Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI BAHAN PENYEGAR

ACARA II
PROSES PENGOLAHAN KOPI

Oleh :
Resty Khairunissa A1D007012
Natya Laksmi Putri A1D007032

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
2009
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kopi (Coffea spp.) merupakan tanaman berbentuk pohon yang termasuk


dalam famili Rubiceae dan genus Coffea. Tanaman kopi tumbuh tegak, dan
tingginya mencapai 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing
(Najiyati dan Danarti, 2007). Kopi merupakan tanaman tropis yang dapat tumbuh
dimana saja. Mutu kopi yang baik sangat tergantung pada jenis bibit yang
ditanam, keadaan iklim, dan tinggi tempat.
Sejak puluhan tahun lalu kopi telah menjadi sumber pendapatan dan
banyak orang yang tertarik untuk membudidayakan tanaman ini, karena tanpa
perawatan khusus pun, produksi kopi yang dihasilkan sudah cukup baik. Apalagi
bila dipelihara dan diolah dengan baik, usaha kopi ini akan mendatangkan
keuntungan.
Saat ini kopi banyak dikonsumsi dan diminati masyarakat, baik dari
kalangan menengah ke atas hingga menengah ke bawah. Tingginya minat
masyarakat akan kopi disebabkan karena kopi baik dalam bentuk bubuk maupun
seduhannya memiliki aroma khas yang tidak dimiliki oleh minuman lainnya.
Selain itu kopi merupakan minuman yang bisa dinikmati tiap waktu, pagi,siang
maupun malam hari dan dalam bentuk panas maupun dingin.
Mutu kopi yang baik sangat tergantung pada jenis bibit yang ditanam,
keadaan iklim dan tinggi tempat. Teknik budi daya kopi untuk memperoleh hasil
yang bermutu tidak hanya berhenti pada budi daya dan pemanenan saja,
melainkan juga cara penanganan hasil panen, misalnya proses pengolahannya
(Najiyati dan Danarti, 2007). Setiap tahap dari pengolahan tersebut menentukan
mutu kopi yang dihasilkan.
Cara pengusahaan dan cara pengolahan yang sangat sederhana oleh petani-
petani kopi menyebabkan perbedaan yang besar antara mutu kopi yang beragam
dengan mutu baik yang dihasilkan di perkebunan-perkebunan. Rendahnya
kemampuan petani untuk memperbaiki mutu kopi yang dihasilkan, merupakan
penyebab utama.

B. Tujuan Praktikum

Mengetahui pengaruh waktu penyangraian terhadap kualias kopi bubuk


dan tingkatan mutu terhadap sifat organoleptik seduhan kopi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Buah kopi atau sering juga disebut kopi gelondong basah adalah buah kopi
hasil panen dari kebun, kadar airnya masih berkisar antara 60-65% dan biji
kopinya masih terlindung oleh kulit buah, daging buah, lapisan lendir, kulit
tanduk dan kulit ari. Buah kopi terdiri dari tiga bagian, yaitu lapisan kulit terluar
(eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp)
yang tipis, tetapi keras. Pada umumnya, buah kopi mengandung dua butir biji,
tetapi terkadang hanya mengandung satu butir atau bahkan tidak berbiji (hampa)
karena bakal biji tidak berkembang secara sempurna. Biji terdiri dari kulit biji dan
lembaga. Lembaga (endosperm) merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk
membuat minuman kopi.
Komposisi kimia biji kopi berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah
tempat tumbuh dan pengolahan kopi. Struktur kimia yang terpenting tedapat
didalam kopi adalah kafein dan caffeol. Kafein yang menstimuli kerja saraf,
caffeol memberikan flavor dan aroma yang baik (Ridwansyah, 2002).
Teknik budi daya kopi untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi tidak
hanya berhenti pada budi daya dan pemanenan saja, melainkan juga cara
penanganan hasil panen. Penanganan kopi setelah panen dimulai dengan sortasi
(pemilihan) gelondong, kemudian pengolahan, sortasi biji, dan
pengepakkan/penyimpanan (Najiyati dan Danarti, 2007).
Kopi yang sudah dipetik harus segera diolah lebih lanjut dan tidak boleh
dibiarkan selama lebih dari 12-20 jam. Bila tidak segera diolah, kopi akan
mengalami fermentasi dan proses kimia lainnya yang dapat menurunkan mutu.
Bila terpaksa belum dapat diolah, kopi harus direndam dulu dalam air bersih
mengalir (Najiyati dan Danarti, 2007).
Penilaian biji-biji kopi didasarkan atas rupa (appearance), warna dan
ukuran, rasa dan aroma dari biji yang telah disangrai dan digiling menjadi serbuk.
Sifat-sifat ini ditentukan oleh tumbuhan asal, cara memlihara kebun, dan cara
pengolahan biji,biji kopi. Sifat-sifat baik dari biji-biji kopi dapat dirusak oleh cara
pengolahan yang kurang tepat. Selain itu, sifat-sifat baik itu juga dapat dirusak
oleh cara penyangraian yang tidak memenuhi syarat dari konsumen sehingga
hasilnya menjadi kurang menarik (Loo, 1983).
Tujuan utama dari pengolahan kopi adalah memperoleh biji-biji kopi yang
berkualitas tinggi. Proses pengolahan buah kopi dilakukan melalui dua cara,
uyaitu cara basah dan kering.

1. Pengolahan Basah (WP = wet process)

Pengolahan basah atau West Indesche Bereiding, dipakai di Indonesia ini


semenjak kopi Robusta berkembang. Karena sebelum itu untuk jenis kopi Arabika
hanyalah dipergunakan pengolahan kering (Muljana, 1982)
Cara ini disebut pengolahan basah karena prosesnya banyak menggunakan
air. Pengolahan basah hanya digunakan untuk mengolah kopi sehat yang berwarna
merah, sedangkan kopi berwarna hijau dan terserang bubuk diolah secara kering.
Pengolahan basah dilakukan melalui tujuh tahap, yaitu tahap sortasi gelondong,
pulping, fermentasi, pencucian, pengeringan, hulling, dan sortasi biji (Najiyati dan
Danarti, 2007).
a. Sortasi biji
Najiyati dan Danarti (2007) menyatakan bahwa sortasi gelondong
dimaksudkan untuk memisahkan kopi merah yang berbiji dan sehat dengan kopi
hampa dan terserang bubuk. Pemisahan dari buah-buah masak yang baik dan yang
buruk dilakukan dengan air. Yang baik tenggelam dalam air, sedangkan yang
hampa akan mengapung, sehingga mereka dapat dipisahkan dengan mudah (Loo,
1983).
b. Pulping (pengupasan kulit buah)
Pulping bertujuan untuk memisahkan biji dari kulit buah sehingga
diperoleh biji kopi yang masih terbungkus kulit tanduk (Najiyati dan Danarti,
2007).. Prinsip kerjanya adalah melepaskan eksocarp dan meksocarp buah kopi
dimana prosesnya dilakukan dilakukan didalam air mengalir. Proses ini
menghasilkan kopi hijau kering dengan jenis yang berbeda-beda. Pemisahan kulit
ini menggunakan mesin pulper. Pulper yang sering digunakan adalah vis pulper
dan raung pulper. Perbedaanya adalah vis pulper berfungsi hanya sebagai
pengupas kulit saja sehingga hasilnya perlu difermentasi dan dicuci lagi.
Sementara raung pulper berfungsi sebagai pencuci, sehingga kopi yang keluar
dari mesin tidak perlu lagi difermentasi dan dicuci.

Gambar 1. Sketsa tipe pulper


Terkadang buah kopi yang keluar dari mesin pulper kulitnya belum
terkelupas seluruhnya. Oleh karena itu kulit buah yang belum terkupas harus
dikumpulkan, lalu dimasukkan ke mesin pulper lagi hingga seluruh kulitnya
terkelupas.
c. Fermentasi
Proses fermentasi bertujuan untuk melepaskan daging buah berlendir
(mucilage) yang masih melekat pada kulit tanduk dan pada proses pencucian akan
mudah terlepas (terpisah) sehingga mempermudah proses pengeringan. Hidrolisis
pektin disebabkan, oleh pektinase yang terdapat didalam buah atau reaksinya bisa
dipercepat dengan bantuan jasad renik (Saccharomyces) yang disebut dengan
proses peragian dan pemeraman. Biji kopi yang keluar dari mesin pulper dialirkan
lewat saluran sebelum masuk bak fementasi. Selama dalam pengaliran lewat
saluran ini dapat dinamakan proses pencucian pendahuluan. Di dalam pencucian
pendahuluan ini biji kopi yang berat (bernas) dapat dipisahkan dari sisa-sisa
daging buah yang terbawa, lapisan lendir, biji-biji yang hampa karena bagian ini
terapung di atas aliran air sehingga mudah dipisahkan.
Pengolahan kopi secara basah ini terbagi 3 cara proses fermentasinya :
1. Pengolahan cara basah tanpa fermentasi
Biji kopi yang setelah melalui pencucian pendahuluan dapat langsung
dikeringkan.
2. Pengolahan cara basah dengan fermentasi kering
Biji kopi setelah pencucian pendahuluan lalu digundukan dalam bentuk
gunungan kecil (kerucut) yang ditutup karung goni. Didalam gundukan itu
segera terjadi proses fermentasi alami. Agar supaya proses fermentasi
berlangsung secara merata, maka perlu dilakukan pengadukan dan
pengundukan kembali sampai proses fermentasi dianggap selesai yaitu bila
lapisan lendir mudah terlepas.
Proses fermentasi akan berlangsung selama lebih kurang dari 1,5 sampai
4,5 hari tergantung pada keadaan iklim dan daerahnya. Proses fermentasi yang
terlalu lama akan menghasilkan kopi beras yang berbau apek disebabkan oleh
terjadinya pemecahan komponen isi putih lembaga (Ridwansyah, 2002).
d. Pencucian
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan seluruh lapisan lendir dari
kotoran lainnya yang masih tertinggal setelah difermentasi atau setelah keluar
dari mesin raung pulper. Pencucian secara sederhana dilakukan pada bak
memanjang dengan air mengalir. Cara yang lebih sederhana lagi bisa dilakukan di
dalam bak yang bagian bawahnya diberi lubang pengatur keluaran air. Bila sudah
bersih dan tidak licin, kopi diangkat dari bak dan ditiriskan (Najiyati dan Danarti,
2007).
e. Pengeringan
Kopi yang sudah selesai dicuci mengandung air sekitar 53-55%.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air menjadi 8-10%. Dengan
demikian, kopi tidak mudah terserang cendawan dan tidak mudah pecah ketika
dihulling. Pengeringan bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara alami, buatan
dan kombinasi keduanya. Pengeringan alami hanya dilakukan pada musim
kemarau karena pengeringan pada musim hujan tidak sempurna. Pengeringan
buatan dilakukan dengan alat pengering yang hanya memrlukan waktu sekitar 18
jam, tergantung jenis alatnya. Sedangkan pengeringan kombinasi alami dan
buatan dilakukan dengan cara menjemur kopi di terik matahari hingga kadar air
mencapai 30%. Kemudian, kopi dikeringkan lagi secara buatan sampai kadar air
mencapai 8-10% (Najiyati dan Danarti, 2007). Rata-rata pengeringan antara 10-15
hari. Pengeringan buatan (suhu tidak lebih dari 55°C) juga banyak digunakan
sejak pengeringan kopi alami menjadi lebih sulit dilakukan pada perkebunan yang
lebih luas.

f. Hulling (pemecahan kulit tanduk)


Hulling bertujuan untuk memisahkan biji kopi yang sudah kering dari
kulit tanduk dan kulit ari. Pemisahan dilakukan dengan mesin huller yang
mempunyai bermacam-macam tipe. Didalam mesin huller, maka biji kopi itu
dihimpit dan diremas, dengan demikian kulit tanduk dan kulit arinya akan
terlepas. Pecahan kulit tanduk dan kulit ari setelah keluar dari mesin huller tertiup
dan terpisah dari biji kopi beras yang akan berjatuhan kebawah dan masuk ke
dalam wadah (Najiyati dan Danarti, 2007).

2. Pengolahan kering (dry process)

Pengolahan secara kering sangat cocok untuk lahan yang tidak terlalu luas,
karena alatnya sederhana dan biaya investasi rendah (Najiyati dan Danarti, 2007).
Pengolahan secara kering terutama ditujukan untuk kopi robusta karena tanpa
fermentasi sudah diperoleh mutu yang cukup baik. Sedangkan untuk kopi arabika,
sedapat mungkin diolah secara basah karena diperlukan fermentasi untuk
mendapatkan mutu kopi yang baik. Pengolahan secara kering dilakukan beberapa
tahap, yaitu sortasi gelondong, pengeringan dan pengupasan.
a. Sortasi gelondong
Sortasi gelondong sudah mulai dilakukan sejak pemetikan tetapi harus
diulangi lagi pada waktu pengolahan. Sortasi pada awal pengolahan dilakukan
setelah kopi datang dari kebun. Kopi yang berwarna hijau, hampa, dan terserang
bubuk disatukan. Sementara kopi yang berwarna merah dipisahkan karena akan
menghasilkan kopi yang bermutu baik (Najiyati dan Danarti, 2007).
b. Pengeringan
Kopi yang sudah dipeik dan disortasi harus segera dikeringkan agar tidak
mengalami proses kimia yang dapat menyebabkan penurunan mutu. Cara
pengeringan ini hampir sama dengan pengeringan biji kopi pada pengolahan
basah, yaitu pengeringan secara alami, buatan dan kombinasi keduanya (Najiyati
dan Danarti, 2007).

c. Hulling
Hulling pada pengolahan kering agak berbeda dengan hulling pada
pengolahan basah. Hulling pada pengolahan kering bertujuan untuk memisahkan
biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk dan kulit ari.
Kadar air optimum kopi pada saat dihulling sekitar 15%. Lebih dari 15%
biasanya kopi masih sulit dikupas sehingga banyak kulit kopi yang belum
terkupas. Sebalinya, bila kadar air kurang dari 15% banyak kopi yang pecah.
Kadar air tersebut dapat dicapai dengan cara kopi yang baru keluar dari alat
pengering harus diangin-anginkan terlebih dahulu sekitar 21-24 jam (Najiyati dan
Danarti, 2007).
Proses selanjutnya yang harus dilakuakn setelah hulling baik pada
pengolan basah maupun pengolahan kering adalah sortasi biji. Sortasi biji
dimaksudkan untuk membersihkan kopi beras dari kotoran sehingga memnuhi
syarat mutu dan mengklasifikasikan kopi tersebut menurut standar mutu yang
telah ditetapkan (Najiyati dan Danarti, 2007).
Tabel 1. Syarat mutu umum biji kopi pengolahan basah
No Jenis kopi Satuan Persyaratan
1. Biji berbau busuk dan berbau kapang - Tidak ada
2. Serangga hidup - Tidak ada
3. Kadar air (bobot/bobot) % Maksimum 12
4. Kadar kotoran (bobot/bobot) % Maksimum 0, 5
5. Robusta. Biji ukuran besar, lolos ayakan % Maksimum 5
lubang bulat berukuran 7,5 mm
(bobot/bobot)
6. Robusta. Biji ukuran sedang, lolos % Maksimum 5
ayakan lubang berukuran 6,5 mm
(bobot.bobot)
7. Robusta. Biji ukuran kecil, lolos ayakan % Maksimum 5
lubang bulat berukuran 5,5 mm
(bobot/bobot)
Sumber : (Najiyati dan Danarti, 2007).
Tabel 2. Syarat mutu umum biji kopi pengolahan basah
No Jenis kopi Satuan Persyaratan
1. Biji berbau busuk dan berbau kapang - Tidak ada
2. Serangga hidup - Tidak ada
3. Kadar air (bobot/bobot) % Maksimum 13
4. Kadar kotoran (bobot/bobot) % Maksimum 0,5
5. Biji lolos ayakan 3 mm x 3 mm % Maksimum 5
(bobot/bobot)
6. Biji ukuran besar, lolos ayakan ukuran % Maksimum 5
5,6 mm x 5,6 mm (bobot/bobot)
Sumber : (Najiyati dan Danarti, 2007).
Kopi yang telah memenuhi syarat mutu umum dinilai lebih kanjut untuk
ditentukan tingkat mutunya. Penilaian tersebut menggunakan sistem nilai cacat
dan dapat menghasilkan enam nilai mutu. Untuk memperoleh nilai cacat, dapat
menggunakan pedoman penentuan besarnya nilai cacat kopi.
Tabel 3. Penilaian tingkat mutu berdasarkan sistem nilai cacat
No Tingkat mutu Syarat mutu khusus
1. Mutu 1 Jumlah nilai cacat maksimum 11
2. Mutu 2 Jumlah nilai cacat 12 sampai dengan 25
3. Mutu 3 Jumlah nilai cacat 26 sampai dengan 44
4. Mutu 4 Jumlah nilai cacat 45 sampai dengan 60
5. Mutu 5 Jumlah nilai cacat 61 sampai dengan 80
6. Mutu 6 Jumlah nilai cacat 81 sampai dengan 150
7. Mutu 7 Jumlah nilai cacat 151 sampai dengan 225
Sumber : (Najiyati dan Danarti, 2007).

Roasting
Roasting atau penyangraian adalah proses pemanasan kopi beras pada
suhu 200-225°C. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kopi yang berwarna
cokelat kayu manis-kehitaman (Najiyati dan Danarti, 2007).
Dalam proses penyangraian ini biji kopi mengalami dua proses, yaitu
penguapan air pada suhu 100°C dan pirolisis pada suhu 180-225°C. Pada tahap
pirolisis, kopi mengalami perubahan kimia antara lain pengarangan serat kasar,
terbentuknya senyawa volatil, penguapan zat-zat asam, dan terbentuknya zat
beraroma khas kopi.
Pada proses penyangraian,kopi juga mengalami perubahan warna dari
hijau atau cokelat muda menjadi cokelat kayu manis, kemudian menjadi hitam
dengan permukaan berminyak. Bila kopi sudah berwarna kehitaman dan mudah
pecah (retak) maka penyangraian segera dihentikan. Selanjutnya kopi diangkat
dan didinginkan.
Penyangraian secara tradisional umumnya dilakukan petani secara terbuka
dengan wajan yang terbuat dari tanah (kuali) atau dengan wajan yang terbuat dari
besi/baja. Sedangkan pada proses penyangraian oleh pedagang atau pabrik
dilakukan secara tertutup dengan mesin yang harganya cukup mahal seperti batch
roaster.

Gambar 2. Mesin penyangrai


Bagian terpenting dari alat penyangrai adalah silinder, pemanas, dan alat
penggerak atau pemutar silinder. Cara menggunakannya, pertama silinder
dipanaskan hingga suhu tertentu dan dipytar dengan kecepatan tertentu,
tergantung tipe alatnya. Setdelah silinder dipanaskan kemudian kopi dimasukkan
ke dalam silinder tersebut. Sementara itu, pemanasan dan pemutaran silinder tetap
berlangsung. Bila kopi sudah mencapai tahap roasting point (kopi masak sangrai),
pemasakan segera dihentikan, lalu kopi diangkat dan didinginkan.
Tingkat penyangraian dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu ringan (light),
medium dan gelap ( dark ). Pada penyangraian gelap, warna biji kopi sangrai
makin mendekati hitam karena senyawa hidrokarbon terpirolisis menjadi unsur
karbon. Sedangkan senyawa gula mengalami proses karamelisasi. Kisaran suhu
sangrai untuk tingkat sangrai ringan adalah antara 190 – 195 oC, sedangkan untuk
tingkat sangrai medium adalah sedikit diatas 200 oC. Untuk tingkat sangrai gelap
adalah diatas 205 oC.
Penggilingan (penumbukan)
Penggilingan merupakan proses pemecahan butir-butir kopi yang telah
disangrai untuk mendapatkan kopi bubuk berukuran maksimum 75 mesh. Ukuran
butir-butir (partikel-partikel) bubuk kopi berpengaruh terhadap rasa dan aroma
kopi. Secara umum, semakin kecil ukurannya maka rasa dan aromanya semakin
baik. Hal ini dikarenakan sebagian besar bahan yang terdapat didalam kopi dapat
larut dalam air ketika diseduh.
Penggilingan tradisioanal dilakukan dengan cara menumbuk kopi
menggunakan alat penumbuk yang disebut lumpang dan alu. Lumpang terbuat
dari kayu atau batu, sedangkan alu terbuat dari kayu. Setelah ditumbuk hingga
halus, bubuk kopi disaring dengan ayakan paling besar 75 mesh. Bubuk kopi yang
tidak lolos ayakan dikumpulkan dan ditumbuk lagi.
Penggilingan oleh industri kecil atau pabrik menggunakan mesin giling.
Mesin ini biasanya sudah dilengkapi alat pengatur ukuran partikel kopi sehingga
secara otomatis bubuk kopi yang keluar berukuran seperti yang diinginkan dan
tidak perlu disaring lagi (Najiyati dan Danarti, 2007).

III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat


• Bahan
1. Kopi mutu 1
2. Kopi mutu 2
• Alat
1. Alat penggorengan
2. Blender
3. Ayakan
4. Gelas
B. Prosedur Kerja
1. Menyortir biji kopi dan mengelompokan menjadi mutu I dan mutu II
2. Menimbang beratnya
3. Melakukan penyangraian masing-masing selama 30’,45’ dan 60’.
4. Menimbang beratnya
5. Menggiling dengan blender
6. Mengayak
7. Mengamati
Keterangan :
Mutu I : diambil 200 butir kopi pilihan (ukuran seragam dan tidak ada yang
rusak).
Mutu II : diambil 200 butir kopi secara acak (tanpa dipilih).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Tabel 4. Kadar Air
Parameter Kadar air (%)
Mutu I 30’ 2
45’ 2,75
60’ 2,25
Mutu I 30’ 4
45’ 3,5
60’ 3

Tabel 5. Rendemen
Parameter Kopi mutu I Kopi mutu II
30’ 45’ 60’ 30’ 45’ 60’
Berat kopi setelah disangrai 30,950 29,276 28,101 19,860 20,020 21,3600
1 7 2 0 0
Berat kopi setelah digiling 26,126 25,369 23,391 16,740 17,297 18,9550
8 0 4 0 7
Rendemen (%) 84,42 86,65 83,24 84,30 86,40 88,74

Tabel 6. Padatan terlarut


Berat sebelum Berat setelah Padatan
Kopi masuk soxhlet (gr) dioven (gr) terlarut
Mutu I 30’ 1,77 1,70 0,7
45’ 1,82 1,69 0,13
60’ 1,79 1,55 0,24
Mutu II 30’ 1,83 1,61 0,22
45’ 1,83 1,71 0,12
60’ 1,80 1,62 0,18

Tabel 7. Organoleptik
Panelis 1 2 3 4 5
Jenis
W A K W A K W A K W A K W A K
kopi

Mutu I 30’ 2 3 1 2 4 3 2 2 1 3
45’ 2 2 2 2 3 3 2 3 1 2
60’ 2 2 2 1 2 3 2 2 1 2
Mutu II 30’ 3 4 1 3 4 2 4 1 2 3 2 1 3 2 2
45’ 4 4 1 3 3 2 3 1 1 4 2 1 4 1 1
60’ 2 3 2 2 4 2 2 2 2 3 2 1 2 1 1

Keterangan :
Warna (W)
1 = tidak hitam
2 = agak hitam
3 = hitam
4 = sangat hitam

Aroma (A)
1 = tidak tercium
2 = agak tercium
3 = tercium
4 = sangat tercium

Kesukaan (K)
1 = tidak suka
2 = agak suka
3 = suka
4 = sangat suka

B. Pembahasan

Kunci dari proses produksi kopi bubuk adalah penyangraian. Proses ini
merupakan tahapan pembentukan aroma dan citarasa khas kopi dari dalam biji
kopi dengan perlakuan panas. Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak
senyawa organik calon pembentuk citarasa dan aroma khas kopi.
Dalam menilai rasa, aroma, dan kenampakkan dari biji-biji kopi kering,
biji-biji tersebut harus disangrai dahulu selama kurang lebih 15-20 menit.
Kemudian kopi yang telah dibakar digiling. Setelah itu diseduh dengan air
mendidih. Setelah air seduhan kopi didinginkan sampai suhunya 55°C dan dinilai
(Loo, 1983).
Berdasarkan hasil pengamatan, kopi mutu I yang disangrai selama 30, 45
dan 60 menit memilki warna yang agak hitam dan kopi mutu II yang disangrai
selama 30 dan 45 menit berwarna hitam serta kopi mutu II yang disangrai selama
60 menit berwarna agak hitam. Aroma yang ditimbulkan dari kopi mutu I yang
disangrai selama 30 menit dapat tercium, kopi mutu I yang disangrai selama 45
dan 60 aromanya agak tercium, sedangkan untuk kopi mutu II aroma yang
ditimbulkan agak tercium. Kesukaan panelis terhadap kopi mutu I yang disangrai
selama 30, 45, dan 60 menit adalah agak suka, sedangkan untuk kopi mutu II yang
disangrai selama 45 menit panelis tidak menyukainya dan kopi mutu II yang
disangrai selama 30 dan 60 menit panelis agak suka terhadap kopi tersebut.
Data pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pada kopi mutu I dan II,
semakin lama waktu penyangraian maka warna hitam akan berkurang. Hal ini
berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama waktu penyangraian
maka warna kopi akan semakin hitam. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan
suhu yang digunakan untuk menyangrai kopi dengan perlakuan waktu sangrai 30
dan 45 menit suhunya lebih tinggi dibanding dengan perlakuan waktu sangrai 60
menit sehingga transfer panas dari wajan penyangrai lebih cepat dan
menghasilkan kopi dengan warna yang lebih hitam.
Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa calon
pembentuk citarasa dan aroma khas kopi antara lain asam amino dan gula. Selama
penyangraian beberapa senyawa gula akan terkaramelisasi menimbulkan aroma
khas. Senyawa yang menyebabkan rasa sepat atau rasa asam seperti tanin dan
asam asetat akan hilang dan sebagian lainnya akan bereaksi dengan asam amino
membentuk senyawa melanoidin yang memberikan warna cokelat.
Biji kopi yang telah disangrai kemudian dihaluskan dengan mesin
penghalus sampai diperoleh butiran kopi bubuk. Butiran kopi bubuk mempunyai
luas permukaan yang relatif besar dibandingkan jika dalam keadaan utuh. Dengan
demikian, senyawa pembentuk citarasa dan senyawa penyegar mudah larut ke
dalam air penyeduh. Waktu penyangraian selama 30 menit ternyata telah mampu
untuk mengeluarkan aroma khas kopi pada air seduhan kopi. Semakin lama waktu
penyangraian aroma kopi justru berkurang. Biji kopi secara alami mengandung
berbagai jenis senyawa volatil seperti aldehida, furfural, keton, alkohol, ester,
asam format, dan asam asetat yang mempunyai sifat mudah menguap. Makin
lama dan makin tinggi suhu penyangraian, jumlah ion H+ bebas didalam seduhan
makin berkurang secara signifikan sehingga aroma yang dihasilkan akan
berkurang juga.
Tingkat kesukaan panelis terhadap kopi yang disangrai selama 30 menit
adalah yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena aroma, rasa, dan warna yang
dihasilkan dari kopi ini, baik kopi mutu I dan mutu II lebih disukai konsumen.
Namun kopi mutu I lebih disukai oleh panelis karena aromanya lebih kuat dan
warna yang ditimbulkan sesuai dengan tingkat kesukaan panelis.
Kopi mutu I yang disangrai selama 30 menit mempunyai kadar air 2%, 45
menit 2,75% dan 60 menit kadar airnya 2, 25%. Dan pada kopi mutu II kadar air
semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyangraian, yaitu 4% pada
waktu penyangraian 30 menit, 3,5% pada waktu penyangraian 45 menit dan 3%
pada waktu penyangraian 60 menit. Menurut Najiyati dan Danarti (2007) bahwa
kadar air kopi setelah penyangraian adalah 1,15% sedangkan data pengamatan
menunjukkan kadar air kopi yang disangrai lebih tinggi dari 1,15%. Keadaan ini
terjadi karena pada saat melakukan pengukuran kadar air, sampel terlalu lama
berada di udara terbuka saat akan melakukan penimbangan sehingga bubuk kopi
yang bersifat higroskopis akan menyerap air dari lingkungan dan hasilnya pun
akan lebih tinggi dari kadar air yang seharusnya.
Rendemen adalah perbandingan antara berat kopi bubuk dibandingkan
berat kopi beras. Selama penyangraian, berat biji kopi menyusut karena
penguapan air dan senyawa–senyawa volatil serta pelepasan kulit ari. Bersamaan
dengan penguapan air, beberapa senyawa volatil yang terkandung didalam biji
kopi seperti aldehid, furfural, keton, alkohol dan ester ikut teruapkan.
Nilai rendemen tertinggi untuk kopi mutu I yaitu 86,65% diperoleh pada
waktu penyangraian 45 menit dan terendah yaitu 83,24% pada waktu
penyangraian 60 menit. Sedangkan nilai rendemen tertinggi untuk kopi mutu II
yaitu 88,74% dengan perlakuan waktu penyangraian selama 60 menit dan nilai
terendah adalah 84,30% dengan perlakuan waktu penyangraian selama 30 menit.
Selain karena proses sangrai, susut berat juga terjadi selama proses penghalusan
karena partikel bubuk yang sangat halus terbang kelingkungan akibat gaya
sentrifugal putaran pemukul mesin penghalus sehingga hasil yang diperoleh
menyimpang dengan teori yang menyatakan bahwa penurunan berat biji kopi
selama penyangraian akan menyebabkan nilai rendemen berkurang sesuai dengan
lama penyangraian. Kulit biji kopi yang ikut atau hilang dalam proses
penghalusan juga dapat mempengaruhi banyaknya rendemen yang dihasilkan.
Total padatan terlarut pada kopi mutu I menunjukkan peningkatan,
semakin lama waktu penyangraian maka semakin tinggi total padatan terlarut.
Sedangkan pada kopi mutu II total padatan terlarut tertinggi yaitu pada perlakuan
dengan waktu penyangraian 30 menit dan terendah pada waktu 45 menit. Semakin
tinggi total padatan terlarut maka semakin baik mutu dari kopi tersebut karena
semakin banyak zat-zat yang terlarut pada saat penyeduhan.

Anda mungkin juga menyukai