Anda di halaman 1dari 105

PEDOMAN PELAYANAN MEDIS

PENYAKIT MATA
DAFTAR ISI

Gambaran Umum dan Kelainan Refraksi ............................................................. 3


Konjungtivitis ....................................................................................................... 12
Keratitis dan Ulkus Kornea ................................................................................... 15
Uveitis ................................................................................................................... 19
Glaukoma Akut ..................................................................................................... 21
Katarak pada penderita dewasa ............................................................................. 31
Pterygium .............................................................................................................. 35
Kelainan Refraksi pada Anak ............................................................................... 38
Katarak kongenital ................................................................................................ 40
Glaukoma pada Anak ............................................................................................ 42
Retinoblastoma ..................................................................................................... 45
Strabismus ............................................................................................................. 47
Blefaroptosis kongenital ....................................................................................... 51
Epiblefaron Inferior .............................................................................................. 53
Obstruksi Duktus Naso-Lakrimal Kongenital ...................................................... 54
Lagoftalmus Karena Parese Fascialis ................................................................... 55
Tumor Orbita ........................................................................................................ 57
Diabetic Retinopati ............................................................................................... 62
Degenerasi Macula Karena Usia
(Age Related Macular Degeneration [Armd]) ...................................................... 64
Endoftalmitis ......................................................................................................... 66
Retinopati Prematuritas (Rop) .............................................................................. 68
Sumbatan Vena Retina .......................................................................................... 72
Retina Lepas (Retinal Detachment) ...................................................................... 75
Kebutaan Mendadak (Acute Blindness) ............................................................... 77
Amaurosis Fugax .................................................................................................. 79
Kehilangan Penglihatan Berlanjut Kronis (Chronic Progressive Visual Loss) .... 81

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 2


GAMBARAN UMUM KELAINAN REFRAKSI

I. MIOPIA
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekutan pembiasan sinar yang
berlebihan,sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan didepan retina.

1. Miopia axial:kekuatan retraktif mata normal, tetapi diameter anterior-posterior


bola ata lebih panjang. Mata biasanya lebih besar dari normal. Pada tipe miopia
ini bias dijumpai myopic cresent dan stafiloma posterior
2. Miopia kurvatura: Bessar bola mata normal, tapi kurvatura kornea dan lensa
lebih besar dari normal
3. Miopia indeks refraksi: perubahan indeks refraksi sering terlihat pada pasien
Diabetes yang kadar gula darahnya tak terkontrol.
4. Perubahan posisi lensa: perubahan lensa kearah depan sering terjadi sesudah
tindakan bedah, terutama glaukoma

Gejala miopia
1. Gejala paling penting yaitu melihat menjadi buram
2. Sakit kepala
3. Kecenderungan terjadinya juling saat melihat jauh
4. asien lebih jelas melihat dekat

Penatalaksanaan
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi sferis negatip
terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.

II. HIPERMETROPIA
Mata hipermetropia mempunyai kekuatan refraksi yang lemah, sinar sejajar yang
dating dari obyek terletak jauh tak terhingga dibiaskan dibelakang retina.Berasarkan
struktur bola mata hipermetropia dibedakan menjadi beberapa tipe,yaitu:
1. Hipermetropia axial: Kekuatan refraksi mata normal, tetapi diameter anterior-
posterior bola mata lebih pendek dari normal
2. Hipermetropia kurvatura: Kelengkungan kornea dan lensa lebih lemah dari
normal
3. Hipermetropia indeks refraksi:Indeks refraksi lebih rendah dari normal
4. Perubahan posisi lensa: Hipermetropia dapat disebabkan perubahan posisi lensa
ke belakang

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 3


Berdasarkan akomodasi hipermetropia dibedakan secara klinis menjadi:
1. Hipermetropia manifest: didapatkan tanpa sikloplegik, merupakan
hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan lensa positif maksimal yang memberikan
tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri dari hipermetropia absolut
ditambah dengan hipermetropia fakultatif.
2. Hipermetropia manifes absolut : merupakan bagian hipermetropia yang tidak
dapat diimbangi dengan akomodasi
3. Hipermetropi fakultatif: merupakan bagian hipermetropia yang dapat diukur
dengan dikoreksi dengan lensa positif,tetapi dapat juga dikoreksi dengan akomodasi
tanpa lensa koreksi.pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan
dapat melihat normal tanpa koreksi, tapi bila diberikan koreksi lensa positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan istirahat.
4. Hipermetropia laten: merupakan bagian hipermetropia yang dapat diatasi
sepenuhnya dengan akomodasi, tanpa sikloplegik, merupakan perbedaan antara
hipemetropia total dengan manifest. hipermetropia laten iniakan diatasi pasien dengan
akomodasi trus menerus.Hipermetropia laten hsnys dspst diukur bila diberikan
sikloplrgik. Makin muda seseorang makin besar komponen hipermetropi laten.
Dengan bertambahnya usia maka kemampuan akomodasi menjadi berkurang,
sehingga hipermetropia laten menjadi fakultatif dan kemudian menjadi hipermetropia
absolut.
5. Hipermetropi total, yaitu seluruh jumlah hipermetropia laten dan manifest yang
didapatkan setelah pemeriksaan dengan sikloplegik.

Gejala hipermetropia
1. Bila hipermetropia 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh
penglihatan jauh kabur.turunnya tajam penglihatan jauh pada pasien usia tua
disebabkan menurunnya amplitude akomodasi, sehingga tidak dapat lagi
mengkompensasi kelainan hipermetropia nya.
2. penglihatan dekat lebih cepat buram. Karena kemampuan akmodasi menurun
dengan bertambahnya usia, sehingga akomodasi tidak cukup adekuat lagi untuk
penglihatan dekat.Penglihatan dekat yang buram akan lebih terasa lagi pada keadaan
kelelahan, atau penerangan yang kurang
3. sakit kepala biasanya pada daerah frontaldan dipacu oleh kegiatan melihat dekat
jangka panjang.jarang terjadi pada pagi hari.cenderung terjadi pada siang hari dan
bias membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan.
4. eyestrain
5. Sensitif terhadap cahaya.
6. spasme akomodasi; yaitu terjadinya cramp m.cilliaris diikuti penglihatan buram
intermiten. Over aksi akomodasi dapat menyebabkan pseudomiopia.sehingga
penglihatan lebih jelas saat diberikan koreksi lensa negatip

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 4


Penatalaksanaan
Apabila disertai esopohria, hipermeropia dikoreksi penuh
Apabila disertai strabismus konvergen, koreksi hipermetropia total, sebaliknya
apabila disertai exophoria diberikan under koreksi.

III. ASTIGMATISMA
Adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh
meridian. Pada astigmatisma regular,terdapat dua meridian utama yang terletak saling
tegak lurus.

Tipe-tipe astigmatisma
1. Astigmatisma hipermetropikus simpleks: satu meridian utamanya emetropik,
meridian yang lainnya hipermetropik.
2. Astigmatisma myopikus simpleks: satu meridian utamanya emetropik, meridian
lainnya miopik.
3. Astigmatisma hipermetropikus kompositus: kedua meridian utama
hipermetropik dengan derajat yang berbeda.
4. Astigmatisma miopikus kompositus: kedua meridian utamanya miopik dengan
derajat yang berbeda
5. Astigmatisma mikstus: satu meridian utamanya hipermetropik, meridian yang
lain miopik.

Bentuk-bentuk Astigmatisma
1. Astigmatisma regular
2. Astigmatisma irregular
3. Astigmatisma oblik
4. Astigmatisma simetrik
5. Astigmatisma asimetrik
6. Astigmatisma with the rule
7. Astigmatisma against the rule
Gejala Astigmatisma
1. Penglihatan kabur
2. Head tilting
3. Menengok untuk melihat jelas
4. Mempersempit palpebra
5. Memegang bahan bacaan lebih dekat

Penatalaksanaan Astigmatisma
Koreksi dengan lensa silinder, bersama dengan sferis, kalau ada.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 5


IV. ANISOMETROPIA

Pemeriksaan tajam penglihatan


1. Ditingkat pelayanan kesehatan mata primer.
a. Pemeriksaan menggunakan kartu snellen
Dengan penerangan ruangan yang cukup. Pasien diperiksa pada jarak 6meter
atau paling sedikit 5 meter dari kartu snellen. Apabila tidak tersedia ruangan
yang cukup, maka pemeriksaan dapat dilakukan pada jarak 3 meter,dengan
cara meletakkan kartu snellen diatas kepala pasien dan pasien melihat objek
melalui bayangan dicermin yang diletakkan didepan pasien. Pemeriksaan
dilakukan satu persatu mata dengan mata yang tidak diperiksa ditutup
menggunakan okluder.Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan terlebih
dahulu, kecuali bila pasien mengeluh mata kiri melihat lebih buram, dapat
diperiksa mata kiri terlebih dahulu. Pasien disuruh membaca huruf atau angka
pada kartu snellens dari baris atas ke paling bawah, kemudian diulangi untuk
mata sebelahnya.Keemudian kedua mata diperiksa secara bersamaan. Apabila
tajam penglihatan kedua mata seimbang, maka biasanya kedua mata akan
saling memperkuat,sehingga didapatkan tajam penglihatan menggunakan dua
mata sedikit lebih baik dibandingkan satu per satu mata. Hasil pemeriksaan
kemudian dicatat, sebagai berikut:

VOD :6/6
VOU :6/5

VOS :6/6
Karena pemeriksaan bias dilakukan dengan atau tanpa kaca mata, maka hasil
hasil pemeriksaan dicatat dengan notasi s(sine= tanpa koreksi) dan c(cum=
dengan koreksi) missal 6/6c, atau 6/12s.
Hasil pemeriksaan yang dicatat adalah baris terakhir yang dapat terbaca
seluruhnya atau sebagian oleh pasien ,misalnya

V :6/9 berarti pasien dapat membaca semua huruf / angka pada baris 6/9

V :6/9+ berarti pasien dapat membaca pada baris 6/9 ditambah beberapa pada
baris dibawahnya.

V :6/18 atau lebih dijelaskan 6/18 (-2 huruf) berarti pasien dapat membaca
pada
baris 6/18 dengan 2 huruf salah

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 6


Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu snelen, pasien
bias diminta mendekat kearah snelen, sehingga pada jarak yang lebih dekat
mungkin pasien bias membaca huruf terbesar.Misal pasien bias membaca
huruf terbesar pada jarak 2 meter , maka V:2/60,apabila hal tersebut tidak
memungkinkan maka pemeriksaan kita lakukan dengan hitung jari.pasien
diminta menyebutkan berapa jari pemeriksa yang diperlihatkan dengan latar
belakang gelap. Tajam penglihatan dicatat pada jarak berapa pasien bisa
menghitung jari. V:1/60. berarti pasien dapat mengitung jari pada jarak 1
meter (CF= counts Finger).

Apabila hitung jari tidak bisa, maka dilakukan pemeriksan dengan gerakan
tangan didepan pasien dengan latar belakang terang, missal jendela. Tajam
penglihatan dicatat sebagai V:1/300 atau HM(hand movement).Apabila pasien
tetap tidak dapat maka ruangan digelapkan dan kita sinari engan senter kearah
mata pasien. Apabila pasien bisa mengenali perbedaan saat disinari dan saat
tidak disinari, yajam penglihatannya adalah V:1/~ atau PL (Perception of
light). Sebaliknya bila sinar tidak bisa dikenali oleh pasien, maka V:no ,atau
PL= nol. Pada tajam penglihatan PL maka harus diperiksa proyeksinya, yaitu
dari arah mana sinar datang dapat dikenali(nasal, temporal, atas , bawah)

b. Pemeriksaan Refraksi
Dilakukan dengan cara memeriksa tajam penglihatan mata satu persatu.
Dengan satu mata ditutup pasien diminta untuk membaca huruf pada kartu
snellen,apabila pasien mampu membaca pada baris yang menunjukkan angka
20, maka dicatat tajam penglihatan tanpa kaca mata 6/20, selanjutnya
ditambah lensa S+0,50 D untuk menghilangkan akomodasi pasien. Bila akibat
penambahan lensa tadi penglihatan bertambah jelas, maka kemungkinan
pasien menderita hipermetropia. Kemudian koreksi dengan lensa sferis positif
diteruskan dengan ditambah perlahan-lahan sampai dicapai tajam penglihatan
terbaik.

Koreksi diteruskan dengan menambah lensa positif sampai pada satu saat
pasien mengatakan tajam penglihatannya berkurang. Pada pasien
hipermetropia tersebut kita berikan koreksi lensa positif terbesar/ terkuat yang
masi memberiksn tajam penglihatan 6/6. Bila ditambah lensa S+0,50D tadi
penglihatan menjadi bertambah kabur, maka kemungkinan pasien menderita
miopia. Pada mata tersebut kita berikan lensa sferis negatip yang makin
dikurangi secara perlahan-lahan sampai terlihat huruf pada baris 6/6.
Apabila setelah prosedur diatas tetap belum dicapai tajam penglihatan
maksimal, maka kemungkinan ada astigmatisma.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 7


c. Pemeriksaan Dengan Tehnik Fogging
Dapat dilakukan dengan atau tanpa silkoplegik.Akomodasi dapat dicegah
dengan membuat mata sedikit miopia, sehingga tajam penglihatan mencapai
6/9 atau 6/12 kearah miopia, dengan cara memberikan lensa S+0,25D. pasien
kemudian disuruh melihat juring astigmat pada kartu snellens. Pasien diminta
menyebutkan garis mana yang terlihat paling hitam. Garis yang terlihat paling
hitam ini sesuai dengan meridian yang paling besar miopinya,sehingga
koreksi dengan lensa silinder minus kita letakkan pada aksis tegak lurusnya.
Power lensa silinder minus dinaikkan perlahan-lahan sampai didapatkan
gambaran juring astigmat yang sama jelas/ hitam pada dua meridian yang
saling tegak lurus.

Apabila silinder yang diperlukan lebih dari C-0,75D,sebaiknya ditambahkan


lensa S+0,25D tiap kenaikan silinder 0,5D untuk mempertahankan efek
fogging. Setelah koreksi silinder ditentukan, lensa fogging dikurangi sampai
didapatkan minus terkecil atau plus terbesar yang memberikan tajam
penglihatan terbaik. Untuk mengetahui apakah aksis lensa silinder yang
diberikan sudah tepat atau belum bisa dilakukan test swinging, pasien disuruh
melihat huruf terkecil pada kartu snelen, sementara pemeriksa memutar aksis
lensa silinder 30 pada dua arah berlawanan, kemudian 15 dan akhirnya 5,
dan menanyakan apakah pada waktu diputar kedua arah yang berlawanan
sama kaburnya. Apabila pada saat lensa silinder diputar aksisnya kedua arah
yang berlawanan memberikan efek kabur yang sama, maka aksis silinder yang
kita berikan sudah tepat.

2. Pelayanan Kesehatan Mata Sekunder (SEC)


Ditingkat pelayanan kesehatan mata sekunder bisa dilakukan pemeriksaan refraksi
seperti pada tingkat pelayanan kesehatan mata primer, ditambah dengan
pemeriksaan lensometri.

3. Pelayanan Kesehatan Mata Tertier (TEC)


Ditingkat pelayanan kesehatan mata tertier, bisa dilakukan pemerikaan refraksi
seperti pada tingkat pelayanan kesehatan mata sekunder, ditambah dengan:
a. Streak retinoscopi
b. Teknik Jackson cross silinder

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 8


V. PROBLEMA LENSA KONTAK
Adalah problema yang dijumpai spesifik akibat pemakaian lensa kontak, karena infeksi
atau karena pemakaian lensa kontaknya sendiri.

Anamnesis
Gejala dan Tanda
1. Apa keluhan utamanya, jenis lensa kontak yang dipakai, sudah berapa lama umur
lensa kontaknya, berapa lama sehari lensa kontak dipakai, bila tidur apakah lensa
kontaknya dipakai, bagaimana perawatan sehari-harinya, apakah menggunakan
enzym.
2. Sakit, fotophobia, rasa seperti ada benda asing, tajam penglihatan menurun, mata
merah dan rasa gatal

Tergantung dari etiologi, maka diagnosisnya adalah :


Keratitis/ ulkus kornea (bakteri, jamur, achantamoeba)
1. Giant papillary conjungtivitis
2. Hipersensitivitas terhadap solution lensa: hiperemi conjungtiva, dan iritasi pada mata
yang timbul setelah lens cleaning dan insersi lensa
3. Deposit pada lensa kontak: multiple small deposit pada lensa kontak akan
menimbulkan iritasi kornea dan konjungtiva.
4. Tight lens syndrome
5. Aberasi cornea: sering pada PMMA hard contact lens
6. Neovascularisasi pada kornea
7. Perubahan epithel kornea
8. Inadequate/ incomplete blinking
9. Dislokasi lensa kontak

EVALUASI
Pelayanan kesehatan mata Primer (PEC)
Dengan menggunakan lampu senter dan lup dapat dikenali adanya kelainan pada mata,
seperti keratitis, konjungtivitis, ulkus kornea, dan kelainan lain yang termasuk dalam
problema lensa kontak

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Dengan menggunakan lampu senter, lup, slit lamp, strip fluoresin, dan lainnya dapat
dikenali adanya konjungtivitis, keratitis/ ulkus kornea, dan kelainan lain yang termasuk
dalam problema lensa kontak

Pelayanan kesehatan mata tertier (TEC)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 9


Dengan menggunakan lampu senter, lup, slit lamp, strip fluoresin, kalau perlu sediaan
apus dan biakan dari ulkus kornea , dari lensa kontaknya atau dari tempat lensa
kontaknya.

Pada TEC dilakukan:


1. Pada kondisi tidak ada infeksi, dimana lensa kontak masih ada di mata, dievaluasi
letak atau kedudukannya, adanya deposit, goresan dan lain-lain.
2. Pemeriksaan mata pada saat lensa kontak sudah dilepas, dilakukan pemeriksaan
conjungtiva tarsalis superior untuk melihat adanya papil; konjungtiva bulbi, kornea dan
pemeriksaan permukaan bola mata dengan menggunakan test fluoresin
3. Pemeriksaan lensa kontak dengan menggunakan lensa pembesar untuk melihat
adanya deposit dan goresan pada lensa kontak

4. Pemeriksaan sediaan langsung apus dan biakan, bila ada ulkus kornea
5. Kalau perlu diambil bahan biakan yang diambil dari lensa kontak atau tempat lensa
kontak.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Bila ada problema lensa kontak, mata merah, lensa kontak harus segera dilepas dan
diobati, diberikan obat tetes mata chloramfenicol
2. Cara melepaskan lensa kontak lunak oleh dokter:
a. Cuci tangan terlebih dahulu
b. Pasien diminta melihat keatas, letakkan jari tengah tangan kanan pada kelopak
bawah dan sentuh pinggir lensa kontak dengan jari telunjuk.Kemudian dengan
bantuan ibu jari,lensa kontak dicubit perlahan-lahan antara ibu jari dan telunjuk
sehingga lensa terlipat dan dengan mudah dapat dikeluarkan
3. Cara melepas lensa kontak RGP oleh dokter:
a. Cuci tangan terlebih dahulu
b. Ujung pipet penghisap dicelupkan kedalam air bersih layak minum, lalu kita
tempelkan ujung karet penghisap pada lensa RGP di mata. Kemudian pipet
penghisap beserta lensa RGP yang sudah menempel kita tarik pelan-pelan keluar
dari mata.

Perlu diingat bahwa cairan untuk perawatan lensa kontak lunak dan lensa RGP tidak
sama. Juga untuk membilas lensa RGP cukup dengan air bersih layak minum.
Ini tidak boleh dilakukan pada lensa kontak lunak, karena adanya mineral-mineral yang
terkandung di dalam air minum dan dapat diserap oleh lensa kontak lunak.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 10


Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)
Bila ada problem lensa kontak, mata merah:
1. Lensa kontak harus segera dilepas
2. Diobati, beri terapi seperti pada ulkus/ keratitis pada umum nya
3. Bila menemui kesulitan dapat dirujuk

Pelayanan kesehatan mata tertier (TEC)


1. Bila ada infeksi :
a. Lensa kontak segera dilepas
b. Diobati, beri terapi seperti pada ulkus/ keratitis pada umum nya

2. Bila ada spesifik problema lensa kontak


Giant papillary conjungtivitis:
a. Lensa kontak segera dilepas
b. Berikan topikal mast cell stabilizer, chromolyn chromoglycate tetes mata
c. Perbaiki hygiene, bila perlu ganti cleaning system
d. Bila keadaan sudah membaik ( 1-4 bln) ganti lensa kontak dengan design dan
bahan baru yang berbeda dengan sebelumnya.

3. Hypersensitivitas/ reaksi toxis:


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Pakai artificial tears tanpa bahan pengawet 4-6 x sehari
c. Ganti lensa kontak dengan design dan bahan baru yang berbeda dengan bahan
sebelumnya, bila keadaan sudah membaik.

4. Contact lens deposits:


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Ganti lensa konak lunak baru bila keadaan membaik. Disarankan memakai lensa
kontak yang sekali pakai. Pada lensa RGP deposit umumnya mudah dapat
dihilangkan. Selanjutnya perlu memakai enzym treatment juga.
c. Diberi pelatihan tentang perawatan lensa kontak, juga tentang perawatan dengan
enzym tiap satu minggu sekali.

5. Tight lens syndrome:


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Setelah gejala hilang, segera di fit ulang dengan lensa kontak yang lebih flat.
Kalau lensa RGP dapat dicoba dengan pengecilan diameter lebih dulu atau
tindakan lain yang akan membuat fitting lensa lebih loose (longgar)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 11


6. Aberasi cornea
a. Lensa kontak segera dilepas
b. Setelah keadaan baik dan stabil (refraksi dan keratometri telah membaik dan
menetap setelah 3x pemeriksaan). Kemudian dilakukan fitting ulang

7. Neovascularisasi pada cornea


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Berikan topikal steroid
c. Di fit ulang dengan lens kontak dengan Dk yang lebih tinggi dan pemakaian yang
daily- wear

8. Perubahan epithel cornea


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Bila epithel kornea sudah membaik berikan lensa kontak baru. Pada lensa RGP
dicoba dulu dengan lensa yang diperbaiki, misalnya dengan memperkecil
diameter lensa kontak
c. Gunakan cairan yang tidak mengandung bahan pengawet
d. Kedipan yang tidak sempurna
e. Berikan artificial ears yang tidak mengandung bahan pengawet
f. Penting untuk mengajarkan cara mengedip yang benar pada pemakai lensa kontak

9. Dislokasi lensa
Lensa kontak diperiksa, apakah ada kerusakan atau tidak, bila tidak ada, clean &
disinfect lensa, periksa kembali fitting nya. Periksa segment depan mata dengan
seksama.

Bila ada infeksi kornea, follow up pada hari berikutnya dan diteruskan sampai sembuh.
Bila pada kondisi non infeksi, follow up 1-4 minggu berikutnya tergantung kondisi
klinisnya. Penderita yang diberi steroid topikal harus di follow up lebih ketat.

Rekomendasi
Pada semua problema lensa kontak
1. Lensa kontak pada umumnya lebih aman kalau dilepas
2. Setelah pemeriksaan baru tindakan selanjutnya atau dirujuk

Penggunaan lensa kontak pada pelayanan kesehatan mata primer, perlu dapat
membedakan soft contact lens dan lensa RGP (rigid gas permeable) dan dapat
melepaskan/ mengeluarkan lensa kontak bila didapatkan problema lensa kontak pada
penderita yang datang. Cara melepaskan lens kontak pada kedua jenis lens kontak itu
berbeda.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 12


Pada pelayanan kesehatan mata sekunder dapat dilakukan usaha pertolongan dan
pengobatan bila menemui kesulitan dapat dirujuk ke pelayanan kesehatan tertier.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 13


KONJUNGTIVITIS

Adalah suatu inflamasi atau peradangan pada konjungtiva, yang dapat disebabkan oleh
infeksi virus, bakteri, iritasi atau reaksi alergi/ hipersensitivitas. Peradadngan dapat
terjadi acute dan chronis.acute bila peradangan terjadi dalam beberapa hari sampai
2minggu, umumnya disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Kronis bila peradangan
terus nerlangsung dan tidak tidak sembuh lebih dari 2 minggu. Umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri yang resisten terhadap pengobatan, reaksi alergi/hipersensitivitas,
atau iritasi kronis(dry eye). Konjungtivitis merupakan salah satu masalah penyakit mata
tersering yang ditemukan dinegara berkembang.

Gejala klinis
1. Mata merah
2. Rasa mengganjal, gatal, berair/ sekret
3. Umumnya tidak ada penurunan penglihatan

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Riwayat trauma/ kelilipan, kontak dengan penderita mata merah, riwayat iritasi dan
alergi/ hipersensitivitas (udara, debu, obat, makanan)
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik
menggunakan pinhole
3. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat, konjungtiva bulbi dan
tarsal, dan memastikan pada kornea tidak ditemukan kelainan akibat peradangan
konjungtiva
4. Konjungtivitis bakteri bila ditemukan konjungtiva hiperemis, sekret mukopurulen
atau purulen, dapat disertai membrane atau pseudomembran pada konjuntivitis
tarsalis
5. Konjungtivitis virus ditemukan konjungtiva hiperemis, sekret umumnya mukoserosa,
dan pembesaran kelenjar limfe preauriculer
6. Konjungtivitis allergi bila mempunyai riwayat alergi atau atopi dan ditemukan
keluhan gatal, dan hiperemis konjungtiva
7. Curigai steven jhonson syndrome jika terjadi konjungtivitis pada kedua mata yang
timbul setelah min atau mendapatkan terapi obat-obatan.
8. Curigai konjungtivitis gonoroe, tertama pada bayi baru lahir. Jika ditemukan
konjungtivitis pada dua mata dengan sekret purulen yang sangat banyak.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 14


Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)
1. Sama dengan fasilitas primer
2. Pemeriksaan komposisi air mata dengan melakukan pemeriksaan schirmer, BUT dan
ferning, uji anel melalui pungtum lakrimalis untuk menilai ada atau tidaknya
sumbatan
3. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan konjungtiva bulbi, tarsal,
forniks dan kornea
a. Melihat gambaran sekret (mucoserosa, mucopurulen, purulen)
b. Melihat gambaran folikel,papil, membrane pada konjungtivitis tarsal superior dan
inferior,dan konjugtivitis forniks
c. Melihat gambaran injeksi dan nodul pada konjungtivitis bulbi
d. Memastikan tidak ditemukan kelainan pada kornea
e. Melihat kelainan pada komposisi air mata, obstruksi kelenjar meibom
4. Pemeriksaan swab sekret dengan pewarnaan gram bila dicurigai infeksi bakteri,
giemsa bila dicurigai virus

Pelayanan kesehatan mata tertier(TEC)


1. Sama dengan fasilitas sekunder
2. Pemeriksaan kultur swab sekret konjungtiva

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Berikan tetes mata chloramfenikol (0,5%-1 %) 6x sehari atau salp mata 3x sehari
selama minimal 3 hari bila dicurigai infeksi bakteri
2. Berikan salp anti virus bila dicurigai infeksi virus
3. Berikan tetes mata anti alergi (steroid) bila dicurigai alergi/ hioersensitivitas
4. Berikan tetes mata buatan 6x sehari bila dicurigai iritasi
5. Pada steven jhonson syndrome diberikan tetes mata anti inflamasi (steroid)dan air
mata buatan/ lubrikan kemudian dirujuk ke dokter spesialis kulit.
6. Pada konjungtivitis gonoroe, pada bayi di injeksikan penicillin procain 50.000 IU/ kg
BB/hr dan kloramfenicol tetes mata (0,5%-1%) tiap jam.
7. Bila tidak ada perbaikan dalam imingu pada konjungtivitis bakteri, 2 minggu pada
konjungtivitis virus dan alergi segera rujuk ke fasilitas sekunder atau tersier

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Berikan tetes mata antibiotik spektrum luas 6 kali sehari, atau salp mata 3 kali sehari
bila dicurigai infeksi bakteri
2. Berikan salp mata anti virus aziklovir 5 kali sehari bila dicurigai infeksi virus
3. Berikan tetes mata anti alergi (kromolin glikat) dan/atau anti inflamasi bila dicurigai
reaksi alergi/ hipersensitivitas.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 15


4. Berikan tetes/gel lubrikan atau air mata buatan bila ditemukan iritasi

5. Dicari faktor predisposisi penyakit yaitu sistemik (diametes melitus, TBC,kondisi


imunitas yang rendah, cacingan, kondisi immunocompromised)
6. Keadaan konjungtiva diperiksa 3 hari hingga didapatkan perbaikan klinis, bila tidak
ada perbaikan, memburuk atau terjadi komplikasi dalam 1 bulan, dirujuk ke dokter
mata konsultan infeksi dan imunoogi atau fasilitas mata tersier.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Beri tetes mata antibiotika sesuai dengan hasil gram kultur, 6 kali sehari atau salp
mata 3 kali seharibila infeksi bakteri
2. Beri tetes anti virus idosukridin atau aziklovir bila infeksi virus
3. Beri tetes mata anti histamine atau kortikosteroid bila ditemukan reaksi alergi atau
hipersensitivitas
4. Bila ditemukan komplikasi pada kornea, penata laksanaan sesuai dengan
penatalaksanaan keratitis/ulkus kornea
5. Pada steven Johnson syndrome, beri terapi anti inflamasi (steroid) topikal dan
lubrikan/air mata buatan, disertai terapi dari bagian spesialis kulit.
6. Pada konjungtivitis gonoroe, beri gentamicyn/ciprofloxacin salp mata, inj.ceftriaxon
1gr single dose iv, jika ada ulkus beri ceftriaxon 1gr iv tiap 12 jam selama 3 hari. Bila
alergi beri ciprofloxacin 500mg oral 2 kali sehari selama 5 hari. Pada bayi beri
gentamicyn/ciprofloxacin salp mata, injj.ceftiaxone 25-50 mg/kg.BB atau cefotaxim
100mg/kg.BB iv atau im
7. Beri tataes/gel mata lubrikan dan air mata buatan bila ditemukan iritasi
8. Pemeriksaan faktor predisposisi lokal (dry eye, obstruksi duktus nasolakrimalis, dll)
dilanjutkan penatalaksanaan terhadap kelainan tersebut. Pemerksaan laboratorium
darah urin, feses bila dicurigai faktor predisposisi sistemik
9. Beri terapi oral atau parenteral sistemik bila ditemukan faktor predisposisi sistemik
sesuai hasil konsultasi bagian yang bersangkutan
10. Keadaan konjungtiva dperiksa setiap 3 hari hingga didapati perbaikan klinis dan
evaluasi pengobatan terhadap faktor predisposisi sistemik dan lokal.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 16


KERATITIS DAN ULKUS KORNEA

Adalah peradangan kornea yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu
proses alergi imunologi. Infeksi kornea pada umumnya didahului oleh trauma,
penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak
terkontrol.merupakan penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia.

Gejala Klinis
1. Penurunan tajam penglihatan
2. Mata merah, berair, silau, nyeri
3. Tampak lesi/kekeruhan di kornea

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata Primer(PEC)
1. Riwayat trauma (kelilipan benda asing dikornea, khusus riwayat trauma tumbuh-
tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan yang dapat dicurigai disebabkan oleh jamur , penggunaan lensa kontak)
penggunaan kortikosteroid topikal

2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik


menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea

Pelayanan kesehatan mata secunder (SEC)


1. Riwayat trauma (kelilipan benda asing dikornea, khusus riwayat trauma tumbuh-
tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan yang dapat dicurigai disebabkan oleh jamur , penggunaan lensa kontak)
penggunaan kortikosteroid topikal
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik
menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan TIO dengan palpasi.
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen anterior
lainnya:
a. Melihat gambaran sekret (serosa, muco purulen, purulen)
b. Bentuk ulkus (pungtata, filament, dendritik, geografik, oval, interstitial, dll)
c. Kedalaman ulkus (superficial, dalam, apakah ada kecenderungan untuk perforasi
(impending perforation) dan perforasi
d. Hipopion dapat ada atau tidak ada

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 17


5. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan gram dan pemeriksaan langsung
dengan KOH 10%

Pelayanan kesehatan mata tersier(TEC)


1. Riwayat trauma (kelilipan benda asing dikornea, khusus riwayat trauma tumbuh-
tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan yang dapat dicurigai disebabkan oleh jamur , penggunaan lensa kontak)
penggunaan kortikosteroid topikal
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik
menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan TIO dengan palpasi.
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen anterior
lainnya:
a. Melihat gambaran sekret (serosa, muco purulen, purulen)
b. Bentuk ulkus (pungtata, filament, dendritik, geografik, oval, interstitial, dll)
c. Kedalaman ulkus (superficial, dalam, apakah ada kecenderungan untuk perforasi
(impending perforation) dan perforasi
d. Hipopion dapat ada atau tidak ada
5. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan gram dan pemeriksaan langsung
dengan KOH 10%
6. Lakukan foto keadaan kornea dan segmen anterior lainnya
7. Pemeriksaan kultur kerokan kornea dengan agar darah domba, tioglikolat, dan agar
sabauraud dekstrosa
8. Bila segmen posterior sulit dinilai, lakukan pemeriksaan USG. Bila didapatkan
adanya kekeruhan vitreus dan tanda-tanda endopthalmitis lakukan prosedur
endophtalmitis

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Beri tetes/ salp mata kloramenikol (0,5-1%) 6 kali sehari atau salp mata tetrasiklin 3
kali sehari sekurang-kurang nya selama 3 hari

2. Jangan beri kombinasi antibiotik dengan obat yang mengandung kortikosteroid


3. Jangan menggunakan obat-obatan tradisional
4. Segera rujuk ke spesialis mata bila :
a. Tajam penglihatan awal buruk atau menurun setelah 3 hari pengobatan
b. Tampak lesi putih di kornea
c. Tetap beri kloramfenikol tetes mata saat merujuk ke spesialis mata di fasilitas
sekunder dan tersier

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 18


Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)
a. Pasien sebaiknya dirawat apabila:
a. Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi
b. Pasien dianggap kurang patuh untuk pemnerian obat tiap jam
c. Diperlukan follow up untuk menilai keberhasilan terapi
b. Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea dendritik, geografik atau stroma, dapat
diberikan salp mata aziklovir 5 kali sehari atau tetes mata idosukridin tiap jam
c. Bila pada pemeriksaan kerokan kornea didapati hasil gram positip atau negatip
berikan antibiotika tetes mata golongan aminoglikosid (gentamicyn,
dibekasin,tobramicyn) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified) tiap jam atau
golongan quinolone (ciproflokxacyn, ofloxacyn,levofloxacyn) tiap 5 menit pada 1
jam pertama dan dilakukan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga
didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi pemberian dapat
dikurangi hingga 2 minggu.
d. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur(KOH +) beri tetes mata natasimin 5% tiap
jam dan salp mata natamisin 5% tiga kali sehari. Keadaan kornea diperiksa tiap hari
hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi
pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
e. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata silkoplegik dan anti
glaukoma apabila didapati peningkatan TIO. Pemberian analgesic apabila diperlukan
f. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam PP sebagai salah satu faktor resiko
ulkus kornea
g. Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan imunologi mata atau klinik mata tersier
apabila didapatkan:
a. Ulkus kornea yang terjadi pada pasien yang hanya mempunyai satu mata
b. Ulkus kornea pada anak-anak
c. Adanya kecenderungan untuk perforasi
d. Kecurigaan ulkus kornea jamur, tapi tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan
langsung KOH 10% atau pewarnaan jamur lainnya
e. Tidak didapatkan kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan (ulkus kornea
bakteri) atau 7 hari pengobatan (ulkus kornea Jamur)

Pelayanan kesehatan mata tersier(TEC)


1. Pasien sebaiknya dirawat apabila:
a. Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi
b. Pasien dianggap kurang patuh untuk pemberian obat tiap jam
c. Diperlukan follow up untuk menilai keberhasilan terapi
2. Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea dendritik, geografik atau stroma, dapat
diberikan salp mata aziklovir 5 kali sehari atau tetes mata idosukridin tiap jam

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 19


3. Bila pada pemeriksaan kerokan kornea didapati hasil gram positip atau negatip
berikan antibiotika tetes mata golongan aminoglikosid (gentamicyn,
dibekasin,tobramicyn) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified) tiap jam atau
golongan quinolone (ciproflokxacyn, ofloxacyn,levofloxacyn) tiap 5 menit pada 1
jam pertama dan dilakukan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga
didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi pemberian dapat
dikurangi hingga 2 minggu.
4. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur(KOH +) beri tetes mata natasimin 5% tiap
jam dan salp mata natamisin 5% tiga kali sehari. Keadaan kornea diperiksa tiap hari
hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi
pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
5. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata silkoplegik dan anti
glaukoma apabila didapati peningkatan TIO. Pemberian analgesic apabila diperlukan.
6. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam PP sebagai salah satu faktor resiko
ulkus kornea
7. Tindakan bedah:
a. Keratektomi superficial tanpa membuat perlukaan pada membrane bowman,
dengan indikasi:
b. Keratitis virus epithelial
c. Erosi kornea rekuren
8. Keratektomi superficial hingga membrane bowman atau stroma anterior dengan
indikasi:
a. Untuk menegakkan diagnosis, terutama pada ulkus kornea jamur
b. Menghilangkan materi infeksi, terutama jamur
9. Tarsorafi lateral atau medial, dengan indikasi :
a. Keratitis terpapar
b. Keratitis neuroparalitik
10. Tissue adhesive atau graft amnion multilayer, dengan indikasi
a. Ulkus kornea dengan tissue loss berukuran kecil
b. Perforasi kornea perifer berukuran kecil
11. Flap konjungtiva, dengan indikasi:
a. Kecenderungan perforasi/ descematocele
b. Perforasi kornea di perifer
12. Patch graft dengan flap konjungtiva, dengan indikasi:
a. Kecenderungan perforasi/ descematocele
b. Perforasi kornea di perifer
13. Keratoplasi tembus, dengan indikasi:
a. Mempertahankan integritas bola mata
b. Mengganti jaringan kornea yang terinfeksi dengan donor kornea
14. Fascia lata graft, dengan indikasi:

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 20


Mempertahankan integritas bola mata , dimana sulit untuk mendapatkan donor
kornea.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 21


UVEITIS

Adalah peradangan pada jaringan uvea (iris, badan ciliar dan koroid) akibat infeksi,
trauma, neoplasia atau proses auto imun. Penyakit ini dapat dikelompokkan menurut
letak anatomi(uveitis anterior, inter media, posterior, atau panuveitis), menurut gambaran
patologik (granulomatosa atau non granulomatosa atau secara klinis (idiopatik atau
berhubungan dengan penyakit sistemik). Penanganan uveitis memerlukan anamnesis
yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan opthalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan
penunjang dan penanganan yang tepat. Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan.

Gejala klinis
1. Mata merah disertai rasa sakit
2. Foto fobia dan penurunan tajam penglihatan yang bevariasi dari ringan hingga berat

Evaluasi:
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Riwayat mata merah dengan penurunan tajam penglihatan yang berulang, silau, dapat
disertai rasa sakit pada uveitis anterior, sedangkan pada uveitis posterior umumnya
terjadi penurunan tajam penglihatan pada mata tenang
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellens, dan menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan dengan sentolop dan lup untuk memeriksa pelebaran pmbuluh darah
konjungtiva dan sirkum kornea serta melihat ukuran pupil yang mengecil, atau
irregular, dan memeriksa refleks fundus
4. Pemeriksaan TIO dengan cara palpasi

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Menanyakan riwayat penyakit infeksi sistemik yang mungkin berhubungan seperti
infeksi TB, sifilis, toksoplasmosis, penyakit lyme, brucellosis, lepra, maupun
penyakit sistemik non infeksi seperti sarkoidosis, remathoid arthtritis, limfoma, serta
riwayat trauma dan operasi mata sebelumnya.
2. Pemeriksaan TIO menggunakan tonometer schiotz.
3. Pemeriksaan dengan lampu celah untuk menilai peradangan pada bilik mata depan
(sel, flare, dan hipopion), keratic presipitat(ukuran kecil, sedang atau mungkin timbul
(katarak,glaukoma, band keratopathy), menilai peradangan pada badan kaca (sel,
flare, snowball, dan snowbanks)
4. Pemeriksaan oftalmoskop direk atau indirek untuk mencari edema macula sistoid,
koroiditis, retinitis, vaskulitis, ataun optik neuritis

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 22


5. Pemeriksaan sistemis padam kulit, sendi, dll
6. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari kelainan sistemik yang mngkin
menyertai uveitis dan dipilih dengan cermat sesuai dengan gejala dan tanda penyakit
sistemik pada masing-masing penderita

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti fasilitas sekunder
2. Pemeriksaan lampu celah untuk mengevaluasi kembali tingkat peradangan pada bilik
mata depan, badan kaca, papil optik, macula, koroid, dan retina perifer.
3. Pemeriksaan FFA (floresein fundus angiografi) bila media cukup jernih
4. Tap dan kultur bahan dari bilik mata depan dan badan kaca bila dicurigai kasus
disebabkan infeksi bakteri, jamur, tap vitreus untuk kasus yang dicurigai
infeksi(virus, parasit, toxoplasma)
5. Pada kelainan spesifik seperti nuveitis rekuren, bilateral, uveitis berat, uveitis
posterior, usia penderita muda dan dicurigai adanya kelainan sistemik yang
mendasari, perlu dilakukan pemeriksaan darah, radiologist dan skin test untuk
mencari penyebab uveitis. Pemeriksaan penunjang dipilih dengan cermat dan
diarahkan sesuai dengan keluhan dan gejala klinis yang dijumpai pada masing-masing
penderita.
a. pemeriksaan laboratorium darah:
1) Darah lengkap, ESR
2) VDRL, TPHA
3) Penanda auto imun (ANA, RF, anti-doblestanded DNA)
4) Kalsium, kadar serum ACE (sakoidosis)
5) Toxoplasma serologi dan TORCH
b. pemeriksaan radiologist:
1) Thoraks (TB, sarkoidosis, histoplasmosis)
2) Tulang belakang dan sendi sarkoiliaka (ankilosing spondilitis)
3) Sendi lain (remathoid arthritis, juvenile remathoid arthtritis)
c. Skin test : uji mantoux
d. Pemeriksaan menggunakan lensa 3 mirror untuk melihat dan menilai sudut bilik
mata, polus posterior dan retina perifer

Penatalaksanaan :
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pada uveitis anterior diberikan kortikosteroid 23laucom 6 kali sehari dan untuk
mencegah sinekia posterior dan mengurangi spasme siliar dapat diberikan sikloplegia
(sulfas atropine 0,5-1%) 3 kali sehari. Bila penyakit berulang rujuk ke fasilitas
sekunder

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 23


2. Pada panuveitis dan uveitis intermediate berikan midriatikum dan rujuk ke fasilitas
sekunder

Pelayanan kesehatan mata sekunder


1. Pemberian kortikosteroid secara 24laucom, periokular, sistemik (oral atau iv)
2. Pemberian sikloplegia
3. Pemberian obat-obatan untuk menurunkan TIO.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemberian kortikosteroid secara 24laucom, periokular, sistemik (oral, subtenon atau
iv) dan sikloplegia
2. Pemberian anti inflamasi non steroid
3. Pemberian obat jenis sitotoksik seperti alkylating agents (siklofosfamid, klorambusil),
anti metaboit (azatrioprin, metoterxat) dan sel T supresor (siklosporin)
4. Terapi operatif untuk evaluasi diagnostic (parasentesis, vitreus tap dan 24lauco
korioretinal untuk menyingkirkan neoplasma atau proses infeksi ) bila diperlukan.
5. Terapi untuk memperbaiki dan mengatasi komplikasi seperti katarak, mengontrol
24laucoma dan vitrektomi

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 24


GLAUKOMA AKUT

Adalah glaukoma yang disebabkan oleh peninggian tekanan intra ocular yang mendadak.
Glaukoma akut dapat primer atau sekunder. Glaukoma primer adalah glaukoma yang
timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaukoma,
sedangkan glaukoma sekunder adalah glaukoma yang timbul sebagai penyulit penyakit
mata lain ataupun sistemik.
Bila tekanan intra ocular yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera akan
mengakibatkan kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang permanent.

Gejala dan tanda klinis


1. Sakit hebat dimata yang bersifat mendadak dan dapat menjalar ke kepala. Dapat
disertai rasa mual dan kadang-kadang muntah
2. Mata merah
3. Penglihatan menurun tajam

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup.
1. Tajam penglihatan kurang
2. Mata merah, bengkak, mata berair
3. Kornea suram karena edema
4. Bilik mata depan dangkal dan pupil lebar dapat pula terlihat penyakit mata lain
seperti uveitis, hifema, akibat trauma, luksasi lensa, katarak hipermatur, tumor dan
lain sebagainya. Glaukoma akut sering disalah diagnosa kan dengan radang
5. Bola mata teraba dengan palpasi (tonometri digital) lebih keras dibandingkan mata
normal/sebelahnya dan tekanan intra ocular sangat meningkat dengan tonometer
schiotz

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Glaukoma akut sudut tertutup primer (GPSTA)
adalah glaukoma yang ditandai oleh penutupan anyaman trabekulum oleh pangkal iris
atau sinekia anterior perifer sehingga menyebabkan obstruksi total aliran keluar
cairan aquos secara tiba-tiba. Pada jenis ini TIO meningkat secara cepat sebagai
akibat dari penutupan trabekulum yang mendadak oleh iris perifer.
a. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan koreksi
terbaik serta pin hole : visus menurun

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 25


b. Pemeriksaan biomikroskopi untuk melihat segmen anterior: inj.cilliaris, edem
epithel kornea, bilik mata depan dangkal, kadang ditemukan sel dan flare di cairan
aquos, pupil melebar dengan refleks menurun dan katarak vogt
c. Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick, dan
sebaiknya dengan goniskopi
d. TIO diukur dengan tonometer schiotz : TIO yang tinggi sekitar 45-75 mmHg
e. Setelah terapi awal dilakukan :
1) Bola mata teraba dengan palpasi (tonometri digital) lebih keras
2) Pemeriksaan funduskopi:papil N.II tapak swollen dan hiperemis selama
serangan akut
3) Pemeriksaan lap.pandang sederhana/perimetri goldmann: lap.pandang dapat
menyempit

2. Glaukoma akut sekunder


adalah glaukoma yang diakibatkan atau dihubungkan dengan penyakit-penyakit lain
pada mata, baik yang masih ada maupun yang pernah diderita sebelumnya. Glaukoma
jenis ini meliputi semua kasus dengan peninggian TIO walaupun belum terbukti
kerusakan papil N.II dan lap.pandang. contoh glaukoma akut sekunder adalah
glaukoma yang disebabkan oleh neovaskular, uveitis, hifema, katarak intumesen,
katarak hipermatur, subluksasi/luksasi lensa, dll. Alat pemeriksaan mirip dengan
pemeriksaan pada glaukoma primer sudut tertutup akut, tetapi dicari actor
penyebabnya.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


Klasifikasi glaukoma akut mirip dengan klasifikasi di fasilitas sekunder.
1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen atau chart projector dengan
koreksi terbaik serta menggunakan pin-hole
2. Pemeriksaan biomikroskopi dengan slit lamp untuk menilai segmen anterior.
3. TIO diperiksa menggunakan tonometer aplanasi goldmann, tonometer schiotz, non
contact tonometer atau tonopen
4. Sudut bilik mata depan diperiksa dengan gonioskop direk atau indirek
5. Setelah terapi awal, dilakukan pemeriksaan:
a. Papil N.II diperiksa dengan funduskopi direk atau indirek, akan lebih baik jika
mempunyai fasilitas seperti stereofunduskopi, OCT (optikal coherent
tomography) dan HRT ( Heidelberg Retinal Tomography)
b. Lap.pandang diperiksa dengan perimeter kinetic (goldmann) dan/atau perimeter
static (humprey, octopus dll)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 26


Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pertolongan pertama adalah menurunkan TIO secepatnya dengan memberikan srentak
obat-obatan yang terdiri dari :
a. Asetasolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4x250 mg/hari
b. KCl 0,5 gr 3x sehari
c. Timolol 0,5% 2x1 tetes/hari
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotika 4-6 x 1 tetes/hari
e. Terapi simtomatik
2. Rujuk segera ke dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder /tersier setelah
diberikan pertolongan pertama tersebut

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Glaukoma akut sudut tertutup primer
Penatalaksanaan nya dapat dibagi atas 4 tujuan, yakni:
a. segera menghentikan serangan akut dengan obat-obatan (medikamentosa inisial).
1) Terapi medikamentosa segera
2) Penderita segera diberikan kombinasi obat-obatan:
a) Pilokarpin 2% 1tetes tiap -1 jam pada mata yang mengalami serangan
dan 3x1 tetes pada mata sebelahnya.
b) Timolol 0,5% 2x1tetes/hari
c) Kombinasi kortikosteroid dan antibiotik 6x1 tetes/hari
d) Asetazolamide 500mg, diikuti 4x250mg, KCl 3x0,5gr/hari
e) Obat hiperosmotik dapat diberikan bila penderita dirawat, berupa glycerin
50% 3x100-150 cc(sesuai dengan berat badan) oral/hari.
f) Obat-obat simtomatik
3) Melakukan iridektomi perifer pada mata yang mengalami serangan sebagai
terapi definitive (tindakan bedah inisial)
a. setelah 24 jam pemberian medikamentosa
b. iridektomi perifer pada mata besangkutan
4) Melindungi mata sebelahnya dari kemungkinan terkena serangan akut.
Terapi pilokarpin 1-2% 3x1tetes/hari sampai iridektomi pencegahan dilakukan
5) Menangani sekuele jangka panjang akibat serangan serta jenis tindakan yang
dilakukan. Dapat diberikan terapi medikamentosa dan bila TIO tetap belum
normal maka dilakukan trabekulotomi

2. Glaukoma akut sekunder


Pengobatan glaukoma akut sekunder adalah segera menurunkan TIO dan mengobati
penyakit penyebabnya atau mekanismenya baik dengan terapi medikamentosa atau
terapi bedah

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 27


Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)
1 Glaukoma akut sudut tertutup primer
Penanganannya mirip dengan penanganan di fasilitas sekunder.
1. Medikamentosa inisial
2. Tindakan bedah inisial:
a) Tindakan iridektomi perifer dapat dilakukan dengan bedah insisional atau
laser argon-yag atau diode. Tindakan tersebut dapat didahului dengan
gonioplasti/iridoplasti
b) Terapi bedah trabekulotomi, bila iridektoi perifer tidak efektif.

2. Glaukoma akut sekunder


Penanganannya mirip dengan penanganan pada fasilitas sekunder

GLAUKOMA KRONIS
Adalah kelompok penyakit mata yang umumnya ditandai kerusakan syaraf N.II dan
kehilangan lap.pandang yang karakteristik-progresif serta berhubungan dengan berbagai
faktor resiko terutama TIO yang tinggi. Glaukoma bila tidak diobati secara tepat dapat
menimbulkan kerusakan yang permanent. Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi
glaukoma kronis primer dan sekunder. Kasus glaukoma sekunder dapat diketahui secara
kebetulan bila melakukan pengukuran TIO, terutama pada mereka yang tergolong kasus
dicurigai berisiko glaukoma, seperti mereka yang berusia 40 thn atau lebih, ada keluarga
menderita glaukoma, penderita miopia, penyakit kardiovaskuler, hipertensi, hipotensi,
vasospasme, diabetes melitus, dan migren. Upaya pencegahan kebutaan akibat glaukoma
memerlikan penyuluhan dan penjaringan glaukoma secara aktif di masyarakat, baik untuk
penemuan kasus maupun deteksi dini.

Gejala dan tanda klinis


1. Dapat tanpa gejala sampai terjadi kerusakan, sehingga dikatakan sebagai pencuri
penglihatan
2. Mata terasa pegal, kadang-kadang pusing
3. Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah
4. Mungkin ada riwayat penyakit mata, trauma atau pemakaian obat kortikosteroid
5. Pada yang lanjut dapat ditemukan: jalan menabrak-nabrak

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan tajam penlihatan dengan kartu snelen dengan koreksi terbaik dan pin-
hole: biasanya tajam pnglihatan masih baik. Pada stadium lanjut dapat dikoreksi
tajam penglihatan tidak penuh dengan pupil melebar dan berwarna hitam.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 28


2. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup: gambaran bola mata tidak berbeda dengan
gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan refleks cahaya yang lambat.
3. Pemeriksaan fundus kopi-rasio CD (perbandingan antara lebar cekungan papil
terhadap lebar papil N.II ) sebesar 0,6 atau lebih.
4. Pemeriksaan TIO dengan tonometer schiotz: TIO 28mmHg (4,5/7,5) atau lebih.
5. Pemeriksaan lap.pandang dengan test konfrontasi: menyempit.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Klasifikasi glaukoma berdasarkan pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioskopi)
dibagi ke dalam glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. Berdasarkan
etiologinya dibagi kedalam glaukoma primer dan glaukoma sekunder. Glaukoma
primer adalah glaukoma yang timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai
bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma sekunder adalah glaukoma yang
timbul sebagai penyulit penyakit mata lain baik yang sedang maupun yang pernah
diderita serta penyakit sistemik.
2. Pada fasilitas sekunder dan tersier, glaukoma kronis dibagi menjadi:
a. glaukoma sudut terbuka primer adalah glaukoma primer yang ditandai sudut
bilik mata depan yang terbuka, atropi dan ekskavasi pada papil N.II serta
lap.pandang karakteristik, yang besifat progresif lambat, disebabkan oleh berbagai
faktor resiko, terutama TIO yang terlalu tinggi untuk kelangsungan kesehatan
mata.
b. glaukoma sudut terbuka sekundergambaran kliis yang miripdengan glaukoma
sudut terbuka primer antara lain adalah glaukoma pigmenter, glaukoma
kortikosteroid, glaukoma pseudoeksfoliasi, glaukoma angle recess setelah trauma
tumpul, dll
c. glaukoma kronis sudut tertutup primer
1) Glaukoma jenis ini adalah glaukoma primer yang ditandai dengan tertutupnya
trabekulum oleh iris perifer secara perlahan. Bentuk primer berkembang pada
mereka yang memiliki faktor predisposisi anatomi berupa sudut bilik mata
depan trgolong sempit.
2) Selain sudut bilik mata depan yang tertutup, gambaran klinisnya asimptomatis
mirip glaukoma sudut terbuka primer. Glaukoma tersebut dapat pula
berkembang dari bentuk intermiten, sub akut atau merambat (creeping).
Glaukoma jenis ini juga merupakan kelanjutan glaukoma akut sudut tertutup
primer yang tidak mendapat pengobatan atau setelah mendapat pengobatan
yang tidak sempurna atau setelah terapi iridektomi perifer/trabekuloktomi
(glaukoma residual)
3. Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu snellens dengan koreksi dan pin-
hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium
lanjut.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 29


4. Pemeriksaan dengan biomikroskopi: gambaran bola mata tidak berbeda dengan
gambaran normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan refleks cahaya yang lambat. Bilik
mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaukoma
sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata depan sempit
pada glaukoma sudut tertutup primer. Kelainan glaukoma jenis ini bersifat bilateral
walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaukoma sudut terbuka
sekunder harus dicari faktor penyebab.
5. Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan sebaiknya
menggunakan gonioskopi.
6. Pemeriksaan funduskopi: terlihat atropi papil glaukomatosa
7. Pemeriksaan TIO dengan tonometer schiot z; TIO umumnya lebih dari 21 mmHg
8. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimetri goldmann:
cacat lap. Pandang glaukomatosa

Masalah diagnosis glaukoma sudut terbuka primer stadium dini adalah akibat terdapatnya
sekitar 2,5% diantara populasi memiliki TIO lebih dari 21 mmHG (hipertensi okuli).
Masalah lain adalah banyaknya variasi normal papil N.II yang sering sukar dibedakan
dengan kerusakan dengan kerusakan dini akibat glaukoma (glaukoma suspect). Selain itu
sukarnya menjumpai cacat awal lap. Pandang. Keadaan papil N.II yang mencurigakan
adalah rasio C/D lebih 0,4; asimetri papil C/D vertical C/D horizontal lebih dari 0,2 dan
batas ekskavasi yang tak teratur. Keadaan inipun harus didiagnosis banding dengan
glaukoma tekanan rendah (glaukoma normotensi/ low tension glaukoma, normotension
glaukoma). Pemeriksaan lapangan pandang pada kasus-kasus tersebut dilakukan dengan
perimetri goldmann.

Pelayanan kesehatan mata tersir (TEC)


1. Klasifikasi glaukoma mirip dengan klasifikasi pada fasilitas sekunder.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu snellen atau chart projector
dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masi baik walaupun
penyakit sudah stadium lanjut.
3. Pemeriksaan dengan biomikroskopi: gambaran bola mata tidak berbeda dengan
gambran mata normal.pupil dapat terlihat midriasis dan reflek cahaya yang lambat.
Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada
glaukoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata depan
sempit pada glaukoma sudut tertutup primer. Kelainan glaukoma jenis ini bersifat
bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaukoma sudut
terbuka sekunder harus dicari faktor penyebab.
4. Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi.
5. Pemeriksaan funduskopi: gambar dan uraikan papil syaraf optik, aplanasi, tono-pen,
dan bila ada dengan tonometer non kontak

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 30


6. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter kinetic dan static baik manual
maupun komputer: bila memungkinkan dengan octopus atau Humphrey.
7. Bila memungkinkan evaluasi papil syaraf optik adan serabut syaraf retina dengan alat
diagnostic imaging seperti HRT (Heidelberg retinal tomography)

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. TIO diturunkan dengan obat-obatan secara bertahap berupa:
a. Timolol 0,25% - 0,5% 2x1tetes/hari (bila tidak ada kontra indikasi)
b. Pilokarpin 2% 4x1tetes/hari
c. Asetazolamide 3-4 x 125-250 mg/hari
d. KCl 2-3 x 0,25-0,5 gr/hari
2. Obat-obatan prinsipnya diberikan secara sendiri-sendiri, tetapi dapat dikombinasikan
tergantung dari sasaran TIO diharapkan lebih rendah dari 21mmHg.
3. Oleh karena obat-obatan diberikan untuk jangka lama danterus-menerus, sangat
penting diperhatikan kepatuhan penderita dalam melaksanakan pengobatannya.
Penderita dirujuk ke spesialis mata, pelayanan tingkat sekunder atau tersier bila TIO
tetap diatas 21 mmHg, penderita tidak patuh, tidak tahan terhadap obat-obatan, dalam
stadium lanjut glaukoma dan/atau untuk menilai progresifitas peyakitnya.
4. Upaya pencegahan kebutaan akibat glaukoma memerlukan penyuluhan dan
penjaringan glaukoma secara aktif di masyarakat, baik untuk penemuan kasus
maupun deteksi dini.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Glaukoma sudut terbuka primer
tujuan pengobatan pada penderita yang terbukti menderita glaukoma sudut terbuka
primer adalah mencegah berlanjutnya kerusakan papil saraf optik. Sampai saat ini
belum ada criteria yang memuaskan untuk menetapkan tingkat TIO yang dapat
diterapkan aman untuk mempertahankan keadaan lap. Pandang bagi semua penderita.
Ada yang menurunkan 30% lebih rendah dari TIO awal. Ada pula yang menetapkan
target pressure dengan perhitungan khusus yang bersifat individual/mata.
a. Medikamentosa
1) Pemilihan obat untuk pengobatan awal didasarkan pada penilaian mata
penderita dan status kesehatan umum. Bila cacat lap. Pandang belum lanjut
atau TIO tidak terlalu tinggi maka terapi dapat dicoba pada satu mata terlebih
dahulu untuk menilai manfaat an efek samping.
2) Terapi medikamentosa bersifat monoterapi dimulai dengan timolol maleat (C.
timol) 0,25%-0,5%, 1-2 x sehari. Bila tidak ada kontraindikasi atau obat-obat
baru yang lain (seperti glaupen, glauplus, xalatan, travatan, dorzol, azopt).
Bila dengan obat pertama keadaan TIO yang diharapkan belumtercapai tetapi

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 31


obat tersebut dianggap berespon baik (mencapai nilai efektif farmakologis)
dapat ditambahkan obat tetes lainnya, tetapi bila dianggap tidak efektif maka
obat pertama diganti dengan obat lain, lalu penilaian diukang lagi. Bila
dengan monoterapi atau kombinasi ternyata belum mencapai sasaran berupa
penurunan TIO yang tidak memuaskan atau tetap erlanjutnya kerusakan atau
sejak awal tekanan lebih dari 30 mmHg maka dapat diberikan terapi sistemik
dengan penghambat karbonik anhidrase. Obat ini biasanya dimulai 125 mg, 3-
4 x sehari. Bila efektivitas yang diharapkan belum tercapai, maka dosis
ditingkatkan menjadi 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg setiap 12 jam. Pada
setiap pemberian obat asetazolamide harus disertakan pemberian obat preparat
kalium (KCl 0,5 gr) 2-3 x, 0,25-0,5 gr per hari
b. Tindakan bedah
Bila dengan tindakan medikamentosa diatas belum memuaskan sebaiknya
penderita dipertimbangkan untuk dilakukan terapi bedah (trabekulektomi atau non
penetrating filtering surgery) atau dikonfirmasikan untuk kemungkinan tindakan
lain ke pelayanan tingkat tersier.

Instruksi bagi penderita


1. Dalam pengobatan glaukoma penting sekali untuk memberikan instruksi pada
penderita mengenai waktu dan pemakaian obat, termasuk cara menekan daerah
kantus internus untuk mencegah absorbsi sistemik obat tetes. Dokter harus
merencanakan dan membicarakan saat dan jenis pengobatan dan meyakini bahwa
nama obat dan pemberiannya ada tertulis di label botol obat tetes.

2. Tambahan pula pasien harus diberitahu dengan kata-kata yang sederhana


mengenai mekanisme terjadinya glaukoma, alasan dan tujuan pengobatan, cara
berbagai obat bekerja dan efek samping yang mungkin terjadi. Hal ini perlu dalam
upaya menjaga kepatuhan penderita dalam obat.
3. Pasien harus diyakinkan perlunya pemeriksaan kontrol berkala seumur hidup
mengenai TIO, penilaian papil N.II dan lap. Pandang, serta penggunaan obat tetes
yang benar/patuh seperti yang diinstruksikan kepadanya.
4. Pendeita sebaiknya mengetahui nama dan konsentrasi obat yang sedang
digunakan. Kartu pengenal tanda penderita glaukoma yang harus dibawa
penderita mungkin ada manfaatnya. Penting pula pasien dan dokter lain yang
merawatnya mengetahui efek samping, alergi, dan kemungkinan keracunan obat
glaukoma.
5. Bila dengan penatalaksanaan diatas masih juga menunjukkan kemunduran maka
dirujuk ketingkat tersier untuk dipelajari lebih lanjut.
6. Keluarga langsung perlu diikutsertakan dalam penatalaksanaan penderita.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 32


2.Glaukoma sudut terbuka sekunder
Cari faktor penyebab seperti yang tertulis diatas, kemudian tentukan:
1. Medikamentosa
2. Tindakan bedah:
a. Iridektomi perifer
b. Trabekulektomi
c. Bedah katarak/ekstraksi lensa

3. Glaukoma kronis sudut tertutup primer


1. Tindakan bedah iridektomi perifer pada kedua mata
2. Medikamentosa obat-obat glaukoma untuk menurunkan TIO
a. Pilokarpin 2% 4xsehari
b. Timolol 0,5% 2x sehari
c. Asetazolamide 2-3 x 250 mg sehari disertai dengan KCl 2-3 x 500 mg
d. Oabat-obat baru seperti: glaupen, glauplus, xalatan, travatan, dorzol, azopt
3. Tindakan bedah trabekulektomi, bila tindakan iridektomi perifer dan obat-obat
TIO masih diatas 21 mmHg

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Glaukoma sudut terbuka primer
Medikamentosa
a. Prinsip terapi mirip dengan penanganan pada fasilitas sekunder, namun dapat pula
menggunakan obat-obat jenis terbaru, seperti:
1) Prostaglandin analog (glaupen, glauplus, xalatan, travatan)
2) Penghambat karbonik anhidrase topikal (dorzol, azopt)
3) Alpha 2 agonist adrenergik.
a) terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser
selektif.
b) Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/ atau dengan mitomisin C/5-
fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase implant,
siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma.

2. Galukoma sudut terbuka sekunder


a. Cari faktor penyebab
b. Medikamentosa
1) Prostaglandin analog (glaupen, glauplus, xalatan, travatan)
2) Penghambat karbonik anhidrase topikal (dorzol, azopt)
3) Alpha 2 agonist adrenergik.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 33


c. Terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif
d. Terapi bedah berupa trabekolektomi tanpa/ atau dengan mitomisin C/ 5-
fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase implant,
siklodiatermi atau operasi kombinasi katarak dan glaukoma.

3. Glaukoma kronis sudut tertutup primer


a. Terapi medikamentosa diberikan baik sebalum terapi defenitif iridektomi perifer
maupun setelahnya
b. Tindakan bedah trabekulektomi bila TIO diatas 21 mmHg setelah tindakan
iridektomi perifer dan medikamentosa.
c. Tindakan bedah kombinasi trabekulektomi dan katarak bila ada indikasi
keduanya.

Tindakan iridektomi perifer laser atau trabekuloplasti


1. Pra dan setelah tindakan diberikan alpha 2 agonist
2. Pemberian anti inflamasi topikal setelah tindakan selama 2-3 hari
3. Follow up tindakan laser setelah 1 hari, 1 minggu, selanjutnya 4-8 minggu setelah
tindakan IP/ trabekuloplasti laser.
4. Bila TIO naik pertimbangkan pemberian medikamentosa atau tindakan
trabekulektomi.
5. Minggu ke-8 lakukan gonioskopi dan cek TIO

Perawatan setelah tindakan trabekulektomi


1. Berikan kombinasi antibiotik dan anti inflamasi topikal serta antibiotik sistemik.
2. Kontrol 1 hari pasca bedah
3. Kontrol 7-10 hari pasca bedah
4. Kontrol 1 minggu sampai 1 bulan
5. Kontrol tiap 4-6 bulan bila keadaan baik

Evaluasi dan follow up pasien glaukoma kronis


1. Perhatikan ada tidaknya progresivitas papil atropi glaukomatosa
2. Funduskopi, OCT, HRT, evaluasi 6-12 bulan.
3. Perhatikan ada tidaknya pertambahan skotoma/ kelainan lap. Pandang dengan
automatic perimeter setiap 6-12 bulan: octopus, Humphrey.
4. Lakukan gonioskopi minimal setiap 3 bulan.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 34


GLAUKOMA SUSPECT
Hal-hal berikut ini termasuk dalam glaukoma suspect:
1. TIO diatas 21 mmHg disertai discus optik dan lap. Pandang yang normal, atau
2. Keadaan papil optik dan atau lap. Pandang yang dicurigai dengan TIO yang normal

Gejala dan tanda klinis


Pusing, sakit sekitar mata atau tanpa gejala

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan pin-hole.
2. Pemeriksaan bola mata dengan lampu senter dan lup: bola mata baik.
3. Pemeriksaan saraf optik demgan funduskopi: rasio CD lebih dari 0,6 diatas 28
mmHg.
4. Pemeriksaan lap. Pandang dengan tes konfrontasi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan snellen dan pin-hole
2. Pemeriksaan dengan menggunakan biomikroskopi slit lamp. Gambaran bola mata
tidak berbeda dengan gambaran mata normal.
3. Pemeriksaan sudut milik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan sebaiknya
menggunakan gonioskopi.
4. Pemeriksaan funduskopi untuk menilai papil optik
5. Pemeriksaan TIO dengan tonometer Schiotz
6. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimetri Goldmann

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen atau chart projector dengan
koreksi pin-hole
2. Pemeriksaan dengan biomikroskopi slit lamp: gambaran bola mata tidak berbeda
dengan gambaran mata normal.
3. Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi.
4. Pemeriksaan funduskopi, gambar dan uraikan papil saraf optik.
5. Pemeriksaan TIO dengan tonometer Schiotz, tonometri aplanasi, tono-pen dan bila
ada dengan tonometer non kontak.
6. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter kinetic dan static baik manual
maupun komputer, bila memungkinkan dengan perimeter octopus atau Humphrey.
7. Bila memungkinkan evaluasi papil saraf optik dan serabut saraf retina dengan alat
diagnostic imaging seperti OCT(optikal coherence tomography) dan HRT(Heidelberg
retinal topography).

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 35


Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Untuk memastikan glaukoma pada pasien glaukomasuspec, sebaiknya dikirim ke fasilitas
sekunder untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Buat dasar mengenai TIO, papil saraf optik (gambar diagram) dan lap. Pandang.
2. Tetapkan tekanan target awal:penurunan 20-30% dari TIO awal
3. Follow up pasien terhadap progresivitas.

Pelayanan kesehatan mata tertier (TEC)


1. Buat data dasar mengenai TIO, papil saraf optik dan serabut saraf retina (dengan
gambar diagram, HRT, atau OCT)
2. Buat data dasar mengenai lap. Pandang dengan perimeter computer.
Penatalaksanaan terhadap pasien yang mendapat terapi obat anti glaukoma
1. Tetapkan tekanan target awal: penurunan 20-30% dari TIO awal.
2. Pilih obat terhadap individu:
a. Quality ofn lif
b. Biaya
c. Efek samping

Follow up
1. Pemeriksaan mata:
a. TIO: variasi diurnal bila perlu.
b. Biomikroskopi lampu celah.
c. Gonioskopi.
d. Funduskopi.
e. OCT/HRT.
f. Perimetri: Goldmann/octopus/Humphrey.

2. Perhatikan efek samping obat


a. Lokal
b. Sistemik

3. Diskusi mengenai faktor resiko dan rencana pengobatan.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 36


pengobatan Target Resiko tinggi Interval Evaluasi
pressure (TP) untuk terjadi follow up papil saraf
kerusakan optik, serabut
saraf retina
dan
lap. Pandang
Tidak diobati - Tidak ada 6-18 bulan 6-18 bulan
Tidak diobati - Ada 3-12 bulan 6-12 bulan
Diobati Turun Tidak ada 3-12 bulan 6-12 bulan
Diobati Turun tetapi ada 2 hari 4 bulan 3-12 bulan
tidak mencapai
TP

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 37


KATARAK PADA PENDERITA DEWASA

Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkna penurunan tajam penglihatan
(visus), dimana paling sering berkaitan dengan proses degenerasi lensa pada penderita
berusia lanjut yaitu diatas 40 tahun (katarak senilis). Katarak pada penderita dewasa
(diatas 18 tahun) selain karena proses degenerasi, juga dapat disebabkan oleh penyakit
mata seperti glaukoma, uveitis, trauma mata, dan lain-lain; ataupun menderita kelainan
sistemik seperti DM, penggunaan obat-obatan yang steroid, dll. Katarak biasanya
ditemukan pada kedua mata (bilateral), tetapi dapat juga terjadi pada satu mata
(monocular).

Gejala dan tanda


1. Penurunan visus secara perlahan-lahan
2. Ukuran kaca mata semakin sering mengalami perubahan.
3. Keluhan silau (glare)
4. Kesulitan untuk membaca

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta menggunakan
pin-hole
2. Pemeriksaan lampu senter dan lup untuk segmen anterior dimana tidak ditemukan
kekeruhan kornea dan tampak reflek pupil yang masih baik.
3. TIO diukur dengan tonometri Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan
tetes mata tropicamide 0,5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan
dengan lampu senter dan lup untuk untuk melihat adanya kekeruhan lensa.
5. Pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop langsung untuk melihat segmen
posterior jika katarak masih tidak terlalu keruh.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta menggunakan
pin-hole.
2. Pemeriksaan lampu senter dan lup untuk segmen anterior
3. TIO diukur dengan tonometri Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan
tetes mata tropicamide 0,5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan
dengan lampu senter dan lup untuk untuk melihat adanya kekeruhan lensa.
5. Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop langsung ataupun tidak langsung.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 38


Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik
serta menggunakan pin-hole.
2. Pemeriksaan lampu senter dan lup untuk segmen anterior
3. TIO diukur dengan tonometer non-contact, aplanasi, atau Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan
tetes mata tropicamide 0,5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan
dengan lampu senter dan lup untuk untuk melihat adanya kekeruhan lensa apakah
sesuai dengan tajam penglihatan pasien.
5. Derajat katarak ditentukan oleh:
a. Derajat 1: nucleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak
sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Refleks fundus juga masih dengan
mudah diperoleh dan usia penderita biasanya kurang dari 50 tahun

b. Derajat 2: Nukleus dan kekerasan ringan, tampak nucleus sudah mulai bewarna
kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. reflek fundus juga masih
mudah diperoleh pada katarak jenis ini paling sering memberikan gambaran
seperti katarak subkapsularis posterior.

c. Derajat 3: Nukleus dengan kekerasan medium, dimana nucleus tampak berwarna


kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus
biasanya antara 3/60 sampai 6/30.

d. Derajat 4: Nukleus keras, dimana nucleus sudah berwarna kuning kecoklatan dan
visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana refleks fundus maupun keadaan
fundus sudah sulit dinilai.

e. Derajat 5: Nukleus sangat keras, nucleus sudah berwarna kecoklatan bahkan ada
yang berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan
usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut juga
brunescent cataract atau black cataract
6. Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop langsung ataupun tidak langsung.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan visus 6/12 diberikan
kacamata dengan koreksi terbaik
2. Jika visus < 6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiata sehari-hari
berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi, pasien dirujuk
ke spesialis mata pada fasilitas sekunder atau tersier.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 39


Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)
1. Penata laksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan visus > 6/12 diberikan
kaca mata dengan kreksi terbaik.
2. Jika visus < 6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari
berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi, dapat
dilakukan operasi ECCE(extra capsular cataract extraksi)
3. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan pealatan bedah
mikro, dimana pasien dipersiapkan implantasi lensa tanam (IOL: intra ocular lens).
4. Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan
biometri A-scan, tetapi bisa juga berdasarkan anamnesis menggunakan IOL
standar(power +20.00) dikurangi ukuran kaca mata yang selama ini digunakan pasien.
Misalnya jika pasien menggunakan kaca mata S-6.00 dapat diberikan IOL power
+14.00
5. Perhatikan juga rekomendasi tindakan bedah katarak pada bagian akhir tulisan ini.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Penatalaksanaan bersifat bedah, jika visus sudah mengganggu untuk melakukan
kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk
operasi.
2. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah
mikro, pasien dipersiapkan untuk implantasi lensa tanam (IOL)
3. Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan
biometri A-Scan.
4. Teknik bedah katarak menggunakan teknik manual ECCE ataupun fakoemulsifikasi
dengan mempertimbangkan derajat katarak serta tingkat kemampuan ahli bedah
5. Operasi katarak hanya dilakukan jika visus sudah mengganggu kegiatan sehari-hari
pasien dimana pasien berkesempatan melakukan diskusi dengan dokter mengenai
alternative lain selain operasi, resiko operasi, serta perawatan pasca operasi.
6. Pasien mengisi Surat Izin Tindakan Medis (informed concent)
7. Setiap kali melakukan pemeriksaan pre-operasi mencakup hal-hal berikut:
a. Anamnesis riwayat penyakit lama, penyakit lain ataupun alergi
b. Visus tanpa koreksi dengan snellen serta refraksi terbaik.
c. Pengukuran TIO
d. Penilaian fungsi pupil (refleks pupil)
e. Pemeriksaan mata luar (external examination) dengan senter dan lup, atau slit
lamp bergantung fasilitas
f. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 40


8. Dokter spesialis mata yang melakukan operasi katarak sebaiknya memperhatikan
persiapan pre-operasi sebagai berikut:
a. Memeriksa pasien sebelum operasi
b. Memberikan informasi kepada pasien tentang resiko, keuntungan dan kerugian
operasi serta harapan yang sewajarnya dari hasil operasi
c. Memperoleh surat izin tindakan medis(informed concent)
d. Memastikan bahwa hasil keratometri dan biometri A-scan sesuai dengan mata
yang akan dioperasi, jika pasien direncanakan implantasi lensa tanam
e. Menentukan kekuatan lensa tanam yang sesuai, jika pasien tesebut direncanakan
implantasi lensa tanam.
f. Membuat rencana pembedahan(jenis anesthesia, penempatan sayatan dan
konstruksi luka, refraksi pasca operasi yang direncanakan sertajadwal pemeriksan
pasca bedah.
g. Melakukan evaluasi pre-operasi diatas termasuk pemeriksaan laboratorium serta
berdiskusi dengan pasien ataupun keluarga ppasien yang dianggap lebih mengerti
dan dapat bertindak atas nama pasien.

9. Operasi katarak bilateral (operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus secara
berurutan) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan resiko pasca
operasi(endofthalmitis)yang bisa berdampak kebutaan. Tetapi ada beberapa keadaan
khusus yang bisa dijadikan alas an pembenaran dan keputusan tindakan operasi katarak
bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya.

10. Operasi tidak boleh dilakukan pada keadaan sebagai berikut:


a. Pasien menolak tindakan operasi
b. Pemberian kaca mata ataupun alat Bantu penglihatan lainnya masih cukup
memuaskan bagi pasien
c. Ada dugaan bahwa operasi tidak dapat meningkatkan penglihatan pasca operasi
d. Kualitas hidup pasien belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang
dialaminya belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang dialaminya
e. Pasien tidak dapat menjalani operasi katarak berkaitan dengan penyakit mata lain
ataupun keadaan kesehatan akibat penyakit lainnya.
f. Pasien tidak dapat memberikan surat izin tindakan medis yang sah secara hukum
karena kurang pengertian ataupun kurang informasi

11. Dokter spesialis mata yang melakukan operasi ataupun staf dokter tersebut
berkewajiban mendidik, menjelaskan dan memberi instruksi kepada pasien mengenai
gejala ataupun tanda-tanda mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi pasca
operasi, penggunaan proteksi mata, adanya pembatasan kegiatan, pengobatan , jadwal
kunjungan lanjutan (follow up) dan petunjuk dimana harus mendapatkan perawata

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 41


darurat bila diperlukan. Dokter spesialis mata/staf juga menerangkan mengenai
tanggung jawab pasien untuk mengikuti petunjuk yang harus dilakukan selama
perawatan pasca operasi dan pasien harus segera menghubungi dokter tersebut jika
mengalami masalah.

12. Pemeriksaan lanjutan pasca operasi (follow up):


a. Frekwensi pemeriksaan paca bedah ditentukan berdasarkan tingkat pencapaian
visus optimal yang diharapkan.
b. Pasien dengan resiko tinggi, seperti pasien dengan satu mata, mengalami
komplikasi intra operasi atau ada riwayat penyakit mata lain sebelumnya seperti
uveitis, glaukoma, dll, maka pemeriksaan harus dilakukan satu hari setelah
operasi.
c. Pada pasien yang dianggap tidak bermasalah baik keadaan pre-operasi maupun
intra operasi serta diduga tidak akan mengalami komplikasi lainnya maka dapat
mengikutin petunjuk pemeriksaan lanjutan sebagai berikut:
1) Kunjungan pertama: dijadwalkan dalam waktu 48 jam setelah operasi (untuk
mendeteksi dan mengatasi komplikasi dini seperti kebocoran luka yang
enyebabkan bilik mata dangkal, hipotonus, peningkatan TIO, edema kornea,
ataupun tanda-tanda peradangan).
2) Kunjungan ke dua: dijadwalkan hari ke 4-7 setelah operasi jika tidak dijumpai
masalah pada kunjungan pertama, yaitu mendeteksi dan mengatasi
kemungkinan endofthalmitis yang paling sering terjadi pada minggu pertama
pasca operasi.
3) Kunjungan ketiga: dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan pasien Dimana
bertujuan untuk memberikan kaca mata sesuai dengan refraksi terbaik yang
diharapkan.

13. Obat-obat yang digunakan pasien pasca operasi bergantung dari keadaan mata serta
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien (misalnya analgetika,
antibiotika oral, anti glaukoma, atau edema kornea, dll). Tetapi penggunaan tetes
mata kombinasi antibiotika dan steroid harus diberikan pada pasien untuk digunakan
setiap hari selama minimal 2 minggu pasca operasi.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 42


PTERYGIUM

Adalah pertumbuhan jaringan fibrovascular berbentuk segi tiga yang tumbuh dari arah
konjungtiva menuju kornea pada daerah inter palpebra. Asal kata pterygium adalah dari
bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Insiden pterygium cukup
tinggi di Indonesia yang terletak didaerah equator, yaitu 13,1%. Diduga bahwa paparan
ultra violet merupakan salah satu faktor esiko terjadinya pterygium.
Pterygium umumnya tumbuh pada daerah inter palpebra, lebih sering terdapat pada
bagian nasal konjungtiva. Puncak segitiga disebut apeks, yaitu bagian pterygium yang
tumbuh masuk ke jaringan kornea. Usia penderita biasanya pada usia dewasa muda
(diatas 40 tahun).

Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterygium, dan dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Derajat 1: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2: jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
3. Derajat 3: jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4. Derajat 4: jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Prinsip penanganan pterygium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika
pterygium masih derajat 1 atau 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
yang melebihi derajat 2. tindakan bedah juga dapat dipertimbangkan pada pterygium
derajat 1 atau 2 jika penderita sudah mengeluh maupun karena alas an kosmetik.

Gejala dan Tanda


Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan
sama sekali (asimtomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
1. Mata sering berair dan tampak merah.
2. Merasa seprti ada benda asing.
3. Timbul astigmatisma akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut,
biasanya astigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irregular sehingga
mengganggu pengihatan.

Pada pterygium lanjut (derajat 3 dan 4), dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan juga menurun.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 43


Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan cukup dengan lup dan lampu senter, diperiksa segmen anterior serta
ditentukan derajat pertumbuhan pterygium.
2. Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan snellen.
3. TIO diukur dengan tonometer Schiotz untk memastikan tidak adanya penyakit
penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer
Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).
Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)
1. Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segmen anterior serta ditentukan derajat
pertumbuhan pterygium.
2. Tajam penglihatan penderita diukur dengan kartu snellen, lalu dikoreksi dengan trial
frame.
3. TIO diukur dengan tonometer Schiotz untk memastikan tidak adanya penyakit
penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer
Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segmen anterior serta ditentukan derajat
pertumbuhan pterygium.
2. Tajam penglihatan penderita diukur dengan kartu snellen, lalu dikoreksi dengan trial
frame.
3. Astigmatisme kornea diperiksa dengan keratometer baik secara manual maupun
menggunakan alat auto-refrakto-keratometer.
4. TIO diukur dengan cara aplanasi ataupun menggunakan tonometer non kontak.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Penatalaksanaan bersifat non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk menguragi
iritasi ataupun paparan terhadap ultra violet.
2. Pada pterygium derajat 1-2 yang mengalami anflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid seperti C-Xitrol 3 kali sehari selama 5-
7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan korikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan TIO yang tinggi ataupun mengalami kelainan kornea.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Penatalaksanaan bersifat non bedah pada pterygium derajat 1 dan 2, yaitu edukasi
terhadap pasien untuk mengurangi iritasi dan paparan ultra violet. Jika pterygium
engalami inflamasi, dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
seperti C-Xitrol 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 44


korikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi ataupun
mengalami kelainan kornea.
2. Pada pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
(pengangkatan) pterygium. Sedapat mungkin setelah avulse pterygium maka bagian
konjungtiva bekas pterygium tersebut diutupi dengan cangkok konjungtiva yang
diambil dari bagian konjungtiva superior untuk menurunkan angka kekambuhan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Penatalaksanaan pada fasilitas tersier bersifat bedah engan memperhatikan tujuan
utama dari pengangkatan dari pterygium, yaiu:
a. Memberikan hasil yang baik secara kosmetik
b. Mengupayakan komplikasi yang seminimal mugkin
c. Angka kekambuhan yang rendah
2. Teknik operasi yang dilakukan adalah dengan avulsi pterygium disertai cangkok
konjungtiva(conjungtival limbal graft) penggunaan mitomisin C sebaiknya hanya
pada untuk penanganan kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
mitomisin C yang cukup berat
3. Sebagai perbandingan angka kekambuhan pasca pengangkatan pterygium dapat
dilihat dari berbagai laporan sebagai berikut:

TECHNIQUE RECURENCE RATE

Bare sclera 61% (Tan et al)


40% (Figueredo et al)

Conjungtival graft 18% (Wong et al)


25,9% (Mabar et al)

Conjungtival limbal graft 14,6% (Mutlu et al)

Intra-operative mitomycin C 5,8% (Helal et al)

Amniotic membrane transplantation 10,9% (Prabhasawat et al)


3% (Solomon et al)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 45


KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK

Kelainan refraksi merupakan istilah yang dipakai untuk keadaan ametropia akibat dari
satu atau lebih komponen optik bola mata memperlihatkan variasi yang bermakna dari
nilai variasi biologis yang normal; dan bukan merupakan penyakit atau kelainan bola
mata congenital. Komponen yang berkontribusi terhadap kelainan refraksi antara lain
panjang sumbu bola mata, kurvatura kornea dan power lensa mengalami penyesuaian
selama anak mengalami proses emetropisasi sehigga status refraksi mata anak bersifat
dinamis. Variasi komponen ini sangat luas yang sifatnya individual sehingga pada
sekelompok individu dapat menimbulkan ametropia berat yag sulit diperkirakan
sebelumya.

Tidak semua kelainan refraksi/ametropia pada anak perlu dikoreksi. Kelainan ametropia
yang berat yang membuat mata anak tidak mendapat clear retinal image perlu dikoreksi
agar tidak mengganggu proses perkembangan penglihatan yang normal, karena
keterlambatan koreksi akan menimbulkan cacat penglihatan yang serius dan bahkan
menimbulkan kebutaan.

Bila ditemukan kelainan refraksi pada anak, harus ditentukan apakah perlu dilakukan
koreksi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan koreksi yang terbaik
untuk kelainan refraksi pada anak dengan memperhatikan jenis dan derajat ametropia,
umur anak, dan potensi terjadinya ambliopia.

Gejala dan tanda


Gejala dan tanda tergantung dari jenis (miopia, hipermetropia, astigmatisme), derajat
kelainan refraksi dan umur penderita. Pada hipermetropia dan dapat berupa gejala
mengerutkan muka, melirik, hiperaktif, sakit di mata, tidak senang membaca buku, sakit
kepala bila lelah). Pada miopia tinggi anak harus melihat dengan jarak yang sangat dekat,
atau keluhan buram jauh pada anak yang verbal (sudah dapat berkomunikasi).

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Mengenai gejala dan tanda pada masing-masing kelaian refraksi sesuai usia. Usia
biasanya dibagi 3 kelompok yaitu <2tahun, usia pra-sekolah, dan usia sekolah
2. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
3. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur (kelompok non verbal dengan
pemeriksaan fiksasi, symbol chart, E chrt dan kelompok verbal dengan snellen chart).
4. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 46


5. Pemeriksaan funduskopi kedua mata dengan opthalmoskop direk, dengan sebelumnya
dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Mengenai gejala dan tanda pada masing-masing kelaian refraksi sesuai usia. Usia
biasanya dibagi 3 kelompok yaitu <2tahun, usia pra-sekolah, dan usia sekolah
2. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
3. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopia pupil
lebar untuk kelompok usia >2 tahun dan kelompok usia pra-sekolah.
4. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia pra-sekolah dan kelompok usia
sekolah
5. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup, senter, dan slit lamp.
6. Pemeriksaan segmen posterior dengan opthalmoskop direk.
7. Pemeriksaan kemungkinan ambliopia dan atau mata juling.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Mengenai gejala dan tanda pada masing-masing kelaian refraksi sesuai usia. Usia
biasanya dibagi 3 kelompok yaitu <2tahun, usia pra-sekolah, dan usia sekolah
2. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
3. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopia pupil
lebar untuk kelompok usia >2 tahun dan kelompok usia pra-sekolah.
4. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia pra-sekolah dan kelompok usia
sekolah
5. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup, senter, dan slit lamp.
6. Pemeriksaan segmen posterior dengan opthalmoskop direk.
7. Mendeteksi adanya faktor-faktor ambliopia.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Koreksi kelainan refraksi pada kelompok usia sekolah bila pada pemeriksaan
subjektif visus mencapai 6/6.
2. Rujuk ke fasilitas sekunder, bila:
a. Pada kelompok usia sekolah visus dengan koreksi tidak mencapai 6/6.
b. Pada kelompok usia <2 tahun dan kelompok usia pra-sekolah didapatkan tanda
dan gejala kelainan refraksi dan kemampuan penglihatan tidak sesuai dengan
umur.
c. Dijumpai kelainan posisi bola mata (kelainan refraksi + mata juling)
3. Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok harus berdasarkan pertimbangan:
besarnya kelainan refraksi cukup mengganggu aktivitas. Kemampuan akomodasi

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 47


pasien; kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur; resiko yang timbul akibat adanya
kelainan refraksi. Rujuk ke TEC apabila dijumpai ambliopia dan/atau mata juling.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok umur harus berdasarkan
pertimbangan:
a. Apakah besarnya kelainan refraksi cukup mengganggu aktivitas.
b. Kemampuan akomodasi pasien.
c. Kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur.
d. Resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi.
2. Penatalaksanaan ambliopia dan akomodatif esotropia
3. Koreksi (tindakan) sisa esotropia pada kasus akomodatif esotropia setelah koreksi
kaca mata diberikan.

Rekomendasi
Pemberian koreksi kaca mata pada anak harus memperhatikan hal di bawah ini:
1. Jenis kelainan refraksi.
2. Besar kelainan refraksi.
3. Umur penderita: kaca mata tidak diperlukan bila kebutuhan untuk aktivitas sehari-hari
tidak terganggu.
4. Apakah kelainan refraksi tersebut merupakan faktor penyebab ambliopia.
Hipermetropia >3D, astigmatisma >0,75 D, anisometropia, isoametropia tinggi
5. Follow up teratur.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 48


KATARAK KONGENITAL

Katarak congenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah
satu kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Prognosis visus tergantung dari
jenis katarak (unilateral/bilateral, total/partial) ada tidaknya kelainan mata yang
menyertai katarak, tindakan operasi (waktu operasi, teknik operasi, komplikasi operasi)
dan rehabilitasi tajam penglihatan pasca operasi.

Gejala dan tanda


Gejala yang paling sering dan mudah dikenali adalah leukokoria. Gejala ini kadang-
kadang tidak terlihat jelas pada bayi yang baru lahir karena pupil miosis. Bila katarak
binocular, penglihatan kedua mata buruk, orang tua biasanya membawa anak dengan
keluhan anak kurang melihat, tidak focus, atau kurang bereaksi terhadap sekitar. Gejala
lain yang dapat dijumpai antara lain foto fobia, strabismus, nystagmus.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan uur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah dilakukan
dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan uur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah
dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.
4. Konsultasi ke deprtemen pediatrik untuk evaluasi kemungkinan penyakit penyerta
dan toleransi operasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan uur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah dilakukan
dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.
4. Pemeriksaan USG, terutama bila bilateral.
5. Konsultasi ke deprtemen pediatrik untuk evaluasi kemungkinan penyakit penyerta
dan toleransi operasi.
6. Pemeriksaan biometri bila direncanakan pemasangan lensa tanam.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 49


Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Penderita segera rujuk ke fasilitas tersier untuk pemeriksaan dan pananganan selanjutnya

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Penderita segera rujuk ke fasilitas tersier untuk pemeriksaan dan pananganan selanjutnya

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Bila kekeruhan total atau senralharus segera operasi. Bila kekeruhan hanya minim atau
hanya sebagian, baik bilateral atau unilateral, operasi mungkin tidak perlu atau dapat
ditunda. Rehabilitasi tajam penglihatan dapat dilakukan dengan pemberian kaca mata
atau lensa kontak atau pemasangan lensa tanam.

Rekomendasi
Rekomendasi pra-operasi
1. Pasien diberi penjelasan mengenai keadaan penyakitnya, resiko operasi, prognosis
tajam penglihatan dan perawatan rehabilitasi tajam penglihatan pasca operasi.
2. Pasien/orang tua menanda tangani informed concent.

Rekomendasi pasca operasi


1. Pasien diberi penjelasan tentang kemungkinan komplikasi tindakan dan komplikasi
jangka panjang. Follow up teratur dan periodic untuk evaluasi tajam penglihatan dan
perkembangan refraksi, terutama penjelasan masalah ambliopia.
2. Konsul ke departemen terkait untuk evaluasi ulang penyakit penyerta.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 50


GLAUKOMA PADA ANAK

Glaukoma pada anak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Glaukoma congenital (infantile) primer


2. Glaukoma juvenilis
3. Glaukoma sekunder, disgenesis segmen anterior (contoh: Anomali peters, syndrome
axenfeld-Reiger, Anidria, homosistinuria)

Glaukoma congenital primer


Gejala dan tanda klinis
1. Pembesaran diameter kornea, kekeruhan (edema) kornea akibat peningkatan TIO,
cupping nervus optikus.
2. Pada bayi sering ditemukan epifora, blepharosm, fotofobia.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pengukuran diameter kornea.
Pengukuran ini dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan penggaris.
Didapatkan diameter kornea yang lebih besar dari normal. Diameter kornea rata-rata
adalah 10 mm (kisaran 9,5-10,5 mm) pada saat lahir, kemudian meningkat menjadi
11,8 mm pada usia 1 tahun. Diameter kornea sebesar 12 mm atau lebih pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dapat dianggap tidak normal.

2. Pemeriksaan segmen anterior dengan lampu senter dan lup.


Dinilai keadaan kornea, iris/pupil dan bilik mata depan.

3. Pengukuran TIO
Dilakukan dengan tonometer schiotz. Pada bayi dan anak yang tidak koperatif,
penilaian dilakukan dalam anesthesia umum. Dalam hal ini perlu diperhitungkan
pengaruh obat anestesi yang digunakan terhadap pembacaan TIO normal pada bayi
adalah 10-15 mmHg. Pada glaukoma primer congenital nilai TIO umumnya melebihi
25 mmHg, dan sering diatas 30 mmHg. Nilai TIO yang rendah secara relative dalam
anestesi umum pada pasien dengan manifestasi klinis yang jelas, tidak menyingkirkan
diagnosis glaukoma.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 51


Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)
1. Pengukuran diameter kornea.
Pengukuran ini dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan penggaris.
Didapatkan diameter kornea yang lebih besar dari normal. Diameter kornea rata-rata
adalah 10 mm (kisaran 9,5-10,5 mm) pada saat lahir, kemudian meningkat menjadi
11,8 mm pada usia 1 tahun. Diameter kornea sebesar 12 mm atau lebih pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dapat dianggap tidak normal.
2. Pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah (slit lamp).
Dinilai keadaan kornea, iris/pupil, bilik mata depan. Pada penderita dijumpai edema
kornea akibat peningkatan TIO.
3. Pengukuran TIO
Dilakukan dengan tono-pen atau tonometri schiotz
TIO normal pada bayi: 10-15 mmHg. Pada glaukoma primer congenital nilai TIO
umumnya melebihi 25 mmHg; dan sering kali diatas 30mmHg.
Pada bayi dan anak yang tidak koperatif, penilaian dilakukan dalam anesthesia
umum. Dalam hal ini perlu diperhitungkan pengaruh obat anestesi yang digunakan
terhadap pembacaan TIO normal pada bayi adalah 10-15 mmHg.
Pada glaukoma primer congenital nilai TIO umumnya melebihi 25 mmHg, dan sering
diatas 30 mmHg. Nilai TIO yang rendah secara relative dalam anestesi umum pada
pasien dengan manifestasi klinis yang jelas, tidak menyingkirkan diagnosis
glaukoma.

4. Gonioskopi (dalam anestesi umum): ditemukan anomali sudut bilik mata.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pengukuran diameter kornea.
Pengukuran ini dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan penggaris.
Didapatkan diameter kornea yang lebih besar dari normal. Diameter kornea rata-rata
adalah 10 mm (kisaran 9,5-10,5 mm) pada saat lahir, kemudian meningkat menjadi
11,8 mm pada usia 1 tahun. Diameter kornea sebesar 12 mm atau lebih pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dapat dianggap tidak normal.
2. Pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah (slit lamp).
Dinilai keadaan kornea, iris/pupil, bilik mata depan. Pada penderita dijumpai edema
kornea akibat peningkatan TIO.
3. Pengukuran TIO
Dilakukan dengan tono-pen atau tonometri schiotz
TIO normal pada bayi: 10-15 mmHg. Pada glaukoma primer congenital nilai TIO
umumnya melebihi 25 mmHg; dan sering kali diatas 30mmHg.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 52


Pada bayi dan anak yang tidak koperatif, penilaian dilakukan dalam anesthesia
umum. Dalam hal ini perlu diperhitungkan pengaruh obat anestesi yang digunakan
terhadap pembacaan TIO normal pada bayi adalah 10-15 mmHg.
Pada glaukoma primer congenital nilai TIO umumnya melebihi 25 mmHg, dan sering
diatas 30 mmHg. Nilai TIO yang rendah secara relative dalam anestesi umum pada
pasien dengan manifestasi klinis yang jelas, tidak menyingkirkan diagnosis
glaukoma.
4. Gonioskopi (dalam anestesi umum): ditemukan anomaly sudut bilik mata.
5. USG
Peningkatan panjang aksis bola mata diukur dengan B-Scan Ultra sonography

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke fasilitas sekunder

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


1. Pembedahan
Prosedur operasi initial pilhan adalah goniotomi atau trabekulektomi. Selain itu
trabekulektomi; siklokrioterapi, implantasi katup dapat dilakukan.
2. Terapi medikamentosa
a. Terapi medikamentosa pasca operasi dapat diberikan untuk mempertahankan TIO
yang normal. Yang paling sering digunakan adalah beta bloker, miotikum, dan
penghambat karbonic-anhidrase.
b. Dosis asetazolamide: 15 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
3. Rujuk ke fasilitas tersier untuk skrining dan konseling genetika terutama pada kasus
familial.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pembedahan
Prosedur operasi initial pilhan adalah goniotomi atau trabekulektomi. Selain itu
trabekulektomi; siklokrioterapi, implantasi katup dapat dilakukan.
2. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa pasca operasi dapat diberikan untuk mempertahankan TIO
yang normal. Yang paling sering digunakan adalah beta bloker, miotikum, dan
penghambat karbonic-anhidrase.
Dosis asetazolamide: 15 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
3. Konseling genetika dan skrining mutasi gen CYP1B1
Konseling genetika, disertai skrining mutasi gen yang berkaitan dengan glaukoma
congenital primer (gen CYP1B1), perlu dilakukan pada kasus-kasus familial; untuk
mendeteksi carrier dan kasus dengan resiko menderita penyakit yang sama. Skrining

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 53


juga dianjurkan pada komunitas disuatu daerah tertentu dengan angka insidens yang
tinggi terhadap penyakit ini.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 54


RETINOBLASTOMA

Retinoblastoma adalah tumor mata primer yang berasal dari retina dan biasanya pada
anak-anak dibawah 5 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 2-3 tahun. Tumor ini
bersifat multifokal, sehingga dapat dijumpai pada kedua mata (bilateral) atau beberapa
lesi pada satu mata (monocular). Pada jenis bilateral biasanya dijumpai pada usia yang
lebih muda dan bersifat herediter.

Gejala dan tanda


Gejala yang paling sering dijumpai adalah mata kucing (leukokoria). Gejala lain misalnya
strabismus, hifema spontan, hipopion, heterocrhomia iris, buftalmos dan pada stadium
yang sangat lanjut dapat memperlihatkan gejala proptosis. Kadang-kadang tumor ini
memberi gambaran seperti sellulitis orbita, endoftalmitis dan bahkan pernah dijumpai
pada mata yang ftisis.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
4. Pemeriksaan funduskopi kedua mata (multifokal) dengan oftalmoskopi direk, dengan
sebelumnya dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
4. Pemeriksaan segmen posterior dengan optalmoskopi direk dan indirek dengan
sebelumnya melebarkan pupil dengan tropicamide 0,5%.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
4. Pemeriksaan segmen posterior dengan optalmoskopi direk dan indirek
5. Pemeriksaan USG.
6. Bila mata sudah proptosis atau bila curiga sudah meluas ke ekstraokular atau bila
tumor bilateral dilakukan pemeriksaan CT-Scan dan konsultasi ke departemen
pediatrik untuk evaluasi metastasis (LP, BMP).

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 55


a. CT-Scan oleh departemen Radiologi
b. LP
c. BMP

7. Bila dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan patologis jaringan tumor


dengan memperhatikan perluasan tumor ke N.II dan tepi sayatan N.II, sclera, koroid,
badan siliar dan iris.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Penderita segera dirujuk ke fasilitas tertier untuk pemeriksaan dan penanganan
selanjutnya.

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


Penderita segera dirujuk ke fasilitas tertier untuk pemeriksaan dan penanganan
selanjutnya

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila tumor masih terbatas intraokuler dan stadium dini, dan fasilitas yang tersedia,
diberikan salah satu atau kombinasi dari terapi dibawah ini, yaitu:
a. Krioterapi
b. Fotokoagulasi laser
c. Kemoterapi
d. Radioterapi (plaque)
2. Bila tumor masih terbatas intraokuler, tapi stadium sudah lanjut atau terdapat vitreous
seeding, dapat dilakukan enukleasi dengan memotong N.II sepanjang mungkin. Bila
potongan N.II dan tepi sayatan N.II bebas tumor dan sclera serta sebagian besar
koroid belum terinvasi tumor, terapi tambahan tidak diperlukan. Bila potongan N.II
dan tepi sayatan N.II tidak bebas tumor, atau sclera atau sebagian besar koroid sudah
terinvasi tumor, terapi dilanjutkan dengan radiasi oleh departemen radiologi dan
kemoterapi oleh departemen pediatrik. Radiasi tidak diberikan pada anak dibawah 1
tahun.
3. Bila mata sudah proptosis, yang menunjukkan tumor sudah meluas ke ekstraokuler
tetapi belum ada tanda-tanda destruksi tulang orbita atau metastasis atau perluasan
tumor ke intracranial, dapat dilakukan eksenterasi orbita dilanjutkan dengan
radioterapi dan kemoterapi. Bila tumor terlalu besar dapat dilakukan kemoreduksi
dulu kemudian eksenterase yang dilanjutkan lagi dengan kemoterapi dan radioterapi.
4. Bila tanda-tanda metastasis atau perluasan ke intracranial sudah ada, tidak dilakukan
operasi, hanya diberi radioterapi dan kemoterapi.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 56


Rekomendasi
Rekomendasi pra-terapi/ pra-operasi
1. Pasien diberi penjelasan mengenai keadaan penyakitnya, resiko tindakan, serta
kemungkinan prognosis.
2. Pasien/ orang tua menanda tangani informed concent.

Rekomendasi pasca operasi


1. Pasien diberi penjelasan untuk follow up teratur dan memperhatikan kemungkinan-
kemungkinan yag mungkin timbul seperti tumor residif, metastasis, komplikasi
tindakan, dan munculnya lesi tumor baru pada mata yang sehat.
2. Konsul genetik.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 57


STRABISMUS

I. Exotropia
Exotropia adalah keadan dimana satu mata berfiksasi pada objek yang menjadi pusat
perhatian sedangkan mata yang lain menuju kearash lain yaitu kearah luar (eksodeviasi).
Exotropia merupakan kelainan kedudukan bola mata yang sering ditemukan. Anak-anak
tertentu mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadi exotropia meliputi anak yang
mengalami gangguan perkembangan saraf, premature, atau berat lahir rendah dan anak
dengan riwayat keluarga juling serta anomaly ocular atau sistemik.

Gejala dan tanda


1. Pada kebanyakan kasus awalnya bersifat intermiten dengan onset umumnya pada usia
dibawah 3 tahun.
2. Deviasi menjadi manifest terutama lelah, melamun, atau sakit dimana mekanisme
kompensasi fusi menurun.
3. Pasien dapat menutup salah satu mata bila terpapar cahaya terang sekali.
4. Bila bersifat intermiten jarang ditemukan ambliopia.
5. Kelainan refraksi bersifat spheris negatip, namun dapat spheres positif atau bahkan
emetropia.
6. Penglihatan ganda kadang-kadang dikeluhkan penderita yang juling intermiten.

Evaluasi
Pemeriksaan pada pasien dengan strabismus yang onsetnya dimulai sejak kecil meliputi
semua aspek pemeriksaan anak dan mata anak atau mata orang dewasa dengan
penekanan pada sensori, motor, refraksi dan fungsi akomodasi. Al-hal pnting yang perlu
ditekankan pada pasien strabismus, adalah sebagai berikut:

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan
visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan
memperlihatkan sesuatu yang berwarna warni didepan wajah bayi tersebut,
perhatikan apakah ada upaya mengikuti. Bila anak yang sudah lebih besar
pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-masing anak,
demikian pula yang dewasa.
2. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior, dinilai bagaimana
keadaan kornea, iris/pupil termaasuk reflek pupil dan lensa.
3. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata, untuk melihat ada tidaknya hambatan
pergerakan bola mata.
4. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 58


5. Funduskopi dengan oftalmoskop direk.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan
visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan
memperlihatkan sesuatu yang berwarna warni didepan wajah bayi tersebut,
perhatikan apakah ada upaya mengikuti. Bila anak yang sudah lebih besar
pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-masing anak,
demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea,
iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, cover-uncover test alternate
Cover test (ACT).

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan
visus subyektif dengan cara Central, Steady, Maintain (CSM), bila penderita anak
yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan
masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea,
iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg,Krimsky, Alternate Cver
Test (ACT)/ Prism Cover Test (PCT).
7. Ukur deviasi jauh dan dekat serta dinilai ada tidaknya A & V pattern. Demikian pula
harus dilakukan pemeriksaan deviasi dengan dan tanpa koreksi kaca mata kalau
terdapat kelainan refraksi. Bila dicurigai ada Stimulated Divergence Excees perlu
dilakukan pemeriksaan sudut deviasi setelah oklusi paling sedikit 1 jam pada salah
satu mata.
8. Penilaian status sensoris.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 59


Rujuk ke fasilitas sekunder

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila terdapat kelainan reafraksi, koreksi dengan kaca mata yang sesuai.
2. Bila terdapat ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang
dominant.
3. Bila dengan pemberian kaca mata tidak ada perbaikan pada deviasinya maka dirujuk
pada fasilitas kesehatan tersier untuk dilakukann penatalaksanaan selanjutnya.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila terdapat kelainan refraksi, berikan koreksi terbaik.
2. Bila ada ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominant.
3. Bila dengan koreksi kelainan refraksi, tetap eksotropia, lakukan operasi.
4. Jenis operasi yang dilakukan disesuaikan dengan diagnosis dan pola deviasi yang ada
dan keadaan visus masing-masing mata.
5. Bila tipe Divergence Excees dapat dilakukan reses rektus lateral pada kedua mata.
6. Bila tipe basic dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses resek
pada mata yang tidak dominant atau yang visus nya lebih buruk.
7. Bila tipe Convergence Insufficiency dapat dilakukan resek rektus medius.

II. Esotropia
Esotropia adalah keadaan dimana satu mata berfiksasi pada objek yang menjadi pusat
perhatian sedangkan mata yang lain menuju arah lain yaitu kearah hidung. Esotropia ada
yang bersifat congenital yaitu onsetnya sampai dengan usia 6 bulan, dan bisa pula didapat
yaitu onsetnya setelah usia 6 bulan. Disamping itu bila dilihat dari status refraksi ada
yang bersifat akomodatif dan ada pula yang bersifat non-akomodatif.

Gejala dan tanda


1. Juling ke dalam
2. Kelainan refraksi biasanya sphere positif, namun dapat sphere negatip bahkan
emetropia

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus tidak dapat dilakukan secara subyektif, bila penderita anak yang
sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan
masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 60


2. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior, dinilai bagaimana
keadaan kornea, iris/pupil, reflek pupil dan lensa.
3. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk untuk melihat segmen posterior.
4. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
5. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirscberg.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus tidak dapat dilakukan secara subyektif, bila penderita anak yang
sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan
masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopi dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan lampu celah untuk melihat segmen anterior,dinilai bagaimana
keadaan kornea, iris/pupil, reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirscberg.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus tidak dapat dilakukan secara subyektif CSM, bila penderita anak
yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan
masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopi dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan lampu celah untuk melihat segmen anterior,dinilai bagaimana
keadaan kornea, iris/pupil, reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirscberg, Krimsky, ACT/PCT.
7. Penilaian status sensoris.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke fasilitas sekunder.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila dengan koreksi kaca mata spheres (+) deviasi jauh dan dekat hilang, berarti
termasuk jenis refractive accommodative ET, berikan kaca mata Sph (+).

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 61


2. Bila dengan koreksi kaca mata spheres (+) deviasi jauh hilang sedangkan deviasi
dekat masih tersisa, dan baru hilang setelah tambahan addisi, berarti termasuk jenis
non refractive accommodative ET: berikan kaca Sph (+) bifokus.
3. Bila ada ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominant.
4. Bila termasuk jenis akomodatif: rujuk ke fasilitas tersier.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila termasuk jenis refractive accommodative ET: berikan kaca mata Sph (+)
2. Bila termasuk jenis non refractive accommodative ET: berikan kaca mata Sph (+)
bifokus.
3. Bila ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominant.
4. Bila termasuk jenis non akomodatif, operasi strabismus sesuai dengan jenisnya.
5. Pada jenis convergence excees lakukan reses rektus medial pada kedua mata.
6. Bila tipe basic dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses resek
pada mata yang tidak dominant
7. Bila tipe Convergence Insufficiency dapat dilakukan resek rektus lateral pada kedua
mata
8. Pada tipe campuran berikan kaca mata yang sesuai dan operasi strabismus untuk
deviasi sisanya.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 62


BLEFAROPTOSIS KONGENITAL

Blefaroptosis adalah turunnya kelopak mata yang terjadi sejak lahir.

Tanda dan gejala


Kelopak ata atas turun sejak lahir.

Evaluasi
Penatalaksanaan

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Pemeriksaan dengan senter dan lup tampak kelopak mata atas turun pada 1 mata atau
2 mata.
2. Posisi kelopak mata normal adalah tepi kelopak atas menutupi 2 mm kornea bagian
atas. Pada posisi prmer dilihat apakah refleks cahaya di pupil tertutup oleh kelopak
atau tidak.
3. Periksa apakah posisi bola mata ortho atau ada juling. Periksa gerakan bola mata ke
segala arah, apakah ada hambatan gerak pada arah tertentu atau tidak.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Dilakukan pemeriksaan Hirscberg, alternate Cober test (ACT). Duction/version, dan
pengukuran margin reflekx distance (MRD).

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Dilakukan pemeriksaan Hirscberg, ACT, duction/version, pengukuran MRD, margin
Limbal Distance (MLD), dan levator action (LA).

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC) dan sekunder (SEC)
1. Bila ptosis terjadi pada mata dan pupil tertutup oleh kelopak pada posisi primer,
segera rujuk ke TEC untuk dilakukan tindakan koreksi ptosis agar tidak terjadi
ambliopia.
2. Bila ada juling, segera rujuk ke TEC.
3. Bila ptosis terjadi pada 1 atau 2 mata dan pupil tidak tertutup oleh kelopak, tidak
perlu diberi terapi atau rujuk tidak segera. Bayi dapat dirujuk untuk tindakan koreksi
ptosis nya kapan saja orang tua atau pasien menginginkan. Tindakan ini hanya untuk
tujuan kosmetik, tidak akan mempengaruhi penglihatan. Biasanya dianjurkan sekitar
umur 5-6 tahun atau sebelum masuk SD

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 63


Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)
1. Bila ptosis pada 1 mata dengan MRD negatip, LA buruk (4 mm atau kurang), lakukan
koreksi ptosis segera dengan suspensi frontalis dengan bahan sinteik atau autograft.
2. Bila LA baik, lakukan koreksi ptosis dengan reseksi levator.
3. Bila MRD positif atau ptosis pada 2 mata, lakukan koreksi ptosis kapan saja
tergantung permintaan pasien atau orang tuanya, dianjurkan sekitar umur 5-6 tahun.

Rekomendasi pasca operasi


Sesudah operasi ptosis dengan suspensi frontalis selalu terjadi lagoftalmus, pasien atau
orang tuanya harus diberi penjelasan untuk mencegah terjadinya komplikasi keratitis et
lagoftalmus.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 64


EPIBLEFARON INFERIOR

Epiblefaron inferior adalah lipatan kulit yang berlebihan pada tepi kelopak bawah yang
menyebabkan bulu mata mengarah ke kornea dan dapat menyebabkan iritasi yang terus
menerus pada kornea.

Tanda dan gejala


Mata sering berair, merah dan silau.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan dengan senter dan lup, terlihat lipatan kulit yang berlebihan pada tepi
kelopak bawah dan arah bulu mata mengenai kornea
2. Periksa keadaan kornea apakah jernih atau ada kekeruhan di daerah yang terkena bulu
mata.
Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)
Pemeriksaan dengan slit lamp, terlihat lipatan kulit yang berlebihan pada tepi kelopak
bawah dan silia mengenai kornea. Kornea mungkin masih jernih atau sudah terdapat
epiteliopati tanpa/dengan neovaskularisasi akibat iritasi cilia.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Seperti pada SEC.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Bila kornea masih jernih, boleh lakukan tarukan pada kulit kelopak bawah dengan
plester sepanjang siang dan malam agar bulu mata tidak mengenai kornea atau boleh
lagsung dirujuk ke SEC
2. Bila dilakukan tarikan pada kulit dengan plester, observasi selama 3 bulan. Bila
terjadi perbaikan posisi bulu mata, boleh tidak dirujuk. Bila setelah 3 bulan keadaan
menetap, rujuk ke SE. Bila pada pemeriksaan pertama sudaha ada kekeruhan pada
kornea, rujuk ke SEC.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila kornea masih jernih, boleh lakukan tarukan pada kulit kelopak bawah dengan
plester sepanjang siang dan malam agar bulu mata tidak mengenai kornea
2. Bila sudah terdapat epiteliopati tetapi umur pasien masih dibawah 1 tahun, lakukan
tarikan pada kulit kelopak seperti diatas. Observasi selama kurang lebih 3 bulan, bila
terdapat perbaikan tidak perlu dilakukan tindakan. Bila tidak terdapat perbaikan atau

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 65


sudah terdapat epiteliopati dengan atau tanpa neovaskularisasi, boleh lakukan koreksi
epiblefaron dengan melakukan eksisi kulit dan fiksasi tarsus sedemikian sampai arah
bulu mata tidak mengenai kornea lagi atau rujuk ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Seperti pada SEC

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 66


OBSTRUKSI DUKTUS NASO-LAKRIMAL KONGENITAL

Yang dimaksud adalah obstruksi duktus naso lakrimal yang terjadi sejak lahir.

Tanda dan gejala


Mata berair dan ada sekret

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan dengan senter dan lup, tampak mata berair.
2. Pada saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan jari/cotton bud akan tampak
regurgitasi sekret dari punctum lakrimal.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan dengan senter dan lup ,tampak mata berair.
2. Pada saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan jari/cotton bud akan tampak
regurgitasi sekret dari punctum lakrimal.
3. Nila bayi sudah berumur diatas 3 bulan, dengan test anel akan tampak regurgitasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Dilakukan pemeriksaan dasar dan penunjang seperti pada SEC, ditambah pemeriksaan
dacryocystography untuk mengetahui apakah sakus sudah dilatasi.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Bila bayi dibawah 3 bulan, beri tetes antibiotik topikal selama 5-7 hari.
2. Pengasuh, dan/atau orang tuanya diberi tahu cara melakukan massage pada sakus
lakrimal.
3. Bila bayi sudah beumur diatas 3 bulan dan mata masih berair dan ada sekret, rujuk ke
SEC.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila bayi sudah berumur diatas 3 bulan, lakukan irigasi dari punctum lakrimal
superior/inferior agar membrane Hassner terbuka. Beri tetes antibiotik dengan steroid
selama 3-5 hari.
2. Bila setelah dilakukan 3 kali tindakan diatas berturut-turut tiap 2 minggu tetapi masih
berair dan banyak sekret, lakukan probing dalam narkose.
3. Bila tes anel masih menunjukkan regurgitasi, lakukan pematahan konkha inferior.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 67


4. Bila setelah dilakukan tindakan diatas mata masih berair dan banyak sekret, rujuk ke
TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila sakus belum dilatasi, lakukan probing pematahan konkha inferior.
2. Bila sakus sudah dilatasi akan tetapi sekret masih banyak,lakukan
dacryocistorhinostomi (DCR).
3. Bila terdapat kelainan kanalikulus atau mukosa hidung tidak dapat dijahit dengan
dinding sakus sewaktu melakukan operasi, pasang silicon lakrimal tube.
4. Sesudah operasi beri antibiotika oral, antibiotika dengan steroid tetes mata,
analgetika, dan decongestan tetes hidung. Anti koagulan diberikan bila perlu.
5. Silicon tube diangkat 2-3 bulan sesudah operasi.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 68


LAGOFTALMUS KARENA PARESE FASCIALIS

Lagoftalmus karena parese facialis terjadi akibat lumpuhnya otot orbicularis, sehingga
pasien tidak dapat menutup kelopak mata atas dan bawah, menyebabkan kornea terpapar
dengan segala akibatnya.

Gejala dan tanda


1. Mata berair, merah, silau, sakit, selalu terbuka, tidak dapat menutup mata.
2. Penglihatan mungkin buram.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Dengan lup dan senter, pasien disuruh menutup kelopak matanya dan terlihat tidak
seluruh bolamata tertutup kelopak/tidak dapat menutup.
2. Kornea mungkin masih jernih atau keruh.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC) dan tersier (TEC)


1. Dengan slit lamp, periksa keadaan kornea, apakah masih jernih, atau terdapat infiltrat,
atau ulkus kornea.
2. Periksa juga apakah ada kekenduran pada tepi kelopak bawah (laxity).

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Beri antibiotik salf mata
2. Tetes air mata buatan sesering mungkin.
3. Rapatkan kelopak atas dan bawah dengan plester.
4. Rujuk ke SEC.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila kornea masuh jernih, beri tetes air mata buatan sesering mungkin. Rapatkan
kelopak atas dan bawah dengan plester bila pasien tidur.
2. Bila sudah terjadi keratitis atau ulkus kornea, beri terapi sesuai terapi keratitis atau
ulkus kornea dan lakukan blefarorafi, atau rujuk ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Lakukan pemasangan beban emas pada kelopak atas, jahitkan pada tarsus, berat
beban disesuaikan agar kelopak atas dapat menutup.
2. Pada kelopak bawah dengan atau tanpa penguat fascia lata atau bahan sintetik atau
tulang rawan telinga.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 69


FRAKTUR BLOW OUT
Fraktur blow out adalah fraktur pada dasar orbita tanpa atau disertai fraktur dinding
medial orbita akibat trauma.

Gejala dan tanda


Penglihatan ganda, ada epistaksis setelah mata terkena trauma tumpul.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Enoftalmus ringan atau berat dapat timbul.
2. Pada perabaan mungkin terdapat krepitasi dibawah kulit kelopak bawah, terdapat
hambatan gerak bola mata terutama kearah superior dan inferior.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Seperti pada PEC.
2. Pemeriksaan Hirscberg, mungkin ortho atau hipotrofi. Duction dan version, terdapat
hambatan gerak bola mata kearah superior/inferior.
3. Pemeriksaan foto kepala posisi waters, tampak perselubungan pada sinus
maksillaris/etmoid, fraktur dasar orbita/dinding medial orbita.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti pada SEC
2. Dengan Hertel dilakukan pengukuran besarnya enoftalmus.
3. Pemeriksaan Hirscberg, mungkin ortho atau hipotrofi. Duction dan version, terdapat
hambatan gerak bola mata, pemeriksaan forced duction test positif.
4. CT-Scan menunjukkan adanya fraktur pada dasar orbita/dinding medial orbita dengan
inkarserasi jaringan lunak pada daerah fraktur.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC), dan sekunder SEC
Rujuk ke TEC

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Lakukan rekonstruksi fraktur dengan membebaskan jaringan lunak yang terjepit dan
memasang implant sintetik atau tulang autograft pada daerah fraktur.
2. Sebaiknya dilakukan sebelum 2 minggu setelah trauma.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 70


TUMOR ORBITA

Tumor orbita adalah massa yang berada dirongga orbita, dapat berasal primer dari
jaringan lunak orbita atau merupakan metastasis-invasi dari organ lain tubuh dan
palpebra/konjungtiva. Setiap jaringan dapat berpotensi berubah pertumbuhan menjadi
neoplasma. Di orbita terdapat jaringan yang secara embriologik berasal dari mesoderm
dan neuroektoderm. Palpebra dan konjungtiva berasal dari ectoderm.jenis tumornya dapat
berifat jinak atau ganas, dan jenisnya dapat ditemui lebih dari 50 jenis tumor. Walaupun
hanya terdapat dalam frekwensi kecil, penyakit neoplasma pada mata cukup
menimbulkan masalah karena angka kehilangan tajam penglihatan tinggi jika
dibandingkan dengan kelainan atau penyakit mata lainnya. Tumor mata mengakibatkan
cacat kosmetik, bahkan kematian. Penderita tumor orbita mempunyai prognosis
buruk.pada penelitian Riyanto didapatkan angka kelangsugan hidup tumor orbita sebesar
84,62%.

Prognosis penderita diperburuk akibat keterlambatan datang berobat. Data dirumah sakit
menunjukkan bahwa keterlambatan penderita dalam upaya mencari pengobatan sebagai
akibat faktor sosio-ekonomi sebesar 35%, ketidak tahuan penderita mengenai mata dapat
terkena tumor sebesar 31,60%, dan yang disebabkan oleh keterlambatan oleh dokter atau
paramedic dalam merujuk atau ketidak tepatan pengobatan sebesar 34,40%. Kesulitan
atau masalah lain yang dihadapi adalah pembuatan diagnosis tumor orbita, akibat lokasi
massa yang terkungkung oleh tulang cranial dan berada diantara jaringan lunak serta bola
mata-suatu organ yang memiliki fungsi yang vital bagi manusia. Tumor orbita menjadi
sulit di jangkau oleh pemriksaan klinis sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang.

Gejala dan tanda


Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis meliputi:
1. Identitas (sex, umur {anak,dewasa muda/tua}, pekerjaan {indoors/outdoors} )
2. Anamnesis:
a. Adanya penonjolan mata atau luka/benjolan pada kelopak mata yang tak
menyembuh.
b. Lama gejala: akut atau kronis.
c. Tajam penglihatan: tetap atau menurun.
d. Penglihatan ganda : ada atau tidak.
e. Rasa sakit: ada atau tidak.
3. Pemeriksaan visus:
a. Penurunan visus yang tidak dapat dikoreksi pada mata sakit.
b. Adanya hiperopia.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 71


4. Pemeriksaan oftalmologi:
a. Segmen anterior, normal atau ada kelainan (nodul pada iris, heteromia iris).
b. Segmen posterior, normal atau ada kelainan (star figure di macula atau lipatan
{fold} di koroid, papil atropi/edema).
5. Pemeriksaan orbita:
Inspeksi, adanya proptosis, arah proptosis, gangguan gerak mata partial/total, arah
habatan gerak, keadaan jaringan disekitarnya seperti tanda rubor; pelebaran palpebra
atau fissure palpebra; palpasi, teraba/tidak terabanya tumor;rabaan
kenyal/keras/lunak; dapat digerakkan dari dasar/tidak; pulsasi, ada bruit/tidak.
6. Pemeriksaan fisik: adanya benjolan/keluhan kronis pada organ lain.
7. Pemeriksaan penunjang radiologi
a. Foto orbita baku
b. USG
c. CT-Scan
d. Arteriografi
e. MRI
8. Pemeriksaan penunjang khusus
a. Laboratorium
b. Penanda ganas
9. Pemeriksaan fisik
Mencari adanya tumor di organ lain tubuh
10. Pemeriksaan patologi anatomi
a. Potong beku
b. Patologi paraffin blok
c. Pewarnaan khusus imunohistokimia.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Identitas: umur (anak, dewasa muda, dan tua)
2. Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus di kelopak mata dan putih mata, lama
gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
3. Pemeriksaan mata tanpa slit lamp:
a. Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva dengan permukaan
benjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan antibiotika,
dengan lama gejala yang kronis-diagnosis tumor ganas epithel adneksa
(basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar meibom; atau
melanoma maligna).
b. Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fissure yang
melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda-diagnosis
tumor primer orbita jinak.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 72


c. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang disekitar massa tumor, gejala
dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua-diagnosis tumor primer orbita
ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan suatu proses
inflamasi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Identitas: umur (anak, dewasa muda, dan tua)
2. Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus di kelopak mata dan putih mata, lama
gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
3. Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slit lamp:
a. Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva dengan permukaan
benjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan antibiotika,
dengan lama gejala yang kronis-diagnosis tumor ganas epithel adneksa
(basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar meibom; atau
melanoma maligna).
b. Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fissure yang
melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda-diagnosis
tumor primer orbita jinak.
c. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang disekitar massa tumor, gejala
dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua-diagnosis tumor primer orbita
ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan suatu proses
inflamasi.
4. Pemeriksaan orbita:
Pengukuran adanya proptosis dengan menggunakan alat Hertel atau penggaris di
kantus lateral ke ujung kornea.
5. Pemeriksaan penunjang radiologi:
Foto orbita baku-pada tumor primer orbita jinak diharapkan gambaran perselubungan,
phlebolith, atau pembesaran rongga orbita, pada tumor primer orbita ganas dan
metastasis/invasi diharapkan gambaran destruksi tulang.
6. Pemeriksaan patologi anatomi:
a. Benjolan/ulkus di palpebra-konjungtiva yang meragukan keganasan dapat
dilakukan biopsi eksisi/insisi untuk specimen pemeriksaan patologi anatomi.
b. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi insisi sebagai
bahan specimen pemeriksaan patologi anatomi.

Perhatian khusus: untuk tumor yang berlokasi di kelenjar lakrimal tidak


diperkenankan untuk melakukan biopsi insisi. Tindakan yang dianjurkan adalah
biopsi eksisi (intoto) melalui orbitotomi lateral.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 73


Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)
1. Identitas: umur (anak, dewasa muda, dan tua)
2. Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus di kelopak mata dan putih mata, lama
gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
3. Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slit lamp:
a. Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva dengan permukaan
benjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan antibiotika,
dengan lama gejala yang kronis-diagnosis tumor ganas epithel adneksa
(basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar meibom; atau
melanoma maligna).
b. Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fissure yang
melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda-diagnosis
tumor primer orbita jinak.
c. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang disekitar massa tumor, gejala
dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua-diagnosis tumor primer orbita
ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan suatu proses
inflamasi.
4. Pemeriksaan orbita:
a. Pengukuran adanya proptosis dengan menggunakan alat Hertel.
b. Arah terdorongnya bola mata: bola mata ke nasal bawah:massa temporal atas
(kelenjar lakrimal) usia muda, pertumbuhan lambat: benign mixed tumor usia
muda/tua, pertumbuhan cepat: adenoid kistik karsinoma atau keganasan lain
bola mata ke inferior: massa berada di superior-umumnya neurilemmoma atau
kista dermoid di bola mata terdorong infero-temporal: massa berada di nasal
tumor beasal dari sinus frontal, dapat mukokel atau keganasan dari epithel
sinus (karsinoma sel skuamosa) bola mata terdorong aksial: massa berada di
konus-umumnya tumor dari saraf optik terutama pada penderita usia muda,
antara lain glioma,meningioma, dan dapat hemangioma kavernosa bola mata
terdorong ke superior: massa berasal dari inferior kebanyakan tumor ganas
berasal dari sinus maksilla atau jaringan penunjang.
c. Kuadran lokasi massa berada berlawanan dengan arah terdorongnya bola mata
tumor sesuai dengan jaringan/organ yang berada di kuadran tersebut.
d. Ganguan gerak bola partial, tempat hambatan menunjukkan lokasi tumor
(kuadaran lokasi)
e. Pemeriksaan pulsasi: bila positif-tumor dapat berupa neurofibroma atau jika
diketahui didahului trauma/hipertensi pada orang tua dapat differensiasi
dengan arteri-vena fistula.
f. Jika tumor dapat diraba, dinilai kekenyalannya. Jika teraba lunak dapat
dicurigai tumor bersifat ganas.
5. Pemeriksaan penunjang radiologi:

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 74


a. USG: pemeriksaan tidak invasive,penilaian lebih dititik beratkan pada ada
tidaknya tumor dan reflek tumor. Pemeriksaan USG sukar untuk
mendifferensiasikan jenis tumor.
b. CT-Scan: pemeriksaan ini cukup untuk mendiagnosis tumor orbita serta
membantu untuk penentuan penatalaksanaan selanjutnya. Untuk membedakan
sifat tumor, jinak atau ganas dengan menilai batas tumor.
c. Pemeriksaan MRI dan arteriografi pada kasus khusus yang mencurigai fistula
atau ingin mengetahui tumor berasal dari saraf optik.
6. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam membedakan sifat ganas tumor. Akan
tetapi pemeriksaan penanda ganas tidak ada yang spesifik untk tumor orbita,
tetapi dengan penanda ganas asam sialat menunjukkan nilai kadar yang berbeda
bermakna.
7. Pemeriksaan fisik: untuk mencari adanya keganasan atau metastasis.
8. Pemeriksaan patologi anatomi:
a. Benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva yang meragukan keganasan dapat
dilakukan biopsi eksisi untuk specimen pemeriksaan patologi anatomi.
b. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi insisi
sebagai bahan specimen pemeriksaan patologi anatomi, kecuali bila lokasi
di daerah kelenjar lakrimal.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tumor orbita dapat terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Non bedah: pengobatan dengan steroid
2. Pembedahan:
a. Biopsi eksisi/insisi.
b. Eksisi luas dan rekonstruksi.
c. Enukleasi dengan/tanpa dermofatgraft
d. Orbitotomi lateral.
e. Osteoplasti orbitotomi transkranial.
3. Pengobatan tambahan (adjuvant therapy): radiasi dan sitostatika.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan
pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2
mg/kgBB)setiap hari selama 2minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika
tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk.
2. Pada tumor epithel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan
ekstirpasi dengan meninggalkan jaringan sehat. Pada tumor epithel yang dicurigai
ganas, dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 75


ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjtkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.
Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk.
3. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas,
ataupun metastasis/invasi, sebaiknya langsung dirujuk.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan
pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2
mg/kgBB)setiap hari selama 2minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika
tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk.
2. Pada tumor epithel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan
ekstirpasi dengan meninggalkan jaringan sehat. Pada tumor epithel yang dicurigai
ganas, dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang
ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjtkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.
Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk.
3. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas,
ataupun metastasis/invasi, sebaiknya langsung dirujuk. Jika memungkinkan dapat
dilakukan tindakan biopsi insisi untuk pemeriksaan patologi.
4. Penetalaksanaan selanjtnya dapat dirujuk untuk tindakan pembedahan, radiasi,
ataupun sitostatika.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan
pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2
mg/kgBB)setiap hari selama 2minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika
tidak berhasil dapat diberikan sitostatika agent seperti chlorambucil.dengan
pengawasan ahli hematology.
2. Pada tumor epithel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan
ekstirpasi dengan meninggalkan jaringan sehat. Pada tumor epithel yang dicurigai
ganas, dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang
ditinggalkan. Pada tumor yang lebih luas, eksisi dengan rekonstruksi. Pada tumor
yang lanjut dan telah berinvasi ke orbita dilakukan tindakan pembedahan radikal
eksenterasi orbita. Pengobatan tambahan radiasi atau sitostatika dapat diberikan. Pada
tumor konjungtiva, karsinoma sel skuamosa stadium 1 setelah ekstirpasi tumor dapat
dilanjutkan dengan pemberian mitomycin. Pemeriksaan patologi jaringan tumor harus
dilakukan.
3. Pada tumor orbita, baik jinak, ganas, ataupun metastasis/invasi sebaiknya dilakukan
tindakan biopsi insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan sebelumnya
dengan melakukan pemeriksaan penunjang, terutama CT-Scan untuk mengetahui
dengan tepat lokasi tumor.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 76


4. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan, jenis pembedahan sesuai dengan lokasi dan
jenis tumor. Pemberian terapi tambahan radiasi dan sitostatika dapat diberikan sesuai
kebutuhan dan sesuai dengan patogenesa jenis tumor, dengan kerja sama antar
disiplin.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 77


DIABETIC RETINOPATI

Diabetic retinopati adalah suatu mikroangiopati yang mengenai prekapiler retina, kapiler
dan venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat
kadar gula darah yang tinggi dan lama. Terapi yang ada saat ini adalah laser
fotokoagulasi, vitrektomi dan krioterapi. Hasil pengobatan laser fotokoagulasi lebih
kearah mempertahankan penglihatan yang dibandingkan memperbaiki. Terapi vitrektomi
lebih keaah memperbaiki kerusakan yang ada, dengan prognosis tergantung kerusakan
yang ada. Kontrol gula darah penting untuk memperlambat proses. Diabetic retinopati
akan selalu timbul, umumnya lebih diatas 5 tahun, walaupun gula darah selalu terkontrol.

Gejala dan tanda klinis


1. Riwayat kencing manis (NIDDM/IDDM)
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan visus.
3. Berubahnya ukuran kacamata dalam waktu yang singkat.
4. Bilik mata depan (BMD) tenang, tapi dapat ditemukan tanda peradangan ringan
seperti flare dan sel ringan.
5. Pada keadaan berat dapat ditemukan neovaskularisasi iris (rubeosis iridis).
6. Reflek cahaya pada pupil normal, pada kerusakan retina yang luas dapat ditemukan
RAPD (Relative Aferen Pupillary Defect), penurunan reflek pupil pada cahaya
langsung dan tal langsung normal.
7. Vitreus jernih, dalam keadaan berat dapat ditemukan perdarahan dan jaringan fibro
vascular.
8. Retina dapat ditemukan perdarahan pre, intra, dan subretina, eksudat keras dan lunak,
pelebaran vena, mikro aneurisma dan neovascularisasi di papil atau ditempat lain di
retina.

Evaluasi
Pemeriksaan dilakukan pada semua penderita diabetes pada saat pertama kali datang.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan visus, tekanan bola mata, segmen anterior dan segmen
posterior.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Anamnesis semua penderita diabetes mengenai keluhan penglihatan
2. Pemeriksaan visus dengan snellen chart
3. Pemeriksaan TIO dengan tonometri Schiotz
4. Pemeriksaan reflek cahaya pada pupil baik langsung maupun tidak langsung.
5. Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan oftalmoskop direk, apakah ada
perdarahan, eksudat, atau kekeruhan vitreus

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 78


Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)
1. Pemeriksaan mata dasar meliputi visus, TIO, kedudukan bola mata, pergerakan bola
mata, segmen anterior dan posterior.
2. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp untuk melihat apakah
ada epiteliopati kornea, flare dan sel BMD, RAPD, neovaskularisasi iris, tingkat
kekeruhan lensa, kekeruhan vitreus.
3. Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop indirek, untuk
melihat kekeruhan vitreus karena perdarahan atau adanya jaringan fibro-vaskular,
perdarahan retina, eksudat, pelebaran vena, intra retinal mikrovascular anomaly
(IRMA) dan neovaskularisasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Selain pemeriksaan mata dasar dilakukan penunjang antara lain:
1. Fundus fluorescence Angiography (FFA),dilakukan apabila ada indikasi.
2. USG, bila terdapat kekeruhan media dan fundus tidak tembus.
3. ERG.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Selksi pasien, ada diabetes atau tidak. Bila ditemukan adanya diabetes melitus, pasien
dikonsulkan ke dokter spesialis penyakit dalam untuk mengontrol gula darahnya dan
apabila dari anamnesis penyakit diabetes diderita sudah lebih dari 2 evaluasi lebih
lanjut. Apabila diabetes diderita kurang dari 2 tahun, pasien pasien dikonsul bilamana
keadaan memungkinkan.
2. Apabila dari anamnesis tidak diketahui lamanya diabetes diderita.
3. Apabila funduskopi tersedia dan gambaran fundus dapat dinilai, adanya retinopati
merupakan indikasi untuk rujukan ke tingkat yang lebih tinggi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Seperti tindakan pada PEC.
2. Pasien dengan diabetic retinopati stadium non proliferatif(NPDR) ringan dan sedang,
dievaluasi setiap 3 bulan kontrol gula darah dilakukan oleh dokter spesialis penyakit
dalam.
3. Pasien dengan NPDR berat, yaitu apabila ditemukan salah satu dibawah ini:
a. Perdarahan intra retina 4 kwadran
b. Pelebaran vena 2 kwadran.
c. Intra retina mikrovaskular abnormalism 1 kwadran.
Pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tertier.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 79


4. Pasien dengan proliferatif diabetic retinopati (PDR), yaitu dengan adanya perdarahan
vitreus dan pertumbuhan jaringan fibro vascular di vitreus, dirujuk ke pelayanan
kesehatan mata tersier.
5. Apabila ditemukan katarak yang mempersulit evaluasi segmen posterior, dapat
dilakuka operasi,dengan penjelasan akan prognosis penglihatan dan kemungkinan
retinopati bertambah berat setelah operasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti tindakan pada SEC
2. Pasien dengan NPDR berat dengan/tanpa CSME, dilakukan terapi fotokoagulasi laser
3. Operasi vitrektomi dilakukan apabila terdapat perdarahan vitreus,pertumbuhan
jaringan fibrovaskular di retina, persistent macular edema dan ablasio retina traksi.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 80


DEGENERASI MACULA KARENA USIA (age Related Macular Degeneration
[ARMD])

Defenisi secara umum adalah kerusakan macula degeneratif pada usia diatas 50 tahun.
Terdapat 2 bentuk yaitu tipe basah (20%) dan tipe kering (sekitar 80%). Tipe basah
merupakan tipe yang lebih progresif, yang dapat menimbulkan kerusakan macula dan
menyebabkan kebutaan permanent apabila berlangsung tanpa pengobatan. Kerusakan
tersebut terjadi dalam sekitar 2 minggu sejak ditemukan. Kerusakan pada salah satu mata
berarti resiko timbul pada mata sebelahnya meningkat 10-12 % pertahun seiring
bertambahnya usia, sehingga usia semakin tua resiko semakin tinggi. Faktor resiko
adalah usia lanjut (usia semakin lanjut resiko semakin tinggi), riwayat keluarga, merokok,
hipertnsi, dan hipermetropia.

Gejala dan tanda klinis


Geala klinis
1. Kehilangan penglihatan sentral/parasentral secara bertahap, pada tipe basah
berlangsung lebih cepat (sekitar 2 minggu). Kehilangan ini dapat berlangsung tanpa
gejala apabila penderita tidak menyadari, terutama bila penglihatan pada mata
sebelahnya masih baik.
2. Pada kondisi awal, penderita mengeluh melihat benda/garis lurus melengkung
(metamorfopsia) dan akan lebih jelas bila menggunakan uji Amsler.

Tanda klinis
1. Pada kondisi awal, pada funduskopi ditemukan lesi di macula berupa drusen,
pengumpulan pigmen epitel retina (RPE) di retina luar, atropi RPE, atropi geografik,
atau lesi neovaskular (choroidal neovascular membrane [CNVM]), di
macula/paramacula dan pada keadaan lebih lanjut timbul skotoma/bintik buta
disentral/parasentral.
2. Pada tipe basah sering ditemukan perdarahan subretina, eksudat subretina, fibrosis
subretina (jaringan parut disciformis) atau perdarahan preretinal/subhyaloid hingga
perdarahan vitreus.
3. Kelainan yang ditemukan umumnya bilateral.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Anamnesis mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas.
Kecurigaan akan ARMD memerlukan uji pemeriksaan Amsler, apabila ditemukan
metamorfobsia, skotoma atau gambaran lain yang meragukan maka kemungkinan ARMD
harus disingkirkan sampai terbukti tidak. Kesulitan akan timbul apabila ada katarak,

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 81


mengingat penderita adalah usia diatas 50 tahun. Apabila ada kecurigaan, penderita
dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tersier (TEC) yang memiliki fasilitas untuk
diagnostic dan pengobatan. Setiap pemeriksaan harus diperiksa kedua mata.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Melakukan evaluasi seperti pelayanan di PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus
untuk evaluasi macula/posterior pole dengan seksama. Pemeriksaan menggunakan
funduskopi langsung/tidak langsung, lensa condensed 60-90 D atau lensa kontak
fundus. Pemeriksaan dengan fluoresens angiograpi atau kampimetri dapat dilakukan bila
tersedia. Pemeriksaan di SEC sudah dapat menentukan apakah kasus tersebut
memerlukan tindakan lebih lanjut. Kasus dengan sikatriks macula luas (geografik atropi)
dan tajam penglihatan yang buruk sudah tidak memerlukan pemeriksaan fluoresen
angiograpi (FA), kampimetri dan tidak perlu pengobatan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan seperti di SEC, pemeriksaan FA, kampimetri, elektrofisiologi.
Angiografi ICG dan OCT hanya bila ada harapan untuk pengobatan/tindakan lebih lanjut.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC) dan sekunder (SEC)
Apabila tidak ada kecurigaan, tetapi ada keluhan, penderita dapat melakukan uji Amsler
sedikitnya setiap minggu, umumnya dengan meletakkan kartu uji Amsler di depan
cermin. Saat ini tidak ada pengobatan terpilih untuk ARMD, tetapi pemberian suplemen
oral yang mengandung anti oksidan seperti vitamin A,C, dan E dan mineral traceseperti
selenium, zincum sudah terbukti bermanfaat sebelum ada kerusakan, disamping
mengurangi faktor resiko seperti disebutkan sebelumnya.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan sepeerti pada PEC dan SEC. apabila ditemukan CNVM maka
tindakan laser harus dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 72 jam setelah FA.
Laser Argon hijau/hijau-biru, diode hijau/merah diberikan pada daerah luar fovea
avascular zone (FAZ). FAZ adalah daerah 500 mikron di fovea. Lesi CNVM yang
mengenai daerah FAZ memerlukan evaluasi seksama tentang tipe lesi, tipe klasik,
tersembunyi (occult) atau campuran, dan jenis lainnya seperti pigmen epithelial
detachment, subretinal hemorrhage, dsb. Fotodynamic therapy (PDT) hanya
diindikasikan pada lesi yang mengenai FAZ dan lesi klasiknya minimal mencapai 50%.
Pada lesi tersembunyi campuran; pigmen apithelial detachment, subretinal hemorrhage;

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 82


saat ini tindakan yang sudah dilaporkan bermanfaat adalah transpupillary thermotherapy
(TTT) dan macular translocation surgery.
Pada pusat layanan dimana tersedia laser Argon/diode dan pasien mempunyai lesi
CNVM yang mengenai fovea dengan ukuran lesi < 3,5 disc area, pengobatan laser
thermal dapat dilakukan jika pasien menolak untuk tindakan TTT/ PDT/ macular
translocation

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 83


ENDOFTALMITIS

Endoftalmitis adalah infeksi intraokuler yang umumnya melibatkan seluruh jaringan


segmen anterior dan posterior mata. Penyakit ini berhubungan dengan proses infeksi
(infectious endophthalmitis), atau kelainan non infeksi (non infectious endophthalmitis)
seperti sisa massa lensa, substansi toksik yang mengakibatkan respons inflamasi (steril
endophthalmitis). Penyakit ini umumnya didahului oleh trauma tembus pada bola mata,
ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (seperti ekstraksi katarak, operasi
filtrasi, vitrektomi). Endoftalmitis dapat juga terjadi secara endogen akibat
mikroorganisme menyebar melalui darah (hematogen) dari sumber infeksi lain, terutama
pada pasien dalam keadaan imunokompromis. Angka kejadian endoftalmitis pasca
operasi katarak di Negara maju adalah 0,1 %.

Gejala klinis
1. Penurunan tajam penglihatan
2. Mata merah, bengkak, nyeri.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Riwayat trauma tembus bola mata, riwayat operasi intraokuler atau keadaan infeksi
kornea yang memburuk yang ditemukan saat anamnesis.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan menggunakan pin-hole.
3. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea, bilik mata
depan, dan penurunan refleks fundus.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Seperti pada fasilitas primer.
2. Pada pasien pasca operasi intraokuler, disebut akut apabila endoftalmitis ditemukan
1-14 hari pasca operasi an kronik setelah lebih 2 minggu.
3. TIO diukur dengan tonometri Schiotz apabila kornea intak atau per palpasi apabila
didapatkan keratitis/ulkus kornea.
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen anterior
lainnya:
a. Keadaan luka operasi buruk, seperti jahitan longgar, wound gap, kebocoran luka
operasi, phlebitis.
b. Pada keratitis/ulkus kornea yang menginfiltrasi jauh kedalam kornea, mencari
kemungkinan adanya perforasi kornea atau abses kornea.
c. Respon inflamasi di bilik mata depan berupa cells, flare, dan hipopion.
d. Plak putih di intraokuler

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 84


e. Penurunan refleks fundus
f. Reaksi inflamasi di vitreus berupa cells, flare, apabila keadaan retrolental masih
dapat terlihat.
5. Pemeriksaan USG apabila media refraksi keruh untuk menilai segmen posterior.
6. Pemeriksaan tap vitreus dan cairan bilik mata depan dengan pewarnaan gram, KOH
10 % dan kultur agar darah, tioglikolat, dan saboraoud dan uji resistensi.
7. Pada kasus endoftalmitis yang disebabkan oleh ulkus kornea, dilakukan pemeriksaan
kerokan korna dengan pewarnaan gram, KOH 10 % dan kultur agar darah, tioglikolat,
dan saboraoud.
8. Pada kasus pasca trauma, dilakukan foto roentgen orbita untuk mencari benda asing
intraokuler.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti pada fasilitas sekunder.
2. Pemeriksaan CT-Scan pada kasus trauma tembus untuk mencari benda asing
intraokuler.
3. Pemeriksaan metallocator untuk mencari benda asing metal intraokuler.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pada endoftalmitis diberikan antibiotik topikal dan sistemik spektrum luas.
2. Segera rujuk ke spesialis mata.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pasien dirawat untuk membantu menegakkan diagnosis.
2. Endoftalmitis pasca operasi dan pasca trauma, diberikan antibiotik kombinasi Gram
positif (vankomisin, sefazolin, sefotaxim) dan Gram negatip (gentamisin, tobramisin,
amikasin).intravitreal masing-masing 0,1 ml. intravena antibiotik spektrum luas
(seftazidim, klaforan, dibeksin, gentamisin, tobramisin).
3. Bila disebabkan oleh ulkus kornea:
a. Bila didapatkan bakteri dari pewarnaan Gram dan tidak ditemukan hifa jamur,
berikan antibiotik tetes mata gentamisin, tobramisin, dibekasin fortified atau
golongan kuinolon (ofloxacin, ciprofloxacin) tiap jam, anti biotic golongan fluro
kuinolon per oral seperti ciprofloxacin 2 kali 750 mg.
b. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur, berikan tetes mata natamisin 5% tiap
jam, flukonazol (diflucan, solnazol) tiap jam, dan zalf mata natamisin 5% 3 kali
sehari. Bila pasien mampu, berikan tetes mata amfoteresin B 0,15% tiap jam
(tetes mata amfoteresi B 0,15% dapat dibuat dengan me modifikasi sediaan bubuk
50 mg untuk pemberian intravena). Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 85


didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi pemberian
dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
4. Berikan injeksi intraviteal antibiotika apabila dicurigai endoftalmitis bacterial,
antibiotika yang diberikan haruslah mempunyai spektrum luas dan merupakan
kombinasi dari 2 golongan antibiotika. Umumnya pilihan pertama diberikan
vankomisin 1mg/0,1 ml dan seftazidim 2,25 mg/0,1 ml. pilihan lain sefazolin 2,25
mg/0,1 ml dikombinasi dengan tobramicin 0,1-0,2 mg/0,1 ml.
5. Apabila dicurigai endoftalmitis jamur, berikan injeksi intraviteal amfoteresin B 2,25
mg/0,1 ml. vitreus tap harus dilakukan sebelum dilakukan injeksi intravitreal.
6. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti-
glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO.pemberian analgetik apabila
diperlukan.
7. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam PP sebagai salah satu faktor resiko
ulkus kornea.
8. Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan imunologi mata atau klinik mata tersier
bila tidak didapatkan kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pasien dirawat untuk membantu menegakkan diagnosis.
2. Penatalaksanaan seperti fasilitas sekunder dan dilakukan vitreoktomi pars plana
dengan injeksi intravitreal seperti pada fasilitas sekunder.
3. Bila visualisasi vitreus sulit dilakukan karena kekeruhan kornea, maka lakukan
injeksi antibiotika intravitreal

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 86


RETINOPATI PREMATURITAS (ROP)

Retinopati prematuits atau retinophaty of prematurity (ROP) adalah kelainan retina


vasoproliferatif yang disebabkan imaturitas vascular pada bayi-bayi premature dan BBL
rendah. Kelainan yang terjadi dapat ringan tanpa defek penglihatan, atau progresif hingga
menyebabkan kebutaan. Insiden ROP meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
bayi dengan berat badan makin rendah dan usia gestasi makin muda yang bertahan hidup.
Terapi oksigen pada bayi premature dibuktikan bukan merupakan satu-satunya faktor
penyebab ROP.penyebab ROP adalah multifaktorial, dan berbagai faktor resiko masih
terus diteliti hingga saat ini. Umumnya penyakit ini regresi spontan, dan apabila
dilakukan tindakan laser/krio/bedah umumnya masih ditemukan masalah seperti miopia,
strabismus, ablation dikemudian hari. Tindakan bedah umumnya memberi hasil anatomis
baik, tapi fungsional memelukan evaluasi jangka lama dan hasilnya dapat tidak
menggembirakan.

Gejala dan tanda


1. Setiap bayi dengan resiko ROP sebaiknya menjalani screening atau penapsian untuk
ROP.
2. Kelompok dengan resiko tertinggi terjadinya ROP adalah bayi neonatus dengan usia
gestasi saat lahir 32 minggu atau kurang. Dengan BB lahir 1500 Gram atau kurang.
ROP masih dapat ditemukan paa bayi dengan usia gestasi saat lahir 33-36 minggu
dan BB lahir 1500-2000 gram, dengan keadaan klinis yang buruk/tidak stabil seperti
distress pernafasan, penyakit jantung, dll.
3. Diagnosis ROP dilakukan berdasarkan International Classification of Retinopathy
Prematurity (ICROP), yang menentukan derajat ROP berdasarkan lokasi (zona
I,II,III), luas (jumah kuadran yang terlibat), tingkat keparahan (dalam stadium 1
hinnga 5), dan adanya plus disease.

Klasifikasi ROP menurut ICROP

klasifiasi defenisi
Lokasi:
Zona I Daerah posterior retina berbentuk lingkaran dengan radius 60 (dua
kali jarak papil saraf optik ke pusat macula) dengan papil saraf
optik sebagai pusatnya.

Zona II Lingkaran konsentris diluar zona II, engan ora serata bagian nasal
sebagai batas nasalnya

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 87


Zona III Daerah retina temporal perifer (temporal crescent) yang tersisa

Luas: Daerah lesi dalam hitungan jam


Tingkat
keparahan :
Stadium 1 Terbentuknya garis demarkasi (demarcation line) antara daerah
retina avascular dan vascular
Stadium 2 Ridge intreretina, Diana garis demarkasi sudah menebal, atau
memiliki tinggi, lebar, dan volume

Stadium 3 Proliferasi jaringan fibrovascular ekstraretina (ringan, sedang, atau


berat) pada ridge, di permukaan posterior ridge atau di permukaan
anteriornya (kearah rongga vitreus)

Stadium 4 Ablasi retina subtotal

4A Fovea masih attached

4B Fovea sudah mengalami ablasi

Stadium 5 Ablasi retina total dengan bentuk corong (funnel-shaped) terbuka


(open funnel) atau tertutup (narrow funnel) pada bagian anterior
dan posterior nya

Plus disease Pembuluh darah retina yang melebar dan berkelok-kelok di polus
posterior, yang dapat disertai pelebaran pembuluh darah iris, pupil
yang rigid dan kekeruhan vireus. Plus disease dapat ditemukan pada
semua stadium, dan menggambarkan tingkat keparahan yang makin
tinggi.

Dalam pemeriksaan penting untuk mengidentifikasi adanya threshold disease, yaitu


apabila ditemukan:

1. Di zona I terdapat ROP stadium 1+, 2+, atau 3+.


2. Di zona II terdapat ROP stadium 3+ seluas 5 jam berurutan atau lebih, atau 8 jam
kumulatif atau lebih.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 88


Threshold disease bila disertai plus disease merupakan indikasi untuk melakukan
tindakan terapi laser atau krio. Pada stadium lanjut seperti stadium 4 dan 5 memerlukan
terapi bedah.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Bayi neonatus dengan resiko ROP yang memerlukan screening (seperti tertera dalam
butir A), atau balita/anak dengan kecurigaan riwayat ROP sebaiknya dirujuk ke
pelayanan kesehatan mata sekunder untuk menjalani pemeriksaan.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan dilakukan pada Bayi neonatus dengan resiko ROP yang memerlukan
screening (seperti tertera dalam butir A), atau balita/anak dengan kecurigaan riwayat
ROP
2. Screening ROP sebaiknya dilakukan pada usia 4-6 minggu setelah lahir, atau pada
usia koreksi (usia gestasi + post natal) 31-33 minggu. Pemeriksaan sebaiknya
dilakukan di bangsal perawatan bayi, di lingkungan yang nyaman untuk bayi
(misalnya dalam incubator/box bayi/tempat pemeriksaan bayi dengan pemanas)
dengan manipulasi bayi seminimal mungkin. Pemeriksaan selanjutnya 2-3 minggu
kemudian, dan 1-2 hari apabila ditemukan threshold disease atau plus disease.
3. Teknik pemeriksaan fundus:
a. Setengah jam sebelum pemeriksaan, kedua mata bayi ditetesi tropikamid 0,5%
dan efrisel 2,5% diulang 5 menit kemudian (hanya 2 kali). Obat tetes ini dapat
dibuat dengan mencampur 0,3cc tropikamid dengan 0,1cc efrisel 10%. Setiap
tetes yang keluar dari kelopak mata segera dibersihkan kain yang lembut.
b. Pemeriksaan dilakukan dengan oftalmoskop indirek, menggunakan condensing
lens 20D atau 28D.
c. Pemeriksaan dapat menggunakan spektrum palpebra Barraquer untuk bayi apabila
kesulitan untuk membuka palpebra. Indentasi ringan pada sclera dapat dilakukan
untuk melihat fundus perifer.
4. Berdasarkan hasil pemeriksaan, diagnosis ROP dilakukan menurut klasifikasi ROP
oleh ICROP.
5. Neonatus dirujuk ke TEC apabila ditemukan plus disease, atau threshold disease.
6. Sebaiknya bayi dikonsulkan ke pelayanan kesehatan mata tersier apabila:
a. Tidak dapat melakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop indirek.
b. Dengan oftalmoskop indirek ditemikan/diduga adanya kelainan fundus, tetapi
sukar untuk melakukan klasifikasi ROP.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 89


1. Pemeriksaan dilakukan pada Bayi neonatus dengan resiko ROP yang memerlukan
screening (seperti tertera dalam butir A), atau balita/anak dengan kecurigaan riwayat
ROP
2. Pemeriksaan seperti pada SEC.
3. Pemeriksaan pada balita/anak dengan regresi ROP meliputi pemeriksaan oftalmologis
lengkap, pemeriksaan tajam penglihatan subjektif pada balita/anak dapat dilakukan,
sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan balita/anak.
4. Teknik pemeriksaan fundus seperti pada SEC.
5. Menentukan gambaran fundus neonatus yang merupakan indikasi untuk terapi
laser/krio/bedah.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Bayi neonatus dengan resiko ROP yang memerlukan screening (seperti tertera dalam
butir A), atau balita/anak dengan kecurigaan riwayat ROP sebaiknya dirujuk ke
pelayanan kesehatan mata sekunder untuk menjalani pemeriksaan.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Setiap bayi neonatus premature atau dengan resiko ROP sebaiknya menjalani
pemeriksaan mata selama perawatan.
2. Bila tidak ditemukan ROP atau ditemukan ROP ringan, bayi diperiksa ulang setiap 2-
3 minggu hingga vaskulariasi retina lengkap, atau didapatkan regresi.
3. Bila menemukan threshold disease, plus disease, atau gambaran lain yang meragukan
segera rujuk ke TEC untuk menjalani pemeriksaan/penatalaksanaan lebih lanjut.
4. Pada balita/anak dengan riwayat ROP, dilakukan penatalaksanaan sesuai dengan
kelainan mata yang ditemukan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Setiap bayi neonatus premature atau dengan resiko ROP sebaiknya menjalani
pemeriksaan mata selama perawatan.
2. Bila tidak ditemukan ROP atau ditemukan ROP ringan, bayi diperiksa ulang setiap 2-
3 minggu hingga vaskulariasi retina lengkap, atau didapatkan regresi.
3. Bila menemukan threshold disease, plus disease dan dalam pemantauan 1-2 hari
bertambah berat, segera dilakukan terapi dalam kurun waktu 24-72 jam. Terapi
bersifat ablative, yang pada prinsipnya bertujuan mematikan daerah perifer yang
avaskular.
4. Modalitas terapi meliputi:
a. Krioterapi: sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum karena menyebabkan rasa
sakit yang hebat serta bahaya lainnya seperti bradikardia dan apnea. Krioterapi
menyebabkan kerusakan jaringan yang luas (seluruh ketebalan dinding boa mata).

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 90


b. Fotokoagulasi laser: dengan indirect ophtalmoscope delivery, dapat menggunakan
laser argon atau diode. Prosedur ini tidak menimbulkan kerusakan seluas
krioterapi (lebih terfokus pada jaringan dan tidak melibatkan seluruh ketebalan
dinding bola mata). Selain itu, rasa sakit dan efek sistemik yang terjadi lebih
rendah sehingga laser merupakan pilihan terapi utama. Tindakan ini dilakukan
diruangan neonatal ICU dengan pengawasan neonatologist/anesthetist mengingat
kemungkinan bradikardia apnea tetap ada, atau diruangan lain dengan
pengawasan.
c. Evaluasi ulang dapat dilakukan beberapa hari kemudian tergantung kondisi, dan
kemungkinan terapi tambahan laser/krio/bedah.
5. Bila menemukan ROP stadium 4 atau 5, dapat dilakuka prosedur scleral buckling atau
vitrektomi. Scleral buckling dilakukan pada ablasi retina yang dangkal akibat traksi
jaringan fibrovascular yang mengalami sikatrisasi, terutama bila macula belum
terangkat. Vitrektomi dapat dilakukan dengan atau tanpa pemasangan sceral buckle,
juga dengan atau tanpa lensektomi. Teknik vitrektomi open-sky dilakukan bila
terdapat kekeruhan kornea. Umumnya, prognosis ROP tetap buruk walaupun telah
menjalani tindakan bedah.
6. Bila ditemukan balita/anak dengan resiko ROP, dilakukan penatalaksanaan sesuai
dengan kelainan mata yang ada.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 91


SUMBATAN VENA RETINA

Manifestasi klinis dapat berupa:


1. sumbatan vena retina (central retinal vein occlusion [ CRVO]), bila sumbatan
mengenai seluruh kuadran retina.
2. sumbatan vena retina hemisentral (hemicentral retinal vein occlusion [HCVO]), bila
sumbatan mengenai setengah dari bagian dari retina.
3. sumbatan vena retina cabang (branch retinal vein occlusion [BRVO]), bila mengenai
salah satu kuadaran dari retina, umumnya di superior.
Sumbatan pada aliran vena retina ini akan menimbulkan Tekanan intra vascular yang
meningkat dan hambatan pada aliran darah balik. Peningkatan tekanan intravascular
selanjutnya dapat mmenyebabkan terjadinya edema dan perdarahan. Sumbatan pada
aliran darah balik akan mengakibatkan gangguan perfusi ringan yang dapat menyebabkan
iskemia jaringan retina, dan secara klinis tampak sebagai eksudat lunak (cotton wool spot
[CWS]), atau capillary non perfussion pada pemeriksaan FFA. Luasnya daerah retina
yang iskemi dapat merangsang pertumbuhan neovaskular retina. Faktor-faktor
predisposisi adalah penyakit kardiovaskuler, hipertensi sistemik, diabetes melitus.
Umumnya dibedakan antara tipe iskemik dan non iskemik. Tipe iskemik mempunyai
konsekuensi lebih serius seperti timbulnya komplikasi neovaskularisasi retina hingga
perdarahan vitreus, atau neovaskularisasi iris/ sudut hingga timbul glaukoma
neovaskular.

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
Sumbatan vena retina sentral/ cabang.
Penurunan tajam penglihatan sentral/parasentral secara mendadak tanpa disertai mata
merah.

Tanda klinis
Sumbatan vena retina sentral
1. Perdarahan berbentuk lidah api (flame shaped) luas, mencakup seluruh kuadran
retina, dengan vena retina yang berdilatasi dan berkelok-kelok.
2. Tanda klinis lain yang dapat menyertai berupa eksudat lunak, edema papil saraf optik,
edema macula. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul pembuluh darah kolaeral pada
papil saraf optik, retina atau iris. Neovaskularisasi iris paling jelas terlihat ditepi pupil
dengan pembesaran maksimal pada slit lamp biomicroscopy sebelum dilakukan
dilatasi.
3. Dibedakan 2 jenis:
a. Tipe iskemik, tanda yang umum ditemui:

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 92


1) Eksudat lunak multiple
2) Perdarahan retina luas
3) Capillary non perfusion luas pada pemeriksaan FFA.
4) Kadang disertai dengan relative afferent papillary defect (RAPD).
5) Visus lebih buruk dari 6/60 (20/400).
b. Tipe non iskemik
1) Gambaran fundus secara klinis lebih ringan dari tipe iskemik
2) Tidak ada RAPD.
3) Visus lebih baik dari 6/60.

Sumbatan vena retina cabang


1. Perdarahan retina sektoral, sesuai dengan distribusi vena retina yang mengalami
sumbatan. Perdarahan tidak pernah melewati garis tengah horizontal.
2. Lokasi sumbatan biasanya pada persimpangan arteri-vena.
3. Tanda klinis lain yang dapat menyertai dapat berupa eksudat lunak, edema macula
atau retina, vena retina yang berdilatasi dan berkelok-kelok, penyempitan lumen
arteri, neovaskularisasi iris paling jelas terlihat di tepi pupil dengan pembesaran
maksimal pada slit lamp biomicroscopy sebelum dilakukan dilatasi.
4. Dibedakan antara tipe iskemik dan non iskemik.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Melakukan anamnesis terhadap gejala/keluhan yang timbul serta investigasi terhadap
faktor-faktor predisposisi. Pemeriksaan tajam penglihatan dan segmen anterior sederhana
untuk menemukan tanda-tanda klinis yang berhuungan pada kedua mata. Funduskopi
direk akan sangat berguna dalam menegakkan diagnosis dan melakukan rujukan kasus ke
tingkat yang lebih tinggi (sekunder/ tertier).

Pelayanan kesehatan mata sekunder


Melakukan evaluasi seperti pada pelayanan primer, ditambah dengan pemeriksaan
oftalmologis yang lebih spesifik, seperti:
1. Mengukur TIO
2. Gonioskopi untuk mendeteksi ada tidaknya neovaskularisasi pada sudut bilik mata
depan.
3. Slit lamp biomicroskopi dan funduskopi indirek untuk menilai derajat keparahan
fundus secara keseluruhan dan mengetahui ada tidaknya komplikasi neovaskularisasi.
Apabila ditemukan kecurigaan kearah iskemik, penderita dirujuk ke tingkat TEC untuk
penatalaksanaan lebih lanjut.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 93


Sumbatan vena retina sentral
1. Non iskemik
Setiap 4 minggu pada 6 bulan pertama setelah onset, bila ada perburukan pada
gambaran fundus, maka diperlakukan sebagai tipe iskemik.
2. Iskemik
Setiap 3-4 minggu pada 6 bulan pertama, awasi tanda-tanda neovaskularisasi
terutama di iris atau sudut bilik mata depan. Pemeriksaan gonioskopi dapat dilakukan
pada setiap kunjungan. Bila timbul neovaskularisasi, penderita dirujuk ke TEC untuk
terapi laser.

Sumbatan vena retina cabang


Setiap 1-2 bulan sekali, kemudian dilanjutkan setiap 3-12 bulan, untuk menilai tanda-
tanda edema macula dan neovaskularisasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan evaluasi seperti pada SEC dan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan
lanjutan seperti fluorescence angiograft sudah dapat menentukan jenis iskemik atau non
iskemik dan luasnya kerusakan serta edema macula. Pemeriksaan seperti
elektroretinograft dapat membantu penggolongan lebih tepat, untuk menentukan sikap
selanjtunya. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan untuk menilai luasnya kerusakan.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


Setelah mendapatkan hasil dari investigasi faktor-faktor resiko, penatalaksanaan dapat
diberikan sesuai dengan kelainan sistemik yang ada. Memberikan konseling pada
penderita akan pentingnya mengontrol faktor sistemik serta resiko serangan pada mata
sebelahnya. Penderita dapar di rujuk ke disiplin ilmu lain seperti penyakit dalam apabila
ada penyakit lain/sistemik yang menyertai.

Pelayanan kesehatan mata sekunder


Seperti yang dilakukan pada PEC, selain faktor sistemik, faktor ocular yang dapat diatasi
adalah mengontrol TIO bila ditemukan tinggi (>20 mmHg) dengan obat-obatan anti
glaukoma.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan seperti pada PEC dan SEC, ditambah dengan terapi berupa fotokoagulasi
laser/krio. Pada sumbatan vena retina sentral, fotokoagulasi laser diindikasikan pada tipe
iskemik untuk mencegah komplikasi glaukoma neovaskuler. Sedangkan sumbatan pada
vena retina cabang, selain untuk mencegah neovaskularisasi, diindikasikan juga pada
edema macula. Laser/krio dapat juga diindikasikan untuk mengatasi glaukoma
neovaskuler yang timbul.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 94


Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 95
RETINA LEPAS (Retinal Detachment)

Defenisi secara umum adalah terlepasnya retina dari tempatnya melekat.


Terdapat 3 bentuk retina lepas (detachment), yaitu:
1. Retina lepas dengan robekan (rhegmatogenous)
2. Akibat cairan serous dibawah retina tanpa robekan (exudative) dan
3. Akibat tarikan akibat fibrosis vitreus seperti pada proliferative diabetic retinophaty
(PDR), retinophaty of prematurity (traksial detachment)

Faktor resiko tergantung pada jenis RD, pada yang rhegmatogen adalah miopia, trauma,
vitreus prolaps, dsb. Pada tipe exudative adalah hipertensi, pre-eklampsia/eklampsia,
neoplasma, peradangan intra okuler (Vogt-Koyanagi Harada Disease, posterior scleritis,
dsb). Pada tipe traksial misalnya pada vascular disease sepeerti diabetes lama terutama
juvenile, bendungan vena retina, vasculitis retina, riwayat neonatus premature (ROP) atau
respiratory distress, dsb

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
1. kehilangan penglihatan ringan hingga berat, dengan defek lapang penglihatan.
2. Pada tipr rhegmatogen sering didahului oleh floaters, kilatan cahaya, bayangan hitam
yang berpindah-pindah.

Tanda klinis
Rhegmatogen
1. Ditemukan peniggian retina umumya mulai dari perifer dan dapat mencapai posterior
pole dengan cairan di bawah retina.
2. Retina nampak bergelombang, kadang ditemukan perdarahan vitreus. Di vitreus
ditemukan sel pigmen retina, tanda utama adalah robekan retina dengan cairan
dibawahnya.
3. Umumnya disertai dengan penurunan TIO, retina yang lepas tampak
bergelombang/rugae.
4. Kadang ditemukan afferent papillary defect (APD).
5. Pada yang kronis sering ditemukan pigmen epitel retina berbentuk garis lurus
(demarcation line) membatasi antara daerah retina lepas dengan yang masih melekat,
atau pada yang berat ditemukan fibrosis vitreus berat (proliferative vitreo-
retinophaty) hingga perlekatan retina hebat (star fold, napkins ring fixed fold, sub
retinal band, dsb).

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 96


Exudative
1. Ditemukan retina lepas dengan bentuk permukaan relative mulus, dengan cairan di
bawah retina.
2. Faktor resiko seperti disebutkan sebelumnya juga memberi tanda tersendiri
tergantung jenis penyakit yang menyertai.
3. Tidak ditemukan adanya robeka retina. Cairan sub retina biasanya bullous dengan
bentuk retina lepas sesuai dengan posture/posisi tubuh, cairan mencari tempat yang
paling rendah.
4. Pemeriksaan APD mungkin ditemukan.

Traksial
1. Ditemukan retina lepas, umumnya tidak terlalu tinggi kecuali pada ROP.
2. Retina yang lepas berhubungan dengan traksi/fibrosis yang terjadi didalam vitreus,
dengan detachment paling tinggi ditempat perlekatan traksi/fibrosis.
3. Kadang disertai dengan robekan retina (Combined RD) akibat tarikan fibrosis/traksi.
4. Tanda yang lain dapat ditemukan sesuai dengan penyakit yang mendasari/penyerta.

Pemeriksaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Anamnesis mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas.
Kecurigaan akan retinal detachment memrlukan uji konfrontasi. Pemeriksaan dengan
funduskopi langsung-apabila tersedia-memberi gambaran retina lepas atau perdarahan
retina, fibrosis vitreus dengan perlekatan retina dan tanda lain seperti disebutkan
sebelumnya.

Pelayanan kesehatan mata sekunder


Melakukan evaluasi seperti pada PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus untuk
evaluasi retina. Pemeriksaan fundus sebaiknya dilakukan dengan funduskopi tidak
langsung atau dengan condensed wide angle lens (mainster ocular, super field Volk,
super pupil Volk) atau goldmann 3-mirror.
Seluruh retina lepas harus dianggap sebagai rhegmatogen sampai terbukti tidak
rhegmatogen. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan sebagai penunjang. Pemeriksaan
di SEC sudah dapat menentukan apakah penderita perlu dirujuk atau tidak ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan seperti di SEC dan memutuskan jenis retina lepas. Pemeriksaan,
kampimetri, elektrofisiologi dilakukan bila diperlukan untuk penunjang diagnosis.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC) dan sekunder (SEC)

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 97


Apabila tidak ada kecurigaan tetapi ada keluhan, penderita harus diistirahatkan apabila
mengancam macula, hingga tindakan dilakukan. Semua jenis rhegmatogen yang tidak
mengancam macula atau jenis traksional yang melibatkan macula harus dirujuk
secepatnya, umumnya dalam beberapa hari. Penderita dirujuk ke TEC untuk penanganan
lebih lanjut dengan penjelasan akan faktor resiko dan keberhasilan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan sesuai dengan jenis retina lepas. Pada rhegmatogen akut dan
traksional yang tidak mengancam macula, operasi dilakukan secepatnya, sedangkan yang
kronik dapat dioperasi dalam waktu seminggu. Jenis operasi (scleral buckling atau
vitrektomi) tergantung kondisi yang ditemukan, dan jenis vitreus tamponade ditentukan
oleh keadaan yang ditemukan oleh keadaan yang ditemukan pre-operative dan durante
operasi, kondisi mata sebelahnya dan mobilitas penderita.
Tipe exudative memerlukan pengobatan sesuai dengan penyakit yang mendasari.
Keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki retina yang lepas.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 98


KEBUTAAN MENDADAK (ACUTE BLINDNESS)

Acute blindness adalah suatu keadaan buta mendadak. Pada keadaan yang mengenai
sarak optik, keadaan ini dapat disebabkan oleh inflamasi atau gangguan vaskularisasi.
Bila disebabkan inflamasi, keadaan ini dapat mengenai semua golongan umum, tapi
umumnya akan mengenai golongan usia muda.
Gangguan vaskularisasi biasanya akan dijumpai pada golongan usia yang lebih tua pada
penderita yang memang sebelumnya telah mempunyai kelainan sistemik yang dapat
berpengaruh pada system hemorheologi.

Gejala dan tanda klinis


Gejala Klinis
Pasien mengeluh penglihatannya hilang mendadak. Hilangnya penglihatan dapat hingga
gelap total, dapat mengenai sebagian atau seluruh lapang pandangan.
Umumnya pada satu mata.

Tanda Klinis
1. Biasanya mengenai satu mata, kecuali pada penyebab sistemik seperti intoksikasi
methanol
2. Tajam bervariasi dari hitung jari hingga no light perception (NLP)
3. Pada pemeriksaan lapangan pendangan, dapat mengenai seluruh atau sebagian
lapangan pandangan. Bila mengenai sebagian lapangan pandangan, biasanya berupa
skotoma arcuata, altitudinal hemianopsia atau quadranopsia.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Anamnesis untuk mencari kemungkinan intoksikasi (methanol) atau trauma okuli.
2. Pemeriksaan oftalmologi sederhana terdiri dari pemeriksaan tajam penglihatan,
lapang pandangan (tes konfrontasi), serta pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop
bila memungkinkan.

Pelayanan kesehatan mata skunder (SEC)


1. Anamnesa lengkap.
2. Pemeriksaan oftalmologi lengkap, terdiri atas:
a) Pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik.
b) Pemeriksaan segmen anterior mata dengan slit lamp.
c) Pemeriksaan segmen posterior dengan oftalmoskop direk/indirek.
d) Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer aplanasi.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 99


e) Pemeriksaan lapang pandangan dengan kampimeter Goldman.
3. Pemeriksaan laboratorium lengkap.
4. Pemeriksaan Rontgen orbita/kepala bila diketahui adanya riwayat trauma
kapitis/okuli.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Anamnesis lengkap.
2. Pemeriksaan oftamologi lengkap, ditambah dengan automatic computerized
perimetry serta elektrofisiologi penglihatan (VEP).
3. Pemeriksaan CT scan kepala/orbita bila diketahui adanya riwayat trauma
kapitis/okuli.
4. Pemeriksaan laboratorium lengkap.
5. Pemeriksaan oftalmologi tambahan untuk mencari kemungkinan functional blindness.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila disebabkan oleh inflamasi, berikan steroid secara intravena atau peroral.
2. Bila penyebabnya adalah gangguan vaskularisasi, berikan obat-obat untuk
memperbaiki vaskularisasi.
3. Bila terdapat penyakit sistemik yang dapat menjadi penyebab, atasi penyebab
sistemiknya.
4. Bila penyebabnya adalah trauma kapitis/okuli, sebaiknya segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan yang lebih tinggi.
5. Bila penyebabnya adalah functional blindness, penderita dapat dirujuk ke psikiater.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pada dasarnya sama dengan penatalaksanaan di fasilitas SEC, akan tetapi bila
pemeriksaan laboratorium untuk system hemorheologi dijumpai adanya kelainan,
sebaiknya segera dirujuk ke bagian Hematologi.
2. Bila penyebabnya adalah intoksikasi (methanol), dapat diberikan injeksi etanol secara
intravena.
3. Bila pada CT scan kepala/orbita tidak ditemukan tanda-tanda fraktur orbita, dapat
diberikan steroid intravena.
4. Bila ditemukan adanya interval lucide, pasien dapat segera dirujuk ke Bedah Saraf.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 100


AMAUROSIS FUGAX

Amaurosis fugax adalah hilangnya penglihatan sesaat, dapat beberapa detik hingga
beberapa menit. Biasanya juga disebut transient obscuration. Dapat terjadi pada semua
golongan umur, tetapi amat jarang didapatkan pada anak-anak. Penderita amaurosis fugax
biasanya mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti diabetes melitus, hipertensi,
hiperlipidemia, polisitemia dan kelainan darah lain yang menyebabkan darah menjadi
lebih kental serta lebih cepat membeku.

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
Pasien mengeluh penglihatannya hilang sesaat. Hilangnya penglihatan dapat mengenai
sebagian atau seluruh lapang pandangan. Lamanya hilang penglihatan dapat beberapa
detik hingga beberapa menit, dapat mencapai 30 menit, untuk kemudian penglihatan
kembali seperti semula. Hilangnya penglihatan dapat juga terjadi pada perubahan posisi
tubuh, misalnya dari duduk tiba-tiba berdiri, menegakkan kepala secara mendadak,dsb.

Tanda klinis
Pada pemeriksaan oftalmologi biasanya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan terutama
ditujukan untuk mencari etiologi.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Anamnesis lengkap mengenai hilangnya penglihatan sesaat tersebut, lamanya hilang
penglihatan, apakah berhubungan dengan perubahan posisi tubuh.
2. Pemeriksaan yajam penglihatan terbaik. Bila perlu sekaligus dengan pemeriksaan
refraksi.
3. Pemeriksaan oftalmologi untuk segmen anterior maupun segmen posterior dengan
menggunakan senter dan lup serta oftalmoskop direk.
4. Pemeriksaan lapang pandangan dengan tes konfrontasi.
5. Pemeriksaan penglihatan warna dengan buku iscihara.
6. Pemeriksaan status generalis serta laboratorium darah rutin.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Seperti pada PEC, ditambah dengan:
1. Pemeriksaan lapang pandangan dengan kampimetri Goldmann.
2. Pemeriksaan oftalmologi lengkap.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab sistemik.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 101


4. Pemeriksaan X-Ray untuk melihat kemungkinan adanya SOL/peningkatan tekanan
intra cranial.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan oftalmologi lengkap.
2. Pemeriksaan laboratorium lengkap.
3. Pemeriksaan Hemorheologi.
4. Pemeriksaan CT-Scan kepala untuk mencari kemungkinan adanya SOL/peningkatan
intra cranial.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila terdapat kelainan sistemik, pengobatan diberikan sesuai dengan penyebabnya.
2. Bila terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan itra cranial, dapat diberikan preparat
asetazolamide.
3. Berikan obat-obat pengencer darah bila tidak ditemukan tanda-tanda peningkatan
tekanan intra cranial.
4. Rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila terdapat SOL, segera rujuk ke Bedah Saraf.
2. Bila terdapat kelainan pada system pembekuan darah/hemorheologi, segera dirujuk ke
bagian Hemotologi.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 102


KEHILANGAN PENGLIHATAN BERLANJUT KRONIS
(Chronic Progressive Visual Loss)

Chronic progressive visual loss adalah hilangnya/turunnya fungsi penglihatan secara


perlahan-lahan. Yang dimaksud dengan fungsi penglihatan disini adalah tajam
penglihatan atau lapang pandangan. Penyebab keadaan ini biasanya berupa proses
degenerasi, intoksikasi atau kompresi. Keadaan ini dapat mengenai segala umur serta
tidak ada predisposisi jenis kelamin.

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
1. Pasien mengeluh penglihatannya mundur secara perlahan-lahan.
2. Apabila gangguan pada lapang pandangan, pasien mengeluh bila berjalan sering
tersandung atau menabrak-nabrak.

Tanda klinis
1. Tajam penglihatan mundur.
2. Lapang pandangan menyempit.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Anamnesis lengkap untuk mengetahui kemungkinan intoksikasi (etambutol), penyakit
herediter (retinis pigmentosa, glaukoma), degeneratif (ARMD, retinopati) atau tanda-
tanda peningkatan tekanan intra cranial (sakit kepala, muntah)serta kompresi pada
kiasma (siklus haid).
2. Pemeriksaan tajam penglihatan terbaik dengan snellen chart.
3. Bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan refraksi dan diberikan koreksi kaca mata
terbaik. Bila tidak memiliki sarana untuk pemeriksaan tersebut, dapat dilakukan tes
pin-hole.
4. Pemeriksaan lapang pandangan dengan tes konfrontasi.

5. Pemeriksaan penglihatan warna dengan buku iscihara


6. Pemeriksaan reflek pupil dengan menggunakan lampu senter.
7. Pemeriksaan fundus okuli dengan oftalmoskop direk.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik. Pemeriksaan refraksi
hendaknya dilakukan secara subyektif maupun objektif.
2. Pemeriksaan lapang pandangan dengan perimetri kinetic Goldmann.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 103


3. Pemeriksaan oftalmologi, baik untuk segmen anterior maupun segmen posterior.
Untuk segmen anterior hendaknya menggunakan slit lamp, sedang untuk segmen
posterior menggunakan oftalmoskop direk/indirek atau lensa +90 D.
4. Pemeriksaan penglihatan warna dengan menggunakan buku iscihara atau test
fansworth-munsell bila ada.
5. Pemeriksaan roentgen foto orbita maupun kepala. Bila perlu pemeriksaan sella
khusus. Pemeriksaan CT-Scan orbita ataupun kepala bila sarana memungkinkan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik. Pemeriksaan refraksi
hendaknya dilakukan secara subyektif maupun objektif menggunakan streak
retinoskop serta autorefraktometer.
2. Pemeriksaan lapang pandangan dengan perimetri kinetic Goldmann atau automatic
perimetri (Humphrey atau Octopus).
3. Pemeriksaan oftalmologi, baik untuk segmen anterior maupun segmen posterior.
Untuk segmen anterior hendaknya menggunakan slit lamp, sedang untuk segmen
posterior menggunakan oftalmoskop direk/indirek atau lensa +90 D.
4. Pemeriksaan elektrofisiologi untuk elektroretinografi maupun visual evoked potential
(VEP).
5. Pemeriksaan CT-Scan atau MRI orbita atau kepala.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi. Bila penyebabnya bukan kelainan
refraksi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Dicari penyebab kearah kemungkinan adanya glaukoma (TIO, kampus dan sudut bilik
mata depan).
1. Bila ditemukan ada glaukoma, maka pasien diberikan terapi (medikamentosa atau
bedah).
2. Bila penyebabnya adalah intoksikasi etambutol, segera hentikan pemberian etambutol
dengan sepengetahuan dokter yang memberikan etambutol.
3. Bila terdapat tanda-tanda peningkatan ekanan intra cranial, rujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi/ bedah saraf.
4. Bila terdapat tanda-tanda proses degeneratif pada mata, rujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan mata yang lebih tinggi.
5. Bila penyebabnya adalah penyakit yang bersifat herediter, dapat diberikan penjelasan
kepada pasien mengenai kemungkinan-kemungkinan nya.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 104


Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)
1. Sama dengan SEC.
2. Bila ditemukan penyebab, segera dirujuk sesuai dengan penyebab.
3. Bila penyebabnya adalah proses degeneratif/ herediter, dapat dilakukan konseling.
4. Low vision aid yang sesuai.

Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Mata 105

Anda mungkin juga menyukai