.wordpress.


com/ about/. [12 Oktober 2016].
Rahmi, S. 2015. Total Quality Management Dalam Mewujudkan Pendidikan
Islam. 195-1SM. [Oktober 2016].

Respati, H. 2007. Studi Teoritis ISO 9000 dan TQM. Jurnal Ekonomi
Modernisasi: Vol 3 (3).

Sriwahyuni, W. Analisis Diversivikasi Produk Minuman pada CV Fauzi


Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat (Menggunakan Metode Quality
Function Deployment). Skripsi. Bogor: Program Studi Ekstensi
Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Tunggal, A. W. 1998. Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Tutuhatunewa, A. 2010. Aplikasi Metode Quality Function Deployment dalam


Pengembangan Produk Air Minum Kemasan. Jurnal ARIKA. Vol. 4(1):
11-19.

Universitas Islam Negri Malang. Tanpa Tahun. Tanpa Judul.


http://digilib.uinsby.ac.id/7696/3/bab%202.pdf [12 Oktober 2016].

Wahyono, B. 2012. Pengertian dan Tujuan ISO 9000 http://www.pendidikan


ekonomi.com/2012/09/pengertian-dan-tujuan-iso-9000.html [14 Oktober
2016].

Wicaksono, A., W. 2013. Penerapan Metode QFD (Quality Function


Deployment). Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Teknik
Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai