Anda di halaman 1dari 10

Hematemesis Melena et causa Gastritis Erosif

Jeffry Simamora
102011414
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
fasterthanvelocity@gmail.com
Pendahuluan
Hematemesis (muntah darah) dan melena (berak darah) merupakan keadaan yang
diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (upper gastroinstestinal tract).
Kebanyakan kasus hematemesis adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8-
14% kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian
adalah kegagalan untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui
karakteristik dan kondisi pada setiap kasus agar identifikasi dan penalaksaan dapat dilakukan
dapat sesuai dan tepat sasaran.

Anamnesis
Pada kasus hematemesis melena kita dapat menanyakan hal-hal seperti berikut1 :
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan frekuensi perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang menyebabkan nyeri atau
pedih di epigastrium yang berhubungan dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal ginjal kronik,
diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya

Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus pada status
hemodinamik, pemeriksaannya meliputi1 :
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume intravaskuler)
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda1 :
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 100
x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20 mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)

Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal berikut1:
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi
jumlah perdarahan, dengan criteria1 :
Perdarahan (%) Keadaan hemodinamik
<8 Hemodinamik stabil
8 15 Hipotensi ortostatik
15 25 Renjatan (syok)
25 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah :


a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali, eritema
palmaris, edema tungkai)
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas dengan
interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan saluran cerna
(pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)

Pemeriksaan Penunjang2
a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan primer atau
sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru kronis
f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai pengobatan
endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi prognostik dengan
mengidentifikasi stigmata perdarahan
Diagnosis
1.Diagnosis Kerja
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan yang berasal dari
dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum
proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus1. Hal tersebut mengakibatkan muntah darah
(hematemesis) dan berak darah berwarna hitam seperti aspal (melena)2.
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam bentuk
segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam
lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi. Melena yaitu keluarnya tinja
yang lengket dan hitam seperti aspal (ter) dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan
saluran cerna atas serta dicernanya darah pada usus halus3.
Penyebab pada kasus adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung
atau obat yang merangsang timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat
golongan salisilat seperti Aspirin, Ibuprofen, obat bintang tujuh dan lainnya. Obat-obatan lain
yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu : golongan kortikosteroid, butazolidin,
reserpin, spironolakton dan lain-lain. Golongan obat-obat tersebut menimbulkan
hiperasiditas4.

Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua penyebab perdarahan saluran


cerna atas. Pada endokopi tampak erosi di angulus, antrum yang multipel, sebagian tampak
bekas perdarahan atau masih terlihat perdarahan aktif di tempat erosi. Di sekitar erosi
umumnya hiperemis, tidak terlihat varises di esophagus dan fundus lambung. Sifat
hematemesis tidak masif dan timbul setelah berulang kali minum obat-obatan tersebut,
disertai nyeri dan pedih di ulu hati

Manifestasi Klinis
Biasanya penderita mengalami gangguan pencernaan (indigesti) dan rasa tidak nyaman di
perut sebelah atas. Tetapi banyak penderita tidak merasakan nyeri. Penderita lainnya
merasakan gejala yang mirip ulkus, yaitu nyeri ketika perut kosong. Bila penderita tetap sakit,
ulkus bisa membesar dan mulai mengalami perdarahan, biasanya dalam waktu 2-5 hari
setelah terjadinya cedera. Perdarahan menyebabkan tinja berwarna kehitaman seperti aspal,
cairan lambung menjadi kemerahan dan jika sangat berat, tekanan darah bisa turun.
Perdarahan bisa meluas dan berakibat fatal.4
Patofisiologi
Umunya OAINs bekerja dengan menghambat enzim cyclooxigenase 1 dan
cyclooxigenase 2. Enzim Cyclooxygenase berfungsi sebagai pemecah asam arakhidonat
menjadi prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin adalah molekul perantara peradangan.
Selain itu prostaglandin adalah molekul protektif untuk mukosa lambung. Pengaruh
prostaglandin terhadap lambung adalah menurunkan sekresi asam lambung dan
meningkatkan sekresi mukus pada mukosa lambung. Jika terjadi hambatan dalam produksi
prostaglandin, maka memperbesar terjadinya kerusakan pada mukosa lambung. Karena
mukus yang berkurang dan asam lambung yang banyak diproduksi. Dan hal ini terjadi pada
pasien yang menggunakan obat-obatan antiinflamasi non steroid. Efek samping obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) pada saluran cerna tidak terbatas pada lambung. Efek
samping pada lambung memang paling sering terjadi. OAINS merusak mukosa lambung
melalui dua mekanisme, yaitu topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara topikal terjadi
karena OAINS bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah trapping ion
hydrogenmasuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. (buku ipd. Papdi)
Efek sistemik OAINS tampaknya lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat
produksi prostaglandin menurun, OAINS secara bermakna menekan pembentukan
prostaglandin. Prostaglandin diproduksi melalui dua jalur yaitu jalur Cox1 dan jalur Cox2.
Seperti yang diketahui, prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif (yang berasal dari
Cox1) yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoprotektif itu dilakukan dengan cara
menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat, dan
meningkatkan ephitelial defense. Prostaglandin yang dibentuk dari jalur Cox2 menimbulkan
inflamasi, nyeri, dan demam, sehingga OAINS yang selektif menghambat Cox2 relatif lebih
aman digunakan.Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrolit pada
endotel pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis. Radikal bebas
dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut akan merusak mukosa
lambung. 5,6,7

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan akibat dari deskuamasi mukosa gaster yang
berujung pada pembentukan ulkus (luka) pada gaster. Komplikasi akibat ulkus tersebut juga
dapat mengakibatkan perforasi dengan peritonitis. Komplikasi paling berat adalah terjadi
degenerasi sel-sel mukosa gaster menjadi suatu tumor ganas yang berujung menjadi
karsinoma.6

2.Diagnosis Banding
1. Kelainan di esophagus
a. Pecahnya varises esophagus
Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif, kehilangan darah
gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahan varises esofagus atau lambung
biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat sirosis
hepatis. Meskipun sirosis alkoholik merupakan penyebab varises esofagus yang
paling prevalen di Amerika Serikat, setiap keadaan yang menimbulkan hipertensi
portal dapat mengakibatkan perdarahan varises. Lebih lanjut, kendati adanya varises
berarti adanya hipertensi portal yang sudah berlangsung lama, penyakit hepatitis akut
atau infiltrasi lemak yang hebat pada hepar kadang-kadang menimbulkan varises yang
akan menghilang begitu abnormalitas hepar disembuhkan. Meskipun perdarahan
SMBA pada pasien sirosis umumnya berasal dari varises sebagai sumber perdarahan,
kurang lebih separuh dari pasien ini dapat mengalami perdarahan yang berasal dari
ulkus peptikum atau gastropati hipertensi portal. Keadaan yang disebut terakhir ini
terjadi akibat penggembungan vena-vena mukosa lambung. Sebagai konsekuensinya,
sangat penting menentukan penyebab perdarahan agar penanganan yang tepat dapat
dikerjakan2.
Angka kejadian pecahnya varises esophagus yang menyebabkan perdarahan
cukup tinggi yaitu 54,8%. Sifat perdarahan hematemesisnya mendadak dan masif,
tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna kehitaman dan tidak akan
membeku karena sudah tercampur asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul
dengan melena5.

b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan melena daripada
hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis. Hanya
sesekali penderita muntah darah tidak masif. Pada panendoskopi jelas terlihat
gambaran karsinoma yang hampir menutup esophagus dan mudah berdarah terletak di
sepertiga bawah esophagus5.
c. Sindrom Mallory-Weiss
Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitus tanpa darah).
Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa dan submukosa daerah kardia atau
esophagus bawah sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi aktif disertai ulserasi,
maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat terlalu sering muntah sehingga
tekanan intraabdominal naik menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esophagus/
kardia. Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah pasien berulangkali
muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di epigastrium. Misalnya pada hiperemesis
gravidarum5.
d. Esofagogastritis korosiva
Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang muntah darah setelah tidak
sengaja meminum air keras untuk patri. Air keras tersebut mengandung asam sitrat
dan asam HCl yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esophagus dan lambung.
Penderita juga mengeluh nyeri dan panas seperti terbakar di mulut, dada dan
epigastrium5.
e. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat intermiten atau
kronis, biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada hemetemesis.
Tukak esophagus jarang menimbulkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak
lambung dan duodenum5.
2. Kelainan di lambung
a. Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama di angulus dan
prepilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak lambung akut biasanya
bersifat dangkal dan multipel yang dapat digolongkan sebagai erosi(5).
Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien mengeluh nyeri dan pedih
di ulu hati selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sesaat sebelum hematemesis
rasa nyeri dan pedih dirasakan bertambah hebat, namun setelah muntah darah rasa
nyeri dan pedih tersebut berkurang. Sifat hematemesis tidak begitu masif, lalu disusul
melena5.
b. Karsinoma lambung
Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase lanjut dengan
keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang
mengalami hematemesis, tetapi sering melena5.
3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan panendoskopi terletak di
bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan melena, sedangkan sebagian
kecil mengeluh melena saja. Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan pedih di
perut atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam saat sedang
tidur pulas sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri dan pedih, pasien
biasanya mengkonsumsi roti atau susu5.
b. Karsinoma papilla Vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di ampula
menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreas yang umumnya
sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul selain kolestatik ekstrahepatal, juga dapat
menimbulkan perdarahan tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul
hematemesis. Selain itu pasien juga mengeluh badan lemah, mual dan muntah5.

Penatalaksanaan

1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation (ABC).
Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk terapi
lanjutan atau persiapan endoskopi6.

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi6 :


a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid

2. Tatalaksana Khusus
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor)7 : obat anti sekresi asam untuk mencegah
perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80 mg/iv lalu per infuse 8
mg/kgBB/jam selama 72 jam
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk
tujuan penyembuhan lesi mukosa perdarahan.
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi7
a) Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan adrenalin
(1:10000) sebanyak 0,51 ml/suntik dengan batas 10 ml atau alcohol absolute
(98%) tidak melebihi 1 ml
b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser
c) Mekanik : hemoklip, stapler
3) Non Medikamentosa
Pada penatalakasanaan non medika mentosa, Pasien dapat diberikan edukasi dan
pengarahan agar sebisa mungkin menghindari makanan-makanan yang dapat
meningkatkan asam lambung. Kemudian, selain menghindari makanan merangsang
asam lambung yang terutama dan terpenting adalah pasien harus menghindari faktor
resiko terjadinya dispepsia seperti alkohol, makanan-makanan yang pedas, obat-
obatan yang berlebihan terutama golongan OAINS (jika memang harus
mengkonsumsi OAINS pilih jenis Cox2), nikotin pada rokok, dan stres fisik dan
mental. Selain itu dapat juga di edukasi pada pasien seputar pola makan yang teratur
dan pasien harus mengatur porsi dan pola makan dari makanan yang dimakannya
sehari-hari. 7

*Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA

`
Komplikasi

1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan

Prognosis
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar
Hemoglobin (Hb), tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Banyak penelitian
menunjukan bahwa angka kematian penderita dengan saluran cerna bagian atas dipengaruhi
oleh faktor kadar Hemoglobin (Hb) waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang,
keadaan hati, seperti ikterus, dan encefalopati. Prognosis cukup baik apabila dilakukan
penanganan yang tepat. Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam
menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan
yang bersifat preventif.

Kesimpulan

Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesisnya benar, yaitu jantung
berdebar dapat dipengaruhi oleh emosi yang merupakan suatu rangsangan melalui persarafan
otonom. Karena, fungsi hipothalamus adalah pusat emosi dan pusat SSO dan sistem saraf
otonom dapat distimulasi oleh emosi seperti rasa takut, marah, dan gembira. Fungsi saraf
simpatis berhubungan sangat erat dengan medulla adrenal yang distimulasi saraf simpatis.
Sistem saraf ini membantu tubuh berespon terhadap emosi maka kerja saraf-saraf simpatis
pada SSO akan meningkat sehingga menghasilkan respon berupa jantung yang berdetak lebih
cepat.

Daftar Pustaka
1. Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan Bagian
Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 53
62.
2. Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison
(Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 62.
3. Bickley LS. The abdomen. In: Bickley LS, ed. Bates guide to physical examination
and history taking, 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins: New York; 2002: 317-66.
4. Sepe PS, Yachimski PS, Friedman LS. Gastroenterology. In: Sabatine MS, ed. Pocket
medicine, 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2008: 3.1-25.
5. Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
2006 : 36 7.
6. Ponijan, A.P. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas :
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31735/4/Chapter%20II.pdf . 2012.
7. PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005: 272 3.

Anda mungkin juga menyukai