Anda di halaman 1dari 29

TIGA LEVEL TINDAKAN GOVERNANCE

Mengkerangkai Ulang Proses Kebijakan Melampaui Model Stagist1


Peter L. Hupe dan Michael J. Hill
1.Pengantar
The States of the Art
Struktur teoritik yang bisa diandaikan sebagai gunung-gunung, kadangkala bersambung
dan terhubung satu sama lain melalui kesamaan metode dan konsep, yang bisa diibaratkan
sebagai kaki-kaki gunung. Semuanya ini berada di tengah samudera karya-karya deskriptif
yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan gunung-gunung teoritis tersebut.
Demikianlah Schlager (1997: 14) mengkarakteristikan lanskap studi proses kebijakan saat ini.
Lanskap yang bervariasi ini merefleksikan kompleksitas obyek dari studi itu sendiri. Salah satu
elemen kunci dalam berbagai pendekatan yang mencoba menggambarkan lanskap ini adalah
model stagist dalam proses kebijakan. Dalam bab ini kita akan mencermati fungsionalitas dari
konsep yang kita kenal dengan istilah model.
Sabatier (1999:1 2) menspesifikasikan berbagai elemen proses kebijakan sebagai sebuah
kumpulan yang sangat kompleks, yang terdiri dari:
Berbagai aktor (baik individu maupun kelompok), yang masing-masing memiliki
kepentingan, nilai, persepsi dan preferensi kebijakan yang berbeda-beda.
Rentang waktu yang mencakup satu dekade, atau bahkan lebih,
Dalam sebuah domain kebijakan yang biasanya berisi lusinan program yang
berbeda-beda, dan melibatkan berbagai level pemerintahan,
Sejumlah besar perdebatan tentang kebijakan yang terlibat, sebagian memiliki
karakter teknis yang tinggi dan di adakan di berbagai fora yang berbeda-beda,
Pertaruhan besar yang membuat proses kebijakan menjadi sangat kental dengan
nuansa politik dan perilaku politik aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
Kompleksitas obyek dari studi ini menjadi latar belakang mengapa studi proses kebijakan terlihat
bergerak ke arah yang berbeda-beda. Dalam karyanya Public Policy, Wayne Parsons memberikan
sebuah telaah yang luas atas kekayaan konseptual yang ada dalam wilayah analisis kebijakan.
Menurutnya, wilayah ini kaya dengan beragam pendekatan, disiplin ilmu, model (heuristic
maupun causal), metafora dan peta (Parsons, 1995: 64). Salah satu aspek yang paling
mencengangkan dari karya Paton yang tebalnya 700 halaman ini adalah betapa banyaknya istilah
yang ada dalam karya ini. Mulai dari halaman pertama pembaca akan berhadapan dengan istilah

1 Diterjemahkan dari Peter L. Hupe and Michael J. Hill, The Three Action Levels of governance: Re-framing the
Policy Process Beyond the Stages Model dalam B. Guy Peters & John Pierre (eds.), Handbook of Public Policy, Sage
Publication Ltd., London 2006.
approach (hal.xv), frames of analysis (hal.xvi), frameworks and methods or
approaches(hal.xvii), analytical framworks (hal.32 Heading), theoretical frameworks (hal. 32
teks). Di bawah judul Models, maps and Metaphors Parsons secara eksplisit bagaimana
memberi label pada berbagai cara yang digunakan untuk mengorganisir pemikiran-pemikiran
seseorang dalam studi proses kebijakan. Sebagai label atau istilah yang paling umum, Parsons
memilih istilah frameworks, yang mana istilah ini bisa kita gunakan sebagai instrument untuk
memahami sekaligus memberikan penjelasan (hal. 57). Dalam karyanya ini Parsons
membedakan dan memberikan penjelasan perbedaan tiga frameworks, yaitu explanatory, ideal-
type, dan normative (hal. 57-58).
Kita akan mulai dengan teori, model, mental maps, dan metafora. Selain itu, untuk bisa
berpikir analitis dalam memahami kebijakan publik kita harus sensitif terhadap eksistensi
realitas sebagai sebuah konstruksi dalam sebuah kompleksitas frameworks. Karena itu,
aktifitas berteori tentang kebijakan publik adalah seperti menggambar sebuah peta(p.58).
Banyaknya ragam lanskap menjadi alasan yang cukup kuat bagi kita untuk bisa mendapatkan
peta-peta sebanyak mungkin. Bisa dikatakan bahwa diskursus proses kebijakan mirip sekali
dengan gambaran dialog antar orang-orang tuli, karena sejak awal kemunculannya-pun
diskursus ini telah berkembang ke segala arah. Di satu sisi, asumsi-asumsi rasional tentang
pembuatakan keputusan publik, sebagaimana dipostulasikan oleh tokoh seperti Wilson (1887)
dan Simon (1945), nampaknya masih terus bertahan. Asumsi-asumsi rasional ini tidak hanya
mengimplikasikan adanya relasi yang sifatnya stagist antara berbagai aktifitas dalam dunia
politik dan administrasi, lebih dari itu asumsi-asumsi ini juga merujuk pada adanya sebuah
pembagian-tugas yang rigid. Contohnya, para politisi dan administrator bekerja di berbagai
belahan dunia menggunakan cara kerja yang mengadopsi contracting out and meta-policy yang
mirip, yang tujuannya adalah pemisahan antara implementasi dan kebijakan. Pada saat yang
sama, para jurnalis yang meliput fiasco kebijakan cenderung mengkonfrontasikan apa yang
terjadi di level implementasi sebuah kebijakan dengan apa yang telah disepakati di level
legislatif. Lebih lagi, banyak akademisi yang cukup puas untuk berkarya berdasarkan asumsi
yang sama. Di sini kita sedang memikirkan literature evaluasi substansial, khususnya kehirauan
yang berkembang saat ini untuk mengeksplorasi cara-cara baru untuk membuat kebijakan lebih
berpijak pada bukti. Di Inggris, tren ini muncul dengan slogal What works? (Davies et.al.,
2000).
Sementara itu, di sisi yang lain kita melihat karya-karya teoritis yang menyiratkan bahwa proses
kebijakan berangkat dari titik yang sama sekali jauh dari rasionalitas, yang tepatnya disebut
model garbage can atau model tong sampah (Cohen, March and Olsen, 1972). Karya-karya
teoritik ini juga menyiratkan bahwa, setidaknya sebagian dari, proses kebijakan bersifat cair,
dinamis and longgar (Kingdon, 1995: 230). Teori posmodernis bahkan bergerak lebih jauh
dengan menyatakan bahwa proses kebijakan yang rasional adalah sebuah kemustahilan (Fox dan
Miller 1995; lihat juga Fischer, 2003). Argumen yang ingin dikembangkan dalam tulisan ini jelas
lebih terkait dengan perspektif yang pertama. Pada saat yang sama, tulisan ini juga ingin
mengemukakan adanya kemungkinan untuk memadukan dua kutub ekstrim ini.
Telaah dalam tulisan ini berangkat dari pandangan yang menyatakan bahwa kebijakan publik di
negara-negara Barat bekerja dengan baik di berbagai sektor. Berbagai kebijakan tersebut
mendapat perhatian publik hanya di saat-saat krisis, atau bahkan bencana. Sementara, para
akademisi cenderung menghindari publikasi tentang aspek-aspek negatif dari kinerja pemerintah.
Sejak Selznick mempublikasikan TVA dan the Grass Roots di tahun 1949, banyak studi sosial,
terutama yang befokus pada isu implementasi, menemukan berbagai hasil praktek kebijakan
publik yang mengecewakan. Seringkali kekecewaan terhadap praktek yang mulanya didasari
oleh niat baik ini dinyatakan secara terus terang dengan judul-judul yang muram. Beberapa yang
cukup popular adalah New Towns in Town: Why a Federal Program Failed (Derthick, 1972) dan
Implementation: How Great Expectations Are Dashed in Oakland () (Pressman dan Wildavsky,
1973; lihat Hill dan Hupe, 2003, untuk pembahasan lebih lanjut atas isu kegagalan
implementasi). Dalam konteks ini Linder dan Peters berbicara tentang pendekatan horrors of
war dalam studi kebijakan publik (1987:460). Pendekatan ini, dengan penekanannya terhadap
kegagalan, telah mengubah berbagai studi ini menjadi studi yang disebut oleh Rothstein
misery research (riset tentang penderitaan) (1998:62-5).
Sebelum kita bergerak lebih jauh untuk melihat model stagist secara lebih dekat, ada baiknya kita
menelaah sebuah problem tentang studi proses kebijakan, yang selama ini menjadi penyebab
perdebatan tentang model menjadi sebuah perdebatan yang kompleks dan hangat. Seperti telah
diindikasikan, studi proses kebijakan yang sistematis berakar dari literature klasik tentang
administrasi publik. Elemen-elemen dasar dalam literature itu memiliki dua karakteristik yang
controversial. Pertama adalah ide akan adanya pemisahan yang tegas antara politik dan
administrasi, yang mengimplikasikan bahwa formulasi mendetil tentang berbagai aktifitas yang
akan dilaksanakan didasarkan pada tujuan-tujuan kebijakan yang dicapai secara demokratis, oleh
para politisi yang akuntabel (Wilson, 1887). Poin kontroversial yang kedua bahwa proses
kebijakan bisa, atau seharusnya, dikerjakan sebagai sebuah proses yang rasional, dalam artian
sebagaimana dinyatakan oleh Simon (1945). Ini berarti bahwa telaah yang detil dan cermat atas
relasi tujuan dengan cara dilakukan oleh mereka yang berkepentingan untuk menterjemahkan
kebijakan dalam tindakan. Tentu saja, kedua pemikiran ini menjadi sasaran banyak kritik. Kritik-
kritik tersebut, pada garis besarnya, menyatakan bahwa pemikiran ideal Wilson tentang
pemisahan antara administrasi dan politik adalah sesuatu yang mustahil, karena administrasi
niscaya juga merupakan sebuah proses politik (Waldo, 1946) dan bahwa penterjemahan
kebijakan ke dalam tindakan adalah sebuah proses yang lebih berbahaya daripada yang
dibayangkan oleh Simon (Lindbolm, 1995).
Studi yang Sistematis Mensyaratkan Adanya Sebuah Peta Umum
Kami mengesampingkan berbagai argument, terutama yang digunakan dalam perspektif
rasionalis, yang menyatakan bahwa model-model mereka merepresentasikan bagaimana
seharusnya proses kebijakan berlangsung. Posisi kami lebih didasarkan pada sebuah pandangan
yang melihat kedua belah pihak yang berseberangan dalam perdebatan ini cenderung mendistorsi
realitas. Kasus yang membantah aktor rasional bisa kita temukan dengan mudah ditemukan:
banyak karya para pengkritik perspektif rasional menggunakan bukti-bukti yang cukup kuat,
yang menunjukkan proses pengambilan keputusan publik adalah lebih sering merupakan proses
spekulatif dan irrasional dari penggunaan diskursus secara manipulatif. Akan tetapi, di sisi lain
ada hal lain yang juga harus diperjelas, yaitu adanya kecenderungan berbagai analisis saat ini
untuk lebih berfokus pada berbagai kesalahan dan bencana dan mengabaikan sejumlah besar
contoh kebijakan yang stabil, proses kebijakan yang berhasil, melibatkan proses desain yang
teliti dan cermat yang layak untuk disamakan dengan apa yang dibayangkan oleh Simon.
Frederickson dan Smith membahas tentang high-reliability system; di mana contoh-contoh
sukses terbaik bisa diambil dari kebijakan yang mengatur transportasi udara komersial;
penyediaan listrik, gas, dan layanan tv kabel; dan pengoperasian pembangkit listrik, kapal induk
dan kapal selam bertenaga nuklir (2003:80). Dengan mengutip Perrow (1999) yang membahas
tentang kejadian-kejadian normal normal accidents mereka mengatakan, Aka nada
berbagai keagalan dan akan ada berbagai kejadian, probabilitas sederhana sudah cukup untuk
menjelaskan itu Tetapi setiap harinya kita menikmati mukjizat modern dari berbagai system
yang sangat reliable high-reliability systems. Kita bisa menggunakan logika yang sama untuk
melihat kebijakan-kebijakan sosial. Di seluruh penjuru bumi, berbagai sistem yang kompleks
telah didesain untuk memberikan manfaat sosial, dalam kerangka aturan yang jelas, yang secara
umum mampu menjalankan fungsinya secara baik. Meskipun banyak kisah sukses seperti itu,
perdebatan dalam diskursus analisa proses kebijakan lebih berfokus pada kegagalan-kegagalan
yang sifatnya okasional atau hanya pada bagian-bagian tertentu dari sistem, di mana aturan main
tidak bisa bekerja.
Jika kita ingin mendapatkan pandangan yang seimbang antara citra positif dan negative proses
kebijakan maka kita membutuhkan suatu cara untuk menteorisasikan keduanya secara lebih
sistematik dan tentang fenomena yang mungkin bisa menghancurkannya. Dalam posisi yang
kami ambil, ada sebarisan besar ahli ahli proses kebijakan yang juga ingin untuk mencoba
memilah-milah berbagai pendekatan demi menspesifikasikan isu-isu apa saja yang dipertaruhkan
dan batasan-batasan yang sistematik dari studi mereka. Salah satu elemen kunci dalam berbagai
perdebatan tentang bagaimana cara yang tepat untuk melakukan teorisasi melibatkan berbagai
perbedaan pandangan yang tajam tentang seberapa jauh kita bisa memilah-milah proses
kebijakan dalam tahapan-tahapan yang jelas batasnya.Model stagist ini telah sejak lama
ditawarkan sebagai sebuah peta, yang mana menjadi pijakan dalam pembangunan teori yang
akan dikembangkan. Satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah peta ini merupakan
sebuah model bersama yang diterima oleh semua orang, seperti halnya positifisme secara implisit
menjadi model bersama dalam ilmu sosial, ataukah sebetulnya ada berbagai model yang saling
berkompetisi (atau, kemungkinan terburuknya, masing-masing kita memiliki modelnya sendiri)
yang tidak bisa didamaikan satu sama lain.
Tujuan kita yang pertama disini adalah untuk mengeksplorasi sifat alamiah, fungsi dan limitasi
dari apa yang kita kenal sebagai model stagist, dan kemudian melihat apakah ada sebuah
kerangka umum alternatif yang bisa digunakan untuk menganalisa proses kebijakan. Pertanyaan-
pertanyaan sentral yang kami ajukan adalah:
Fungsi apakah yang dijalankan oleh model stagist dalam studi proses kebijakan?
Dari penggunaannya selama ini, limitasi-limitasi apa yang bisa kita identifikasi?
Bagaimana limitasi-limitasi ini bisa ditutup oleh sebuah kerangka analisa
alternative?
Karena itu, dalam pembahasan selanjutnya, pertama-tama, kita akan melihat berbagai versi
model stagist dan kemudian mengkritisinya (bagian kedua). Selanjutnya akan diberikan hasil
penilaian: Apakah model stagist ini adalah sebuah model atau sesuatu yang lain? sembari kita
akan mencermati kemungkinan adanya lubang-lubang metodologis yang muncul sebagai akibat
dari penggunaan model ini secara tidak reflektif (bagian ketiga). Dari situ kita akan bergerak
untuk membangun sebuah kerangka analisa alternatif berdasarkan berbagai ide tentang aspek-
aspek alternative governance, yang tujuannya adalah untuk memberikan tawaran saran untuk
mengatasi berbagai limitasi dari model stagist (bagian keempat). Selanjutnya kita akan bergerak
lagi untuk mengeksplorasi berbagai hasil analisa yang berpotensi untuk bisa didapatkan dengan
mendekati proses kebijakan melalui kerangka yang kami bangun tersebut (bagian kelima). Bab
ini akan diakhiri dengan beberapa kesimpulan (bagian keenam).
2. PROSES KEBIJAKAN MODEL STAGIST
Berbagai Varian Model Stagist
Studi proses kebijakan berhutang banyak pada Harold Laswell, seorang ilmuwan politik Amerika
yang aktif berkarya pada paruh kedua abad XX. Parsons melihat Laswell sebagai pionir dari apa
yang selanjutnya dia sebut sebagai orientasi kebijakan policy orientation (1951a). Menelaah
karya Laswell (1951b, 1968, 1970, 1971) Parsons memberikan mengkarakterisasikan orientasi
kebijakan sebagai berikut: multi-metode; multi-disipliner; berfokus pada masalah; berangkat
dari kehirauan untuk memetakan kontekstualitas proses kebijakan, pilihan-pilihan kebijakan dan
dampak-dampak kebijakan; dan bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan ke dalam sebuah
disiplin yang luas untuk menganalisa berbagai pilihan publik dan pengambilan keputusan publik
dan selanjutnya memberikan kontribusi pada upaya demokratisasi masyarakat (Parsons, 1995:
xvi). Laswell (1956) adalah salah satu orang pertama yang mendekati keseluruhan proses
pembuatan kebijakan yang secara eksplisit menggunakan istilah fase atau tahap (stage). Ia
menggunakan istilah itu untuk merujuk pada seperangkat langkah-langkah yang terpisah dan
berurutan, secara prinsipil dibayangkan sebagai sesuatu yang berjalan dalam tatanan kronologis,
dari inisiatif melalui formulasi dan pengambilan keputusan sampai pada evaluasi dan terminasi.
Lebih spesifik lagi, Laswell (1956) memilah proses kebijakan dalam, apa yang disebutnya
sebagai tujuh tahap proses pengambilan keputusan:
Intelligence
Promotion
Prescription
Invocation
Application
Termination
Appraisal
Ketika melakukan pemilahan ini Laswell berargumen bahwa ia mengkerangkai sebuah peta
konseptuap yang menyediakan sebuah panduan untuk mendapatkan citra yang umum dari tahap-
tahap yang ada dalam setiap tindakan kolektif (Laswell, 1971:28). Ini tidak berarti bahwa
Laswell adalah satu-satunya ilmuwan yang melihat bahwa proses kebijakan berlangsung melalui
tahap-tahap tertentu, dikotomi Wilson antara politik dan administrasi bisa kita lihat juga memuat
benih-benih awal dari pendekatan stagist ini. Di tahun 1945, Herbert Simon telah
memformulasikan logika tentang cara orang mencapai suatu keputusan, dalam tiga tahap yang
berurutan: tahap intelligence, desain dan pilihan.
Sejak Laswell merumuskan tujuh tahap proses kebijakan, telah banyak muncul berbagai varian,
yang berbeda dalam jumlah tahapan atau memberikan spesifikasi yang sedikit berbeda pada
tahapan-tahapan itu (Mack, 1971; Rose, 1973; Brewer, 1974; Jenkins, 1978; Hogwood dan Gunn,
1984). Mungkin elaborasi yang paling kompleks dari pembayangan model stagist ini adalah
elaborasi yang dilakukan oleh Dror (1989: 163-164). Ia membedakan antara tiga tahap mayor:
tahap meta-policy making, tahap policy-making, dan tahap post-policy making. Dalam setiap
tahap mayor itu Dror memasukkan empat sampai tujuh sub-tahap, sehingga seluruhnya
berjumlah 18 (sub) tahap. Dalam berbagai buku teks tentang kebijakan yang diterbitkan sejak
tahun 1970-an, pembayangan model stagist telah digunakan untuk membangun berbagai telaah
terhadap proses kebijakan (lihat, misalnya, Jones 1970; Anderson, 1975; May dan Wildavsky
(eds.), 1978; Hoogerwerf (ed.), 1978; Kuypers, 1980; Brewer dan DeLeon, 1983; Van de Graaf
dan Hoppe, 1989; Howlet dan Ramesh, 2003).
Bahkan di antara para penulis terkini pun, yang sangat antusias untuk menekankan kompleksitas
proses kebijakan, kita masih menemukan bahwa pemikiran stagist tetap memiliki pengaruh yang
kuat. Karena itu Sabatier, dalam buku tentang proses kebijakan yang dimana dia menjadi editor,
memberikan definisi sebagai berikut:
Proses pembuatan kebijakan publik mencakup bagaimana cara berbagai problem
dikonseptualisasikan dan dimintakan solusinya dari pemerintah; institusi-institusi
pemerintah memformulasikan berbagai alternatif dan memilih berbagai solusi kebijakan;
dan bagaimana cara berbagai solusi diimplementasikan, dievaluasi, dan direvisi. (1993: 3)
Kritisisme
Disamping definisi model stagist yang sangat komprehensif itu, Sabatier juga mengajukan
argument:
Kesimpulan yang nampaknya tak terhindarkan: pembayangan model stagist telah habis
masa gunanya dan harus diganti dengan kerangka teoritis yang lebih baik (1999:7)
Nakamura (1987) mengkritik model proses kebijakan yang ditawarkan dari pendekatan stagist ini
dengan mengatakan bahwa model stagist memberikan gambaran yang tidak realistis dan
menyebutnya sebagai pendekatan textbook. Lindblom (1968) adalah salah satu orang pertama
yang memberikan penekanan pada fakta bahwa seringkali batas antara tahapan-tahapan proses
kebijakan sangat kabur; selanjutnya dia dan Woodhouse menekankan bahwa pembuatan
kebijakan adalah sebuah proses interaktif yang kompleks, tanpa awal dan akhir(1993:11).
Jenkins, Smith dan Sabatier memberikan kritik yang lebih mendetil melalui poin-poin berikut ini,
yang menyatakan bahwa pembayangan model stagist:
1. Bukanlah sebuah model yang bersifat kausal
2. Model ini tidak memberikan sebuah dasar yang jelas untuk melakukan pengujian
hipotesis secara empiris;
3. Secara deskriptif model ini tidak akurat;
4. Secara inheren berfokus pada aspek legalistik dari kebijakan dan alur top-down;
5. Memberikan penekanan yang tidak tepat terhadap siklus kebijakan sebagai unit
analisis temporal;
6. Model ini juga gagal menyediakan sebuah kendaraan yang baik untuk
mengintegrasikan peran analisa kebijakan dan pemahaman berorientasi kebijakan
melalui proses kebijakan publik. (1993:3 4).
Argumen yang hampir sama juga bisa ditemukan dalam Sabatier (1991) dan dalam Stone (1989).
3. fungsionalitas Model Stagist
Sebuah penilaian terhadap pembayangan model stagist
Untuk mencari tahu apakah penilaian yang nampaknya bersifat definitif ini bisa dijustifikasi, ada
baiknya kita melihat pendekatan model stagist secara lebih dekat. Bagaimana sebuah model bisa
dikatakan sebagai sebuah model stagist dan sebaliknya? Apa yang bisa dilakukan dengan model
ini dan apa yang tidak? Dan apa yang seharusnya kita lakukan dengan model ini? Salah satu
pengusung dan pembela model ini adalah, Peter DeLeon. Ia menggambarkan beberapa
karakteristik model stagist ini, dan fungsi-fungsi yang selama ini berhasil dijalankannya (1999:
20 23). Pertama, tahap-tahap dalam model stagist menawarkan sebuah cara berpikir tentang
kebijakan publik, baik sebagai konsep maupun sebagai sebuah praktek operasi (Ibid.:21). Karena
itu, dengan memperhatikan berbagai karakteristik yang terkait dengan sekumpulan aktifitas,
model stagist tidak hanya memberikan pemahaman yang bersifat textbook tentang proses
kebijakan publik, tetapi juga mengarahkan seluruh generasi riset teoritis-empiris. DeLeon
menunjukan sebuah sekuan kebijakan klasik yang lebih berfokus pada tahap-tahap krusial
dalam proses kebijakan ketimbang area-area isu secara spesifik. Ia berpendapat bahwa karya-
karaya ini telah membawa kekayaan baru dalam ilmu kebijakan (policy science), karena mereka
menekankan pada kompleksitas proses kebijakan dan melakukan telaah yang lebih dalam
daripada para ilmuwan politik dan ekonomi dan dengan menggunakan model yang lebih kuat dan
menyeluruh. John (1998), salah satu pengkritik model stagist, bahkan mengakui bahwa model ini
membuat Para peneliti bisa menggunakannya karena model ini menyediakan ketertataan dalam
proses riset.
DeLeon melanjutkan dengan berargumen bahwa menganalisa proses kebijakan, dalam pengertian
model stagist, telah memampukan kita untuk bergerak lebih jauh dari pada sekedar studi institusi
legal-yuridis sebagaimana dipraktekan dalam studi administrasi publik dan dari studi quasy-
market yang dilakukan oleh para ahli ekonomi. Fokus baru yang inovatif ini membantu kita
untuk merasinalisasikan sebuah perspektif baru yang lebih beroritentasi pada permasalahan
(Ibid.: 22). Dalam memberikan pembelaannya terhadap model stagist, DeLeon menganggap
perlu untuk menjelaskan bahwa dia tidak menganggap model ini sebagai sebuah teori, dalam
pengertian sebagaimana diimplikasikan dalam tiga poin kritik pertama Jenkins, Smith dan
Sabatier. DeLeon berpendapat:
Brewer dan DeLeon (dan juga Laswell sebagai implikasinya) (...) menyadari bahwa model stagist
memang tidak tepat untuk melakukan pengujian hipotesis secara formal atau menghasilkan
prediksi dengan ketepatan yang tinggi (...). Mereka lebih melihat proses kebijakan sebagai
sebuah alat (sebuah pembayangan heuristik) yang membantu untuk mengurai jejaring yang
sebelumnya tidak nampak dalam berbagai transaksi kebijakan publik. Mereka menawarkan
bahwa tiap segmen dan transisi memiliki tindakan dan tujuan yang berbeda-beda (DeLeon,
1999:24).
Selaras dengan itu, DeLeon juga berpendapat bahwa kerangka seperti kerangka koalisi advokasi
yang diajukan oleh Sabatier dan Jenkins-Smith and punctuated equilibrium framework
Baumgartner dan Jones (1993) bisa diposisikan sebagai merujuk pada inisiasi kebijakan, sebuah
bagian awal dalam pembayangan model stagist. DeLeon banyak memberikan contoh berbagai
pendekatan alternative yang dipahami dalam model stagist (contohnya Fischer, 1995, tentang
evaluasi), yang pada kenyataannya, alih-alih bisa menggantikan model ini malahan sangat erat
terkait dengan model stagist. Jika demikian, mungkinkah model stagist adalah sesuatu yang lebih
dari sekedar model?
Nampaknya patut dicatat di sini, betapa cerobohnya pemikiran-pemikiran tentang teori
digunakan dalam berbagai studi kebijakan. Elinor Olstrom (1999) berpendapat bahwa dalam
karya teoritis penting untuk membedakan tiga level spesifitas, yang seringkali diartikan secara
jumbuh, yaitu: framework, teori dan model. Selanjutnya, Olstrom mengidentifikasi tiga istilah
tersebut sbb:
Sebuah framework membantu kita untuk mengidentifikasikan elemen-elemen
yang dibutuhkan dalam membuat sebuah analisis yang lebih sistematik, menyediakan
daftar variabel-variabel dan bahasa metaforis yang bisa digunakan untuk membandingkan
berbagai teori.
Teori memungkinkan para analis untuk menspesifikasikan elemen-elemen mana
dari framework yang relevan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada dan membangun
sebuah asumsi kerja yang bersifat umum tentang elemen-elemen ini. Karena itu berbagai
teori berfokus pada sebuah framework dan membangun asumsi-asumsi yang spesifik
yang dibutuhkan oleh seorang analis dalam mendiagnosa, menjelaskan prosesnya, dan
memprediksi dampak sebuah fenomenon. Suatu framework biasanya kompatibel dengan
beberapa teori. (Ibid.)
Model berguna untuk membuat asumsi-asumi secara lebih spesifik tentang
sekumpulan parameter dan variabel tertentu (Ibid.).
Karena itu, mungkin di sini kita bisa berargumen bahwa model stagist lebih tepat dikatakan
sebagai sebuah framework dari pada sebuah teori. Nampaknya posisi ini menjadi lebih jelas jika
kita melihat nilai dari pembayangan model stagist sebagai sebuah alat untuk memudahkan riset
dan, sebagaimana ditambahkan oleh John (1988), pengajaran tentang studi proses kebijakan.
Tetapi Schlager menawarkan sebuah pendekatan yang sedikit berbeda terhadap isu ini. Dia
melihat bahwa pemikiran tentang tahap-tahap kebijakan sebagai sebuah kategorisasi perilaku
dan tindakan dalam keseluruhan proses kebijakan yang sangat berguna tetapi tidak sebagai
sebuah framework karena tidak adanya prinsip-prinsip umum pengklasifikasian, atau elemen-
elemen universal dalam pembayangan model stagist ini. Selanjutnya, Schalger memaparkan
pembayangan model stagist ini sebuah sebuah typology yang secara utuh menggambarkan
penentuan keputusan dan tindakan yang terjadi dalam pembuatan sebuah kebijakan (Schlager,
1999: 239). Tetapi, jika model stagist adalah sebuah tipology, lalu apa parameternya? Dalam
pandangan kami, kunci untuk memahami sifat pembayangan model stagist harus dilacak ke
sumbernya: Policy Orientation Laswell (1951a). Dengan berfokus pada apa yang sebelumnya
digambarkan oleh Dewey (1927) sebagai the public and its problems, kebijakan publik adalah
sebuah obyek telaah ilmiah yang batas wilayahnya mencakup pula wilayah-wilayah di luar teori
ilmiah. Ini mengimplikasikan bahwa pembayangan model stagist bisa dilihat sebagai salah satu
bagian dari sebuah konsepsi kebijakan publik yang luas, dan pada kenyataanya berada di wilayah
pre-scientific. Istilah kebijakan publik nampaknya mengimplikasikan sejumlah asumsi mendasar,
yang bisa digunakan untuk membangun beberapa hal berikut ini.
Dalam trias politica kekuasaan eksekutif melaksanakan apa yang telah diformulasikan dan
diputuskan oleh kekuasaan legislatif. Para aktor yang bukan pembuat/desainer kebijakan
mengeksekusi kebijakan publik menurut desain yang telah ditetapkan secara sah dalam undang-
undang dan berbagai dokumen resmi lainnya. Prasyarat bagi kebijakan yang efektif adalah
tersedianya pengetahuan dan informasi yang cukup, sebuah basis kekuasaan dan kerjasama yang
cukup, dan sebuah lingkungan yang memungkinkan kebijakan itu bisa diaplikasikan (Van
Gunsteren, 1980). Tujuan dari sebuah kebijakan publik, secara harafiah, dicapai melalui proses
implementasi. Secara keseluruhan, realisasi tujuan-tujuan ini muncul bentuk yang kita kenal
sebagai sebuah proses kebijakan, sebuah proses yang tertata, terdiri dari tahap-tahap yang
mengikuti suatu aturan urutan tertentu, dimulai dari artikulasi dilanjutkan dengan formasi dan
implementasi dan selanjutnya evaluasi (setelah itu proses ini akan berulang lagi). Sebuah
kebijakan dilihat sebagai sebuah hipotesis yang memuat berbagai kondisi yang diupayakan dan
konsekuensi-konsekuensi yang diprediksikan akan muncul dari kondisi-kondisi tersebut. Jika X
dilakukan pada saat t1, maka akan menghasilkan Y pada waktu t2(Pressman dan Wildavsky,
1973: xiii). Meskipun istilah siklus kebijakan banyak digunakan, sebetulnya metafora yang
lebih tepat adalah rantai: baik dalam artian waktu maupun ruang, yang menghubungkan berbagai
hal secara vertical. Para pegawai publik, terutama mereka yang bertanggungjawab terhadap
tugas-tugas implementasi, menjalankan tugas mereka dalam sebuah setting hirarkis, dengan
kompetensi-kompetensi yang sudah ditetapkan, mengikuti apa yang diperintahkan dan diikat oleh
aturan-aturan tertentu. Jika apa yang dicapai tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka
biasanya yang akan dipersalahkan adalah adanya kelemahan dalam proses implementasi,
terutama sekali yang terkait dengan ketidakpatuhan pada aturan dan perintah.
Bagi para peneliti, hal ini akan diikuti oleh beberapa konsekuensi (elaborasi masalah ini bisa
dilihat dalam Hill dan Hupe, 2003): Kebijakan menentukan tindakan, sementara tujuan kebijakan
memberikan gambaran performa kebijakan dalam relasi 1:1.
Konsepsi umum tentang kebijakan publik yang baru saja dipaparkan di atas membawa kita
kembali pada ide kebijakan publik sebagai sebuah proses administratif, seperti yang telah kami
paparkan di awal yang terkait erat dengan pemikiran Wilson, Simon dan banyak lagi. Kami
sepakat dengan para peneliti yang berargumen bahwa gambaran tipe ideal seperti di atas tidak
merepresentasikan apa yang terjadi dalam dunia nyata kebijakan publik. Tetapi orang tetap
menggunakan konsepsi kebijakan publik semacam ini, sebagaimana halnya dengan pandangan-
pandangan normatif yang terinstitusionalisasi tentang demokrasi dan supremasi hukum.
Gambaran tipe ideal semacam itu terbukti sangat atraktif. Konsepsi ini nampaknya begitu meluas
diterima publik, bukan hanya karena konsepsi ini berakar dalam kultur politik-administrasi
Rechsstaat Barat, tetapi juga karena konsepsi ini menginginkan sebuah general quest for control
(Van Gunsteren, 1976) dan memenuhi sebuah hasrat psikologis akan adanya sebuah tatanan yang
rasional. Dalam konteks ini kita menjadi tidak perlu heran terhadap kuatnya model stagist dalam
studi proses kebijakan. Jika ini menjadi perspektif yang dipakai, apakah kemudian pembayangan
model stagist benar-benar sesuai dengan studi proses kebijakan, ataukah masih ada adaptasi yang
harus dilakukan?
DeLeon, meskipun salah seorang yang membela model stagist, mengakui aspek yang cenderung
muncul dari model stagist, yaitu membuat peneliti cenderung hanya berfokus pada salah satu
tahap dari proses kebijakan dan mengabaikan proses kebijakan sebagai secara keseluruhan
(1999:23). Lebih jauh lagi, model stagist sangat mungkin membawa kita untuk melihat proses
kebijakan sebagai suatu proses yang tahap-tahapnya terpisah satu sama lain dan bersifat
episodik, yang terjadi dalam waktu relatif singkat (sebuah aspek kunci dari kritik Sabatier dari
sudut pandang advocacy coalition framework yang digagasnya). Selain itu model ini juga
memberikan gambaran yang tidak akurat dengan lebih mengimplikasikan sebuah linearitas yang
pasti dalam proses kebijakan, dan cenderung menyangkal adanya respond dan lintasan rekursif
yang menghasilkan siklus. (Ibid). Selain itu, ketika seseorang menggunakan model stagist
sebagai peta umum untuk menganalisa proses kebijakan, maka orang itu berpotensial
menimbulkan kesalahpahaman yang mungkin akan menimbulkan konsekuensi terhadap temuan-
temuan risetnya.
Pertama, gambaran yang dibayangkan dalam model stagist nampaknya mereifikasi cakupan dari
setiap tahap dalam proses kebijakan. Ini bertentangan dengan satu pandangan yang menyatakan
bahwa proses kebijakan juga terjadi di level-jalanan (street level). Pandangan ini juga cukup kuat
dalam studi proses kebijakan, terutama sejak Lipsky mempublikasikan karya seminalnya (1980).
Sementara itu, dalam model stagist juga tidak ada pernyataan yang implisit sekalipun yang
menyangkal bahwa proses kebijakan juga terjadi pada tahap-tahap lanjut setelah formulasi.
Bagaimanapun juga, ini lebih disebabkan seringnya model stagist ini digunakan tanpa adanya
sikap kritis. Bisa jadi, tahap implementasi juga merupakan tahap formasi kebijakan yang sedang
terus terjadi. Tetapi dari model stagist, tahap ini bisa dimaknai secara berbeda pula, karena model
ini mengimplikasikan secara apriori adanya lokalisasi tahap-tahap tertentu dalam lapisan
administratif, yang mana ternyata tidak seluruhnya benar pada level empirik.
Kedua, terkait poin kritis di atas, adalah besarnya potensi terjadi sesat pikir di lapisan yang
salah) (Hill dan Hupe, 2003). Jika pada lapisan yang lebih rendah, tahap formasi kebijakan bisa
diamati secara de facto, tidak serta merta membuat kita bisa menilai bahwa legitimasi partisipasi
dalam proses kebijakan yang terjadi. Poin yang disebut terakhir terkait dengan permasalahan
normatif yang harus dibedakan dari pengamatan empiris. Pembayangan model stagist nampaknya
mengimplikasikan bahwa untuk setiap tahap sudah ada aktor-aktor yang spesifik dan telah
ditentukan sebelumnya. Limitasi metodologis yang ketiga, Ketika masalah metodologis dan
normatif bercampur aduk, orang bisa jatuh dalam jebakan yang disebut jebakan kontrol (Hill
dan Hupe, 2003).
Kami berdiri di posisi yang melihat bahwa pembayangan model stagist berakar dari asumsi yang
secara logika bisa dipertahankan bahwa keputusan diikuti oleh tindakan, yang untuk
merealisasikannya dibutuhkan sebuah proses kumulatif. Tetapi pandangan itu tidak serta merta
menegasikan ide yang menyatakan bahwa aka nada keputusan-keputusan di tahap selanjutnya
yang mungkin saja membatalkan keputusan yang telah diambil sebelumnya. Maka, dari
kenyataan ini, apakah kita harus sepenuhnya meninggalkan model stagist, atau tetap
menggunakannya, tetapi dengan lebih cermat dan hati-hati?
Disamping kritiknya terhadap model stagist, Sabatier mengamati bahwa Karena kompleksitas
proses kebijakan yang sangat tinggi, analis harus menemukan cara untuk menyederhanakan
proses tersebut dalam penjelasannya, sehingga proses ini menjadi bisa lebih mudah dipahami
(1994:4). Parsons melihat bahwa nilai lebih dari model stagist adalah kemampuannya untuk
menjangaku multi-framed activity (1995:80), tetapi para analis juga harus tetap berusaha
melakukan telaah yang lebih jauh lagi dalam
pemetaan konteks permasalahan, proses sosial, nilai dan institusi yang lebih luas, di
pembuatan kebijakan dan analisa kebijakan berlangsung didalamnya (h.81).
Karena itu, kami berpendapat
Karena eksistensi proses kebijakan sebagai sebuah realitas yang kompleks, yang coba
dikerangkai oleh berbagai teori, model, eksplanasi, nilai dan ideology, maka
permasalahannya bukanlah siklus kebijakan per se (siklus kebijakan bisa juga dibaca
tahap-tahap kebijakan penulis), tetapi kebutuhan untuk memadukan berbagai model dan
pendekatan yang bisa digunakan untuk melakukan analisa kebijakan (Parsons, 1995:81).
Dengan kata lain, karena adanya kebutuhan akan sebuah framework yang relatif kosong dan
bersifat umum untuk bisa mewadahi berbagai pendekatan teoritis, Parsons masih melihat bahwa
pembayangan model stagist ini masih memiliki fungsi dan kegunaannya, meskipun tetap harus
dilakukan adaptasi.
Berdasarkan telaah yang kita lakukan ini, maka kami mengusulkan kriteria berikut ini, yang
berlaku bagi sebuah framework sebagai sebuah peta umum. Pertama, sebuah framework, untuk
bisa dijadikan sebagai sebuah peta umum, harus memiliki kapasitas untk bisa secara konseptual
mewadahi keragaman karakter berbagai proses kebijakan publik. Ini mencakup aktor-aktor dan
berbagai lapisan administratif dan berbagai organisasi yang saling terkait secara horizontal.
Analisis ilmiah terhadap hal tersebut di atas menggunakan berbagai perspektif disiplin ilmu,
lensa, dan berfokus secara spefisik pada berbagai bagian dari proses kebijakan. Kedua, sebuah
peta umum atau framework harus memiliki kemampuan untuk menspesifikasikan proses
pembentukan teori seputar sekumpulan variabel, daripada memaksakan pembangunan sebuah
grand-theory. Ketiga, jika kriteria yang pertama mensyaratkan sebuah framework untuk menjadi
sekomprehensif mungkin, pada saat yang sama, framework tersebut juga diharuskan bisa terbuka
dalam pengertian empiris. Artinya, alih-alih mengimplikasikan sebuah pandangan yang sifatnya
top down atau managerialist terhadap proses kebijakan (Parsons 1995:81), sebuah framework
umum juga harus bisa memfasilitasi riset empiris yang sistematis dan terbuka secara normatif.
Dengan menilai model stagist dari criteria di atas, kita akan bisa menyimpulkan bahwa model
stagist kesulitan memenuhi kriteria pertama dan ketiga. Rujukan DeLeon tentang bagaimana
model stagist telah terbukti beberapa riset dalam pengertian klasik mengindikasikan bahwa
model ini bisa memenuhi kriteria kedua. Secara keseluruhan, kita bisa mengkarakterisasikan
model stagist sebagai sebuah framework multidimensional untuk menganalisa proses kebijakan,
tetapi belum bisa mengartikulasikan dimensi-dimensi yang relevan dengan proses kebijakan
secara lebih menyeluruh. Bisakah kita memodifikasinya untuk menjadi sebuah framework yang
lebih komprehensif?
Framework Analitis Alternatif sebagai Peta Umum
Meskipun model stagist nampaknya telah secara luas digunakan sebagai sebuah framework
umum dalam studi proses kebijakan, bebarapa framework alternatif ternyata juga telah
dikembangkan selama ini. Kita akan melihatnya di sini. Tetapi untuk melakukannya, penting
untuk diakui di sini bahwa alternative-alternatif ini, dari berbagai segi, masih melibatkan
perspektif stagist, meskipun telah mengalami beberapa modifikasi.
Lynn (1981: 146-149; 1987) menggunakan konsep nested games terhadap berbagai bagian
proses kebijakan. Dalam konsep ini, ada high game di mana didalamnya dibuat keputusan
tentang apakah sebuah kebijakan akan dibuat atau tidak. Selanjutnya, ada middle game, di
mana arah kebijakan ditentukan. Sementara, low game di mana sisi praktis dari proses
kebijakan, termasuk implementasi, menjadi tema sentral di sini.
Parsons (1995:xvii) membedakan tiga level atau dimensi analisis yang luas dan saling tumpang
tindih. Setiap level tersebut bisa dilihat melalui berbagai framework dan pendekatan yang
berbeda-beda (hal.82). Bagaimana caranya berbagai isu dan problem didefinisikan dan agenda
kebijakan dibuat, oleh Parsons disebut sebagai meso-analysis atau analisis menengah. Karena
sebuah level analisis mencakup berbagai fase proses kebijakan, analisis ini disebut meso karena:
mengeksplorasi berbagai pendekatan yang menghubungkan sisi input dari proses
pembuatan kebijakan dengan pembuatan kebijakan/keputusan dan proses output yang
befokus pada relasi antara dimensi pre-decisional dari pembuatan kebijakan dan konteks
decisional serta post-decisional. (hal.82)
Analisis tentang bagaimana keputusan diambil dan kebijakan dibuat dan bagaimana analisis
digunakan dalam proses pengambilan keputusan, oleh Parsons disebut sebagai analisis
keputusan atau decision analysis (hal.82). Selanjutnya, delivery analysis merujuk pada
bagaimana berbagai kebijakan dikelola, diatur, diimplementasikan, dievaluasi dan diterminasi
(hal.82).
Terakhir, ada institutional analysis and development/IAD atau analisis kelembagaan dan
pengembangan sebagai sebuah framework yang dikembangkan ole Elinor Ostrom dan para
koleganya dan dipresentasikan untuk pertama kalinya pada tahun 1982, oleh Ostrom dan Larry
Kiser. Berangkat dari analisis institusional-mikro, Kiser dan Ostrom (1982: 184)
menspesifikasikan tiga level analisis yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu:
Level operational, yang menjelaskan dunia tindakan. Level collective choice, yang
menjelaskan dunia authoritative decision-making. Level ketiga adalah constitutional
level, yang menjelaskan desain mekanisme pilihan kolektif (h. 184). Patut dicatat bahwa
sususan ini telah dinyatakan dalam formulasi orisinil yang susunannya membalik susunan
konvensional dari model stagist.
Individu-individu pada level operasional bisa jadi melakukan tindakan langsung atau
mengadopsi suatu strategi untuk tindakan di masa yang akan datang, tergantung pada
keadaan yang mungkin dihadapi. Individu-individu ini seringkali mendapatkan otorisasi
untuk mengambil sejumlah besar pilihan tindakan pada level ini tanpa harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari individu-individu lain (hal. 207-208).
Berbagai keputusan kolektif dibuat oleh para pejabat (termasuk warga negara yang
bertindak sebagai pejabat) untuk menentukan, menegakkan, melanjutkan atau mengubah
tindakan yang diotoriasi menurut aturan kelembagaan. Keputusan kolektif ini adalah
rencana untuk tindakan di masa yang akan datang. Berbeda dengan strategi individual,
keputusan kolektif bisa ditegakkan meski tanpa harus mendapatkan persetujuan dari
individu Otoritas untuk menjatuhkan sangsi adalah atribut kunci dari level collective
choice dalam pembuatan kebijakan (hal.208).
Pada level ketiga, Keputusan Konstitutional adalah keputusan kolektif tentang aturan-
aturan yang mengatur keputusan kolektif di masa yang akan datang untuk memberikan
otorisasi pada tindakan. Pilihan-pilihan konstitusional, dengan kata lain, adalah keputusan
tentang aturan keputusan (hal.208).
Dalam framework ini, tatanan institusional menghubungkan setiap level pengambilan
keputusan dengan level berikutnya. Keputusan konstitusional mendasari tatanan
insitusional dan upaya untuk menegakkan pilihan-pilihan kolektif. Pada gilirannya,
keputusan kolektif mendasari tantanan insitusional dan penegakkannya dalam wilayan
tindakan individu (hal.209).
Dalam framework ini, sebuah keputusan bisa melahirkan tindakan di dunia nyata hanya pada
level operasional.
Dalam diskusi yang terus menerus tentang framework ini, Ostrom (1999:36-39) mengelaborasi
beberapa permasalahan kunci dalam studi tentang institusi. Permasalahan-permasalahan ini
melibatkan beragam pemaknaan institusi, sosok institusi yang tidak mudah diraba, keragaman
input yang datang dari berbagai disiplin ilmu dan kebutuhan untuk mengembangkan bahasa
yang spesifik, dan konfigurasi karakter berbagai relasi. Sebagai tambahan bagi permasalahan-
permasalahan ini, Ostrom juga menambahkan adanya permasalahan beragamnya level analisis.
Satu hal yang penting di sini adalah prosedur analisis terhadap struktur jejaring dari framework
tersebut (1999: 38-39).
4. PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI MULTIPLE governance
Governance
Banyak penulis telah mencoba mendefinisikan konsep governance. Contohnya, Richard an
Smith mendefinisikannya sbb:
Governance adalah sebuah label deskriptif yang digunakan untuk menyoroti perubahan
karakter proses kebijakan dalam beberapa dekade terakhir. Secara lebih spesifik,
governance membuat kita lebih sensitif terhadap bertambahnya ragam area dan aktor yang
terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. Karenanya, konsep ini meminta kita untuk
memperhitungkan seluruh aktor dan area kebijakan yang berada di luar eksekutif inti
yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan (2002:3).
Sementara itu, Milward dan Provan mendefinisikan governance dengan:
Governance berbicara tentang penciptaan kondisi-kondisi yang mendukung munculnya
aturan yang tertata dan tindakan kolektif, seringkali memasukkan pula agen-agen di sektor
privat dan non-profit, selain, tentu saja, agen-agen di sektor publik. Esensi dari governance
adalah fokusnya pada mekanisme untuk memerintah grant, kontrak, kesepakatan yang
didasarkan tidak hanya pada otoritas dan sangsi yang dipegang oleh pemerintah (1999:3;
untuk definisi-definisi lain lihat juga Kooiman, ed. 1993; 1999; 2003; Pierre dan Pieters,
2000; Heinrich dan Lynn, eds., 2000; Lynn et.al., 2001).
Hill dan Hupe (2002) memberikan salah satu kontribusi terhadap perspektif yang governance
sedang berkembang dalam studi proses kebijakan, yang menemukan dan membuktikan
konseptualisasi mereka terkait dengan state of the art dari implementasi teori dan riset.
Pembahasan selanjutnya dalam bagian ini, sebagian didasarkan pada perspektif di atas, tetapi
juga menawarkan elaborasi lebih lanjut dari pemikiran yang dipaparkan di atas. Konsep
governance didesain untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap terhadap berbagai level
tindakan dan bermacam variabel yang diperkirakan mempengaruhi kinerja kebijakan (OToole,
2000: 276). Ini membuat konsep governance sangat cocok untuk dimasukan dalam framework
umum untuk analisis multi-dimensional terhadap proses kebijakan. Karena itu, analisis seperti itu
bisa disebut juga riset governance (lihat Heinrich dan Lynn, eds., 2000; Lynn et.al., 2001). Hill
dan Hupe (2002:15) memberikan sketsa tentang konsekuensi dari pilihan ini. Pertama, sebuah
pembedaan yang jelas dibuat antara bagaimana dan apa yang menjadi fokus perhatian para
ilmuwan. Berfokus pada governing sebagai sebuah tindakan, daripada sebagai government
sebagai sebuah institusi, secara empiris membuka ruang bagi aktor apapun yang menjalankan
tindakan ini (bisa jadi agen dari sektor publik, tetapi bisa juga dari sektor privat). Kedua,
membedakan lapisan-lapisan di dalam lapisan besar administratif adalah sesuatu yang penting.
Ketiga, hal-hal terkait dengan manajemen mendapatkan perhatian yang serius; pada prinsipnya
bisa diamati di setiap loci relasi sosial-politik. Karenanya, level analisis harus diusahakan agar
lebih spesifik.
Kesimpulannya, struktur sebuah proses kebijakan bisa dilihat terdiri dari berbagai elemen: aktor,
sekumpulan aktifitas, situasi yang melingkupi tindakan, dan lapisan-lapisan. Setiap konsep
tersebut akan dielaborasi di sini.
Aktor
Definisi Ostrom tentang aktor (individu atau kelompok yang berfungsi sebagai sebuah aktor
korporat) dan tindakan (perilaku manusia yang mana padanya aktor yang bertindak melekatkan
suatu makna subyektif dan instrumental) tidak bisa dikembangkan (1999:43). Mengambil konsep
governance berarti membuat jawaban terhadap pertanyaan Siapa aktor yang memerintah?,
secara empiris, tetap terbuka untuk jawaban apapun. Ini mengimplikasikan bahwa jumlah dan
keabsahan aktor-aktor yang terlibat dalam suatu proses kebijakan tertentu bisa berbeda dari yang
dibayangkan jika kita menggunakan basis-basis normatif.
Level Tindakan
Berdasarkan three worlds of action Kiser and Ostrom yang dipaparkan di atas, kita melihat
proses kebijakan sebagai governance yang terdiri dari tiga kumpulan aktifitas, yang kita sebut
aktifitas konstitutif, direktif dan operasional governance. Ide konstitutif governance merupakan
turunan dari ide Kiser dan Ostrom tentang pilihan konstitusional, yang mereka definisikan
sebagai berbagai aturan yang membingkai, yang mempengaruhi aktifitas operasional dan dampak
aktifitas tersebut bersama-sama dengan aturan yang akan digunakan dalam menciptakan
perangkat aturan-aturan pilihan kolektif yang pada gilirannya mempengaruhi perangkat aturan-
aturan operasional (Ostrom 1999:59). Formulasi yang sedikit ambigu ini, yang pada bagian lain
dari tulisan ini didefinisikan sebagai aturan tentang aturan pengambilan keputusan nampaknya
mengandung dua keputusan fundamental tentang isi kebijakan dan penataan kelembagaan untuk
men-delivery isi kebijakan tersebut. Pembedaan ini penting, contohnya, sebuah inovasi kebijakan
penting di bidang pelayanan kesehatan akan serta merta mengandung aturan pelayanan kesehatan
dan siapa yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan bersama-sama dengan aturan-aturan
yang mengatur bagaimana pelayanan kesehatan itu harus diberikan. Di sini, mungkin akan
sedikit menyesatkan untuk berbicara tentang pilihan konstitusional, yang cenderung
mengarahkan perhatian pembaca lebih pada aspek aturan yang mengatur tatanan kelembagaan
daripada isi kebijakan. Karena itu kami lebih memilih istilah konstitutif.
Arah dari direktif governance, alternatif yang kami usulkan bagi pilihan kolektif Kiser dan
Ostrom, merepresentasikan proses formulasi dan pengambilan keputusan tentang dampak yang
diharapkan secara kolektif.Pada level inilah tugas untuk memfasilitasi berbagai kondisi yang
memungkinkan terwujudnya formulasi dan keputusan tentang harapan kolektif dijalankan.
Operasional governance berkaitan dengan pengelolaan aktual realisasi dari proses tersebut.
Secara berurutan, ketiga level tindakan merujuk pada perangkat dan aktifitas yang beorientasi
pada struktur, berorientasi pada isi, dan berorientasi pada proses. Ilustrasi Ostrom tentang adanya
pergeseran level tindakan patut untuk dikutip di sini:
(K)etika seorang bos berkata kepada pegawainya, Bagaimana pendapatmu kalau kita mengubah
cara kita melakukan X? dan keduanya membahas pilihan-pilihan yang ada dan bersama-sama
menyepakati sebuah pilihan yang dianggap lebih baik, mereka telah menggeser level tindakan
mereka dalam aturan-aturan yang telah ada sebelumnya ke membuat keputusan tentang aturan-
aturan yang menjadi struktur tindakan-tindakan di masa yang akan datang (Ostrom, 1999:17).
Apa yang dipertaruhkan, dalam terminologi framework Multiple Governance yang dipaparkan
dalam bab ini, adalah sebuah pergeseran dari level operasional governance ke level direktif
governance. Berbicara tentang sebuah tahapan kebijakan (Ibid.:41) dan bahkan tentang
pembuatakan kebijakan (governance) (Ibid.: 59), seakan-akan Ostrom secara tidak sengaja
mengantisipasi, secara eksplist, proses kebijakan sebagai konsepsi governance. Dia menyebut
subsistem kebijakan sebagai beragam arena tindakan yang terkait satu sama lain dalam
keseluruhan tiga level analisis (Ibid.:58). Apa yang dikatakan oleh Ostrom tentang sifat jejaring
dari frameworknya juga berlaku dalam framework kami tentu saja modifikasi di beberapa
bagian. Karenya, Ostrom menspesifikasikan bagaimana aturan-aturan institusional secara
kumulatif mempengaruhi tindakan-tindakan yang diambil dan dampak yang didapatkan dalam
setting apapun.
Meskipun nilai sentra dari konsep aturan bersifat spesifik, bekerjanya mekanisme jejaring sudah
dipaparkan dengan cukup jelas, dan sangat mirip dengan konsekuensi karakter jejaring dari
framework Multiple Governance. Schlager (1999:238) menafsirkannya sbb: (A)turan yang
digunakan, yang mengkerangkai level operasional muncul dari dua level yang lain. Dalam
paragraph yang sama dia menyimpulkan: Meskipun analis bisa memilih untuk tetap
memfokuskan analisanya pada salah satu level, dua level yang lain secara implisit akan tetap
harus dijelaskan.
Sekala situasi tindakan Level Tindakan
Konstitutif Direktif Operasional
System Desain institusional Pengembangan aturan Mengelola trajektori
umum
Organisasi Mendesain relasi Memelihara konteks Mengelola relasi
kontekstual
Individu Mengembangkan norma- Aplikasi aturan yang Mengelola kontak
norma profesinal dibatasi oleh situasi yang
dihadapi
Adaptasi dari Hill dan Hupe, 2002, hal. 183.
Situasi tindakan
Tiga perangkat aktifitas yang dipilah secara umum di atas sebagai level tindakan memperoleh
bentuk spesifiknya tergantung dari locus spesifik yang diamati. Ketika kami menggunakan istilah
locus, definisi yang kami gunakan hampir sama dengan definisi yang diberikan Ostrom untuk
konsep situasi tindakan, yaitu:
Sebuah konsep analitis yang memungkinkan seorang analis untuk mengisolasi struktur
yang secara langsung mempengaruhi sebuah proses dari kacamata si analis untuk tujuan
menjelaskan regularitas dalam tindakan manusia dan hasil dari tindakan tersebut, dan
kemungkinan untuk merubah tindakan tersebut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
(Ostrom, 1999:43).
Secara empiris, jumlah aktor yang terlibat dan situasi tindakan potensial di mana para aktor itu
melakukan tindakannya bisa dianggap memiliki probabilitas yang tidak terbatas. Mengingat
kategori yang situasi tindakan tidak selalu berhimpit dengan kategori aktor-aktor yang terlibat.
Bisakah kita menggunakan taksonomi di sini? Dalam situasi tindakan ada tiga level distingsi
yang bisa dibuat: terlepas dari jenis lapisan administratif formal yang diamati, seoarang aktor
bisa dipahami sebagai pihak yang menjalankan aktifitas tertentu dalam situasi tindakan pada
sekala yang bervariasi dari tindakan individu antar individu (dalam praktenya disebut level
jalanan street level), tindakan organisasi dan antar organisasi, sampai pada tindakan bersekala
sistem. Derajat agregasi yang bervariasi ini bisa disebut secara sederhana sebagai locus
individual, organisasi dan sistem.
Lapisan Administratif
Jika kita bergerak kea rah bahwa dalam sebuah sistem administrasi publik vertical, sebuah proses
kebijakan melibatkan sejumlah aktor dan berbagai loci situasi tindakan. Dalam situasi itu, para
aktor yang terlibat dan situasi tindakan yang ada pada umumnya memiliki perpotongan dengan
lebih dari satu lapisan administratif. Istilah lapisan di sini merujuk pada satu jenis lokasi tindakan
yang spesifik, yaitu: sebuah institusi politik-administratif formal yang absah, termasuk organ-
organ perwakilan, dengan wilayah kompetensi tertentu. Sementara istilah locus terkait dengan
situasi tindakan dalam relasi sosial-politik yang terbentuk dalam tiga locus yang dipaparkan di
atas. Locus juga merujuk pada serangkaian titik dalam sebuah garis vertical administrasi publik
dari mana para aktor sesungguhnya terlibat dalam sebuah proses kebijakan tertentu. Aktor yang
benar-benar terlibat dalam sebuah proses kebijakan dan situasi-situasi tindakan yang ada
berinteraksi dalam jejaring yang kompleks dan jumlahnya biasanya lebih besar daripada yang
diimplikasikan oleh lapisan administratif formal. Jika kita menagamti lapisan administratif
formal, maka kita hanya akan mendapatkan setting konstitusional yang absah secara legal dalam
sebuah sistem politik-administratif tertentu, sementara studi proses kebijakan membutuhkan
sebuah perspektif yang lebih luas tentang semua variable yang relevan.
Kami menyebutnya sebagai Multiple Governance Framework. Karakter jejaringnya
mengimplikasikan bahwa secara konseptual satu level tindakan tidak serta merta terjadi hanya
pada satu lapisan administratif. Contohnya, apakah dalam sebuah proses kebijakan tertentu di
lapisan pemerintah local hanya terkait dengan implementasi atau, lebih luas lagi, terkait dengan
ko-formasi kebijakan? Ini adalah sebuah pertanyaan empiris yang didasarkan pada sebuah
interpretasi tentang luas cakupan perubahan yang mungkin terjadi. Menghubungkan antara
penentuan tujuan dan realisasi tujuan nampaknya menjadi pertaruhan di sini. Penilaian apapun
tentang apakah tindakan yang diamati secara empiris adalah sesuatu yang diinginkan atau tidak
adalah sebuah permasalahan normative. Mirip dengan itu, ada berbagai tindakan operasional
governance yang terdiri dari mengelola trajektori, mengelola relasi antar-organisasi, dan
mengelola kontak eksternal-interal yang bisa dilihat sebagai sublevel dari tindakan dan tidak
terbatas hanya pada satu lapisan pemerintahan. Karena itu, hubungan antara aktor, tindakan dan
titik tindakan adalah sebuah permasalahan empiris. Alih-alih membuat aturan teoritis secara
aproriori tentang hubungan ketiganya, relasi ketiganya-lah yang harus ditelaah dalam analisa
kebijakan
Memposisikan framework
Kami mengakui bahwa Multiple Governance Framework yang dihadirkan di sini secara
intelektual, sebagian, diturunkan dari framework IAD. Pada saat yang sama ada beberapa
perbedaan besar yang sifatnya lebih daripada sekedar perbedaan terminology dan
menjustifikasikan perkembangan beberapa framework yang berbeda. Pertama, framework ini
secara eksplisit menghubungkan studi proses kebijakan dan konsep governance. Hal esensial di
sini adalah adalah fokus yang diberikan pada tindakan dan bukan sekedar pada institusi, seperti
dipahami dalam pemahamaham legalistic-tradional; fokus pada orientasi horizontal dan vertikal;
penekanan pada upaya untuk menspesifikasikan level analisis dan membedakan masalah empiris
dan normative. Kedua, salah satu karakteristik spesifik dari framework yang dipaparkan di sini
adalah lokalisasi berbagai aktifitas governance dalam berbagai situasi tindakan dalam
serangkaian relasi sosial-politik. Ketiga, Multiple Governance Framework membangun asumsi-
asumsi mikroekonomis-nya dari framework IAD dalam mainstream ilmu sosial, yang
menghubungkannya dengan karya-karya klasik bertema administrasi publik. Dengan demikian,
kita memiliki sebuah framework yang sesuai untuk melakukan studi proses kebijakan. Keempat,
formulasi Ostrom memiliki penekanan pada hal yang sifatnya institusional sementara,
sebagaimana telah kami kemukakan; kami melakukan adaptasi pada pilihan konstitusional,
kami melihat bahwa isi isu, dalam kaitannya dengan inovasi kebijakan, sebagai satu hal yang
sangat penting dalam membentuk struktur bagi keputusan-keputusan berikutnya.
Nested Games(Lynn, Institutional Rational Multiple stages Multiple governance
1981) Choice Kiser dan Ostrom Parsons (1993) (Hill and Hupe, 2002)
(1982; Ostrom 1999)
High game Level konstitusional Analisis Meso Konstitutif governance
Middle game Level pilihan kolektif Analisis Keputusan Direktif governance
Low game Level operasional Analisis delivery Operasional governance
Dalam tabel 1.2 kami menampilkan berbagai kategori untuk menggambarkan level analisis dan
membandingkannya dengan berbagai pendekatan alternative.
5. PENGGUNAAN MULTIPLE GOVERNANCE FRAMEWORK
Ketika kita mengesampingkan konsep aktor, singularitas ide stagist telah didiferensiasikan dalam
tiga konsep: level tindakan; situasi tindakan; dan lapisan dalam sebuah sistem politik-
administratif. Jika kita mengadopsi sebuah perspektif stagist, maka setiap konsep di atas bisa
dilihat untuk mendesain berbagai pendekatan alternatif untuk mengeksplorasi perkembangan
kebijakan. Tentu saja, semakin sederhana pendekatan pada perspektif stagist akan semakin
menyamakan dan mencampuradukkan ketiga konsep tersebut. Pendekatan yang kami tawarkan
menyarankan bahwa seseorang tidak bisa mengasumsikan bahwa sebuah gerakan menuju satu
tujuan berjalan menurut kategori-kategori yang sudah didesain atau mempersamakan antara
berbagai level, loci dan lapisan yang berbeda. Dalam suatu situasi tertentu orang mungkin bisa
menarik hipotesa yang menyatakan bahwa salah satu atau kedua relasi ini memang terjadi, dan
kemudian melakukan pengujian apakah hipotesis ini benar. Lebih jauh lagi, and hal ini menjadi
salah satu sumber kebingungan dalam perbagai diskusi administrasi publik, orang bisa menemui
berbagai pandangan dan keyakinan yang menyatakan bahwa relasi seperti itulah yang seharusnya
terjadi.
Dengan menggunakan matrix maka rujukan apapun yang mengarah pada vertikalisasi bisa
dihindari. Tetapi, framework inipun bisa dibaca melalui logika stagist. Pembacaan dengan logika
itu mengimplikasikan bahwa konstitutif governance mendasari dimensi structural, direktif
governance menentukan detil isi dan operasional governance terkait dengan aspek proses
kebijakan publik. Sidang pembaca mungkin akan memberikan reaksi, bahwa inilah yang
sebetulnya mereka harapapkan dari framework alternatif ini. Tetapi, jika benar demikian, apakah
sidang pembaca sedang memberikan sebuah hipotesis, atau sebuah pernyataan tentang apa yang
seharusnya mereka temukan?
Permasalahan ini menyoroti relasi antara berbagai aktifitas dalam proses kebijakan yang di waktu
dan titik yang berbeda, dan oleh aktor yang berbeda pula. Mengesampingkan permasalahan
empiris tentang siapa yang aktor yang bertindak di satu sisi, dan lapisan administratif mana yang
diamati. Framework yang digambarkan di tabel pertama memperlihatkan macam berbagai
aktifitas yang mungkin terjadi sebagai hasil dari kombinasi-kombinasi level tindakan/situasi
tindakan. Bisakah ini diperlakukan sebagai sebuah kluster (tahapan) aktifitas, yang disini
diidentifikasikan sebagai suatu level tindakan tertentu dan biasanya berasosiasi dengan satu
lapisan tertentu, menurut garis administrasi vertical, yang terus berlangsung tidak hanya
sebagaimana dipraktekkan (baik secara absah maupun tidak) oleh para aktor di lapisan-lapisan
yang lain tetapi juga dalam beragam situasi tindakan? Ini menjadi sebuah permasalahan krusial,
mengulang kembali pengamatan-pengamatan kunci kami tentang hipotesis dan pernyataan
seharusnya, untuk mengakui bahwa ada sejumlah besar variasi sampai sejauh mana aktifitas-
aktifitas tertentu muncul sebagai suatu hasil dari kombinasi level tindakan/situasi tindakan
tertentu ini benar-benar terjadi dan bahwa akan muncul perdebatan tentang sejauh mana output
kebijakan seharusnya dipengaruhi oleh aktifitas-aktifitas ini. Contoh yang jelas dari
permasalahan ini bisa ditemukan seputar kontroversi tentang determinasi kebijakan kesehatan
atau pendidikan. Kami mengambil hipotesis, realitas dalam sistem-sistem ini akan menjadi
sebuah kombinasi dari sebuah sistem yang eksplisit dan tidak mudah untuk diubah, mencakup
harapan-harapan tertentu terhadap sistem ini sebagai suatu keseluruhan, bersama-sama dengan
tantanan manajerial yang sangat bersifat local dan aturan-aturan yang mempengaruhi diskresi di
level-jalanan. Kita tidak hanya akan menemukan banyak variasi di seputar tema ini, tetapi juga
akan muncul kontroversi tentang kepantasan atau ketidakpantasan dari upaya berbagai struktur
yang terlibat. Kontroversi akan muncul seputar hak prerogatif professional dan tentang hak
pasien, murid dan orang tua untuk mempengaruhi sistem yang ada. Argumen-argumen dalam
kontroversi itu tidak hanya terkait dengan diskresi di level-jalanan tetapi juga tentang kinerja dan
kualitas keputusan-keputusan yang menjadi struktur kebijakan.
Karena itu framework alternative kami menawarkan dua kontribusi pada studi proses kebijakan,
sembari di saat yang sama menghindari limitasi metodologis yang dimiliki pembayangan model
stagist. Kontribusi itu adalah: meningkatkan upaya pembentukan teori yang bersifat lebih lokal
dan membantu mengidentifikasi berbagai kemungkinan tindakan.
Memaksimalkan Upaya Formasi Teori yang Kontekstual
Fungsi utama dari Multiple Framework Governance adalah untuk memberikan sebuah
(meta)basis konseptual untuk pembangunan teori-kontekstual dalam studi proses kebijakan. Pada
meta-level framework ini mendesign konsep-konsep penataan yang memungkinkan
pembentukan berbagai teori level menengah-bawah yang sifatnya lebih lokal, dalam pengertian
terkait dengan locus. DeLeon (1999:29), Hill dan Hupe (2003) menyerukan agar kita
melakukan perlawanan terhadap kecenderungan untuk melakukan penemuan sebuah teori besar
yang mempersatukan. Karena itu kami menyarankan agar mainstream dalam berbagai riset
empiris-komparatif melihat hanya pada satu subyek di satu lapisan administrative dan tidak lebih
dari dua level tindakan di saat yang sama. Hal ini penting karena dalam studi proses kebijakan,
lebih banyak hipotesis yang dibuat daripada diuji.
Dalam spesifikasi sebuah pertanyaan riset, framework ini membantu kita dalam menyeleksi
variabel. Melihat pada variabel dependen yang digunakan dalam riset kebijakan selama ini, maka
adalah mungkin untuk membedakan tujuan dari upaya untuk menjelaskan:
Perubahan kebijakan dalam sebuah sistem politik;
Pengadopsian sebuah atau sekumpulan kebijakan;
Variasi output atau outcome kebijakan (Sabatier, ed., 1999).
Framework ini memberikan fleksibilitas dalam memilih unit analisis yang tepat. Di sisi variabel
indenden, Multiple Governance Framework menawarkan suatu cara untuk membingkainya,
daripada memberikan preskripsi tentang apa yang harus dilakukan. Penelaahan literature studi
proses kebijakan yang dilakukan oleh OToole (1986) menyiratkan sebuah daftar variabel yang
panjang, yang akhirnya menimbulkan kritik yang menyatakan bahwa yang nampak di situ adalah
suatu subyek perlu dipersempit (lihat Matland, 1995; juga Meier, 1999). Hasil identifikasi dengan
menggunakan framework ini tentang tindakan apa yang mungkin dilakukan memperpendek
daftar variabel yang disajikan oleh OToole; Hill dan Hupe (2002: 123) menyarankan tujuh
kategori variabel independen. Cakupan yang lebih sempit ini memungkinkan kita untuk memilih
sejumlah kecil variabel yang dianggap relevan bagi riset yang sedang dilakukan.
Membantu Mengidentifikasi Pilihan-pilihan Tindakan
Sejumlah besar literatur tentang implementasi memfokuskan perhatiannya pada sebuah
perdebatan normatif antara perspektif top-down dan bottom-up. Keduanya muncul dari dari
pandangan-pandangan yang luas diyakini tentang akuntabilitas yang demokratis. Dihadapkan
pada apa yang pandang sebagai penyimpangan dalam proses implementasi kedua perspektif itu
menyibukkan diri dengan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas kontrol atas proses
kebijakan, baik dari atas maupun dari bawah. Sebaliknya, sebuah perspektif analitis yang
mengakui bahwa upaya untuk mempengaruhi proses kebijakan bisa melibatkan berbagai
penyesuaian pada sebuah sistem jejaring yang kompleks dengan berbagai level, loci dan lapisan,
sehingga bisa membantu para aktor untuk mengidentifikasi berbagai alternatif tindakan. Mereka
yang menjadi pendukung setia perspektif top-down akan terbantu dengan mengakui bahwa
mereka memiliki pilihan-pilihan di antara melakukan restrukturasi fundamental, penyesuaian
tatanan tertentu, atau cara-cara baru untuk membatasi diskresi di level-jalanan. Sebaliknya, dari
perspektif bottom-up akan muncul berbagai pertanyaan tentang pentingkah untuk menggunakan
cara-cara baru dalam membuat keputusan di level-jalanan, atau mungkinkah diperlukan
modifikasi institusional dan/atau struktural yang harus dibuat untuk membuat keputusan di level-
jalanan menjadi mungkin.
Di antara dua posisi ideologis yang kuat itu, banyak orang akan berpendapat, seperti Day dan
Klein (1987), bahwa proses kebijakan publik harus bertahan dari tekanan berbagai tuntutan
akuntabilitas. Dalam pandangan ini, sebagaimana dalam kasus kebijakan publik di bidang
kesehatan dan pendidikan yang dipaparkan di atas, mungkin penting bagi kita untuk mencoba
mengembangkan berbagai kebijakan sehingga kebijakan-kebijakan ini akan mengikuti alur
kompleks seperti ada di tabel pertama. Isu tentang bagaimana, dan oleh siapa, keseluruhan
struktur dan pembiayaan yang seharusnya ditentukan mungkin akan berbeda dengan pandangan
yang berfokus pada penataan lokal untuk delivery kebijakan, sementara jawaban atas kedua
pertanyaan itu juga mungkin akan berbeda ketika dilihat dari sudut pandang yang berfokus pada
perilaku diskresi dari para parktisi. Seluruhnya saling terkait, tetapi ada banyak pilihan tentang
seluruh keterkaitan itu bisa dibuat hal ini penting bagi riset kebijakan dan juga praktek
kebijakan.
6.KESIMPULAN
Mungkin tidak ada pemikiran atau konsep lain yang begitu kuat diyakini dalam dunia ilmu
politik dan publik administrasi selain model stagist. Pemikiran tentang pembuatan kebijakan
sebagai sesuatu yang berjalan dalam tahapan-tahapan yang berurutan dipengaruhi oleh Pressman
dan Wildavsky dalam memformulasikan rantai hipostesis mereka, mengimplikasikan besarnya
kemungkinan keberadaan celah-celah implementasi (Bowen, 1982). Sebagai konsekuensinya,
hal ini mengundang munculnya riset penderitaan seperti kami kemukakan sebelumnya.
Pemikiran stagist adalah sebuah elemen penting dalam sebuah konsepsi kebijakan publik yang
lebih luas yang mampu bertahan lama, sekaligus pada saat yang sama, terbukti banyak
menyesatkan. Kemampuannya untuk bertahan lama, terkait dengan tiga hal: pertama, konsepsi
itu menarik dalam pengertian normatif karena didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan
trias politica. Kedua, karena model ini memberikan fokus pada upaya untuk mengelola kontrol
dalam kehidupan publik (Van Gunsteren, 1976). Ketiga, kesederhanaan dan efisiensi relatif yang
dimiliki oleh model ini juga menarik secara psikologis.
Pada saat yang sama, model ini juga menyesatkan. Dalam hal ini, model stagist mungkin bisa
menghindari riset yang terbuka dan sistematis tentang apa yang terjadi, bagaimana dan mengapa.
Jebakan kontrol ini nampaknya menjadi penyebab berbagai diskursus yang gagal di seputar
proses kebijakan publik. Keterbatasan kemampuan untuk menjelaskan yang menjadi sasaran
utama kritik seringkali menjadi titik lemah dari model stagist.
Kami sepakat dengan pembayangan model stagist sebagai sebuah peta umum dalam analisa
proses kebijakan. Dia adalah sebuah peta umum dan bukan sebuah model apalagi sebuah teori
kausal yang telah banyak digunakan dengan baik dalam berbagai studi kebijakan klasik. Pada
saat yang sama, menurut sebuah standar positifisme moderat dalam ilmu sosial, model stagist
secara konseptual tidak cukup multi-dimensional dan terbuka untuk membuka kemungkinan
pengembangan riset sistematis yang bersifat teoritis-empiris dalam studi proses kebijakan.
Karena lanskap studi ini yang sangat beragam, kami memandang bahwa riset semacam itu sangat
dibutuhkan sekaligus mungkin untuk dilakukan dalam studi proses kebijakan.
Karena itu, dengan mengembangkan framework Analisis Institutional and Development Elinor
Olstrom, kami telah mengkaitkan framework itu dalam arus utama ilmu kebijakan yang berfokus
pada politik dan administrasi dengan orientasi governance yang eksplisit. Multiple Governance
Framework memiliki karakter multidimensional dan jejaring. Framework ini bisa menawarkan
konsep penataan yang bisa sangat membantu dalam formasi teori menengah-ke-bawah dan dalam
riset empiris yang sistematis dengan karakter lokal yang kuat. Satu hal penting, ini berarti bahwa
suatu level tindakan, seperti tahap implementasi, tidak bisa dilihat secara apriori serta merta
terkait dengan satu lapisan administratif.
Framework yang dipaparkan di sini tidak sepenuhnya memisahkan diri dari banyak ilmuwan
yang mengakui bahwa logika jejaring atau tapak-tapak institusional mempengaruhi berbagai
proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, framework ini bisa dikatakan mengadopsi sebuah
ide tentang tahapan, meskipun secara longgar. Ketika framework ini dikedepankan sebagai
sebuah perangkat konseptual untuk membantu dalam upaya membingkai studi teoritis-empiris
selanjutnya, berbagai permasalahan empiris tentang validitasnya tetap harus dijawab. Terlepas
dari kemampuannya untuk membantu formasi teori yang kontekstual, kami telah
mengindikasikan bahwa framework ini juga bisa membantu para praktisi dalam melakukan
refleksi kontekstual. Lebih jauh lagi, Multiple Governance Framework juga bisa menjalankan
fungsi institusional; orang bisa membayangkannya sebagai sebuah riset programatik atau
menggunakannya dalam fungsi sebagai sebuah peta bagi agenda publik. Pada kenyataannya,
framework ini didesain untuk mengkombinasikan dua tugas esensial: pertama dalam ilmu sosial,
dan yang satu lagi dalam konteks sosial yang lebih luas. Tugas pertama adalah menyediakan apa
yang disebut oleh Ostrom (1999: 41) sebagai sebuah multi-tier conceptual map. Tugas yang
satunya lagi jauh lebih luas, yaitu untuk berfungsi sebagai sebuah multi-heuristik dalam
pengertian institusional.

Referensi

Anderson, J.E. 1975. Public Policy-making. New York: Holt, Praeger.

Baumgartner, F.R. & B.D. Jones. 1993. Agendas and Instability in


American Politics. Chicago: University of Chicago Press.

Bowen, E.R. 1982. The Pressman-Wildavsky Paradox. Journal of


Public Policy, 2 (1): 1-21.

Brewer, G.D. 1974. The policy sciences emerge: To nurture and


structure a discipline. Policy Sciences, 5 (3) (September): 239-44

Brewer, G.D. & P. DeLeon. 1983. The Foundation of Policy Analysis.


Monterey, California: Brooks/Cole
Cohen, M.D., March, J.G. & Olsen, J.P. 1972. A garbage can model of
organizational choice, administrative Science Quarterly, 17 (1): 1-25.

Day, P. & R. Klein. 1987. Accountabilities. London: Tavistock.

Davies, H.T.O., S.M. Nutley & P.C. Smith (eds.). 2000. What works?
Bristol: Policy Press.

DeLeon, P. 1999. The Stages Approach to the Policy Process: What


Has it Done? Where Is It Going? In P.A. Sabatier (ed.). 1999. Theories
of the Policy Process. Boulder, Colorado: Westview Press, 19-32.

Derthick, M. 1972. New Towns in Town: Why a Federal Program


Failed. Washington, D.C.: Urban Institute.

Dewey, J. 1927. The Public and its Problems. New York: Holt.

Dror, Y. 1989. Public Policymaking Reexamined. 2nd edition (1st edition:


1968). New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers.

Fischer, F. 1995. Evaluating Public Policy. Chicago: Nelson Hall.

Fischer, F. 2003. Reframing Public Policy. Oxford: Oxford University


Press.

Fox, C.J. & H.T. Miller. 1995. Postmodern Public Administration:


Towards Discourse. Thousand Oaks Calif.: Sage.

Frederickson, H.G. & K.B. Smith. 2003. The Public Administration


Theory Primer. Boulder, Colorado: Westview Press.

Graaf, H., van de & R. Hoppe. 1989. Beleid en Politiek. Bussum:


Coutinho.

Gunsteren, H.R. van. 1980. Planning in de verzorgingsstaat: Van


chaotisch naar systematisch falen in J.K.M. Gevers & R.J. int Veld
(eds.). Planning als maatschappelijke vormgeving. Deventer: Van
Loghum Slaterus: 15-32.

Heinrich, C.J. & L.E. Lynn, Jr. (eds.). 2000. Governance and
Performance: New Perspectives. Washington, D.C.: Georgetown
University Press.
Hill, M.J. & P.L. Hupe. 2002. Implementing Public Policy: Governance
in Theory and Practice. London: Sage.

Hill, M.J. & P.L. Hupe. 2003. The multi-layer problem in


implementation research. Public Management Review, 5 (4): 469-488.

Hogwood, B.W. & L. Gunn. 1984. Policy Analysis for the Real World.
Oxford: Oxford University Press.

Hoogerwerf, A. (ed.). 1978. Overheidsbeleid: Een inleiding in de


beleidswetenschap. Alphen aan den Rijn: Samsom.

Howlett, M. & M. Ramesh. 2003. Studying Public Policy: Policy Cycles


and Policy Subsystems. Second edition, Ontario: Oxford University
Press.

Jenkins, W.I. 1978. Policy Analysis: A Political and Organisational


Perspective. London: Martin Robertson.

Jenkins-Smith, H. & P.A. Sabatier. 1993. The study of the public policy
process in P.A. Sabatier and H.C. Jenkins-Smith (eds.). 1993. Policy
Change and Learning: An Advocacy Coalition Approach. Boulder,
Colorado: Westview Press.

John, P. 1998. Analysing Public Policy. London: Pinter.

Jones, Ch. 1970. An Introduction to the Study of Public Policy (1st


edition). Belmont, California: Wadsworth.

Kingdon, J.D. 1995. Agendas, Alternatives and Public Policies (2nd


edition). Boston: Little, Brown and Company.

Kiser, L.L. & E. Ostrom. 1982. The Three World of Action: A


Metatheoritical Synthesis of Institutional Approaches in E. Ostrom
(ed.). 1982. Strategies of Political Enquiry. Beverly Hills, California:
Sage

Koolman, J. (ed.). 1993. Modern Governance: New Government-


Society Interactions. London: Sage.

Koolman, J. 1999. Social-Political Governance: Overview, Reflections


and Design, Public Management (Review), 1 (1): 67-92
Koolman, J. 2003. Governing as Governance. London: Sage

Kuypers, G. 1980. Beginselen van Beleidsontwikkeling (two volumes).


Muiderberg: Coutinho.

Laswell, H.D. 1951a. The Policy Orientation in Lerner , D. & H.D.


Laswell (eds.). 1951. The Policy Sciences. Stanford, California:
Stanford University Press

Laswell, H.D. 1951b. Democratic Character in The Political Writings


of Harold D. Laswell. Glencoe, Illinois: Free Press.

Laswell, H.D. 1956. The Decision Process: Seven Categories of


Functional Analysis. College Park, Maryland: University of Maryland

Laswell, H.D. 1968. The policy sciences in The Encyclopedia of The


Social Sciences, vol. 12. New York: Macmillan/Free Press.

Laswell, H.D. 1970. The Emerging conception of the policy sciences,


Policy Sciences, 1: 3-14.

Laswell, H.D. 1971. A Pre-view of Policy Sciences. New York: Elsevier.

Linder, S.H. & B.G. Peters. 1987. a design perspective on policy


implementation: The fallacies of misplaced prescription. Policy
Studies Review, 6 (3): 459-75.

Lindblom, C.E. 1959. The science of muddling through, Public


Administration Review, 19: 78-88.

Lindblom, C.E. 1968. The Policy-making Process. Englewood Cliffs,


N.J.: Prentice-Hall.

Lindblom, C.E. & E.J. Woodhouse. 1993. The Policy-making Process.


Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Lipsky, M. 1980. Street-level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual


in Public Services. New York: Russel Sage Foundation.

Lynn, L.E., Jr. 1981. Managing the Publics Business. New York: Free
Press.
Lynn, L.E., Jr. 1987. Managing Public Policy. Boston, Mass: Littie,
Brown and Company.

Lynn, L.E., Jr., C. Heinrich and C.J. Hill. 2001. Improving Governance:
A New Logic for Empirical Research. Washington DC: Georgetown
University Press.

Mack, R. 1971. Planning and Uncertainty. New York: John Wiley.

Matland, R.E. 1995. Synthesizing the implementation literature: The


ambiguity-conflict model of policy implementation, Journal of Public
Administration Research and Theory, 5 (2): 145-74.

May, J. & A.B. Wildavsky (eds.). 1978. The Policy Cycle. Beverly Hills,
California: Sage.

Meier, K.J. 1999. Are we sure Laswell did it this way? Lester, Goggin
and implementation research, Policy Currents, 9 (1): 5-8.

Milward, H.B. & K.G. Provan. 1999. How networks are governed,
unpublished paper.

Nakamura, R. 1987. The textbook policy process and implementation


research, Policy Studies Review, 7 (2) (Autumn): 142-54.

Ostrom, E. 1999 Institutional Rational Choice: An Assessment of the


Institutional Analysis and Development Framework in P.A. Sabatier
(ed.). 1999. Theories of Policy Process. Boulder, Colorado: Westview
Press, 35-71.

OToole, L.J., Jr. 1986. Policy recommendations for multi-actor


implementation: An assessment of the field. Journal of Public Policy, 6
(2): 181-210.

OToole, L.J., Jr. 2000. Research on Policy Implementation:


Assessment and Prospects. Journal of Public Administration Research
and Theory, 10 (2): 263-88.

Palumbo, D. 1988. Public Policy in America. New York: Harcourt,


Brace, Jovanovich.
Parsons, W. 1995. Public Policy: An Introduction to the Theory and
Practice of Policy Analysis. Cheltenham, UK: Edward Elgar.

Perrow, C. 1999. Normal Accidents: Living with High Risk


Technologies. Princeton: Princeton University Press.

Pierre, J. & B.G. Peters. 2000. Governance, Politics and the State. New
York: St Martins Press.

Pressman, J. & A. Wildavsky. 1973 (1st edition). Implementation: How


Great Expectation Are Dashed in Oakland; Or, Why Its Amazing that
Federal Program Work at All, This Being a Saga of the Economic
Development Administration as Told by Two Sympathetic Observers
Who seek to Build Morals on a Foundation of Ruined Hopes. Berkeley:
University of California Press

Richards, D. & M.J. Smith. 2002. Governance and Public Policy in the
UK. Oxford: Oxford University Press.

Rose, R. 1973. Comparing public policy: An overview, European


Journal of Political Research, 1: 67-94

Rothstein, B. 1998. Just Institution Matter: The Moral and Political


Logic of the Universal Welfare State. Cambridge: Cambridge
University Press.

Sabatier, P.A. 1991. Towards better theories of the policy process.


Political Science and Politics, 24 (2) (June): 147-56.

Sabatier, P.A. 1999. The need for better theories in P.A. Sabatier
(ed.). 1999. Theories of Policy Process. Boulder, Colorado: Westview
Press.

Sabatier, P.A. & H. Jenkins-Smith. 1999. The Advocacy Coalition


Framework: An Assessment in P.A. Sabatier (ed.). 1999. Theories of
Policy Process. Boulder, Colorado: Westview Press.

Schlager, E. 1997. A response to Kim Quale Hills In Search of Policy


Theory, Policy Currents, 7 (June): 14-5
Schlager, E. 1999. A Comparison of Frameworks, Theories, and
Models of Policy Processess in P.A. Sabatier (ed.). 1999. Theories of
the Policy Process. Boulder, Colorado: Westview Press, 233-60.

Selznick, P. 1949. TVA and The Grass Roots. Berkeley: University of


California.

Simon, H.A. 1945. Administrative Behavior (1st edition). New York:


Free Press.

Stone, D.A. 1989. Causal stories and the formation of policy agendas,
Political Science Quarterly, 104: 281-300.

Waldo, D. 1946. The Administrative State: A Study of the Political


Theory of American Public Administration. New York: The Ronald
Press Company.

Wilson, W. 1887. The study of administration, Political Science


Quarterly, 2: 197-222.

Anda mungkin juga menyukai