Anda di halaman 1dari 113

Sejarah Promosi Kesehatan

Penulis: - Tim -

Bab I

PENDAHULUAN

Hidup hanya dapat dimengerti dengan menoleh ke belakang


Mengamati yang telah dilakukan
Tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan
(Soren Kierkegaard)

We learn from the past days, we belong to the present,


and with the guidance from the Almighty we build our tomorrow
(A wise persons saying)

Di era milenium ini, setiap hari bahkan setiap saat, kepada kita disajikan pelbagai macam
iklan atau upaya pemasaran pelbagai macam produk dan jasa. Iklan-iklan itu dengan gencarnya
menyapa kita melalui berbagai media, terutama TV dan radio. Melalui internet, iklan-iklan itu
juga datang silih berganti. Iklan juga menyergap kita melalui telepon seluler. Jangan ditanya
iklan melalui surat kabar dan majalah. Juga melalui film layar lebar di gedung bioskop. Iklan-
iklan juga mejeng secara mentereng melalui billboard, spanduk, umbul-umbul, dll. Tentu saja
iklan juga muncul melalui poster, leaflet atau brosur. Belum lagi iklan melalui selebaran yang
secara berdesakan nongol di tembok-tembok, tiang listrik/telepon, pagar rumah, dll. Ada juga
iklan yang disamarkan melalui tulisan ilmiah atau tulisan populer. Jangan dilupakan iklan atau
pemasaran produk atau jasa yang dikemas secara sangat professional dalam bentuk pameran,
seminar atau pertemuan. Belum lagi iklan atau upaya pemasaran yang dilakukan secara agresif
melalui tatap mula langsung dari rumah ke rumah dan secara berantai (multy level marketing).
Demikian pula upaya yang dilakukan melalui loby kepada pelbagai pihak, khususnya pengambil
kebijakan, agar produk atau jasanya dapat dipergunakan oleh khalayak luas. Dan masih banyak
lagi cara-cara kreatif yang dilakukan dalam rangka menjajakan suatu produk atau jasa. Upaya-
upaya itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap lakunya suatu produk atau jasa.
Produk atau jasa apa saja, termasuk produk atau jasa di bidang kesehatan serta produk dan jasa
yang merugikan kesehatan seperti rokok, minuman keras, obat-obatan yang tidak layak, dll. Itu
semua termasuk upaya pemasaran atau upaya untuk mempromosikan produk atau jasa. Pada
zaman dulu upaya itu disebut propaganda.
Istilah propaganda sering dikaitkan dengan bidang politik. Namun sebenarnya tidak selalu
demikian. Bisa juga tentang masalah sosial, termasuk kesehatan. Di zaman pra dan awal
kemerdekaan dulu propaganda masalah kesehatan itu sudah dilakukan. Pada waktu itu cara
propaganda itulah yang dilakukan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang
kesehatan. Propaganda pada waktu itu dilakukan dalam bentuknya yang sederhana melalui
pengeras suara atau dalam bentuk gambar dan poster. Juga melalui film layar tancap. Cara-cara

1
itu kemudian berkembang, karena propaganda dirasakan kurang efektif apabila tidak dilakukan
upaya perubahan atau perbaikan perilaku hidup sehari-hari masyarakat. Maka dilancarkanlah
upaya pendidikan kesehatan masyarakat (health education) yang dipadukan dengan upaya
pembangunan masyarakat (community development) atau upaya pengorganisasian masyarakat
(community organization).
Upaya ini berkembang pada tahun 1960 an, sampai kemudian mengalami perkembangan
lagi pada tahun 1975 an, menjadi Penyuluhan Kesehatan. Meski fokus dan caranya sama,
tetapi istilah Pendidikan kesehatan itu berubah menjadi Penyuluhan Kesehatan, karena pada
waktu itu istilah pendidikan khusus dibakukan di lingkungan Departemen Pendidikan. Pada
sekitar tahun 1995 istilah Penyuluhan kesehatan itu berubah lagi menjadi Promosi Kesehatan.
Perubahan itu dilakukan selain karena hembusan perkembangan dunia (Health promotion mulai
dicetuskan di Ottawa pada tahun 1986), juga sejalan dengan paradigma sehat, yang merupakan
arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia. Istilah itulah yang berkembang sampai
sekarang, yang antara lain menampakkan wujudnya dalam bentuk pemasaran atau iklan, yang
marak pada era milenium ini.
Perjalanan dari propaganda, kemudian menjadi pendidikan, lalu penyuluhan dan sekarang
promosi kesehatan itu, merupakan sejarah. Dalam perjalanan dari waktu ke waktu itu ada
kejadian atau peristiwa yang patut dikenang, dan ada cerita atau kisah yang menarik,
mengharukan, atau juga lucu. Tetapi yang penting pastilah ada hikmah, kebijaksanaan, nilai atau
wisdom yang dapat diangkat dari rentetan kisah atau cerita itu. Hikmah, kebijaksanaan, nilai
atau wisdom itu tentulah sangat besar manfaatnya bagi kita semua, terutama generasi muda
yang merupakan penerus pembangunan bangsa tercinta ini. Kebijaksanaan itu pula yang rasanya
patut sekali dapat dimiliki oleh para pembuat kebijakan, yang menentukan arah perkembangan
negara kita di masa y.a.d. Demikianlah, maka sejarah atau perkembangan tentang promosi
kesehatan di Indonesia itu perlu dituliskan. Penulisan sejarah atau perkembangan promosi
kesehatan di Indonesia itu dirasakan semakin perlu karena nampaknya sejarah berulang. Apa
yang kita pikirkan sekarang, rupanya sudah pernah dipikirkan bahkan dilaksanakan pada waktu
yang lalu. Melalui tulisan ini diharapkan kita dapat lebih cepat belajar dan tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan pada waktu yang lalu itu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sejarah di sini bukan dalam arti rentetan
peristiwa dalam tanggal, bulan dan tahun. Tetapi sejarah adalah uraian tentang peristiwa nyata
berupa fakta dan data yang bisa dijadikan bahan analisa untuk disimpulkan manfaat dan
mudaratnya bagi pijakan untuk kegiatan masa kini dan yang akan datang. Di sini sejarah lebih
mempunyai arti ke depan. Dalam kaitan itu beberapa negara sedang ribut dalam penulisan
sejarah ini. Korea, Jepang dan China berebut meluruskan sejarah dengan versi masing-masing.
Pemerintah RI sejak merdeka sampai sekarang juga sangat berkepentingan dengan penulisan
sejarah. Ini menunjukkan bahwa sejarah sering dibuat untuk kepentingan sesaat demi pemenuhan
si pembuat sejarah. Seharusnyalah bahwa sejarah itu netral. Yang penting adalah tentang
pembelajaran sejarah. Makna, nilai atau kebijaksanaan apa yang dapat ditangkap di balik
kejadian atau rentetan peristiwa itu. Para pembacalah yang menganalisis sendiri, menyimpulkan
dan mengambil makna sebagai landasan untuk pengambilan kebijakan bagi langkah-langkah
tindakannya masa kini dan yang akan datang.
Sejarah, menurut Prof Nugroho Notosutanto, mengandung dua hal: fakta dan persepsi. Di
satu pihak merupakan rentetan peristiwa berdasar fakta. Tekanannya pada uraian fakta yang
bersifat deskriptif. Di pihak lain sejarah juga merupakan persepsi dari para pelaku, para saksi dan
para pengamatnya. Tekanannya berupa analisis peristiwa bahkan dilanjutkan dengan prediksi ke

2
depan. Demikianlah, maka sejarah perkembangan Promosi Kesehatan di Indonesia ini ditulis
senetral dan seobyektif mungkin berdasarkan fakta sesuai rentetan peristiwa.
Namun demikian juga tidak dapat dihindari adanya pandangan subyektif berupa analisis
dan prediksi dari para pelaku, para saksi atau pengamat yang kebetulan menjadi penulisnya.
Sikap subyektif ini ditekan seminimal mungkin karena buku ini ditulis oleh satu tim yang terdiri
dari berbagai unsur dan lintas generasi. Selanjutnya kebenaran deskripsi fakta, analisis dan
prediksi tim penulis ini diserahkan sepenuhnya kepada para pembaca. Para pembaca buku ini
dapat siapa saja : para pengambil kebijakan, praktisi lapangan, kalangan Perguruan Tinggi
khususnya mahasiswa, kalangan ilmuwan, para profesional, media massa, dan lain-lain. Melalui
tulisan ini, para pembaca diharapkan dapat menangkap makna, nilai atau kebijaksanaan di setiap
peristiwa itu dan memanfaatkannya untuk menghadapi masalah sekarang dan yang akan datang,
untuk peningkatan kesehatan masyarakat pada khususnya dan pembangunan nasional pada
umumnya. Setidak-tidaknya tulisan ini diharapkan dapat menjadi dokumen tertulis yang
memperkaya dokumen-dokumen lain, yang ternyata tidak banyak jumlahnya.
Buku tentang sejarah atau perkembangan Promosi Kesehatan ini diberi nama
Perkembangan Dan Tantangan Masa Depan Promosi Kesehatan Di Indonesia, dengan sub
judul: Dari Propaganda, Pendidikan dan Penyuluhan Sampai Promosi Kesehatan. Ini berarti
bahwa meskipun buku ini ditulis berdasar rentetan peristiwa, tetapi yang ingin diungkap
terutama adalah makna yang dapat ditarik dari balik rentetan peristiwa itu. Maka periodesasi atau
kurun waktu perjalanan promosi kesehatan dikaitkan dengan isu yang mengemuka serta
widom yang dapat dipetik di setiap periode atau kurun waktu itu. Sekali lagi yang diharapkan
dari buku ini adalah bahwa pembaca dapat belajar dari masa lalu, untuk menghadapi masalah
sekarang, serta terutama untuk menjajagi dan proaksi masa depan, sebagaimana dikatakan oleh
orang bijak yang dikutip pada awal tulisan ini.
Mengenai istilah Promosi Kesehatan sendiri juga mengalami perkembangan. Mula-mula
dicetuskan di Ottawa, Canada pada tahun 1986 (dikenal dengan Ottawa Charter), oleh WHO
promosi kesehatan didefinisikan sebagai: the process of enabling people to control over and
improve their health. Definisi tersebut diaplikasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi :
Proses pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya. Definisi ini tetap dipergunakan, sampai kemudian mengalami revisi pada
konferensi dunia di Bangkok pada bulan Agustus 2005, menjadi: Health promotion is the
process of enabling people to increase control over their health and its determinants, and
thereby improve their health (dimuat dalam The Bangkok Charter). Definisi baru ini belum
dibakukan bahasa Indonesia. Selain istilah Promosi Kesehatan, sebenarnya juga beredar banyak
istilah lain yang mempunyai kemiripan makna, atau setidaknya satu nuansa dengan istilah
promosi kesehatan, seperti : Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), Pemasaran sosial,
Mobilisasi sosial, Pemberdayaan masyarakat, dll. Istilah-istilah tersebut juga akan diulas dalam
buku ini, dalam bab-bab yang berkaitan.
Buku ini terdiri dari 11 bab. Masing-masing bab, mulai bab II sampai dengan bab V
mencoba menceritakan : peristiwa atau kejadian secara ringkas pada waktu itu, pemikiran atau
konsep yang mengemuka, pengalaman empirik di lapangan, tokoh atau figur yang menonjol,
serta pelajaran yang dapat ditarik dari episode itu. Dalam beberapa bab itu ada juga diselipkan
cerita atau kisah ringan yang merupakan kenangan khusus pada waktu itu. Sedangkan bab VI
khusus bercerita tentang perkembangan Promosi Kesehatan dari segi organisasi, yang mengalami
pasang surut. Pernah menjadi jabatan yang berada langsung di bawah Menteri Kesehatan (dapat
disebut setara eselon I) di awal kemerdekaan, pernah pula menjadi eselon III pada era 1960-1970

3
an.
Kemudian menjadi beberapa unit eselon II. Bab VII bercerita tentang perkembangan
Pendidikan Kesehatan di Perguruan Tinggi, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain, juga yang
ada di PT Swasta. Bab VIII bercerita tentang perkembangan tenaga profesional Penyuluh atau
Promosi Kesehatan, yang ternyata juga sudah dimulai di zaman awal kemerdekaan dulu, sampai
pengembangannya secara besar-besaran pada era 1970 an dan terus berlangsung sampai
sekarang. Dalam bab itu juga dikisahkan perkembangan organisasi profesi Tenaga Penyuluh
Kesehatan, baik sebagai jabatan profesional di lingkungan pemerintahan, maupun sebagai
organisasi profesi yang juga mempunyai hubungan dengan organisasi sejenis di luar negeri. Bab
IX tentang Proaksi Promosi Kesehatan di masa depan. Secara ringkas diuraikan kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi dengan dilatar belakangi analisis situasi dan
kecenderungan ke depan. Di dalamnya termasuk kaitannya dengan the Bangkok Charter yang
dihasilkan dalam Konferensi Dunia Promosi Kesehatan ke-enam di Bangkok, Thailand pada
bulan Agustus 2005. Bab X mencoba mendokumentasikan kesan dan pesan dari para pelaku atau
mereka yang terkait dengan upaya promosi kesehatan, baik yang berada di Jakarta maupun di
kota-kota lain, yang berada di unit promosi kesehatan atau di unit lainnya, di pemerintahan dan
di luar pemerintahan. Terakhir bab XI adalah bab Penutup, yang juga memuat kesimpulan dan
sumbang saran yang berkaitan dengan promosi kesehatan untuk masa sekarang dan yang akan
datang. Dalam beberapa bab terasa terjadi pengulangan, tetapi hal itu tidak dapat dihindari,
bahkan semoga dapat memperkuat cerita. Ini sesuai dengan salah satu jargon Health Education,
bahwa Education is reenforcement.
Dengan membaca buku perkembangan promosi kesehatan di Indonesia ini, kita mencoba sedikit
menoleh ke belakang, mencoba mengamati apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita.
Kemudian dengan mengambil pelajaran dan hikmah yang ada di dalamnya, kita bertekad
melangkah untuk menjalaninya dengan melihat ke depan, sebagaimana dikatakan oleh Soren
Kierkegaard, seorang filsuf Jerman, yang dikutip di awal tulisan ini.

Bab II
ERA PROPAGANDA DAN PENDIDIKAN KESEHATAN RAKYAT
(Masa Penjajahan dan Awal Kemerdekaan sampai sekitar Tahun 1960 an)

Health education alone is nothing.


Health education with program is something.
Health education with program and community is everything.
(Jargon Health Education)

Masa Penjajahan

Mula-mula Belanda, untuk kepentingan mereka sendiri, membentuk Jawatan Kesehatan


Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808. Itu terjadi pada waktu pemerintahan

4
Gubernur Jendral H.W. Daendels, yang terkenal dengan pembuatan jalan dari Anyer sampai
Banyuwangi, yang membawa banyak korban jiwa penduduk. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara
yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai
diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil
dikeluarkan pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun
1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut. Pada permulaannya, perhatian hanya
ditujukan kepada kelompok masyarakat penjajah (Belanda) sendiri, beserta para anggota
tentaranya yang juga meliputi orang pribumi. Sedangkan usaha untuk mempertinggi kesehatan
rakyat secara keseluruhan baru dinyatakan dengan tegas dengan dibentuknya Jawatan/Dinas
Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Sedangkan pelayanan kesehatan yang mula-mula dilakukan
adalah pengobatan dan perawatan (upaya kuratif), melalui RS Tentara.
Pada waktu itu sebagian besar rakyat di pedesaan masih sangat dipengaruhi oleh
kebiasaan, kepercayaan akan tahayul, sedangkan pengobatan lebih percaya pada dukun. Ibu-ibu
pada waktu melahirkan bayinya juga lebih banyak ditolong oleh dukun. Kondisi hygiene-santasi
masih sangat buruk, dan berobat ke dokter masih menimbulkan rasa takut. Banyak penyakit
timbul karena pola hidup yang tidak bersih dan tidak sehat. Pada waktu itu sering terjadi wabah
malaria, kolera, sampar, dan cacar. Di samping itu juga sering terjadi wabah busung lapar di
daerah-daerah tertentu. Sedangkan penyakit frambusia/patek/puru, kusta dan tuberkulosis
merupakan penyakit rakyat. Usaha preventif pertama yang dilakukan adalah pemberian vaksin
cacar yang hanya dilakukan dalam kelompok terbatas. Usaha lainnya yang sebenarnya tertua
usianya adalah pengasingan para penderita kusta, tetapi itu lebih sebagai usaha pencegahan
penularan semata-mata. Selain itu juga ada kegiatan pengasingan para penderita sakit jiwa, yang
hanya dilakukan terhadap mereka yang berbahaya bagi masyarakat sekelilingnya.
Dengan adanya wabah kolera, pada tahun 1911 di Batavia dibentuk badan yang diberi
nama Hygiene Commissie yang kegiatannya berupa: memberikan vaksinasi, menyediakan air
minum dan menganjurkan memasak air untu diminum. Perintis usaha ini adalah Dr. W. Th. De
Vogel. Selanjutnya pada tahun 1920 diadakan jabatan propagandist (juru penyiar berita) yang
meletakkan usaha pendidikan kesehatan kepada rakyat melalui penerbitan, penyebar luasan
gambar dinding, dan pemutaran film kesehatan. Usaha ini karena penghematan dihentikan pada
tahun 1923.

Medisch Hygienische Propaganda

Pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Kegiatan pertamanya
berupa pemberantasan cacing tambang di daerah Banten. Bentuk usahanya dengan mendorong
rakyat untuk membuat kakus/jamban sederhana dan mempergunakannya. Lambat laun
pemberantasan cacing tambang tumbuh menjadi apa yang dinamakan Medisch Hygienische
Propaganda. Propaganda ini kemudian meluas pada penyakit perut lainnya, bahkan melangkah
pula dengan penyuluhan di sekolah-sekolah dan pengobatan kepada anak-anak sekolah yang
sakit. Timbullah gerakan, untuk mendirikan brigade sekolah dimana-mana. Hanya saja
gerakan ini tidak lama usianya.
Baru pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk
Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas Kuratif
tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha higiene ini perlu

5
disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation (Amerika), yang memimpin
pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik beratkan pada
Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan
Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang
lingkup penderita penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan
Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak informasi
tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta
usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang, malaria, tbc.). Ia mengadakan
pendekatan dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan
seperti ini nanti dikenal dengan nama pendekatan edukatif). Yang menonjol pada waktu itu
adalah penggunaan media pendidikan (booklets, poster, film dsb) dan juga kunjungan rumah
yang dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik.
Sebagai pelaksana kegiatan pendidikan kesehatan dalam bidang Hygiene dan Sanitasi,
seorang dokter pribumi bernama Dr. Soemedi, kemudian mendirikan Sekolah Juru Hygiene di
Purwokerto. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Dr. R. Mochtar yang kemudian menjabat
sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda
Dienst). Sehubungan dengan karya atau usaha Dr. Hydrick itu, Dr. R. Mochtar mengemukakan
sbb.:

Selama penyelidikan itu, diadakan penerangan kepada penduduk tentang penyakit cacing
dengan menggunakan film, dan gambar-ganbar sorot. Hasil penerangan itu begitu besar, hingga
terjadilah keyakinan, bahwa mungkin sekali kepada penduduk diberikan pengetahuan lebih
lanjut tentang kesehatan itu dan tentang penyakit dengan jalan mengadakan propaganda
tentang kesehatan dan organisasi pekerjaan hygiene secara seksama.

Kemudian timbul suatu pekerjaan secara teratur dalam lapangan Medisch Hyg.
Propaganda dan hygiene yang seksama di daerah-daerah desa, dibawah pimpinan dokter-
dokter. Suatu daerah percontohan diadakan di wilayah Kabupaten Banyumas . Disamping itu
diadakan suatu sekolah Mantri Kesehatan.
Berkat kegiatan mereka jang mendjalankan tugasnja dalam lapangan tersebut, maka
pekerdjaan tadi dalam arti sebenarnyja mendjelma sebagai suatu pendidikan tentang kesehatan
kepada rakyat bukan saja suatu medisch hygiensche propaganda.
Meskipun para pegawai acapkali menghadapi orang-orang jang salah faham tentang
pekerjaan itu dan mengalami berbagai penghinaan, akan tetapi dengan penuh keyakinan tentang
kesucian pekerjaan itu, mereka menjalankan tugasnya, sehingga pendidikan kesehatan rakjat itu
memperoleh tempat dalam usaha Pemerintahan dalam lapangan kesehatan rakjat, bahkan sejak
pecahnya revolusi pada tahun 1945 di Indonesia telah dibangun urusan hygiene desa atas dasar
pendidikan kesehatan rakyat.
Perang dunia ke II mengakibatkan datangnya zaman baru. Arus gelombang gerakan
kesehatan rakyat di dunia telah juga meliputi Indonesia. Di Indonesia filsafat kesehatan yang
dianjurkan oleh W.H.O. itu diterima pula dan dijadikan dasar dalam gerakan kesehatan rakyat
di Indonesia. Oleh karena itu dapat diramalkan, bahwa pekerjaan Pendidikan Kesehatan Rakyat
itu terus menerus akan memperoleh perhatian besar dari pemerintah, maupun masyarakat.
Filsafat yang diandjurkan oleh W.H.O. itu ialah, bahwa kesehatan itu adalah :

6
a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the absence of
disease or infirmity(Suatu keadaan sempurna mengenai tubuh, rohani dan sosial, bukan saja
tidak ada penjakit, uzur arau cacad).

Riwayat Kesehatan Rakyat memperlihatkan, bahwa pada permulaannya Usaha Kesehatan


Rakyat itu ditujukan kepada usaha menyehatkan lingkungan hidup dan pemberantasan penjakit;
usaha itu didjalankan untuk rakyat dengan jika perlu menggunakan juga undang-undang.
Akan tetapi dalam bentuk Usaha Kesehatan Rakyat yang paling baru, usaha-uaaha itu
dijalankan untuk rakyat dengan ikut sertanya rakyat. Ini berarti bahwa penyelenggaraanUsaha
Kesehatan Rakyat itu membutuhkan juga gerakan rakyat ke jurusan tadi. Hal ini sungguh lebih
sukar daripada menjalankan usaha itu tidak dengan syarat bahwa rakjat juga harus ikut
mengadakan inisiatif.
Inisiatif rakyat tadi perlu dibangunkan dengan jalan pendidikan, agar rakyat dapat
mengerti dan suka sama-sama bekerja dengan pemerintah untuk keperluan mereka sendiri.
Bantuan rakyat itu harus berdasarkan atas inteligensi.
(R.Mochtar, M.D.,M.P.H. 1954, tulisan sudah disesuaikan dengan ejaan baru)

Pendidikan Kesehatan Rakyat

Dalam tulisannya tersebut, Dr. R. Mochtar jelas memberikan gambaran betapa penting arti
Pendidikan Kesehatan Rakyat dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam Kesehatan Rakyat, yang sejak sebelum Hydrick, yaitu 1911, sudah mulai
digalakkan oleh pemeritah Belanda. Ada bebarapa pokok penting yang dapat diangkat dari
tulisan Dr. R.Mochtar, yaitu :

1. Pendidikan Kesehatan Rakjat (PKR) sudah dirasakan pentingnya sejak permulaan abad
ke XX, namun direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata baru dalam tahun 1911, yang
dikenal dengan nama Medisch Hygienische Propaganda.

2. Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) terkait pada program kesehatan, yaitu Hygiene dan
Sanitasi lingkungan (PKR bukan suatu program yang berdiri sendiri)

3. Walaupun Pendidikan Kesehatan merupakan bagian dan kegiatan terintegrasi dalam


program-program kesehatan, namun hal ini perlu ditangani secara professional. Untuk
ini perlu organisasi/unit kerja khusus yang menangani Pendidikan Kesehatan, dan
diperlukan pula tenaga terdidik atau terlatih. Dalam hal ini tenaga sanitasi, disiapkan
untuk mampu memberikan pendidikan tentang kesehatan dan sanitasi kepada masyarakat
desa, disertai alat/media pendidikan (Audio Visual Aid ). Tenaga Health Educators ini
bekerja dengan penuh keyakinan dan dedikasi.

7
Pada waktu itu sudah ada anggapan bahwa Pendidikan Kesehatan tidak diperlukan, jika
masyarakat telah maju. Hal ini tidak dibenarkan oleh Dr.R.Mochtar, karena kenyataan
memperlihatkan bahwa di negara-negara yang telah majupun kegiatan Pendidikan Kesehatan
Rakyat masih diperlukan dan dilaksanakan. Cara pendekatan, metodologi serta tehnologi yang
dipergunakan disesuaikan dengan kemajuan masyarakat setempat.
Sedangkan Dr. J. Leimena (1952) mengangkat beberapa prinsip pioneering job Dr. J.L.
Hydrick, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya health education, sbb.:
Principles : The idea underlying the organization of this intensive hygiene work was the belief
that if health education could instill in the people an understanding of the fundamental rules of
hygiene and a realization of the importance and necessity of healthful habits of life, many
diseases and condition might be brought under control and in time might be eradicated.
Purpose : The purpose of the work is to awaken in the people a permanent interest in hygiene
and stimulate them to adopt habits and to carry out measures which will help them secure health
and remain healthy.
Cooperation of the people: In order to secure the cooperation of the people, health education
work must propose practicable measures, so that the people will be able to give cooperation.
Further it is of the greatest importance that not only the children be taught hygiene and health,
but that also the adults be taught at the same time, so that each group will support the other.
This cooperation is very valuable.
The spirit of the approach : They should be lead, not driven. They should be stimulated and
lead to express a desire to live more hygienically. It is the task of the health worker to create the
desire.
A subject with which to begin : .to begin with an attempt to bring about in the people an
understanding of the fundamental facts involved in the cause, transmission and prevention of a
wide spread chronic disease.
.if the people can be taught that they themselves can carry out certain simple measures which
will help them to avoid one of the chronic diseases, they will learn to live more hygienically and
thus build up their resistance to many other diseases.

Laying the foundation for general hygienic work: If this new sanitary habits become permanent,
then there has been laid the foundation upon which general hygiene work can be built

..It was therefore not intended that the Division of Public Health Education should conduct
only a campaign against soil and water pollution, but it should thereby lay a foundation for a
broad general campaign for hygiene by teaching the dangers of the pollution of soil and water.

Memaknai apa yang diuraikan dalam kutipan tersebut di atas, ada contoh menarik. PT
Unilever dalam rangka mempromosikan produksinya berupa sabun mandi dan pasta gigi, sering
mengadakan bioskop keliling dengan layar tancap. Pada zaman belum ada televisi, bioskop
semacam ini sangat digemari oleh masyarakat, terutama di pedesaan. Di sela-sela pertunjukan
film dengan cerita tertentu sering diselipkan pendidikan/penyuluhan kesehatan. Yaitu dengan
selipan slide film yang antara lain menunjukkan tokoh kartun yang memerankan petugas
laboratorium yang sedang meneropong secawan air mentah dengan mikroskop. Melalui alat itu
terlihat bahwa air mentah itu banyak mengandung kuman atau bakteri dengan berbagai bentuk

8
yang berkeliaran, berjingkrak-jingkrak dan menari-nari di dalam air tersebut. Adegan berikutnya
adalah air di cawan itu langsung diminum oleh tokoh kartiun yang lain dengan akibat beberapa
lama kemudian merasakan sakit perut dan beberapa kali buang air besar. Lalu dijelaskan oleh
narrator dari slide film tersebut itulah akibatnya apabila kita minum air tanpa dimasak lebih
dahulu. Sang narrator menganjurkan agar air sebelum diminum agar dimasak lebih dahulu.
Kemudian ditunjukkan slide film berikutnya bahwa melalui mikroskop terlihat bahwa kuman-
kuman itu pada mati dan tidak berkeliaran lagi dalam air yang sudah dimasak. Sang narrator
menjelaskan bahwa air yang sudah dimasak aman dari gangguan penyakit. Dari silide film
sederhana ini ternyata banyak penduduk pedesaan yang memasak air sebelum diminum.

Prevention is better than cure

Usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun
berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada inisiatif
partikelir (1917 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils),
perusahaan perkebunan. (Dr.J.Leimena, 1952). Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang
Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap
diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga
berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di perusahaan-
perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
para pekerja perkebunan, dan dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit)
dan daya produksinya (productie capaciteit) .
Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas wawasan
pengetahuan tentang sebab penyakit menular dan cara pencegahannya, seperti, cholera, desentri,
typhus. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang penyakit rakyat, seperti TBC,
frambusia, cacing tambang, malaria dsb. Agar masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya
pencegahan dan upaya peningkatan kualitas kesehatannya, maka sudah pada tempatnya jika
informasi terkini mengenai perkembangan dalam bidang kesehatan dapat disalurkan ke
masyarakat, seperti penyebab penyakit, cara penangulangannya atau cara pencegahannya.
Disinilah Pendidikan Kesehatan dapat mewujudkan perannya dengan jelas.
Apa yang telah dirintis oleh Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan oleh
Pemeritah (Belanda). Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif dilaksanakan
melalui berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-undangan). Motto yang berbunyi
Prevention is better than cure diwujudkan dalam berbagai kegiatan a.l. :

vaksinasi cacar, typus, cholera, desentri, pes

pendaftaran kelahiran, kematian

9
pelaporan tentang penyakit menular, sakit jiwa

pengawasan : air minum, pabrik, tempat pembuatan makanan dan minuman,


saluran limbah ait/riolering, pembuangan sampah, perumahan.

Termasuk upaya pendidikan kepada rakyat tentang peraturan dalam pemeliharaan


kesehatan diri dan lingkungan.

Dengan demikian upaya pencegahan semakin dipandang sebagai usaha yang penting,
demikian pula upaya pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Dengan pecahnya Perang Dunia ke II dan pendudukan Jepang (1942 1945) maka semua
sistem pemerintahan praktis mengalami disorganisasi, karena semua usaha ditujukan untuk
kepentingan perang (Pemerintahan dan orang-orang Jepang). Pendidikan, ekonomi, kehidupan
sosial, kesehatan amat sangat terpuruk. Sumber daya alam dan sumber daya manusia, semua
dikerahkan untuk kepentingan Jepang. Dimana-mana hanya terlihat kemiskinan, penderitaan,
kelaparan, dan penyakit. Hidup masyarakat sangat tertekan. Situasi ini berlangsung sampai tahun
1945, saat berakhirnya Perang Dunia ke II. Pada tahun 1945 Jepang menyerah dan Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan serta memperjuangkannya dengan melawan tentara sekutu
(Amerika dan Inggris) dan Belanda yang ingin memperoleh kembali supremasi penjajahannya di
Indonesia.
Disorganisasi Usaha Kesehatan Masyarakat yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah
kacau, berlangsung terus dalam periode revolusi fisik (1945 1949). Banyak fasilitas Kesehatan
tidak dapat dipergunakan karena rusak, bahkan para petugas kesehatan pun banyak yang
meninggalkan posnya, bergabung dalam barisan gerilyawan melawan Belanda, Amerika dan
Inggris. Dalam kaitan itu perlu dicatat bahwa banyak tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya
yang menjadi pejuang dan di antaranya ada yang gugur di medan perang, atau menjadi korban
perang.
Dalam periode revolusi fisik itu (Agustus 1945 Desember 1949), masih ada dua sistem
pemeritahan, yaitu Belanda yang berpusat di Jakarta, dan Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta. Dengan demikian maka selama 8 tahun (1942 1949), Indonesia mengalami masa
yang sangat memprihatinkan. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak dapat dipergunakan, karena
rusak, ditinggalkan, bahkan para petugas kesehatanpun meninggalkan posnya untuk turut
bergabung dengan para gerilyawan. Obat-obatan didaerah Republik juga sulit.
Baru setelah penyerahan Kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah memberikan
perhatian pada kesehatan rekyat. Pemerintah (RI) juga memberikan perhatiannya pada kesehatan
masyarakat di desa. Pada waktu itu dikembangkan Usaha Pembangunan Masyarakat Desa yang

10
antara lain melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pada waktu itu ada yang
disebut Gerakan Kebersihan, Pekan Kerja Bakti, dll. Diadakan pula Usaha Kesehatan di sekolah-
sekolah, yang berkaitan dengan kebersihan diri dan lingkungan, perbaikan gizi, dll. Bahkan di
masa masih bergolak (1948) sudah didirikan sekolah untuk penyuluh kesehatan di Magelang dan
dibuat dua daerah percontohan, yaitu di Magelang dan Yogyakarta.

Empat Sehat Lima Sempurna dan Bandung Plan

Pada sekitar tahun 1950 an itu masalah gizi cukup menonjol. Dengan ukuran sesuai
Nutritional Standard (`id`, `date`, `writer`, `title`, `pict_name`, `pict_dname`, `attach_name`,
`attach_dname`, `news_type_id`, `description`, `lang`, `attach1_name`, `attach1_dname`,
`attach2_name`, `attach2_dname`, `dt_created`, `dt_updated`) VALUES ditentukan tingkat
keadaan gizi dengan menggunakan indeks. Dengan demikian dapat ditentukan keadaan gizi:
kurang, minimal, normal, atau optimal. Golongan gizi minimal oleh Prof. Dr. Poerwo Soedarmo
disebut golongan tidak sakit dan tidak sehat. Sementara itu kwashiorkhor dan
xerophthalmia sebagai masalah gizi pda golongan anak para sekolah mendapat banyak
perhatian. Selain penyelidikan secara mendalam, usaha perbaikan dilakukan melalui penyuluhan
gizi dan penggalian sumber makanan bernilai gizi.
Penerangan kepada masyarakat dilaksanakan melalui kursus yang diselenggarakan oleh
berbagai organisasi, maupun melalui pers dan radio. Pada waktu itu diperkenalkan semboyan
atau pesan : Empat Sehat Lima Sempurna, sesuai dengan pola makanan Indonesia. Pesan
tersebut berhasil disebar luaskan dan menjadi populer. Pesan tersebut juga banyak terpampang di
dinding-dinding sekolah. Pengertian semboyan tersebut ternyata berhasil dihayati masyarakat.
Pesan itu sangat efektif dan mudah dihafal, bahkan masih relevan sampai sekarang.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1951, oleh Dr. J. Leimena dan Dr. Patah diperkenalkan
Konsep Bandung atau Bandung Plan, yang menggambarkan perpaduan antara upaya kuratif
dan preventif. Konsep tersebut sebenarnya tidak lain dari konsep Communiyty health, yang
merupakan dasar bagi pengembangan Puskesmas, yang kemudian menjadi pembuka program
kesehatan masyarakat desa dan upaya pendidikan kesehatan masyarakat secara luas. Dengan
demikian masyarakat pedesaan akan mempunyai akses lebih dekat ke Pelayanan Kesehatan. Hal
ini dianggap penting, karena sebagian besar masyarakat Indonesia ada di pedesaan, dan di masa
lalu masyarakat desa kurang mendapat perhatian dalam pelayanan kesehatan.
Program pembangunan kesehatan untuk periode 10 tahun (1950-1960) telah digariskan
dalam konperensi Kementerian Kesehatan tahun 1952 di Jakarta. Isi program mencakup
kebijaksanaan umum dan khusus. Usaha kuratif dan preventif yang ditempuh sesuai dengan
rumusan WHO mengenai kesehatan, yaitu: a state of complete physical, mental and social well
being, and not merely the absence of disease or infirmity. Tujuan pemerintah adalah
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia untuk meningkatkan derajat
kesehatan bangsa Indonesia agar memiliki kemampuan kerja semaksimal mungkin.

Kesehatan Masyarakat Desa (KMD)

11
Pada sekitar tahun 1956, dibentuk Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan
Kesehatan Rakyat (KMD/PKR). Prof. Dr. dr. Sulianti Sarosa (alm), yang biasa disebut dengan
dr Sul ditetapkan sebagai pimpinan unit tersebut. Menurut beliau, titik berat usaha kesehatan
masyarakat adalah pada usaha preventif. Namun istilah preventif ini masih kurang dipahami
secara tepat oleh masyarakat, bahkan seringkali dikira bahwa usaha preventif hanya meliputi
penerangan-penerangan kesehatan atau usaha imunisasi saja. Yang diharapkan dan dianggap
penting oleh masyarakat adalah pengobatan atau usaha kuratif.
Sebenarnya yang dimaksud dengan usaha preventif adalah bahwa upaya kesehatan yang
dijalankan tidak semata-mata untuk penyembuhan yang sakit, tetapi lebih pada upaya untuk
mencegah timbulnya penyakit serta mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (promotif). Hal
ini berarti bahwa usaha-usaha pengobatan ringan perlu dilakukan agar penyakit tidak bertambah
parah, juga termasuk pengobatan dalam rangka memberantas penyakit menular yang dilakukan
secara sistematis.
Dr Sul selalu mengingatkan bahwa rangkaian usaha preventif inilah yang dimaksudkan
dengan Public Health atau Usaha Kesehatan Masyarakat, yang dirumuskan oleh Prof. Winslow,
dimana pemahaman definisinya divisualkan sebagai berikut :

PUBLIC HEALTH is THE SCIENCE and ART


OF THROUGH FOR
1. The Sanitation of the
1. Preventing Disease Environment

2. Prolonging Life and 2. The Control of Communicable


Organized
Disease
Community Effort

3. Promoting Health
3. The Education of the
Individual in Personal Hygiene

12
4. The Organization of Medical
and Nursing Service for the
Early Diagnosis and
Preventive Treatment of
Disease, and

5. The Development of Social


machinery to ensure everyone
a standard of living adequate
for maintenance of Health

So organizing these benefit as to enable every citizen to realize his birthright of health and
longevity

Demikianlah dengan jelasnya bahwa dengan usaha kesehatan masyarakat setiap orang
diberi kesempatan untuk mendapatkan haknya untuk hidup sehat dan umur panjang.
Mengenai upaya kesehatan yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut diatas
dr. Sul mengingatkan kembali skema yang menggambarkan riwayat penyakit dan tindakan yang
dapat diambil sesuai dengan tahap-tahap perkembangan penyakit, yang disusun oleh Prof Leavell
dari Harvard University dibawah ini :

Berdasarkan riwayat penyakit tersebut, maka usaha-usaha kesehatan preventif yang dapat
dilakukan adalah :

1. Pendidikan Kesehatan kepada Masyarakat (Health Education)

2. Perbaikan Makanan Rakyat

3. Perbaikan Hygiene lingkungan hidup

13
4. Kesejahteraan Ibu dan Anak

5. Dinas Kesehatan Sekolah

6. Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Public Health Nursing)

7. Usaha Pengobatan

8. Pemberantasan Penyakit endemis dan epidemis

9. S t a t i s t i k

10. Laboratorium Kesehatan

Lebih lanjut dr Sul menatakan bahwa tujuan Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat adalah :

Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) Model Lemah Abang

Berhubung pada waktu itu (dan juga sampai sekarang) sebagian besar penduduk hidup di
pedesaan, maka usaha-usaha kesehatan terutama ditujukan kepada masyarakat desa, selain
karena disebabkan usaha kesehatan belum merata sampai ke pelosok-pelosok. Konsep yang
dianut oleh seluruh dunia ialah bahwa sebaiknya usaha-usaha kesehatan itu dijalankan secara
terintegrasi dan koordinasi serta perlu mengikut sertakan masyarakat secara aktif pada
penyelenggaraan usaha-usaha kesehatan tersebut. Untuk melaksanakan rencana kesehatan
masyarakat tersebut maka Kementerian Kesehatan waktu itu, telah mengadakan percontohan
didaerah Bandung yang disebut dengan Bandung Plan dan tepat dengan waktu dimulainya
Program Nasional Pembangunan Masyarakat Desa dalam bulan Agustus 1956.
Percontohan Usaha Kesehatan Masyarakat Desa (KMD) dimulai dari Kabupaten Bekasi
pada 1956. Di sini diadakan kursus-kusrsus atau latihan mengenai usaha KMD untuk segala jenis
tenaga kesehatan dari seluruh Indonesia. Disamping KMD di Bekasi, di setiap propinsi juga

14
diadakan daerah percontohan KMD untuk dijadikan tempat pelatihan bagi tenaga kesehatan
setempat. Daerah-daerah percontohan lain adalah di : Bojongloa (Bandung), Sleman (Magelang),
Godean (Yogjakarta), Mojosari (Surabaya), Metro (Lampung), Kasemen (Denpasar), Kotaraja
(Banda Aceh), Indrapura (Medan), dan Barabai (Banjarmasin). Pada waktu itu tenaga-tenaga
yang akan diterjunkan ke masyarakat dilatih dahulu secara intensif dalam suatu pelatihan atau
kursus yang diberi nama Pendidikan Kesehatan pada Rakyat (PKR).
Khusus Daerah Percontohan KMD/PKR Kecamatan Lemah Abang, Bekasi, dipersiapkan
sebagai Daerah pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam bidang Rural Health and Health
Education. Tujuan diadakannya Daerah Percontohan KMD/PKR Lemah Abang adalah :
Menjadikan Daerah itu sebagai contoh sistem kerja dan pengelolaan program Kesehatan
Masyarakat Desa, oleh suatu Tim Kesehatan Desa (Rural Health), dan juga sebagai daerah
pelatihan lapangan (field training) tenaga-tenaga kesehatan (medis, para medis).
Tim KMD/PKR Lemah Abang terdiri dari petugas kesehatan yang bertugas sebagai full
timer dan merupakan administrative staff dalam bidang-bidang :

Kuratif dokter selaku pimpinan Tim, pimpinan proyek

Beberapa Penilik Kesehatan yang bertugas dalam : Public Health Administration dan
Statistik, Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

Gizi (Nutrition)

Public Health Nursing

Pendidikan Kesehatan (Health Education).

Selain dari itu ada tenaga-tenaga lapangan seperti bidan, pembantu bidan dan beberapa
sanitarians.

Dapat dikemukakan bahwa Staf KMD/PKR secara keseluruhan, sebelum ditugaskan dalam
pos masing-masing, baik di Dep.Kes. sebagai staf Bagian KMD/PKR, maupun di Lemah Abang,
sebagai Team Staff lapangan, semua mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di Luar Negeri
dalam disiplin profesi masing-masing dalam konteks Kesehatan Masyarakat. Sekembali masing-
masing ke tanahair, masih ada tahap pembinaan intensif dari Kepala Bagian KMD/PKR yaitu
oleh Ibu Dr. J. Soelianti Saroso, mengenai program Rural Health, serta tentang cara dan
mekanisme kerja dalam Tim. Staff Meeting dilakukan secara teratur (hampir setiap hari) di Bag.
KMD/PKR, Dep.Kes., dengan penugasan-penugasan khusus, sebelum ke Lemah Abang. Dalam

15
kesempatan pertemuan seperti ini laporan lisan tentang pelaksanaan tugas dan masalah-masalah
juga dibicarakan bersama. Cara ini menimbulkan rasa kebersanaan, rasa tanggung-jawab
bersama, rasa persaudaraan, lebih-lebih bagi mereka yang memang harus tinggal di Lemah
Abang.
Beberapa hal yang dapat diutarakan sebagai pengalaman yang membantu dalam
membentuk Tim KMD/PKR Lemah Abang yang solid dan handal a.l. adalah :

adanya organization and staff development planning yang solid (Tingkat Pusat)

Adanya well planned staff preparation, development, and placement (Tingkat Pusat)

Adanya regular Lemah Abang team staff meeting, dan keterbukaan (lokal), setiap hari
Senin sebelum kelapangan.

Adanya technical supervision and guidance (dari Pusat-Bgn KMD/PKR)melalui berbagai


jalur seperti :

o Kunjungan lapangan ke desa-desa, dan dialog langsung dengan petugas lapangan


dan PEMDA setempat.

o Pertemuan/rapat dengan administrative Team staff Lemah Abang. Pertemuan


seperti ini biasanya dihadiri pula oleh staff Bgn KMD/PKR dari berbagai displin
dan bersifat edukatif.

Pertemuan non-formal (social gathering) yang sewaktu-waktu diselenggarakan Kepala


Bagian KMD/PKR untuk seluruh staf, membantu menambah erat hubungan sosial antar-
staf.

Pembentukan dan pengembangan Daerah Percontohan Lemah Abang mendapat bantuan


tehnis dari badan Internasional, dengan penempatan Team Konsultan (full tmer) di lokasi untuk
bidang-bidang : kuratif (dokter), Environment Sanitation, Public Health Nursing (semuanya dari
US-AID) dan Health Education (dari WHO). Team consultant ini masing-masing didampingi
oleh local national technical counterpart, sebagai Tim KMD/PKR. Untuk Public Health

16
Administration & Statistics tidak ada consultant tehnisnya.
H.E. Consultant, Mr. Calhoun dalam masa penugasannya pernah mengadakan penulusuran
jejak karya Hydrick di wilayah Banyumas yang didampingi Sdr. TarzanPanggabean Bsc, Penilik
Kesehatan yang bertugas dibidang Health Education di lapangan. Keberadaan dan bantuan tehnis
dari para konsultan Luar Negeri membantu upaya meningkatkan mutu kinerja local national
staff. Transfer of knowledge and technology tentang cara kerja dalam Team, penggunaan alat-
alat bantu dalam melaksanakan Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat, cara-cara pendekatan
masyarakat dsb. adalah hal yang dialami langsung, di diskusikan dan di analisa bersama. Dengan
cara learning by doing, maka pemahaman dan penghayatan tentang Health Education in rural
areas dan role of Health Educator as a member of a Rural Health Team, dapat secara langsung
diterapkan. Masing-masing counterpart mampu menampung, menyaring, memilih, mengolah,
meresapkan dan memanfaatkan masukan-masukan yang diperoleh dari konsultan-konsultan
asing dalam upaya memperkuat dan meningkatkan mutu profesinya dalam rangka
pengembangan program KMD/PKR.
Tidak dapat disangkal kebenarannya bahwa kehidupan Tim yang cukup dinamis ini,
diliputi juga oleh adanya nuansa dominasi profesional. Ini dapat menimbulkan arus ketegangan
dikalangan Tim, dan merusak Team Spirit, jika kesadaran para anggota Tim akan makna
pentingnya keberadaan Daerah Percontohan ini tidak kuat, dan roda kepemimpinannya lemah.
Dominasi profesional juga dapat diamati dikalangan foreign consultants. Jika local
administrative staff sebagai technical counterpart terpengaruh, maka hal ini dapat
membahayakan hubungan sosial antar-staf dan pada akhirnya membuyarkan fungsi Tim. Selain
dominasi professional, maka sikap perilaku yang dapat juga melemahkan fungsi Tim ialah
adanya individual vested interest anggota Tim, yang dapat memicu timbulnya sikap kecurigaan
antar-disiplin. Disinilah diperlukan adanya leadership yang objektif, kuat dan mampu menjaga
keseimbangan hubungan sosial antar-disiplin, intra-disiplin dan intra-Team. Jika local conflicting
situation and conflicting interest tidak dapat teratasi setempat, maka posisi kepemimpinan untuk
memecahkan masalah, diangkat ke tingkat Departemen(Pusat), yaitu oleh Bagian KMD/PKR.

Peranan Health Education Staff

Sebagaimana halnya tujuan Pendidikan pada umumnya, yaitu menjadikan orang itu
dewasa, memiliki tanggung-jawab untuk diri sendiri dan lingkungan sosialnya, serta mampu
mengambil keputusan yang bijaksana, maka Health Education sebagai proses yang terarah,
menjadikan orang itu dewasa, mampu meningkatkan taraf kesehatan diri sendiri, keluarga dan
lingkungannya atas kesadaran diri tentang pentingnya kesehatan dan melaksanakan pola hidup
sehat atas upaya dan kekuatannya sendiri.
Health Education mengolah pola pikir orang, agar ia dapat berpikir rasional, objektif ,
mampu secara sadar mewujudkan pengetahuan tentang kesehatan kedalam kehidupan sehari-
hari, bahkan dapat mentransfer pengetahuannya juga kepada orang lain. Para pertugas kesehatan
di lapangan dibina sedemikian rupa, agar mampu mengembangkan critical mind-nya.
Adakalanya penerapannya dirasakan sebagai mengganggu disiplin kesehatan lainnya. Ini
kemudian dapat meninbulkan social conflicts dalam Team.
Conflicting ideas, opnion, interest, dalam suatu Tim, selalu dapat terjadi, namun yang
perlu diperhatikan ialah bawa hal ini merupakan ingredients dalam kehidupan Tim, yang dapat
menambah ke-matangan dan kedewasaan team sebagai suatu Kelompok yang anggota-

17
anggotanya bervariasi. Penting dalam hal ini adalah adanya team spirit, dan sikap toleransi,
objektif dalam melihat atau menanggapi masalah, peka terhadap kondisi lingkungan, dan
responsive serta kreatif dalam mencari penyelesaian yang dapat memberikan rasa puas bagi
seluruh anggota Tim.
Pengalaman sebagai grassroot level worker dan sebagai anggota Rural Health & Health
Education Team, telah menempa spiritual maturity, dan lebih peka terhadap kemungkinan
timbulnya benturan antar-anggota Tim. Dalam menghadapi foreign consultants, maka kita perlu
memperkuat posisi kita sebagai nasional counterpart, dengan lebih memperhatikan kepentingan
program nasional. Sedapat mungkin dapat mengendalikan pemikiran-pemikiran yang sekiranya
dapat menghambat atau mengalihkan arus dan arah perkembangan program.
Dapat dikemukakan bahwa sasaran Health Education bukan hanya masyarakat saja, tetapi
juga para petugas kesehatan. Tujuan tentu berbeda. Bagi masyarakat, diharapkan agar mereka
sadar akan pentingnya kesehatan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat lingkungannya, dan
bagi Petugas kesehatan, agar mereka juga dapat menjadi panutan dalam cara hidup sehat, serta
mampu menggunakan tehnologi Health Education dalam melaksanakan tugasnya, yang
dilaksanakan sedemikian rupa, hingga masyarakat yang menjadi sasarannya menjadikan cara
hidup bersih dan sehat sebagai pola hidupnya sehari-hari.
Pengalaman di Lemah Abang memberikan pelajaran bahwa perubahan sikap perilaku
kesehatan yang diharapkan meskipun hanya dalam lingkup seluas Keacamatan saja, ternyata
memerlukan tindakan-tindakan di tingkat adminsitratif dan sosial yang lebih tinggi. Untuk itu
diperlukan tenaga khusus untuk menanganinya secara professional. Pengalaman dan pengamatan
menunjukkan bahwa sebagai health educator dalam Tim, ia dapat menjadi Mediator dalam
menghadapi situasi konflik yang terjadi dalam Tim serta dapat membangun networking antar
berbagai program/unit kerja. Singkatnya ia dapat berperan sebagai catalyst dalam upaya
mengadakan perubahan, yang memadukan pendidikan kesehatan dengan program serta dengan
melibatkan peran aktif masyarakat.
Pengalaman di Lemah Abang juga menunjukkan, sebagaimana jargon dikutip di awal bab
ini, bahwa :Health education alone is nothing. Health education with program is something.
Health education with program and community is everything.

Bab III
ERA PENDIDIKAN DAN PENYULUHAN KESEHATAN
(Kurun Waktu 1960-1980)

Education is not for knowing more


But for behaving differently
(Ruskin)

Istilah Pendidikan Kesehatan dan UU Kesehatan 1960

18
Dr. J. Leimena, selaku Menteri Kesehatan menyampaikan kepada Presiden Sukarno,
Presiden I RI, pada tahun 1955 (dalam buku Kesehatan Rakyat di Indonesia, Pandangan dan
Planning), bahwa merajalelanya berbagai penyakit di Indonesia pada saat itu adalah karena
kurang baiknya keadaan hygiene lingkungan di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena
kurangnya pengertian masyarakat tentang hygiene perseorangan dan hygiene umum. Oleh karena
itu maka Pendidikan Kesehatan kepada Rakyat adalah suatu soal yang penting di Indonesia.
Dalam kaitan itu beliau juga menyatakan bahwa pada umumnya semua usaha di lapangan
kesehatan masyarakat tidak akan berhasil jika masyarakat tidak diberikan pendidikan dan
penerangan yang sebaik-baiknya tentang masalah itu. The public health administration can
achieve no solid, durable and effective result unless the public is given Health Education.
Mengenai pentingnya pendidikan kesehatan ini juga dapat dilihat pada Undang-undang No. 9
Ytahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan.
Paling tidak ada dua hal penting dalam Undang-undang tersebut yang perlu dikemukakan
dan dijadikan landasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Masyarakat yaitu :

Pasal 1, yang menyatakan bahwa Tiap-tiap warganegara berhak memperoleh derajat


kesehatan setinggi-tingginya dan perlu diikut sertakan dalam usaha-usaha Kesehatan
Pemerintah.

Pasal 4, yang menetapkan Tugas Pemerintah untuk memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam
lapangan......... butir c. Penerangan dan Pendidikan Kesehatan Rakyat......dst

Dengan demikian pada saat itu, istilah Pendidikan Kesehatan telah dipergunakan secara resmi.

Tentang apa yang disebut dengan Pendidikan Kesehatan (Health Education) banyak ahli
memberikan definisi (seperti: Dorothy Neswander, Guy Steuart, Paul Mico, Helen Ross, Iwan
Sutjahja, dll). Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan
merupakan upaya yang ditekankan pada terjadinya perubahan perilaku, baik pada individu
maupun masyarakat. Bahkan dalam salah satu jargonnya, yang bermula dari Ruskin sebagaimana
dikutip di awal bab ini, ditegaskan bahwa fokus Health Education adalah pada perubahan
perilaku itu, bukan hanya pada peningkatan pengetahuan saja. Oleh karena itu area Pendidikan
Kesehatan adalah pada Knowledge (Pengetahuan), Attitude (Sikap) dan Practice (Perilaku), yang
disingkat menjadi K.A.P.
Mengenai metode yang dipergunakan dalam pendidikan kesehatan dapat bervariasi, sesuai
dengan keadaan, masalah dan potensi setempat. Namun metode tersebut harus dikembangkan :
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat.

Penetapan Hari Kesehatan Nasional

19
Pada sekitar tahun 1960-an malaria merupakan salah satu penyakit rakyat yang
berkembang dengan subur. Ratusan ribu jiwa mati akibat malaria. Berdasarkan penyelidikan dan
pengalaman, sebenarnya penyakit malaria di Indonesia dapat dilenyapkan. Untuk itu cara kerja
harus dirubah dan diperbarui. Maka pada September 1959 dibentuk Dinas Pembasmian Malaria
(DPM) yang kemudian pada Januari 1963 dirubah menjadi Komando Operasi Pembasmian
Malaria (KOPEM). Pembasmian malaria tersebut ditangani secara serius oleh pemerintah dengan
dibantu oleh USAID dan WHO. Direncanakan bahwa pada tahun 1970 malaria hilang dari bumi
Indonesia.
Pada akhir tahun 1963, dalam rangka pembasmian malaria dengan racun serangga DDT,
telah dijalankan penyemprotan rumah-rumah di seluruh Jawa, Bali dan Lampung, sehingga l.k.
64,5 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari kemungkinan serangan malaria. Usaha itu
juga dilanjutkan dengan nusaha surveilans yang berhasil menurunkan parasite index dengan
cepat, yaitu dari 15 % menjadi hanya 2%.
Pada saat itulah, tepatnya pada tanggal 12 November 1964, peristiwa penyemprotan
nyamuk malaria secara simbolis dilakukan oleh Bung Karno selaku Presiden RI di desa Kalasan,
sekitar 10 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Meskipun peristiwanya sendiri merupakan
upacara simbolis penyemprotan nyamuk, tetapi kegiatan tersebut harus dibarengi dengan
kegiatan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai
Hari Kesehatan Nasional (HKN), yang setiap tahun terus menerus diperingati sampai sekarang.
Sejak itu, HKN dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan/penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat.
Tetapi pemberantasan malaria dengan cara penyemprotan tersebut ternyata tidak dapat
diteruskan karena tiadanya biaya. Bantuan dari USAID dan WHO berhenti. Juga karena adanya
pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965.

Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat

Pada tahun 1967, Prof. Dr. GA Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan, dengan Surat
Keputusan No. 091/III/Ad.Um/67, telah menetapkan Susunan Organisasi Departemen
Kesehatan. Dalam struktur organisasi tersebut antara lain ditetapkan bahwa unit yang
melaksanakan tugas pendidikan kesehatan adalah Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat
(Bagian PKM) yang berada di Biro Pendidikan, Sekretariat Jenderal. Kalau di era sebelumnya
Bagian Pendidikan Kesehatan kepada Rakyat berada langsung dan bertanggung jawab kepada
Menteri (yang mungkin dapat disebut setara dengan eselon I), maka dengan SK Menkes 1967
tersebut posisi Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat berada di bawah Kepala Biro, dan
ditetapkan dalam jabatan eselon III, meskipun beban kerja Pendidikan Kesehatan tetap dan
bahkan makin besar.
Meskipun hanya eselon III tetapi unit ini mempunyai jaringan yang cukup kuat dengan
WHO. Demikianlah misalnya pada bulan November 1967, di New Delhi, India, diselenggarakan
Inter-Country Workshop on The Methodology of Planning, Implementation and Evaluation of
Health Education. Pada waktu itu Indonesia mengirimkan wakilnya yaitu : (1) Prof. Dr. I.M.
Bagiastra (alm), saat itu sebagai Dekan FKM-UI; (2) dr. Wirjawan Djojosugito (alm), saat itu
Kepala Biro V/Pendidikan; dan (3) Drs. Koento Hidajat (alm), saat itu sebagai Kepala Bagian
PKM. Hasil workshop tersebut, di antaranya adalah keharusan berintegrasinya kegiatan

20
Pendidikan Kesehatan dalam setiap program kesehatan baik dalam perencanaan, pelaksanaan
(implementasi) maupun penilaian.
Selanjutnya pada bulan Agustus 1968, Bagian PKM menyelenggarakan Workshop tentang
Approach Edukatip dalam Perencanaan dan Penyelenggaraan Program-Program Kesehatan
Masyarakat, yang merupakan tindak lanjut dari Rapat Kerja Nasional bulan April 1968. Salah
satu keputusan Raker adalah dinyatakannya Pendidikan Kesehatan sebagai usaha utama dan
mutlak, kalau rencana Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) hendak direalisasikan.
Beberapa rekomendasi penting dari workshop ini antara lain :

1. Fungsi dan Peran PKM baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten:
Yaitu bahwa Fungsi Bagian PKM di Pusat antara lain adalah Bimbingan Konsepsionil,
Bimbingan Tehnis dan Penyaluran Bantuan Materiil

2. Struktur Organisasi:
Diusulkan kedudukan Bagian PKM ditingkatkan menjadi Biro karena merupakan salah
satu tugas pokok Departemen (Basic Six)

3. Untuk pembiayaan, diusulkan ada anggaran khusus untuk Pendidikan Kesehatan


Masyarakat baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten.

4. Diusulkan pengembangan staff yang qualified, antara lain pendidikan Health Education
Specialist

5. Bentuk terintegrasinya kegiatan PKM dalam setiap Program

Pendidikan Health Education Specialist

Pada sekitar tahun 1967-1968, semakin disadari bahwa masalah kesehatan tidak dapat
diatasi melalui disiplin ilmu kedokteran saja, tetapi juga perlu menggunakan ilmu sosial. Itu
disebabkan karena masalah kesehatan banyak terkait dengan masalah sosial, khususnya perilaku
masyarakat. Untuk itu dipikirkan tentang perlunya tenaga khusus pendidikan kesehatan
masyarakat tingkat sepesialis, yang memahami persoalan sosial kemasyarakatan. Hal itu telah
dibawa dan dibahas di dalam Rakerkesnas 1968, dan disepakati perlunya pengembangan tenaga
spesialis bidang pendidikan kesehatan masyarakat.
Maka diadakanlah proyek khusus Pengadaan Tenaga Health Education Specialist ini.
Kegiatan ini mendapat bantuan dana dan konsultan dari WHO dan USAID, dan proyeknya
bernama: Health Education Manpower Development Project. Konseptor dari proyek ini adalah

21
Dr. Wiryawan Djojosoegito, Kepala Biro Pendidikan waktu itu dengan dibantu khususnya Drs.
Koento Hidayat dan Dra. Koesnaniyah Wiryomihardjo.
Selaku Pimpinan proyek ditetapkan: Dr. Soeharto Wiryowidagdo. Tujuan proyek adalah
pengadaan sekitar 60 orang HES (Health Education Specialist) dan memperkuat Fakultas
Kesehatan Masyarakat khususnya di Universitas Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu
menyelenggarakan pendidikan tenaga HES tersebut di dalam negeri.
Proyek ini mulai berjalan pada tahun 1971 dengan merekrut para sarjana dari berbagai
disiplin. Selain dokter dan dokter gigi, juga sarjana pendidikan, sarjana ekonomi, sarjana hukum,
sosiologi, antropologi, dll. Angkatan I dan II dari proyek tersebut dididik di dalam dan luar
negeri (USA). Sedangkan angkatan III dan IV dididik di dalam negeri (FKM UI). Khusus
Angkatan I dan II, sebelum mereka belajar di USA terlebih dahulu mereka mengikuti Basic
Orientation Course (BOC) dan Work Experience (Pengalaman Kerja Lapangan) in Health
Education. Sedangkan angkatan III dan IV pengalaman lapangan dilakukan di belakang, setelah
pendidikan di FKM UI selesai. Cerita lebih lanjut tentang proyek dan tenaga ini dapat dibaca di
bab VII.
Sementara itu kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat di daerah tetap berjalan.
Kegiatan KMD/PKR atau community development in health di beberapa daerah berjalan
cukup baik. Hal itu memang banyak dipengaruhi oleh adanya tenaga atau tokoh yang kreatif.
Misalnya di Jawa Timur, ada Drs. Yusworo, yang pada waktu itu menjadi Kepala Unit
Pendidikan Kesehatan Masyarakat di sana. Perlu pula disampaikan bahwa ada beberapa orang
yang sebelumnya juga dikirim untuk memperoleh pendidikan atau pelatihan di luar negeri.
Mereka itu ada yang dikirim ke USA, Libanon, India, dll. Mereka bersama tenaga-tenaga lainnya
yang terus menerus menggerakkan kegiatan Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada
waktu itu.

Dari Pendidikan ke Penyuluhan

Pada tahun 1975, Struktur Bagian PKM berubah, dari eselon III menjadi eselon II, tetapi
tidak sebagai Biro, melainkan sebagai salah satu direktorat pada Direktorat Jenderal Pembinaan
Kesehatan Masyarakat (Ditjen Binkesmas). Yang berubah ternyata tidak hanya eselonnya, tetapi
juga istilah (nomenklatur).
Pada waktu itu ada kebijakan Pemerintah dalam penggunaan nomenklatur (istilah/nama
institusi), yaitu bahwa istilah Pendidikan hanya boleh dipergunakan di lingkungan Departemen
Pendidikan Nasional. Sedangkan di luar Depdiknas, nomenklatur Pendidikan Kesehatan yang
dipergunakan adalah Penyuluhan Kesehatan. Dengan demikian maka Direktorat baru yang
menangani masalah Pendidikan Kesehatan diberi nama Direktorat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat, dengan Kepala Direktoratnya adalah dr Pudjiastuti Pranjoto, MPH (alm). Dengan
dibentuknya Direktorat PKM ini, bahkan kantorpun juga mengalami perpindahan. Kalau
sebelumnya bermarkas di Hang Jebat, maka Direktorat PKM me nempati sayap kanan gedung
Departemen Kesehatan, lantai 2, di Jl Prapatan 10.
Sedangkan pengertian atau konsep Penyuluhan Kesehatan Masyarakat sebenarnya tidak
berbeda dengan Pendidikan Kesehatan. Dalam hal ini, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat diberi
pengertian sebagai suatu proses perubahan, pertumbuhan dan perkembangan diri manusia
menuju kepada keselarasan dan keseimbangan jasmani, rohani dan sosial dari manusia tersebut

22
terhadap lingkungannya, sehingga mampu dan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-
masalah kesehatannya sendiri serta masyarakat lingkungannya (Direktorat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes, 1976). Tujuan penyuluhan kesehatan
masyarakat ini adalah agar: (a) Kesehatan dianggap sebagai hal yang penting dan diberi nilai
tinggi oleh masyarakat; (b) Masyarakat melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai
kesehatan diri dan lingkungannya; (c) Masyarakat berusaha membantu dan mengembangkan
serta memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia untuk mencapai tingkat kesehatan yang
optimal.

DKI PKM

Salah satu kegiatan yang menonjol pada era penyuluhan kesehatan ini adalah adanya
Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (disingkat DKI PKM) yang mula-mula
muncul awal tahun 1970-an. Ini berawal dari pengalaman kerja lapangan (field work experience)
para Student Health Education Specialist (calon Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan
Masyarakat) di Bandung. Sebelum tugas belajar di Amerika, mereka diterjunkan di berbagai
kecamatan di daerah kabupaten dan kota Bandung. Selama di lapangan ini mereka
mengembangkan daerah kerja percontohan (demonstration area) pendidikan kesehatan
masyarakat, yaitu suatu daerah yang masyarakatnya berperan aktif dalam pembangunan
kesehatan. Mereka belajar teori dalam kelas dengan bimbingan konsultan WHO (Dr. CH
Pyaratna) dan USAID (Mr. John Nelson) yang dibantu oleh dua orang supervisor Indonesia,
yaitu Bapak Drs. Putulawa Udayana dan Bapak Dr. I.B. Mantra. Teori-teori dari dalam klas
tersebut dicoba dipraktekkan di lapangan, secara langkah demi langkah, dalam nrangka
pembinaan masyarakat, yang dilakukan bersama staf Puskesmas dan Kecamatan. Selama sekitar
setahun mereka bolak balik antara kelas dan lapangan ini.
Setelah mereka kembali belajar dari Amerika, mereka ditempatkan di pusat dan daerah.
Bertolak dari pengalaman Bandung yang dipadukan dengan pengalaman-pengalaman
sebelumnya maka dikembangkanlah Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
(DKI PKM) yang langsung dikoordinasikan oleh Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat,
d.h.i. Sub Direktorat Pengembangan Metoda dan Tehnik yang dipimpin oleh Dr. IB Mantra,
mantan supervisor program kerja lapangan (work experience) HES di Bandung. Sesuatu yang
khas dari DKI PKM ini adalah pendekatannya yang benar-benar melibatkan peranserta
masyarakat, bahkan berupaya untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini kemudian hari
disebut dengan pendekatan edukatif.
Dalam rangka penyelenggaraan DKI PKM itu diselenggarakanlah pelatihan PKM bagi
petugas daerah, yang lamanya 3 bulan. Pesertanya adalah Koordinator PKM Kabupaten. Mereka
itu pada umumnya lulusan D3 Sanitasi atau D3 Perawatan. Kurikulum dan prosesnya mirip BOC
dan Work Experience Bandung, hanya waktunya dipersingkat. Pelatihan ini diselenggarakan
beberapa angkatan, tetapi kemudian waktunya dipersingkat lagi menjadi 4 minggu.
Pada tahap awal DKI ini dikembangkan pada 4 provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Jawa
Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Ternyata keberhasilan pengembangan DKI pada 4
propinsi telah melebar ke provinsi lainnya. Tidak jarang dari kegiatan pengembangan DKI ini
muncul petugas kesehatan teladan yang pada waktu itu penyelenggaraannya dilakukan oleh
pemerintah secara berkala. DKI PKM juga banyak menghasilkan kegiatan masyarakat dalam

23
bidang kesehatan, yang pada umumnya terkait dengan masalah kebersihan lingkungan,
penyediaan air bersih, perbaikan rumah tempat tinggal, dll. DKI PKM inilah yang kemudian
berkembang menjadi kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD).
Salah satu kelemahan dari pengembangan DKI PKM ini adalah sistem pencatatan dan
pendokumentasian kegiatan yang belum dilakukan secara benar, sehingga tidak dapat
dikemukakan secara kuantitatif, baik yang berkaitan dengan jenis kegiatan masyarakat, tenaga
masyarakat yang berhasil dilatih, media yang diterbitkan, dana, dll. Tetapi kelemahan yang
utama adalah karena proses pendekatan yang bersifat sektoral. Keterlibatan lintas sektoral
bahkan lintas program sangat kurang, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian
maupun di tahap pengembangan. Hal ini menyebabkan sulitnya diperoleh dukungan dari lintas
program dan lintas sektor, dan sekaligus merupakan salah satu faktor penting tidak populernya
DKI PKM.
Pengembangan DKI PKM ini tenggelam karena program kesehatan lain juga
mengembangkan pendekatan yang serupa di lapangan, yang kemudian nanti dikenal dengan
kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat PKMD) dan Posyandu.

Pendekatan Edukatif

Pendekatan edukatif yang merupakan pendekatan yang dipergunakan dalam DKI PKM
(juga kemudian dalam PKMD), adalah serangkaian kegiatan untuk membantu masyarakat:
mengenali dan menemukan masalah mereka sendiri, dan kemudian atas dasar rumusan masalah
kesehatan yang telah mereka sepakati dikembangkanlah rencana penanggulangannya. Tujuan
utama pendekatan edukatif adalah untuk mengembangkan kemampuan masyarkat sehingga
masyarakat yang bersangkutan dapat memcahkan masalah yang dihadapi atas dasar swadaya
sebatas kemampuan mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi dasar yang ditempuh
adalah mengembangkan provider dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan provider adalah para petugas yang peduli terhadap kesehatan,
utamanya petugas kesehaan yang terlibat langsung dengan masalah kesehatan masyarakat.
Pengembangan provider ini bertujuan agar mereka mempunyai persamaan pandangan atau sikap
positif terhadap kesehatan dan pendekatan edukatif. Secara lebih rinci pengembangan provider
ini diharapkan akan menciptakan suatu kerja sama lintas sektor yang terkoordinir.
Untuk itu perlu diperhatikan, antara lain: (a) Adanya keterbukaan dan komunikasi; (b)
Adanya wadah, yaitu yang telah ada di masyarakat setempat, misalnya: PKMD, LSD (lembaga
sosial desa), atau BPGD (Badan Perbaikan Gizi Daerah, now(), now()); (c) Program yang saling
menunjang, yaitu program kesehatan dan program sektor lainnya, dengan saling menghormati
kewenangan masing-masing sektor; (d) Peran yang jelas dari masing-masing pihak; (e) Adanya
kepusan atau keberhasilan bersama dari semua pihak yang terlibat; serta (f) Adanya perencanaan
terpadu dari semua sektor.
Dalam rangka mewujudkan kerjasama antar provider, dilakukan langkah-langkah:

a. Pendekatan terhadap para penjabat penentu kebijakan:


Para penjabat lintas sektor baik tingkat pusat, daerah dan lokal, terutama pejabat pemerintahan
(gubernur, bupati, camat, dsb) adalah merupakan kunci kerja sama. Oleh sebabab itu dalam
menggalang kerjasama dalam rangka pendekatan edukatif ini, harus dilakukan pendekatan

24
terhadap mereka ini. Tujuan pendekatan kepada para penjabat ini adalah untuk memperoleh
dukungan politis. Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan semacam ini disebut
advocacy.

b. Pendekatan terhadap para pelaksana dari berbagai sektor dan tingkat:


Pendekatan ini bertujuan agar para pelaksanan dilapangan dari berbagai sektor
memperoleh pemahaman yang sama terhadap program atau pendekatan yang akan
dilakukan. Pendekatan ini dapat dilakukan baik secara horisontal (antar sektor pada
tingkat sektor yang sama), maupun secara vertikal, antara sektor yang sama di tingkat
administrasi yang berbeda (diatas atau dibawahnya).

c. Pengumpulan data oleh provider tingkat kecamatan:


Data adalah fakta empiris dari lapangan atau masyarakat, dan merupkan bukti bahwa
masalah memang ada di masyarakat secara riil (faktual). Dari data inilah masalah ada,
dan dari masalah inilah program atau kegiatan akan dimulai, karena program merupakan
upaya pemecahan masalah. Oleh sebab itu, para petugas atau provider harus
mengumpulkan sendiri data dan memahaminya sendiri. Manfaat data bagi provider
disamping untuk mengenal masalah yang ada di masyarakat, juga merupakan
pembanding (data awal) yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kegiatan. Jenis
data yang diperlukan antara lain: (i) Data umum, yakni data tentang kondisi geografi
wilayah, demografi, pemuka masyarakat, media komunikasi yang ada, sejenisnya, dan
sebagainya; (ii) Data khusus, yakni data dari masing-masing sektor, antara lain: data
pertanian, pendidikan, kesehatan (jamban keluarga, sumber air bersih, saluran air limbah,
tempat pembuangan sampah, status gizi anak balita, dan sebaginya, now(), now()); (iii)
Data perilaku, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, misalnya:
kebaiasaan buang air besar, kebiasan mandi, kebiasaan makan, perilaku pencegahan
penyakit, dan sebagainya.

Sedangkan pengembangan masyarakat pada hakekatnya adalah upaya menghidupkan atau


menggali potensi masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya upaya ini disebut pemberdayaan
masyarakat (community empowerment). Adapun langkah-langkah pengembangan masyarakat
adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan tingkat desa:


Sasaran pendekatan ini adalah adalah para tokoh-tokoh masyarakat tingkat desa, utamanya
kepala desa. Tujuan pendekatan ini adalah agar mereka memperoleh pemahaman tentang
program, dan akhirnya mendukung program tersebut. Agar memperoleh kepercayaan mereka,
maka sebaiknya pendekatan ini dilakukan oleh Kepala Puskesmas bersama-sama dengan Camat
setempat. Akan lebih baik lagi kalau dilakukan oleh tim Kecamatan yang terdiri dari penjabat
lintas sektor tingkat kecamatan yang dipimpin oleh Camat. Pelaksanaan pendekatan ini

25
dianjurkan diadakan dalam bentuk pertemuan tingkat desa (kelurahan) yang dihadiri oleh kepala
desa dan stafnya, anggota-anggota Lembaga Sosial Desa dan tokoh-tokoh masyarakat setempat
lainnya. Dalam pertemuan ini tim dari kecamatan menjelaskan tentang Pengertian pendekatan
edukatif serta langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam pengembangan
masyarakat.

b. Survai Mawas Diri (community self survey):


Survai Mawas Diri atau Community self survey (CSS) ini merupakan pengenalan
lingkungan sendiri, termasuk masalah yang ada di masyarakat, oleh mereka sendiri. CSS
tidak terlepas dari kegiatan pengumpulan data oleh mereka sendiri untuk mengenal lebih
baik tentang dirinya (masyarakat) sendiri. Meskipun petugas (tim) kecematan atau
provider telah mempunyai data tentang masyarakat tersebut, tetapi data tersebut dilihat
dari kaca mata provider, yang mungkin agak berbeda dengan yang dilihat atau gambaran
dari masyarakat sendiri.
Dengan cara ini maka program akan benar-benar dikembangkan bertolak dari kebutuhan
dan masalah yang ditemukan sendiri atau oleh masyarakat sendiri, bukan menurut
perkiraan provider. Kegiatan pokok CSS terdiri dari: Orientasi dan latihan; Pengumpulan
data; Pengolahan dan analisis data; serta Penyajian data.

c. Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)


Penyajian data (hasil CSS) diusahakan oleh atau setidaknya di hadapan para tokoh
masyarakat desa agar diperoleh kesepakatan tentang: Masalah yang dirasakan oleh
masyarakat, Prioritas masalah, yaitu masalah yang dianggap perlu dan segera dipecahkan;
serta kesediaan masyarakat untuk ikut berperan sertan secara aktif dalam usaha
pemecahan masalah tersebut. Hal itu dibicarakan dalam suatu forum yang disebut
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD).

d. Perencanaan:
Setelah kesepakatan seperti tersebut diatas tercapai, tim pembangunan desa yang
bersangkutan, dibawah bimbingan tim dari kecamatan atau Puskesmas, menyusun
rencana pemecahan masalah, yang mencakup antara lain: Program pemecahan masalah,
sesuai dengan prioritas masalah yang telah ditentukan sebelumnya, tujuan dan sasaran
program (tujuan umum dan khusus), kegiatan yang akan dilakukan, termasuk Rencana
anggaran dan biaya, serta sumber dananya.

e. Pelaksanaan:
Hal yang penting dalam tahap pelaksanaan adalah mempersiapkan tenaga-tenaga
pelaksana, termasuk penanggung jawaban pelaksana program.

26
f. Penilaian:
Pada waktu pelaksanaan program diperlukan pengawasan, monitoring sampai dengan
evaluasi terhadap program atau kegiatan-kegiatan tersebut. Monitoring dan evaluasi
program bukan sekedar apakah kegiatan-kegiatan telah berjalan sesuai dengan
perencanaannya, tetapi juga apakah program mempunyai dampak terhadap penurunan
atau hilangnya masalah. Dengan perkataan lain, apakah program tersebut mempunyai
pengaruh terhadap peningkatan kesehatan msyarakat.

Pendekatan Edukatif ini sangat membantu petugas kesehatan di Puskesmas, khususnya


dokter-dokter baru Puskesmas, yang menurut pengakuannya kurang sekali memperoleh
pengetahuan tentang itu waktu di Fakultas Kedokteran. Pendekatan edukatif itu semula
dipergunakan dalam pengembangan DKI PKM. Kemudian, pada Rapat Kerja Pelaksanaan
PKMD di Jakarta tanggal 27-30 Nopember 1978, oleh Dr. IB Mantra diusulkan untuk menjadi
pendekatan yang dipergunakan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat
PKMD).

Berbagai kegiatan penyuluhan kesehatan

Selain mengembangkan DKI PKM dengan menggunakan pendekatan edukatif, Pusat PKM
juga melakukan penyuluhan berbagai program kesehatan melalui berbagai kegiatan. Penyuluhan
langsung melalui media dilakukan melalui televisi dan radio, baik secara nasional maupun secara
lokal di Daerah. Setiap tahun PKM juga selalu memproduksi berbagai leaflet, poster, radio spot,
TV spot, kalender, dll yang berisi pesan-pesan kesehatan. Berbagai pameran kesehatan juga
digelar, khususnya dalam memperingati hari-hari tertentu, seperti: Hari Kesehatan Nasional, Hari
Kesehatan Sedunia, Hari Tanpa Rokok Sedunia, dll. Dalam rangka memperingati berbagai hari
tertentu itu, PKM lah yang paling sibuk dalam penyelenggaraannya, sekaligus memanfaatkan
momentum hari-hari itu untuk melakukan penyuluhan kesehatan.
Selanjutnya berbagai pedoman, manual, dll juga diterbitkan, sebagai panduan bagi daerah
atau program untuk melakukan penyuluhan kesehatan. Pelatihan-pelatihan bagi tenaga PKM
daerah dan organisasi kemasyarakatan juga sering diselenggarakan, baik mengenai ke-PKM-an
pada umumnya maupun mengenai metode dan tehnik tertentu, khususnya dalam pengembangan
media penyuluhan. Kerjasama dengan lintas sektor, lintas program dan organisasi
kemasyarakatan dijalin dalam rangka pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
Dalam perkembangannya nanti, PKM juga sangat berperan dalam menggerakkan PKMD
dan Posyandu, serta berbagai kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat
di bidang kesehatan. Itu semua dilakukan dalam rangka menunjang terjadinya perubahan
perilaku yang sehat di masyarakat. Perubahan perilaku itulah yang menjadi fokus kegiatan PKM,
sebagaimana salah satu jargon yang dikutip pada awal bab ini (yang berasal dari Ruskin), bahwa:
Education is not for knowing more, but for behaving differently.

27
Bab IV
ERA PKMD, POSYANDU DAN
PENYULUHAN KESEHATAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
(Kurun Waktu 1975 - 1995)

Go to the people;
Stay with them; Learn from them;
Work with them.
(Jargon Health Education)

Peran Serta Dan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

Sebelum cerita tentang Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) kiranya perlu
cerita sedikit tentang peranserta masyarakat yang merupakan komponen utama dalam PKMD.
Perlunya peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk di bidang kesehatan, didasarkan
pada kesadaran bahwa tidak mungkin pembangunan hanya dilakukan dan ditanggung oleh
pemerintah saja. Masyarakat harus diikut sertakan dan berperanserta di dalamnya. Masyarakat
bukan hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Hal ini sejak awal sudah
merupakan konsep dasar pendidikan atau penyuluhan kesehatan, yang sudah dilaksanakan sejak
sebelum dan di awal kemerdekaan.
Banyak batasan pengertian tentang peran serta masyarakat. Berdasarkan pertemuan Alma
Ata (1978), WHO memberi rumusan tentang peran serta masyarakat adalah suatu proses dimana
individu dan keluarga:

a. Bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat.

b. Berkembang kemampuannya untuk berkontribusi dalam pembangunan.

c. Mengetahui keadaannya dengan lebih baik dan termotivasi untuk memecahkan


masalahnya.

d. Memungkinkan menjadi penggerak pembangunan (agent of develepment).

28
Bank Dunia (World Bank, 1978) merumuskan partisipasi masyarakat dari dimensi
cakupannya, yakni:

a. Keterlibatan dari semua unsur yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan
terhadap apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara pelaksanaannya.

b. Kontribusi massa dalam upaya pembangunan, misalnya dalam pelaksanaan dari


keputusan yang telah diambil.

c. Menikmati bersama hasil program pembangunan

Selanjutnya dalam World Health Assembly 1979 dirumuskan: Peran serta masyarakat
adalah suatu proses untuk mewujudkan kerja sama kemitraan (partnership) antara pemerintah
dan masyarakat setempat dalam merencanakan, melaksanakan dan memanfaatkan kegiatan
kesehatan, sehingga diperoleh manfaat berupa peningkatan kemampuan swadaya masyarakat dan
masyarakat ikut berperan dalam penentuan prasarana dan pemeliharaan teknologi tepat guna
dalam pelayanan kesehatan.
Sedangkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 1982 menyebutkan bahwa cara
masyarakat berperan serta dapat dalam bentuk: ikut dalam penelahaan masalah, ikut dalam
perencanaan dan pelaksanaan pemecahahan masalah-masalah kesehatan. Lebih jauh SKN, dalam
Dasar-dasar Pembangunan Kesehatan Nasional menyebutkan, bahwa:

a. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan mempertinggi


derjat kesehatan masyarakat.

b. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukan secara


seimbang oleh pemerintah dan masyarakat serta dilaksanakan terutama melalui upaya
pencegahan (preventif) dan peningkatan (promotif) secara terpadu dengan upaya
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

c. Sikap, suasana kekeluargaan, kegotong royongan serta semua potensi yang ada
diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan kesehatan.

29
d. Pelayanan kesehatan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri, berisendikan kepribadian bangsa.

Dari berbagai pengertian dan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Peran Serta
Msayarakat adalah proses dimana individu dan keluarga serta lembaga swadaya masyarakat
termasuk swasta:

a. Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga
serta masyarakat.

b. Mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam peningkatan kesehatan


mereka sendiri dan masyarkat sehingga termotivasi untuk memecahkan berbagai masalah
kesehatan yang dihadapi.

c. Menjadi agen, perintis atau penggerak pembangunan kesehatan dan pemimpin


gerakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang dilandasi semangat gotong
royong.

Dalam perkembangannya nanti, istilah peran serta masyarakat dipandang kurang dinamis.
Istilah tersebut dipandang kurang sesuai dengan isi pengertian yang dicakupnya. Di dunia
internasional, selanjutnya juga digunakan istilah lain yang lebih menunjukkan tanggungjawab
masyarakat yang lebih besar, yaitu: empowerment, atau community empowerment. Di Indonesia
istilah itu menjadi pemberdayaan masyarakat. Dalam berbagai pertemuan dunia/internasional
tentang promosi kesehatan, istilah pemberdayaan masyarakat ini yang kemudian lebih
ditonjolkan.

Munculnya PKMD

PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) mulai muncul di permukaan pada


sekitar tahun 1975. Pada waktu itu oleh Depkes dibentuk Panitya Kerja untuk menyiapkan
konsep program Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Ketuanya adalah Dr. R.
Soebekti, Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Landasan dasar dikembangkannya PKMD
ini adalah sejarah budaya bangsa Indonesia yang telah turun temurun, yakni gotong royong dan
musyawarah. Mengacu pada dua prinsip ini maka konsep PKMD dikembangkan dengan
semangat kekeluargaan dan saling membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya
membantu yang miskin, dan yang sehat membantu yang sakit.
Disamping landasan sosio budaya, PKMD juga mengacu pada Pancasila sebagai dasar dan
tujuan pembangunan masyarakat Indonesia, yakni Berketuhanan yang Maha Esa,

30
berperikemanusian dan berkebangsaan Indonesia, serta berkeadilan social yang merata bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
Pada waktu itu semua program pembangunan harus didasarkan pada Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Demikian pula PKMD, yang di dalam GBHN dengan jelas disebutkan
bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk mencacapai kesempatan yang luas bagi setiap
warga Negara untuk meningkatkan derajat kesehatannya sebagai bagian dari pencapaian
kesejahteraan sosial. Hal itu juga sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan No. 9/1960 yang
menyebutkan bahwa kesehatan bukan hanya sekedar bebas penyakit dan cacat, tetapi merupakan
keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial. Kesehatan adalah hak setiap warga Negara
untuk mecapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan derajat kesehatan
seperti ini, maka perlu dilaksanakan pembangunan kesehatan masyarakat desa, sebagi bagian
dari pembanguan nasional.
Sementara itu PKMD juga dikaitkan dengan kebijakan Departemen Dalam Negeri untuk
melaksanakan program pembangunan desa jangka panjang, yaitu untuk menuju desa
swasembada dengan pendekatan UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan). Tiga tipe daerah
pembangunan desa pada waktu dikelompokkan berdasarkan perkembangannya, yakni : Desa
Swadaya (desa tradisional), Desa Swkarya (desa transsisi), dan Desa Swasembada (modern).
Kemudian pada tahun 1976 (Januari) di dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional ditetapkan
bahwa PKMD merupakan pendekatan yang strategis untuk meningkatkan cakupan pelayanan
kesehatan dengan target meningkatnya kesehatan masyarakt. Ditetapkan pula bahwa PKMD
adalah program nasional. Untuk mengoperasikan PKMD pada bulan Maret tahun 1976 diadakan
Lokakarya, yang diahadiri oleh para penjabat Departemen Kesehatan dan Depertemen Dalam
Negeri. Hasil Lokakarya tersebut menetapkan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah uji coba
PKMD. Disamping itu Loakakrya juga menetapkan Prokesa (promoter kesehatan desa)
merupakan tenaga lapangan PKMD, dan Dana Sehat merupakan salah satu elemen pokok
PKMD.
Selanjutnya pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 1977, hasil uji coba PKMD di
kabupaten Karanganyar dibahas, dan dari hasil pembahasan tersebut disimpulkan bahwa PKMD
dimantapakan sebagai startegi nasional untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat
Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Oleh sebab itu implemetasi PKMD diperluas secara
nasional, bukan saja di pedesaan tetapi juga di perkotaan, sehingga muncul istilah PKMD
perkotan.
Dalam pertumbuhannya, PKMD mememperoleh komitmen dari lembaga-lembaga baik
pemerintah maupun swasta. Departemen-Departemen dan lembaga-lembaga non departemen
yang telah meberikan komitmen terhadap PKMD adalah: Departemen Kesehatan, Departemen
Dalam Negeri, Depertemen Pertanian, Departemen Sosial, Depertemen Pekerjaan Umum,
Departemen Agama , Departemen Perdagangan dan Industri dan Departemen Keuangan.
Sedangkan lembaga pemerintahan non Departemen, dan lemabga swadaya masyarakat lainnya
yang terlibat adalah: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Bank Rakyat
Indonesia , Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Pramuka, Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI), Perkumpulan Kelauraga Berenecana Indonsia (PKBI), Organisasi Wanita dan
Palang Merah Indonsia.

PKMD dan Deklarasi Alma Ata

31
PKMD adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan dengan berazaskan gotong
royong dan swadaya. PKMD dilaksanakan dalam rangka menolong diri (masyarakat) sendiri
untuk mengenal dan memecahkan masalah/kebutuhan yang dirasakan mayarakat. Kegiatan
PKMD ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuaan masyarakat dalam bidang
kesehatan maupun dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh sebab itu sasaran utama
PKMD adalah: masyarakat mampu memelihara dan meningkatkan kehidupannya yang sehat dan
sejehtera. Dengan demikian sebenarnya PKMD sama dan sebangun dengan upaya Pendidikan
Kesehatan Masyarakat, khususnya yang dilakukan melalui pengembangan masyarakat
(community development).
PKMD juga merupakan bagian integral dari pembangunan nasional pada umumnya, dan
pembangunan desa pada khususnya. Kegiatan PKMD diharapkan muncul dari masyarakat
sendiri dengan bimbingan dan pembinaan oleh pemerintah setempat secara lintas program dan
lntas sektor. Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan tingkat kecamatan atau kelurahan
mengambil parakarsa dalam pemabangunan kesehatan masyarakat. Tujuan umum PKMD adalah
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menolong diri mereka sendiri dibidang kesehatan
dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan
khusus PKMD adalah:

a. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan potensi yang dimiliki untuk menolong diri
sendiri dalam meningkatkan mutu hidup mereka.

b. Mengembangkan kemampuan dan prakarsa masyarakat untuk berperan serta aktif


dan berswadaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.

c. Menghasilkan tenaga-tenaga masyarakat setempat yang mampu, trampil serta


mau berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.

d. Meningkatnya kesehatan masyarakat.

Dengan demikian sebenarnya PKMD adalah identik dengan pengembangan DKI PKM,
sebagaimana yang diceritakan pada bab III. Kedua kegiatan ini sama-sama meningkatkan
peranserta dan memberdayakan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Namun karena
PKMD melibatkan lintas program dan lintas sektoral, dan di Depkes sendiri dimotori oleh
pejabat eselon I, maka PKMD lebih berkembang. Apalagi, PKMD kemudian memperoleh
dukungan dunia internasional yang menggalakkan Primary Health Care, yang dicetuskan dalam
Deklarasi Alma Ata.
Deklarasi itu dicetuskan pada tahun 1978 dalam suatu konferensi kesehatan yang dihadiri
oleh 140 negara di dunia, termasuk Indonesia, di Alma Ata. Salah satu keputusan penting
konfrensi tersebut adalah dideklarasikan Sehat Untuk Semua Pada Tahun 2000 atau yang lebih

32
dikenal dengan Health For All By The Year 2000. Semua negara yang menanda tangani
deklarasi Alma Ata tersebut, termasuk Indonesia sepakat ingin mencapai kesehatan untuk semua
tahun 2000 dan Primary Health Care sebagai bentuk operasionalnya.
Sementara itu Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) yang telah
dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996, sebenarnya sudah merupakan perwujudan
primary helath care. Maka kemudian dalam kebijakan nasional PKMD dikatakan bahwa
Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) merupakan bentuk kegiatan Primary
Health Care di Indonesia. Dengan adanya deklarasi Alma Ata yang intinya adalah pelaksanaan
primary health care, maka memberikan dorongan pada pelaksanaan PKMD di Indonesia.

PKMD Dan SKN

Pada sekitar tahun 1982 ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional oleh Menteri Kesehatan RI
(waktu itu Dr. Suwardjono Suryaningrat) yang menetapkan pembangunan kesehatan sebagai
suatu sistem dari supra sistem pembangunan nasional. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR
No. II/1983 tentang GBHN, disebutkan bahwa Dalam rangka mempertinggi taraf kesehatan dan
kecerdasan rakyat, pembangunan kesehatan termasuk perbaikan gizi perlu makin ditingkatkan
dengan mengembangkan Sistem Kesehatan nasional (SKN).
Peningkatan kesehatan dilakukan dengan melibatkan peran serta (partisipasi) masyarakat
berpengahasilan rendah baik di desa maupun di kota. Panca Karsa Husada sebagai tujuan
pembangunan panjang bidang kesehatan mencakup: (1) Peningkatan kemampuan masyarakat
untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan; (2) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang
dapat menjamin kesehatan; (3) Peningkatan status gizi masyarakat; (4) Pengurangan kesakitan
dan kematian; dan (5) Pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan makin diterimanya norma
keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan dikaitkan dengan komitmen Indonesia untuk
mengimplementasikan primary health care, ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Hirarkhi tingkat pelayanan kesehatan sehubungan dengan komponen atau unsur-unsur


pelayanan kesehatan menurut SKN, mulai dari tingkat Rumah tangga, selanjutnya ke
tingkat masyarakat, terus sampai ke tingkat yang lebih tinggi, adalah sebagai berikut:

Bagan Tingkat Pelayanan Kesehatan

33
Hirarkhi Komponen atau unsur pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan oleh individu atau
Tingkat Rumah Tangga
keluarga sendiri
Kegiatan swadaya masyarakat dalam
Tingkat Masyarakat menolong mereka sendiri, atau oleh kader
kesehatan.
Tingkat Pertama Fasilitas Puskesmas, Puskesmas Pembantu,
Pelayanan Kesehatan Puskesmas Keliling
Tingkat Rujukan Pertama Rumah Sakit Tingkat Kabupaten
Tingkat Rujukan Yang
Rumah Sakit Kelas B atau A
Lebih Tinggi

2. Pelaksanaan kegiatan pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) yang dilakukan


masyarakat minimal mencakup salah satu dari 8 unsur Primary Haelath Care sebagai
berikut:

a. Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan penyakit serta


perlindungannya.

b. Peningkatan persediaan makanan dan peningkatan gizi.

c. Pengadaan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai.

34
d. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk keluarga berencana

e. Imunisasi untuk penyakit yang utama

f. Pencegahan dan pengendalian penyakit endemi setempat

g. Pengobatan penyakit umum dan luka-luka

h. Penyediaan obat esensial.

3. Pengembangan dan Pembinaan PKMD dilakukan sebagai berikut:

. Berpedoman pada GBHN.

a. Dilakukan dengan kerja sama lintas program dan lintas sektor melalui
pendekatan edukatif.

b. Koordinasi pembinaan melalui jalur fungsional pada Gubernur, Bupati,


atau Camat.

c. Merupakan bagian integral dari pembangunan desa secara keseluruhan.

d. Kegiatan dilaksanakan dengan membentuk mekanisme kerja yang efektif


antara instansi yang berkepentingan dalam pembinaan masyarakat desa.

35
e. Puskesmas sebagai pusat pembangunan dan pengembangan kesehatan
berfungsi sebagai dinamisator.

Penyebarluasan PKMD

Begitu PKMD memperoleh komitmen nasional bahkan dunia internasional (melalui


Primary Health Care), maka dipersiapkan perangkat keras dan perangkat lunaknya. Direktorat
Jenderal Binkesmas Depkes merupakan unit utama yang menggerakkan kegiatan ini dengan
dukungan semua unit di Depkes dan unit-unit lain di luar Depkes. Direktorat Puskesmas yang
berada di bawah Ditjen Binkesmas merupakan motor atau sekretariat kegiatan ini, yang
menyiapkan tenaga, dana, sarana, dll yang diperlukan.
Direktorat tersebut bekerjasama dengan Pusdiklat Depkes dan unit-unit lain yang
berkaitan, mula-mula menyelenggarakan pelatihan pelatih untuk beberapa provinsi dan
kabupaten. Angkatan pertama pelatihan pelatih ini diselenggarakan di Bandung pada tahun 1978,
dengan peserta antara lain dari Jawa Barat (kab. Indramayu), Sumatera Barat (kab. Solok), Jawa
Timur (kab. Bangkalan) dan Sulawesi Utara (kab. Tondano). Pelatihan pelatih ini ditindak lanjuti
dengan kegiatan pelatihan di masing-masing kabupaten, dan demikian seterusnya sampai
pelaksanaan di lapangan. Sementara itu disiapkan pula bahan-bahan berupa pedoman-pedoman,
peralatan, dana penunjang, dll. Pelatihan untuk angkatan-angkatan selanjutnya bagi kabupaten-
kabupaten lain di Indonesia diselenggarakan di Balai Latihan Kesehatan Masyarakat (BLKM
kemudian menjadi Bapelkes) Salaman, Magelang. BLKM Salaman ini kemudian juga berperan
sebagai laboratorium lapangan PKMD.
Demikianlah PKMD berkembang di seleuruh penjuru tanah air. Gemanya juga cukup
keras terdengar dan di beberapa daerah juga melakukan berbagai inovasi kegiatan. Di antara
daerah tersebut adalah Jawa Timur yang pada waktu itu Kepala Kanwilnya adalah Dr. Suyono
Yahya. PKMD yang semula lebih terbuka (unstructured) berkembang menjadi lebih fokus (semi
structured). Kegiatan yang lebih fokus dan semi structured ini kemudian mengarah pada
perkembangan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Apalagi Dr. Suyono Yahya kemudian
menjadi Dirjen Binkesmas, menggantikan Dr. Subekti yang memasuki pensiun.

Tidak kenal Dirjen WHO Di Pertemuan WHO

Waktu itu ada konferensi internasional yang diselenggarakan oleh


Badan Organisasi Dunia, WHO. Nama konferensi itu: International
Conference On Community Health Worker: Pillars for Health For
All. Waktunya pada bulan Desember tahun 1986. Tempatnya di kota
Yaounde, ibu kota negara Cameroon, di Afrika. Wakil dari
Indonesia sebenarnya ada dua orang, tetapi wakil dari program,
pejabat yang cukup senior, berhalangan hadir. Terpaksalah saya sendiri,
yang waktu itu bertugas di Pusdiklat Depkes dan masih muda,
datang ke pertemuan itu. Bahkan saya juga harus menyajikan
pengalaman Indonesia dalam salah satu sidang pleno pertemuan itu.
Sebelum sidang-sidang resmi dimulai, seperti biasa ada acara informal:

36
Acara santai yang diisi dengan minuman ringan dan makanan kecil
serta bincang-bincang antar peserta, atau untuk saling mengenalkan diri
dengan peserta lain yang belum kenal. Itulah yang saya lakukan pada
waktu itu. Saya cukup aktif untuk mengenalkan diri dan berkenalan
dengan peserta lain dalam konferensi itu.
Di antara kelompok-kelompok peserta ada satu kelompok yang
nampaknya bicaranya lebih ramai. Saya dekati kelompok tersebut dan
bergabung dengan mereka. Saya memperkenalkan diri dan menanya
siapa mereka itu, karena memang belum kenal semuanya. Orang yang
pertama saya jabat tangannya dan menanya siapa dia ternyata
alah Dr. Mahler, Dirjen WHO waktu itu. Dengan sopan beliau
memperkenalkan dirinya, dan menyatakan kegembiraannya bahwa
saya dapat ikut pertemuan itu. Beliau juga menanyakan pejabat
senior dari Indonesia yang tidak dapat hadir dalam pertemuan itu,
serta pejabat-pejabat penting Depkes lainnya, yang beliau sebut
sebagai teman-teman beliau.
Aduh, selain bersyukur dapat bertatap muka dan berbincang langsung
dengan beliau, pada waktu itu saya maluuu banget. Dengan orang setenar
beliau saya kok belum kenal. Seperti diketahui, rasanya beliaulah orang
yang pertama kali mengemukakan kata-kata yang sangat terkenal itu
sampai sekarang. Kata-kata itu adalah : Health is not everything,
but without health everything else is nothing.
(Diceritakan oleh Dachroni)

Munculnya Posyandu

Dengan berkembangnya PKMD dan dalam implementasinya menggunakan pendekatan


edukatif, muncullah berbagai kegiatan sawadaya masyarakat untuk pelayanan kesehatan antara
lain: Pos Penimbangan Balita, Pos Imunisasi, Pos KB Desa, Pos Kesehatan, Dana Sehat. Selain
itu juga muncul berbagai kegiatan lain, yang berada di luar kesehatan, meskipun tetap ada
kaitannya dengan bidang kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut murni muncul dari masyarakat
sendiri, dan untuk pelayanan mereka sendiri, dibidang kesehatan.
Secara teori, pada periode ini telah muncul perbedaan sudut pandang. Mulai terlihat bahwa
salah satu kelemahan dari pendekatan edukatif adalah belum berhasil memunculkan community
real need. Yang terjadi adalah bahwa melalui pendekatan edukatif ini telah muncul berbagai
community felt need. Akibatnya muncul berbagai kegiatan masyarakat sesuai kebutuhan
masyarakat tersebut. Dengan munculnya aneka ragam kegiatan masyarakat tersebut, sulit untuk
memperhitungkan kontribusi kegiatan masyarakat tersebut terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Hal ini mendorong para pengambil keputusan di lingkungan Departemen
Kesehatan untuk melakukan perubahyan pada pendekatan edukatif sebagai strategi
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1984, berbagai kelompok kegiatan yang
berkaitan dengan pelayanan kesehatan (Pos Penimbangan Balita, Pos Imunisasi, Pos KB Desa,
Pos Kesehatan), dilebur menjadi satu bentuk pelayanan kesehatan terpadu yang disebut
Posyandu (pos pelayanan terpadu). Atau lengkapnya Pos Pelayanan Terpadu KB-Kesehatan.
Peleburan menjadi Posyandu tersebut, selain setelah dicoba dikembangkan di Jawa Timur, juga

37
setelah melalui tahap kegiatan uji coba di tiga provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Dipadukannya pelayanan KB dan kesehatan ini dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan dan keuntungan bagi masyarakat. Karena dengan keterpaduan
pelayanan ini masyarakat dapat memperoleh pelayanan lengkap pada waktu dan tempat yang
sama.
Secara konsepsual, Posyandu merupakan bentuk modifikasi yang lebih maju dalam upaya
pemberdayaan masyarakat untuk menunjang pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penurunan angka kematian bayi. Modifikasi
tersebut adalah dengan tetap mempertahankan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat, gotong
royong dan sukarela, namun bentuk kegiatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan tidak
lagi beragam, karena sudah diarahkan dan diseragamkan yaitu Posyandu. Melalui keseragaman
kegiatan masyarakat dalam bentuk Posyandu, diharapkan dapat berdampak pada peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, khususnya penurunan angka kematian bayi dan balita.
Posyandu merupakan unit pelayanan kesehatan di lapangan yang diselenggarakan oleh
masyarakat untuk masyarakat dengan dukungan teknis Puskesmas, Departemen Agama,
Departemen Pertanian, dan BKKBN. Posyandu melaksankan 5 program kesehatan dasar yakni:
KB, kesehatan ibu dan anak, gizi, imunisasi, dan penaggulangan diare. Adapun sasaran utama
adalah menurunkan angka kematian bayi dan memperbaiki status kesehatan dan gizi balita,
maupun ibu hamil dan menyusui.
Posyandu merupakan wadah partsipasi masyarakat, karena Posyandu paling banyak
menggunakan tenaga kader. Kader ini merupakan tenaga relawan murni, tanpa dibayar, namun
merupakan tenaga inti di Posyandu. Sebagian besar kader adalah wanita, anggota PKK
(Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Maka dapat dikatakan bahwa PKK merupakan sumber
penggerak Posyandu. Tokoh-tokoh di awal terbentuknya Posyandu ini adalah: Dr. M. Adhyatma,
Dr. Suyono Yahya, Ibu Soeparjo Rustam, dll.

Stand Pameran yang paling lama dikunjungi Presiden RI

Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.


Pada waktu itu diadakan peringatan ulang tahun BKKBN, Dep.
Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Dep. Pertanian. Dengan
pertimbangan efisiensi, upacara peringatan tersebut digabungkan
menjadi satu peristiwa dan dilangsungkan di daerah transmigrasi
di provinsi Jambi.
Karena Presiden Soeharto dan ibu Tien berkenan akan hadir ke
acara tersebut, maka di lokasi tersebut akan diadakan pameran
yang menggambarkan kemajuan yang telah dicapai oleh ketiga
departemen/lembaga tersebut. Tentu saja mereka mengerahkan
segala daya termasuk dana untuk menyiapkan pameran untuk
memberikan kesan hebat kepada Kepala Negara.
Setelah persiapan selesai, tiba-tiba saja Dep. Kesehatan juga diberi
kesempatan untuk turut serta dalam pameran tersebut. Maka dikirim
rombongan dengan misi khusus yang terdiri dari: Bapak Ign Tarwotjo
MSc, Dr. Widyastuti MScPH, Drs. Sri Widodo, MPH dan Drs. Muchsin
Alwi, MPH. Tim ini dibantu oleh Dr. Fadlun dari Dinkes Jambi dengan
tugas menyiapkan pameran di lokasi transmigrasi.

38
Karena merupakan peserta terakhir, Depkes tidak memperoleh tempat
di dalam gedung pameran, karena semua tempat telah penuh terisi. Oleh
panitia disediakan tempat di luar gedung, bersebelahan dengan tempat
pameran sapi Banpres. Hanya dalam tempo semalam disiapkanlah rencana
pameran tersebut, dan tema yang dipilih adalah Posyandu. Dalam stand
pameran itu ditampilkan kegiatan kader Posyandu lengkap dengan peralatan
dan bayi.
Alhamdulillah, ternyata stand dadakan ini merupakan stand yang paling
lama dikunjungi oleh Bapak Presiden dan Ibu Tien Soeharto. Sedangkan
stand lain di dalam gedung hanya dilewati saja oleh kedua beliau. Rupanya
beliau menikmati sekali sajian lagu Aku Anak Sehat yang dibawakan oleh
para kader Posyandu.

Tujuan Posyandu dan Sistem Pelayanan 5 Meja

Sasaran utama pelayanan Posyandu adalah kelompok-kelompok rentan, yakni ibu hamil,
ibu menyusui, bayi dan anak balita. Oleh sebab itu pelayanan Posyandu mencakup pelayanan-
pelayanan: kesehatanan ibu dan anak, imunisasi, gizi, penanggulangan diere, dan keluarga
berencana.
Tujuan dikembangkannya Posyandu sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan,
yakni:

a. Untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan angka
kelahiran.

b. Untuk mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera


(NKKBS).

c. Berkembangnya kegiatan-kegiatan masyarakat dalam rangka menunjang


meningkatnya kesehatan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Pelayanan Posyandu menganut sistem 5 meja, dengan urutan sebagai berikut:

1. Meja 1:Melayani pendaftaran bagi para pengunjung Posyandu, yang dikelompokkan


menjadi 3 yakni: bayi dan anak balita, Ibu hamil dan menyusui, dan PUS (pasangan usia
subur). Pelayanan meja 1 dilakukan oleh kader kesehatan.

39
2. Meja 2: Melayani penimbangan bayi, balita, dan ibu hamil, dalam rangka memantau
perkembangan bayi, balita, dan janin dari ibu yang sedang hamil, yang dilayani oleh
kader kesehatan.

3. Meja 3: Melayani pencatatan hasil dari penimbangan dari Meja 2 didalam KMS (kartu
menuju sehat), baik KMS bayi/balita maupun KMS ibu hamil, juga dilayanani oleh
kader.

4. Meja 4: Melakukan penyuluhan kepada ibu bayi/balita dan ib hamil, sebagai tindak
lanjut dari hasil pemantauan status gizi, balita dan ibu hamil, dan KB. Meja ini dilayani
oleh petugas atau kader.

5. Meja 5: Dilakukan pelayanan oleh petugas medis/para medis dari Puskesmas untuk
imunisasi, pemasangan alat kontrasepsi, atau pengobatan bagi yang memerlukan, dan
periksa hamil. Bila terdapat kasus yang tidak dapat ditangani oleh Posyandu, mereka
akan dirujuk ke Puskesmas.

Perkembangan pesat Posyandu

Penyelenggaraan Posyandu pada berbagai tatanan administrasi, merupakan satu bentuk


demonstrasi tentang betapa efektifnya jejaring kemitraan yang dikembangkan oleh Departemen
Kesehatan. Di Depkes, unit yang merupakan penggerak kegiatan Posyandu ini adalah Direktorat
Bina Peran Serta Masyarakat (BPSM) yang berada di bawah Direntorat Jenderal Binkesmas,
yang merupakan saudara kembar dari unit Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, yang
berada dibawah Sekretariat Jendral.
Dalam rangka pengembangan jejaring kemitraan untuk mennunjang penyelenggaraan
Posyandu, Departemen Dalam Negeri mengambil prakarsa untuk mewujudkan Kelompok Kerja
nasional Posyandu (Pokjananl Posyandu), sebagai bagian dari institusi LKMD yang ada pada
setiap jenjang administrasi pemerintahan. LKMD ini merupakan wadah koordinasi berbagai
kegiatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Inilah yang merupakan salah satu kunci
suksesnya pengembangan Posyandu, yaitu karena terjalinnya kemitraan yang kuat dan luas di
kalangan penyelenggara pemerintahan melalui Pokjanal Posyandu tersebut
Demikianlah kemudian Posyandu berkembang sangat pesat. Terakhir tercatat tidak kurang
dari 240.000 buah Posyandu yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Banyak pejabat
kesehatan dunia dan dari negara sahabat datang berkunjung, serta berdecak kagum melihatnya
dari dekat. Ini juga tidak lepas dari para kader PKK (penggerak kesejahteraan keluarga) yang
menjadi penggerak Posyandu mulai dari Pusat sampai ke lini paling depan. Atas perannya ini,
wajarlah apabila Ibu Suparjo Rustam memperoleh penghargaan deari WHO (berupa Sasakawa
award).

40
Memang belum dapat diketahui secara pasti berapa besar kontribusi keberadaan dan
kegiatan Posyandu ini terhadap penurunan angka kematian bayi. Tetapi yang pasti memang
terjadi penurunan angka kematian bayi berbarengan dengan melesatnya perkembangan Posyandu
di Indonesia. Namun Posyandu belum berdampak positif pada penurunan angka kematian ibu.
Dan dengan terjadinya krisis ekonomi dan sosial di sekitar tahun 2000, banyak Posyandu yang
terpuruk. Pada saat ini sedang dilakukan kegiatan revitalisasi Posyandu.

Peran PKM Dalam Pengembangan Posyandu

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat menempati peran sentral dalam pengembangan


Posyandu. Itu dilakukan selain masukan berupa gagasan, terutama berupa upaya untuk
mempromosikannya. Dalam kaitan ini banyak sekali media penyuluhan dikembangkan untuk
menunjang kegiatan Posyandu. Poster, leaflet, dan berbagai buku pedoman banyak dicetak dan
disebar luaskan. Baligo: Ayo ke Posyandu banyak dipasang di mana-mana. Logo dan slogan
Posyandu dikenal sampai sekarang, yaitu: Menjaga anak sehat tetap sehat. Sinetron Dr. Sartika
dibuat a.l. juga untuk menyebar luaskan pentingnya Posyandu.
Selain itu disebar luaskan pula lagu Aku Anak Sehat yang syairnya ditulis oleh Drs.
Oendang Badruzzaman (staf PKM, angkatan ke 4 Proyek Pengembangan Tenaga HES), dan
lagunya diciptakan oleh A Riyanto (almarhum). Lagu itu dikenal dan dinyanyikan secara luas
sampai sekarang. Di bawah ini adalah syair lagu Aku Anak Sehat tersebut:

Aku Anak Sehat

Aku anak sehat, tubuhku kuat


Karena ibuku rajin dan cermat
Semasa aku bayi selalu diberi ASI
Makanan bergizi dan imunisasi

Berat badanku ditimbang selalu


Posyandu selalu menunggu setiap waktu
Bila aku diare ibu telah waspada
Pertolongan oralit telah siap sedia

Demikianlah, dalam PKMD dan Posyandu ini mengingatkan kita pada jargon yang
mengajak kita untuk lebih mengenali masyarakat, melarang kita untuk menggurui masyarakat
bahkan kita harus lebih banyak belajar kepada masyarakat. Paling tidak kita harus dapat
menangkap aspirasi masyarakat, sebagaimana diungkapkan di awal tulisan bab ini: Go to the
people, stay with them, learn from them and work with them.

Penyuluhan Kesehatan Melalui Media Elektronik

Selain penggerakan dan pemberdayaan masyarakat melalui PKMD dan Posyandu,


penyuluhan kesehatan pada waktu itu juga dilakukan melalui berbagai media, baik media cetak,

41
media luar ruang, maupun khususnya media elektronik. Media elektronik itu terutama melalui
radio dan televisi, selain juga dilakukan melalui kaset atau VCD, berupa lagu-lagu atau film
lepas, dan belakangan juga melalui internet. Khususnya penyuluhan melalui radio sudah
dilakukan sejak awal kemerdekaan melalui RRI, meskipun belum terprogram secara tetap. Selain
acara yang berskala nasional juga berlangsung siaran yang bersifat lokal.
Kemudian pada sekitar tahun 1980-an, Direktorat PKM mempunyai program tetap
penyuluhan kesehatan melalui RRI Program Nasional. Programnya berupa acara langsung dalam
bentuk dialog tentang penyakit-penyakit yang ada di masyarakat. Tanggapan masyarakat berupa
pertanyaan tertulis diajukan ke Direktorat PKM, yang dijawab oleh pengasuh pada acara dialog
selanjutnya, atau melalui surat. Selanjutnya juga dikembangkan pesan-pesan kesehatan melalui
sandiwara radio (judul: Butir-butir Pasir Putih), yang siarannya dibawakan oleh para
aktor/aktris RRI, dan PKM megirim bahan sampai ratusan naskah.
Pada sekitar tahun 1995-2000 karena maraknya masalah HIV/AIDS, dikembangkan
sandiwara radio dengan topik HIV/AIDS. Sandiwara yang dilsiarkan setiap hari itu dilakukan
oleh RRI dan terdengar sampai ke Papua. Khusus untuk sandiwara radio ini juga ada ratusan
naskah, dan acaranya disertai lomba berupa kwis untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan
dengan materi sandiwara. Para pemenang lomba diundang dalam acara konperensi pers. Ada
yang sangat mengharukan: Salah satu pemenangnya adalah mahasiswa ITB yang menyatakan
bahwa hadiahnya akan dipergunakan untuk membayar uang kuliah. Padahal waktu itu hadiahnya
hanya beberapa ratus rupiah saja. Selain itu juga ada radio spot juga mengenai HIV/AIDS yang
sehari diulang sampai lima kali. Acara-acara itu disponsori oleh Ford Foundation, yang juga
mensponsori acara di televisi. Penyuluhan kesehatan melalui radio ini terus berlangsung sampai
sekarang, bahkan meliputi radio swasta nasional dan lokal, dengan berbagai program dan topik
pesan.
Sedangkan acara penyuluhan kesehatan melalui televisi, mulai berlangsung sejak tahun
1960-an akhir atau 1970-an awal. Pada waktu itu televisi pada umumnya masih hitam putih, dan
bintangnya adalah dr. Herman Susilo, MPH, kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta waktu itu,
dibantu oleh Drs. Tarzan Panggabean, dari unit PKM DKI Jakarta. Penyuluhan kesehatan berupa
nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter kepada pasiennya yang datang berobat dengan
berbagai penyakit yang dideritanya. Acara itu cukup berkesan di masyarakat, dan banyak anak
yang mengidolakan profil dr. Herman Susilo. Acara ini tetap berlangsung meskipun dr. Herman
Susilo sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan DKI. Kemudian juga ada
penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh dr. Sumaryati Aryoso, SKM, yang waktu itu menjabat
sebagai kepala Unit PKM DKI Jakarta. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk dialog dengan
beberapa orang penanya yang hadir di studio tentang berbagai penyakit atau masalah kesehatan
yang ada di masyarakat.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1980-1995 itu, penyuluhan kesehatan melalui TVRI
diorganisir oleh Direktorat PKM melalui beberapa acara, antara lain:

1. Sebaiknya Anda Tahu, yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan


kesehatan/penyakit yang perlu diketahui oleh masyarakat luas.

42
2. Dari Desa Ke Desa, mengekspose kegiatan masyarakat desa dalam melakukan upaya-
upaya yang dilakukan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesehatan
masyarakatnya.
3. Dewasa Kita, mengekspose satu desa yang masyarakatnya giat melakukan upaya
kesehatan di desanya.

4. Bentuk acara lain, misalnya tentang mereka (petugas kesehatan atau kader kesehatan)
yang berhasil membangun kesehatan masyarakat di wilayahnya. Selain itu juga pesan-
pesan kesehatan melalui sandiwara boneka Si Unyil, Ria Jenaka, dll. Sementara itu
lagu Aku Anak Sehat juga sering berkumandang melalui TVRI.

Acara-acara tersebut cukup berjalan dengan baik. Khusus acara nomor 2 dan 3 sangat
merangsang desa-desa lain, dan sering sekali mendapat dukungan kuat dari Pemerintah Daerah
setempat.

Sinetron Dr. Sartika dan Bidan Minati

Pada sekitar tahun 1980-an itu ada drama TV Losmen yang sangat digemari masyarakat.
Kemudian Menkes pada waktu itu, Dr. Soewardjono Soerjaningrat memanggil Dr. IB Mantra,
Kapus PKM waktu itu untuk menjajagi adanya sinetron seperti Losmen. Diadakanlah
pendekatan kepada Ami Priyono dan Wahyu Sihombing. Disepakatilah harga per episode waktu
itu Rp. 25 juta bersih. Padahal drama Losmen hanya Rp. 14 juta. Setelah dibuat proposal,
Bappenas memberikan persetujuan, bahkan harganya menjadi Rp. 30 juta karena harus dilakukan
melalui tender.
Maka dirancanglah sinetron khusus untuk menyebar luaskan pesan-pesan kesehatan ini,
yang diberi nama: Dr. Sartika. Skenario naskah disusun oleh Ibu Maryati Sihombing. Sedangkan
konsultan materi adalah program-program di lingkungan Depkes. Pengatur pesan-pesan
kesehatan menjadi tanggungjawab Pusat PKM dengan contact person : Drs. Oendang
Badruzzaman, staf Pusat PKM. Para bintangnya antara lain: Dewi Yull yang memerankan Dr.
Sartika, Dwi Yan sebagai Dr. Imam, dll. Tetapi ada saja kecolongan. Misalnya cuci tangan di
ember. Maka selain meneliti naskah, diperlukan pula supervisi ke lapangan. Maka dalam setiap
shooting yang dilakukan di luar studio, staf PKM pada umumnya selalu menlakukan supervisi
lapangan.
Program sinetron Dr. Sartika ini mendapat sambutan hangat masyarakat. Sinetron ini
meskipun berisi pesan-pesan kesehatan, tetapi dijalin dengan masalah keluarga dan masyarakat,
sehingga pesan-pesannya mengalir, tidak menggurui dan alamiah. Melalui sinetron ini
masyarakat dapat belajar hidup sehat serta menjadikan Puskesmas sebagai tempat pelayanan
kesehatan bagi yang membutuhkannya (tidak pergi ke dukun). Sinetron ini sekaligus juga berisi
informasi kepada para petugas Puskesmas, untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik
dan benar. Sinetron tersebut juga menjadi rujukan dan penghubung antara program dan petugas
Puskesmas. Selain itu sinetron Dr. Sartika ini juga memberikan dampak positif kepada para
artis pendukungnya. Misalnya, ada artis yang semula perokok berat kemudian menghentikan

43
kebiasaan merokoknya tersebut. Program ini berjalan sampai 39 episode, dan berjalan selama
sekitar empat tahun (1989-1992). Harga per episode berkembang dari sekitar Rp 25 juta menjadi
sekitar Rp. 250 juta. Program ini berhenti, karena beberapa alasan. Antara lain pada waktu itu
sudah mulai ada beberapa saluran TV swasta yang menyediakan banyak pilihan acara lain.
Selain itu biaya produksi dan tayang semakin mahal, sehingga sponsor program ini akhirnya
tidak melanjutkan acara ini. Sinetron Dr. Sartika ini pernah mau dihidupkan lagi, tetapi ada
beberapa kendala sehingga sampai sekarang belum berhasil.
Selain sinetron Dr. Sartika juga dikembangkan film-film lepas. Antara lain mini seri film
yang berjudul: Minati Bidan Tercinta. Film ini bertujuan untuk mempromosikan bidan di desa
yang pada waktu itu kurang memperoleh sambutan masyarakat, karena banyak di antara mereka
yang masih lajang dan belum mempunyai banyak pengalaman menolong persalinan. Pemeran
utama film ini adalah Uci Bing Slamet. Mini seri ini berjalan baik meskipun sambutan
masyarakat tidak sehangat sebagaimana pada Dr. Sartika.

Sinetron Kupu-kupu Ungu dan acara-acara lainnya

Selain kedua sinetron tersebut, juga ada sinetron lepas dengan judul Relung Hati, yang
dibintangi oleh Drg. Fadli dan Minati Atmanagara, untuk mempromosikan dokter Inpres.
Sinetron lepas lainnya adalah Pengakuan yang dibintangi oleh Leila Anggraeni dll, untuk
menunjang program Kesehatan Ibu dan Anak. Sedangkan untuk menunjang program air dibuat
film dengan judul : Cintaku pada Gemericik Air.
Kemudian pada sekitar tahun 1994 persoalan HIV/AIDS mulai marak. Pada waktu itu di
Ford Foundation Perwakilan Indonesia ada Dr. Rosalia (orang Itali yang bersuamikan orang
Indonesia) yang sangat peduli dengan HIV/AIDS. Melalui Ford Foundation disponsorilah
berbagai kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, antra lain sinetron di televisi. Maka dibuatlah
sinetron, dengan judul: Kupu-kupu ungu. Sutradara dan penulis skenario adalah Nino
Riantarno, dengan bintang utamanya: Nurul Arifin. Untuk menulis skenario tersebut berkumpul
beberapa orang pakar yang mewakili beberapa unit program di Depkes dan beberapa unsur
swasta/LSM. Contact person dari Pusat PKM adalah Ir. Ninik Suharini Sahal. Sinetron ini
disiarkan di RCTI, dibuat sampai 13 episode, menyajikan persoalan HIV/AIDS dari berbagai
segi pandang, termasuk HIV/AIDS pada anak, ibu rumah tangga, Pekerja Seks Komersial,
ODHA, dll. Beberapa judul sinetron ini bahkan diminta untuk disajikan pada festival film Asia di
Amsterdam pada sekitar tahun 1995 dan di Kualumpur pada sekitar tahun 1999.
Penyuluhan melalui televisi selain melalui sinetron juga melalui acara-acara lain seperti:
kompetisi lagu-lagu kesehatan: ada versi pop, dangdut dan rock. Juga melalui lagu-lagu gambang
kromong Benyamin S dan Ida Royani. Selanjutnya yang semakin marak sampai sekarang adalah
penyampaian pesan melalui filler atau iklan layanan masyarakat. Sudah banyak sekali filler
yang ditayangkan mengenai berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal pada
waktu itu adalah dengan judul: Jangan Lupa yang disampaikan oleh Butet Kertajaya dengan
kocaknya, sehingga setiap kita melihat dan mendengar suaranya: Jangan Lupa kita lalu ingat
pesan-pesannya tentang HIV/AIDS. Juga filler tentang Ibu Hamil, Napza/Narkoba, Gizi, Gaya
Hidup Sehat, dll. Dan kita juga akan selalu ingat filler tentang Pekan Imunisasi Nasional yang
dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan Mandra yang waktu itu sangat tenar.
Pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan melalui media televisi dan kerjasama dengan

44
para artis ini tetap berlangsung sampai sekarang. Beberapa cukup berhasil membina suasana dan
mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu. Namun beberapa juga ada yang kurang mendapat
sambutan masyarakat. Perlu diakui bahwa tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal.
Pada hal pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya penyebar luasan
informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus minusnya. Evaluasi terhadap
program kesehatan di televisi ini seharusnya dilakukan, untuk lebih mengetahui efektifitas dan
efisiensinya, dan terutama untuk dapat lebih memahami aspirasi masyarakat terhadap pesan-
pesan kesehatan.
Selanjutnya selain sinetron, film lepas atau filler tersebut juga diproduksi kaset dan VCD,
berisi lagu, film atau pesan nlainnya. Media-media tersebut kemudian disebar luaskan ke
beberapa media televisi dan radio, baik yang ada di Jakarta maupun di kota-kota lainnya.
Dikembangkan pula pesan-pesan atau tulisan melalui internet, dengan kode:
www.promosikesehatan.com. Pusat Promkes sekarang juga membuka saluran melalui email
dengan kode: pa@promosikesehatan.com.

Bab V
ERA PROMOSI KESEHATAN DAN PARADIGMA SEHAT
(Kurun waktu 1995-2005)

Dream children, dream, otherwise you wont have anything to live for
(The 4th ICHP, Jakarta, 1997)

Munculnya Istilah Promosi Kesehatan

Istilah Health Promotion (Promosi Kesehatan) sebenarnya sudah mulai dicetuskan


setidaknya pada tahun 1986, pada waktu diselenggarakan Konferensi International Pertama
tentang Health Promotion di Ottawa, Canada, pada tahun 1986. Pada waktu itu dicanangkan the
Ottawa Charter, yang memuat definisi dan prinsip-prinsip dasar Health Promotion. Namun
istilah tersebut pada waktu itu di Indonesia belum bergema. Pada waktu itu, istilah yang ada
tetap Penyuluhan Kesehatan, disamping juga populer istilah-istilah lain seperti: KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi), Pemasaran Sosial (Social Marketing), Mobilisasi Sosial,
dll.
Suatu ketika pada sekitar akhir tahun 1994, Dr. Ilona Kickbush, yang baru saja menjabat
sebagai Direktur Health Promotion WHO Headquarter Geneva, datang ke Indonesia. Sebagai
direktur baru ia mengunjungi beberapa negara, termasuk Indonesia. Kebetulan pada waktu itu
Kepala Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes juga baru saja diangkat, yaitu Drs. Dachroni MPH,
yang menggantikan Dr. IB Mantra yang purna bakti (pensiun). Dengan kedatangan Dr.
Kickbush, diadakanlah pertemuan dengan pimpinan Depkes dan pertemuan lainnya baik internal
penyuluhan kesehatan maupun external dengan lintas program dan lintas sektor, termasuk FKM
UI. Bahkan sempat pula mengadakan kunjungan lapangan ke Bandung, yang diterima dengan
baik oleh Ibu Neni Surachni (kepala Sub Dinas PKM Jabar waktu itu) dan teman-teman lain di

45
Bandung. Dari serangkaian pertemuan itu serta perbincangan selama kunjungan lapangan ke
Bandung, kita banyak belajar tentang Health Promotion (Promosi Kesehatan). Barangkali karena
terkesan dengan kunjungannya ke Indonesia, ia kemudian menyampaikan usulan agar Indonesia
dapat menjadi tuan rumah Konferensi International Health Promotion yang keempat, yang
sebenarnya memang sudah waktunya diselenggarakan.
Usulan itu diterima oleh pimpinan Depkes (Menteri Kesehatan waktu itu Prof. Dr.
Suyudi). Kunjungan Dr. Kickbush itu ditindak lanjuti dengan kunjungan pejabat Health
Promotion WHO Geneva lainnya, yaitu Dr. Desmond O Byrne, sampai beberapa kali, untuk
mematangkan persiapan konferensi Jakarta. Sejak itu khususnya Pusat Penyuluhan Kesehatan
Depkes berupaya mengembangkan konsep promosi kesehatan tersebut serta aplikasinya di
Indonesia. Sebagai tuan rumah konferensi internasional tentang promosi kesehatan,
seharusnyalah kita sendiri mempunyai kesamaan pemahaman tentang konsep dan prinsip-
prinsipnya serta dapat mengembangkannya paling tidak di beberapa daerah sebagai percontohan.
Dengan demikian penggunaan istilah promosi kesehatan di Indonesia tersebut dipacu oleh
perkembangan dunia internasional. Nama unit Health Education di WHO baik di Headquarter,
Geneva maupun di SEARO, India juga sudah berubah menjadi Unit Health Promotion. Nama
organisasi profesi internasional juga sudah berubah menjadi International Union for Health
Promotion and Education (IUHPE). Istilah promosi kesehatan tersebut juga ternyata sesuai
dengan perkembangan pembangunan kesehatan di Indonesia sendiri, yang mengacu pada
paradigma sehat.

Strategi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Bertolak dari prinsip-prinsip yang dapat dipelajari tentang Promosi Kesehatan, pada
pertengahan tahun 1995 dikembangkanlah Strategi atau Upaya Peningkatan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (disingkat PHBS), sebagai bentuk operasional atau setidaknya sebagai embrio
promosi kesehatan di Indonesia. Strategi tersebut dikembangkan melalui serangkaian pertemuan
baik internal Pusat Penyuluhan Kesehatan maupun external secara lintas program dan lintas
sektor, termasuk dengan organisasi profesi, FKM UI dan LSM.
Beberapa hal yang dapat disarikan tentang pokok-pokok Promosi Kesehatan (Health
Promotion) atau PHBS yang merupakan embrio Promosi Kesehatan di Indonesia ini, adalah
bahwa:

1. Promosi Kesehatan (Health Promotion), yang diberi definisi : Proses pemberdayaan


masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya (the process
of enabling people to control over and improve their health), lebih luas dari Pendidikan
atau Penyuluhan Kesehatan. Promosi Kesehatan meliputi Pendidikan/ Penyuluhan
Kesehatan, dan di pihak lain Penyuluh/Pendidikan Kesehatan merupakan bagian penting
(core) dari Promosi Kesehatan.

2. Pendidikan/Penyuluhan Kesehatan (dapat dikatakan) menekankan pada upaya perubahan


atau perbaikan perilaku kesehatan. Promosi Kesehatan adalah upaya perubahan/perbaikan

46
perilaku di bidang kesehatan disertai dengan upaya mempengaruhi lingkungan atau hal-
hal lain yang sangat berpengaruh terhadap perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan.

3. Promosi Kesehatan juga berarti upaya yang bersifat promotif (peningkatan) sebagai
perpaduan dari upaya preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan) dalam rangkaian upaya kesehatan yang komprehensif. Promosi Kesehatan
juga merupakan upaya untuk menjajakan, memasarkan atau menjual yang bersifar
persuasif, karena sesungguhnya kesehatan merupakan sesuatu yang sangat layak jual,
karena sangat perlu dan dibutuhkan setiap orang dan masyarakat.

4. Pendidikan/penyuluhan kesehatan menekankan pada pendekatan edukatif, sedangkan


pada promosi kesehatan, selain tetap menekankan pentingnya pendekatan edukatif yang
banyak dilakukan pada tingkat masyarakat di strata primer (di promosi kesehatan
selanjutnya digunakan istilah gerakan pemberdayaan masyarakat), perlu dibarengi atau
didahului dengan upaya advokasi, terutama untuk strata tertier (yaitu para pembuat
keputusan atau kebijakan) dan bina suasana (social suppoprt), khususnya untuk strata
sekundair (yaitu mereka yang dikategorikan sebagai para pembuat opini). Maka
dikenallah strategi ABG, yaitu Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan/pemberdayaan
Masyarakat.

5. Pada pendidikan/penyuluhan kesehatan, masalah diangkat dari apa yang ditemui atau
dikenali masyarakat (yaitu masalah kesehatan atau masalah apa saja yang dirasa
penting/perlu diatasi oleh masyarakat, now(), now()); Pada PHBS, masyarakat
diharapkan dapat mengenali perilaku hidup sehat, yang ditandai dengan sekitar 10
perilaku sehat (health oriented). Masyarakat diajak untuk mengidentifikasi apa dan
bagaimana hidup bersih dan sehat, kemudian mengenali keadaan diri dan lingkungannya
serta mengukurnya seberapa sehatkah diri dan lingkungannya itu?
Pendekatan ini kemudian searah dengan paradigma sehat, yang salah satu dari tiga pilar
utamanya adalah perilaku hidup sehat. (Sebenarnya ini tidak baru, karena dalam
Posyandu, masalah juga sudah difokuskan pada sekitar 5 masalah prioritas).

6. Pada pendidikan/penyuluhan kesehatan yang menonjol adalah pendekatan di masyarakat


(melalui pendekatan edukatif), sedangkan pada PHBS/promosi kesehatan dikembangkan
adanya 5 tatanan: yaitu di rumah/tempat tinggal (where we live), di sekolah (where we
learn), di tempat kerja (where we work), di tempat-tempat umum (where we play and do
everything) dan di sarana kesehatan (where we get health services). Dari sini
dikembangkan kriteria rumah sehat, sekolah sehat, tempat kerja sehat, tempat umum

47
sehat, dll yang mengarah pada kawasan sehat seperti : desa sehat, kota sehat, kabupaten
sehat, dll sampai ke Indonesia Sehat.

7. Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan lagi, yang dilandasi oleh
kesamaan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi manfaat (mutual
benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah dengan masyarakat termasuk
swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat, juga secara lintas program dan lintas sektor.

8. Sebagaimana pada Pendidikan dan Penyuluhan, Promosi Kesehatan sebenarnya juga


lebih menekankan pada proses atau upaya, dengan tanpa mengecilkan arti hasil apalagi
dampak kegiatan. Jadi sebenarnya sangat susah untuk mengukur hasil kegiatan, yaitu
perubahan atau peningkatan perilaku individu dan masyarakat. Yang lebih sesuai untuk
diukur: adalah mutu dan frekwensi kegiatan seperti: advokasi, bina suasana, gerakan
sehat masyarakat, dll. Karena dituntut untuk dapat mengukur hasil kegiatannya, maka
promosi kesehatan mengaitkan hasil kegiatan tersebut pada jumlah tatanan sehat, seperti:
rumah sehat, sekolah sehat, tempat kerja sehat, dst.

Konsep Promosi Kesehatan dan/atau PHBS tersebut selanjutnya digulirkan ke daerah dan
beberapa daerah mencoba mengembangkannya paling tidak di beberapa kabupaten.

Konferensi Internasional Health Promotion IV dan Deklarasi Jakarta

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan IV ini terselenggara pada bulan Juli 1997
bertempat di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Konferensi I di Ottawa, Canada (1986)
menghasilkan Ottawa Charter, memuat 5 strategi pokok Promosi Kesehatan, yaitu : (1)
Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public policy, now(), now());
(2) Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment, now(), now()); (3)
Memperkuat gerakan masyarakat (community action, now(), now()); (4) Mengembangkan
kemampuan perorangan (personnal skills) ; dan (5) Menata kembali arah pelayanan kesehatan
(reorient health services).
Konferensi II di Adelaide, Australia (1988), membahas lebih lanjut tentang pengembangan
kebijakan yang berwawasan kesehatan, dengan menekankan 4 bidang prioritas, yaitu: (1)
Mendukung kesehatan wanita; (2) Makanan dan gizi; (3) Rokok dan alkohol; dan (4)
Menciptakan lingkungan sehat. Pada tahun 1989 diadakan pertemuan Kelompok Promosi
Kesehatan negara-negara berkembang di Geneva, sebagai seruan untuk bertindak (A call for
action). Dalam pertemuan ini ditekankan bahwa 3 strategi pokok promosi kesehatan untuk
pembangunan kesehatan: (1) Advokasi Kebijakan (advocacy, now(), now()); (2) Pengembangan
aliansi yang kuat dan sistem dukungan sosial (social support, now(), now()); dan (3)
Pemberdayaan masyarakat (empowerment).
Selanjutnya pada tahun 1991 diselenggarakan Konferensi ke III di Sundval, Swedia.

48
Konfrensi ini menghasilkan pernyataan perlunya dukungan lingkungan untuk kesehatan. Untuk
dukungan ini diperlukan 4 strategi kunci, yakni: (1) Memperkuat advokasi diseluruh lapisan
masyarakat; (2) Memberdayakan masyarakat dan individu agar mampu menjaga kesehatan dan
lingkungannya melalui pendidikan dan pemberdayaan; (3) Membangun aliansi; dan (4) Menjadi
penengah diantara berbagai konflik kepentingan di tengah masyarakat.
Ketiga konferensi internasional tersebut diselenggarakan di negara maju. Timbul
pertanyaan apakah promosi kesehatan itu hanya sesuai untuk negara maju saja dan tidak cocok
untuk negara berkembang? Untuk membantah keraguan itu, maka konferensi yang ke IV ini
diselenggarakan di salah satu negara sedang berkembang. Indonesia memperoleh kehormatan
untuk menjadi penyelenggaranya yang pertama.
Konferensi ke IV di Jakarta ini dihadiri oleh sekitar 500 orang dari 78 negara, termasuk
sekitar 150 orang Indonesia, khususnya dari daerah. Ini karena konferensi tersebut juga
merupakan konferensi nasional promosi kesehatan yang pertama (Selanjutnya nanti ada
konferensi nasional kedua di Hotel Bidakara, Jakarta, tahun 2000, dan konferensi nasional ketiga
di Yogyakarta, tahun 2003). Konferensi dibuka oleh Presiden RI, Bapak Soeharto, di Istana
Negara. Selain pembicara-pembicara internasional, juga tampil pembicara Indonesia, yaitu Prof
Dr. Suyudi selaku Menteri Kesehatan, dan Prof. Dr. Haryono Suyono, selain selaku Menteri
Kependudukan juga sebagai pakar komunikasi. Pada acara Indonesia Day, tampil pembicara-
pembicara dari berbagai program, sektor dan daerah, menyampaikan pengalamannya dalam
berbagai kegiatan promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan dalam program atau daerah
masing-masing (diselenggarakan dalam sidang-sidang yang berjalan secara serentak/pararel).
Konferensi ini bertema: New players for a new era: Leading Health Promotion into the
21st century dan menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang diberi nama: The Jakarta Declaration
on Health Promotion into the 21st Century. Selanjutnya Deklarasi Jakarta ini memuat berbagai
hal, antara lain sebagai berikut:

Bahwa Konferensi Promosi Kesehatan di Jakarta ini diselenggarakan hampir 20 tahun


setelah Deklarasi Alma Ata dan sekitar 10 tahun setelah Ottawa Charter, serta yang
pertama kali diselenggarakan di negara sedang berkembang dan untuk pertama kalinya
pihak swasta ikut memberikan dukungan penuh dalam konferensi.

Bahwa Promosi Kesehatan merupakan investasi yang berharga , yang mempengaruhi


faktor-faktor penentu di bidang kesehatan guna mencapai kualitas sehat yang setinggi-
tingginya.

Bahwa Promosi Kesehatan sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dan
perubahan faktor penentu kesehatan. Berbagai tantangan tersebut seperti: adanya
perdamaian, perumahan, pendidikan, perlindungan sosial, hubungan kemasyarakatan,
pangan, pendapatan, pemberdayaan perempuan, ekosistem yang mantap, pemanfaatan
sumber daya yang berkelanjutan, keadilan sosial, penghormatan terhadap hak-hak azasi
manusia, dan persamaan, serta kemiskinan yang merupakan ancaman terbesar terhadap
kesehatan, selain masih banyak ancaman lainnya.

49
Bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul terhadap kesehatan
diperlukan kerjasama yang lebih erat , menghilangkan sekat-sekat penghambat, serta
mengembangkan mitra baru antara berbagai sektor, di semua tingkatan pemerintahan dan
lapisan masyarakat.

Bahwa prioritas Promosi Kesehatan abad 21 adalah :


1. Meningkatkan tanggungjawab sosial dalam kesehatan;

2. Meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan;

3. Meningkatkan kemitraan untuk kesehatan;

4. Meningkatkan kemampuan perorangan dan memberdayakan masyarakat;

5. Mengembangkan infra struktur promosi kesehatan.

Selanjutnya menyampaikan himbauan untuk bertindak, dengan menyusun rencana aksi


serta membentuk atau memperkuat aliansi promosi kesehatan di berbagai tingkatan,
mencakup a.l. : (1) Membangkitkan kesadaran akan adanya perubahan faktor penentu
kesehatan; (2) Mendukung pengembangan kerjasama dan jaringan kerja untuk
pembangunan kesehatan; (3) Mendorong keterbukaan dan tanggungjawab sosial dalam
promosi kesehatan.

Era Paradigma Sehat: Visi dan Misi Promosi Kesehatan

Pada tahun 1998 Presiden Soeharto digantikan oleh Presiden Habibie. Sebagai Menteri
Kesehatan ditetapkan Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek. Setelah melalui persiapan antara lain
pertemuan dengan para pakar, pertemuan nasional dengan daerah-daerah, pertemuan lintas sektor
dan dengar pendapat dengan DPR, pada 1 Maret 1999 oleh Presiden Habibie dicanangkan :
Gerakan Pembangunan yang Berwawasan Kesehatan, atau dikenal dengan Paradigma sehat.

50
Sebagai konsekwensinya adalah bahwa semua pembangunan dari semua sektor harus
mempertimbangkan dampaknya di bidang kesehatan, minimal harus memberi kontribusi dan
tidak merugikan pertumbuhan lingkungan dan perilaku sehat. Disebutkan bahwa visi
pembangunan kesehatan adalah: Indonesia Sehat 2010, dengan misi: (1) Menggerakkan
pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan; (2) Mendorong kamandirian masyarakat
untuk hidup sehat; (3) Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; dan (4) Meningkatkan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk lingkungannya. Salah satu pilar Indonesia
Sehat 2010 tersebut adalah : perilaku sehat, disamping dua pilar lainnya yaitu: lingkungan sehat
dan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata.
Ditetapkan pula strategi pembangunan kesehatan beserta program-program pokoknya.
Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) disebutkan bahwa salah satu program
pokok pembangunan kesehatan adalah peningkatan perilaku sehat dan pemberdayaan
masyarakat, yang karenanya menempatkan promosi kesehatan sebagai salah satu program
unggulan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan Rencana
Strategis (Renstra) Depkes 2005-2009 juga disebutkan bahwa Promosi Kesehatan merupakan
program tersendiri dan diposisikan pada urutan pertama. Ini menegaskan bahwa Paradigma Sehat
dengan Visi Indonesia Sehat-nya tersebut sangat sesuai dengan Deklarasi Jakarta, dan dengan
demikian promosi kesehatan (termasuk PHBS), yang berorientasi pada perilaku hidup sehat,
semakin memperoleh pijakan yang kuat.
Selanjutnya masing-masing program termasuk Promosi Kesehatan menyusun visi, misi
dan program kegiatannya, serta sasaran atau target yang harus dapat terukur. Dalam kaitan itu
ditetapkan Visi Promosi kesehatan yaitu : Berkembangnya masyarakat Indonesia baru yang
berbudaya sehat. Misinya adalah: (1) Melakukan advokasi kebijakan publik yang berdampak
positif pada kesehatan; (2) Mensosialisasikan pesan-pesan kesehatan; (3) Mendorong gerakan-
gerakan sehat di masyarakat; Strategi pokok Promosi Kesehatan disingkat ABG, yaitu :
(1) Advokasi, yaitu upaya untuk mempengaruhi kebijakan agar memberikan kontribusi pada
pertumbuhan perilaku dan lingkungan sehat; (2) Bina Suasana, yaitu upaya pembentukan opini
publik untuk mengembangkan norma hidup sehat; dan (3) Gerakan pemberdayaan
masyarakat, yaitu upaya untuk menggerakkan dan memberdayakan semua komponen
masyarakat untuk hidup sehat.
Dari visi, misi dan strategi tersebut direncanakan delapan kegiatan pokok, yaitu: (1) Upaya
advokasi; (2) Pembinaan suasana; (3) Pemberdayaan masyarakat; (4) Pengembangan kemitraan;
(5) Pengembangan SDM; (6) Pengembangan Iptek Promosi Kesehatan; (7) Pengembangan
media dan sarana; (8) Pengembangan infra struktur Promosi kesehatan.
Visi, misi, strategi, kegiatan pokok beserta rincian kegiatan dan tolok ukurnya dan lain-
lainnya dituangkan dalam pendoman tehnis Program Promosi Kesehatan. Kemudian hari dengan
beberapa perbaikan dan penyempurnaan, pedoman tersebut dukukuhkan dengan SK Menteri
Kesehatan RI menjadi Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan.

Promosi Kesehatan Di Era Reformasi Dan Desentralisasi

Lahirnya semangat reformasi yang ditingkahi dengan terjadinya pergantian pemerintahan


pada tahun 1998 telah membawa perubahan fundamental dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia. Angin reformasi yang bertiup kencang sejak lengsernya Presiden Soeharto

51
memperoleh wadahnya dalam sidang-sidang MPR, yang merupakan lembaga tertinggi negara.
Akhirnya dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, sesuatu yang diharamkan pada era
sebelumnya. Amandemen tersebut bahkan dilakukan beberapa kali, antara lain menyangkut
tentang penghapusan lembaga Dewan Pertimbangan Agung, dibentuknya Mahkamah Konstitusi,
ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara
langsung oleh rakyat, dll.
Salah satu perubahan yang mendasar adalah bergantinya sistem pemerintahan sentralisasi
menjadi desentralisasi, atau otonomi daerah. Semangat inilah yang mengilhami diundangkannya
UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.
25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diberlakukan pada tahun
2001. Sesuai dengan UU tersebut, maka Gubernur, Bupati dan Walikota kini dipilih langsung
oleh rakyat dan karenanya mempunyai kewenangan yang sangat menentukan, termasuk dalam
penentuan organisasi daerah, jabatan dan personilnya. Sementara itu lembaga legislatif, baik
DPR di Pusat maupun DPRD di daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar (bahkan
sangat besar) dalam penyusunan anggaran keuangan baik Pusat maupun Daerah. Berkaitan
dengan itu, partai-partai politik mempunyai peranan yang sangat menentukan, melalui wakil-
wakilnya yang duduk di pemerintahan (ekskutif) dan lembaga perwakilan (legislatif), baik di
Pusat maupun di daerah.
Untuk mengantisipasi hal ini Departemen Kesehatan dalam hal ini Promosi Kesehatan
menyelenggarakan pertemuan dengan Bupati dan Walikota seluruh Indonesia pada bulan Juli
2000 yang menyepakati tentang perlunya perhatian Daerah secara lebih sungguh-sungguh
terhadap program kesehatan, kelembagaan, ketenagaan serta anggaran yang mendukungnya.
Berbagai pertemuan khusus untuk menjelaskan dan mendiskusikan tentang Paradigma Sehat dan
Visi Indonesia sehat 2010 juga diselenggarakan kepada partai-partai politik dan anggota DPR
kkhususnya komisi yang mengurusi bidang kesehatan.
Demikian pula dengan tujuan yang sama beberapa kali pertemuan khusus juga digelar di
daerah, paling tidak di beberapa propinsi, seperti Banten, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Sumatera Barat, dll. Belum lagi panduan tertulis tentang penanganan program-program
kesehatan termasuk promosi kesehatan di daerah.
Selanjutnya dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah, setelah dilakukan
pembahasan dan sosialisasi dengan daerah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan
tentang Stndar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Salah satu
SPM bidang kesehatan tersebut adalah tentang Penyuluhan perilaku sehat, yang harus mencakup
setidaknya: Rumah tangga sehat (65%) dan Desa Posyandu Purnama (40%). Selain itu juga
ditetapkan bahwa promosi kesehatan merupakan salah satu pelayanan yang wajib dilakukan di
Puskesmas.

Pengembangan Jaringan Dan Kemitraan

Pada era ini juga ditandai dengan berkembangan jaringan (networking) dan kemitraan
(partnership) antara unit promosi kesehatan dengan berbagai pihak, baik sektor pemerintah
maupun swasta dan masyarakat, baik regional maupun global.
Secara nasional dapat disebutkan a.l. : (1) Forum Komunikasi Promosi Kesehatan, yang
anggotanya adalah unit atau lembaga (pemerintah dan masyarakat) yang peduli dengan upaya

52
promosi kesehatan; (2) Koalisi Indonesia Sehat (anggota: berbagai unit pemerintah dan swasta
serta masyarakat yang peduli pada Indonesia Sehat, now(), now()); (3) Forum Komunikasi
Penanggulangan Masalah Tembakau (anggota: unit, organisasi profesi dan lembaga peduli
masalah rokok/tembakau, now(), now()); (4) Jaringan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular;
(5) Dan lain-lain, seperti: Forum Pengembangan Kota Sehat, Forum Penanggulangan Penyakit
TBC, dll.
Secara regional dan global dapat disebutkan: Mega country Health Promotion Network,
yaitu jaringan sekitar 10 negara di dunia yang berpenduduk 100 juta lebih dalam bidang promosi
kesehatan; International Network for Health Promotion Foundation (Indonesia diwakili oleh Unit
Promkes sebelum mempunyai Yayasan Promosi Kesehatan yang mandiri, now(), now());
International Union for Health Promotion and Education (organisasi profesi Promosi kesehatan
yang bersifat internasional), dll. Dalam kaitan itu diselenggarakan beberapa kali pertemuan
internasional (di Geneva, Jakarta, Meksiko, Bangkok, Melbourne, dll).
Dalam rangka pengembangan jaringan dan kemitraan itu maka sejak tahun 2000,
penyelenggaraan Hari Kesehatan Nasional dilakukan bersama oleh swasta dan sektor di luar
Depkes, sedangkan Depkes dalam hal ini Promosi Kesehatan berperan sebagai sekretariatnya.
Dengan penyelenggaraan oleh swasta itu terasa bahwa Hari Kesehatan lebih bergema.
Demikianlah maka sejak tahun 2000, pada setiap acara puncak HKN Presiden RI (yaitu Gus Dur,
Mbak Mega dan Pak SBY) selalu hadir dan menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang diliput
oleh media massa secara luas.

SKN 2004 dan Promosi Kesehatan

Pada tahun 2004 oleh Menteri Kesehatan (Dr. Achmad Sujudi) ditetapkanlah Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) yang baru, sebagai pengganti SKN lama (tahun 1982). SKN baru ini
dimaksudkan antara lain untuk mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka
pemenuhan hak asasi manusia dan memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai
visi dan misinya.
Disebutkan bahwa SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD
1945. Sedangkan pada hakekatnya SKN adalah juga merupakan wujud dan sekaligus metode
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia
dalam satu derap langkah guna menjamin tujuan pembangunan kesehatan. Sedangkan tujuannya
adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat,
swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga tercapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Apa kaitannya dengan Promosi Kesehatan? Dalam SKN tersebut disebutkan adanya 7
prinsip dasar. Prinsip ke 4 adalah Prinsip Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat, dan
prinsip ke 5 adalah Prinsip Kemitraan. Tanpa mengurangi arti upaya kesehatan lainnya, kedua
prinsip tersebut sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup upaya promosi kesehatan. Selain itu
SKN ini terdiri 6 subsistem, salah satunya adalah; Subsistem Pemberdayaan Masyarakat.
Disebutkan bahwa Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah tatanan yang menghimpun
berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat umum di bidang kesehatan secara terpadu

53
dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi dan
pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan dsn
seterusnya. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat dengan segala uraiannya itu tentu saja
merupakan ranah (domein) Promosi Kesehatan.

Promosi Kesehatan Pada Program-program Kesehatan

Sebenarnya pada setiap program kesehatan ada komponen promosi kesehatannya, karena
semua masalah kesehatan mengandung komponen perilaku. Namun karena keterbatasan
sumberdaya, pada kurun waktu ini secara nasional, promosi kesehatan terbatas pada beberapa
program prioritas saja. Program-program kesehatan tersebut adalah: Kesehatan Ibu, Bayi dan
Anak (Khususnya Pertolongan persalinan dan Penggunaan ASI Eklusif), Peningkatan Gizi
Keluarga dan Masyarakat (termasuk GAKY), Kesehatan Lingkungan (khususnya penggunaan air
bersih, penggunaan toilet/jamban, mencuci tangan dengan sabun), Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular (khususnya Aktivitas fisik, makan gizi seimbang dan masalah merokok),
Penanggulangan penyalahgunaan NAPZA, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM). Di daerah, prioritas program tersebut disesuaikan dengan keadaan, masalah dan potensi
daerah.
Selain itu juga dilakukan promosi kesehatan untuk mendukung beberapa program khusus.
Sebagai contoh adalah kampanye Pekan Imunisasi Nasional (dalam rangka penanggulangan
polio). Demikian pula dalam penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan promosi kesehatan
secara lintas sektoral, juga dalam menghadapi SARS. Selain itu dilakukan pula promosi
kesehatan dalam rangka penanggulangan masalah tembakau, promosi penggunaan obat generik,
dll. Perlu diakui bahwa masih banyak promosi kesehatan untuk berbagai program kesehatan
lainnya yang belum dapat tertangani.

Era Globalisasi Dan Promosi Kesehatan

Kurun waktu 2000 an ini juga merupakan era globalisasi. Batas-batas antar negara menjadi
lebih longgar. Persoalan menjadi lebih terbuka. Berkaitan dengan era globalisasi ini dapat
menimbulkan pengaruh baik positif maupun negatif. Di satu pihak arus informasi dan
komunikasi mengalir sangat cepat. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Dunia
menjadi lebih terpacu dan maju. Di pihak lain penyakit menular yang ada di satu negara dapat
menyebar secara cepat ke negara lain apabila negara itu rentan atau rawan. Misalnya AIDS,
masalah merokok, penyalahgunaan NAPZA, dll sudah menjadi persoalan dunia. Demikian pula
budaya negatif di satu bangsa/negara dengan cepat juga dapat masuk dan mempengaruhi budaya
bangsa/negara lain.
Sementara itu khususnya di bidang Promosi Kesehatan, dalam era globalisasi ini Indonesia
memperoleh banyak masukan dan perbandingan dari banyak negara. Melalui berbagai pertemuan
internasional yang diikuti, setidaknya para delegasi memperoleh inspirasi untuk mengembangkan
promosi kesehatan di Indonesia. Beberapa pertemuan itu adalah sebagai berikut :

54
1. Konferensi Internasional Promosi Kesehatan. Konferensi ini bersifat resmi, para
utusannya diundang oleh WHO dan mewakili negara. Selama kurun waktu 1995-2005
ada tiga kali konferensi internasional, yaitu: the 4th International Conference on Health
Promotion, Jakarta, 1997, the 5th International Conference on Health Promotion, Mexico
City, 2000, dan the 6th Global Conference on Health Promotion, Bangkok, 2005. Pada
pertemuan di Bangkok istilah International Conference diganti dengan Global
Conference, a.l. karena dengan istilah Global tersebut menunjukkan bahwa sekat-sekat
antar negara menjadi lebih tipis dan persoalan serta solusinya menjadi lebih mendunia.
Menkes RI yang hadir pada konferensi di Jakarta adalah Prof. Dr. Suyudi yang juga
menjadi pembicara kunci pada konferensi tersebut; di Mexico City: Dr. Achmad Suyudi,
yang juga menjadi salah satu pembicara kunci dan bersama para menteri kesehatan dari
negara-negara lain ikut menandatangani Mexico Ministerial Statements on health
Promotion; dan yang hadir di Bangkok adalah Drs. Richard Panjaitan, Staf Ahli yang
mewakili Menteri Kesehatan yang harus berada di tanah air menjelang peringatan
proklamasi kemerdekaan RI. Konferensi di Bangkok ini menghasilkan The Bangkok
Charter. Ketiga konferensi tersebut baik proses maupun hasil-hasilnya memberikan
sumbangan yang bermakna dalam perkembangan promosi kesehatan di Indonesia.

2. Konferensi internasional Promosi dan Pendidikan Kesehatan. Konferensi ini bersifat


keilmuan. Utusannya datang atas kemauan sendiri dengan mendaftar lebih dahulu.
Penyelenggaranya adalah Organisasi Profesi, yaitu International Union for Health
Promotion and Education. Dalam kurun waktu ini sebenarnya ada empat kali pertemuan,
tetapi Indonesia hanya hadir di tiga pertemuan yaitu di Ciba, Jepang, tahun 1995, di Paris,
Perancis, tahun 2001, dan Melbourne, Australia, 2004. Indonesia tidak hadir pada
pertemuan di Pourtorico, tahun 1998, karena situasi tanah air yang tidak memungkinkan
untuk pergi. Dengan mengikuti konferensi seperti ini, selain menambah wawasan dan
gagasan, juga menambah teman dan jaringan.

3. Pertemuan-pertemuan WHO tingkat regional dan internasional. Pertemuan seperti ini


biasanya diikuti oleh kelompok terbatas, antara 20-30 orang. Sifatnya merupakan
pertemuan konsultasi atau juga pertemuan tenaga ahli (expert). Pesertanya adalah utusan
yang mewakili unit Promosi Kesehatan di masing-masing negara, atau perorangan yang
dianggap ahli, yang diundang oleh WHO. Dalam kurun waktu 1995-2005 beberapa kali
diselenggarakan pertemuan konsultasi di New Delhi, India, di Bangkok, Thailand, di
Jakarta, Indonesia, dan beberapa kali di Genewa, Swis, khususnya dalam kaitannya
dengan Mega Country Health Promotion Network. Pertemuan-pertemuan seperti ini juga
memacu perkembangan promosi kesehatan di Indonesia. Khusus dalam Mega country
network ini diupayakan penanggulangan penyakit tidak menular secara bersama melalui
upaya aktivitas fisik, makan gizi seimbang dan tidak merokok.

55
4. Pertemuan regional ASEAN. Pertemuan ini diselenggarakan oleh negara-negara anggota
ASEAN. Pertemuan seperti ini diselenggarakan beberapa kali, tetapi yang menyangkut
promosi kesehatan diselenggarakan pada tahun 2002 di Vientiane, Laos. Pertemuan ini
menghasilkan Deklarasi Vientiane atau Kesepakatan Menteri Kesehatan ASEAN tentang
Healthy ASEAN Lifestyle (antara lain ditandatangani oleh Dr. Achmad Suyudi selaku
Menkes RI) yang pada pokoknya merupakan kesepakatan untuk mengintensifkan upaya-
upaya regional untuk meningkatkan gaya hidup sehat penduduk ASEAN. Dalam
kesepakatan itu ditetapkan antara lain tentang visinya, yaitu bahwa pada tahun 2020
semua penduduk ASEAN akan menuju kehidupan yang sehat, sesuai dengan nilai,
kepercayaan dan budaya lingkungannya.

5. Pertemuan-pertemuan internasional atau regional lainnya, seperti: International


Conference on Tobacco and Health di Beijing, 1997; International Conference on
Working Together for better health di Cardiff, UK, 1998; dan masih banyak pertemuan
lainnya, misalnya tentang HIV/AIDS di Bangkok, Manila, dll; pertemuan tentang
kesehatan lingkungan di Nepal; pertemuan tentang Health Promotion di Bangkok, di
Melbourne, dll. Ini semua memperkuat jaringan dan semakin memantapkan langkah di
Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga banyak menerima kunjungan persahabatan dari negara-negara
sahabat, kebanyakan dari negara-negara yang sedang berkembang seperti dari Bangladesh, India,
Myarmar, Sri Langka, Maladewa (Maldives) dan beberapa negara di Afrika. Dalam kesempatan
diskusi di kelas maupun kunjungan lapangan, mereka juga sering memberi masukan dan
perbandingan tentang kegiatan promosi kesehatan.

Promosi kesehatan melalui berbagai media

Sebagaimana upaya promosi pada umumnya, Promosi kesehatan tidak dapat dipisahkan
dengan upaya untuk mempromosikan atau menjajagakan sesuatu yang berupa kesehatan.
Kesehatan memang sesuatu yang sebenarnya sangat diperlukan oleh masyarakat, tetapi
masyarakat belum banyak yang memandangnya sebagai prioritas. Maka benar sekali ungkapan
Dr. Mahler, Dirjen WHO pada sekitar tahun 1985-an bahwa: Health is not everything, but
without health everything else is nothing. Selain itu kesehatan juga merupakan karunia Tuhan
yang perlu disyukuri. Karenanya perlu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Oleh karena itu
seharusnya diperlukan promosi yang gencar untuk menjajakan kesehatan itu.
Upaya mempromosikan kesehatan itu antara lain dilakukan melalui berbagai media. Baik
media cetak, elektronik maupun media luar ruang. Dalam hal ini media diposisikan sebagai
sarana untuk membuat suasana yang kondusif terhadap perubahan perilaku yang positif terhadap
kesehatan. Dalam bahasa promosi kesehatan, upaya tersebut disebut dengan: bina suasana.
Melalui media cetak telah dikembangkan berbagai leaflet, brosur, poster, kalender, dan
lain-lain. Setiap tahun unit Promosi Kesehatan memproduksinya, terutama sebagai semacam
proto type agar dapat dikembangkan lebih lanjut oleh daerah atau unit yang lain yang

56
memerlukannya, sesuai dengan keadaan, masalah dan potensi setempat.Juga dikembangkan
Logo Indonesia Sehat yang dihasilkan melalui lomba. Dalam rangka memfasilitasi
penyelenggaraan promosi kesehatan di daerah, disusunlah berbagai panduan, seperti: Panduan
advokasi, panduan bina suasana, panduan pemberdayaan masyarakat dan panduan
pengembangan kemitraan.
Selain itu Pusat Promosi Kesehatan juga menerbitkan majalah: Interaksi yang terbit 3-4
kali setahun. Majalah itu merupakan forum untuk tukar menukar informasi, baik yang berkaitan
dengan ide/gagasan (disebut inter ide) , maupun hal-hal lain (melalui rubrik: inter nest, inter info,
inter fokus, inter kajian, inter program, inter studi, inter etika, inter iman, dll). Alamat email
redaksi majalah Interaksi adalah: interaksi@hotmail.com, atau promkes@depkes.go.id.
Kemudian juga ada majalah khusus GAKY, yang berkaitan dengan informasi tentang
Penanggulangan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium),
Selanjutnya melalui media luar ruang, dikembangkan prototype baliho, misalnya mengenai
Garam Yodium, Penanggulangan Masalah Rokok, dll. Beberapa pesan tentang masalah rokok
sampai sekarang masih terpampang di halaman parkir dan pintu masuk Dep-kes. Mobil jemputan
pegawai Depkes yang melewati jalan-jalan utama Jakarta juga pernah dipasangi pesan-pesan
kesehatan. Dan setiap Hari Kesehatan Nasional dan hari-hari tertentu lainnya, Pusat Promosi
Kesehatan bekrjasama dengan pihak-pihak lain juga menyelenggarakan pameran kesehatan.
Sedangkan melalui media elektronik, dilakukan promosi atau bina suasana melalui televisi,
radio, dll. Antara lain sinetron Kupu-kupu ungu (13 episode) dan beberapa film lepas yang sudah
disampaikan pada bab IV. Selanjutnya juga dilakukan penyampaian pesan melalui radio spot,
TV spot atau filler mengenai berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal
pada waktu itu adalah dengan judul: Jangan Lupa yang disampaikan oleh Butet Kertajaya
dengan kocaknya. Juga diproduksi filler tentang Penanggulangan GAKY, Ibu Hamil,
Napza/Narkoba, Gizi, Gaya Hidup Sehat, dll, serta khususnya tentang Pekan Imunisasi Nasional
yang dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan Mandra dengan sangat kocaknya.
Sebagaimana disampaikan pada bab IV, pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan
melalui media televisi itu beberapa cukup berhasil membina suasana dan mengajak masyarakat
untuk berbuat sesuatu. Namun beberapa juga ada yang kurang mendapat sambutan masyarakat.
Pada umumnya orang tahu bahwa tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal.
Sementara itu pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya penyebar luasan
informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus minusnya.
Selanjutnya juga diproduksi kaset dan VCD, berisi lagu, film atau pesan lainnya, yang
kemudian disebar luaskan ke daerah dan media. Dikembangkan pula pesan melalui internet,
dengan kode: www.promosikesehatan.com, dan untuk interaksi dapat digunakan email dengan
kode: pa@promosikesehatan.com.

Profil Promosi Kesehatan 2003

Promosi Kesehatan adalah upaya yang menekankan pada proses dengan tetap
memperhatikan hasil (the process as well as content). Beberapa hal yang dapat dicatat sebagai
profil promosi kesehatan, secara rinci dapat dilihat di buku : Profil Promosi Kesehatan 2003,
sedangkan secara garis besar adalah sebagai berikut:

57
1. Dalam upaya advokasi, telah dihasilkan beberapa keputusan yang menyangkut kebijakan
yang berkaitan dengan: social enforcement garam beryodium, kawasan tanpa rokok,
kabupaten/kota sehat, program langit biru, dll. Selain itu sekitar 20 provinsi juga telah
mengeluarkan Surat Keputusan atau Edaran yang berkaitan dengan PHBS, garam
yodium, penanggulangan AIDS, Kawasan Tanpa Rokok, dll.

2. Dalam upaya bina suasana atau pembentukan opini masyarakat untuk membudayakan
perilaku sehat telah dilakukan penyebaran informasi kesehatan, melalui media televisi,
radio, media cetak, pameran, media luar ruang lainnya, penyuluhan melalui mobil-mobil
unit penyuluhan dan penyuluhan melalui kelompok dan diskusi interaktif. Penyebaran
informasi kesehatan itu dilakukan baik di Pusat maupun Daerah, tentang berbagai topik,
masalah atau program kesehatan, seperti: GAKY, AIDS, Gaya Hidup Sehat, dll, termasuk
kampanye tentang penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi.

3. Dalam upaya pengembangan perilaku hidup sehat, 30 provinsi melaporkan telah


mengembangkan PHBS di berbagai tatanan: jumlah kumulatifnya sebanyak 7.5 juta lebih
di tatanan rumah tangga, 53 ribu lebih di tatanan sekolah (SD, SMP, SMU), 260 ribu
lebih di tempat kerja (kantor pemerintah, kantor swasta, pabrik), 26 ribu lebih di tatanan
tempat umum (terminal, pelabuhan, pasar), dan 5 ribu lebih di tatanan sarana kesehatan
(pemerintah dan swasta).

4. Dalam upaya peningkatan kemitraan untuk meningkatkan efektivitas dsan efisiensi upaya
promosi kesehatan, dilakukan berbagai kegiatan, seperti: reorientasi LSM termasuk di
provinsi, sosialisasi Indonesia Sehat ke partai politik, organisasi kemasyarakatan dan
wartawan, pertemuan-pertemuan lintas program dan lintas sektor, juga berbagai
pertemuan bersama LSM, Sektor Swasta, Organisasi Profesi, Ormas Kepemudaan,
Ormas Wanita, Ormas Keagamaan, dll.

5. Pengembangan SDM Promosi Kesehatan, baik bagi pengelola program maupun


pelaksana di lapangan, termasuk tokoh masyarakat dan kader. Dalam kaitan itu pada
tahun 2002 tercatat ada 54 tenaga promosi kesehatan di Pusat dan beberapa daerah
mengikuti pendidikan formal (D3, S1 dan S2). Sedangkan tenaga yang mengikuti
pelatihan tentang promkes dalam tahun 2002 itu tidak kurang dari 600 orang, berasal dari
Pusat dan sedikitnya dari 20 provinsi. Selain itu juga telah ditetapkan sebanyak 856 orang
tenaga jabatan profesional penyuluh kesehatan (98 orang ahli dan 758 orang terampil),
baik di Pusat maupun di daerah.

58
6.

Dalam upaya pengembangan metode dan teknik promosi kesehatan, antara lain
dihasilkan: Promosi kesehatan (Promkes) di kawasan pariwisata, Promkes di perusahaan,
Promkes dalam era desentralisasi, Promkes dalam pemberdayaan keluarga,
Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Promkes di pondok pesantren, Pengembangan
Kota Sehat, Pemanfaatan Dana Sosial dan Keagamaan untuk Kesehatan, dll.

Yang juga perlu disebutkan di sini adalah: Pengembangan Sistem Surveilans Perilaku
Beresiko Terpadu (yang dipandang sebagai surveilans generasi kedua, setelah surveilans
penyakit) dan Pengembangan Sistem Informasi PHBS di berbagai tatanan.

7. Pengembangan media dan sarana promkes, antara lain pengembangan studio mini dan
mobil unit penyuluhan di Pusat dan 5 provinsi proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi
beserta sarana kelengkapannya, serta berbagai prototype media di Pusat untuk kemudian
dikembangkan di daerah. Dikembangkan pula media interaksi baik melalui majalah tiga
bulanan maupun melalui internet.

8. Pengembangan infra struktur khususnya yang menyangkut organisasi dan kelembagaan,


serta penganggaran, hasilnya mengalami pasang surut. Demikian pula yang terjadi di
daerah, ada yang muncul dan ada yang terintegrasi dengan unit lain, sesuai dengan
potensi, keadaan dan perkembangan di daerah. Di beberapa daerah juga dibentuk Badan
Koordinasi Promosi Kesehatan Provinsi, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Jawa
Barat, DIY dan Lampung.

Selain itu dapat disampaikan bahwa pengembangan anggaran biaya untuk kegiatan
promosi kesehatan selama ini mengalami fluktuasi. Pada awal Repelita I sampai VI tersedia dana
melalui APBN termasuk bantuan luar negeri yang jumlahnya belum memadai. Namun
belakangan ini pada masa reformasi terjadi peningkatan anggaran yang cukup besar, baik yang
berasal dari APBN maupun APBD bagi daerah otonom.

Promosi Kesehatan Berjalan di tempat?

Pada era promosi kesehatan dalam kurun waktu 1995-2005 ini, nampaknya banyak yang
dilakukan, tetapi hasilnya perlu banyak diberi tanda tanya. Visi Indonesia Sehat belum bergema.
Paradigma Sehat baru di tataran konsep dan retorika. Kenyataan sehari-hari masih kental dengan
paradigma lama. Dalam pembangunan kesehatan, promosi Kesehatan belum memberikan
sumbangan nyata. Berbagai gerakan masyarakat yang telah dicanangkan Presiden, misalnya
Gerakan Jumat Bersih, tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa kesepakatan juga belum ditindak
lanjuti secara nyata. Forum jejaring dengan para mitra belum optimal perkembangannya. Tenaga
Promkes juga masih belum profesional sepenuhnya. Di daerah tenaga promkes banyak yang

59
harus mutasi secara terpaksa atau harus pindah posnya. Yang jelas: Masyarakat miskin belum
dapat dientaskan dari derita. Sedangkan masyarakat lainnya masih jauh dari budaya sehat, hidup
yang produktif dan sejahtera.
Apabila ditelaah, mengapa demikian? Banyak pakar menyoroti bahwa dalam kurun waktu
sekitar tahun 2000an itu bangsa kita kurang mempunyai spirit perjuangan. Kita banyak terpaku
dengan proyek dan anggaran. Ada juga pakar yang menyatakan bahwa sedikitnya 30 % anggaran
bocor di tengah jalan. Dari sekian banyak kegiatan hanya sedikit sekali yang benar-benar
langsung dan memberikan perhatian kepada rakyat kecil di lapangan. Dengan demikian
kepentingan masyarakat khususnya rakyat miskin banyak terabaikan. Keadaan seperti itu juga
berpengaruh pada kegiatan promosi kesehatan. Informasi sederhana yang seharusnya sangat
diperlukan rakyat agar dapat hidup sehat, kurang mereka dapatkan. Bimbingan lapangan
bagaimana agar dapat berperilaku sehat dan terhindar penyakit, kurang mereka rasakan. Banyak
masyarakat masih berkutat dengan berbagai faktor yang sangat mempengaruhi kesehatan, seperti
pendidikan, keamanan, dan lain-lain terutama kemiskinan.
Selain itu juga harus diakui bahwa promosi kesehatan masih kurang sigap dalam
menghadapi peluang dan kesempatan. Konsistensi kegiatan juga sering terabaikan. Prioritas
kegiatan juga sering tidak memperoleh kejelasan. Belum lagi etos kerja petugas yang masih perlu
terus menerus ditingkatkan. Dengan demikian banyak masalah yang belum terselesaikan dan
tantangan yang belum memperoleh jawaban.
Maka apakah promosi kesehatan hanya berjalan di tempat saja? Atau bahkan menurun
jalannya? Semoga saja tidak demikian kenytaannya. Karena kita semua telah berbuat! Konon
yang sangat penting adalah selalu usaha dan berbuat, atau proses itu! Tentang hasil, kita serahkan
kepada halayak dan Truhan! Yang penting lagi bahwa semuanya itu merupakan pembelajaran
untuk dapat ditarik makna dan hikmahnya. Paling tidak masih mempunyai impian, karena mimpi
itu juga merupakan harapan dan cita-cita. Kalau tidak mempunyai mimpi, sebagaimana
disampaikan di awal bab ini, jangan-jangan nanti kita tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan
tidak tahu akan menuju ke mana

Bab VI
DINAMIKA ORGANISASI PROMOSI KESEHATAN
Dari Bahagian Pendidikan Kesehatan sampai Pusat Promosi Kesehatan

Sesuatu yang benar (haq) tanpa terorganisasi dengan baik


akan dikalahkan oleh sesuatu yang tidak benar (batil)
yang terorganisasi secara baik
(Ali bin Abi Thalib)

Struktur vs Fungsi Organisasi

60
Topik organisasi mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk didalamnya pemahaman
visi, misi, struktur organisasi, dan tugas pokok serta fungsi organisasi itu sendiri. Kemudian dari
situ akan lahir kebutuhan terhadap kuantitas serta kualitas sumber daya manusianya.
Peran organisasi dalam perkembangan dan pertumbuhan sebuah profesi merupakan hal
yang sangat penting. Di alam dan semangat negara demokrasi, struktur organisasi yang ada,
bukan hanya merupakan cerminan dari visi dan misi yang ingin dicapai oleh profesi itu sendiri,
tetapi juga merupakan cerminan visi dan misi yang ingin diraih oleh bangsa itu secara
keseluruhan. Demikian juga peran pendidikan kesehatan di Indonesia, akan senantiasa
merupakan gambaran dari pemahaman dan kebutuhan bangsa Indonesia terhadap hal tersebut
dengan memperhatikan berbagai kendala yang dihadapinya. Sejarah perkembangan organisasi
pendidikan kesehatan di Indonesia telah membuktikan hal tersebut, melalui rangkaian naik
turunnya oganisasi, tumbuh kembangnya organisasi dilingkungan Departemen Kesehatan.
Disebutkan naik turunnya organisasi, karena memang dalam perkembangannya ada saat
dimana organisasi pendidikan kesehatan di Indonesia berada pada posisi cukup tinggi, tetapi
kemudian merosot turun kepada status tingkatan yang cukup rendah. Posisi cukup tinggi pernah
diraih oleh organisasi Pendidikan Kesehatan di Indonesia pada saat bangsa Indonesia baru
merebut dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Periode awal kemerdekaan
bangsa Indonesia merupakan masa transisi dalam berbagai aspek kehidupan, dan hal tersebut
tercermin dalam tatanan organisasi yang dikembangkannya.

Bahagian Pendidikan Kesehatan Yang Setara Eselon I?

Pada tahun 1950, ketika pemerintah Indonesia menyusun kabinetnya, terwujudlah gagasan
untuk membentuk Kementrian Kesehatan. Dorongan semangat kemerdekaan yang menggelora
dan keinginan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat makmur yang masih menggebu-gebu,
telah berhasil menuntun para pengambil keputusan pada waktu itu untuk mewujudkan organisasi
Bahagian Pendidikan Kesehatan untuk rakyat dilingkungan Kementrian Kesehatan. Makna yang
tersurat dan tersirat dari keputusan ini, adalah pemberian dan pengakuan status organisasi yang
tinggi telah diberikan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia itu kepada masalah pendidikan
kesehatan. Memang benar dapat dipahami pilihan tersebut, mengingat kondisi rakyat Indonesia
pada tahun 50an tersebut baik dalam aspek kesehatan maupun pendidikan masih sangat jauh
tertinggal jika dibandingkan dengan negara lainnya, apalagi jika harus mengacu kepada standar
derajat kesehatan yang baku.
Status organisasi Bahagian Pendidikan Kesehatan yang bertanggung jawab langsung
kepada Menteri Kesehatan tersebut, dapat dikatakan setara dengan jabatan eselon I pada tatanan
organisasi pemerintah Indonesia sekarang. Dalam kondisi negara dan pemerintahan yang normal,
dengan status yang demikian tinggi, sesungguhnya banyak hal yang dapat dilakukan untuk
pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan kesehatan bagi rakyat Indonesia. Namun karena
nuansa politik pada saat itu masih sangat dominan, seperti isu negara kesatuan versus federal,
masalah keamanan dan keutuhan negara, peralihan dari suasana administrasi pemerintahan
penjajahan kepada administrasi sebuah negara yang bebas dan merdeka, maka status tersebut
belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Disamping itu kendala tidak atau belum tersedianya
sumber daya, baik sumber daya manusia (kuantitas dan kualitas) maupun sumber daya biaya
mendorong rendahnya pemanfaatan status yang demikian tinggi tersebut terhadap organisasi

61
pendidikan kesehatan.
Namun demikian berkembangnya Pendidikan Kesehatan Rakyat dengan beberapa daerah
percontohan, antara lain di Lemah Abang, Bekasi, adalah produk pada masa ini. Pendidikan
Kesehatan juga diakui harus ada dan terintegrasi pada setiap program kesehatan. Keadaan ini
terus berkembang sampai sekitar tahun 1967,waktu ditetapkannya susunan organisasi Depkes
yang baru, dibawah Menteri G.A.Siwabessy.

Menjadi Bagian PKM Di Biro Pendidikan

Pada tahun 1967 Menteri Kesehatan Siwabessy, dengan Surat Keputusan No.
091/III/Ad.Um/67, menetapkan susunan organisasi Depkes yang baru. Dalam struktur
organisasi tersebut unit yang mengurusi Pendidikan Kesehatan Masyarakat (PKM) ditetapkan
sebagai salah satu bagian di bawah Biro V (Pendidikan), yang berada di bawah Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan. Bagian-bagian lain yang berada dalam Biro V itu antara lain
adalah: Bagian Pendidikan Institusi, Bagian Perrpustakaan, dll. Sebagai suatu bagian, maka
Bagian PKM tersebut setara dengan eselon III. Sebagai kepala bagian PKM ditetapkan Drs.
Koento Hidayat, sedangkan sebagai kepala biro V adalah: Dr. Wiryawan Djoyosugito, MPH.
Status organisasi yang setara dengan eselon III di lingkungan Sekretariat Jenderal
Departemen Kesehatan tersebut memberikan implikasi dua hal penting. Pertama bahwa unit
pendidikan kesehatan merupakan unit kerja yang memiliki kewenangan dan ruang lingkup kerja
yang lebih terbatas. Kedua, unit tersebut tidak memiliki akses untuk menyelenggarakan kegiatan
operasional pendidikan kesehatan termasuk pembinaan kedaerah atau lapangan.

Berbagai Gagasan Pembaruan

Dalam sejarah perkembangan organisasi pendidikan kesehatan di Indonesia, posisi yang


setara dengan eselon III di lingkungan Departemen Kesehatan tersebut, merupakan posisi paling
rendah dari berbagai posisi organisasi yang pernah ada. Namun justru dari posisi organisasi
seperti itu, telah lahir berbagai gagasan dan produk monumental yang merupakan bagian penting
dari sejarah perkembangan pendidikan kesehatan di Indonesia. Paling tidak unit tersebut tentu
telah memberikan sumbangan pemikiran dan/atau merupakan wadah penggodokan kegiatan
operasional dari gagasan yang dikembangkan waktu itu.
Berkantor di kawasan Hang Jebat IV, Kebayoran Baru (kini menjadi kantor Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Kesehatan), Bagian PKM, sebagai salah satu
Bagian yang berada di bawah bimbingan dan pembinaan Biro V, melakukan tugas dan
fungsinya, untuk mengembangkan pendidikan kesehatan di Indonesia. Dari sinilah kemudian
lahir beberapa hal penting seperti:

Pengembangan Sumber Daya Manusia PKM, yang pada saat itu dirasakan sebagai
kebutuhan mendesak, yaitu dengan pembentukan sebuah proyek yang dikenal dengan
nama Health Education Manpower Development Project, atau Proyek Pengembangan
Tenaga Pendidik Kesehatan Masyarakat. Bagian PKM pada khususnya dan Biro V serta

62
unit lain terkait melakukan kerjasama dengan kelompok ahli dari luar negeri melakukan
rekruitmen ketenagaan yang berasal dari berbagai disiplin kesarjanaan, baik kedokteran
dan sosial. Sebagai pimpinan proyek ditunjuk Dr.Soeharto Wiryowidagdo MPH. Setelah
melalui tahap pendidikan di dalam dan luar negeri, kelompok inilah yang kemudian
disebarluaskan pada berbagai tatanan organisasi dilingkungan Departemen Kesehatan,
Dinas Kesehatan Propinsi dan Institusi Pendidikan. Sebagian besar dari kelompok yang
ditempatkan dilingkungan Departemen Kesehatan berada di kantor Direktorat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (Dit.PKM), dan Pusat Pendidikan dan Latihan
(Pusdiklat). Hanya beberapa orang saja yang ditempatkan pada institusi pendidikan.

Sulitkah berbahasa Inggris ?

Salah satu persyaratan untuk dapat mengikuti pendidikan Health Education


Specialist di Amerika Serikat, adalah harus lulus ujian TOEFL dengan nilai
terendah 500. Untuk mencapai score 500, bukanlah pekerjaan yang mudah,
sehingga karenanya setiap siswa HES diwajibkan mengikuti kursus bhs.Inggris di
Lembaga Indonesia Amerika setiap hari. Menyadari bahwa bukan hanya
kemampuan reading, dan writing saja yang harus dikuasai, tetapi juga
kemampuan conversationpun harus dikuasai, maka salah satu sessi dari kursus
adalah belajar cara pengucapan yang benar.
Konon terjadilah dialog dalam salah satu ruang kelas, antara siswa HES dengan
dosen bhs.Inggris. Kata dosen Please repeat after me. Are you copying the
lesson? Dengan serta merta siswa HES tersebut mengucapkan Are you
kambing ?. Sang dosen merasa kaget plus heran dan kemudian mengulangi lagi
pertanyaan yang sama. Ajaibnya si siswa masih mengucapkan kalimat yang sama
yaitu Are you kambing ?. Tentu saja seluruh kelas merasa lucu dan tertawa. Baru
pada pertanyaan ulangan yang ketiga sang siswa berhasil mengucapkan Are you
copying the lesson. Luluslah dia. Tentu saja kemudian sang siswa setelah lulus
dari Perguruan Tinggi di Amerika Serikat menjadi salah seorang pejabat
dilingkungan Departemen Kesehatan.

Dalam rangka pengembangan metodologi, khusus dalam rangka pemberdayaan


masyarakat dikembangkan beberapa pola pendekatan seperti Bekasi model, Bandung
Plan, dll. Secara konsep, kedua model tersebut menjadi cikal bakal pengembangan dari
berbagai model pengembangan untuk pemberdayaan masyarakat seperti Daerah Kerja
Intensif (DKI), Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), Kelompok
Penimbangan (Pokbang), Pos Kesehatan (Poskes), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu),
Pos Obat Desa, Dana Sehat dan beberapa Pos lainnya yang dikembangkan oleh program
kesehatan, serta yang terakhir Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat. Nampak
dengan jelas alur benang merah filsafat pemberdayaan masyarakat pada berbagai nama
wadah tersebut diatas, yaitu wujud nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan
kesehatan. Kebutuhan akan upaya pemberdayaan masyarakat sebagai bagian penting dari
strategi untuk mewujudkan Indonesia Sehat menjadi issue sentral dari perkembangan
pendidikan kesehatan di Indonesia.

63
Dari Direktorat Menjadi Pusat, Kembali Direktorat Dan Pusat Lagi

Setelah selama sekitar 8 tahun menjadi Bagian, pada tahun 1975 berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 125 Tahun 1975, Bagian PKM Biro V Pendidikan Depkes tersebut
berkembang menjadi Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM) pada Direktorat
Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Binkesmas). Diangkat sebagai Kepala Direktorat
adalah Dr. Pudjiastuti Pranjoto, MPH, yang memperoleh pendidikan tentang Health Education di
University of Berkeley, USA. Salah satu Kepala Subditnya adalah Dr. I.B. Mantra, MSc., yang
setelah selesai dari kegiatan Work Experience di Bandung (beliau sebagai salah seorang
supervisornya), beliau belajar di Harvard University, USA. Pada masa inilah pemantapan
pendidikan Health Education Specialist baik di dalam maupun di luar negeri, pengembangan
tenaga Wakil Koordinator (Wator) di tingkat kabupaten, serta diperkenalkannya daerah
percontohan PKM yang disebut Daerah Kerja Intensif (DKI) PKM.
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984, unit
Direktorat PKM Ditjen Binkesmas tersebut berubah menjadi Pusat PKM di bawah Sekretariat
Jenderal. Sebagian tugas pokok Direktorat PKM tersebut ditambah dengan beberapa tugas lain
menjadi Direktorat baru yaitu Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (BPSM) yang tetap berada
di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sementara itu di bawah Ditjen Binkesmas juga ada Direktorat
Bina Puskesmas, yang kemudian menjadi motor pengembangan kegiatan Pembangunan
Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Kepala Pusat PKM adalah Dr. I.B. Mantra, MSc, dan
Kepala Direktorat BPSM adalah Dr. Sonya Roesma, SKM, sedangkan Kepala Direktorat Bina
Puskesmas adalah Dr. Soeharto Wiryowidagdo, MPH. Pada periode inlah Pusat PKM
mengembangkan dan memproduksi berbagai media, a.l. serial sinetron Dr. Sartika melalui TVRI
(satu-satunya saluran TV waktu itu), yang mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.
Selanjutnya pada tahun 2000, diadakan reorganisasi Depkes. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 130 Tahun 2000, unit Pusat PKM berubah lagi menjadi Direktorat
Promosi Kesehatan pada Ditjen Binkesmas. Direkturnya adalah Drs. Dachroni, MPH, yang
sebelumnya telah menjadi Kepala Pusat PKM sejak 1994, menggantikan Dr. I.B. Mantra yang
memasuki usia pensiun. Pada masa inilah diperkenalkan Pengembangan PHBS (Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat) sebagai cikal bakal Promosi Kesehatan, yang kemudian menjadi nomenklatur
PKM di lingkungan Depkes. Pada masa ini pula diselenggarakan Konferensi Internasional
Promosi Kesehatan ke-4, yang menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang menjadin acuan kegiatan
promosi kesehatan di dunia. Sesuai dengan KepMenkes tersebut, Direktorat BPSM dilikuidasi.
Salah satu subditnya masuk di Direktorat Promosi kesehatan, sedangkan subdit lainnya ada yang
bergabung dengan Direktorat baru yaitu Dit. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM), Dit. Kesehatan Tradisonal, dll.
Satu hal yang menjadi catatan sejarah adalah bahwa pada tahun 2001 pada era Presiden
Abdurrahman Wahid, Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial digabung menjadi satu
Departemen, yaitu Departemen Kesehatan dan Sosial RI. Konsekwensinya adalah bahwa unit-
unit di kedua departemen tersebut juga disatukan, salah satunya adalah Direktorat Promosi
Kesehatan Depkes dan Pusat Penyuluhan Sosial Depsos. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan dan Sosial RI Nomor 446 Tahun 2001, unit tersebut ditetapkan menjadi Direktorat
Promosi Kesehatan dan Penyuluhan Sosial di bawah Ditjen Pemberdayaan Sosial RI. Surat

64
Keputusan sudah ditandatangani, dan telah ditetapkan Drs. Dachroni, MPH sebagai direkturnya,
tinggal menunggu saat pelantikannya saja. Struktur organisasi ini tidak pernah diberlakukan,
karena sebelum pelantikan telah terjadi pergantian pemerintahyan dari Presiden Abdurrahman
Wahid kepada Presiden Megawati Soekarnoputeri, yang kembali memisahkan Depk. Kesehatan
dan Dep. Sosial RI.
Akhirnya melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1227 Tahun 2001, Direktorat
Promosi Kesehatan berubah status menjadi Pusat Promosi Kesehatan di bawah Sekretariat
Jenderal. Sudit Peran Serta Masyarakat terpisah dari Pusat Promosi Kesehatan, bergabung
dengan Direktorat baru, menjadi Direktorat Kesehatan Komunitas, di bawah Ditjen Binkesmas.
Dit JPKM tetap ada, juga di bawah Ditjen Binkesmas. Sebagai Kepala Pusat ditetapkan Drs.
Dachroni, MPH, dan waktu ia pensiun pada tahun 2004, ia digantikan oleh Bambang Hartono,
SKM, MSc.

Direktorat BPSM, JPKM dan Kesehatan Komunitas

Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pada sekitar tahun 1985 berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984 dibentuk organisasi baru antara lain Direktorat Bina
Peran Serta Masyarakat (BPSM) di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sebagai sebuah organisasi
baru yang ditugaskan untuk mengelola dan mengembangkan peran serta masyarakat, Di.Bina
PSM memiliki sub.dit Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) yang sebelumnya
berada pada Direktorat Bina Puskesmas. Sub.dit ini memiliki seksi PKMD dan PKMD Perkotaan
(PKMD/K). Sub.dit inilah yang kemudian bersama unit kerja terkait lainnya mengembangkan
Posyandu. Secara kelembagaan sub.dit PKMD bertanggung jawab untuk melakukan berbagai
upaya pembinaan dan pengembangan Posyandu, dan secara teknis memperoleh bantuan
kerjasama yang erat dari unit organisasi terkait, seperti Gizi, Imunisasi, Diare, KIA bahkan
BKKBN.
Periode ini merupakan salah satu periode penting dalam perkembangan organisasi
pendidikan kesehatan, karena selain pada tingkat Pusat ada Pusat PKM dan Direktorat BPSM,
pada tingkat propinsi terdapat Seksi PSM yang ada di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
(Kanwil Dep.Kes), dan Sub.Dinas PKM pada Dinas Kesehatan Propinsi. Sementara itu pada
tingkat kabupaten cerminan serupa diatas juga masih tercerminkan, karena di kabupaten masih
ada Kantor Departemen Kesehatan ( Kandep.Kesehatan), dan Dinas Kesehatan Kabupaten.
Yang menarik dari Dit.Bina PSM ini pada waktu itu sudah mulai melakukan upaya rintisan
untuk mengantisipasi masalah pembiayaan kesehatan yang pada era tahun 2000 malah menjadi
topik nasional dari pembangunan kesehatan, yaitu dengan munculnya seksi Dana Sehat
walaupun strukturnya masih merupakan sebuah seksi saja. Ternyata dalam perkembangan lebih
lanjut, masalah pembiayaan kesehatan telah ditetapkan oleh para pengambil keputusan di
Departemen Kesehatan sebagai bagian terpenting dari sekian banyak topik dan masalah peran
serta masyarakat.
Hal ini menjadi latar belakang kebijakan penting dari lahirnya Direktorat Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (Dit.JPKM), sebagai pengembangan lebih lanjut dari Dit.Bina PSM dan
masih tetap berada dilingkungan Dit.Jen Binkesmas. Maka lahirlah Dit.JPKM, dan sirnalah
Dit.BPSM atau dengan kata lain berakhirlah periode peran serta masyarakat dalam bentuk
kegiatan Posyandu, digantikan oleh program JPKM yang melahirkan Badan Penyelenggara

65
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat ( Bapel JPKM). Berbeda dengan Posyandu yang
ada ditingkat akar rumput yaitu desa, maka Bapel JPKM berada diibukota Kabupaten.
Praktis dengan lahirnya program JPKM sebagai primadona peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan, maka sirnalah era Posyandu yang konon pada masa puncaknya pernah
melahirkan tidak kurang dari 240.000 buah Posyandu sebagai bentuk peran aktif masyarakat.
Dan untuk tidak memberikan kesan seolah peran serta masyarakat kurang penting, maka
berbagai hal yang terkait dengan hal tersebut akan dikelola oleh sebuah unit organisasi setingkat
sub.dit, yaitu sub.dit Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).
Selanjutnya pada reorganisasi Depkes tahun 2000 muncul Direktorat Kesehatan
Komunitas, di bawah Ditjen Binkesmas. Direktorat ini mempunyai beberapa sub direktorat
antara lain UKBM dan PKMD Perkotaan. Dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat
sepertinya menjadi urusan Direktorat baru ini. Sementara itu Direktorat JPKM masih tetap
bertahan, yang juga berada di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sedangkan Pusat Promosi
Kesehatan yang berada di lingkungan Sekretariat Jenderal mengurusi bidang metode, teknik dan
sarana promosi serta kemitraan dan peran serta masyarakat.

Unit PKM/Promosi Kesehatan di Daerah

Keberadaan unit PKM dalam organisasi kesehatan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
sebenarnya sudah ada sejak dicanangkannya pembangunan nasional melalui Repelita I tahun
1969. Pada beberapa provinsi yang relatif maju, unit PKM sudah dibentuk sejak tahun 1967
setelah pemberlakuan struktur organisasi Depkes tahun 1967. Pada waktu itu kegiatan-
kegiatannya masih terbatas pada dukungan terhadap upaya penenggulangan beberapa penyakit
menular di daerah tersebut dengan metoda dan sarana yang masih sangat terbatas. Tersedianya
dana melalui APBN yang kemudian dituangkan dalam bentuk proyek di daerah, ternyata
memberikan dukungan sangat berarti bagi kegiatan PKM di daerah. Hal ini semakin meningkat
dan memperoleh momentum setelah pada sebagian besar provinsi ditempatkan tenaga spesialis
Penyuluh Kesehatan (HES).
Pada mulanya PKM berupa unit yang pada sebagian daerah berdiri sendiri atau menjadi
bagian dari Direktorat Daerah yang merupakan cerminan dari struktur yang berlaku di tingkat
Nasional. Kemudian sesuai dengan kewenangan otonomi daerah yang dimiliki oleh provinsi dan
semakin dipahaminya arti penting PKM, maka status PKM menjadi Direktorat Daerah (eselon
III) dalam struktur organisasi Inspektur / Dinas Kesehatan Provinsi. Ini terjadi sekitar tahun
1979-an, dan ini juga tercermin pada struktur organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten, yang
menempatkan unit PKM pada seksi (eselon IV). Tenaga pengelola PKM di kabupaten pada
waktu itu pada umumnya adalah tenaga perawat atau sanitarian zdengan ketrampilan PKM yang
terbatas.
Pada waktu itu belum ada tenaga PKM di front terdepan yaitu Puskesmas. Itu karena
dianut prinsip bahwa penyuluhan kesehatan adalah bagian yang terintegrasi dengan semua
program di Puskesmas, dan penyuluhan kesehatan dapat dilakukan oleh siapa saja di Puskesmas.
Akibatnya, kegiatan PKM menjadi tidak terarah dan dijalankan secara sambil lalu saja.
Dengan pembentukan Kantor Wilayah pada tahun 1985, sebagian tugas PKM yaitu
pengembangan masyarakat dialihkan dan ditangani oleh Kantor Wilayah, yaitu oleh seksi Peran
Serta Masyarakat. Sedangkan sebagian yang lain masih tetap berada di Dinas Kesehatan dan

66
dikelola oleh Sub Dinas Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Hal ini juga tercermin di
kabupaten/kota, yang tercermin dalam organisasi Kandep dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pada waktu itu memang sering terjadi rivalitas antara kedua unit yang sama-sama mengurusi
penyuluhan/pemberdayaan masyarakat itu. Rivalitas itu ada yang berkembang positif dengan
kerjasama yang baik, tetapi ada juga yang kurang berjalan baik.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah secara penuh pada tahun 2001 melalui UU No.
22 Tahun 1999, maka kewenangan pembentukan organisasi daerah sepenuhnya berada dalam
tangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Hal itu juga berimbas pada struktur organisasi
dinas kesehatan, termasuk unit promosi kesehatan. Struktur organisasi promosi kesehatan
menjadi sangat bervariasi. Ada daerah yang menempatkannya dalam sub dinas tersendiri, ada
yang menjadi seksi/bagian dari subdinas lain, dan ada juga yang hanya menjadi program tanpa
eselon. Bahkan ada pula yang hilang sama sekali dari peredaran. Hal ini tentunya menjadi bahan
renungan dan pemikiran untuk dicarikan solusinya yang terbaik.

Beberapa Wacana (Issues) Dalam Organisasi Pendidikan/Promosi Kesehatan

Dalam perkembangan organisasi pendidikan kesehatan, muncul issu yang kemudian


memberikan warna dan mempengaruhi pertumbuhan organisasi. Beberapa issu tersebut antara
lain adalah:

Posisi organisasi pendidikan kesehatan dalam organisasi Departemen Kesehatan

Untuk menjawab pertanyaan ini, tersedia dua alternatif jawaban yaitu organisasi
pendidikan kesehatan berada para unit organisasi operasional seperti Direktorat Jendral
atau berada pada unit organisasi penunjang seperti Sekretariat Jendral.
Ternyata dalam perkembangan organisasi pendidikan kesehatan, kedua jawaban tersebut
pernah dialami. Pendidikan Kesehatan pernah berada pada unit penunjang seperti Bagian
PKM, pada Biro V di lingkungan Sekretariat Jendral. Juga pernah sebagai Pusat
Penyuluhan Kesehatan, juga secara admkinistratif di bawah Sekretariat Jenderal. Hal
tersebut memberikan keuntungan bahwa pendidikan kesehatan memiliki akses luas untuk
masuk kesemua program. Namun demikian karena berada pada unit penunjang, maka
organisasi pendidikan kesehatan tidak memiliki akses untuk operasional karena lebih
berperan pada aspek pembinaan dan pengembangan semata.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pendidikan kesehatan pernah berada pada unit kerja
operasional, yaitu sebagai Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat di lingkungan
Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Binkesmas). Juga sebagai
Direktorat Promosi Kesehatan pada Ditjen yang sama.
Berada pada posisi ini unit tersebut mempunyai akses pembinaan operasional di
lapangan, tetapi memberikan kesan seolah organisasi pendidikan kesehatan hanya
dimiliki dan hanya melayani program yang berada dilngkungan Direktorat Jendral itu
saja. Sudah barang tentu kesan tersebut tidak benar, namun posisi ini secara lambat

67
menyebabkan popularitas pendidikan kesehatan dilingkungan Direktorat Jendral lain
kurang dikenal.

Unit pendidikan kesehatan di setiap unit kerja Departemen Kesehatan?

Adalah benar bahwa pelayanan pendidikan kesehatan diperlukan oleh seluruh program di
lingkungan Departemen Kesehatan. Tetapi apakah keberadaan unit pendidikan kesehatan
harus ada pada setiap unit organisasi dilingkungan Departemen Kesehatan? Pertanyaan
itu kemudian selalu menjadi perdebatan dalam rangka menata organisasi dilingkungan
Departmen Kesehatan. Issu ini berkembang dari pemikiran bahwa Health Education
itself is nothing, health education with program is something, heath education with
program and people is everything
Selamat jalan PKM?

Ketika pertama kali organisasi pendidikan kesehatan muncul di lingkungan Departemen


Kesehatan, namanya adalah Pendidikan Kesehatan. Selanjutnya dalam perkembangan
sejarah, istilah pendidikan kesehatan di lingkungan Departemen Kesehatan dihentikan,
dan kemudian muncul Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Nama Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat yang sering disingkat menjadi P.K.M.ini bertahan cukup lama, dan cukup
populer di lingkungan Dep.Kesehatan maupun Dinas Kesehatan baik propinsi maupun
kabupaten. Istilah PKM seolah sudah melekat menjadi trade mark tersendiri untuk
singkatan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat..
Sayang sekali singkatan ini tidak pernah dipatenkan sebagai milik Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat, sehingga ketika belakangan muncul pengertain lain terhadap
PKM, yah tidak bisa protes. Seperti diketahui sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa
di llingkungan Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota, istilah Puskesmas yang
sebenarnya sudah merupakan singkatan sering disingkat lagi menjadi PKM. Dari kaidah
bahasa, Puskesmas menjadi PKM sebenarnya tidak tepat, tetapi mereka merujuk kepada
program AMD yang konon merupakan singkatan ABRI Masuk Desa. Kini nama PKM
tinggal sejarah dan kenangan, karena konon penyuluhanpun sudah berubah menjadi
Promosi Kesehatan.

Issu ini yang menjadi dasar pemikiran mengapa pada awalnya unit organisasi pendidikan
kesehatan berada pada Biro V, di lingkungan Sekretariat Jendral, bukan berada di
lingkungan Direktorat Jendral yang memberikan layanan langsung kepada masyarakat.
Berada di lingkungan Sekretariat Jendral memberikan kesempatan kepada Bagian 4
Pendidikan Kesehatan untuk memberikan layanan secara lebih luas, artinya kepada
semua unit organisasi yang berada pada berbagai Direktorat Jendral, dilingkungan
Departemen Kesehatan. Diharapkan dengan hanya ada satu unit organisasi pendidikan
kesehatan, pengembangan dan pelayanan yang diberikan kepada seluruh program akan
relatif lebih mudah. Berbeda dengan unit organisasi lain yang juga berada pada
lingkungan Sekretariat Jendral seperti Biro Kepegawaian, ternyata keberadaan unit
organisasi kepegawaian tersebut muncul dan diperkuat juga oleh unit organisasi
kepegawaian pada tiap Direktorat Jendral. Sementara itu organisasi pendidikan kesehatan

68
hanya berada pada lingkungan Sekretariat Jendral saja.
Walaupun demikian, unit organisasi pendidikan kesehatan secara konsep tetap dituntut
untuk memberikan pelayanan kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Departemen
Kesehatan. Ternyata dalam jangka panjang, hal ini menjadi kendala yang mengakibatkan
tidak optimalnya pelayanan pendidikan kesehatan untuk seluruh program, dan lebih jauh
memberikan kesan seolah tanpa unit organisasi pendidikan kesehatanpun kebutuhan
terhadap layanan pendidikan kesehatan dapat dipenuhi.
Pada sisi lain, penerapan prinsip ini mengandung resiko yang menyangkut pendanaan
yang memang selalu sangat terbatas jumlahnya. Dengan hanya berada di lingkungan
Sekretariat Jendral saja dan itupun hanya merupakan satu dari lima bagian yang ada,
praktis perolehan alokasi anggaran sangat terbatas. Pada perkembangan selanjutnya, pada
waktu menjadi Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, ada 4 bidang, yang salah satu
bidangnya menguryusi penyuluhan program kesehatan. Bidang tersebut mempunyai
empat sub bidang, yang masing-masing mengurusi program-program yang ada di unit
kerja utama Depkes, yaitu di empat direktorat jenderal. Dengan adanya bidang khusus
tersebut diharapkan kerjasama antara unit PKM dengan unit program berjalan baik. Pada
kenyataannya beberapa program dapat berjalan lancar, tetapi ada juga beberapa program
yang jalannya tersendat.

Apakah kiprah pendidikan kesehatan cukup ditampung hanya melalui satu organisasi
saja di lingkungan Departemen Kesehatan ?

Kesadaran yang semakin meningkat akan peran dan perlunya pendidikan kesehatan untuk
setiap program kesehatan ternyata telah menyebabkan semakin sempitnya wadah
Direktorat penyuluhan Kesehatan Masyarakat yang berada dibawah Direktorat Jendral
Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Kebutuhan tersebut dirasakan secara merata oleh unit
organisasi terutama di lingkungan Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
Merasa bahwa Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat belum dapat menampung
aspirasi yang diperlukan, Direktorat Bina Gizi Masyarakat salah satu Direktorat
dilingkungan Dit.jen Binkesmas melangkah sendiri dengan mengembangkan program
pemberdayaan masyarakat, melalui pengembangan Kelompok Penimbangan (Pokbang)
pada banyak desa dengan dukungan penuh UNICEF. Bersamaan dengan itu Dit.Gizi juga
banyak mengembangkan berbagai media penyuluhan untuk keperluan pengembangan
Pokbang.
Merasa bahwa gagasan dan hasrat Direktorat Bina Gizi Masyarakat belum sepenuhnya
tersalurkan, dalam perkembangannya kemudian dibentuk sebuah unit organisasi yang
disebut sebagai Nutrition Education dengan bantuan Bank Dunia. Yang menarik dari unit
Nutrition Education ini adalah posisinya secara organisasi berada di lingkungan
Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Dr.I.B. Mantra MPH yang pada saat itu
sebagai Ka subdit Metoda dan Teknik pada Dit.PKM ditunjuk sebagai Direktur Nutrition
Education walaupun memang lokasi kegiatannya baru pada beberapa propinsi saja,
seperti Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta.
Sementara itu pada saat yang sama, Direktorat Bina Puskesmas merasakan keperluan
yang amat mendesak untuk pemberdayaan masyarakat. Direktorat ini melalui salah satu

69
subditnya yang bernama subdit Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD)
kemudian mengembangkan desa PKMD yang mengidentifikasikan dirinya sebagai
bentuk operasional Primary Health Care (PHC) di Indonesia, dan mendapat dukungan
dana dari WHO.
Dengan demikian pada tatanan desa sudah ada Pokbang, Desa PKMD, bahkan Daerah
Kerja Intensif sebagai desa yang dibina oleh Direktorat PKM pada waktu itu. Ini
menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap partisipasi aktif masyarakat dalam setiap
program kesehatan sudah sangat mendesak, dan itu tidak dapat dipenuhi hanya melalui
wadah Dit.PKM semata-mata.
Pada reorganisasi di lingkungan Departemen Kesehatan yang terjadi pada tahun 1985,
muncullah wadah organisasi yang khusus menangani masalah peran serta masyarakat,
yaitu Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (Bit.BPSM) di lingkungan Dit.Jen
Binkesmas, dengan Kepala Direktorat yang pertama : Dr.Sonya Roesma SKM.

Unit Promosi Kesehatan menjadi Eselon I?

Kiranya perlu pula dimunculkan issu atau wacana tentang perlunya unit Promosi
Kesehatan menjadi eselon I. Mengapa tidak? Dilihat dari berbagai pertimbangan, kiranya cukup
pantas untuk menjadikan Promosi Kesehatan sebagai eselon I, yang langsung berada di bawah
Menteri.
Pertama apabila dilihat dari upaya kesehatan sendiri. Upaya kesehatan terdiri dari upaya
promotive, preventive, curative dan rehabilitative. Atau upaya peningkiatan, pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan. Semua sepakat bahwa keempat upaya tersebut perlu dilakukan
secara komprehensive, dan semua juga sepakat bahwa Promotive or preventive is better than
cure. Selain itu juga semua sepakat bahwa upaya promotif lebih cost efective dibandingkan
dengan upaya lainnya. Jadi adalah wajar apabila untuk upaya promotif ini diberikan perhatian
saksama dengan pemikiran serta sumber daya yang lebih memadai, dengan menempatkannya
sebagai unit eselon I.
Kemudian apabila dilihat dari tujuan pembangunan kesehatan, fokusnya adalah pada
peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Dengan kata
lain tujuannya berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Dengan pemberdayaan masyarakat ini,
masyarakat akan menjadi subyek, menjadi pelaku, yang akan berperan aktif dalam pembangunan
kesehatan. Dengan demikian program kesehatan akan berjalan secara lebih cepat, karena
mendapatkan energi berlimpah yaitu masyarakat itu sendiri. Ini juga sejalan dengan SKN baru
(2004) yang menetapkan adanya enam sub sistem, salah satunya adalah Sub Sistem
Pemberdayaan Masyarakat, yang merupakan bidang garapan promosi kesehatan. Untuk
memberdayakan masyarakat itu tidak mudah, diperlukan segenap pemikiran dan sumber daya.
Unit yang memikirkan upaya ini, seharusnyalah perlu ditingkatkan menjadi eselon I, langsung di
bawah Menkes. Dalam hal ini sudah ada contoh di Departemen lain yang menempatkan unit
penyuluhan berstatus eselon I yaitu di Departemen Pertanian, yang bernama Badan Penyuluhan
Pertanian
Kemudian apabila urusan Departemen ini kita bandingkan dengan urusan di dunia usaha,
maka bidang promosi ini biasanya menempati posisi yang sangat penting, disamping bidang
produksi dan umum/keuangan. Bahkan seringkali direktur bidang promosi menerima gaji yang
lebih baik daripada direktur lainnya, hanya sedikit di bawah direktur utama. Bidang promosi di
berbagai unit usaha (swasta atau BUMN) seringkali juga mendapatkan perhatian istimewa,

70
dengan sumber daya yang istimewa pula.

Demikianlah, promosi kesehatan yang perlu melakukan advokasi, bina suasana dan
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan itu memang layak menjadi eselon I di
Departemen Kesehatan. Kata-kata mutiara yang dikutip di awal bab ini telah mengingatkan
bahwa apabila hal-hal yang baik seperti promosi kesehatan ini tidak terorganisasi secara mantap,
akan dikalahkan dan tenggelam oleh hal yang buruk yang terorganisasi secara baik (misalnya
kampanye rokok yang sangat gencar).

Bab VII
PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT DI PERGURUAN TINGGI

Carilah ilmu mulai dari buaian


sampai ke pembaringan
(Kata orang bijak)

Pendirian FKM-UI

Cerita tentang Pendidikan Kesehatan Masyarakat (PKM) di Perguruan Tinggi tidak lepas
dari cerita tentang Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) dan Fakultas Kedokteran (FK). Di
Perguruan Tinggi, materi Pendidikan Kesehatan (Health Education, selanjutnya disingkat HE)
sudah diberikan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) dalam perkuliahan ilmu kesehatan
masyarakat sebelum ada Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Melihat kenyataan lapangan,
dipandang perlu penambahan ilmu dan pengalaman khusus dalam bidang kesehatan masyarakat,
termasuk ilmu dan pengalaman dalam pendidikan kesehatan masyarakat (health education).
Pada era 1960-an itu, yang ada baru Fakultas Kedokteran di beberapa kota besar di
Indonesia sedangkan FKM belum ada. Sementara itu Fakultas Kedokteran hanya menghasilkan
tenaga-tenaga ahli atau spesialis bidang Kedokteran Klinik. Pada masa itu, tenaga-tenaga ahli
kesehatan masyarakat pada umumnya lulusan luar negeri yang jumlahnya sangat sedikit.
Dirasakan benar kekurangan jumlah tenaga ahli kesehatan masyarakat untuk dapat menangani
masalah-masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Sedangkan dari aspek pembiayaan, pendidikan ke luar negeri dirasakan sebagai beban sangat
berat bagi pemerintah Indonesia.
Dalam kaitan itu Dokter Mochtar, Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu
Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia (FKUI) mengajukan gagasan
mendirikan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Namun sebelum gagasannya terwujud beliau gugur
dalam kecelakaan pesawat terbang pada tanggal 24 Januari 1961. Pada tahun yang sama
penerusnya Dokter Sajono Sumodidjojo, mengambil langkah untuk mewujudkan gagasan
tersebut. Beliau mengajukan usulan proyek kepada Rektor Universitas Indonesia, Dekan FKUI
dan Perwakilan WHO di Indonesia. Selanjutnya, pada akhir tahun 1964 karena desakan
kebutuhan yang besar, maka Dokter Sajono mengirim surat kepada Rektor Univesitas Indonesia
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan bahwa FKM harus segera didirikan.

71
Dengan Surat keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 26 tahun
1965 tanggal 26 Februari 1965 diputuskan bahwa Fakultas Kesehatan Masyarakat dibentuk di
bawah naungan Universitas Indonesia. Pada tanggal 13 Maret 1965 Panitia Persiapan
Pembentukan FKMUI terbentuk yang anggotanya terdiri dari wakuil-wakil FKUI, Departemen
Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Tenaga Kerja.
Selanjutnya terbit Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan No.
153/1965 yang memperbaiki SK yang terdahulu nomor 26 tahun 1965 yang menetapkan tanggal
berdirinya FKMUI yaitu 1 Juli 1965.
Sedangkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
:5581SEKRET/BUP/65 memutuskan dan menunjuk Dokter Sajono Sumodidjojo sebagai Dekan,
Dokter Drajat D. Prawiranegara sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademis, Dokter I Made
Bagiastra sebagai Pembantu Dekan Bidang administrasi dan Keuangan dan Dokter T.
Karimuddin sebagai Pembantu Dekan Bidang Mahasiswa dan Alumni.
Tujuan pembentukan FKMUI pada saat itu adalah : (1) Menghasilkan tenaga kesehatan
yang terlatih dalam bidang kesehatan masyarakat untuk pelayanan kesehatan. (2) Menghasilkan
tenaga kesehatan yang terlatih dalam bidang kesehatan masyarakat untuk perguruan tinggi. (3)
Memberikan pendidikan keahlian dalam bidang kesehatan masyarakat bagi lulusan perguruan
tinggi seperti dokter, doktergigi, dokter hewan, apoteker, insinyur, dan memberikan pendidikan
lanjutan bagi tenaga para medis yang telah lulus tingkat akademi, seperti akademi penilik
kesehatan, akdemi gizi dan akademi perawat.
Pada permulaannya, penyelanggaraan FKMUI dilakukan bersama-sama dengan Bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan FKUI, karena FKMUI tidak
mempunyai sarana pendidikan yang meliputi gedung, tenaga pengajar maupun penunjang
administrasi. Dalam suasana prihatin karena langkanya dana dan tenaga, pimpinan Fakultas terus
berusaha untuk mengembangkan FKMUI, sehingga mampu berdiri sebagai Fakultas yang dapat
menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh dunia kesehatan masyarakat khusunya
masyarakat Indonesia yang sedang membangun.
Pendirian FKM UI, sebagai FKM pertama di Indonesia tersebut, mencerminkan kerjasama
antara Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan secara baik. Pada waktu FKM UI
dibentuk, dekan pertama Prof. Dr. Sajono (alm) adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK)
Jakarta (sekarang DKI). Sedangkan Kepala Bagian PH FK UI adalah dr. Herman Soesilo (alm).
FKMUI belum memiliki gedung sendiri. Perkuliahan dilaksanakan dalam gedung mikrobiologi
kesehatan masyarakat FKUI di jalan Pegangsaan Barat 16. Dengan ditempatkannya Prof. Dr.
Sajono (alm) menjadi dekan FKMUI yang berada di lingkungan FKUI, beliau sekalian diangkat
menjadi kepala bagian PH FKUI, dan dr. Herman Soesilo (alm) dipindah menggantikan Prof. Dr.
Sajono sebagai kepala DKK Jakarta.

Program Pendidikan di FKM UI

Pada awalnya, program pendidikan FKM UI hanya menerima mahasiswa yang berasal dari
bidang kesehatan, yaitu lulusan tingkat fakultas (terdiri dari sarjana medik/dokter) dan tingkat
akademi (terdiri dari sarjana muda para medik berbagai bidang kesehatan seperti: penilik
kesehatan/sanitasi, gizi, dan keperawatan). Lama pendidikan bagi kedua kategori mahasiswa
tersebut sama yaitu satu tahun dan gelar yang diberikan kepada lulusan pada waktu itu kurang

72
ada ketegasan. Apakah gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) atau Doktorandus (Drs).
Penggunaan gelar Drs ini tidak disalahkan untuk pendidikan yang sifatnya lebih tinggi dari
akademi/sarjanan muda. Kemudian sekitar tahun 1968 atau 1969 ada perubahan dalam lama
program pendidikan. Yaitu bagi mahasiswa yang sarjana muda/paramedik, yang semula satu
tahun kini menjadi dua tahun. Sedangkan bagi mahasiswa yang berlatar belakang sarjana/dokter
tetap satu tahun dengan gelar SKM.
Para dosen pada waktu itu lengkap dan berkualitas, baik dari segi pendidikan maupun
lapangan kerja. Di antara para dosen itu dapat disebutkan: Prof. Dr. Sajono, Prof. Dr. Bagiastra
dan dr. Herman Soesilo (ketiganya almarhum dan memperoleh MPH dalam bidang PH
Administration). Kemudian: Prof. Dr. Dradjat Prawiranegara (alm, MPH Nutrition), Prof. dr.
Karimuddin (alm, MPH Environment & Occupational Health), Prof. dr. Gambiro (alm, MPH
MCH), dr. Budiharsana dan Prof. dr. Widodo Talogo (alm, MPH Epidemiologi), dr. Wiryawan
Djojosoegito dan dr. Liem Tjae Lie (alm, MPH Health Education) dan Prof. dr. Gani KS (alm,
MPH Statistik).

Kepemimpinan FKMUI

Untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi Fakultas dan juga untuk lebih memacu
perkembangannya, maka pada tanggal 10 April 1972 Rektor Universitas Indonesia membentuk
apa yang dikenal dengan Staf Inti FKMUI yang terdiri dari : Iwan Sutjahja, dr.MPH (sebagai
ketua), Does Sampoerno, dr.MPH (Sekretaris, now(), now()); dan empat orang anggota, yaitu :
Budi Harsana, dr.MPH, Kusuma Surya Gani, dr.MPH, Sujana Jatiputra, dr.MPH dan Gambiro
Prawirosudirdjo, dr.MPH.
Dengan bantuan berbagai pihak, antara lain Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
(Dirjen Pendidikan Tinggi), rektor UI, Konsorsium Ilmu Kedokteran, Departemen Kesehatan,
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), USAID, CMB, University of Hawai, maka pada bulan
September 1972 selesailah disusun oleh staf inti Rencana Lima Tahun Pengembangan FKM UI.
Dalam perkembangan selanjutnya dari staf inti ini, dibentuklah 3 macam panitia, yaitu
sebagai berikut :

1. Panitia Akademik Riset dan pelayanan dengan Does sampoerno, dr.MPH sebagai Ketua
dan PMH Sinaga, dr.MSc sebagai Sekretaris.

2. Panitia Administrasi dan Keuangan dengan Budi Harsana, dr.MPH sebagai Ketua dan
Alex Papilaya, dr.DTPH sebagai Sekretaris.

3. Panitia Kemahasiswaan dan Alumni dengan Gambiro Prawirosudirdjo, dr,MPH sebagai


Sekretaris.

73
Dengan terpilih dan ditetapkannya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor.
6345/C/1973 tanggal 14 Februari 1973 dan tersusunnya organisasi yang dianggap memadai pada
waktu itu, maka staf intipun dibubarkan. Selain itu usaha-usaha pembangunan gedung FKMUI di
Jalan Proklamasi 16 terus dilaksanakan, sehingga akhirnya pada tanggal 16 Juni 1973 gedung
tersebut diresmikan oleh rektor UI Prof. DR. Ir. Soemantri Brodjonegoro, dan diberi nama
Gedung Mochtar, untuk mengenang jasa-jasa Prof. Mochtar almarhum. Pada perkembangan
terakhir, setelah hampir 15 tahun di Gedung Mochtar yang bersejarah itu, mulai tahun akademik
1987/1988 seluruh kegiatan FKMUI diselenggarakan di kampus Baru UI Depok, suatu kampus
yang selama ini menjadi idaman.
Sejak tanggal 1 Juli 1965 anggota kedekanan FKMUI yang mepiluti Dekan, Pembantu
Dekan Bidang Akademis, Pembantu Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan, dan Pembantu
Dekan Bidang Kemahasiswa dan Alumni, adalah sebagaimana dapat dibaca pada tabel berikut:

74
75
PD Bid. Mahasiswa &
Tahun Dekan PD Bid. Akademis PD Bid. Adm & Keu
alumni
1965- Prof. Sajono Sumodidjojo, Prof. Drajat D. Prof. I Made Prof. T. Karimuddin,
1970 dr.MPH Prawiranegara,dr.MPH Bagiastra,dr.MPH. dr.MPH.
1970- Prof. T. Karimuddin, Gambiro
Widodo Talogo, dr.MPH. Herman Soesilo,dr.MPH.
1972 dr.MPH. Prawirosudirdjo,dr.MPH
1973- Gambiro
Iwan Sutjahja, dr.MPH. Does Sampoerno dr.MPH. Budiharsana, dr.MPH.
1976 Prawirosudirdjo,dr.MPH
1976- H. Fahmi D. Soeratmi Poerbonegoro,
Sujana Jatimutra, dr.MPH. Alex Papilaya, dr.DTPH.
1980 Saifuddin,dr.MPH. dr.MPH
Suharnyoto
1981- Does Sampoerno, Martomulyono,dr.MSc.
Anhari Achadi, dr.SKM. Sri Anggrarini,drh,SKM.
1983 dr.MPH. (1983 diganti oleh PMH
Sinaga, dr.MSc.)
1984- Sudarto Ronoatmodjo, Adik Wibowo,
Alex Papilaya, dr. DTPH. Sudarti, dra,SKM,MA.
1986 Dr.dr. SKM, MSc. Dr.dr,MPH.
1987- H. Fahmi D. Kemal N. Siregar, Izhar M. Fihir,
Ratna D. Hatma, dr, MPH.
1980, Saifuddin,dr.MPH. SKM,MA. dr,MOH,MPH.
1991- Kemal N. Siregar, Sudijanto Kamso, Ratna D. Hatma, dr,
Zulasmi Mamdy, dr.MPH.
1994 SKM,MA. dr,SKM. MPH.
1995- Prof. Ascobat Gani, dr. H. Adang Hj. Mardiati Nadjib, drg,
H. Syahrial Srarif, dr.MPH.
1997 MPH, DrPH. Bachtiar,dr,MPh, DSc. MSc.
Prof. Sudarto
1997- Prof. Ascobat Gani, dr. Agustin
Ronoatmodjo,dr,SKM, H. Syahrial Srarif, dr.MPH.
2000 MPH, DrPH. Kusumayati,dr,MSc.
MSc.
Prof. Sudarto
2000- Nuning M. Kiptiyah, Agustin Sabarinah B. Prasetyo,
Ronoatmodjo,dr,SKM,
2004 dr,MPH,DrPH. Kusumayati,dr,MSc. dr,MSc.
MSc.

Sejak April 2004 anggota kedekanan FKMUI berubah, meliputi Dekan, Wakil Dekan I yang
membawahi Bidang Akademik, dan wakil Dekan II yang membawahi bidang Non Akademik.
Anggota kedekanan untuk tahun 2004-2008 adalah : Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH
(Dekan), Bambang Wispriyono, Drs, Spt, PhD. (Wakil Dekan I), dan Prastuti Chusnun
Soewondo, SE,MPH,Ph.D. (Wakil Dekan II).

Proyek Pengembangan Tenaga HES

Pada sekitar tahun 1971 dengan bantuan WHO dan USAID dibentuk Proyek
Pengembangan Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat, atau Health Education
Manpower Development Project, yang lebih dikenal dengan Proyek HES. Proyek tersebut selain
bermaksud mengadakan tenaga ahli atau spesialis dalam bidang pendidikan kesehatan

76
masyarakat, juga dimaksudkan untuk memperkuat FKM UI. Melalui proyek tersebut
direncanakan untuk dihasilkan sebanyak sekitar 60 orang tenaga ahli HE (HES) yang akan
ditempatkan di Pusat dan di daerah. Separuh dari jumlah HES tersebut akan dididik di berbagai
universitas di Amerika, sedangkan separuhnya lagi akan dididik di dalam negeri, yaitu di FKM
UI.
Proyek pengembangan tenaga pendidik kesehatan ini berjalan 5 tahun. Setelah melakukan
berbagai persiapan, a.l. mengirim tenaga dosen ke luar negeri, mempersiapkan kurikulum dll,
maka pada sekitar tahun 1973 FKM UI mulai menyelenggarakan program pendidikan (tingkat
manajerial atau magister) tenaga HES ini. Latar belakang calon tenaga HES yang diterima harus
sudah sarjana, dokter atau non dokter, meliputi: sarjana pendidikan, ilmu sosial, psikologi, dan
anthropologi.
Program pendidikan yang disiapkan bagi calon HES itu lamanya antara 1,5 2 tahun. Bagi
sarjana non kesehatan, lama pendidikan dua tahun ditambah setengah tahun magang di lapangan.
Sedangkan bagi sarjana/dokter, lama pendidikan satu tahun di FKMUI ditambah setengah tahun
magang di lapangan. Magang itu dilakukan bersama dengan mereka yang sarjana non kesehatan.
Di lapangan ini mereka melakukan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan kesehatan
dalam program kesehatan di tempat mereka magang.

Program peminatan

Dari pengalaman menyelenggarakan proyek HES ini, dan dengan berlakunya penstrataan
kesarjanaan, lambat laun mahasiswa lulusan akademi berkurang. Mereka berusaha untuk
memperoleh gelar sarjanan S1 lebih dahulu, dan FKM UI juga tidak menutup pintu untuk
mereka yang berlatar belakang S1 non kesehatan.
Kemudian dengan berkembangnya sistem kredit pada sekitar tahun 1976 (pada waktu
kepemimpinan dr. Fahmi Saefuddin Prof. Dr. Sujana) FKM UI memiliki bidang peminatan,
yaitu: Admin istrasi, Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan/Kesehatan Kerja, Pendidikan
Kesehatan (HE), dan Statistik/Demografi. Untuk HE program peminatan langsung dapat
diterapkan dengan dikurangi atau ditambah pengalaman lapangan sesuai dasar atau latar
belakang pendidikan mahasiswa maupun biaya yang tersedia. Dalam waktu ini mahasiswa lain
dari peminatan HE dapat kesempatan memperoleh materi HE karena
menginginkan/membutuhkannya.
Di samping strata S1 dan S2, juga ada pendidikan non gelar D3 promosi kesehatan yang telah
meluluskan beberapa angkatan. Tetapi sekarang ini berhenti karena kebijakan UI yang berlaku.
Meskipun sebenarnya konon program ini banyak peminatnya dan lulusannya banyak yang
langsung memperoleh pekerjaan.

Muatan Pendidikan Kesehatan (Health Education)

Pada waktu Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) belum ada, pada dasarnya materi
Pendidikan Kesehatan/Health Education (selanjutnya disingkat HE) sudah diberikan kepada
mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) dalam perkuliahan ilmu kesehatan masyarakat. Di

77
samping HE yang diberikan dalam kedudukannya sebagai salah satu program pokok Kesehatan
Masyarakat (Public Health, selanjutnya disingkat PH) juga diberikan promosi kesehatan (health
promotion, selanjutnya disingkat HP) yang diterima sebagai kegiatan pencegahan tingkat
pertama dalam kedokteran pencegahan (preventive medicine). Pembelajaran ini berjalan dengan
dosen lulusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Luar Negeri, dosen Fakultas Kedokteran dan juga
pejabat Departemen Kesehatan. Materi diberikan dalam perkuliahan, pengalaman bekerja di
lapangan, serta membaca buku rujukan yang waktu itu tidak banyak tersedia. Buku pegangan
pokok adalah: Public Health Administration karangan Hanlon dan Preventive Medicine karangan
Leavell & Clark.
Dengan muatan PH/HE/HP ini para lulusan FK ditempatkan langsung di daerah bertugas
sebagai dokter di masyarakat atau di kantor Dinas Kesehatan. Mereka yang berasal dari
Departemen P & K kembali ke Fakultas Kedokteran. Mereka itu ada yang langsung mengajar di
klas, dan ada pula yang ditempatkan di institusi pelayanan kesehatan tempat diselenggarakannya
pendidikan mahasiswa FK (seperti Rumah Sakit dan Puskesmas Umum/Khusus).
Muatan HE dan HP ini dalam perkuliahan Kesehatan Masyarakat S2 di FKM UI
mengalami perubahan dan perkembangan, sbb:

Mahasiswa/Tahun Dokter/Drg Paramedis Sarjana Non Kesehatan


1965-1972 HE/HP dalam kesmas/PH HE/HP dalam kesmas Belum ada

78
(1 tahun) (1 thn, now(), now());
setelah 1970 menjadi 2
tahun
HE/HP dalam kesmas/PH Hanya ada HES;
(1 tahun, now(), now()); HE dlm kesmas (1 th),
HE/HP dalam kesmas
1973-1977 Bagi mahasiswa HES plus kuliah pre klinik (1/2 th)
(2 tahun)
1/2 tahun praktek HE di dan di lapangan HE (1/2
lapangan th)
Paket peminatan dgn
Tidak ada mahasiswa
kuliah tertentu; HE harus Pendidikan 2 tahun dgn
1977-sekarang lulusan akademi
diikuti semua mahasiswa peminatan yang dipilih
langsung masuk S2
(1 tahun)

Program Pendidikan S1 Empat Tahun

Pada akhir tahun 1980-an FKM UI mulai menyelenggarakan program pendidikan S1


kesehatan masyarakat bagi lulusan SMA. Ini sehubungan dengan kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan bahwa fakultas adalah institusi pendidikan dengan keharusan menerima mahasiswa
lulusan SMA untuk memperoleh gelar sarjana (S1) di samping pendidikan pasca sarjana
(lanjutan) S2 dan S3. Waktu pendidikan untuk S1 (SKM) adalah 8 semester atau 4 tahun.
Pada awal dimulainya pendidikan 4 tahun ini mahasiswa dengan dasar akademi masih ada
dan digabung dengan mahasiswa yang 4 tahun pada 2 tahun terakhir. Lambat laun mahasiswa
berlatar belakang pendidikan akademi tidak ada. Lulusan dengan gelar SKM ini memperoleh
muatan HE dan Promkes terliput dalam perkulihan PH dengan program dasarnya a.l.:
Administrasi Kesehatan, Kesehatan lingkungan dan Kesehatan Kerja, Pendidikan Kesehatan dan
Ilmu Perilaku (PKIP), Statistik dan kependudukan, gizi dan epidemiologi.

Pengembangan FKM lainnya di Indonesia

Pada sekitar tahun 1994-1995 dengan dukungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Departemen Kesehatan dan USAID dibentuk Faculties of Public Health Development Project (
Proyek pengembangan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Indonesia). Proyek ini adalah Proyek
Kerjasama selama 5 tahun dengan tujuannya adalah membentuk 4 (empat) Fakultas Kesehatan
Masyarakat Negeri baru di Indonesia, yaitu di Universitas Sumatera Utara (FKM-USU) di
Medan, FKM Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, FKM Universitas Airlangga
Surabaya, FKM Universitas Hasanuddin Makassar. FKMUI sebagai Fakultas Kesehatan
Masyarakat yang paling tua berfungsi sebagai Pembina. Ketua Project Management Unit (PMU)
dari kegiatan tersebut adalah Prof. dr Does Sampoerno, MPH.
Dengan proyek tersebut untuk mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
di tiap FKM telah diseleksi sejumlah staf pengajar untuk mengikuti pendidikan tingkat S2
maupun S3 baik di luar negeri (USA) maupun diberbagai perguruan tinggi di Indonesia. Selain
pengembangan program riset di bidang kesehatan masyarakat dan dukungan hardware, software,

79
kelengkapan perpustakaan melalui proyek tersebut juga dikembangkan pendidikan tenaga ahli
kesehatan masyarakat lulusan SMA yang dikenal sebagi program S1 4 (empat) tahun. Ini
untuk melengkapi program S1 2 (dua) tahun yang peserta programnya adalah mereka yang
tamat pendidikan tingkat akademi.
Dengan demikian Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Indonesia berkembang bukan
hanya tingkat S1, S2, tetapi juga sampai tingkat Doktor (S3). Proyek berakhir pada tahun
2000/2001. Pada saat tersebut jumlah FKM Negeri di Indonesia sebanyak 5 buah, dan masing-
masing telah menerima mahasiswa baru FKM lulusan SMU (yang dimulai tahun 1996) dan
setiap FKM menampung antara 50-80 mahasiswa baru setiap tahunnya. Di beberapa FKM juga
mulai dengan program pendidikan S2 di bidang Kesehatan Masyarakat. Sementara itu di
lingkungan FK Negeri se Indonesia (13 buah) juga terdapat Bagian Kedokteran Pencegahan.
Sebagian FK tersebut juga menyelanggarakan Pendidikan Ahli Kesehatan Masyarakat. Sesudah
proyek selesai 5 FKM membentuk Badan kerjasama FKM di Indonesia yang bertujuan untuk
saling memperkuat dan tukar pengalaman demi kemajuan pendidikan Ahli Kesehatan
Masyarakat di Indonesia.

Pendidikan Kesehatan Masyarakat di FKM Pasca 2000

Dengan selesainya proyek Pengembangan FKM di Indonesia, maka ada gejala liberalisasi
pendidikan oleh Mendiknas. Hal ini ditandai dengan berdirinya berbagai pendidikan kesehatan
masyarakat ( FKM-FKM) baik swasta maupun negeri. Saat ini diperkirakan jumlah FKM Negeri
mapun swasta di Indonesia ada kurang lebih 40 buah. Di Jakarta saja paling sedikit terdapat 5
FKM negeri maupun swasta. Disatu sisi hal ini menggembirakan tetapi dilain pihak dengan
jumlah yang semakin besar tentu akan berpengaruh pada kualitas proses belajar mengajar.
Dalam rangka menjaga mutu pendidikantermasuk bidang kesehatan masyarakat telah
dibentuk Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang telah melakukan proses akreditasi berbagai
pendidikan tinggi termasuk bidang kesehatan masyarakat. Selain itu telah dibentuk juga
Konsorsium Ilmu Kesehatan dimana berbagai keahlian kesehatan, dokter, dokter gigi, perawat
dan kesehatan masyarakat juga diwakili. Melalui konsorsium ini juga dibicarakan dan
didiskusikan berbagai aspek pendikan tinggi kesehatan termasuk di bidang kesehatan
masyarakat.

PKM Di Institusi/Akademi Pendidikan Tenaga Kesehatan

Selain di FKM, materi pendidikan kesehatan masyarakat juga merupakan bagian


kurikulum di Insititusi/Akademi Pendidikan Tenaga Kesehatan. Misalnya, di Akademi Penilik
Kesehatan (sekarang: Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan), Akademi Gizi
(sekarang: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan), dan Akademi Perawat (sekarang: Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan). Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan tersebut
diselenggarakan baik oleh Pemerintah (Dep. Kesehatan), Pemerintah Daerah, TNI/POLRI,
maupun oleh swasta.
Di Institusi Pendidikan tersebut materi PKM diberikan secara bervariasi. Ada yang

80
merupakan mata kuliah tersendiri, ada juga yang terintegrasi dalam mata kuliah kesehatan
masyarakat, atau kesehatan komunitas. Dalam perkembangannya kemudian, mata kuliah PKM
diganti menjadi mata kuliah pemberdayaan masyarakat, yang isinya selaras dengan substansi
promosi kesehatan. Lamanya juga bervariasi antara 1 sampai 2 semester. Selain itu materi PKM
tersebut biasanya juga terintegrasi dengan materi lain secara komprehensif pada saat kuliah kerja
lapangan.
Lulusan Institusi/Akademi Pendidikan Tenaga Kesehatan tersebut selain dapat langsung
bekerja, juga dapat melanjutkan pendidikan S1 di FKM ataupun Sekolah Tinggi Kesehatan
lainnya.

Bagaimana di masa datang

Khusus dalam pengembangan mutu tenaga pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia,


kiranya perlu dipersiapkan program pendidikan tenaga promosi kesehatan ini secara lebih
mantap. Perlu dilakukan kerjasama antara pengguna/pengirim tenaga dengan institusi pendidikan
yang menyelenggarakan proses pendidikan. Terutama juga untuk mengantisipasi adanya
kebijakan pendidikan yang yang berbasis kompetensi (competency based curriculum).
Dalam kaitan itu kiranya perlu dimasukkan kembali ke dalam kurikulum praktek atau
pengalaman kerja lapangan. Itu karena kegiatan promosi kesehatan merupakan kegiatan yang
langsung berhadapan dengan sasaran, baik itu konsumen ataupun provider. Kemampuan untuk
mempraktekkan hubungan antar pribadi, pemasaran, penampilan, ketrampilan non verbal dll
kiranya perlu diberikan dalam kurikulum. Juga hal-hal lain sesuai dengan perkembangan dan
tantangan yang dihadapi.
Selanjutnya interaksi yang lebih dinamis dan cerdas memang perlu dilakukan terus
menerus antara pihak FKM dengan berbagai pihak, baik Pemerintah, pemerintah daerah,
kalangan swasta, kalangan media, dan juga para alumninya sendiri. Kiranya FKM juga perlu
membuka pintunya secara lebih lebar lagi untuk dapat menyerap aspirasi masyarakat. Demikian
pula Institusi/Akademi Pendidikan Tenaga Kesehatan (sekarang: Politeknik Kesehatan), juga
perlu berinteraksi dengan berbagai pihak dan membuka pintunya lebih lebar, termasuk untuk
menyesuaikan dengan Sistem Pendidikan Nasional. Secara institusi FKM dan Institusi/Akademi
Pendidikan Tenaga Kesehatan tersebut juga perlu terus belajar untuk dapat terus
mengembangkan diri dan berkreasi. Belajar memang perlu terus menerus dilakukan,
sebagaimana kata-kata bijak yang dikutip di awal bab ini. Juga oleh institusi pendidikan, seperti
FKM ini.

Bab VIII
SUMBER DAYA MANUSIA PROMOSI KESEHATAN
(KETENAGAAN PENYULUH KESEHATAN)

81
Our greatest weakness lies in living up.
The most certain ways to succeed is
always to try just one more time.
(Thomas A. Edison)

Tenaga Penyuluh Kesehatan di beberapa masa

Keberadaan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat/Promosi Kesehatan sangat ditentukan oleh


tenaga pendukungnya. Selama ini sejak dari periode awal hingga kini pada umumnya tenaga
Penyuluh Kesehatan Masyarakat/Promosi Kesehatan adalah orang-orang yang peduli (concern)
pada bidang ini. Tapi karena jumlahnya sangat terbatas dan berada dalam lingkup struktur yang
terbatas serta tidak strategis, maka gemanya kurang terdengar. Dalam hal ini, pengalaman
menunjukkan, bahwa pengakuan terhadap eksistensi Promosi Kesehatan dan pengembangannya
termasuk ketenagaannya pada saat ini tidaklah diperoleh dengan mudah. Artinya ada suatu
proses panjang yang cukup melelahkan yang harus ditempuh untuk dapat mencapai situasi
seperti sekarang.
Pengadaan tenaga khusus Pendidikan/Penyuluhan Kesehatan Masyarakat sebenarnya
sudah dirasakan jauh sebelum dibentuknya suatu unit khusus dalam struktur Departemen
Kesehatan. Bahkan pada masa perintisan Pendidikan Kesehatan Rakyat di era pemerintahan
Hindia Belanda sekitar awal abad 20 (1911) di Banyumas telah didirikan Sekolah Juru Hygiene
yang menghasilkan sejumlah Juru Hygiene yang bekerja melakukan propaganda kepada
masyarakat. Para Juru Higiene ini bekerja di daerah perkebunan yang penduduknya banyak
menderita penyakit cacing tambang dengan menjadi tenaga propaganda yang memperkenalkan
cara mencegah dan memberantas serta mengobati penyakit ini.
Kemudian pada masa awal kemerdekaan, sekitar tahun 1948, kesadaran akan perlunya
pendidikan kesehatan kepada rakyat diwujudkan melalui pendirian Sekolah Penyuluh Kesehatan
di Magelang yang mempunyai daerah percontohan di Magelang dan Yogyakarta. Tenaga-tenaga
ini diadakan secara sporadis di beberapa daerah yang merupakan perintisan pendidikan
kesehatan rakyat. Mereka ditugasi untuk melakukan penyuluhan di bidang hygiene dan sanitasi
untuk mencegah penyakit menular yang waktu itu menimpa sebagian penduduk terutama di
perdesaan. Tenaga-tenaga ini pada dasarnya adalah tenaga sanitasi yang diberi kemampuan
propaganda atau penyuluhan.Tetapi yang jelas tenaga-tenaga ini belumlah merupakan tenaga
propaganda atau pendidikan kesehatan secara khusus tetapi tenaga sanitasi atau perawat yang
diberi ketrampilan propaganda/pendidikan.
Pendidikan dan pelatihan tenaga pendidik atau penyuluh kesehatan ini juga dilakukan pada
era KMD/PKR, khususnya di daerah percontohan Lemah Abang, Bekasi, dalam bimbingan Dr.
Sulianti Sarosa. Pada waktu itu dikembangkan Rural Health Team yang terdiri dari beberapa
tenaga dari berbagai disiplin yang dengan cara learning by doing dan dengan semangat tim
(team spirit) melakukan kegiatan kesehatan masyarakat desa. Beberapa alumni dapat disebutkan,
a.l. Dra. Koesnaniah Wirja Mihardja, Prof. Dr. Buchari Lapau, Drs. Putu Lawa Udayana, dll.
Beberapa orang juga dikirim belajar ke luar negeri, seperti ke Beirut. Lebanon, India dan juga
USA.

82
Pengadaan Tenaga Health Education Specialist

Arti penting pendidikan kesehatan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 70-an
menuntut dikembangkannya tenaga khusus penyuluhan kesehatan yang disebut sebagai Health
Education Specialist. Sekitar tahun 1968 dalam Rapat Kerja (Workshop) Nasional a.l.
dikemukakann tentang pentingnya pendidikan kesehatan dan kemudian diputuskan bahwa
Pendidikan Kesehatan merupakan suatu usaha utama dan mutlak untuk merealisasikan
puskesmas. Dan dalam kesempatan itu direkomendasikan a.l. pengembangan staff yang
qualified melalui pendidikan Health Education Specialist.
Rekomendasi ini baru dapat diwujudkan pada tahun 1971 dalam bentuk Pendidikan
Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Health Education Specialist). Upaya ini
mendapatkan dukungan dana dan konsultan dari WHO dan USAID dan disebut sebagai Health
Education Manpower Development Project. Tenaga-tenaga ini diharapkan menjadi advocator,
motivator dan katalisator bagi penyusunan kebijakan dan keputusan pembangunan kesehatan
masyarakat. Tenaga-tenaga ini direkrut dari berbagai disiplin ilmu dan dididik dalam berbagai
perguruan tinggi di luar dan di dalam negeri. Mereka dididik dan dipersiapkan untuk menjadi
tenaga pengelola PKM di tingkat nasional dan provinsi. Sejatinya, tenaga-tenaga ini dipersiapkan
untuk menduduki jabatan atau fungsi penyuluhan kesehatan pada institusi kesehatan utamanya
penyuluhan kesehatan di pusat dan provinsi maupun institusi di luar kesehatan.
Ada dua model yang dikembangkan melalui pendidikan tenaga ahli PKM ini yaitu
pendidikan model BOC dan pendidikan model FKM-UI. Pendidikan model pertama melalui
tahapan basic orientation course (BOC) selama 6 bulan di Cilandak diikuti dengan pengalaman
lapangan selama 6-12 bulan di Bandung dan dilanjutkan dengan pendidikan S2 (Master) di
universitas-universitas di Amerika Serikat selama 1 tahun. Model pertama berlangsung selama 2
angkatan mencakup 31 orang. Pendidikan model kedua melalui pra-SKM selama 6 bulan, diikuti
pendidikan SKM (Master) selama 1 tahun dan diakhiri dengan pengalaman lapangan selama 6
bulan. Seluruhnya diselenggarakan di FKM-UI. Model kedua juga berlangsung selama 2
angkatan berjumlah 30 orang.
Selama mengikuti kegiatan pengalaman lapangan (work experience program), peserta
(calon HES khususnya angkatan I dan II) ditempatkan di Puskesmas. Mereka melakukan study
untuk mengenali masyarakat dengan menggunakan antropological approach. Mereka tinggal di
desa dan hidup bersama masyarakat desa. Hasil study itu disampaikan kepada masyarakat desa,
lalu diadakan temu atau musyawarah desa untuk menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan untuk
membangun masyarakat desanya. Model inilah yang kemudian nanti berkembang menjadi apa
yang disebut dengan Pendekatan Edukatif.
Peserta juga mengembangkan program pendidikan kesehatan yang melekat pada masing-
masing program kesehatan. Mereka ini mula-mula mengikuti kegiatan setiap petugas puskesmas
(bidan, perawat, sanitarian, petugas UKS, tenaga gizi, juga dokter), kemudian bersama masing-
masing mereka mendiskusikan aspek pendidikan kesehatan yang dapat dilakukan oleh masing-
masing tenaga kesehatan itu dalam program atau kegiatan masing-masing.
Setelah di Puskesmas, peserta (calon HES) itu melakukan hal yang sama di tingkat
kabupaten (bersama staf Dinas Kesehatan Kabupaten) dan juga di tingkat provinsi (bersma staf
Dinas Kesehatan Provinsi). Para peserta bolak-balik antara lapangan dengan klas. Dalam klas ini
mereka memperoleh bimbingan para konsultan (adviser dari WHO dan USAID) dan supervisor

83
(bapak Putulawa Udayanan dan Bapak I.B. Mantra).
Tenaga-tenaga ini kemudian setelah lulus (angkatan I sd IV) ditempatkan sebagian di
Direktorat PKM, dan sebagian lainnya di Pusdiklat, Ditjen Binkesmas, Asuransi Kesehatan dan
FKM di beberapa universitas negeri serta di Dinas Kesehatan Provinsi (Unit PKM).
Perkembangan karir mereka bervariasi mulai dari staf sampai yang menjabat eselon 2 di Pusat
PKM dan dari dosen/widyaiswara hingga anggota Tim Pemberantas Korupsi. Ada juga yang
menjabat eselon I di Departemen lain / Lembaga Non Departemen. Selaras dengan
perkembangan pada waktu itu, ada juga beberapa tenaga lulusan ini yang beralih ke bidang-
bidang lain baik yang masih berkaitan dengan penyuluhan kesehatan maupun yang tidak banyak
berkaitan dengannya. Walaupun demikian kehadiran tenaga-tenaga ini di posisinya masing-
masing cukup mewarnai perkembangan penyuluhan kesehatan secara khusus dan pembangunan
kesehatan pada umumnya.

Tenaga Wakil Koordinator (Wator) PKM

Pada pertengahan tahun 1970-an berhubung dengan dirasakannya kesenjangan antara


tenaga ahli di provinsi dan tenaga PKM di kabupaten/kota, maka diperkenalkan suatu bentuk
pelatihan praktis yang berjangka waktu singkat untuk petugas PKM lapangan. Pelatihan ini
diselenggarakan bersama FKM-UI dengan menggunakan pendekatan modul. Pelatihan ini
berjangka 3 bulan dan mengambil model pendidikan ahli PKM yang disederhanakan. Yaitu
pendidikan teori di kelas selama 2 bulan dan dilanjutkan dengan pengalaman lapangan (magang)
selama 1 bulan. Pelatihan ini diselenggarakan di Jakarta (Direktorat PKM) dan juga disebar di
beberapa provinsi yang dianggap mampu menyelenggarakan yaitu di Bandung (Jawa Barat),
Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Dalam
rangka penyetaraan pengetahuan dan ketrampilan didoronglah provinsi-provinsi lain untuk
mengirimkan tenaganya agar dapat dilatih pada lokasi pelatihan yang terdekat pada mereka.
Misalnya NTT dan NTB mengirimkan petugasnya ke Surabaya.
Dengan didukung dana APBN melalui proyek PKM provinsi diperkirakan hampir seluruh
kabupaten/kota dari seluruh provinsi di Indonesia (termasuk prov Timtim waktu itu) telah
mengikuti pelatihan tersebut. Tenaga-tenaga inilah yang kemudian disebut Wakil Koordinator
(Wator) PKM yang ditempatkan kembali di kabupaten/kota untuk mengembangkan antara lain
daerah percontohan kabupaten/kotanya yang disebut daerah kerja intensif (DKI) PKM disamping
tugas-tugas PKM yang lain.
Tenaga yang telah dilatih ini kemudian ditempatkan di unit PKM sebagai koordinator atau
wakil koordinator dengan pengutamaan pada tingkat kabupaten walaupun ada juga yang
ditempatkan di provinsi ataupun puskesmas dalam jumlah terbatas. Tenaga-tenaga inilah, sesuai
dengan ketrampilan yang dimiliki, yang ditugasi untuk mengembangkan antara lain daerah
percontohan PKM yang disebut Daerah Kerja Intensif (DKI) PKM disamping tugas-tugas lain
yang menjadi beban tugasnya.
Pada waktu itu telah dipikirkan juga untuk mengembangkan tenaga PKM di tingkat
Puskesmas yang mendapatkan pelatihan yang mirip dengan pelatihan Wator dengan masa
pelatihan yang lebih singkat lagi. Sayang sekali rencana ini tidak berjalan mulus terkendala
dengan anggaran yang terbatas dan banyaknya jumlah tenaga yang harus dilatih. Akhirnya
rencana tersebut hilang begitu saja yang berakibat pada belum sempat disiapkan dan

84
diadakannya tenaga operasional di tingkat akar rumput/puskesmas. Dengan kata lain, upaya
penyuluhan kesehatan di tingkat terdepan belum mendapatkan perhatian dan sentuhan yang
memadai dan tentu saja hal ini mempengaruhi perkembangan PKM dan kesehatan pada
umumnya.
Dalam era otonomi daerah di masa kini, pengembangan tenaga operasional promosi
kesehatan perlu dihidupkan kembali dan jika memungkinkan merekrut serta menyebarkan tenaga
jabfung PKM yang rencananya akan ditempatkan pada puskesmas-puskesmas di seluruh
Indonesia. Hal ini menjadi semakin mendesak lagi setelah menyaksikan perkembangan penyakit
lama dan baru yang bertubi-tubi mengancam dan menimpa sebagian atau seluruh bangsa dan
rakyat Indonesia.

Jabatan Fungsional Penyuluh Kesehatan

Dengan berkembangnya waktu dan keadaan, sekitar akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an
lahir suatu konsep pemikiran tentang profesionalisme tenaga birokrasi pemerintahan melalui
jabatan fungsional. Artinya untuk meningkatkan pelayanan publik, struktur yang ada sekarang
sudah tidak memadai lagi dan harus didukung oleh tenaga fungsional yang bermakna
professional yang menguasai ilmu dan teknologi profesi yang bersangkutan dan terampil
melaksanakannya.
Untuk mengembangkan program PKM jelas diperlukan jabatan fungsional PKM
disamping tentunya tenaga jabatan struktural yang sudah ada di berbagai tingkatan administratif.
Pada waktu itu di lingkungan kesehatan sendiri baru dibentuk beberapa tenaga jabatan fungsional
seperti dokter, dokter gigi dan perawat. Lalu diikuti dengan tenaga professional yang bersifat
umum seperti penata komputer, pustakawan, arsiparis, dll. Sedangkan di lingkungan pertanian
misalnya dibentuk penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, kehutanan dan lain-lain.
Pembentukan jabatan fungsional penyuluh Kesehatan masyarakat sebenarnya dimulai pada
tahun 1989, tetapi baru intensif dilakukan pada tahun 1992. Selanjutnya. Proses pembahasannya
melibatkan berbagai pihak seperti MENPAN, BAKN (sekarang BKN), Biro kepegawaian
Depkes., Pusat PKM, Direktorat BPSM, Unit PKM Provinsi, Perguruan Tinggi, Organisasi
Profesi bahkan sector-sektor lain yang sudah berpengalaman dalam membentuk dan
mengembangkan jabatan fungsional masing-masing. Kendala utama yang dihadapi hdala
pengakuan terhadap penyuluhan kesehatan sebagai sutau profesi.
Setelah melalui proses panjang dengan kerja keras dan melelahkan serta mengalami masa-
masa yang sulit, akhirnya Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN)
menetapkan terbentuknya Jabatan Fungsional Penyuluh Keshatan Masyarakat (PKM) pada tahun
2000 melalui Keputusan MENPAN No. 58/M.PAN/VIII/2000 tanggal 14 Agustus 200. Keptusan
ini mengacu pada KEPPRES No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Pegawai negeri Sipil.
Terbentuknya jabatn fungsional PKM ini dari awal kurang menjanjikan, karena sudah diberikan
batasan bahwa sepanjang kondisi keuangan negara Belem memungkinkan makan tunjang jabatan
tidak disediakan. Tetapi untunglah angka kreditnya sudah dapat diperhitungkan untuk kenaikan
pangkat/jabatan.
Animo untuk menjadi pejabat fungsional tidak menggebu-gebu, karena kurang menarik
atau menjanjikan walaupun sudah ditawarkan ing ke daerah-daerah. Namur demikian masih ada
sejumlah PNS kesehatan terutama di beberapa provinsi mengajukan diri untuk menjadi pejabat

85
fungsional melalui proses inpassing (pemutihan). Proses ini berlangsung hingg akhir tahun
2001, dan untuk selanjutnya diberi kesempatan untuk menjadi pejabat fungsional PKM dengan
persayaratan melalui pengangkatan pertama kali seperti yang berlaku pada jabatan fungsional
lain. Baru pada tahun 2004 dengan Keppres No. 5 tahun 2004 disediakan tunjangan jabatan
fungsional lingkup rumpun kesehatan.
Pada awalnya, tenaga yang terjaring sekitar 200-an orang dan kini berdasarkan data bulan
Februari 2005 telah terdaftar sebanyak kira-kira 856 orang yang terdiri dari 98 tenaga ahli dan
758 tenaga trampil. Penyebarannya kebanyakan tenaga ini berada paling jauh di tingkat
kabupaten atau kota, malahan yang terbanyak berada pada di pusat dan provinsi. Sedangkan di
puskesmas-puskesmas sebagai fron terdepan dari promosi kesehatan ketersedian tenaga PKM
jauh daripada memadai.
Sebagai contoh, di Pusat Promosi Kesehatan diantara 75 pegawai terdapat 37 tenaga
jabatan fungsional penyuluh kesehatan dan 5 arsiparis. Jabatan struktural berjumlah 11 orang,
dan staff sebanyak 22 orang. Dari 37 orang ini terdiri dari 19 orang Penyuluh Kesehatan Ahli
dan 18 orang Penyuluh Kesehatan Terampil. Masih ada beberapa orang pejabat fungsional PKM
yang berada di Direktorat Kesehatan Komunitas (5 orang), Direktorat Gizi ( 7 orang), Direktorat
Kesehatan Khusus 1 orang, Sekretariat Ditjen Binkesmas 4 orang, dan di UPT Pusat 9 orang.

Beberapa hal tentang Jabatan Fungsional PKM

Namanya memang Tenaga Penyuluh Kesehatan Masyarakat, tetapi dalam pengertian dapat
dimengerti bahwa tenaga tersebut adalah juga tenaga promosi kesehatan. Dalam bab tentang
Pengertian umum disebutkan bahwa Jabatan fungsional dalah jabatan profesional sebagai
pelaksana teknis fungsional pada unit tertentu. Sedangkan Penyuluh Keshatan Masyarakat dalah
Pegawai Negeri Sipil yang diberi tangungjawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan penyuluhan keshatan masyarakat/promosi kesehatan
secara profesional.
Kegiatan yang diemban oleh pejabat fungsional ini dalah: Promosi
Kesehatan/Penyuluhan Kesehatan Masyarakat yang bermakna sebagai proses pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.
Persyaratan menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat tentu yang bersangkutan sudah
diangkat sebagai PNS, telah melaksanakan tugas PKM/PROMKES sekurang-kurangnya 2 tahun
dan DP3 ( Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) dalam 2 tahun terkahir bernilai baik. Pada
awalnya tenaga fungsionalo PKM ini diangkat melalui Inpassing yang berakhir pada Bulan
Desember 2001, dan selanjutnya untuk pengangkatan pertama kali adalah, PKM Terampil :
Berijazah D III kesehatan sealan dengan kebutuhan di daerah, maka minimal pendidikan
tersebut akan direvisi menjadi DI kesehatan. PKM Ahli : minimal berijazah D IV dan menduduki
pangkat Penata Muda ( III a ). Jenjang kepangkatan dari PKM Terampil dari golongan II/b
hingga III d, sedangkan PKM Ahli dari golongan III a hingga IV c.
Tugas pokok jafung PKM adalah : Penyuluh Kesehatan adalah melaksanakan: a).
Advokasi, Bina Suasana, dan pemberdayaan masyarakat; b) melakukan penyebarluasan
infromasi; c) membuat rancangan media; d) melakukan penlitian/pengkajian perilaku masyarakat
yang berhubungan dengan kesehatan; e) merencanakan intervens dalam rangka

86
mengembangkan perilaku masyarakat yang mendukung kesehatan. Yang membedakan antara
kedua jenis tenaga ini adalah : tugas dan kompetensi, kualifikasi pendidikan serta pangkat awal.
Tugas PKMterampil meliputi kegiatan teknis operacional yang bersifat keterampilan,s edangkan
PKM Ahli meliputi pengembangan pengetahuan, penerapan konsep dan teori, ilmu dan seni
untuk pemecahan masalah dan proses pembelajaran secara sistematis.
Selanjutnya disebutkan bahwa Angka kredit : adalah statu angka yang diberikan
berdasarkan penilaian atas prestasi yang sudah dicapai seorang penyuluh kesehatan masyarakat
dalam mengerjakan kegiatan yang digunakan sebagai salah satu syarat pengangkatan dan
kenaikan pangkat Penyuluh Kesehatan Masyarakat. Sedangkan mengenai Tim Penilai/Instansi
yang berwenang dapat dibedakan sebagai berikut : Tim Penilai tingkat pusat dibentuk oleh
Sekretaris Jenderal dan pada tingkat Direktorat/Unit oleh Kepala Pusat Promosi Kesehatan,
sedangkan tingkat Provinsi oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan pada tingkat
Kabupaten/kota oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Lingkup/ruang tugas dari jabatan ini meliputi tingkat pusat dan daerah sebagai berikut :

Pusat: Pusat Promosi Kesehatan dan Unit lain di dalam dan di luar Depkes.

Daerah Provinsi : Unit yang mengurusi PROMKES/PKM/PSM dan unit lain di


lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi.

Daerah Kabupaten/Kota : unit yang mengurusi PROMKES/PKM/PSM dan unit lainnya.

Rumah Sakit Umum : Unit PROMKES/PKM dan unit lainnya.

Puskesmas : yang melaksanakan Promkes/PKM/PSM/Pemberdayaan masyarakat.

Unit lain : Balai Kesehatan, Balai Diklat Kesehatan dll.

Masyarakat : Bantuan untuk swasta dan LSM.

Organisasi Profesi PPKMI

87
Di satu pihak dengan semakin berkembangnya program PKM/Promosi Kesehatan dengan
organisasi formal pengelola di belakangnya dan di lain pihak meningkatnya kesadaran dan
kecerdasan masyarakat di bidang kesehatan mempersyaratkan bahwa tenaga PKM/Promosi
kesehatan haruslah profesional dan dapat diandalkan. Untuk itu diperlukan faktor pendukung
seperti organisasi profesi yang mampu menghimpun dan membina anggotanya sehingga
memiliki keahlian dan ketrampilan yang mumpuni dan sekaligus dapat mengangkat citra
PKM/Promosi kesehatan didalam lingkungan kesehatan maupun masyarakat pada umumnya.
Menyadari akan hal ini, maka pada tahun 1988 sekelompok ahli dan peminat pendidikan
dan promosi kesehatan masyarakat mendirikan suatu organisasi profesi bernama Perkumpulan
Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPKMI) yang kemudian disempurnakan menjadi
Perkumpulan Promosi dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia (Perkumpulan PPKMI).
Organisasi ini disahkan melalui Akte Notaris Eko Hari Poernomo,SH no. 3 tgl 1 Agustuis 2003.
Pada hakekatnya organisasi ini tidaklah sepenuhnya mandiri tapi bernaung dibawah organisasi
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).
Hubungan ini menggambarkan eratnya hubungan antara promosi kesehatan dengan
kesehatan masyarakat pada umumnya. Dengan terbentuknya organisasi ini, dirumuskan pula visi,
misi, tujuan, strategi dan program-program pokok PPKMI. Visi PPKMI adalah : Perilaku hidup
sehat bagi masyarakat Indonesia guna terciptanya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang
optimal. Misinya adalah : Meningkatkan kemampuan profesional di bidang promosi dan
pendidikan kesehatan masyarakat agar berperan optimal dalam pembangunan kesehatan.
Sedangkan Tujuan PPKMI adalah : 1). Berperan aktif dalam pembangunan kesehatan
dengan menerapkan promosi dan pendidikan kesehatan masyarakat; 2). Mengembangkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan di bidang promosi dan pendidikan kesehatan masyarakat melalui
seminar, simposium, sarasehan, penelitian dan pelatihan; 3). Meningkatkan kemampuan
organisasi dan kesejahteraan anggotanya; 4). Mengatur standardisasi dan akreditasi profesi; 5).
Memberikan umpan balik/masukan pada kebijakan.
Adapun Strategi yang ditetapkan adalah : 1) Advokasi di bidang kesehatan dengan
menempatkan bidang kesehatan sebagai agenda pokok dalam kebijakan yang berpengaruh pada
masyarakat luas; 2) Meningkatkan dukungan sosial dengan menekankan pada terciptanya
lingkungan yang mendukung serta kemitraan dan jaringan kerja yang dapat memberikan
dukungan untuk terciptanya perilaku hidup sehat. 3) Pemberdayaan masyarakat dengan
memberikan bekal pada setiap individu, keluarga dan kelompok yang ada di masyarakat akan
pengetahuan dan kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dalam pemecahan masalah
kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat umum.
Selanjutnya juga dirumuskan Program Pokok: 1) Mengembangkan bidang penelitian dan
pengembangan program promosi kesehatan; 2) Mengembangkan program peningkatan kualitas
SDM sehingga mampu berperan dalam upaya promosi kesehatan secara optimal; 3) Melakukan
kemitraan dengan berbagai pihak terkait dalam mendukung upaya promosi kesehatan
berdasarkan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan.
Selama ini organisasi tersebut telah terlibat dalam berbagai kegiatan antara lain: 1)
Kegiatan Penelitian berupa pengembangan dan penyempurnaan indikator perilaku hidup bersih
dan sehat tahun 2001-2002 dalam kerjasama dengan Pusat Promosi Kesehatan, Litbangkes
Depkes dan BPS; 2) Kegiatan Pelatihan dalam bentuk pelatihan tenaga PKM trampil dan ahli di
tingkat pusat dan provinsi tahun 2002, 2003 bekerjasama dengan Pusat Promosi Kesehatan,
Dinas Kesehatan Provinsi dan Diklatkes Depkes. 3) Pengembangan Organisasi menyangkut
penyusunan etika profesi promosi, penyuluh dan pendidik kesehatan masyarakat Indonesia dan

88
terlibat dalam penyelenggaraan Konferensi Nasional Promosi Kesehatan; 4) Menyiapkan tenaga
konsultan.
Dalam hal konferensi nasional itu PPKMI bekerjasama dengan Pusat Promosi Kesehatan
Depkes telah tiga kali menyelenggarakan konferensi nasional promosi kesehatan. Pertama di
Hotel Horizon, Ancol, pada tahun 1997, bersamaan dengan Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan ke-4. Kedua di hotel Bidakara, Jakarta pada tahun 2001 dan ketiga di Yogyakarta
pada tahun 2004.
Pengurus Perkumpulan PPKMI periode 2002-2005 (sekarang) dipimpin oleh dr. Zulasmi
Mamdi, MPH selaku Ketua Umum. Sedangkan Ketua Umum pada Pengurus yang pertama
adalah dr. I.B.Mantra, MPH, MSc (alm). Keanggotaannya terbuka pada mereka yang terkait
dengan promosi kesehatan/pendidikan kesehatan termasuk yang berminat.

International Union for Health Promotion and Education (IUHPE)

Organisasi internasional yang menangani pendidikan dan promosi kesehatan disebut


International Union for Health Promotion and Education (IUHPE) yang pengurusnya
berkedudukan di Paris. Organisasi ini telah menyelenggarakan 18 kali konferensi internasional.
Empat kali yang terakhir yaitu yang ke XV di Ciba, Jepang tahun 1995, ke XVI di Puerto Rico,
AS tahun 1998, ke XVII di Paris, Prancis tahun 2001, dan terakhir ke XVIII di Melbourne,
Australia tahun 2004. Rencananya konferensi yang ke XIX akan diselenggarakan di Canada pada
tahun 2007. Peserta konferensi adalah individu yang berminat dan melamar kepada panitia
karena konferensi ini bersifat keilmuan. Peserta Indonesia biasanya menghadiri konferensi-
konferensi ini kecuali di Puerto Rico tahun 1998 karena situasi negara yang tidak kondusif.
Dalam pertemuan internasional itu dibahas berbagai pengembangan dan keberhasilan
kegiatan promosi kesehatan di seluruh bagian dunia, baik di negera maju maupun negara yang
sedang berkembang. Disampaikan berbagai studi kasus, serta disampaikan pula hasil-hasil
penelitian yang berkaitan dengan promosi kesehatan.
IUHPE ini mempunyai terbitan berupa jurnal tiga bulanan yang menggunakan tiga bahasa
(Inggeris, Perancis dan Spanyol), bernama: Promotion & Education. Pada konferensi di
Melbourne yang diselenggarakan pada tahun 2004 telah dipercaya untuk memimpin IUHPE
selama tiga tahun ke depan adalah : Maurice B. Mitterlmark dari Norwegia. Alamat IUHPE
adalah : IUHPE/UIPES 42, boulevard de la Liberation 93203 Saint-Denis Cedex France.
Telepon: 33 (0)1 48 1371 20; Fax: 33 (0)1 48 09 17 67. Email: jcadinu@iuhpe.org. Sayang
sekali sejak dulu Indonesia kurang mengambil bagian aktif dan kurang tampil dalam IUHPE ini.

Bagaimana ke depan

Demikianlah sebenarnya masalah SDM ini masalah kunci. Seharusnyalah kita


mempersiapkan SDM Promosi Kesehatan ini dengan sebaik-baiknya. Kita semua perlu
melakukan introspeksi: Apakah kita ini telah memberikan kontribusi bagi pembangunan
khususnya bidang kesehatan? Kalau ada, seberapa jauhkah kontribusi itu?
Untuk menghadapi masa depan, tidak ada lain kecuali kita harus meningkatkan kuantitas

89
dan terutama kualitas SDM Promosi kesehatan ini secara terus menerus, bersinambungan dan
berkelanjutan. SDM Promosi Kesehatan hendaknya mempunyai kecerdasan intelektual,
emosional, sosial dan spiritual. SDM yang mempunyai kepekaan tinggi (dimensi sosial), yang
mau bekerja keras (dimensi fisik), secara cerdas (dimensi intelektual) dan ihlas (dimensi
spiritual).
SDM tersebut selanjutnya diharapkan mampu melakukan berbagai peran.

1. Peran sebagai pendidik (educator) yang dengan sabar melalukan upaya perubahan
perilaku, melalui upaya pendekatan educatif, community development, community
organization, dll. Peran ini sering dilakukan secara tut wuri handayani atau dengan
melakukan pendorongan dari belakang.

2. Peran sebagai penjaja (social marketer), yang harus dengan penuh percaya diri dan ulet
mengajak masyarakat untuk menerima dan pempraktekkan pesan-pesan sehat yang
dijajakannya. Peran ini harus dilakukan secara lantang melalui berbagai media, dan agar
lebih efektif harus disertai contoh atau ketauladanan dari sipenjaja sendiri. Dengan
sendirinya ia memerankan diri di depan sebagai contoh, atau ing ngarsa sung tulodo.

3. Peran sebagai pendamping, penasehat, atau advocat, yang harus dengan sabar dan
cerdas mendampingi, membujuk, memantau atau mengawal para pembuat kebijakan
agar keputusan yang dibuatnya selalu berdampak positif terhadap kesehatan. Peran ini
agar efektif harus dilakukan dengan menempatkan diri kita setara (dalam arti keluasan
wawasan, respect di masyarakat, dll) dengan para pembuat kebijakan tersebut. Dengan
perkataan lain, harus dapat memerankan diri dalam koridor: ing madya mangun karsa.

Dari semuanya itu, kata kuncinya adalah semangat dan tekad pantang menyerah. Kita
perlu belajar dengan apa yang disampaikan oleh Thomas Alfa Edison, sebagaimana dikutip pada
awal bab ini.

Bab IX
PRO AKSI MASA DEPAN
(Kurun Waktu 2005 Y.a.d.)

Apabila hari ini lebih baik daripada kemarin kita beruntung,


apabila sama kita rugi, dan

90
apabila lebih jelek kita hancur
(Kata orang bijak)

Dalam menghadapi masa depan perlu melakukan analisis situasi dan kecenderungan serta
mengenali kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada dan yang potensiil akan ada.
Berbekal pengalaman yang cukup panjang dari perjalanan promosi kesehatan dari masa para
kemerdekaan sampai sekarang, banyak yang dapat dikemukakan tentang hal-hal tersebut.
Selanjutnya kekuatan yang ada perlu dikonsolidasikan dan ditingkatkan, kelemahan perlu
dikenali dan diperbaiki, peluang perlu dimanfaatkan, sedangkan tantangan harus dihadapi dengan
sabar dan dengan semangat pantang menyerah.
Selanjutnya berdasarkan itu semua kita memantapkan langkah untuk menjalani masa
depan. Hal-hal tersebut telah diuraikan dengan jelas dalam Kebijakan Nasional Promosi
Kesehatan, yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1193 Tahun
2004. Dalam bab ini, sebagian dari uraian tersebut akan dikutip di sini dengan penambahan dan
pengurangan di sana sini.

Konsep Yang Mantap

Sesuai the Bangkok Charter, Promosi kesehatan adalah proses pemberdayaan manusia
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya termasuk faktor-faktor yang
mempengaruhinya, sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatannya. Berdasarkan pengertian
tersebut, Promosi kesehatan merupakan konsep sehat yang positif dan inklusif yang menekankan
pada kualitas hidup, mental dan spiritual yang sebaik-baiknya. Promosi kesehatan, karenanya
merupakan konsep yang efektif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas sumber daya
manusia.
Sehubungan dengan itu Promosi Kesehatan merupakan solusi yang sangat tepat terhadap
permasalahan dan tantangan pembangunan kesehatan sekarang dan yang akan datang. Salah satu
hak asasi setiap manusia adalah untuk memperoleh kualitas kesehatan yang setinggi-tingginya,
sebagai prasyarat utama untuk memperoleh kualitas sumber daya manusia yang sebaik-baiknya.
Sedangkan pada hakekatnya pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas SDM
(Sumber Daya Manusia) itu disamping mendaya gunakan SDA (Sumber Daya Alam) untuk
sebesar-besar manfaat bagi manusia secara berkeadaban, yaitu dengan melestarikan dan tidak
merusaknya.
Konsep Promosi Kesehatan tersebut telah teruji dan dapat menggerakkan peran aktif
masyarakat dalam upaya mereka mememelihara dan meningkatkan kesehatannya sendiri dan
lingkungannya. Promosi Kesehatan dengan berbagai model pelaksanaannya telah menempatkan
masyarakat bukan sebagai obyek tetapi subyek, bukan sasaran tetapi pelaku, dan bukan pasif
menunggu tetapi aktif berperan dalam upaya dan pembangunan kesehatan bagi diri, masyarakat
dan lingkungannya.
Konsep Promosi Kesehatan tersebut juga terbukti sesuai bukan hanya untuk masyarakat di
negara yang telah berkembang, tetapi juga di negara yang sedang berkembang. Ia juga dapat
dilakukan baik di masyarakat perkotaan maupun di perdesaan, bagi masyarakat yang tergolong
kaya, juga bagi masyarakat yang tergolong miskin. Demikian pula Promosi Kesehatan juga perlu
dilakukan oleh mereka yang merasa sehat, agak sehat, atau yang merasa sakit. Karena semua

91
saja, perlu memelihara dan/atau meningkatkan derajat kesehatannya dalam rangka meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan hidup secara produktif dan berkualitas.
Konsep Promosi Kesehatan akan semakin mantap dengan adanya dukungan WHO dan
dunia internasional, apalagi dengan selalu diselenggarakannya konferensi dunia (direncanakan
setiap tiga tahun). Demikian pula dengan adanya dukungan organisasi profesi internasional yang
juga menyelenggarakan konferensi internasional secara tiga tahunan. Dalam konferensi
internasional tersebut konsep beserta aplikasinya di lapangan serta kendala-kendalanya selalu
dibahas dan dipertajam. Belum lagi WHO juga sering mengadakan pertemuan konsultasi untuk
membahas penyelenggaraan promosi kesehatan di berbagai negara.
Dengan konsep yang mantap dan terus menerus dipertajam ini, Promosi Kesehatan
diharapkan dapat melangkah ke masa depan dengan mantap. Namun demikian konsep tersebut
perlu terus menerus direview dan disesuaikan dengan keadaan serta perkembangan di masa
depan.

Visi, Misi Dan Strategi Yang Jelas

Promosi Kesehatan di Indonesia telah mempunyai visi, misi dan strategi yang jelas,
sebagaimana tertuang dalam SK Menkes RI No. 1193/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi
Kesehatan. Visi, misi dan strategi tersebut sejalan dan bersama program kesehatan lainnya
mengisi pembangunan kesehatan dalam kerangka Paradigma Sehat menuju Visi Indonesia Sehat.
Visi Promosi Kesehatan adalah: PHBS 2010, yang mengindikasikan tentang
terwujudnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Visi tersebut adalah benar-benar
visioner, menunjukkan arah, harapan yang berbau impian, tetapi bukannya tidak mungkin untuk
dicapai. Visi tersebut juga menunjukkan dinamika atau gerak maju dari suasana lama (yang ingin
diperbaiki) ke suasana baru (yang ingin dicapai). Visi tersebut juga menunjukkan bahwa bidang
garapan Promosi kesehatan adalah aspek budaya (kultur), yang menjanjikan perubahan dari
dalam diri manusia dalam interaksinya dengan lingkungannya dan karenanya bersifat lebih
lestari.
Misi Promosi Kesehatan yang ditetapkan adalah: (1) Memberdayakan individu, keluarga
dan masyarakat untuk hidup sehat; (2) Membina suasana atau lingkungan yang kondusif bagi
terciptanya phbs di masyarakat; (3) Melakukan advokasi kepada para pengambil keputusan dan
penentu kebijakan. Misi tersebut telah menjelaskan tentang apa yang harus dan perlu dilakukan
oleh Promosi Kesehatan dalam mencapai visinya. Misi tersebut juga menjelaskan fokus upaya
dan kegiatan yang perlu dilakukan. Dari misi tersebut jelas bahwa berbagai kegiatan harus
dilakukan serempak.
Selanjutnya strategi Promosi Kesehatan yang selama ini dikenal adalah ABG, yaitu:
Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan Pemberdayaan Masyarakat. Ketiga strategi tersebut
dengan jelas menunjukkan bagaimana cara menjalankan misi dalam rangka mencapai visi.
Strategi tersebut juga menunjukkan ketiga strata masyarakat yang perlu digarap. Strata primer
adalah masyarakat langsung perlu digerakkan peran aktifnya melalui upaya gerakan atau
pemberdayaan masyarakat (community development, PKMD, Posyandu, Poskestren, Pos UKS,
dll). Strata sekunder adalah para pembuat opini di masyarakat, perlu dibina atau diajak bersama
untuk menumbuhkan norma perilaku atau budaya baru agar diteladani masyarakat. Ini dilakukan
melalui media massa, media tradisonal, adat, atau media apa saja sesuai dengan keadaan,

92
masalah dan potensi setempat. Sedangkan strata tertier adalah para pembuat keputusan dan
penentu kebijakan, yang perlu dilakukan advokasi, melalui berbagai cara pendekatan sesuai
keadaan, masalah dan potensi yang ada. Ini dilakukan agar kebijakan yang dibuat berwawasan
sehat, yang memberikan dampak positif bagi kesehatan.
Dengan visi, misi dan strategi seperti ini, Promosi Kesehatan juga jelas akan melangkah
dengan mantapnya di masa depan. Namun sebagaimana konsep Promosi kesehatan yang
disebutkan di muka, visi, misi dan strategi tersebut juga harus dapat dioperasionalkan secara
lebih membumi di lapangan, sesuai keadaan, masalah dan potensi setempat.

Ujung Tombak Pembangunan Kesehatan Dan Pilar Indonesia Sehat

Tujuan program Promosi Kesehatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan


kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Tujuan ini sangat mendukung bahkan mempunyai
kemiripan dengan rumusan tujuan pembangunan kesehatan sebagaimana yang dirumuskan dalam
UU Kesehatan, baik UU Kesehatan Tahun 1960, UU Kesehatan Tahun 1992, maupun Tujuan
dalam SKN Baru, yang direncanakan sebagai naskah akademis Rancangan UU Kesehatan yang
akan datang. Ini menunjukkan bahwa Promosi Kesehatan pada hakekatnya merupakan ujung
tombak pembangunan kesehatan. Dapat dikatakan bahwa semua upaya dan program kesehatan,
sebenarnya perlu diawali dengan upaya atau program kesehatan. Dengan perkataan lain, promosi
kesehatan menyiapkan masyarakat agar menjadi lebih sadar, paham, dan siap untuk berbuat.
Setelah itu diikuti atau dibarengi dengan program-program kesehatan yang memberikan layanan
teknis kesehatan. Maka pantaslah apabila Promosi Kesehatan dinyatakan sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan.
Selanjutnya Promosi Kesehatan yang mempunyai bidang garapan perilaku hidup sehat
adalah satu dari tiga pilar Indonesia Sehat. Pilar lainnya adalah: Lingkungan Sehat dan
Pelayanan Kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat,
Promosi Kesehatan jelas mempunyai peran yang sangat menentukan dalam pencapaian visi
Indonesia Sehat. Hal ini juga diperkokoh dengan ditetapkannya Promosi Kesehatan sebagai salah
satu program unggulan. Sedangkan di dalam PROPENAS dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (2004-2009) serta dalam RENSTRA Departemen Kesehatan (2005-2009) Promosi
Kesehatan menempati prioritas dalam urutan pertama. Hal ini juga tercermin dalam alokasi
anggaran yang meningkat cukup tajam mulai tahun 2005.
Perlu disebutkan pula bahwa Upaya pemberdayaan masyarakat yang merupakan bidang
garapan Promosi Kesehatan ditetapkan seagai salah satu sub sistem dalam Sistem Kesehatan
Nasional yang baru. Promosi kesehatan (penyuluhan kesehatan) juga ditetapkan dalam Stndar
Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan untuk kabupaten/kota; Promosi Kesehatan juga
ditetapkan sebagai pelayanan wajib Puskesmas. Selain itu juga telah ditetapkan jabatan
fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat dan tunjuangan jabatannyapun telah diberikan. Ini
semua menunjukkan bahwa peran Promoisi Kesehatan dalam pembangunan kesehatan pada
masa yang akan datang tetap penting dan karenanya memerlukan perhatian lebih saksama.
Namun dalam operasionalnya di lapangan, diperlukan kepekaan yang tinggi dari segenap
petugasnya serta diperlukan kreatifitas dalam menerjemahkannya sesuai keadaan, masalah dan
potensi setempat.

93
Metode Dan Tehnik Yang Handal

Melalui pengalaman yang cukup panjang, dan dengan dukungan jaringan kemitraan yang
cukup kuat dari dunia internasional, Promosi Kesehatan mempunyai berbagai metode dan tehnik
yang cukup handal dalam pemberdayaan masyarakat. Itu semua telah dituangkan dalam berbagai
panduan atau pedoman tertulis, seperti: Panduan Daerah Kerja Intensif PKM, Pendekatan
Edukatif, KIE, Panduan PKMD, Penyelenggaraan Posyandu, ARRIF, PHBS, Panduan Advokasi,
Panduan Kampanye atau sosialisasi program kesehatan (dalam Bina Susana), dll.
Dalam kaitan itu juga telah diselenggarakan pelatihan dan atau sosialisasi panduan atau
pedoman tersebut bagi para pejabat dan pelaksana di daerah. Demikian pula telah dikembangkan
daerah-daerah percontohan atau uji coba di beberapa daerah. Selain itu juga telah dikembangkan
proto type media, misalnya untuk : Kesehatan Keluarga dan Gizi, Garam Yodium, Kawasan
Tanpa Rokok, HIV/AIDS, dll. Selain itu, bekerjasama dengan Badan Litbang Depkes dan BPS
juga telah dikembangkan sistem surveilans perilaku beresiko terpadu dan sistem informasi
PHBS. Dalam kaitan itu telah dilakukan pemetaan PHBS di berbagai daerah.
Selanjutnya dalam berbagai konferensi internasional/dunia tentang promosi kesehatan,
metode dann tehnik promosi kesehatan tersebut juga selalu memperoleh perhatian. Demikian
pula pada pertemuan-pertemuan nasional selalu membahas inovasi atau setidaknya improvisasi
metode dan tehnik yang dilakukan oleh berbagai daerah, program atau LSM. Tanpa mengurangi
apresiasi terhadap metode dan tehnik yang telah ada dan yang dikembangkan selama ini, perlu
pula terus menerus dikembangkan metode dan tehnik yang lebih sesuai untuk masa yang akan
datang. Namun demikian, apabila diperlukan dapat pula menghidupkan, memberi ruh atau
semangat baru (revitalisasi) metode dan tehnik yang telah ada, misalnya : revitalisasi PKMD,
dsb.

Kemitraan Dan Jaringan Yang Luas

Promosi Kesehatan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak dalam model


jaringan kemitraan. Kerjasama dengan model Jaringan dan/atau Kemitraan ini membuat
kerjasama menjadi lebih hidup dan dinamis. Dalam jaringan dan/atau kemitraan ini tidak perlu
ada organisasi yang kaku dan mekanisme kerja yang baku. Yang penting jaringan dan /atau
kemitraan ini dikembankan atas dasar kesetaraan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling
memberi manfaat (mutual benefit). Pada saat ini Promosi Kesehatan mempunyai jaringan
kemitraan cukup luas.
Kemitraan dengan berbagai program kesehatan, adalah kerjasama dalam menggarap
pesan-pesan kesehatan. Setiap program kesehatan pasti memerlukan dukungan aspek perilaku
yang merupakan sisi lain dari tehnis program (the other side of the coin). Kemitraan seperti ini
pada masa yang akan datang tentu akan perlu terus menerus dilakukan, karena program
kesehatan tanpa promosi kesehatan akan buta, sebaliknya promosi kesehatan tanpa program
kesehatan akan lumpuh.
Kemitraan dengan lintas sektor, adalah kerjasama dengan sektor di luar kesehatan.
Kerjasama tersebut terutama untuk saling memberi dukungan dalam membuat kebijakan yang

94
sehat serta mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Kemitraan ini pada masa yang akan
datang akan dan perlu terus menerus dikembangkan karena masalah kesehatan tidak dapat
dipisahkan dari masalah lain di luar bidang kesehatan. Masalah-masalah tersebut akan saling
mempengaruhi, dan karenanya perlu saling memberi dukungan.
Kemitraan dengan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Profesi dan Lembaga Swadaya
Masyarakat, adalah kerjasama dalam memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan. Di sini
dapat saling bertukar informasi dan saling belajar tentang berbagai hal. Fokusnya adalah agar
masyarakat dapat lebih berdaya dalam mengatasi, melindungi dan meningkatkan kesehatan diri
dan lingkungannya. Dalam kaitan itu masyarakat juga diharapkan berdaya atau mampu
memberikan masukan serta mengawasi upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah. Baik
melalui koalisi, wali amanah ataupun dewan penyantun yang dibentuk di tingkat provinsi,
kabupaten atau kecamatan.
Kemitraan dengan pihak swasta dilakukan untuk menjalin kerjasama yang saling
menguntungkan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia, terutama di bidang kesehatan.
Kerjasama tersebut juga termasuk dalam menghimpun sumber daya yang diperlukan untuk
mendukung upaya kesehatan dalam rangka pengembangan SDM secara keseluruhan. Kemitraan
ini jelas perlu dikembangkan lebih lanjut, karena pihak swasta pada umumnya juga memerlukan
manusia yang sehat agar dapat menggunakan produk dan jasanya.
Kemitraan-kemitraan tersebut agar lebih berhasil guna dan berdaya guna diwadahi dalam
suatu jaringan, yang memungkinkan pihak-pihak yang bermitra dapat berinteraksi secara lebih
leluasa kapan dan di mana saja memerlukannya.
Selain jaringan kemitraan di tingkat nasional, juga ada kemitraan antara Pusat dan Daerah,
yang juga dikembangkan atas dasar kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan, sesuai
dengan era desentralisasi sekarang ini. Selain itu juga ada jaringan kemitraan regional dan
global, seperti dengan sesama negara ASEAN, dengan negara-negara anggota Mega Country
Network, dengan organisasi profesi internasional, dll. Jaringan kemitraan ini juga terus menerus
perlu dikembankan, mengingat batas-batas antar negara kini sudah menjadi semakin tipis dan
longgar.

SDM Promosi Kesehatan

Pada saat ini ada kurang lebih 1.000 orang bekerja sebagai pengelola promosi kesehatan di
pusat dan daerah, walaupun sebagian masih merupakan tenaga rangkap. Kualitas SDM pengelola
promosi kesehatan juga telah ditingkatkan dan telah ditetapkan adanya jabatan fungsional
Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM). Tunjangan jabatan fungsional juga telah keluar sejak
akhir tahun 2004.
Pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas tenaga juga selalu
diselenggarakan setiap tahun. Pada tahun 2002 terdapat 50 orang lebih tenaga pengelola promosi
kesehatan pusat dan daerah yang mengikuti pendidikan formal, baik pendidikan Diploma,
Sarjana maupun Pasca Sarjana. Sedangkan 600 orang lebih mengikuti pelatihan, baik pelatihan
promosi kesehatan maupun tehnis kesehatan.
Dengan adanya otonomi daerah, kebijakan penempatan tenaga sangat tergantung pada
daerah masing-masing. Dalam kaitan itu banyak tenaga promosi kesehatan atau yang
dipersiapkan menjadi tenaga promosi kesehatan dimutasi ke tempat lain, dan sebagai gantinya

95
pos tersebut diisi oleh tenaga baru yang belum memahami tugas promosi kesehatan. Selain itu
pada era 1970 an dahulu di Dinas Kesehatan Kabupaten ada Wakil koordinator PKM
(koordinatornya adalah Kepala Dinas), yang mengkoordinasikan seksi-seksi tehnis di bidang
penyuluhan kesehatan. Tenaga tersebut kiranya perlu dihidupkan lagi. Selanjutnya pada saat ini
tugas penyuluhan/promosi kesehatan di Puskesmas sebagian besar dirangkap oleh tenaga
sanitarian, perawat, atau tenaga lainnya.
Di masyarakat memang ada tenaga kader, yang banyak membantu kegiatan promosi
kesehatan di masyarakat. Dengan tetap mengapresiasi terhadap apa yang mereka lakukan, tetapi
sebagian besar mereka bukan tenaga promosi kesehatan yang seharusnya dapat merencanakan,
melaksanakan, memantau dan menilai kegiatan promosi kesehatan di lapangan. Apalagi angka
drop out kader sejak era reformasi besar sekali.
Pada waktu yang akan datang perlu diangkat tenaga khusus yang mengurusi promosi atau
penyuluhan kesehatan di Puskesmas ini. Hal itu mengingat promosi kesehatan merupakan salah
satu layanan wajib yang harus dilakukan di setiap Puskesmas. Suksesnya upaya promosi
kesehatan dan pembangunan kesehatan pada umumnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan
tenaga ini.

Banyak Kelemahan Dan Masalah

Banyak sekali kelemahan yang harus diperbaiki untuk menghadapi masa depan. Pertama
adalah SDM Promosi kesehatan. Selain baik dari segi jumlah maupun mutunya belum memadai,
jabatan fungsional PKM juga belum mantap. Selanjutnya saling hubung (linkage) di bidang
promosi kesehatan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota sangat kurang. Apa yang dipikirkan
dan dilakukan di pusat sering tidak berhubungan dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan di
provinsi, kabupaten/kota. Demikian pula sebaliknya.
Sementara itu posisi organisasi pengelola kesehatan juga belum stndar: Ada yang berada
di posisi lini, ada yang berada di posisi penunjang. Ada yang langsung dibawah pimpinan unit,
ada pula yang berada dibawah sub unit. Selanjutnya Promosi kesehatan juga belum terintegrasi
benar dengan program-program kesehatan. Promosi kesehatan juga belum dapat berperan di arus
tengah pembangunan kesehatan. Sedangkan sistem informasi perilaku sehat belum berkembang
sepenuhnya. Promosi kesehatan juga belum sepenuhnya berdasarkan fakta (evidence based).
Selain itu masih banyak masalah khususnya dalam pengoperasionalan misi dan strategi,
yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan advokasi. Berbagai
permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Permasalahan yang berkaitan dengan Pemberdayaan Masyarakat, a.l. :

1. Pemberdayaan potensi masyarakat termasuk pemberdayaan perempuan belum


optimal, karena masih sebatas pada mobilisasi dean penggerakan peran serta
masyarakat serta belum terorganisir; Kemampuan masyarakat dalam

96
mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan,
menyampaikan usulan atau desakan maupun mengkritisi upaya kesehatan belum
berkembang.

2. Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan masyarakat, advokasi


kesehatan dan pengawasan sosial dalam pembangunan kesehatan juga belum
banyak berkembang.

3. Jaringan kemitraan dengan berbagai pihak termasuk sektor pemerintahan dan


dunia usaha belum optimal. Kemitraan yang telah dibangun belum menampakkan
kepekaan, kepedulian dan rasa memiliki terhadap permasalahan dan upaya
kesehatan.

4. Potensi masyarakat baik berupa organisasi, tenaga, dana, sarana, teknologi


maupun dalam mekanisme pengambilan keputusan belum secara optimal
dimanfaatkan untuk percepatan program kesehatan.

5. Dinamika masyarakat yang dipengaruhi politik dan ekonomi dewasa ini telah
memberikan dampak negatif terhadap sikap dan perilaku sehat masyarakat
Indonesia.

6. Perkembangan peran serta masyarakat di bidang kesehatan (PKMD, sekarang


Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat) saat ini menurun karena berkurangnya
jumlah (drop out) kader yang aktif, antara lain akibat kurangnya supervisi dan
pembinaan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.

7. Sementara itu kebijakan pemberdayaan belum mantap serta implementasinya di


lapangan belum konsisten. Pada umumnya masyarakat masih diperlakukan
sebagai obyek dalam berbagai kegiatan. Sedangkan di tingkat Pusat
pengorganisasian pemberdayaan masyarakat perlu dikoordinasikan khususnya
antara Pusat Promkes dan Dit. Kesehatan Komunitas.

97
Permasalahan tentang Bina Suasana, a.l. :

1. Kampanye untuk membangun opini masyarakat yang dilakukan dengan berbagai


iklan layanan masyarakat (yang sering dibintangi artis terkenal, atau tokoh
masyarakat), melalui televisi, radio, dll telah menghabiskan dana cukup besar,
tetapi belum tahu sampai seberapa jauh keberhasilan dan efektifitasnya.

2. Demikian pula berbagai poster, leaflet, kalender dan berbagai kegiatan yang
dilakukan di daerah seperti: lomba-lomba, tabligh akbar, dll masih perlu
dipertanyakan keberhasilannya dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat,
apalagi untuk dapat merubah perilaku positif masyarakat.

3. Berbagai kegiatan dalam rangka bina suasana tersebut (yang kiranya berbeda
dengan upaya mempromosikan barang konsumsi) belum sepenuhnya merupakan
upaya yang berkelanjutan, serta terpadu dengan upaya lain, terutama dengan
upaya pemberdayaan masyarakat atau pengorganisasian secara langsung oleh
masyarakat itu sendiri.

4. Upaya-upaya kreatif sesuai dengan keadaan, masalah, potensi dan budaya daerah
belum sepenuhnya dikembangkan.

5. Pengkajian lebih lanjut tentang dukungan kegiatan bina suasana (yang


memerlukan dana besar) dalam perubahan perilaku masyarakat belum dilakukan,
termasuk tentang pemilihan jenis media, tokoh atau bintang yang tampil, dll.

Permasalahan Advokasi, a.l. :

1. Adokasi sering tidak dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan,


serta terkesan sepotong-sepotong sehingga hasilnya tidak maksimal.

98
2. Dalam banyak kasus, kerja advokasi sering terhenti di tengah jalan, atau rencana
yang telah disusun tidak dapat dikerjakan maksimal, karena kurangnya dukungan
dana.

3. Advokasi sebenarnya memerlukan tokoh yang berboot, media dan sarana yang
memadai, sedangkan hal-hal itu tidak dipenuhi secara semestinya. Dengan
demikian hasilnya juga kurang menggembirakan.

Banyak Peluang

Selain hal-hal tersebut di atas perlu dikemukakan pula banyaknya peluang yang ada.
Globalisasi dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang telekomunikasi dan informatika
merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan promosi kesehatan. Sistem
pemerintahan desentralisasi yang memberikan bobot pada otonomi daerah memungkinkan
berkembangnya promosi kesehatan sesuai dengan kebutuhan setempat. Selanjutnya
digalakkannya praktik good governance akan memacu peningkatan kemitraan antara pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha.
Sementara itu tatanan yang tersebar secara luas dan merata di masyarakat (sekolah, tempat
kerja, tempat umum, sarana kesehatan, juga tempat tinggal) merupakan lahan yang perlu
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pengelola dari masing-masing tatanan tersebut perlu
diajak sebagai mitra untuk menggerakkan perilaku hidup sehat di masing-masing tatanan
tersebut.
Dorongan dari dunia internasional juga dapat dimanfaatkan untuk memacu promosi
kesehatan di Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan global, khususnya yang berkaitan dengan
promosi kesehatan dan peningkatan perilaku sehat perlu dikaji kembali (direview) dan ditindak
lanjuti. Hal itu misalnya yang tertuang dalam Deklarasi Jakarta (1997), Pernyataan para Menteri
Kesehatan di Mexiko (2000), Deklarasi Vientiane tentang Healthy ASEAN Lifestyle (2002), the
Bangkok Charter (2005), dll.

Berbagai Tantangan

Selanjutnya banyak tantangan yang harus dihadapi pada masa yang akan datang, yang
diperkirakan akan semakin kompleks. Globalisasi, di satu pihak dapat membuka lebih banyak
peluang dan kesempatan. Tetapi globalisasi, yang juga ditandai dengan meningkatnya persaingan
bebas, akan mengharuskan segenap komponen bangsa untuk meningkatkan daya saing.
Teknologi, transportasi dan telekomunikasi-informasi yang berkembang pesat, dapat mengarah
pada terbentuknya dunia yang terbuka dan tanpa batas. Dengan demikian globalisasi dapat
memperlemah pengawasan pemerintah terhadap faktor-faktor yang berdampak negatif terhadap
kesehatan.

99
Indonesia yang masih rendah kualitas SDM dan rawan masalah politik, ekonomi, sosial
dan budayanya (poleksosbud) akan rentan terhadap masalah kesehatan dan masalah yang
berpengaruh terhadap kesehatan yang datang dari negara lain. Penetrasi budaya negatif yang
datang dari luar akan susah sekali dicegah.
Sejalan dengan itu demokratisasi, hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan hidup
telah menjadi tuntutan dunia yang semakin mendesak. Berbagai komitmen internasional seperti
Millennium Development Goals, Sustainable Development Principles, World Fit For Children
dan agenda-agenda internasional lainnya di bidang kesehatan perlu memperoleh perhatian. Itu
semua merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh segenap bangsa, termasuk oleh promosi
kesehatan.
Secara nasional, dampak dari krisis multi dimensi di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya dan keamanan yang sudah mengarah pada disintegrasi bangsa masih terasa. Berbagai
kondisi tersebut berdampak luas terhadap peri kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara, diantaranya meningkatnya pengangguran dan jumlah penduduk miskin, menurunnya
derajat kesehatan penduduk yang pada gilirannya berpengaruh terhadap mutu sumberdaya
manusia Indonesia. Selain itu penurunan kualitas lingkungan yang terjadi terus menerus,
urbanisasi dan perubahan keadaan kerja, serta transisi politik, epidemiologi dan demografi telah
memberikan kontribusi terhadap semakin kompleksnya masalah.
Selanjutnya desentralisasi yang diharapkan dapat lebih mendekatkan aspirasi rakyat pada
tujuan pembangunan serta meningkatkan peran aktif mereka pada jalannya pembangunan, masih
dalam masa transisi. Desentralisasi masih berkutat pada bidang politik (itupun baru bersifat
formal) sedangkan cita-cita desentralisasi yang sebenar-benarnya masih jauh dari kenyataan.
Dengan beberapa pengecualian, banyak daerah yang justru mengalami kemerosotan dalam
pelayanan kesehatannya. Pembangunan kesehatan kurang memperoleh perhatian, organisasi
Dinas Kesehatan di daerah rancu, penempatan tenaga dan mutasi jabatan tidak berdasar
kemampuan dan keahlian, dll. Posisi Promosi Kesehatan jug tidak jelas. Sehingga pemeo lama
berulang kembali: Health education is everybody bussiness, but in reality it is nobody
bussiness.
Akibatnya banyak masalah kesehatan bermunculan. Demam berdarah, malaria, infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA), TBC merebak di mana-mana. Bahkan busung lapar, kurang gizi,
flu burung muncul menjadi isu nasional. Belum lagi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit juga
menjadi sorotan dan banyak dikeluhkan masyarakat. Profesionalisme tenaga kesehatan
khususnya dokter bayak dipertanyakan masyarakat. Dalam pelayanan kesehatan terjadi
dehumanisasi. Sedangkan perilaku negatif masyarakat di bidang kesehatan meningkat.
Permasalahan dan tantangan tersebut pada masa yang akan datang akan menjadi semakin
besar dan kompleks. Promosi Kesehatan seharusnya mempunyai andil dalam menjawab
permasalahan dan tantangan tersebut di atas.

Rencana Aksi ke depan: Kerja keras secara cerdas dan ikhlas !

Bagaimana menjalani masa kini dan menghadapi masa datang? Pertama, sebagaimana
telah disebutkan di depan (bab VIII) kita harus memperkuat tekad dan semangat. Kita harus
pantang menyerah dan tidak akan putus asa menghadapi berbagai kesulitan, masalah dan
tantangan sekompleks apapun. Kuncinya terletak pada SDM, maka kuantitas dan kualitas SDM

100
perlu terus menerus ditingkatkan.
SDM yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual. SDM yang
mempunyai kepekaan tinggi (dimensi sosial), yang mau bekerja keras (dimensi fisik), secara
cerdas (dimensi intelektual) dan ihlas (dimensi spiritual), serta mampu memainkan berbagai
peran.
Selanjutnya kebijakan promosi kesehatan dimantapkan. Didukung dengan peraturan dan
kebijakan operasional yang mantap, baik di pusat maupun daerah. Perbaikan kualitas kesehatan,
pemberdayaan masyarakat dan mengurangi kesenjangan di bidang kesehatan harus merupakan
fokus pembangunan nasional. Paradigma Sehat dengan visi Indonesia Sehat-nya perlu terus
dikembangkan dan dioperasionalkan. Visi, misi, strategi dan hal-hal yang telah dituangkan dalam
Keputusan Menkes 1193/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan perlu dicermati,
ditindak lanjuti dan dioperasionalkan. Hal-hal yang telah menjadi komitmen misalnya yang
tertuang dalam Millenium Development Goals perlu diagendakan secara saksama dan didukung
sepenuhnya.
Kemudian jaringan kemitraan dengan berbagai pihak perlu terus menerus dijalin dan
dikembangkan. Hal itu karena untuk menghadapi berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
kesehatan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan memerlukan adaptasi kebijakan dan
tindakan nyata dalam pelaksanaannya. Kemitraan perlu dikembangkan secara lintas sektor, lintas
program, Pusat-Daerah, pemerintah-masyarakat termasuk dunia usaha dan LSM, dan kemitraan
lainnya, termasuk antara unsur pelayanan dengan kalangan ilmuwan di Perguruan Tinggi.
Demikian pula jaringan kemitraan dengan badan dunia dan berbagai organisasi internasional
juga perlu terus dikembangkan.
Selanjutnya agar langkah ke depan tersebut dapat lebih terencana dan nyata, perlu disusun
rencana aksi yang jelas. Rencana aksi Promosi Kesehatan tersebut, yang dikembangkan dari
Strategi Peningkatan Promosi Kesehatan dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan (yang
telah ditetapkan dalam Keputusan Menkes 1193/2004), adalah sebagai berikut :

Pengembangan Kebijakan Promosi Kesehatan Daerah, yang diperlukan untuk


mengupayakan adanya landasan hukum dalam rangka memperkuat penyelenggaraan
promosi kesehatan di daerah.

Peningkatan Sumber Daya Promosi Kesehatan dalam rangka peningkatan SDM, dana dan
sumber daya lain, yang diperlukan untuk penyelenggaraan promosi kesehatan yang
berkualitas. Khususnya peningkatan SDM dilaksanakan dengan peningkatan mutu dan
jumlah pejabat fungsional PKM di berbagai lini, serta peningkatan kemampuan tenaga-
tenaga kesehatan yang berada di garis depan (yaitu perawat, bidan, sanitarian, dll di
Puskesmas), Rumah Sakit, dan sarana kesehatan lain, dalam bidang pemberdayaan
masyarakat. Peningkatan pembiayaan promosi kesehatan dilakukan dengan advokasi
kepada Pemda, DPRD, DPR, dan Departemen Keuangan, serta berbagai pihak lainnya.

101
Pengembangan Organisasi Promosi Kesehatan, yang diperlukan untuk mengupayakan
posisi yang sesuai bagi unit promosi kesehatan agar mampu mengemban tugas dan
tanggung jawab yang diberikan.

Integrasi dan sinkronisasi Promosi Kesehatan dalam program-program kesehatan, yang


dilakukan dengan menyusun rancangan (design) promosi kesehatan untuk berbagai
tatanan (setting) yang ada (rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat
umum dan sarana kesehatan), melalui berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, bina
suasana dan advokasi secara terpadu.

Pendayagunaan data dan pengembangan Sistem Informasi Promosi Kesehatan, yang


diperlukan untuk mewujudkan promosi kesehatan yang berdasar pada fakta (evidence
based). Ini dilakukan dengan peningkatan kualitas perencanaan dan perancangan promosi
kesehatan, pencatatan dan pelaporan, dll.

Peningkatan kerjasama dan kemitraan, baik lintas program maupun lintas sektor,
termasuk dengan tokoh-tokoh masyarakat (dari kalangan agamawan, politik, budayawan,
selebriti), LSM, wartawan, jurnalis dan reporter (cetak, radio dan televisi). Itu semua
perlu dilakukan untuk merespons masalah-masalah kesehatan yang aktual di masyarakat
sehingga dapat menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung.

Pengembangan metode, tehnik dan media, untuk menemukan metode, tehnik dan media
pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan advokasi serta kemitraan yang sesuai
dengan ciri-ciri tertentu masyarakat, baik dari segi geografi, sosial, budaya, maupun
ekonomi dan politik. Selain itu juga untuk meningkatkan pendayagunaan IPTEK dalam
promosi kesehatan, termasuk pendayagunaan internet dan jaringan berbasis web.

Memfasilitasi peningkatan promosi kesehatan, untuk meningkatkan kemampuan daerah


kabupaten/kota yang merupakan titik berat otonomi daerah dalam penyelenggaraan
promosi kesehatan. Ini dilakukan oleh provinsi bersama dengan pusat, melalui daerah-
daerah percontohan yang kemudian direplikasi ke daerah lain.

Berbagai rencana aksi tersebut perlu dilandasi dengan tekad dan semangat yang mantap.
Kita berharap bahwa hari esok harus lebih baik daripada hari ini dan kemarin. Dengan demikian

102
kita akan termasuk orang yang beruntung, sebagaimana kata orang yang sangat bijak, yang
dikutip di awal bab ini.

Bab X
APA KATA MEREKA

Sejarah tergantung pada para pelakunya. Para pelaku itu banyak yang sudah
mendahului kita menghadap Sang Pencipta. Di antara yang tinggal banyak yang
sudah purna bakti dan bertebaran di berbagai tempat. Banyak di antara para
pelaku itu masih berbuat untuk masyarakat dan bangsa dengan caranya masing-masing.

Inilah kesan dan pesan dari sebagian para pelaku sejarah dan para pengamat atau
pemerhati Promosi Kesehatan itu.

Dokter Sayoga
(Mantan BOC I, terakhir pejabat DEPDIKNAS Provinsi Jawa Barat)

Sekolah sebagai Lahan Strategis bagi Promosi Kesehatan

Yang dimaksud sekolah adalah semua jenjang pendidikan di tingkat dasar dan menengah
yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Para murid atau
siswa sudah dalam keadaan terorganisasikan dan dalam keadaan siap untuk menerima segala
bentuk kegiatan yang berkaitan dengan Promosi Keshatan. Demikian pula para pengasuh atau
gurunya. Promosi Kesehatan tidak hanya dalam bentuk pendidikan atau penyuluhan kesehatan,
baik secara intra kurikuler atau ekstra kurikuler, melainkan juga dilengkapi dengan Pelayanan
Kesehatan Sekolah. Berkenaan dengan Otonomi Daerah, maka kegiatan Pelayanan Kesehatan
Sekolah disesuaikan dengan kemampuan daerah masingt-masing.
Menurut pengamatan dan pengalaman saya di lapangan terbukti bahwa pendidikan
kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Sekolah belum berjalan dengan optimal, bahkan hanya
dilaksanakan sekadarnya saja. Initerjadi karena buku-buku, sarana dan sumber daya manusianya
tidak tersedia atau kurang memadai.
Apakah yang dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan atau khususnya oleh Pusat
Promosi Kesehatan? Ini mengingat para siswa yang jumlahnya jutaan itu mempunyai potensi
sebagai pembaru perilaku kesehatan (Agent of change for positive health behaviour) yang
merupakan salah satu tujuan dari promosi kesehatan.

Pusat Promosi Kesehatan sebagai Sumber Referensi

103
Alangkah baiknya apabila Pusat Promosi Kesehatan mempunyai bagian Sumber Referensi
Kesehatan. Selain memiliki data-data kesehatan mutakhir, bagian ini juga membuat brosur-
brosur, modul-modul, buku-buku kesehatan dan alat-alat peraga audio-visual tentang kesehatan
yang dapat digunakan bagi masyarakat umum ataupun untuk sekolah-sekolah.
Hal ini saya kemukakan karena sepertinya belum ada buku-buku tentang kesehatan bagi
sekolah yang memadai. Oleh karena itu Pusat Promosi Kesehatan harus mempunyai tenaga
pengelola sumber referensi kesehatan dan Tim Penulis. Apabila diperlukan Tim Penulis dari
PPK ini dapat bekerja sama dengan DEPDIKNAS atau DEPAG, atau memberi bantuan kepada
DEPDIKNAS, DEPAG, atau Departemen lain yang memerlukan.

Prof. Dr. Soeratmi Poerbonegoro, MPH.

Setelah lulus, tidak langsung bekerja dengan penempatan sebagai staf pengajar Fakultas
Kedokteran, tetapi mengikuti program Departemen Kesehatan ke daerah dengan wabah selama 2
minggu bersama dokter yang baru lulus dengan penempatan di daerah/puskesmas waktu itu ke
Palembang (wabah cacar tahun 1961). Sebelum berangkat memperoleh pelatihan di Departemen
Kesehatan Jakarta dengan supervisi almarhum dr. Bagiastra dan dr. Abdulkadir (kegiatan ini
merefleksikan suatu kerjasama antar Departemenn Pendidikan dan Departemen Kesehatan yang
baik).
Dalam kurun waktu (1963-1965) saya bertemu dengan Ibu Koesnaniah, almarhum Ibu Tati
dan alamarhum Liem Tjae Lie sewaktu bertugas sebagai Kepala BKIA Pendidikan mahasiswa
FKUI di Jl. Kwini, di gedung Departemen Kesehatan bagian belakang yang bersebelahan dengan
bagian Pendidikan Kesehatan Departemen Kesehatan. Dari hubungan ini diperoleh bekal
pengalaman kerja berkaitan dengan Kesehatan Masyarakat dan Pendidikan Kesehatan. Kegiatan
BKIA meliputi penimbangan para ibu hamil, bayi/balita sehat, pemberian imunisasi pada
bayi/balita maupun ibu hamil sehat serta vitamin dan makanan tambahan (pada waktu itu susu
bubuk persahabatan USA-RI, Vit A D, Fe), dan pendidikan kesehatan dengan menggunakan
pamflet-pamflet tertentu dan kartu gizi dilaksanakan baik di puskesmas maupun waktu
kunjungan rumah dilaksanakan bersama mahasiswa yang kuliah kerja PH (Public Health) di
BKIA dan staf paramedis yang ada. Jika disimak kembali maka saya dapat mengatakan bahwa
pelaksanaan promosi kesehatan yang baik erat berhubungan dengan pendidikan kesehatan yang
diberikan, jelas kegiatan penyuluhan/HE. Keadaan ini mendukung pernyataan Leavell & Clark
health education is vitally important the procedures in promoting health (1953). Keadaan ini
disadari oleh dr. Leimena dengan tulisan beliau (1956) sbb: public health of to day can not be
solved without health education; and it is also true that this activity can aonly be carried out by
capable worker. Kata capable workers menurut saya meliputi kemampuan bidang pekerjaan
kesmas (substansi) dan bidang komunikasi serta hubungan antarpribadi ( HAM).

Dra. Koesnaniah Wirja Mihardja, MPH

Tafsiran atau pengertian orang tentang Pendidikan Kesehatan memang tidak sama.
Masing-masing mempunyai persepsinya sendiri. Namun yang jelas adalah bahwa Pendidikan

104
Kesehatan,s ebagaimana halnya dengan pendidikan pada umumnya, adalah suatu proses yang
diarahkan sedemikian rupa, agar cara hidup sehat menjadi pola idup sehari-hari. Jelas bahwa cara
hidup sehat (Pendidikan Kesehatan ) harus sudah diawali, ditanam sejak dini dalam keluarga.
Perlu ditekankan bahwa program kesehatan (gizi, sanitasi, pemberantasan penyakit-
penyakit menular dsb.) dapat mencapai hasil yang efektif dan efisien, bila disatu pihak ada
fasilitas dan system pelayanan kesehatan yang memadai dan dilain pihak ada kesadaran dan
partisipasi masyarakat.

It can, in general be said that all activiteis in the field of public will not have satisfactory result,
unless appropriate education and information on those problems are provided efficiently to the
public ( Leimena, 1956.)

Adanya program Pendidikan kesehatan didorong oleh keadaan bahwa banyak masalah
kesehatan timbula, justru karena ketidaktahuan (ignorance) masyarakat, yang tercermin dalam
pola piker, pola hidup, kebiasaan hidups ehari-hari yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Kiranya ini pula yang mendorong Dr. Hydrick dari Rockefeller Foundation (Amerika), untuk
membuktikan pentingnya Public Health Education sebagai kegiatan untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat dalam bidang Hygiene dan Sanitasi. Ia mengadakan penelitian dalam
rangka pemberantasan penyakit cacing tambang, di daerah Banyumas tahun 1924 dengan
menggalakkan kegiatan Program Kesehatan Rakyat. Dalam penyusunan Sejarah PKR, kita tidak
dapat mengabaikan peran kondisi social politik dan ekonomi Indoensia dengan dinamika
perubahannya yang jelas mempengaruhi perputaran roda mesin Kesehatan Masyarakat dan
pendidikan Kesehatan.
Selanjutnya naik turun dan berkembangnya Pendidikan Kesehatan sebagai disiplin baru
dibidang Kesehatan Masyarakat, dengan posisi yang berubah-ubah dalam system organisasi
Kesehatan Masyarakat, memang bervariasi. Ini tergantung pandangan dan nilai yang ada pada
waktu itu tentang Pendikan Kesehatan.
Pengalaman bertahun-tahun tentang eksistensi Pendidikan Kesehatan, telah membawa
perkembangannnya pad titik dimana tenaga khusus Pendidik Kesehatan diperlukan dengan latar
belakang pendidikan Pasca Sarjana. Hal ini dodorong oleh kebutuhan dan anggapan bahwa
tenaga pasca sarjanan akan lebih mampu menerapkan Health Education diberbagai pihak dalam
rangka menempatkan H.E. sebagai bagian integral dalam program-program kesehatan, dan
menyediakan technical backstopping sebagai bagian dari tugas pembinaan.

Prof. Dr. Rika Subarniati Triyogo, dr.,SKM.

Perkembangan lembaga pendidikan tinggi ( 5 FKM ) ikut memberi andil besar dalam
mengembangkan SDM bidang Promosi Kesehatan. Saat ini sudah berkembang menjadi 47
lembaga pendidikan tinggi yang tergabung dalam Asosiasi Institut Pendidikan Tinggi Kesehatan
Masyarakat (AIPTKMI). Di FKM Unair misalnya, bagian PKIP akan mulai menyelenggarakan
pendidikan profesi dengan mewajibkan lulusannya mampu menguasasi kompetensi Strategi
Promosi Kesehatan yaitu Advokasi,Bina Suasana (Social support) dan Pemberdayaan
(empowerment). Mereka diwajibkan mampu mengembangkan media baik cetak mapun
elektronik serta membuat scenario suatu kegiatan promosi kesehatan yang local spesifik. Karena
biaya pendidikan yang minimal, maka belum bersifat individual melainkan dalam kelompok

105
kecil. Fakta ini menunjukkan bahwa ada saling kerterkaitan antara Departemen Kesehatan dan
Departemen Pendidikan Nasional Nasional dalam perkembangan promosi kesehatan di Indonesia
ini. Deapartemen kesehatan tidak berjalan sendiri dalam pengembangan promosi keshatan di
Indonesia.
Promkes tidak hanya individu, kelompok dan masyarakat luas, melainkan juga individu
sebagai anggota organisasi (manajemen & karyawan dari Rumah sakit, Instansi pemerintah,
swasta serta organisasi LSM) dan individu dalam organisasi (yayasan, sekolah, asrama dll).
Baik-baik secarapersonal maupun kelompok.
Karena kami juga mengembangkan dan berjuang agar pelatihan-pelatihan di semua
instansi termasuk rumah sakit bukan hanya meliputi prosedur/teknis (medis, asuhan keprawatan,
asuhan kefarmasian maupun pelayanan penunjang dan administraf) untuk mencapai tujuan
organisasi, seperti yang banyak dilakukan saat sebelum ini, melainkan juga aspek perilaku
(anggota) organisasinya (tentang kepemimpinan, negosisasi, manajemen konflik, advokasi,
motivasi kerja, dukungan social, pembentukan norma dan nilai-nilai sebagai unsuru budaya
organisasi dll., yang merupakan unsure utama dalam proses Organization learning dalam menuju
Learning Organization). Hal ini sangat sesuai dengan pemikiran SDM sebagai Human Invesment
bukan hanya alat produksi, melainkan juga penentu produkstivitas itu sendiri. Pemenuhan
kebutuhan bagi diri pribadinya perlu diperhitungkan, disdamping kebutuhan organisasi.
Penekanan ciri kegiatan promosi kesehatan yang cenderung ke evidence based dari pada
problem based, perlu juga seperti halnya Penanggulangan HIV/AIDS tidak usah menunggu
stelah menjadi masalah. Demikian juga sifat proaktif dari pada reaktif/responsive, meskipun
hasilnya belum maksimal, misalnya tindakan surveillance perilaku menyimpang yang dilakukan
saat ini. Selain itu pergeseran perhatian ke penyakit menular mengarah ke metoabolik perlu juga
diketengahkan. Hal baru yang dikembangkan di FKM Unair mulai tahun akademik ini adalah
metode pembelajaran yang mengarah ke perkembangan kepribadian, slef efficacy dengan
pendekatan life skill education (LSE)(baik personal, interpersonal maupun vocational) serta
quantum learning ( yang bermuataan penegbangan IQ, EQ, danSQ) diharapakan akan sangat
bermanfaat bagi pengembangan SDM Pembangunan Indonesia di segala bidang, khususnya para
pelaksana promosi kesehatan. Secara non formal sudah banyak dilakukan LSE di Indonesia,
khususnya di Jawa Timur dengan bantuan UNICEF telah dilakukan di bberapa pondok pesantren
di 4 Kabupaten/Kota. Insya Allah melalui lokakarya Peta Respon yang diselenggarakan oleh
BPNA Jatim bekerjasama dengan ASA akan kami dorong pendekatan LSE di semua kabupaten
di Jawa Timur. Kemampuan ini kami yakini dapat mendudkung Strategi Promosi Kesehatan
khususnya empowerment (individual & community level).

Drs. Nurhasan, MPH.

Health Educator tak usah berbangga diri, justru kebanggaannya adalah membuat profesi
atau orang lain bangga.

Profesi dokter baik dan mulia, profesi pedagang pun baik dan mulia, tetapi bila keduanya
ada pada satu orang maka menjadi tidak baik dan tidak mulia.

106
Seorang Dokter bertutur kepada putri tercintanya : Nak, kamu tidak usah ikuti jejak
ayahmu menjadi dokter, karena dokter adalah pekrjaan mulia dan kemulyaan itu pudar
bila kamu menjadi kaya raya karenanya ( Dan memang sampai meninggalnya Pak
dokter ini tetap hidup sederhana dan masyarakat sekitarnya tetap mengenangnya dengan
rasa hormat ).

Dra. Gertruida Tampubolon, MPH.

Sekitar tahun 1976, saya ditugaskan mewakili Departemen keshatan mendampingi


Almarhumah Ibu Lasiah sutanto ( Meneg Peranan Wanita) supervisi program-program di daerah
ke Kalimantan Barat. Maka di provinsi pun seluruh dinas yang terkait juga ikut dlam rombongan
menuju salah satu desa percontohan di kabupaten mempawah. Sebagaimana biasanya setiap
kunjungan Menteri ke daerah sudah berderet acara-acara yang ketat dan protokololer. Setelah
selesai kunjungan di desa kami pulang menuju Pontianak. Sebelum menyeberangi jembatan
Sungai kapuas, mobil Toyota Land cruiser yang membawa Menteri yang didampingi oleh Bapak
Gubernur dan Kepala kanwil Kesehatan tiba-tiba mogok, maka semua mobil yang membawa
rombongan berhenti ditengah hutan (kira-kira sekitar 30 mobil yang mewakili semua
departemen), sambilmenunggu si sopir memperbaikimobil tersebut.
Setelah kira-kira 30 menit berhenti sambil ngobrol belum ada tanda-tanda apakah mobil itu
dapat segera berfungsi. Saya yang kebetulan ada pada mobi dibelakang memberi masukan pada
Ibu menteri yang saat itu lagi ngobrol denganBapak Gubenur mengatakan sbagai berikut : Ibu di
belakang sekali ada mobil cadangan dari panitia berupa Ambulans yang baru, apakah tidak
sebaiknya kita manfaatkan fasilitas itu ? Acara kita di Pontianak malam cukup padat. Saran itu
disambut baik oleh pimpinan, maka ambulans dipanggil dan kami meluncur ke Pontianak. Kami
tiba satu jam terlambat dari rencana kunjungan. Malam itu ada dialog dengan mahasiswa
Universitas Lambung Mangkurat. Kira-kira 3 jam kemudian mobil yang mogok dapat menyusul
kami.
Seminggu kemudian setelah pulang dari Pontianak saya diapnggil oleh IbuKadit PKM
yang saat itu dipimpin oleh Dr. Pudjiastuti, MPH, mengatakan sebagai berikut : Kenapa kamu
langsung bicara ke Ibu Menteri sewaktu mobil rusak di Pontianak minggu lalu ? Saya dapat
tegoran dari panitia, seharusnya usulan melalui protokol.
Lalu saya jawab : Maaf bu, Saya tidak tahu siapa protocol dan dimana mereka berada karena
banyak sekali orang dalam rombongan itu. Jawabnya : Yah saya mengerti karena kamu baru
masuk ke disiplin ini yang penuh dengan protokoler dan birokrasi, tambahan lagi kamu pindah
dari swasta dan baru pulang dari Amerika yang berpikir lebih praktis. Saya sudah minta maaf
pada mereka, tetapi lain kali jangan mengulang hal yang sama . Saya sebagai tenaga baru di
Departemen Kesehatan dan menurut pembimbing kami salah satu fungsi Health Educator adalah
problem solver, namun ternyat tidak selalu tepat dengan budaya kita.

Bob Susilo Kusumobroto.

107
Pengalaman pelaksanaan DKI-PKM di kabupaten Barru Sulawesi Selatan

Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, terletak di
pantai barat. Ibukota kabupaten terletak 100 km dari Ujung Pandang (sekarang Makassar) kearah
kota Pare-Pare. Sebagian besar penduduknya hidup sebagai nelayan dan petani. Barru
merupakan tempat pendaratan para pejuang kemerdekaan.

Sebagai seorang Koordinator PKM Kabupaten dan merangka Kepala Seksi Hygiene
Sanitasi di Kabupaten Barru, yang bertanggung jawab atas terlaksananya penyuluhan keshatan
secara umum maupun khusus samijaga. Pemberian kepercayaan oleh provinsi sebagai salah satu
dari empat daerah uji coba DKI-PKM merupakan suatu tantangan. Sebagai petugas lapangan
mengetahui benar bahwa banyak masalah kesehatan yang disebabkan karena perilaku
masyarakat yang kurang sehat seperti buang air besar disebarang tempat, menmgambil air
minum dari sumur yang tidak ememebuhi persayaratan, pertolongan persalinan masih dilakukan
oleh sanro (dukun bayi) dan lain-lain.
Kegiatan yang eprtama kali dilakukan adalah pengumpulan data awal yang dilakukan oleh
Pusat. Pengambilan blok sensus secar random yang dilakukan di pusat ternyata terbentur dengan
kenyataan, tiga blok sensus yang terpilih terletak sangat jauh, yang letaknnya di pegunungan
dimana untuk mencapai lokasi tersebut sangat sulit dan rumahnya terpencar-pencar. Sehingga
diambil kesepakatan bahwa desanya tetap sama tetapi blok sensus diubah, sehingga lebih udah
dijangkau dan mendapatkan respondennya.
Sejak awal ditekankan bahwa DKI-PKM ini dilaksanakan dengan pendekatan edukatip,
yaitu melalui suatu proses belajar yang melibatkan masyarakat dan petugas. Masyarakat tahu
akan lingkungannya, masalah kesehatannya dan cara pemecahannya bersama-sama dengan
petugas. Untuk itu dilakukan pengembangan provider dan pengembangan masyarakat. Kegiatan
awal lainnya adalah mencari dukunbgan politis dan membentuk kelompok kerja tingkat
kabupaten seperti : Kabag Pemerintahan, Kesejahteraan Rakyat, Perencanaan dan Kepala Dinas
atau Kandep terkait. Dukungan ini sngat penting karena penyelesaaian masalah kesehatan bukan
oleh sector kesehatan saja.
Kegiatan lainnya adalah memeprsiapkan jajaran kesehatan khususnya bagi tenaga
puskesmas dan pengelola program di kabupaten. Mereka harus memahami kegiatan awal berupa
Community self survai yang kemudian dikenal sebagai Survai mawas diri. Petugas harus tahu
cara melakukan survai bersama masyarakat dan lintas sector terkait, kemudian mentabulasi serta
menyajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti. Mengajak masyarakat untuk berdiskusi dan
melihat keadaan kampong yang sebenarnya berkaitan erat dengan permasalahan yang ada dan
kaitannya dengan permasalahan kesehatan yang akan timbul. Hal ini merupakan pengalman yang
pertama kali bagi mereka, karena dilibatkan sejak awal dan didukung oleh lintas sector mulai
dari tingkat desa sampai kabupaten. Dari pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat lebih
menekankan kepada perubahan fisik yang mudah dilihat dan dapat dilakukan dengan bergotong-
royong, seperti perbaikan jalan, penataan rumah dan lingkungannya, disamping itu kegiatan yang
lebih penting adalah penyuluhan dan KIE.
Melalui berbagai pertemuan di tingkat kampong maupun desa yang melibatkan
masayarakat dan tokoh masyarakat, penyuluhan yang terencana serta bimbingan dari petugas
lintas sector secara terpadu ternyata menggugah semangat mereka untuk ikut berperan di dalam
pembangunan. Hal ini tidak dapat dinilai dengan uang. Pada berbagai pertemuan jiga disajikan

108
foto atau slide dari akmpung tersebut sebelum dan sesudah diperbaiki. Pengalaman juga
menunjukkan bahwa hal ini juga dicontoh oleh kampung sekitarnya, sehingga secara perlahan
lahan dapat mengubah fisik kampung dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
hidup besih dan sehat.
Dari hasil evaluasi diketahui bahwa adanya mekanisme kerja mulai dari tingkat desa-
kecamatan-kabupaten-provinsi yang terencana akan sangat membantu pelaksanaan program.
Melalui kegiatan yang melibatkan langsung masyarakat di dalam pengambilan keputusan
meningkatkan kesadaran dan ekmampuan yang dimiliki untuk menanggulangi masalah-masalah
secara terencana. Dilain pihak petugas khususnya petugas kesehatan harus merubah orientasi dari
klinis ke masyarakat, hal ini etrnyata tidak mudah dilakukan.
Pengalaman yang diperoleh bahwa untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap
masalah kesehatan dimulai dengan emembantu pemecahan masalah di masyarakat yang secara
langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Hal ini perlu dukungan dari pemerintah daerah
maupun lintas sector terkait, baik di dalam pemebrian bantuan dan bimbingan teknis. Tidak
dapat dipungkiri bahwa cara pandang petugas kesehatan perlu disipaknan secara matang agar
mereka tidak beranggapan bahwa masyarakat hanya sebagai obyek dan tidak emmpunyai
kemampuan, disamping melakukan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat tentang
perilaku hidup bersih dan sehat (kesehatan) secara terencana dan berkesinambungan.

Pujanto, SKM, MKes.

Awal pelajaran HE/PKM waktu semester 2 Tahun 1974 di APK Jakarta, saya tidak tertarik
pelajaran ini. Assisten Ibu Koesnaniah Wirja Mihardja, 3 orang yaitu : Rachmat Hartono BSc,
Bambing Ristanto, BSc, dan Bambang Hartono, BSc., yang sekarang menjabat kepala Pusat
promosi Kesehatan. Karena kala itu adalah Rachmat Hartono, BSc yang sambil merokok
memberi kuliah. Yang menarik adalah Bambang Hartono,. Bahan kuliah, kuis yang stensilan
kertas duplikator masih tersimpan? Karena alur kuliah 2 semester dibuat skematis, kotak-
perkotak mulai pengenalan dari Public Health sampai aplikasi pada program kesehatan tertentu,
bahkan rancangan membuat media dikenal mengikuti langkah alur diagnosa edukatip.
Alhasil, tugas pertama di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan di tahun 1977, di Seksi
Hygienen&Sanitasi, tetapi juga berteman dengan Koordinator HE/PKM Kabupaten, tugas-tugas
PKM malah melekat. Pada tahun tahun itulah sudah dikenalkan dengan Daerah Kerja Intesif
PKM, yang kala itu mencakup seluruh Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, masing-masing
pada 1 Kecamatan, pada satu Desa. Awalnya HE/PKM dibenci tetapi malah melekat sampai
dengan sekarang ini (ada peribahasa Jawa : Genting-Nyanding,ini mengajarkan pada kita
kalau kita benci, malah mendekat atau melekat). Tiga tahun kemudian, pada awal April 1980,
tugas berpindah di Dinas Kesehatan Provinsi, kala itu di Unit PKM ( belum Organisasi
Struktural) yang sifatnya fungsional, Kepala Unit PKM adalah, dr. H. Aisyah R. Pananrang.
Inilah yang turut membina saya, dan ternyata teman seangkatan Bapak Bambang Hartono
sewaktu Training PKM yang 3 bulan di Murnajati Malang.di Unit PKM kala itu hanya ada 6
orang staf tehnis, yaitu 1 orang dokter (Ibu dr. Aisyah R Pananrang) 2 lulusan APK dan 2 orang
Lulusan Akper, 1 orang tamatan SAM yang menangani AVA. Tahun 1979 satu staf Teknis
Bapak Sumardin Makka, Bsc. Tubel ke FKM-UI. Baru tugas 3 bulan, giliran Ibu dr. Aisyah R.
Pananrang, menyusul tubel ke FKM-UI, yang pada akhirnya operasional Unit PKM Provinsi

109
dikelola 3 staf teknis dan Pelaksana tugas Kepala Unit yaitu Dr. MN. Anwar SKM. (sudah
Almarhum) yang merangkap sebagai kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Sewaktu itulah sedikit-sedikit berkenalanlah dengan Program Binaan Daerah Bina PKM 4
Provinsi yaitu : Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Barat. Daerah Bina 4
ini dimulai persiapan tahun 1978/1979, start operasional kegiatan pada tahun 1979/1980 sampai
dengan 1984/1985.. Setiap Provinsi Daerah Bina 4 ini di pilih 1 Kabupaten, dan mencakup
seluruh Kecamatan, setiap Kecamatan dipilih 1 desa. Metodologi pendekatan yang diterapkan
adalah Pendekatan Edukatif. Ditengah perjalanan Daerah Bina 4 ini, saya Tubel ke FKM-UI
pada tahun 1982-1984.
Waktu berjalan terus, akhirnya PKM menjadi salah satu Subdinas Penyuluhan Kesehatan
di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan pada pertengahan tahun 1983, dengan 3 Seksi :
Penyuluhan Langsung, Peran Serta Masyarakat, dan Usaha Kesehatan Sekolah. Kasi Penyuluhan
Langsung yang pertama Sumardin Makka, SKM, Kasi PSM pertama Sdr. Bob Suslilo, SKM, dan
Kasi UKS pertama Bapak M. Jusuf. Januari 1986 barulah awal tugas strukutral sebagai Kasi
PSM menggantikan Sdr. Bob Susilo, SKM, dan berjalan rotasi mutasi ke Seksi PL, PI Kes., dan
PSM lagi berlangsung sampai dengan tahun 2000. Ditengah kejenuhan, antara boleh pindah ke
Pusat atau Tubel, akhirnya tahun 1993 sd April 1996, tubel kembali di PPS-Unair PS-IKM
(PKIP).
Sekembali tubel di Unair, mulai aktif 1 Mei 1996, Kepala Dinas Kesehatan ( Dr. Mustafa Djide,
SKM), mengarahkan meminta bahwa sd. Bapak Pensiun dilarang pindah kemanapun.inilah
yang menjadi beban fikiran, ya
sudahlah..ambil hikmah
positifnya.
Ada Masa transisi, pernah sebagai Pjs. Kasubdin Bina PKM kurang lebih 6 bulan, dari
September 2000 sd Februari 2001. Memasuki Era Otonomi-Desentralisasi yang mulai diterapkan
tahun 2001, yang semula Subdinas Bina Penyuluhan Kesehatan Masyarakat dengan 4 Seksi
(Penyebarluasan Informasi Kesehatan, Sarana, PSM dan Upaya Kesehatan Institusi), berubahlah
menjadi Sub Dinas Bina Promosi & Kesehatan Masyarakat dengan 4 Seksi : Promosi &
Kampanye Kesehatan, JPKM, UKBM dan Bina Puskesmas.Kasi Promosi & Kamkes yang
pertama Era Otonomi adalah Purjanto, SKM, MKes, akhirnya saya pindah ke Pusat Promosi
Kesehatan per 1 April 2004.
Hikmah yang dapat dipetik adalah bahwa HE/PKM harus dilandasi dengan Public Health
sebagaimana dikemukakan Prof. Wislow, dan HE/PKM harus terintegrasi bersama Program
Kesehatan lainnya. Perkembangan dari HE/PKM, ke Promosi Kesehatan membawa konsekuensi
memperhitungkan aspek Regional-Global, semakin terasa peran yang dimainkan Promosi
Kesehatan bersama program-program kesehatan lain. Deangan demikian, yang mutlak
diperlukan sebagai Health Promotor adalah: penguasaan semua aspek program-program
kesehatan termasuk kebijakannya, karena Promosi Kesehatan sendiri tidaklah bermakna,
Promosi Kesehatan bersama program dan masyarakat, yang dilaksanakan secara konsekuen,
bertanggung jawab, dilandasi Etika Profesi Health Promotor, da harus menciptakan lingkungan
yang kondusif berperilaku sehat di organisasi dan di masyarakat.

Ir. Dunanti RK. Sianipar, MPH.

110
Metode Pemasaran Sosial telah digunakan oleh Richard K. Manoff Konsultan proyek
Bank Dunia Era Nutrition Education Component pada tahun 1981 untuk memasarakan produk
dan pesan kesehatan dan gizi agar masyarakat berperilaku sehat utamanya dalam gizi keluarga.
Masalah kekurangan protein kalori khususnya pada anak usia 0-4 bulan, usia 5-8 bulan,
dan usia 9 24 bulan akibat kurang pada makanannya, gizi kurang pada saat hamil, kurang
Viatmin A pada balita dan kekurangan yodium merupakan focus utama proyek. Dengan
menggunakan tenaga kader dan bidan, proyek ini berhasil melakukan kampanye melalui poster
dan radio memakai Slogan Gizi Baik, Anak Sehat ( Good Nutrition, Healthy Child ).
Poster yang digunakan disebut Poster Aksi karena poster tersebut mengajak ibu untuk
berperan serta aktif dalam memantau pemeberian makan anak dengan cara memberi
tanda/menusuk poster tersebut.
Perilaku baru tersebut adalah memberi makan anak usia 0-4 bulan dengan ASU Eksklusif,
usia 5-9 bulan dengan bubur campur dan menyusui dari payudara kiri dan kanan bergantian dan
usia 9 24 bulan dengan makanan keluarga serta tetap memberi ASI.

Bab XI
PENUTUP

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya


Untuk Indonesia Raya
(WR Supratman: Lagu Kebangsaan)

Mulailah dari dirimu sendiri


(Kata orang bijak)

Dari perjalanan sejarah, dari masa penjajahan sampai sekarang, Promosi Kesehatan telah
mengalami pasang surut. Banyak yang telah dicapai, tetapi lebih banyak lagi yang belum
dilakukan. Di antara semuanya itu, yang paling penting adalah pengambilan hikmah, makna,
nilai atau wisdom yang dapat ditarik dari rentetan perjalanan sejarah itu. Kemudian belajar dari
semuanya itu kita dapat menjalani masa kini dan menghadapi masa depan dengan lebih terarah
dan mantap.
Beberapa hikmah, makna atau nilai yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah Promosi
Kesehatan itu adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Promosi Kesehatan (atau apapun namanya waktu itu: Propaganda, Pendidikan,
Penyuluhan atau nama lainnya lagi) merupakan kebutuhan mutlak baik bagi masyarakat
maupun bagi penyelenggara kesehatan.

111
2. Bahwa upaya promosi kesehatan perlu dilakukan secara terpadu dengan program-
program kesehatan. Promosi kesehatan tanpa program akan tidak berarti apa-apa
(lumpuh), sebaliknya program kesehatan tanpa promosi kesehatan akan kurang mengenai
sasaran (buta).

3. Bahwa gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan esensi dari upaya Promosi


Kesehatan. Upaya ini adalah upaya dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat. Upaya ini
dapat dilakukan dengan model Pendidikan Kesehatan Rakyat (Model Bekasi), Daerah
Kerja Intensif PKM (Model Bandung), Pendekatan Edukatif, Pengembangan PKMD,
Posyandu, Gerakan PHBS, dll.

4. Bahwa gerakan pemberdayaan masyarakat tersebut perlu didukung dengan upaya bina
suasana (mempengaruhi opini publik) dan upaya advokasi kebijakan (mempengaruhi
kebijakan yang berorientasi sehat). Bahwa untuk itu perlu dikembangkan rencana aksi
yang jelas dan operasional.

5. Bahwa kemitraan dengan berbagai pihak perlu dilakukan, baik lintas program, lintas
sektor, pemerintah-masyarakat, termasuk swasta dan LSM, Pusat-Daerah, unsur
pelayanan-unsur ilmuwan/Perguruan Tinggi, maupun antara berbagai negara dalam
lingkup lingkup global/internasional.

6. Bahwa SDM promosi kesehatan profesional perlu dipersiapkan dengan sungguh-


sungguh, sehingga mempunyai kemampuan yang diperlukan sebagai planner, mediator,
educator, advocator, social marketer, dll.

7. Bahwa metode dan teknik promosi kesehatan perlu terus menerus dikembangkan secara
bertahap sesuai dengan kemajuan dan perkembangan IPTEK, yang juga dapat memenuhi
berbagai kebutuhan berdasar keadaan, masalah dan potensi setempat.

8. Bahwa pengembangan promosi kesehatan perlu dilakukan berdasarkan pada fakta


(evidence-based) dengan mendayagunakan data dan informasi dalam perencanaan dan
pencatatan/pelaporan, yang dilakukan sejak di tingkat Kabupaten/Kota, sampai tingkat
Provinsi dan Nasional.

112
9. Bahwa untuk menjalankan kegiatan promosi kesehatan diperlukan dukungan organisasi
yang mantap, baik di Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota, dilengkapi dengan sarana
dan prasarana yang memadai. Apabila memungkinkan di tingkat Pusat eselonnya dapat
ditingkatkan menjadi eselon I sehingga dapat mengemban visi dan misinya secara lebih
berhasil guna dan berdaya guna. Sedangkan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
menyesuaikan.

10. Selain itu juga diperlukan adanya Organisasi Profesi Promosi Kesehatan yang kuat, yang
berperan antara lain sebagai mitra, pemikir, pemasok, pengamat dan pengkritik kegiatan
promosi kesehatan di lapangan.

Selanjutnya, perlu disadari bahwa upaya promosi kesehatan merupakan tanggungjawab


kita bersama, bahkan bukan sektor kesehatan semata, melainkan juga lintas sektor, masyarakat
dan dunia usaha. Promosi kesehatan perlu didukung oleh semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Kesamaan pengertian, efektifitas kerjasama dan sinergi antara aparat kesehatan
pusat, provinsi, kabupaten/kota dan semua pihak dari semua komponen bangsa adalah sangat
penting dalam rangka mencapai visi, tujuan dan sasaran promosi kesehatan secara nasional.
Semuanya itu adalah dalam rangka menuju Indonesia Sehat, yaitu Indonesia yang penduduknya
hidup dalam perilaku dan budaya sehat, dalam lingkungan yang bersih dan kondusif dan
mempunyai akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga dapat hidup
sejahtera dan produktif.
Itu semua kita lakukan adalah dalam rangka membangun jiwa dan membangun badan,
sebagaimana tertuang dalam lagu kebangsaan kita. Maka Hiduplah Indonesia Raya. Dalam
kaitan dengan itu, kita, kapan dan di manapun berada, perlu melakukan sesuatu, apa saja yang
dapat kita lakukan asal positif, dengan ihlas. Sebagai penutup buku ini, kita perlu renungkan
kata-kata bijak dari orang yang sangat bijak bestari, yaitu: Mulailah dari dirimu sendiri.

113

Anda mungkin juga menyukai