Anda di halaman 1dari 9

IMAM SYAFI'I: APABILA HADISTNYA SHAHIH,

ITULAH MADZHABKU

Pernyataan tersebut di atas Apabila hadisnya sahih, maka itulah mazhabku adalah
benar perkataan Imam Syafii yang sangat sering dikutip oleh sebagian umat Islam.
Dengan mempedomani perkataan Imam Syafii ini, apabila menemukan sebuah hadits
shahih, mereka langsung (tanpa mendalami kemungkinan-kemungkinan lain dalam
memahami hadits tersebut) menisbahkan kandungan zhahir hadits tersebut sebagai
mazhab Syafii, dengan alasan setiap hadits yang shahih sanadnya, maka itu adalah
pendapat Syafii, padahal Imam Syafii sendiri terlepas dari penisbatan itu sendiri.

Untuk ini, penulis tergerak hati mencoba membahas masalah perkataan Imam Syafii ini
dengan memperhatikan pendapat dan komentar para ulama mengenai masalah ini.

Perkataan Imam Syafii seperti disebut di atas, terdapat dalam kitab-kitab karya ulama
antara lain :
a. Dalam Kitab Mana Qaul al-Imam al-Muthallabi Idza Shahha al-Hadits Fa huwa
Mazhabi karya Imam al-Subki disebutkan :


"

Artinya : Engkau (Tajul al-Subki, anak dari Imam al-Subki) menanyakan Semoga Allah
memberikan taufiq bagimu tentang perkataan Imam kita Syafii r.a. Apabila shahih
hadits, maka itulah mazhabku. Perkataan tersebut adalah perkataan yang masyhur
dari beliau dan tidak terjadi perbedaan pendapat manusia bahwa perkataan tersebut
diriwayat dari beliau. Telah diriwayat juga dari beliau perkataan yang semakna
dengannya dengan lafazh yang berbeda. [1]

b. Dalam al-Majmu Syarah al-Muhazzab disebutkan :







:









Artinya : Telah shahih dari Syafii r.h. sesungguhnya beliau mengatakan : Apabila kalian
dapatkan dalam kitabku khilaf sunnah Rasulullah SAW, maka katakanlah dengan
sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku dan telah diriwayat pula Apabila
shahih hadits khilaf dengan pendapatku, maka amalkan hadits dan tinggalkan
pendapatku atau Imam Syafii berkata : maka itulah mazhabku dan telah diriwayat
perkataan dengan makna ini dengan lafazh-lafazh yang berbeda.[2]

c. Dalam Nihayah al-Muhtaj disebutkan :


:

Artinya: Maka sesungguhnya telah shahih bahwasanya Imam Syafii pernah mengatakan :
Apabila shahih hadits,maka itulah mazhabku. [3]

d. Dalam Kitab Manaqib al-Syafii, karangan al-Baihaqi disebutkan Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal mengatakan, ayahku mengatakan, telah mengatakan kepada kami oleh
Syafii :


Artinya: Apabila di sisimu shahih hadits dari Nabi SAW, maka katakanlah sehingga aku
berpendapat berdasarkan hadits itu.[4]

Apakah ada pendapat Imam Syafii yang bertentangan dengan hadits shahih?

Dhahir perkataan Imam Syafii, Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku
atau yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Imam Syafii sangat
mementingkan hadits Nabi SAW dan beliau menempatkan posisi hadits dalam istinbath
hukum dalam posisi yang semestinya, sehingga tidak heran banyak ulama memuji
Syafii karena sikap beliau tersebut, bahkan beberapa ulama yang datang sesudahnya
menyatakan bahwa tidak ada satupun pendapat Syafii yang meninggalkan hadits
shahih atau bertentangan dengannya. Ini dapat disimak dari pernyataan antara lain :

a. Ahmad bin Hanbal mengatakan :


Aku tidak pernah melihat seseorang yang melebihi Syafii dalam
mengikuti atsar[5]

b. Ibnu Khuzaimah pernah ditanyai :


Apakah engkau mengetahui sunnah Rasulullah SAW tentang halal dan haram yang
tidak disebut Syafii dalam kitabnya, Ibnu Khuzaimah menjawab : Tidak.[6]
Namun demikian, sebagai manusia biasa yang tidak bersifat dengan mashum,
tentu kita tidak boleh beritiqad bahwa Imam Syafii tidak mungkin bersalah, karena sifat
tersebut hanya dipunyai oleh Nabi dan Rasul utusan Allah Taala. Karena itu, Abu
Syamah, guru dari Imam al-Nawawi mengatakan :

Sesusungguhnya Syafii membangun mazhabnya berdasarkan Kitabullah dan


Sunnah Rasulullah SAW serta nadhar shahih yang merujuk kepada keduanya.
Namun beliau tentu tidak mashum dari lupa.[7]

Apakah setiap hadits yang shahih sanadnya merupakan mazhab Syafii ?

Dapat dipastikan jawaban pertanyaan di atas adalah tidak semua zhahir makna
hadits yang telah dinyatakan shahih sanadnya oleh ahli hadits merupakan mazhab
Syafii, meskipun harus diakui dan memang begitulah adanya bahwa semua hukum fiqh
dalam mazhab Syafii didasarkan kepada hadits shahih atau hasan (hadits maqbul).
Pernyataan bahwa tidak setiap zhahir makna hadits shahih merupakan mazhab Syafii
dibuktikan dengan sebagai berikut :

a. Kadang-kadang Imam Syafii tidak mengamalkan zhahir makna dari hadits shahih,
karena hadits tersebut dinyatakan mansukh (dihapus). Misalnya hadits yang disebut
dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi :



Artinya : Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya(H.R.Bukhari).[8]

Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafii tidak mengamalkannya, karena
menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Al-Subki menjawab
pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits Yang membekam dan yang
dibekam terbuka puasanya adalah shahih, mengatakan :

Ditolak perkataan Abu Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafii meninggalkan
hadits tersebut, padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di sisinya dan
beliau sendiri telah menjelaskannya.[9]

Contoh lain hadits riwayat Muslim berbunyi :





Artinya : berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api.(H.R.Muslim) [10]
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafii tidak mengamalkannya, karena
menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Imam al-Nawawi mengatakan
:

Jawaban dari hadits-hadits mereka (hadits-hadits wajib berwudhu dengan sebab makan
sesuatu yang disentuh api), sesungguhnya hadits itu mansukh, seperti ini telah dijawab
oleh Syafii dan ashabnya dan ulama-ulama lainnya.[11]

b. Kadang-kadang Imam Syafii meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih


karena hadits tersebut diposisikan kepada makna yang sesuai dengan maksud hadits
lain. Misalnya Imam Syafii berpendapat bahwa yang afdhal wudhu dilakukan tiga kali
dengan mengikuti perbuatan Nabi SAW berdasarkan hadits Usman bin Affan berbunyi :


Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu tiga kali, tiga kali.

dengan memposisikan maksud hadits shahih dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW pernah berwudhu satu kali, satu kali dengan makna sebagai mubah
saja, bukan suatu yang utama.[12] Dhahir hadits Ibnu Abbas yang telah beliau riwayat
dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits ini adalah melakukan wudhu satu kali, satu kali
merupakan amalan yang utama, mengingat itu merupakan amalan Nabi SAW, namun
beliau mengesampingkan dhahir hadits ini dengan memposisikannya hanya sebagai
perbuatan yang mubah dilakukan, bukan yang utama dengan berdalil kepada hadits
Usman bin Affan di atas. Hadits Ibnu Abbas dimaksud juga telah diriwayat oleh al-
Bukhari, berbunyi :


:


Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau berkata : Nabi SAW pernah berwudhu satu kali, satu kali (H.R.
Bukhari)[13]

c. Kadang-kadang Imam Syafii meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih,


karena menurut beliau ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits
shahih pertama. Misalnya hadits dari Rafi bin Khadiij, Rasulullah SAW bersabda :



Artinya : Kerjakanlah shalat Subuh saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar
pahalanya (H.R. al-Turmidzi, hadits hasan shahih).[14]
Sementara itu ada sebuah hadits shahih dari Aisyah r.a. , beliau berkata :


Artinya : Kaum perempuan mukminin shalat Subuh bersama Nabi SAW, kemudian mereka pulang
dengan menutupi diri mereka dengan jubah mereka. Tidak seorangpun mengenal
mereka karena masih gelap.(H.R. Bukhari dan Muslim)[15]

Dhahir hadits pertama bertentangan dengan hadits Aisyah, karena hadits pertama
mengandung perintah shalat Subuh pada akhir waktu, sedangkan kandungan hadits
Aisyah berisikan bahwa shalat Subuh lebih afdhal dilakukan pada awal waktu. Dalam
mengomentari dua hadits ini, Imam Syafii mengatakan :

Seandainya hadits tersebut (hadits pertama) bertentangan dengan hadits Aisyah, maka
kami dan anda wajib berpegang pada hadits Aisyah, bukan yang lain.

Kemudian Imam Syafii menjelaskan bahwa alasan beliau lebih berpegang kepada
hadits Aisyah, karena kandungan hadits Aisyah lebih mendekati dengan
Kitabullah.[16] Dengan demikian, hadits Aisyah lebih rajih di sisi beliau. Namun beliau
dalam penjelasan akhir mengenai kedua hadits di atas berpendapat bahwa kedua
hadits ini tidak saling bertentangan, dengan jalan memaknai Asfiruu bil-fajr dengan
pengertian shalat Subuh pada saat fajar yang kedua sesudah nampak melintang (fajar
saadiq)[17]. Namun berdasarkan uraian ini, dapat dipahami bahwa Imam Syafii bisa
saja meninggalkan beramal dengan sebuah hadits shahih, apabila beliau berpendapat
ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits pertama.

d. Kadang-kadang Imam Syafii meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih,


karena hadits tersebut mutlaq yang diqaidkan dengan hadits lain. Misalnya hadits dari
Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :






Artinya : Jangan salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang
sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya. (H.R. Bukhari).[18]

Dhahir hadits ini dilarang meminang pinangan orang lain sehingga peminangnya
meninggalkannya dengan mencakup keadaan dimana sang perempuan yang dilamar
tersebut menolak atau tidak menolaknya. Namun Imam Syafii tidak mengamalkan
mutlaq dari dhahir hadits tersebut dengan memposisikan larangan pada hadits tersebut
apabila perempuan yang dilamar tidak menolaknya. Pemahaman beliau ini didasarkan
pada hadits Fatimah binti Qiis berkata :


: :

:


: :



Artinya : Sesungguhnya suaminya mentalaqnya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya beriddah di
rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau bersabda : Kalau sudah halal, beritahu aku. Ketika
aku sudah halal, aku berkata kepada Rasulullah SAW : Muawiyah bin Abu Sufyan dan
Abu Jahm telah meminangku. Lalu Rasulullah SAW bersabda : Abu Jahm tidak
pernah meletak tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Muawiyah miskin tidak
berharta. Karena itu, nikahilah dengan dengan Usamah bin Zaid. Fatimah binti Qiis
mengatakan : Aku tidak menyukainya. Kemudian Rasulullah SAW mengulangi lagi :
Nikahilah Usamah bin Zaid. Akupun menikahi Usamah bin Zaid, Allah memberikan
kebaikan kepadanya dan akupun bahagia bersamanya.[19]

Dalam kisah yang tersebut dalam hadits ini, menurut pemahaman Imam Syafii,
Rasulullah SAW melamar Fatimah binti Qiis untuk Usamah bin Zaid, karena beliau tahu
bahwa Fatimah binti Qiis sudah menolak lamaran Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu
Jahm. Karena itu, Imam Syafii memposisikan hadits larangan meminang pinangan
orang lain di atas, selama pinangan tersebut tidak ditolak oleh perempuan yang
dilamar.[20]

e. Imam Syafii juga bisa saja meninggalkan mengamalkan zhahir hadits shahih, karena
faktor lain seperti hadits tersebut merupakan am yang dikhususkan dengan maksud
hadits lain yang sifatnya khusus.

Lalu bagaimana konteks perkataan Imam Syafii Apabila shahih hadits, maka
itulah mazhabku?

Dengan menyimak uraian-uraian di atas, maka dapat dipastikan, tidak boleh bagi
seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengans
serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafii hanya
dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafii Apabila shahih hadits, maka
itulah mazhabku, tetapi penisbatan kandungan hadits shahih tersebut kepada mazhab
Syafii haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan
konverehensif dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid
juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan mendekati
kemampuan seorang mujtahid.

Tidak boleh dengan serta merta mengklaim kandungan hadits shahih sebagai
mazhab Syafii hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafii Apabila
shahih hadits, maka itulah mazhabku disebabkan seorang mujtahid, termasuk dalam
hal ini Imam Syafii bisa saja mengesampingkan pengamalan sebuah makna dhahir dari
sebuah hadits shahih karena ada dalil lain yang lebih rajih untuk diamalkan di sisinya
sebagaimana contoh-contoh yang telah dikemukakan sebelum ini.

Mengomentari perkataan Imam Syafii di atas, dalam Majmu Syarh al-Muhazzab, Imam
al-Nawawi mengatakan :

Perkataan Imam Syafii ini bukanlah maknanya bahwa setiap orang yang melihat hadits
shahih dapat mengatakan Ini mazhab Syafii, lalu mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini
hanyalah diposisikan pada orang-orang mencapai martabat ijtihad dalam mazhab
sesuai dengan sifat-sifatnya yang terdahulu atau mendekati martabat ijtihad.
Persyaratannya adalah kuat dugaannya bahwa Syafii Rhm tidak pernah menemukan
hadits ini atau tidak mengetahui sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti
semua kitab-kitab Syafii dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang
mengambil ilmu dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya.
Persyaratan ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang mempunyai
sifat seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami sebutkan, karena
Syafii Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau
melihat dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits
tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya.[21]

Kesimpulan

Tidak boleh bagi seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih,
lalu dengan serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab
Syafii. Penisbatan kandungan sebuah hadits shahih kepada mazhab Syafii haruslah
terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan konverehensif
dengan membaca semua kitab-kitab Syafii dan pengikut-pengikut beliau dan ini
tentunya yang mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid juga atau setidak-
tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan mendekati kemampuan seorang
mujtahid, sehingga memunculkan dugaan yang kuat bahwa Imam Syafii tidak
mengemukakan suatu pendapat sesuai dengan hadits shahih tersebut karena beliau
tidak pernah menemukan hadits tersebut atau tidak mengetahui sahnya. Imam Syafii
banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau jumpai dan
mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits tersebut tercela,
dinasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya.

Tgk. Alizar Usman, S.Ag, M. Hum


http://kitab-kuneng.blogspot.com

[1] Al-Subki, Mana Qaul al-Imam al-Muthallabi Idza Shahha al-Hadits Fa huwa
Mazhabi, Muassasah Qurthubah, Hal. 85
[2] Imam al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I,
Hal. 104
[3] Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (dicetak bersama Hasyiah Ali Syibran al-Malusi dan
Hasyiah al-Rasyidi), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 50
[4] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafii, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 476
[5] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafii, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 471
[6] Al-Subki, Mana Qaul al-Imam al-Muthallabi Idza Shahha al-Hadits Fa huwa
Mazhabi, Muassasah Qurthubah, Hal. 88
[7] Al-Subki, Mana Qaul al-Imam al-Muthallabi Idza Shahha al-Hadits Fa huwa
Mazhabi, Muassasah Qurthubah, Hal. 101
[8] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 33.
[9] Al-Subki, Mana Qaul al-Imam al-Muthallabi Idza Shahha al-Hadits Fa huwa
Mazhabi, Muassasah Qurthubah, Hal. 91-92
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 272, No. Hadits : 351
[11] Al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal.
68
[12] Imam Syafii, al-Um, Dar al-Wifa, Juz. X, Hal. 42
[13] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 43, No. Hadits : 157
[14] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 223, No. Hadits : 154
[15] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508, No. Hadits : 1024
[16] Imam Syafii, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 284
[17] Imam Syafii, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 290
[18] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 15, No. Hadits :
5142
[19] Imam Syafii, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 309-310
[20] Imam Syafii, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 310-311
[21] Al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal.
105

Anda mungkin juga menyukai