Anda di halaman 1dari 3

PEREMPUAN JAWA MAKIN MEDOK, MAKIN SEKSI

Saya lebih tertarik memperhatikan mulut perempuan Jawa yang ngomongnya medok daripada mulut
perempuan Jawa yang fasih cas cis cus berbahasa Inggris. Bagi saya, Anda boleh percaya boleh tidak,
perempuan Jawa kalau bicara, semakin medok, semakin seksi. Mulutnya itu seolah-olah
mengeluarkan geluduk-geluduk kecil bikin jantung berdegub-degub. Apalagi kalau ia kece.
Sempurnalah sudah!

Selama ini tak sedikit orang memberi stigma bahwa bahasa orang Jawa yang medok itu kampungan
atau ndeso. Bagi saya sebaliknya. Itu unik dan keren karena tidak semua bahasa dikaruniai kekhasaan
semodel itu.

Dalam istilah fonetik, kemedokan bahasa Jawa dapat sepadankan dengan bunyi bersuara briti
(breathy voice) atau bunyi bersuara beraspirat atau juga murmur. Ada juga yang menyebut
kemedokan bahasa Jawa dengan istilah slack voice atau bersuara slek (Ladefoged dan Maddieson,
1996).

Saya tak terlalu ambil pusing konsonan letupan bahasa Jawa [b], [b], [g] dan afrikatnya [d ] dalam
bahasa Jawa itu disebut bersuara briti atau bersuara slek. Disebut bersuara briti karena selain pita
suara bergetar, ada juga gejala aliran turbulensi udara. Disebut bersuara slek karena bukaan pita suara
atau glotisnya lebih sempit dan aliran udaranya pun lebih moderat daripada bukaan glotis dan aliran
udara bunyi bersuara briti.

Sekali lagi saya ingin katakan bahwa kemedokan bahasa Jawa atau penuturnya itu adalah sesuatu yang
keren dan membanggakan karena di Indonesia sepertinya cuma bahasa Jawa yang konsonan-
konsonan letupannya ber-briti/beraspirat. Jadi, kemedokan bahasa Jawa itu merupakan gejala langka
di bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

Jika ingin mengamati bunyi bersuara briti selain yang di miliki bahasa Jawa, kita harus ke India karena
di sana ada beberapa bahasa yang fonem-fonemnya berkarakter bersuara briti, misalnya bahasa
Gujarati dan bahasa Hindi. Gambar di bawah menunjukkan bagaimana bahasa Hindi membuat kontras
bunyi bersuara dan bersuara briti, yaitu antara [bal] rambut dengan [bal] jidat. Bunyi bersuara briti
ditandai oleh adanya gelombang aperiodik/aspirasi yang melapisi bunyi perodiknya. Hal itu tampak
pada spektrogram bagian atas yang terlihat lebih keruh atau mbleketek.
Dalam pandangan saya, kemedokan penutur Jawa dapat menjadi parameter sikap bahasanya. Dengan
kata lain, derajat kemedokan dapat menjadi salah satu derajat kesetiaan bahasa orang Jawa terhadap
bahasanya. Rumusnya hipotesisnya sederhana: semakin medok, maka semakin setialah mereka pada
bahasanya atau sebaliknya: semakin tak medok, maka semakin tak setia pada bahasanya.

Jadi, untuk mengamati kesetiaan bahasa orang Jawa tak melulu ditakar dengan pertanyaan-
pertanyaan konvensional. Misalnya, apakah Anda menggunakan bahasa Jawa ketika bicara dengan
teman sekantor? Dengan tetangga bagaimana? Atau apakah Anda menggunakan bahasa Jawa ketika
bercinta? Huah!

Dari kacamata dialektologi, dapat pula dirumuskan hipotesis: semakin tak medok, semakin jauh dari
pusat pertuturan bahasa Jawa. Dari kacamata sosiolingusitik, dapat dirumuskan hipotesis: semakin tak
medok, semakin berpendidikan.

Akan tetapi, di balik keunikan konsonan-konsonan letupan bahasa Jawa yang keren itu, ternyata
berimplikasi pada beberapa hal. Pertama, penutur Jawa asli akan kesulitan ketika mempelajari bunyi-
bunyi letupan bersuara di bahasa-bahasa lain. Hal itu disebabkan konsonan letupan dalam bahasa
Jawa punya wadah yang berbeda dengan konsonan letupan di bahasa-bahasa lain.

Kedua, oleh karena bunyi letupan bersuara bahasa Jawa punya realisasi fonetik yang berbeda
dengan bunyi letupan besuara dalam bahasa Indonesia, orang Jawa tak dapat menjadi model ideal
penutur bahasa Indonesia walaupun orang Jawa merupakan penghuni mayoritas Indonesia. Sudah
menjadi pandangan umum bahwa penutur bahasa Indonesia ideal adalah penutur yang tak
terinferensi oleh bahasa daerahnya.

Silakan memberi masukan

Yusup Irawan, bekerja di Balai Bahasa Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai