Oleh:
Imam Mawardi Sumarsono
NPM: 201186518018
Setelah Perang Dunia II, Harold W. Chase dari penerbit Charles Scribner's Sons
mendapat banyak masukan dari kelompok-kelompok diskusi di kampus dan
lingkungan akademis, serta beberapa mahasiswa yang mendalami ilmu politik. Mereka
menginginkan agar Scribner's menerbitkan suatu buku Pengantar Ilmu Politik yang
berbeda, yang ditulis oleh ilmuwan politik muda, memiliki kemampuan, kreatif,
imajinatif dan memiliki reputasi dalam pengajaran di ruang kelas. Setelah dilakukan
penelusuran, kriteria itu kemudian jatuh pada Profesor Stephen L Wasby.
Tahun 1969, Harold W. Chase menceritakan kisah ini sebagai tulisan pengantar
pada buku Political Science. The Diciplines And Its Dimensions: An Introduction, yang
ditulis oleh Profesor Stephen L Wasby. Dari tulisan Chase, sulit untuk tidak menyebut
bahwa buku ini merupakan bagian dari gerakan revolusi behaviorialis dan post-
behavioralis di kalangan sarjana-sarjana ilmu politik yang terjadi pada akhir dekade
1960-an di Amerika saat itu. Pada masa itu ilmu politik sudah mulai dirumuskan
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menjadi salah satu cabang dari ilmu sosial.
Namun para sarjana ilmu politik merasa tidak puas dengan perumusan ilmu politik
yang masih dianggap sebagai cabang dari ilmu sosial, sehingga muncul pendekatan
baru dalam ilmu politik. Para pengikut behaviorialis mengembangkan metode ilmiah
dengan memunculkan pendekatan perilaku (behavioral approach) sebagai upaya
meningkatkan mutu ilmu politik dan mencari suatu new science of politics.1
1
Pengikut behaviorialis ini merumuskan pokok pemikiran sebagai berikut: Sekalipun perilaku manusia
adalah kompleks, tetapi ada pola-pola berulang (recurrent patterns) yang dapat diidentiikasi. Pola-
pola dan keteraturan perilaku ini dapat dibuktikan kebenarannya melalui pengamatan yang teliti dan
sistematis. Dengan menggunakan statistik dan matematika dapat dirumuskan hukum-hukum yang
bersifat probabilitas. (Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama:
2007) hlm. 8-10
1
2
Karena itu, Chase dalam kata pengantarnya menyebut bahwa buku ini seperti
yang diinginkan banyak kalangan yang saat itu sedang mempelajari ilmu politik:
berbeda, imajinatif dan canggih untuk mengkonstruksi dengan berbagai cara, sehingga
mahasiswa yang tidak mempelajari ilmu politik pun bisa memahami hal-hal yang
menarik dan relevan di dalam ilmu politik.
Wasby membuka bab pertama bukunya dengan pertanyaan mendasar: Apa itu ilmu
politik? Pertanyaan ini memungkinkan munculnya beberapa jawaban berbeda, baik
ruang lingkup maupun kandungannya. Ini terjadi karena untuk mendefinisikan ilmu
politik tidak cukup hanya dengan 25 kata (atau lebih). Inilah yang mengakibatkan
munculnya keraguan atau ketidaksetujuan pada definisi ilmu politik, yang kemudian
2
Dalam Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, norma perspektif didefinisikan sebagai aturan,
kebiasaan, tradisi atau konvensi yang muncul pada suatu masyarakat yang memungkinkan terus
berkembang di dalam masyarakat tersebut. (William Outhwaite. Alihbahasa: Triwibowo B.S. Ed.2,
Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 572-575
3
Varma, S.P. Teori Politik Modern. (peny. Tohir Effendi). Jakarta: Rajawali Pers, 2016. hlm 8-9
3
bisa mengubah sifat atau batasan-batasan yang tidak perlu dari keilmuan ini. Termasuk
membuat suatu definisi menjadi tidak akurat.
Definisi ilmu politik harus jelas. Walaupun sudah banyak diskusi dilakukan
(dalam hal ini Wasby menyebut tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan di American
Political Science Association) yang berusaha mengembangkan istilah-istilah baru, tapi
tetap saja mengulangi argumen-argumen lama, hanya dalam bahasa yang berbeda.
Perlu upaya yang lebih keras untuk menemukan fakta-fakta terhadap apa yang disebut
ilmu politik. Sehingga para praktisi dan ilmuwan politik, bisa membedakan secara jelas
apa yang dimaksud dengan ilmu politik. Dengan pemikiran ini, Wasby membuat
elemen-elemen yang bisa menjadi pijakan dasar untuk mendefinisikan ilmu politik dan
ruang lingkupnya.
telah dilatih dengan ilmu politik. Namun demikian, tidak semua orang yang
dilatih dalam profesi ini bisa menjadi praktisi dalam ilmu politik. Beberapa
anggota kongres atau senator, misalnya, meskipun memiliki latar belakang
akademis ilmu politik, tidak bisa disebut sebagai ilmuwan politik. Dengan
posisinya tersebut, mereka sudah menjadi politisi.
Tujuan. Ada yang berargumen, bahwa “tujuan seni adalah untuk seni”.
Beberapa ilmuwan politik juga membuat argumen: “tujuan pengetahuan adalah
untuk pengetahuan”. Walaupun banyak yang tidak menolak, termasuk mereka
yang sudah menggunakan perangkat ilmu politik, tapi ilmu politik masih
memerlukan capaian-capaian besar dari kerja politik sebelum mulai
menentukan bagaimana tujuan-tujuan pentingnya bisa dicapai. Misalnya, kerja-
kerja riset untuk mengetahui adanya gejala-gejala masyarakat yang sakit.
Ilmuwan politik tidak harus menunggu suatu pengetahuan untuk bisa
menelusuri penyebab penyakit itu. Terhadap situasi seperti ini, Wasby
menyebutkan bahwa Charles Hyneman4 membuat pernyataan yang tepat:
4
Charles S. Hyneman, The Study of Politics; The Present State of American Political Science (Urbana,
1959), p. 17
6
“studi politik untuk ilmu politik” dan “pendidikan pada warga masyarakat”
menjadi ide yang penting bagi ilmu tentang kebijakan yang ada di dalam ilmu
politik. Juga mencari apa yang relevan dari ilmu politik dengan aktivitas politik,
baik secara langsung atau tidak langsung. Hal ini akan menjadi cara pandang
terhadap masalah utama dari ilmu politik, yang bisa membedakan keberadaan
atau isu-isu dan masalah-masalah kebijakan di masa depan.
Untuk menyebutkan bahwa ilmu politik terkait dengan ilmu tentang kebijakan,
tidak perlu harus selalu mendefinisikan kebijakan resmi sebagai bagian dari
ilmu politik. Sebab, gagasan dari ilmu politik adalah menyediakan kriteria
untuk mempelajari sesuatu yang relevan. Selain itu, materi-materi yang
disiapkan juga berorientasi pada kegiatan riset yang bisa menyediakan dasar
bagi pengetahuan teoritis, seperti menghimpun informasi tentang perubahan
prilaku (yang berasal dari riset marketing), yang bisa ditemukan dari studi
akademis untuk kemudian digunakan dalam dunia politik yang nyata.
Ilmu Pengetahuan. Apakah ilmu politik itu ilmu pengetahuan, adalah masalah
krusial dan kontroversinya di dalam studi politik masih menjadi perdebatan.
Para ilmuwan politik membangun argumen bahwa subyek dari politik sama
dengan subyek dari ilmu pengetahuan "pasti" seperti fisika, kimia atau geologi.
Namun, ilmu politik lebih mempertimbangkan dirinya sebagai ilmu
pengetahuan "lunak", seperti yang ada pada ilmu sosial atau studi perubahan
perilaku. Beberapa ilmuwan politik menggunakan model dari disiplin "ilmu
pasti" dengan pola-pola seperti yang ada pada hukum fisika, walaupun hasil
akhirnya tidak selalu tepat.
Banyak ilmuwan politik yang membahas tentang studi keilmuan politik, yang
dimaksudkan sebagai kajian yang sistematis dan terstruktur, dimana para
mahasiswa akan berusaha untuk menemukan apa yang benar-benar nyata.
Singkatnya, mereka akan menggunakan model umum untuk menguji dan
memahami fenomena yang diketahui sebagai metode ilmu pengetahuan.
Mereka akan menggunakan informasi-informasi tersebut untuk kemudian
menghimpunnya ke dalam teori-teori atau istilah-istilah umum tentang
kehidupan politik, walaupun dalam perkiraannya terhadap masa depan dan
kaitannya dengan teori-teori politik tidak ditemukan. Dalam upaya
pengembangan inilah para ilmuwan politik akan menarik karakter-karakter
umum ke dalam datanya dan memasukkannya sebagai sesuatu yang unik, yang
ada di dalam suatu peristiwa atau aktor politik. Fokusnya akan berbeda dengan
sejarawan, yang secara umum konsentrasinya ada pada keunikan dan hal-hal
yang luar biasa.
beberapa disiplin keilmuan itu memiliki obyek yang sama, tetapi ilmu politik
tidak bisa didefinisikan dengan bentuk-bentuk metodologi yang unik atau
khusus.
Ikhtisar. Lantas, semua ini akan membawa kita kemana? Di sinilah Wasby
merumuskan beberapa elemen yang secara bersama-sama bisa disebut sebagai
suatu definisi.
5
Political Science. The Diciplines And Its Dimensions: An Introduction (Stephen L Wasby. New York:
Charles Scribner’s Sons, 1970) p. 7
9
• Ilmu politik adalah bidang studi yang bisa diidentifikasi, dengan ruang
lingkup dan konten yang bisa saja bertentangan, yang sering ditemukan oleh
para praktisi di dalam suatu lembaga dalam tingkat pemahaman yang lebih
tinggi, dimana untuk itu mereka bisa melakukan pembelajaran dan
mengadakan riset, atau juga di dalam pemerintahan. Para praktisi ini tidak
sama dengan para politisi. Studi tentang politik adalah kajian di dalam ilmu
politik yang memiliki relevansi dengan kehidupan negara, meskipun para
ilmuwan politik memiliki perbedaan tentang apakah hal itu harus diterapkan
dengan segera, atau dilakukan setelah lebih dahulu melakukan
pengembangan kajian. Ada yang menyarankan agar masalah kebijakan
yang mendesak, menjadi subjek utama studi bagi ilmuwan politik.
• Ilmu politik tidak sama dengan ilmu fisika, tetapi politik dapat dipelajari
secara sistematis dengan metodologi ilmu pengetahuan. Ilmu politik dapat
diidentifikasi secara tepat, baik dengan metode yang khusus untuk itu
maupun dengan terminologi tertentu. Lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk membahas, bahkan untuk membuat definisi sementara dari ilmu
politik, menjelaskan bahwa ilmu politik tidak dapat mengembangkan model
utama yang bisa berfungsi sebagai titik awal yang cukup masuk akal untuk
dilakukannya suatu penelitian tentang politik. Wasby menggambarkan
bahwa ilmu politik modern itu seperti bangunan katedral gotik yang
dibangun selama berabad-abad, dengan menara, balkon, sudut, dan celah
yang ada di dalamnya.
Setelah melakukan upaya untuk membuat definisi tentang ilmu politik, Wasby
menekankan perlunya untuk merumuskan pada apa itu yang disebut sebagai politik dan
hal-hal yang bersifat politis?
Seni Atau Ilmu Pengetahuan. Wasby menilai bahwa politik secara umum
adalah seni. Seni tentang kemungkinan, yang di dalam studi politik terkait
10
dengan pemikiran di dalam ilmu pengetahuan. Walaupun, untuk itu kita harus
berhati-hati agar tidak memberikan penekanan yang berlebih pada
perbedaannya. Beberapa keahlian dalam ilmu politik, seni bisa dikembangkan
sebagai aspek-aspek ilmu pengetahuan. Terutama dalam proses pengumpulan
data atau memutuskan dimana dan bagaimana mengumpulkannya. Ini adalah
bagian dari kreatifitas, yang merupakan bagian dari kualitas seni. Kita juga
berpikir bahwa politik adalah seni karena seorang politisi memberikan
penilaian utamanya dari bentuk yang sudah dihasilkan, walaupun itu bisa
berarti bahwa penggunaannya tidak terlalu penting. Sementara, seorang
ilmuwan politik memberikan penilaian setidaknya di dalam bentuk-bentuk
yang berdasarkan metodologi, karena metodologi itu mempengaruhi validitas
pada hasilnya. Namun pada akhirnya, kalaupun kita setuju bahwa politik adalah
seni, tapi tetap saja kita membutuhkan definisi yang lebih sistematis dan
lengkap.
Hingga saat ini, banyak ilmuwan politik yang lebih setuju bahwa kekuasaan
adalah yang diberikan oleh pemerintah, atau pemerintah yang memiliki
kekuasaan politik. Tetapi, kekuasaan itu juga bisa diberikan secara privat atau
pribadi oleh organisasi (misalnya persekutuan dagang) atau diberikan oleh
keluarga. Dan, ini jelas bukan bagian dari studi ilmu politik. Namun, kelompok-
12
kelompok dari persekutuan atau serikat dagang bisa berguna untuk membuat
analogi dalam menggambarkan politik. Beberapa ilmuwan politik saat ini juga
mulai merasa bahwa kekuasaan yang ada di dalam serikat, atau kelompok
kepentingan yang lain, di dalam bisnis, bahkan di dalam keluarga, secara nyata
bisa menjadi bagian dari politik karena memiliki relevansi melalui tekanan-
tekanan yang bisa diberikan kepada pemerintah. Jika nilai-nilai politik itu
disalurkan di dalam suatu keluarga, dari orangtua ke anak, lalu diteruskan pada
kawan-kawannya, maka distribusi kekuasaan semacam ini akan relevan dengan
situasi politik di luar. Begitu juga pengaruh distribusi kekuasaan yang ada di
kelompok-kelompok kepentingan, jelas terkait dengan politik. Karenanya,
kebijakan-kebijakan dari pemerintah juga tergantung pada individu-individu
atau faksi-faksi yang memegang kekuasaan di dalam kelompok pada waktu
tertentu. Namun demikian, walaupun keluarga, kelompok atau perusahaan
memiliki kaitan dengan ilmu politik, tidak semua aspek bisa menjadi kajian
dalam ilmu politik. Karena ilmuwan politik harus memberi batasan yang jelas,
terutama yang ada relevansinya dengan institusi sosial.
Penentuan Nilai. Ada anggapan bahwa politik itu terkait dengan seberapa kuat
“kewenangan” hidup di dalam nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pada
masyarakat secara keseluruhan, hal ini harus didukung oleh digunakannya
monopoli kekuatan secara fisik. Ketika kita menyampaikan suatu "nilai" pada
seseorang, maka yang kita maksudkan di sini adalah keinginan dia untuk
memiliki hubungan dengan perangkat-perangkat lain, untuk disesuaikan
dengan yang tersedia pada dirinya. Untuk mengembangkan keinginannya itu,
bentuknya bisa saja dengan kemauan dia membayar sejumlah uang untuk
mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Dan ketertarikan individu ini bisa
dibuat dalam beberapa tingkatan, sehingga kita bisa menyebutnya sebagai
hirarki nilai-nilai yang dimiliki warga masyarakat. Yang menjadi persoalan di
dalam politik adalah membedakan secara akurat kebijakan-kebijakan yang
13
lebih disukai dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam hitungan ekonomi, hal
itu mungkin bisa ditentukan dalam bentuk dolar atau sen, untuk menentukan
nilai pada suatu obyek. Namun, keinginan-keinginan di dalam urusan-urusan
negara (nilai-nilai) tidak mudah untuk ditetapkan ukurannya. Persetujuan pada
nilai-nilai juga bersifat abstrak, yang juga tidak sama dengan persetujuan di
dalam kebijakan yang juga abstrak. Misalnya, nilai-nilai seperti kebebasan atau
ketertiban, kemungkinan besar jika diterapkan akan terjadi pertentangan.
Contohnya, ketika seseorang memiliki kebebasan untuk berdemonstrasi, maka
hal itu bisa dinilai sebagai gangguan ketertiban bagi pengusaha atau politisi. Ini
adalah jenis situasi yang mengarah pada definisi politik sebagai sesuatu yang
"mengejar tujuan yang tidak sesuai". Ketika seseorang mencoba untuk
mendapatkan satu tujuan, hal itu bisa menutup peluang bagi mereka untuk
mendapatkan yang lain.
Jadi, kegiatan yang tujuan adalah untuk pribadi atau tidak dimotivasi oleh
kepedulian universal, secara khusus ini berkaitan dengan masalah kejiwaan
seseorang. Atau, yang berusaha mempromosikan keuntungan-keuntungan
kelompok untuk kepentingan pribadi, ini bisa disebut sebagai psedopolitik7.
6
Christian Bay. "Politics and Pseudopolitics: A Critical Evaluation of Some Behavioral Literature,"
American Political Science Review, LIX (1965), 40.
7
Sebagai kata sifat, Pseudo diartikan sebagai sesuatu yang nyata tapi tidak terlihat; kecenderungan
salah atau palsu.
(sumber: https://www.dictionary.com/browse/pseudo#) diunduh pada tanggal 6 Oktober 2020.
15
Banyak ilmuwan politik yang setuju bahwa konsep negara tidak lagi berguna
karena terlalu formal. Namun, penekanan istilah yang dihasilkan pada fungsi-
fungsi sentral dari pemerintah formal, telah mempengaruhi ilmu politik di
Amerika. Apa yang para ahli ilmu pengetahuan politik inginkan adalah
memasukkan bergesernya arti dari negara, tatanan konstitusional, dan hukum
ke dalam studi politik dalam arti kata kehidupan sehari-hari, yang saat ini telah
menjadi perhatian bagi individu-individu yang berpartisipasi dalam politik,
meskipun telah ada juga kebangkitan baru terkait dengan minat pada fenomena
makro. Tetapi, pergeseran besar-besaran tentang arti pemerintahan itu sendiri
16
telah memainkan peran penting dan akan terus berlanjut: ilmu politik akan
berubah seiring dengan perubahan politik dan pemerintahan itu sendiri.
Meningkatnya tugas pemerintah, secara proporsional menjadikan lebih banyak
hal yang yang bisa dimasukkan ke dalam, atau relevan dengan politik di dalam
pemerintahan. Politik yang dimaksudkan di sini adalah untuk menjadi
instrumen atau alat, yang ditujukan terutama untuk menciptakan dan
mengendalikan pemerintahan dan badan-badan. Ini juga memperkuat gagasan
untuk membedakan antara pemerintah dan politik, yang membuat orang orang
mendapatkan kesan bahwa politik mempengaruhi pemerintah, padahal tidak
berada di dalam pemerintahan.
Mengkaji pemikiran Stephen L Wasby melalui buku Political Science. The Diciplines
And Its Dimensions: An Introduction pada Bab 1, memperlihatkan bagaimana ilmu
politik bekerja dalam ruang dan bidang yang berbentuk nyata, atau berwujud sebagai
17
ilmu pengetahuan. Ilmu politik memiliki perangkat dan pendekatannya sendiri, yang
bisa digunakan, setidaknya, untuk memisahkan antara ilmu politik dengan politik itu
sendiri. Hal ini memperjelas bahwa politik yang banyak diartikan sebagai kehidupan
manusia yang berkaitan dengan kekuasaan maupun pemerintahan, tidak bisa disebut
sebagai ilmu pengetahuan. Karena batas dan ruang lingkupnya terlalu luas untuk
dirumuskan menjadi ilmu pengetahuan. Wasby dalam pemikirannya, memperjelas
batas dan ruang lingkup itu sehingga ilmu politik merupakan ilmu pengetahuan.
Mendalami hal ini, sulit untuk tidak melepaskan penilaian bahwa pemikiran
Wasby merupakan bagian dari gerakan behavioralis, yang terjadi pada akhir dekade
1960-an. Meskipun masih perlu argumen yang kuat untuk membuktikan hal itu, namun
kita bisa memperbandingkan pemikiran Wasby ini dari orientasinya yang menonjol,
dengan ciri-ciri dari konsep-konsep pokok yang diusung oleh para behavioralis.
Sebagaimana disebutkan oleh Miriam Budiardjo8 (2007), konsep-konsep pokok
behavioralism ini merumuskan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan dengan
argumen-argumen sebagai berikut:
8
(Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama: 2007) hlm. 10
18
David Easton yang biasanya dihubungkan dengan dasar revolusi behavioralis, seperti
disebutkan S.P Varma dalam Teori Politik Modern, juga telah meletakkan beberapa
asumsi dan tujuan dari behavioralisme ini, yang dianggap sebagai batu loncatan
intelektual, yaitu: (1) Regularitas, (2) Verifikasi, (3) Teknik, (4) Kuantifikasi, (5) Nilai-
nilai, (6) Sistematisasi, (7) Ilmu murni dan, (8) Integrasi.9
Karena itu, secara tidak langsung pemikiran Wasby tentang ilmu politik itu
merupakan argumen terhadap kaum tradisionalis, yang memiliki pandangan bahwa
politik bukan, dan tidak akan pernah menjadi suatu ilmu, dalam setiap pengertian yang
nyata dari istilah tersebut. Dimana, kaum kaum tradisionalis memiliki alasan-alasan
yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Fenomena politik karena sifat-sifatnya, tidak dapat dijadikan sasara setiap
penelitian yang mengutamakan ketepatan. Perilaku manusia, apakah sebagai
individu atau masyarakat, tidak dapat dipelajari dengan obyektivitas, unsur
yang sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah.
(2) Fenomena politik tidak dapat diterima dalam penelitian yang bersifat
eksperimental. Karena terlalu banyak variabel dan kejadian sejarah yang
sifatnya kebetulan; sukar menemukan suatu pernyataan tentang keteraturan
yang bersifat umum, sehingga hampir tidak dapat mengarah pada adanya
generalisasi atau penemuan hukum-hukum tentang perilaku manusia.
9
(Varma, S.P. Teori Politik Modern. (peny.) Tohir Effendi. Jakarta: Rajawali Pers. 2016) hlm. 72
19
(3) Bahkan jika hukum seperti itu bisa didapatkan, manusia dengan segala
kecerdikannya akan mampu mengelakkan hukum-hukum itu, sehingga dalam
kasus ini hukum akan kehilangan segala validitasnya.
(4) Bisa saja kita bertolak dari suatu hipotesa di awal penelitian kita, tetapi maksud
dan tujuan penelitian tersebut justru tidak dapat tercapai, bila kita terlalu kaku
berpegang pada hipotesa tersebut.
(5) Suatu pendekatan yang benar-benar bersifat deskriptif, bukan berarti tidak
mengandung keuntungan tertentu. Banyak penelitian terhadap fenomena politik
yang didasarkan pada deskripsi menurut urutan waktu, dan penyusutan dari
berbagai macam aspeknya dalam perkembangan selanjutnya telah memberikan
keterangan yang berharga tentang kejadian di masa lalu, dan telah menjadi
suatu faktor yang penting dalam upaya memahami fenomena politik melalui
sejarah.
Alasan kaum tradisionalis adalah, realitas politik sebagian besar terdiri dari
unsur-unsur unik, sehingga apabila kita dapat menemukan suatu keteraturan maka
hal ini mungkin hanya bersifat sepele dan tidak berarti.
IV. Kesimpulan
(1) Memiliki pola yang jelas dan bersifat konsisten sebagaimana disyaratkan dalam
sifat-sifat ilmu pengetahuan.
20
(2) Bisa dijelaskan dengan menggunakan struktur dan sistematika yang mudah
dipahami, sehingga bisa membuat perkiraan-perkiraan di masa depan.
(3) Bisa dirumuskan ke dalam suatu teori ilmiah.
(4) Bisa dibuat perhitungan sebagaimana ilmu matematika.
(5) Bisa dilakukan uji coba atau eksperimen untuk mendapatkan pengetahuan.
(6) Memiliki fakta yang bisa dipahami.
(7) Memiliki nilai-nilai yang mengikat untuk diterapkan pada masyarakat.
(8) Bisa dijadikan sebagai sarana pengajaran.
Adapun terkait dengan argumen yang bertentangan terkait dengan keberadaan ilmu
politik, maka hal itu bisa dijadikan sebagai pijakan untuk merumuskan konsep-konsep
yang lebih jelas dan ilmiah dalam pengembangan ilmu politik itu sendiri. Baik untuk
merumuskan definisi baru ilmu politik, atau menemukan pendekatan-pendekatan baru
dalam kaitannya dengan penggunaan ilmu politik di dalam kehidupan di sosial
masyarakat. (*)
Bahan Bacaan: