Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, selain tiga
tambang di Garut, satu tambang ilegal lain di wilayah Cihonje, Sumedang, Jawa Barat, juga
ditutup.
Empat-empatnya tidak memilik izin usaha pertambangan, kata Yusri saat ditemui di
Markas Polda Jawa Barat, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Senin (7/8/2017).
Baca juga: Demo Tolak Tambang Pasir Laut, Ratusan Nelayan Bentrok dengan Polisi
Yusri menambahkan, penindakan terhadap tambang ilegal dilakukan sejak tanggal 28 Juli
2017 lalu. Ditkrimsus Polda Jawa masih terus melakukan pemantauan di lokasi-lokasi lain,
terutama di Garut yang disinyalir merusak lingkungan.
Pengaduan masyarakat mulai banyak karena adanya kerusakan lingkungan di daerah hutan
lindung. Kita masih memantau di daerah lain, sambungnya.
Di tempat yang sama, Kepala Subdit IV Ditkrimsus Polda Jawa Barat, AKBP Dony Eka
Putra, menambahkan, tiga tambang yang ditutup di Garut kedapatan merusak lingkungan di
kawasan Gunung Guntur.
Tambang-tambang ini tidak punya izin usaha penambangan. Dari Pemerintah Provinsi Jawa
Barat juga menyatakan tambang-tambang ini tidak punya izin. Kita sudah periksa 12 saksi
dan lokasi tambang kita police line, aku Dony.
Selain tidak berizin, lanjut Dony, tambang-tambang pasir ilegal tersebut juga beroperasi di
daerah rawan bencana (KRB). Diduga kuat tambang-tambang pasir tersebut ikut andil dalam
peristiwa banjir bandang yang menerjang sebagian wilayah Kabupaten Garut.
Nilai kerugian masih kita hitung. Tambang-tambang ini memang berdiri di lokasi zona
merah rawan longsor, tandasnya.
Baca juga: Dinilai Rugikan Petani, Tambang Pasir di Geger Madiun Ditutup
Belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus tambang ilegal tersebut. Namun, secara
hukum perusahaan perusahaan tambang tersebut telah menyalahi Pasal 158 Undang-undang
No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan ancaman hukuman 10
tahun penjara atau denda paling banyak Rp 10 miliar.
TEMPO.CO, Garut - Satgas Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu Provinsi Jawa Barat,
kembali memasang portal besi di kaki Gunung Api Guntur yang berada di Kecamatan
Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Pemasangan portal ini menyusul karena maraknya
kembali galian pasir ilegal di sekitar kaki Gunung Guntur.
Padahal sebelumnya, galian pasir di kawasan Cagar Alam ini telah dilakukan penutupan oleh
Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, pada April 2015 lalu. Pada saat itu sebanyak 18
buah portal dipasang di jalan keluar masuk menuju lokasi tambang.
Portal yang sekarang lebih kuat, tidak akan roboh kalau ditabrak truk juga, ujar Kasubdit
Penataan Hukum dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat,
Asep Bayu, di lokasi pemasangan portal, Kamis, 3 Desember 2015.
Pemasangan portal ini melibatkan ratusan personil keamanan dari Polda Jabar, Polres Garut,
Satpol PP dan TNI. Portal ini dipasang di blok Seureuh Jawa, Kelurahan Pananjung dan blok
Cilopang, Desa Rancabango. jumlah portal yang dipasang rencananya mencapai delapan
buah.
Asep mengancam para pengusaha tambang dan penganggali untuk membawa ke ranah
hukum bila melakukan pengrusakan terhadap portal yang telah terpasang. Portal ini dipasang
dilahan milik pemerintah. Kalau bikin jalan baru itu pasti bisa ada untuk melawati portal.
Tapi yang terpenting ada itikad untuk penegakan hukum. Kami akan terus melakukan
pengawasan, ujarnya.
Kegiatan tambang pasir ini telah berlangsung selama 22 tahun sejak 1994 lalu. Kerusakannya
mencapai ratusan hektar, namun untuk di kawasan cagar alam kerusakannya mencapai 97
hektar. Kawasan yang mengalami kerusakan paling parah berada di blok Citiis, Desa
Pasawahan, Blok Seureuh Jawa, Legok Jambu, Kelurahan Pananjung dan Blok Cilopang,
Desa Rancabango.
Tambang pasir ilegal di Garut tidak hanya di kawasan kaki Gunung Guntur, namun juga di
wilayah pertambangan yang berada di Kecamatan Banyuresmi dan Leles. Menurut Kepala
Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Garut, Uu Saepudin, baru empat
perusahaan yang mengajukan izin.
Menurut Uu, akibat penambangan pasir ilegal ini, Kabupaten Garut menderita kerugian yang
cukup besar. Salah satunya yakni pajak tambangnya tidak dapat dipungut menjadi pendapatan
asli daerah (PAD). Padahal setiap galian dapat menghasilkan pasir sebanyak 70 truk setiap
harinya. Harga pembelian pasir setiap truk berkisar antara Rp300-400 ribu rupiah. Jumlah
galian pasir yang beroperasi di wilayah Banyuresmi dan Leles ini lebih dari 10.
Selain itu, lokasi tambang pasir juga berpotensi menimbulkan bencana. Alasannya karena,
para pengusaha tidak memperhatikan aspek keamanan dalam penambangan pasir ini. Seperti
halnya yang terjadi di daerah Warung Peuteuy dan Leuweung Tiis, pengerukan pasir
dilakukan dengan cara membuat tebih hingga mencapai ketinggian lebih dari 10 meter.
Penertiban tambang ini harus secepatnya dilakukan jangan sampai menunggu terjadi
peristiwa yang tidak diinginkan, ujarnya.
Hal sama juga diungkapkan Kasubdit Penataan Hukum dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, Asep Bayu, hampir 90 persen dari ratusan tambang
pasir di Jawa Barat tidak memiliki izin alias ilegal. Para pengusaha melakukan eksploitasi
secara besar-besaran. Kerusakan lingkungannya cukup besar, pemulihan lahannya tidak
gampang. Karena tidak ada reklamasi pasca tambang, ujarnya.
SIGIT ZULMUNIR
Jenis pertambangan ilegal tersebut yakni galian C atau tambang pasir. Tiga di Kabupaten
Garut, dan satu di Cihonje, Kabupaten Sumedang, kata Kabid Humas Polda Jabar Kombes
Pol Yusri Yunus kepada wartawan di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Senin (7/8).
Ia mengatakan, keempat tambang tersebut ditutup lantaran tidak memiliki izin atau ilegal. Ia
menyebutkan, pengungkapan dan penindakan dilakukan pada 28 Juli 2017. Selain itu,
pihaknya masih terus melakukan pemantauan di lokasi-lokasi lain terutama di wilayah Garut
yang disinyalir banyak merusak lingkungan.
Sementara itu Kasubdit IV Ditkrimsus AKBP Dony Eka Putra menyebutkan, tiga tambang
yang ditutup di Garut kedapatan merusak lingkungan di kawasan Gunung Guntur.
Tambang-tambang ini tidak punya izin usaha penambangan. Kita sudah periksa 12 saksi dan
lokasi tambang kita police line, tandasnya.
Selain tidak berizin, sambung Dony, tambang-tambang pasir ilegal tersebut juga beroperasi di
daerah kawasan rawan bencana (KRB).
Diduga kuat tambang-tambang pasir tersebut ikut andil dalam peristiwa banjir bandang yang
menerjang sebagian wilayah Kabupaten Garut.Belum ada tersangka yang ditetapkan dalam
kasus tambang ilegal tersebut.
Namun, secara hukum perusahaan perusahaan tambang tersebut telah menyalahi pasal 158
Undang undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan
ancaman hukuman 10 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 10 miliar. (nda/pojoksatu)
http://news.akurat.co/id-55719-read-polda-jabar-ungkap-pertambangan-liar
AKURAT.CO, Mengantisipasi terjadinya bencana alam, seperti banjir bandang yang terjadi
di daerah Garut beberapa waktu silam, kepolisian melakukan razia terhadap sejumlah
pertambangan liar.
Belum lama ini, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Barat menghentikan
kegiatan tambang pasir liar di kawasan Garut dan Sumedang. Sejumlah lokasi yang diungkap
polisi berada di kawasan hutan lindung, dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.
Baca Juga
Dilantik Wagub, Polisi Tidak Berani Periksa Sandi dalam Kasus Penggelapan Tanah
Wanita Warga Filipina Loncat dari Lantai 5 Blok M Square
Dirlantas Polda Metro Jaya Bakal Temui Anies Bahas Supeltas
Kepala Subdit IV/Tindak Pidana Tertentu Ditreskrimsus Polda Jabar AKBP Dony Eka Putra
mengatakan, pihaknya menemukan tiga lokasi di daerah Garut yang diduga tidak memiliki
Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ketiganya berada di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten
Garut.
"Kita temukan tiga lokasi di kaki Gunung Guntur, dan daerah itu masuk zona merah, karena
rawan longsor, menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika)," ujar
Dony dalam ekspose di Mapolda Jabar, Senin (7/8).
Satu lokasi lain berada di Sungai Cihonje, Dusun Kementeng, Desa Cieunteung, Kecamatan
Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Di tempat itu, petugas menemukan kegiatan penambangan
batu sungai oleh sebuah perusahaan. Batu digiling oleh stone crusher yang berjarak 100 meter
dari sungai, dan dijual kepada konsumen.
Kegiatan tambang liar ini melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman pidana penjara maksimal 10
tahun dan denda hingga Rp 10 miliar.
Namun, polisi belum menetapkan tersangka dalam kegiatan pertambangan liar ini. Menurut
Dony, pihaknya telah memeriksa 12 orang saksi dan melakukan pengembangan terhadap
kasus ini. Termasuk menghitung kerugian negara yang ditimbulkan karena aksi ilegal
tersebut.
"Dalam waktu dekat kami akan gelar perkara untuk menentukan status siapa yang
bertanggung jawab terhadap tambang tersebut," tandas Dony.
Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Yusri Yunus menyatakan, dampak dari banjir
bandang yang terjadi di Garut berapa waktu lalu, membuat kepolisian intensif melakukan
razia terhadap tambang-tambang yang diduga tak memiliki IUP. Apalagi, sejumlah tambang
berada di dekat lokasi bencana.
"Ini untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tak terulang," tegas Yusri.
Polres Garut masih mengamankan tujuh penambang liar belerang di Gunung Papandayan
untuk dimintai keterangan. Status mereka masih sebatas saksi. Polisi tengah mengembangkan
siapa di balik penambangan belerang liar tersebut.
"Untuk sementara masih kita amankan dan kita lihat dulu perkembangannya. Kita akan terus
selidiki kasus ini, bukan tidak mungkin kita akan menyelidiki siapa pemesan belerang yang
ditambang liar itu," ujar Kapolres Garut AKBP Rusdi Hartono, Jumat (12\/9\/2008).
Menurutnya kegiatan penambangan liar ini baru terjadi sekali ini. "Sebelumnya tak pernah
terjadi. Kemarin terungkap pun pada saat ada rencana belerang akan diangkut ke luar,
sehingga warga yang tidak setuju menggagalkannya," tambah dia.
"Jadi belum ada belerang yang berhasil diangkut ke luar wilayah itu," ujar Rusdi.
Tujuh orang yang diamankan itu, menurutnya adalah warga sekitar yang melakukan
penambangan liar. "Kita belum tahu kapan akan bebaskan mereka. Pokoknya hingga selesai
penyelidikan," tandasnya.
RIBUNJABAR.CO.ID, BANDUNG - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus)
Polda Jabar berhasil mengungkap kasus penambangan ilegal di Kabupaten Garut.
Hal itu dikatakan Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Yusri Yunus kepada wartawan
Senin (7/8/2017) di Mapolda Jabar.
Baca: Usai Cetak Gol, Essien Unggah Foto Ini di Akunnya, Netizen : Amazing Gol,
Super Header
"Ini merupakan upaya keseriusan Polda Jabar terhadap dampak kerusakan lingkungan," ujar
Yusri.
Sebanyak empat penambangan ilegal yang diamankan Ditreskrimsus Polda Jabar pada 28 Juli
2017.
AKBP Dony Eka Putra, sebagai Kasubdit Tipidter menyampaikan keempat tambang ilegal
tersebut berpotensi merusak lingkungan.
Kasus penambangan ilegal tersebut diancam pasal 158 UU No 4 tahun 2009 dengan hukuman
penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp 10 miliar.
Lokasi penambangan Ilegal tanpa izin usaha penambangan ialah Sungai Cihonje, Dusun
Kementeng, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
"Ada tiga perusahaan yang sedang dilakukan penyidikan, belum ada tersangka yang kami
tetapkan atas kasus ini," kata Dony.
Melalui pengungkapan kasus penambangan ilegal tersebut, Polda Jabar mengamankan barang
bukti berupa Satu unit Excavator, 2 jirigen bahan bakar dan faktur transaksi.
"Yang menjadi korbannya ialah Negara, dan untuk nominal kerugiannya masih dalam proses
perhitungan oleh tim ahli," kata Dony.
Polda Jabar akan terus melakukan pengembangan penyidikan kasus penambangan ilegal. (*)
Pada hari Jumat (14/7/2017), sekira pukul 11.30 WIB, petugas Dit Reskrimsus Polda Jabar
melakukan sidak terhadap pertambangan pasir dan batu di sejumlah lokasi di Garut.
Lokasi pertama terletak di Blok Urugkebonlega, Kampung Binong RT 01 RW 08, Desa
Pasawahan, Kecamatan Taragong Kaler, Kabupaten Garut.
Wilayah kedua berada di Blok Binong, Kampung Binong RT 01 RW 08, Desa Pasawahan,
Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Luas lahan tempat penambangan ilegal tersebut sekira 5.5 Hektar (Ha).
Jarak antara lokasi pertama dan lokasi kedua sekira 200 meter.
Dari hasil pengungkapan lokasi penambangan ilegal di Garut, Pihak Kepolisian Daerah Jawa
Barat mengamankan barang bukti dari kedua TKP seperti satu unit excavator bermerek Liu
Gong berwarna kuning, satu unit Excavator bermerek Komatsu berwarna kuning, dan satu
buah saringan pasir.
Penambangan pasir dan batu dilakukan menggunakan alat berat, kemudian hasil dari
penambangan tersebut dijual kepada konsumen.
Polisi belum menetapkan siapa yang menjadi tersangka dalam peristiwa tersebut.
"Saat ini masih dalam proses penyelidikan," kata AKBP Dony Eka Putra, sebagai Kasubdit
Tipidter di Mapolda Jabar, Senin (7/8/2017).
Pihak Polda Jabar juga telah memeriksa lima orang saksi yang menggunakan berita acara
wawancara.
ADVERTISEMENT
AKBP Dony Eka Putra menjelaskan setiap orang yang melakukan penambangan ilegal akan
dikenakan sanksi Pasal 158 UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Jika terbukti bersalah, akan dipidana paling lama 10 tahun dan dikenakan denda paling
banyak Rp 10 Miliar.
Operasi digelar dalam sandi Operasi Tambang Lodaya 2012, kami mengungkap 11 lokasi
penambangan ilegal dan memintai menetapkan empat orang menjadi tersangka,"
Bandung (ANTARA News) - Polda Jawa Barat membongkar 11 kasus penambangan liar di
sejumlah kabupaten di Jawa Barat yang selama ini beroperasi tanpa melalui prosedur dan izin
penambangan.
"Operasi digelar dalam sandi Operasi Tambang Lodaya 2012, kami mengungkap 11 lokasi
penambangan ilegal dan memintai menetapkan empat orang menjadi tersangka," kata Kabid
Humas Polda Jabar Kombes Pol Martinus Sitompul di Bandung, Jumat.
Kepolisian Daerah Jawa Barat dan jajaran selama 10 (sepuluh) hari mulai tanggal 17 - 26
September 2012 melaksanakan operasi kepolisian kewilayahan dengan sandi Tambang
Lodaya 2012.
Tujuan dilaksanakannya Operasi Tambang Lodaya 2012 berupa penegakan hukum terhadap
kejahatan penambangan illegal di wilayah hukum Polda Jabar untuk menyelamatkan
kekayaan negara dibidang pertambangan dan pelestarian alam.
Sasaran pelaksanaan Operasi Tambang Lodaya 2012, pelaku, pengusaha yang berkaitan
dengan penambangan liar, perusakan lingkungan dan pelestarian alam.
Selain itu juga menyisir penghimpun, penampung hasil penambangan liar yang tidak
memiliki SIUP dan dokumen sah lainnya. Kemudian tempat atau lokasi galian C, B dan A.
Lokasi penambangan liar yang berhasil diungkap adlaah di Garut, Bogorm Cimahi, Bandung,
Tasikmalaya, Subang, Purwakarta dan Karawang.
"Dari hasil penyelidikan maka ditetapkan empat orang menjadi tersangka dan dianggap
sebagai otak dari aktivitas penambangan liar itu," kata Kabid Humas.
Para tersangka melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara
dan denda maksimal Rp10 miliar.
Polda Jabar juga mengamankan 33 alat berat, dua truk serta sejumlah alat lainnya yang
digunakan aktivitas penambangan.
INILAH, Garut- Bupati Garut Rudy Gunawan menegaskan, sejak 2014, dirinya tidak pernah
mengeluarkan izin apapun kepada sejumlah pengusaha yang melakukan aktivitas
penambangan galian C di kawasan Gunung Guntur. Baik berlokasi di tanah milik maupun
tanah negara.
Semua perizinan terkait izin usaha penambangan di kawasan Gunung Guntur itu diserahkan
kewenangannya kepada Provinsi Jawa Barat. Saya selaku Bupati/Pemkab Garut hanya
mengeluarkan rekomendasi, kata Rudy dalam kesaksiannya di depan sidang kasus dugaan
penambangan galian C tanpa izin alias liar di kawasan Gunung Guntur digelar di Pengadilan
Negeri (PN) Garut Jalan Terusan Merdeka, Kamis (23/2/17).
Pada sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Kadarmoko didampingi dua hakim anggota
Endratno Rajamai, dan Isabela Samelina dengan terdakwa Direktur CV Banyu Arta Alam
Usep Zaenal Arifin, dan Direktur PT Pesona Alam Bojong Masta Sirojudin itu, Bupati Rudy
dihadirkan sebagai saksi terlapor. Dia hadir setelah pada sidang sebelumnya batal hadir.
Menurut Rudy, pada Oktober 2014 lalu, dirinya sudah melakukan pengecekan langsung ke
lokasi pertambangan galian C di kawasan Gunung Guntur. Baik di areal tanah milik warga
maupun areal kawasan BBKSDA. Termasuk lokasi penambangan di Blok Cilopang Desa
Rancabango Kecamatan Tarogong Kaler yang dikelola kedua terdakwa Usep, dan Sirojudin
yang merupakan tanah milik warga, dan carik desa.
Lokasi penambangan dikelola kedua terdakwa di Blok Cilopang sendiri rencananya dikelola
sebagai kawasan wisata berdasarkan surat perjanjian antara kedua terdakwa dengan pihak
pemerintahan desa setempat.
Kendati demikian, Rudy kembali menegaskan, setiap usaha penambangan di kawasan milik
warga maupun carik desa tetap harus memiliki izin usaha penambangan (IUP).
Rudy yang juga mantan advokat itu menyebutkan, pada April 2015, Tim Satgas Provinsi
Jawa Barat diketuai Gubernur Jawa Barat menggelar operasi penertiban penambangan liar di
kawasan Gunung Guntur.
Ketika itu Tim menemukan beberapa alat berat digunakan para terdakwa. Tim pun
menginstruksikan menghentikan seluruh kegiatan penambangan galian C tak berizin di
kawasan Gunung Guntur tersebut.
Aktivias penambangan pasir di kawasan Gunung Guntur sendiri, dikatakan Rudy,
berlangsung secara turun temurun sejak 1960-an. Baik dilakukan pengusaha maupun warga
penggali yang jumlahnya mencapai sekitar 200 orang.
Pemkab Garut kata dia menghadapi dilema terkait aktivitas penambangan galian C di
kawasan Gunung Guntur tersebut. Selain banyak orang kehidupannya bergantung pada
aktivitas penambangan di sana, material pasir dihasilkan pun dinilai berkualitas sangat bagus
dibandingkan kawasan penambangan galian C lainnya.
Berbagai langkah kebijakan dilakukan Pemkab Garut agar para penambang termasuk di Blok
Cilopang agar berpindah lokasi penambangan pun sulit terwujud. Terutama karena kualitas
pasirnya dinilai tak sebanding dengan kualitas pasir Gunung Guntur.
Dimintai tanggapan terkait kasus tersebut, terdakwa Usep Zaenal Arifin yang juga berprofesi
sebagai advokat, dan mantan anggota DPRD Garut periode 2004-2009 dari Partai Golkar itu
menyatakan pihaknya tetap akan menghormati proses hukum yang berjalan saat ini. Kendati
dia sendiri merasa keheranan didakwa melakukan penambangan galian C tanpa izin di Blok
Cilopang itu. Padahal aktivitas dilakukannya bukan di areal kawasan BBKSDA melainkan
tanah milik, dan carik desa.
Keputusan apapun yang akan dijatuhkan Majelis Hakim nantinya saya akan tetap ikuti.
Termasuk menyiapkan bukti-bukti untuk pembelaan. Kita lihat saja nanti perkembangan
sidang selanjutnya, kata Usep yang sempat menerima penghargaan Citra Pajak Utama Wajib
Pajak Kooperatif Tahun 2013 katagori pajak mineral bukan logam dari Bupati Garut Rudy
Gunawan itu.
Sebelumnya kepada INILAH, Pemerhati Lingkungan Edi Apip yang juga menjadi salah satu
saksi dalam sidang tersebut menyatakan keheranannya atas kasus yang menyeret Usep, dan
Sirojudin itu yang dalam pengelolaan penambangan galian C di Blok Cilopang, dan Bojong
Masta tergabung dalam Kelompok Pertambangan Rancabango itu.
Pasalnya, selain areal dikelola merupakan tanah milik, dan carik desa dikuatkan adanya
perjanjian kerjasama dengan pemerintahan Desa Rancabango, aktivias pertambangan di sana
juga sudah dilengkapi Surat izin Penambangan Daerah (SIPD) sejak 2011 lalu dengan surat
bernomor 545/44/SDAP tanggal 16 April 2001-2011.
Agar pengelolaan galian C di sana lebih terarah serta terorganisir, lanjut Edi, masyarakat
dengan difasilitasi pemerintah desa setempat berusaha mencari investor untuk kerjasama
pengelolaan galian C dengan dibuktikan Surat Rencana Tata Ruang Nomor 640-231/Dis
Tarkim Garut tertanggal 10 Desember 2014, dan Nota Dinas dari BPMPT No.
503/926/BPMPT ertanggal 10 September 2014.
Jika sudah ada izin, mengapa harus ada penutupan?, kata Edi.
"Jadi ada empat (dihentikan). Karena empat-empatnya tidak memiliki izin usaha
pertambangan," kata Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Yusri Yunus di Mapolda Jabar,
Kota Bandung, Senin (7/8).
Yusri menyebut tiga lokasi penambangan ilegal di Kabupaten Garut itu ditemukan di
Kecamatan Tarogong Kaler. Penambangan pasir tersebut dilakukan di kaki Gunung Guntur.
"Itu masuk zona merah, karena rawan longsor, menurut BMKG (Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika)," terangnya.
Penambangan itu, lanjut Yusri, berlangsung kurang lebih tiga bulan dengan menggunakan
ekskavator. Material hasil penambangan dijual dengan harga Rp 300.000 hingga Rp 400.000
per truk untuk pasir, dan Rp 375.000 per truk untuk batu.
Sedangkan satu lokasi lainnya berada di Sungai Cihonje, Dusun Kementeng, Desa
Cieunteung, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Modus yang dilakukan para
perusahaan penambang tersebut dilakukan dengan cara penambangan batu sungai. Batu
digiling oleh stone crusher yang berjarak 100 meter dari sungai, dan dijual kepada konsumen.
AKBP Dony Eka Putra menambahkan, tambang-tambang pasir ilegal tersebut memang
beroperasi di daerah kawasan rawan bencana (KRB). Diduga kuat tambang-tambang pasir
tersebut ikut andil dalam peristiwa banjir bandang yang menerjang sebagian wilayah
Kabupaten Garut.
"Nilai kerugian masih kita hitung. Tambang-tambang ini memang berdiri di lokasi zona
merah rawan longsor," tandasnya.
"Tambang-tambang ini tidak punya izin usaha penambangan. Dari Pemerintah Provinsi Jawa
Barat juga menyatakan tambang-tambang ini tidak punya izin. Kita sudah periksa 12 saksi
dan lokasi tambang kita police line," tambah Yusri.
Dia melanjutkan, pihaknya masih melakukan penyidikan terkait penambangan ilegal tersebut.
Perusahaan perusahaan tambang tersebut menyalahi pasal 158 Undang undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan ancaman hukuman 10 tahun
penjara atau denda paling banyak Rp 10 miliar.
"Kami merasa tidak nyaman saat melintasi jalan, karena takut adanya bebatuan yang jatuh
dari atas sana," Kata Budiman, pengguna jalan asal Banjaran, Bandung yang hendak berlibur
ke Pantai Santolo, Garut, Jumat (1/1/2016).
Baca Juga :
Kepala Polisi Sektor Cisewu, AKP Dede Yayat Hardiat saat dihubungi mengaku,
pihaknya sudah memberi peringatan agar segera menghentikan aktifitas galian.
"Kami bersama Muspika setempat telah berkali-kali meminta agar galian tersebut segera
dihentikan sepanjang tidak memproses perijinannya, tapi mereka tetap membandel dengan
alasan perut," kata Dede Yayat, Jumat (1/1/2016).
Kapolsek menegaskan, pihaknya bakal menghentikan paksa tambang liar tersebut karena
mengancam pengguna jalan. Bahkan memprosesnya secara hukum.
"Awalnya sih kami secara persuasif untuk melarang mereka, tapi kalau melihat kondisi begini
terus maka akan kami hentikan secara paksa, dan nantinya jika tetap membandel akan kami
proses secara hukum," imbuhnya.
Terkait izin penambangan di lokasi itu, menurut sumber yang enggan disebutkan namanya,
izin tambang batu sudah terjadi sejak 15 tahun lalu namun tak diperpanjang.
"Sebenarnya tambang ini memiliki izin yang pelaksananya adalah PD Hujung Wangi
Bandung tapi itu dulu, sebab sekarang izinnya tidak diperpanjang lagi. Sehingga kondisinya
liar begini, dan cukup membahayakan kendaraan yang lewat kesini," katanya kepada
Metrotvnews.com.
Sementara itu, Hendra, pengendara roda dua yang hendak ke Bandung berharap pihak terkait
segera mengambil tindakan tegas di lokasi tambang liar itu.
"Demi keselamatan kita semua, seharusnya pemerintah setempat segera ambil tindakan,
jangan sampai terlihat pembiaran atas galian besar-besaran ini," harap Hendra.
(LDS)
MASALAH DAN BENCANA LINGKUNGAN HIDUP:
Selama tahun 2016, WALHI Jawa Barat telah mendapatkan pengaduan kasus-kasus baru dari
warga. Sedikitnya ada sekitar 25 kasus yang diadukan ke WALHI Jawa Barat diantaranya
yaitu
Sementara kasus-kasus pembangunan infrastruktur skala besar yang muncul dan sikapi
WALHI Jawa Barat diantaranya pembangunan kereta api cepat Jakarta Bandung,
pembangunan bandara Kertajati Majalengka, Bongkar muat batubara di pelabuhan Panjunan
Kota Cirebon, kasus pembangunan PLTU 2 Indramayu, kasus pembangunan PLTU 2
Cirebon. Selain kasus pembangunan infrastruktur skala besar yang merampas ruang hidup
warga dan menimbulkan masalah lingkungan, menjelang akhir tahun 2016, kasus lingkungan
hidup yang memberikan dampak buruk terhadap warga diantaranya banjir bandang di hulu
sungai cimanuk Kabupaten Garut, banjir di Kota Bandung.
Bencana Lingkungan Hidup. Tahun 2016 adalah tahun basah. Setiap bulan pasti terjadi
hujan. Seluruh wilayah Jawa Barat mengalami cuaca basah sebagaimana informasi BMKG.
Bahkan menjelang akhir tahun, cuaca semakin ekstrim karena dipengaruhi oleh perubahan
cuaca skala global, perubahan iklim dari El Nino ke Lanina.
Dampak perubahan cuaca ekstrim yang diperburuk oleh kerusakan DAS menyebabkan
bencana lingkungan hidup tahun 2016 semakin parah. Tidak ada satu kabupaten/kota pun di
Jawa Barat yang luput dari sergapan bencana. Dari total 5.962 desa di Jawa Barat, maka 10 %
mengalami bencana lingkungan hidup berupa longsoran, gerakan tanah, banjir, banjir
bandang dan angina putting beliung.
Berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, selama tahun 2016, jumlah kejadian bencana
lingkungan hidup di Jawa Barat meningkat dari tahun 2015. Jika dalam tahun 2015, tercatat
jumlah kejadian bencana lingkungan hidup mencapai 525 kejadian maka tahun 2016
mencapai 656 kejadian bencana berupa longsor/gerakan tanah/ambalasan, banjir dan angin
puting beliung. Jumlah kejadian bencana terbanyak terjadi di Sukabumi, Garut, Bandung
Barat dan Kabupaten Bogor.
Jumlah korban jiwa pun meningkat, jika pada tahun 2015 korban jiwa mencapai 101 orang,
maka tahun 2016 korban jiwa mencapai 123 orang. Selama tahun 2016, rata-rata orang
meninggal 10 orang/bulan. Sekitar 8.500 rumah rusak. Diperkirakan, kerugian secara
finansial akibat bencana lingkungan hidup yang terjadi di Jawa Barat mencapai lebih dari Rp.
1 Trilyun.
Selain itu, bencana banjir di Jawa Barat juga telah mengakibatkan kerugian pertanian. Banjir
yang menggenangi lahan pertanian irigasi dan non irigasi telah menyebabkan gagal panen,
akibatknya produktifitas pangan padi juga menurun. Tentu ini akan mempengerahui
ketahanan pangan di Jawa Barat.
Banjar Bandang. Dipicu oleh hujan deras dan lama, diperparah oleh kerusakan lahan
resapan dan lindung, maka kejadian banjir skala besar yang memberikan dampak kerugian
besar terjadi di sejumlah daerah aliran sungai di Jawa Barat, diantaranya banjir di Bekasi
yang menewaskan 2 orang, banjar bandang di Hulu Cimanuk Kabupaten Garut yang
menewaskan 43 orang, banjar bandang di sungai Cipunagara Subang yang menewaskan 6
orang, banjir bandang di sungai Cikaso Sukabumi menewaskan 1 orang dan banjir
Cileuncang di Kota Bandung menewaskan 1 orang. Banjir bandang pun menghantam kurang
lebih 3.000 rumah warga dan fasilitas sosial lainnya.
Selama tahun 2016, beberapa kasus pembangunan sarana komersil dan properti yang
bermasalah dalam aspek tata ruang dan lingkungan hidup diantarnya di kota Bandung ada
sekitar 17 kasus di Kawasan puncak Bogor, sedikitnya ada 2 kasus, di Bandung selatan ada
sedikitnya 2 kasus, di Kabupaten Garut ada sedikitnya 2 kasus. Selain itu, banyak kasus-
kasus pelanggaran perizinan lingkungan hidup dilakukan oleh pengusaha-pengusaha industri
yang mencemari lingkungan serta perizinan pertambangan sebagaimana praktik
pertambangan yang terjadi di Bogor, Sukabumi, Karawang, Cianjur, Bandung dan wilayah
lainnya di Jawa Barat.
Alih fungsi Lahan Yang Masif. Alih fungsi lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
problem utama kewilayahan Jawa Barat. Alih fungsi lahan terjadi di kawasan hutan dan non
kawasan hutan baik di wilayab perkotaan maupun perdesaan. Alih fungsi lahan jelas akan
mendegradasi fungsi tanah itu sendiri dan menghilangkan fungsi resapan air. Beberapa faktor
penyebab alih fungsi lahan yang makin masif diantaranya :
Kawasan Hulu DAS Yang Rusak. Praktik pertambangan, pembukaan lahan untuk pertanian
olah tanah, bisnis wisata alam, pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi dan
pertambangan telah mengalihfungsi kawasan lindung dan tankapan air dan semakin
memperburuk kualitas lahan dan ekosistem. WALHI Jawa Barat memperkirakan hulu DAS
yang rusak parah diantaranya kawasan Hulu DAS Cimanuk mencapai 4500 ha, kawasan hulu
Citarum di Bandung Selatan mencapai 9.000 ha, kawasan Hulu DAS Ciliwung dan Cisadane
mencapai 7.500 ha.
Pembangunan Infrastruktur Skala Besar. Tercatat dalam Kebijakan RPJMN dan Perpres
No 3 tahun 2015 tentang proyek strategis nasional yang diperkuat dengan Instruksi Presiden
No 1 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional, Wilayah Jawa Barat menjadi
wilayah pembangunan infrastruktur skala besar terbanyak seperti Bendungan, waduk, Jalan
Tol, Bandara, Kereta Api Cepat, PLTU, Pelabuhan dan Bandara. Tercatat sekitar 29 proyek
infrastruktur skala besar akan dibangun di wilayah rentan Jawa Barat.
Pembangunan infrastruktur skala besar bukan saja merusak bentang alam, namun dipastikan
akan merampas ruang hidup rakyat. Tanah, kebun, sawah, pemukiman dll akan dirampas,
rakyat dipaksa pindah dan tidak ada jaminan atas mata pencaharian di tempat baru.
Pembangunan infrastruktur skala besar juga telah mengakibatkan konflik sosial dan lunturnya
budaya kaum agraris.
Selama tahun 2016, beberapa kasus kriminalisasi dan kekerasan yang dialami oleh warga dan
komunitas sebanyak 33 orang lebih, diantaranya :
Kasus-kasus lingkungan hidup yang bermasalah dari aspek perizinan lingkungan hidup,
amdal dan kerusakan lingkungan yang sudah lama berlangsung tidak diselesaikan dan
dipulihkan kembali. Pemerintah sepertinya telah dikalahkan oleh para perusak lingkungan
hidup.
Pembiaran penindakan atas pelanggaran prosedur perzinan lingkungan hidup yang dibiarkan
diantaranya kasus-kasus berikut :
Diantara sekian banyak kasus-kasus lingkungan hidup di Jawa Barat, beberapa kasus
lingkungan hidup yang terus dibiarkan diantaranya pencemaran limbah industri Citarum,
praktik pertambangan di kawasan hutan di KPH Bogor, pertambangan di Gunung Lalakon
Kabupaten Bandung, pencemaran udara pabrik semen, pertambangan di kawasan karst
Citatah Rajamandala, pembangunan sarana komersil oleh para pengembang properti di
Kawasan Bandung Utara, praktik pembuangan limbah PT Pindoddeli di Cibeet Karawang
dan pelanggaran hukum bongkar muat batubara di Pelabuhan Panjunan Cirebon.
POKOK MASALAH:
Kebijakan pembangunan di level nasional, provinsi dan Kabupaten/kota di Jawa Barat yang
tertuang dalam RTRWN-RTRW Daerah dan RPJMN-RPJMD serta program pembangunan
tahunan semakin tidak memihak pada pemulihan lingkungan, pencegahan kerusakan
lingkungan dan meminimalkan resiko bencana lingkungan. Pengelolaan wilayah dan ruang
dengan memperbanyak kawasan-kawasan metropolitan dan pusat pertumbuhan baru
dipastikan akan memperburuk kualitas lingkungan DAS itu sendiri.
Selain kebijakan tata ruang dan wilayah yang menjadi biang masalah, Keputusan Menteri
ESDM No 1204 tahun 2014 tentang penetapan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) akan
menghancurkan ekosistem wilayah Jabar selatan terutama kawasan perkebunan, hutan,
pesisir dan karst.
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Yang Lemah. Meskipun di Jawa Barat sudah
terbangun Tim Satgas Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu (PHLT) namun kelembagaan
ini belum memberikan kontribusi nyata dalam menegakan hukum lingkungan hingga
memberikan efek jera bagi para perusak dan pencemar dan memaksa pelaku melakukan
upaya pemulihan lingkungan secara nyata. Hampir 2 tahun Tim Satgas PHLT bekerja, sanksi
yang diberikan kepada para pelaku pencemaran dan perusak lingkungan hanya sebatas
administratif berupa peringatan dan pembinaan. Sangat sedikit kasus-kasus lingkungan bisa
di bawa ke meja hijau.
Selama tahun 2016, berdasarkan informasi dari BPLHD Jawa Barat kasus pencemaran di
DAS Citarum, hanya 5 kasus perusahaan pencemar hanya diberikan rekomendasi di stop
sementara. Sementara Polda Jawa Barat pun belum menambah kasus lingkungan yang
dipidanakan, sejak tahun 2015 menangani 14 kasus pencemaran dan perusakan di DAS
Citarum.
Dari data PN Bale Bandung tahun 2016, hanya 2 kasus lingkungan hidup yang diputus yang
salahstunya menimpa warga/petani, yaitu warga yang mengambil kayu tanpa izin di kawasan
Hutan Perhutani yang dijatuhkan kepada Eem Bin Komar dengan hukuman 1 tahun penjara
dan denda 500.000.000 dan putusan yang diberikan kepada Rendi Ratu Purnama Negara yang
divonis 2 tahun dan denda 10 juta karena memiliki satwa yang dilindungi.
Dalam kasus banjir bandang Garut, Polda Jawa Barat pun hanya baru tahap penyidikan
dengan memanggil 6 pemilik kawasan wisata di hulu Cimanuk. Proses penanganan banjir
Garut pun cenderung tertutup, tidak transparan.
Meskipun program Citarum Bestari dengan penggunaan anggaran cukup besar melebihi
belanja dalam APBD namun besaran anggaran tidak menyelesaikan masalah lingkungan di
DAS Citarum.
Nama
No Masalah Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota
Alih fungsi lahan resapan air, banjir, kurangnya RTH, pencemaran
1 Kota Bandung udara, pencemaran sungai, kekurangan air saat kemarau, sampah,
pengambilan air bawah tanah
Alih fungsi lahan resapan, kurangnya RTH, pencemaran industri,
2 Kota Cimahi banjir, kekurangan air bersih, pencemaran udara, sampah,
pengambilan air bawah tanah
3 Kota Banjar Kurangnya RTH, banjir, sampah, pertambangan galian c
Limbah batubara, pencemaran udara, banjir, kurangnya RTH, krisis
4 Kota Cirebon
air bersih saat kemarau,pengambilan air bawah tanah
5 Kota Tasikmalaya Kurangnya RTH, banjir, sampah, banjir
Kurangnya RTH, sampah, pencemaran udara, krisis air bersih,
6 Kota Bogor
pencemaran sungai, pengambilan air bawah tanah
Kurangnya RTH, sampah, pencemaran udara, krisis air bersih,
7 Kota Depok
pencemaran sungai, banjir
Kurangnya RTH, sampah, pencemaran udara, pencemaran sungai,
8 Kota Bekasi
banjir
Kurangnya RTH, alih fungsi lahan resapan, sampah dan limbah,
9 Kota Sukabumi
krisis air bersih
banjir, sampah, pencemaran limbah industri, pencemaran sungai,
Kabupaten
10 alih fungsi lahan sawah dan resapan, krisis air bersih, lahan kritis di
Bandung
kawasan hutan, pencemaran batubara, longsor
banjir, sampah, pencemaran limbah industri, pencemaran sungai,
Kabupaten alih fungsi lahan sawah dan resapan, krisis air bersih, lahan kritis di
11
Bandung Barat kawasan hutan, pencemaran batubara, longsor, pertambangan
galian c dan pertambangan di kawasan karst
12 Kabupaten banjir, longsor, alihfungsi lahan, pertambangan galian c, alihfungsi
Nama
No Masalah Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota
Sumedang kawasan hutan, kebakaran hutan
banjir, pencemaran sungai, pertambangan pasir besi di kawasan
13 Kabupaten Garut pesisir, alihfungsi lahan sawah, alihfungsi kawasan hutan,
pertambangan galian c, sampah
pertambangan pasir besi di pesisir, pertambangan emas di lahan
Kabupaten perkebunan, pertambangan di kawasan karst, banjir, longsor,
14
Sukabumi alihfungsi kawasan hutan, kebakaran hutan, pencemaran sungai
oleh pertambangan
sampah, limbah pabrik, banjir, longsor, pertambangan pasir besi di
15 Kabupaten Cianjur
pesisir, pencemaran sungai, pertambangan galian c
pertambangan di kawasan hutan dan perkebunan, sampah, limbah
industri, pengambilan air bawah tanah, kurangnya RTH di
16 Kabupaten Bogor
perkotaan, hutan beton di kawasan resapan air dan hutan, sampah
domestik
Kabupaten Pertambangan, pencemaran sungai, limbah cair, limbah batubara,
17
Purwakarta alihfungsi kawasan hutan dan sawah
rusaknya kawasan mangrove, alihfungsi lahan pertanian, limbah
Kabupaten
18 pabrik, sampah domestik, pengambilan air bawah tanah, banjir,
Karawang
pertambangan karst, pencemaran sungai
rusaknya kawasan mangrove, alihfungsi lahan pertanian, limbah
19 Kabupaten Bekasi pabrik, sampah domestik, pengambilan air bawah tanah, banjir,
pencemaran sungai
rusaknya kawasan mangrove, banjir, sampah, alihfungsi lahan
20 Kabupaten Subang
pertanian oleh pabrik, limbah pabrik, longsor, kebakaran hutan
rusaknya kawasan mangrove, sampah, limbah pabrik, banjir,
Kabupaten
21 pertambangan pasir besi di pesisir, limbah minyak, limbah
Indramayu
batubara, pencemaran sungai, pertambangan galian c
alihfungsi kawasan pesisir, limbah batubara, pertambangan galian
22 Kabupaten Cirebon c, pencemaran sungai, kurangnya RTH, longsor, banjir,
pengambilan air bawah tanah
Kabupaten pertambangan galian c di kawasan hutan, alih fungsi lahan, sampah
23
Kuningan dan limbah, longsor
Kabupaten sampah, limbah industri, alih fungsi lahan pertanian, longsor,
24
Majalengka banjir, pertambangan galian c
Pertambangan galian c, pertambangan di kawasan pesisir,
25 Kabupaten Ciamis pertambangan karst, sampah, banjir, longsor, alihfungsi kawasan
hutan
Kabupaten sampah, pertambangan di kawasan karst dan pesisir, alihfungsi
26
Pangandaran kawasan pesisir, banjir dan longsor
Kabupaten banjir, longsor, pertambangan di kawasan pesisir, pertambangan
27
Tasikmalaya galian c, alihfungsi kawasan hutan,
WARGA MELAWAN PERAMPASAN RUANG DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN:
Warga Aktif Melawan Perampasan Ruang Hidup. Pembangunan wilayah atas nama
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan kawasan terus merampas ruang
hidup dan sumber kehidupan warga. Menyikapi situasi ini, ternyata warga juga tidak diam,
warga melakukan perlawanan melalui protes, audensi, demontrasi menentang kebijakan
pembangunan yang merugikan mereka.
Selama tahun 2016, Warga dan para petani Sukamulya Kecamatan Kertajati terus bergerak
melakukan perlawanan mempertahankan ruang hidup mereka dari pembangunan Bandara
Kertajati. Warga Sirnaresmi Sukabumi terus berjuang melawan dampak pembangunan pabrik
semen PT SCG, Warga Indramyu dan Cirebon terus begerak melawan pembangunan PLTU
batubara yang mengancam ruang hidup pesisir, laut dan lahan pertanian. Warga Antajaya
Bogor terus melawan perluasan tambang di Gunung Kandaga, Warga Tanjung Sari
Sumedang terus melawan dampak pertambangan andesit di Gunung Geulis, Pedagang pasar
Limbangan terus berjuang mempertahankan ruang ekonomi mereka dari kewenang-wenangan
investor pasar. Warga Indramayu pun terus melawan kegiatan seismik yang dilakukan oleh
Pertamina. Sebagian warga pun terus memperjuangkan keadilan atas pembangunan kereta
api cepat Jakarta Bandung.
Selama tahun 2016, komunitas-komunitas baru yang peduli lingkungan terus tumbuh dan
bergerak dengan keswadayaanya. Kiprahnya telah membantu negara (pemerintah) dalam
memulihkan kondisi lingkungan hidup yang buruk yang selama ini diabaikan oleh
pemerintah dan pelaku usaha/korporasi.
Agenda strategis yang harus didorong bersama yang disesuaikan dengan kewenangan
pemerintah provinsi dalam jangka menengah dan panjang adalah
1. Revisi Perda RTRW Jawa Barat dan RTRW di 27 Kabupaten/Kota yang harus lebih
memihak pada perlindungan keberlanjutan layanan alam Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan pengurangan resiko bencana ekologis di Jawa Barat
2. Mendorong pencabutan SK ESDM No 1204 tahun 2014 tentang WKP Pertambangan
di Jawa Barat
3. Memastikan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk setiap
proyek pembangunan skala besar (Bendungan, Jalan Tol dll)
4. Menghentikan pembangunan PLTU Batubara di seluruh wilayah Jawa Barat
5. Audit perizinan tambang dan pengambilan air bawah tanah yang sudah dikeluarkan
oleh pemda dan mendorong reklamasi dan rehabilitasi lahan eks pertambangan di
seluruh kabupaten di Jawa Barat
6. Mendorong upaya bersama untuk menjalankan mandat RTRW Jawa Barat untuk
memastikan regulasi penataan ruang KSP Hulu Citarum, KSP Bandung Utara dan
KSP Bopunjur
7. Melakukan audit perizinan, lingkungan hidup dan bangunan di KBU dan Bopunjur
8. Penegakan Hukum bagi pelaku korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan
hidup (administrasi, perdata dan pidana)
9. Mengevaluasi kembali rencana proyek pembangunan Kereta Cepat Bandung-Jakarta
10. Mengaktivasi Satgas PHLT Jawa Barat agar lebih tegas dan berani melakukan
pengawasan dan penegakan hukum tata ruang dan lingkungan hidup di Jawa Barat
11. Menyusun RPJMD, RKPD Jawa Barat yang mengaruutamakan kepentingan
keberlanjutan Ekosistem DAS dan pengurangan resiko bencana sesuai dengan
kewenangan Pemerintah Provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemda
No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Menggerakan Partisipasi Warga. Tumbuh suburnya komunitas warga yang secara swadaya
berinisiatif dan berpartisipasi dalam melindungi dan mengelola lingkungan adalah modal dan
kekuatan sosial yang luar biasa. Negara sudah seharusnya mendukung inisiatif dan
mendorong partisipasi ini akan semakin meluas menjadi gerakan sosial.
Bentuk dukungan gerakan partisipasi warga ini bisa beragam, pertama, pemerintah daerah
bisa mengakomodasi beragam inisiatif warga menjadi kebijakan dan program pembangunan.
Kedua, pemerintah secara nyata memberikan alokasi anggaran untuk memperkuat dan
memperluas inisiatif-inisiatif warga tersebut. Ketiga, pemerintah bisa merekognisi inisiatif-
inisiatif warga ke dalam hukum dan norma formal negara.
Menegakan Hukum Lingkungan Hidup. Di tengah krisis sosial dan budaya maka
mengaktivitasi pranata dan hukum-hukum lingkungan hidup yang tumbuh di masyarakat
menjadi penting. Konsep-konsep kearifan lokal adalah norma hukum yang bisa disuburkan
dalam konteks kekinian.
Selain menghidupkan pranata sosial, hukum adat yang relevan dengan lingkungan hidup,
negara juga harus lebih berani menghukum para pelaku usaha/korporasi yang melakukan
perusakan dan kejahatan lingkungan hidup.
WALHI Jawa Barat menilai bahwa dari kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi saat ini,
maka pelaku utamanya adalah korporasi /pelaku usaha merupakan aktor paling banyak
muncul dan terlaporkan. Oleh karena itu, negara harus lebih berani untuk menghukum dan
mendenda korporasi yang melakukan perusakan lingkungan hidup.
Banyak kasus pelanggaran hukum tata ruang dan lingkungan tanpa penindakan tegas dari
pemerintah dan aparat hukum. Kasus pelanggaran perizinan di Kawasan Bandung Utara,
pencemaran limbah industri, pertambangan dan kasus-kasus tata ruang dan lingkungan
lainnya.
Mengurus Wilayah Berbasis Keberlanjutan DAS. Pangkal dari krisis dan bencana
lingkungan hidup yang terjadi di Jawa Barat adalah salah urus Daerah Aliran Sungai (DAS).
Salah urus DAS menyebabkan krisis dan bencana lingkungan hidup terjadi di Jawa Barat.
Pemerintah dan pemerintah daerah sudah saatnya untuk mengurus wilayah DAS secara adil
dan berkelanjutan. Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah harus mengarusutamkan
pengurusan wilayah berbasis DAS dalam kebijakan dan program pembangunan wilayah,
ekonomi dan sosial dalam beragam kebijakan tata ruang dan wilayah serta dalam
pembangunan jangka menengah daerah lima tahunan. Sehingga menjadi urgen Pemerintahan
Provinsi Jawa Barat dan 27 Kabupaten/kota menyusun dan atau merevisi RTRW yang
mengedepankan keberlanjutan DAS, keselamatan rakyat.
http://www.walhijabar.org/2016/12/29/catatan-akhir-tahun-ruang-dan-lingkungan-hidup-
jawa-barat-2016-krisis-dan-darurat-bencana-ekologis-di-jawa-barat/
PertanggungJawaban Pemerintah dalam Mengeluarkan Izin
Usaha Pertambangan PT NewMont Minahasa Raya di Wilayah
Teluk Buyat
A. Latar Belakang
Merosotnya kualitas lingkungan yang dibarengi dengan semakin menipisnya persediaan
sumber daya alam serta timbulnya berbagai permasalahan lingkungan telah menyadarkan
manusia betapa pentingnya dukungan lingkungan dan peran sumber daya alam terhadap
kehidupan manusia di alam semesta. Lingkungan tidak dapat mendukung jumlah kehidupan
manusia dan makhluk hidup yang tanpa batas. Apabila bumi ini sudah tidak mampu lagi
menyangga ledakan jumlah manusia beserta aktivitasnya, maka manusia akan mengalami
berbagai kesulitan. Pertumbuhan jumlah penduduk bumi mutlak harus dikendalikan dan
aktivitas manusianya pun harus memperhatikan kelestarian lingkungan.1
Pelestarian lingkungan hidup mempunyai arti bahwa lingkungan hidup harus dipertahankan
sebagaimana keadaannya. Sedangkan lingkungan hidup itu justru dimanfaatkan dalam
kerangka pembangunan. Hal ini berarti bahwa lingkungan hidup mengalami proses
perubahan. Dalam proses perubahan ini perlu dijaga agar lingkungan hidup itu tetap mampu
menunjang kehidupan yang normal2, sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan kemerosotan mutu
lingkungan.3 Dikatakan oleh Danusaputro bahwa hukum lingkungan hidup adalah konsep
studi lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu hukum, dengan objek hukumnya
adalah tingkat perlindungan sebagai kebutuhan hidup4.Hukum lingkungan pada dasarnya
mencakup penataan dan penegakan atau compliance and enforcement,5 yang meliputi bidang
hukum administrasi, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
Maka Berdasarkan Fakta Hukum dan Sosial yang ada maka PT Newmont Minahasa Raya
telah Melanggar izin Pengelolaan Lingkungan Hidup (izin PPLH), dan untuk menegakkan
izin tsb maka diatur dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
1
Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2001, hal 7.
2
Widia Edorita, Peranan Amdal Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia Dan Perbandingannya
dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, Universitas Andalas, 2007.
3
St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku II: Nasional, Binacipta, Bandung, 1985, hal. 198-201.
4
St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Op Cit, hal. 46.
5
Daud Silalahi, Manusia Kesehatan dan Lingkungan, Alumni, Bandung, 1998, hal. 215.
Pelanggaran Izin Usaha Pertambangan PT Newmont Minahasa Raya
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan
dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dengan memperhatikan
syarat-syarat yang tercantum didalam perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum
yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan
pembangunan lain.
Ketentuan Pasal 36 UUPPLH, menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib
memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) wajib memiliki izin
lingkungan. Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UUPPLH atau rekomendasi UKL-UPL. Izin
lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam
izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini ditetapkan. Dan
berdasarkan Pasal 39 UUPPLH, permohonan izin lingkungan dan izin lingkungan wajib
diumumkan, dan dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.
6
Mas Achmad Santoso, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001, hal. 234.
Sistem perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup hakikatnya merupakan pengendalian aktivitas pengelolaan lingkungan
hidup. Oleh karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan perizinan lingkungan harus
didasarkan norma keterpaduan pada UUPPLH.
Perizinan terpadu bidang lingkungan hidup dalam hal ini tidak hanya tentang teknis
administrasi (prosedur, waktu dan biaya) sebagaimana dipahami oleh aparat pemerintahan
selama ini. Namun juga berkaitan dengan aspek substansi perizinan bidang lingkungan hidup
itu sendiri. Mencermati ketentuan-ketentuan berkaitan dengan perizinan dalam UU ini, pada
satu sisi, yang dimaksudkan adalah izin lingkungan sebagai syarat mendapat izin usaha
dan/atau kegiatan (sektoral).
Jadi terdapat kaitan yang erat antara izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan.
Kedudukan AMDAL sendiri merupakan syarat memperoleh izin lingkungan dan izin usaha
dan/atau kegiatan merupakan satu kesatuan sistem perizinan dalam UUPPLH.7
Izin PPLH diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangansurat keputusan kelayakan lingkungannya dan rekomendasi UKL-UPLnya.
7
Dr. Helmi, SH, MH, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, 2012.
8
Penjelasan Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012.
Semua pengaturan tentang lingkungan hidup pada dasarnya dimaksudkan agar alam dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia pada saat ini dan juga yang tidak
kalah pentingnya yaitu untuk kepentingan kesejateeraan umat dimana mendatang (sustainable
development), dengan kata lain pembuatan UUPPLH serta aturan sektoral lainnya
dimaksudkan atau dijiwai untuk menyelamatkan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa
lingkungan hidup Indonesia telah mengalami berbagai kerusakan yang sangat
mengkhawatirkan dan untuk itu diperlukan pengaturan yang memadai.
Payung hukum atau umbrella act atau umbrella provisionatau dalam ilmu hukum
disebut kadarwet atau raamwet yang utama terhadap masalah lingkungan hidup adalah
UUPPLH. UUPPLH ini menjadikan ketentuan payung bagi peraturan-peraturan lingkungan
hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi peraturan lebih lanjut dibawahnya (lex
ferandai atau ketentuan organik) atas lingkungan hidup.
UUPPLH yang juga merupakan payung pengelolaan lingkungan hidup, maka Undang-
Undang sektoral bidang lingkungan hidup yang diantaranya, kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan, harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain,Pertama, UU tersebut harus
tunduk pada UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak
boleh bertentangan dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan
dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH.
Penegakan hukum antara lain penegakan hukum administrasi memiliki beberapa manfaat
strategis bila dibandingkan dengan penegakan hukum perdata maupun pidana. Dan manfaat
strategis tersebut, yaitu:
b. Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih efisien dari sudut
pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata. Pembiayaan untuk
penegakan hukum administrasi meliputi biaya pengawasan lapangan yang dilakukan secara
rutin dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan dengan upaya pengumpulan
bukti, investigasi lapangan, memperkerjakan saksi ahli untuk membuktikan aspek kausalitas
(sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
Penegakan hukum administrasi dalam sebuah sistem hukum dan pemerintahan minimal
mempunyai 5 (lima) prasyarat awal dari efektivitas penegakannya, yaitu, izin yang
didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian, persyaratan dalam izin
dengan merujuk pada AMDAL, standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang-
undangan, mekanisme pengawasan penataan, keberadaan pejabat pengawas (inspektur)
dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, dan sanksi administrasi.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara konsisten sesuai dengan
kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, penegakan sanksi
administrasi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum lingkungan (primium
remedium).
Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan untuk dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan lebih lanjut dalam hukum
administrasi, oleh karena didalam rumusan tindak pidana lingkungan, suatu perbuatan
dinyatakan sebagai suatu tindak pidana jika dilakukan bertentangan dengan persyaratan
administrasi.
9
Alvi Syahrin, Ketentuan Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Cetakan PT. Sofmedia, 2011, hal. 23.
hal tersebut tidak dapat dipidana. Atau dengan kata lain tindakan yang seharusnya tidak
pidana menjadi bukan tidak pidana karena sifat melawan hukumnya hilang.10
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
d. pembongkaran;
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran
yang dilakukan menimbulkan:
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya.
Pandangan hukum pidana dapat dipergunakan sebagai instrumen dalam rangka perlindungan
terhadap lingkungan hidup, membawa konsekuensi terhadap keterjalinan hukum pidana
dengan hukum administrasi.
Keterjalinan upaya penyidikan hukum pidana dengan sarana hukum administrasi (yang
lebih cenderung melaksanakan tugasnya dalam rangka prevensi atau memandang
pelanggaran masalah lingkungan sebagai yang harus dipecahkan, diberi nasehat dan/atau
perbaikan keadaan) akan menjadikan penegakan hukum lingkungan lebih baik jika berjalan
dengan bersinergi, atau menjadi kendala jika tidak bersinergi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah yang diambil dari beberapa sumber dan sudah
di uraikan sebelumnya, maka yang menjadi Permasalahan adalah :
1. Apa Saja Fakta Hukum maupun sosial yang ada Terkait aktivitas Pertambangan yang
dilakukan PT NewMont Minahasa Raya setelah mendapat izin usaha pertambangan
dari pemerintah indonesia?
2. PT Newmont Minahasa Raya melanggar izin pengelolaan lingkungan apa saja ?
3. Bagaimana Tindakan Pemerintah indonesia dalam menyikapi Fakta Hukum maupun
sosial sebagai upaya penegakan Hukum Lingkungan di indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingi dicapai
dari penulisan ini adalah:
1. Meninjau dan Menjelaskan Permasalahan yang terjadi pada aktivitas pertambangan
perusahaan asing di indonesia.
D. Pembahasan
Kronologis Pemberian izin kepada PT Newmont Minahasa Raya
PT. Newmont Minahasa Raya merupakan perusahaan pertambangan yang berkerja sama
dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing. Markas
Induk PT. NMR, selanjutnya dikenal dengan Newmont Gold Company (NGC) berada di
Denver, Colorado, Amerika Serikat. NGC menempati posisi lima produsen emas dunia.
Selain PT. NMR, di Indonesia perusahaan ini juga berkegiatan di Sumbawa, Nusa Tengara
Barat dengan nama PT. Newmont Nusa Tenggara. Proyek Newmont antara lain tersebar di
Kazakhtan, Kyryzstan, Uzbekistan, Peru, Brasilia, Myanmar dan Nevada.
PT. NMR menandatangani kontrak karya dengan Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 6 November 1986 melalui surat persetujuan Presiden RI No. B-3/Pres/11/1986. Jenis
bahan galian yang diijinkan untuk di olah adalah emas dan mineral lain kecuali migas,
batubara, uranium, dan nikel dengan luas wilayah 527.448 hektar untuk masa pengolahan
selama 30 tahun terhitung mulai 2 Desember 1986. Tahap produksi diawali pada Juli 1995
dan pengolahan bijih dimulai Maret 1996. Dalam tahap eksplorasi, PT. NMR menemukan
deposit emas pada tahun 1988. Kemudian kegitan penambangan akan direncanakan dengan
luas 26.805,30 hektar yang akan dilakukan di Messel, Ratatotok kecamatan Ratatotok
kabupaten Minahasa yang berjarak 65 mil barat daya Manado atau 1.500 mil timur laut
Jakarta.
Awal Permasalahan
Pencemaran dan Dampak akibat kegiatan penambangan PT. NMR terjadi mulai tahun 1996
1997 dengan 2000-5000 kubik ton limbah setiap hari di buang oleh PT. NMR ke perairan di
teluk Buyat yang di mulai sejak Maret 1996. Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut,
terbungkus lapisan termoklin pada kedalaman 82 meter. Nelayan setempat sangat memprotes
buangan limbah tersebut. Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai ikan
mati mengapung dan terdampar di pantai. Kematian misterius ikan-ikan ini berlangsung
sampai Oktober 1996. Kasus ini terulang pada bulan juli 1997. Kematian ikan-ikan yang mati
misterius ini, oleh beberapa nelayan dan aktivis LSM di bawa ke laboratorium Universitas
Sam Ratulangi Manado dan Laboratorium Balai Kesehatan Manado, tetapi kedua
laboratorium tersebut menolak untuk meneliti penyebab kematian ikan-ikan tersebut. Hal
yang sama PT. NMR berjanji untuk membawa contoh ikan mati tersebut ke Bogor dan
Australia untuk diteliti tetapi dalam kenyataannya penyebab kematian dan terapungnya
ratusan ikan tersebut belum pernah di sampaikan pada masyarakat. Padahal PT. NMR sendiri,
mulai melakukan analisis dalam daging dan hati beberapa jenis ikan di Teluk Buyat sejak 1
November 1995. Ini rutin tercatat setiap bulannya.
Permasalahan Berlanjut
Kemudian pada tanggal 19 juni 2004, Yayasan Suara Nurani (YSN) dengan dr. Jane
Pangemanan, Msi bersama-sama dengan 8 mahasiswa Pasca Sarjana Kedokteran jurusan
Kesehatan Masyarakat melalui Program Perempuan, melaksanakan kegiatan program
pengobatan gratis untuk warga korban tambang khususnya di Buyat pante (Lakban)
Ratatotok Timur Kab. Minahasa Selatan, dan dari hasil pemeriksaan tersebut menyatakan
bahwa 93 orang yang diteliti menunjukkan keluhan atau penyakit yang diderita seperti sakit
kepala, batuk, beringus, demam, gangguan daya ingat, sakit perut, sakit maag, sesak napas,
gatal-gatal dan lain-lain. Diagnosa yang disimpulkan oleh dr Jane Pangemanan, adalah warga
Buyat Pantai menderita keracunan logam berat. Keracunan yang di derita warga desa Buyat
Pantai ini, ternyata sudah dibuktikan oleh penelitian seorang Dosen Fakultas Perikanan Ir.
Markus Lasut MSc, dimana pada bulan Februari 2004, dari hasil penelitian terhadap 25 orang
(dengan mengambil rambut warga) terbukti bahwa, 25 orang tersebut sudah ada kontaminasi
merkuri dalam tubuh mereka. Polemik tentang Penyakit akibat limbah NMR ini berkembang
menjadi tajam, karena pihak Pemerintah dan Dinas Kesehatan terang-terangan membela PT.
NMR dengan mengatakan tidak ada pencemaran.12
12
https://pseudorechtspraak.wordpress.com/2012/04/06/pt-newmont-minahasa-raya-pencemar-teluk-buyat/
Fakta Hukum dan Sosial yang ada :
Tim independen yang dibuat Kementerian Negara Lingkungan Hidup, PEER Review
menetapkan, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) melanggar standar baku mutu merkuri
dalam kasus Buyat. Hal itu disampaikan Menneg LH Nabiel Makarim dalam jumpa pers di
kantornya jalan Cipinang Jakarta Timur, Selasa (31/8/2004). Dituturkan dia, dari hasil Tim
PEER Review, penanganan kasus Teluk Buyat Minahasa Sulut sudah melakukan pengkajian
12 riset mengenai Teluk Buyat yang ada sejak tahun 1994 hingga tahun 2004, termasuk
laporan dari Polri. Tim terdiri dari 16 ahli, antara lain berasal dari IPB Bogor, Undip
Semarang, LIPI, BPPT, UI, ICEL, dan Unsrat Manado. Hasilnya, pertama, telah terjadi
pelanggaran yang dilakukan NMR terhadap standar baku mutu arsen, air raksa (merkuri),
sianida. Kedua, ada pelanggaran yang dilakukan Newmont yakni pembuangan tailing ke laut.
Ketiga, ada pelanggaran terhadap termocline yang tidak pada minus 82 meter, tetapi pada
minus 100 sampai minus 300 meter. Akibatnya terjadi bioakumulasi. Untuk itu perlu
penegakan hukum. Saran dari tim, pertama, perlu ada penelitian terhadap warga yang sakit,
terutama mengenai tassway, apakah mereka sakit karena ikan yang dimakan, atau karena
yang lainnya. Kedua, perlu dilakukan biomonitoring dan human biomonitoring. Ketiga, perlu
adanya pelarangan pembuangan limbah tailing ke laut. Keempat, perlu adanya amandemen
terhadap dokumen penutupan tambang yang dikeluarkan Kementerian ESDM, di mana NMR
bertanggung jawab selama 30 tahun ke depan. Untuk diketahui, dalam dokumen penutupan
tambang, NMR hanya diwajibkan melakukan monitoring selama 3 tahun. Kementerian
Negara LH langsung menyetujui laporan tersebut? "Yang jelas, ini akan menjadi masukan,
dan akan saya laporkan ke dalam rapat Menko Polkam dan Menko Kesra," kata Nabiel.
"Sebab saya kan juga bagian dari pemerintah. Jadi jangan dipisah-pisahkan. Jangan sampai
ada dua sikap. Jadi dalam waktu dekat saya akan minta Menko Polkam dan Menko Kesra
menggelar rapat guna membahas masalah ini," lanjutnya. Dalam laporan tim juga dijelaskan,
kata Nabiel, izin yang diberikan kepada NMR telah dilanggar dan izin lingkungannya juga
dilanggar. Dan memang di Buyat ada potensi pencemaran merkuri untuk 10-15 tahun
mendatang. Untuk diketahui, merkuri yang dibuang ke lingkungan yang dilakukan
penambang emas tanpa izin (PETI) di Ratatotok dekat Buyat sebesar 65 ton per tahun. "Tapi
tim ini tidak melihat apakah hasil studi yang dikaji itu dilakukan di lab yang terakreditasi atau
tidak. Yang jelas, saat tim bekerja di Purwakarta, mereka memanggil semua pihak-pihak
yang melakukan kajian. Dan data yang dikaji ini juga termasuk data yang dikeluarkan NMR,"
kata Nabiel. Dua belas hasil riset yang dikaji tim antara lain laporan hasil pemeriksaan
laboratoris yang dilakukan Polri tahun 2004, laporan Unsrat dan tim independen Sulut tahun
2004, laporan studi amdal (analisa dampak lingkungan) kegiatan pertambangan emas NMR
di Sulut, dan lainnya.13
13
http://news.detik.com/read/2004/08/31/180255/200587/10/tim-peer-review-newmont-langgar-standar-
merkuri?n992204fksberita
ditemukan oleh peneliti dari Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Teluk Buyat Teluk Ratatotok. Fakta-fakta tersebut adalah :
1. Teluk Buyat tercemar Arsen dan Merkuri berdasarkan ASEAN Marine Water
Quality Criteria 2004.
4. Kadar Arsen dan Merkuri dalam air minum (air tanah) penduduk melampaui
baku mutu dan ambang batas.
5. Kadar Merkuri dan Arsen dalam ikan beresiko bagi kesehatan penduduk Teluk
Buyat.
6. Kadar Logam Berat dalam udara di Dusun Buyat Pante secara keseluruhan
paling tinggi dibandingkan desa lainnya dan dalam jangka panjang berbahaya bagi
manusia.
7. Sumber pencemaran Arsen dan Merkuri di Teluk Buyat adalah limbah tambang
PT Newmont Minahasa Raya, bukan terjadi secara alamiah.
1. Prosedur dan lokasi Sistem Pembuangan Tailing Dasar Laut (SPDTL) yang
berada di lapisan awal zona termoklin yaitu pada kedalaman 82 (delapan puluh dua)
meter, tidak berada dibawah lapisan termoklin (kedalaman 150 meter). Sehingga
tailing terdispersi dan dapat ditemukan pada kedalaman 20 (dua puluh) meter serta
sudah tersebar pada radius 3,5 km dari mulut pipa pembuangan tailing.
e. Kematian ikan dalam jumlah lebih dari seratus ekor di sekitar pipa
pembuangan tailing di Teluk Buyat maupun terdampar di pantai.
4. Tidak adanya surat ijin dari Kementerian Lingkungan HIdup dalam pembuangan
limbah ke laut maupun pengolahan limbah
14
https://surahmanarea.wordpress.com/2011/01/03/my-legal-opinion-about-buyat-case/
Kemudian pihak pemerintah didalamnya Menteri Negara Lingkungan Hidup
menyelesaikan permasalahan ini memalui jalur non litigasi terhadap PT. NMR dengan
meminta ganti kerugian sebesar 124 juta dolar AS sebagai ganti rugi akibat turunnya mutu
lingkungan dan kehidupan warga Buyat yang menjadi korban akibat kegiatan tambang
newmont. Pihak PT. NMR hanya sanggup membayar 30 juta dolar AS, dan penyelesaian
melalui jalur non litigasi tersebut pun dianggap sebagai jalan keluar yang tepat. Namun pada
tahun 2005 kasus ini masuk ke jalur pidana, dimana surat pelimpahan perkara dari Kejaksaan
Negeri Tondano atas perkara No. Reg. B1436R112. TP207/2005 yang diterima oleh Panitera
Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 11 Juli 2005 dan hal ini telah sesuai berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA033/SK04/2005 yang menyatakan bahwa
kewenangan mengadili dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Manado.
Selanjutnya persidangan kasus ini dimulai pada tanggal 5 Agustus 2005 dengan agenda
pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan berakhir pada tanggal 24 April
2007 dengan agenda pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim. Kasus ini menarik perhatian
publik karena merupakan kasus dengan masa sidang terlama untuk kasus pencemaran
lingkungan di Indonesia serta menghadirkan sekitar 61 orang saksi serta ahli, dengan
perincian 34 saksi/ahli dihadirkan JPU dan 27 saksi/ahli dihadirkan oleh terdakwa. Selain
saksi dihadirkan juga alat bukti berupa surat, ada 42 alat bukti surat dari JPU dan 107 alat
bukti surat yang dihadirkan oleh kedua terdakwa. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 dikenal
dengan adanya pembuktian terbalik dimana terdakwalah yang dikenai beban untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah sebagaimana yang disangkakan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Walaupun demikian, di Indonesia pembuktian terbalik itu tidak murni
sebagaimana terlihat dalam kasus ini, dimana Jaksa Penuntut Umum juga memberikan
pembuktian dengan menghadirkan saksi ahli dan beberapa alat bukti surat berupa hasil
penelitian yang dilakukan. Kemudian dalam Tuntutannya Jaksa Penuntut Umum menuntut
PT. NMR telah melanggar Pasal 41 Ayat 1 Jo Pasal 45, Pasal 46 Ayat 1, dan Pasal 47 UU
No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hukum pidana yang
dianut oleh Indonesia, bukan hanya orang yang bisa didakwa tetapi juga badan, sehingga ini
juga merupakan kasus kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Sementara
pada Richard Bruce Ness, selaku Presiden Direktur yang bertanggung jawab terhadap setiap
langkah yang dilakukan oleh PT. NMR, di tuntut dengan Pasal 41 Ayat 1 dan Pasal 42 Ayat 2
UU No. 23 Tahun 1997.
Namum pada tanggal 24 April 2007 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado
memvonis bebas murni Terdakwa I PT. Newmont Minahasa Raya dan Terdakwa II Richard
B. Ness dari tuntutan pencemaran lingkungan. Dalam Amar Putusannya Majelis Hakim
menyatakan bahwa Terdakwa I PT Newmont Minahasa Raya dan Terdakwa II, Richard
Bruce Ness, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
dalam dawaan primair, dakwaan subsidair, dakwaan lebih subsidair, dakwaan lebih subsidair
lagi, dan tuntutan jaksa penuntut umum, menyatakan membebaskan terdakwa I PT. Newmont
Minahasa Raya dan Terdakwa II Richard Bruce Ness dari seluruh dakwaan dan tuntutan
jaksa penuntut umum, menyatakan memulihkan hak Terdakwa I PT. Newmont Minahasa
Raya dan terdakwa II Richard Bruce Ness dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta
Martabatnya, dan membebankan biaya perkara kepada negara (15)
(15) https://pseudorechtspraak.wordpress.com/2012/04/06/pt-newmont-minahasa-raya-
pencemar-teluk-buyat/
Tinjauan kasus PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) dari instrumen hukum lingkungan :
Minimnya data atau informasi Pemerintah tentang kondisi lingkungan Teluk Buyat terkait
tuduhan pelanggaran atas Baku Mutu Lingkungan. Pemerintah menuduh bahwa PT. NMR
selama candra 1996-2004 telah membuang limbah tailing dibawah baku mutu lingkungan.
Hal tersebut dinyatakan berdasarkan pada RKL RPL yang diserahkan kepada pemerintah dan
hasil penyelidikan dan penelitian LabFor Mabes Polri. Namun kemudian diketahui, bahwa
hasil penelitian dan penyelidikan tersebut ternyata amat jauh berbeda dengan hasil penelitian
berbagai pihak independen baik dari akademisi, LSM , dan Badan peneliti lingkungan baik
nasional maupun Internasional yang menilai bahwa tidak ada pelanggaran baku mutu
lingkungan terhadap limbah yang dikeluarkan. Hal ini jelas amat merugikan PT. NMR serta
dapat menimbulkan ketidak pastian hukum dan iklim usaha. Seharusnya dalam mewujudkan
penaatan akan hukum lingkungan, pemerintah memiliki informasi dan data tentang
lingkungan komprehensif dan sebanyak-banyakanya.
Tidak adanya teguran terkait pelanggaran Baku Mutu Lingkungan merupakan indikator
adanya tuduhan yang tidak mendasar atau minimnya kinerja aparat Pengawas (Inspektur
Lingkungan). Telah diketahui bahwa pemerintah menduga adanya pelanggaran baku mutu
lingkungan terkait dengan pembuangan tailing kelaut yang dilakukan oleh PT. NMR selama
candra 1996 hingga tahun 2004. Namun amat mengherankan, pemerintah selama ini tidak
pernah memberikan teguran terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PT. NMR. Padahal
pemerintah dalam memberikan sanksi adminitrasi terkait dengan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan, terlebih dahulu seharusnya memberikan teguran sebanyak tiga kali secara
berturut-turut bagi pelaku pelanggaran. Hal menunjukan dua kemungkinan, yakni bahwa PT.
NMR tidak pernah melakukan pelanggaran yang dituduhkan atau aparat pengawas
lingkungan lemah dalam melakukan pengawasan.
A.PENDAHULUAN
Satu abad sebelum masehi Cicero megemukakan hubungan antara hukum dan
masyarakat melalui kalimat sederhana ubi societas, ibi ius. Dimana ada masyarakat disana
ada hukum. Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan
kata lain hukum dibentuk dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman
dan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya adalah hukum tidak selalu dipatuhi. Sering terjadi pelanggaran-
pelanggaran kaedah-kaedah hukum dalam masyarakat, yang membahayakan keutuhan
masyarakat. Untuk mewujudkan ketertiban hukum itu perlu adanya suatu tugas untuk
mengawasi agar hukum dipatuhi; mencegah agar tidak terjadinya pelanggaran serta
menghukum pelanggar. Pada dasarnya tiga tugas tersebut diatas dapat dilaksanakan oleh
masyarakat. Akan tetapi karena adanya kepentingan yang saling bertentangan diantara
masyarakat maka tugas tersebut tidak lagi mampu dilaksanakan oleh masyarakat. Tetapi
diambil alih oleh negara melalui organ-organ negara.
Kalau kita berfikir bahwa kita mempunyai polisi, hakim, jaksa, legislative membuat UU dan
pengadilan menerapkannya maka akan meyakinkan bahwa sistem ini sangat penting dan
berkat itu hukum ditegakan, masyarakat dibebaskan dari unsur-unsur asosial yang
menghambat perkembangannya[1]. Oleh karena itu penting adanya suatu peradilan pidana
yang terpadu.
Sistem peradilan pidana menurut Mardjono adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana[2].
Tujuannya adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; menyelesaikan kasus
kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana; serta mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
lagi mengulangi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana juga merupakan bentuk reaksi formal terhadap kejahatan. Namun,
tidak berarti reaksi yang dilakukan secara ceroboh tanpa adanya perlindungan terhadap
HAM. Mulai dari hak untuk disangka tidak bersalah, hak untuk mendapatkan bantuan
hukum, hak untuk tidak disiksa, dan beberapa hak lainnya ketika seseorang dinyatakan
bersalah.
Terkait dengan hal ini tentu saja sistem peradilan pidana berkewajiban untuk melakukan
pemeriksaan secara profesional, dengan lebih mengedepankan bukti atau fakta yang kuat
untuk menyatakan seseorang bersalah atas suatu kejahatan. Serta melaksanakan pidana sesuai
dengan tujuan pidana itu sendiri dan hak-hak yang seharusnya diterima terpidana. Keharusan
ini mutlak adanya mengingat instrumentasi hukum sangat menitikberatkan kewenangan
lembaga penegak hukum bila dibandingkan dengan posisi tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana, kepolisian merupakan lembaga pertama yang
langsung berhadapan dengan masyarakat, baik sebagai korban kejahatan, saksi, maupun
tersangka. Dengan demikian, jelaslah bahwa lembaga kepolisian mempunyai tugas utama
untuk melindungi keamanan dalam negeri dan menjadi penegak hukum utama yang dalam
tugas sehari-hari bisa saja mereka mendapat cemooh, tidak dihormati, dan tidak dipercayai
masyarakat.
Memang mengatur hubungan polisi dengan masyarakat bagaikan memainkan karet. Kapan
karet itu harus ditarik dan kapan karet mesti dilepas. Setidaknya polisi akan menghadapi dua
masalah besar. Pertama, polisi yang terlalu harmonis dengan masyarakat acap dipersepsikan
bahwa polisi dapat diperlakukan apa saja. Kedua, polisi juga harus membangun pola kerja
antara atasan dan bawahan atau sebaliknya. Namun hubungan yang mementingkan
komunikasi internal sering mengabaikan kehendak masyarakat.
Masyarakat Indonesia masih melihat sosok polisi dengan gambaran sosok yang garang dan
ditakuti. Pandangan seperti ini akan mengganggu polisi yang sedang berusaha menjadi
masyarakat sipil, tetapi mempunyai sifat pengayom dan pelindung masyarakat sesuai dengan
moto polisi yaitu memberikan rasa aman masyarakat dari rasa takut terhadap kejahatan.
Menurut pendapat Johann Stephan Putter sebaiknya tugas polisi jangan lagi menjadi
urusan pemeliharaan kesejahteraan akan tetapi harus dibatasi pada usaha-usaha penolakan
bahaya yang mengancam masyarakat atau individu[3]. Pandangan seperti itu ternyata
mempunyai pengaruh terhadap sarjana penulis buku-buku baik di bidang politik maupun
dibidang ketatanegaraan.
Adapun pandangan-pandangan atau pendapat dari beberapa sarjana tentang apa sebenarnya
tugas polisi itu antara lain adalah menurut Mr.Dr.B.Gewin bahwa tugas polisi adalah
melakukan tugas tertentu daripada tugas negara melaksanakan perundang-undangan untuk
menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakan kewibawaan negara,
menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan kepada masyarakat[4]. Max Iver asal inggris
dalam bukunya The Modern State menyatakan bahwa dalam rangka fungsi negara kepolisian
dapat kita lihat sebagai bagian dari pada fungsi perlindungan[5]. Fungsi Negara itu dapat
digolongkan kedalam : fungsi ketertiban, perlindungan dan fungsi pemeliharaan. Fungsi
perlindungan yang dimaksud adalah berupa menjamin hidup dan hak milik daripada
masyarakat; wewenang menegakan da memberi perlindungan masyarakat menurut hukum
tertentu, menegakan dan memaksakan hak-hak dan kewajiban masyarakat menurut hukum
yang telah ditentukan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa tugas polisi secara umum
adalah memelihara kemanan dan ketertiban. Tetapi fenomena salah tangkap menjadikan
masyarakat merasa tidak terlindungi lagi. Pada kasus salah tangkap malah polisi lah yang
menjadikan masyarakat tidak aman dan terlindungi. Tidak aman karena mereka tidak
bersalah tetapi dipaksa mengaku bersalah dan tidak terlindungi karena polisi sebagai harapan
masyarakat lah yang justru melanggar hak-hak masyarakat.
Kita sebagai masyarakat tentunya akan sangat bangga memiliki polisi yang tegas
namun santun dalam menjalankan hukum. Bahkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, anggota
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) memiliki kewenangan yang bersifat diskresi, yaitu
kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Namun
UU itu juga mensyaratkan anggota polisi agar tindakan harus berdasarkan hukum,
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak azasi
manusia. Namun, semua itu masih ramai pada tataran slogan.
Amanat Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyebutkan bahwa peran utama polisi adalah memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan amanat undang-undang tersebut polisi seharusnya mempunyai hubungan yang
baik dengan masyarakat dalam rangka pengabdian diri kepada masyarakat. Akan tetapi,
sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa polisi belum memberikan pengayoman
seperti yang mereka harapkan.
Banyaknya kasus salah tangkap akhir-akhir ini terhadap seseorang atau beberapa
orang yang tidak bersalah menunjukkan tidak cermat atau cerobohnya polisi dalam
menjalankan tugasnya. Kita diingatkan kisah klasik Sengkon dan Karta (1974) yang
dijebloskan ke penjara karena dituduh merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah
mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojong, Bekasi.
Atau Budi Harjono yang disangka membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi
ternyata bernasib sama karena tidak pernah membunuh ayahnya sendiri. Tahun 2007, terjadi
peradilan sesat atas Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo,
Gorontalo, dan menjalani hukuman di balik jeruji besi atas pembunuhan anak gadisnya, Alta
Lakoro. Namun, pada Juni 2007, kebenaran terkuak, korban masih hidup dan muncul di
kampung halamannya.
Kejadian paling akhir adalah kasus Asrori, korban ke-11 yang diakui Very Idam
Henyansyah alias Ryan, si pembunuh berantai. Secara mengejutkan, kematian Asrori terkait
dengan pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan. Berdasarkan pengakuan
Ryan, dan tes DNA yang dilakukan oleh Kepolisian ditemukan fakta bahwa pelaku
pembunuhan terhadap Asrori bukan ketiga orang yang disangka sebelumnya, melainkan
Ryan. Menurut ketiga tersangka, mereka tidak tahan dengan penyiksaan aparat sehingga
terpaksa mengaku. Meski Mabes Polri lalu meralat kejadian kesalahan penangkapan itu,
sementara itu tiga orang telah ditahan karena sudah berstatus terpidana dan terdakwa atas
kasus pembunuhan yang menurut mereka- Devid Eko Prianto, Imam Hambali alias Kemat
yang telah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang 10 tahun lebih, serta Maman
Sugianto alias Sugik yang sedang disidang Pengadilan Negeri Jombang-tidak pernah mereka
lakukan.
Bayangkan, apabila mereka dituntut atas hukuman mati terhadap kejahatan yang tidak
pernah dilakukannya, dan kemudian dieksekusi. Bagaimana mungkin orang tidak bersalah
mau mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja
terkait dengan bagaimana kinerja polisi dalam menjalankan tugasnya tersebut khususnya
dalm hal mendapatkan pengakuan orang-orang yang disangka bersalah. Dalam praktik, agar
tersangka mengakui perbuatannya, penyidik kepolisian menggunakan berbagai cara,
termasuk kekerasan, dan hampir semua korban salah tangkap mengalaminya. Jadi dalam
kasus salah tangkap, polisi juga patut dipertanyakan kualitas kerjanya dalam hal melakukan
penyidikan, yang berujung salah menemukan tersangkanya.
Sayangnya lagi, salah tangkap tersebut kemudian dilegitimasi oleh pihak penegak
hukum yang seharusnya menjadi alat kontrol bagi kepolisian, mulai dari kejaksaan hingga
hakim. Dinamika pemeriksaan berkas perkara berada di kejaksaan, mekanisme mulai dari
P18 sampai P21 ada di kejaksaan. Kejaksaan seharusnya memiliki alat kontrol, apakah polisi
sudah melakukan penyidikan dengan lengkap atau belum. ''Dalam kasus Asrori, jaksa
langsung memberikan P21 tanpa diperiksa terlebih dahulu.''. Kenyataan ini, memperlihatkan
bahwa pemeriksaan di tingkat jaksa itu lemah.
Karena kejaksaan sudah mengetahui berkas tersebut tidak lengkap, kejaksaan mengolah
kembali berkas tersebut. ''Di polisi sudah 'digoreng', di jaksa 'digoreng lagi'. Jadilah, faktanya
ditambahi. Pada konteks inilah hakim seharusnya melakukan pemeriksaan dengan lebih
saksama, karena hakim bertanggung jawab terhadap pemeriksaan di tahap akhir.
Ada beragam versi tentang siapa yang patut dipersalahkan dalam maraknya kasus
salah tangkap di Indonesia. Mengingat kasus salah tangkap juga berujung pada salah vonis,
maka banyak yang beranggapan bahwa hakimlah yang kurang teliti dalam pemeriksaan.
Tetapi tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa masalah ini muncul dari buruknya
kinerja/profesionalitas Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), karena berkaitan dengan
fungsi penyidik untuk mencari dan menemukan bukti guna menemukan tersangkanya yang
merupakan tahap awal proses dalam pemerikasaan suatu kasus.
Kasus salah tangkap oleh jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka melakukan
tindak pidana membuktikan aparat penegak hukum tidak profesional dan cenderung
memaksakan diri untuk memenuhi target pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu
kasus. Kasus-kasus yang banyak mendapat sorotan masyarakat polisi sering bertindak tidak
sesuai prosedur dan memaksakan diri untuk segera menuntaskan kasus tersebut sehingga
berdampak pada salah tangkap.
Dalam banyak kasus, salah tangkap diiringi dengan penyiksaan pada saat
pemeriksaaan. Orang yang ditangkap pun karena tidak tahan penyiksaan, seringkali
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, yang membuat pengadilan akhirnya memutuskan
bersalah. Ada sejumlah kasus yang diindikasikan polisi merekayasa termasuk dalam
keterangan tersangka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun
intimidasi sehingga orang tersebut terpaksa mengakui BAP meskipun itu bukan
perbuatannya. Bukan rahasia lagi jika polisi masih menggunakan cara-cara konvensial untuk
membuat BAP seperti tekanan fisik dan intimidasi sehingga apa yang tertuang dalam BAP
tidak murni lagi dan hanya untuk memenuhi target polisi.
Berbagai sorotan tajam diberikan oleh masyarakat kepada polisi atas tindakan tidak
terpuji sejumlah anggota kepolisian terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan,
korupsi, tindak kekerasan, pelanggaran pidana bahkan HAM. Praktek kejahatan sejumlah
oknum polisi tersebut pada akhirnya berimbas pada tercemarnya nama POLRI, dimana
masyarakat pada akhirnya memberikan penilaian dan pencitraan POLRI yang negatif dan
tidak bersahabat dengan publik, sehingga berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat
kepada polisi.
Kalau mau diungkap secara jujur, sebenarnya masih banyak kasus salah tangkap yang
tidak terungkap yang dilakukan aparat kepolisian, tetapi karena para korban salah tangkap
selalu berada di bawah ancaman sehingga mereka menerima nasib dengan menjalani
hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Sistem kerja aparat kepolisisan
harus dievaluasi, karena penetapan orang tak bersalah sebagai tersangka adalah sebuah
kekeliruan besar dan kasus ini adalah suatu bentuk pelangaran HAM.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menggali permasalahan dari penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum khususya kepolisian. Meningkatnya fenomena kasus
salah tangkap di Indonesia perlu kita cermati dari segi profesionalitas aparat penegak hukum
dalam hal ini Profesionalitas Kepolisan Republik Indonesia.
B. PEMBAHASAN
B.1.Polisi Ideal
Polisi yang ideal pada masa sekarang adalah polisi yang berusaha sebagai pengayom,
pembina masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, polisi harus tetap menjadi sosok garang,
menakutkan, dan tidak kompromi terhadap kejahatan. Dengan demikian, harus dihindarkan
tindakan-tindakan yang meruntuhkan keluhuran profesinya misalnya penanganan perkara dan
pencegahan kejahatan yang memakai cara-cara kekerasan, serta perilaku korup berupa
meminta biaya dari masyarakat yang memerlukan penyelesaian perkaranya.
Polisi yang ideal pernah dikemukakan Hugeng Imam Santoso (mantan Kapolri) yang
mengatakan bahwa moto polisi adalah fight crime, help deliquence, love humanity dalam arti
walaupun crime tetap akan dicegah dan diberantas, polisi selalu berperang dengan kejahatan,
tetapi tidak berarti bahwa pelakunya mutlak untuk dimusnahkan. Hukuman pidana tetap
diperlukan demi keadilan dan demi pencegahan, tetapi mereka perlu ditolong, ditunjukkan ke
arah yang benar.
Membicarakan polisi Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan diri kita
sendiri juga, pemerintahnya, masyarakatnya, keadaan sosialnya, dan seterusnya. Polisi dan
masyarakat yang ada secara bersama-sama adalah gagasan yang mendasari pencitraan polisi
sipil selama ini[6]. Pada waktu masih aktif mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), Sadjipto Raharjo melihat polisi ideal sebagai polisi yang protagonis, bukan
antagonis. Zaman polisi antagonis sudah lewat bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan
yang otoriter. Pemerintahan atau orde yang demokratis membutuhkan polisi-polisi yang
protagonis, yang menempatkan telinganya di jantung rakyat, bukan penguasa[7]. Namun, ini
sungguh suatu perubahan yang sangat, sangat, dan sangat sulit serta berat untuk
diwujudkan[8].
Sejak keluar dari ABRI pada tahun 1999, dan secara ajeg menjadi POLRI yang mandiri dan
independen, bergulirlah istilah profesionalisme polisi. Di sini, sosok polisi yang ideal
berusaha dirumuskan. Maka terangkumlah suatu pengertian yang disepakati oleh masyarakat
dunia, bahwa polisi yang ideal adalah polisi sipil yang demokratis. Polisi sipil maksudnya,
polisi harus mengedepankan cara-cara sipil untuk menyelesaikan persoalan sosial (termasuk
kejahatan) yang mengemuka di masyarakat. Jelas, polisi wajib menjauhi cara kekerasan dan
militeristik dalam bertugas. Polisi itu beda dengan tentara. Polisi bertugas memberi rasa aman
kepada masyarakat. Sementara tentara kerjanya bertempur mempertahankan negara.
Dalam rangka penegakan hukum, hendaknya tetap dijaga code of conduct law officer
yang menekankan kepada perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak asasi tersangka,
hak asasi masyarakat, dan hak asasi korban. Polisi ideal adalah polisi yang bisa melindungi
secara hukum pelaku, korban, dan masyarakat[9]. Perlindungan hukum kepada tersangka
berupa kesempatan atau access to legal councel (bantuan hukum), perlindungan hukum
terhadap korban berupa informasi kepada korban tentang perkembangan kasusnya, dan
perlindungan terhadap masyarakat bahwa polisi benar-benar telah menangani kasusnya
sehingga masyarakat percaya bahwa keadilan akan ditegakkan[10].
B.2. Tugas dan Fungsi Kepolisian Sebagai Bagian dari Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana (SPP) merupakan bentuk reaksi formal terhadap kejahatan. Namun,
tidak berarti reaksi yang dilakukan secara ceroboh tanpa adanya perlindungan terhadap
HAM. Mulai dari hak untuk disangka tidak bersalah, hak untuk mendapatkan bantuan
hukum, hak untuk tidak disiksa, dan beberapa hak lainnya ketika seseorang dinyatakan
bersalah. Terkait dengan hal ini tentu saja SPP berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan
secara profesional, dengan lebih mengedepankan bukti atau fakta yang kuat untuk
menyatakan seseorang bersalah atas suatu kejahatan. Serta melaksanakan pidana sesuai
dengan tujuan pidana itu sendiri dan hak-hak yang seharusnya diterima terpidana. Keharusan
ini mutlak adanya mengingat instrumentasi hukum sangat menitikberatkan kewenangan
lembaga penegak hukum bila dibandingkan dengan posisi tersangka, terdakwa, dan terpidana
Polisi lebih sering dipersalahkan daripada jaksa dan hakim, karena di lapangan polisi
bersentuhan dengan masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan jaksa dan hakim. Polisi
adalah gate-keeper (pintu gerbang) sistem peradilan pidana (SPP). Tidak mengherankan bila
citra sistem peradilan pidana sering diidentikkan dengan kinerja polisi. Fungsi penegakan
hukum yang dilakukan oleh polisi bisa diartikan sebagai bagian dari mekanisme sistem
peradilan pidana. Dengan demikian, tanggung jawab polisi sangat besar sebagai bagian dari
sistem peradilan pidana. Lembaga Kepolisian memang mendapat perhatian utama, karena
lembaga inilah yang menjadi ujung pangkal dari keseluruhan proses peradilan pidana.
Kepolisan harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa semua tindakan dalam rangka
penegakan hukum harus dapat dirasakan sebagai suatu penegakan keadilan bagi masyarakat.
Suatu keputusan yang diambil oleh polisi dianggap adil oleh masyarakat apabila mekanisme
kontrol horizontal berjalan efektif
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri
yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,
serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia
sebagaimana dinyatakan pada Pasal 4 UU POLRI. Dalam mencapai tujuan tersebut diatur
dalam Pasal 13 yaitu Kepolisian Negara Republik mengemban tugas pokok antara lain
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga esensi tugas pokok
bersifat simultan dan tidak bersifat hierarkis.
Tujuan Kepolisian adalah sejalan dengan tujuan masyarakat dan negara, yaitu untuk
kepentingan ketertiban pribadi dan pada rakyat Indonesia seluruhnya[11]. Kepentingan rakyat
dan pemerintah menjadi satu diperjuangkan bersama yaitu polisi adalah dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Ini berarti bahwa rakyat diberi hak dan kesempatan
seluas-luasnya untuk setiap saat megontrol jalannya alat-alat perlengkapan negara termasuk
polisi.
Polisi bagai merangkai pecahan gelas. Puing-puing yang berserakan harus ditelusuri
posisinya di mana. Seni merangkai inilah yang harus dibuktikan oleh polisi. Rangkaian
pecahan itulah yang dimaksud sebagai bukti-bukti yang mengarahkan seseorang menjadi
orang yang layak mendapatkan dakwaan. Merangkai pecahan gelas itu pasti sulit dan tingkat
kesalahannya tinggi. Namun polisi selalu menggunakan berbagai cara untuk memperoleh
bukti pecahan-pecahan tersebut dari ketentuan hukum acara pidana (KUHAP). Dalam
menjalankan ketentuan itu, polisi harus berlandaskan pada prinsip-prinsip penyidikan.
Pada tahap penyidikan polisi mencari dan mengumpulkan bukti yang terjadi. Lalu
polisi membuat berita acara. Ketika berkas-berkas perkara (berita acara, alat bukti, barang
bukti) dari kepolisian dinyatakan sudah lengkap oleh kejaksaan (P21), maka kejaksaan
menyiapkan penuntutan untuk mengajukan tersangka ke depan pengadilan (menjadi
terdakwa). Apabila hakim merasa sudah tersedia cukup bukti bahwa terdakwa telah
melakukan kejahatan tersebut, keluarlah vonis hukuman penjara. Dilihat dari prosesnya,
maka tahapan-tahapan tadi saling tergantung satu sama lain.
Pada kasus salah tangkap, dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka sering
dilakukan dengan mekanisme yang justru melanggar Hak Asazi Manusia (HAM), seperti
pelanggaran hak dalam pendampingan bantuan hukum dan hak untuk tidak disiksa. Kasus
yang disinggung di awal juga menambah panjang daftar pelanggaran HAM dalam proses
pemeriksaan. Pengakuan tersangka memang dapat dijadikan dasar penindakan, namun bukan
berarti pembuktian faktual sudah tidak lagi menjadi bahan yang perlu dipersiapkan dengan
serius.
Hukum Acara Pidana kita telah mengatur masalah pembuktian. Dalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi; keterangan ahli;
surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Dalam pembuktian KUHAP meminta adanya dua
alat bukti dan tidak perlu ada pengakuan dari tersangka. Namun, polisi umumnya mengejar
pengakuan dari tersangka. Dari sudut hukum acara pidana, cara-cara pemaksaaan seperti ini
tidak dapat dibenarkan. Artinya, telah terjadi sebuah tindak pidana yang dapat diperberat
karena polisi yang memaksanya memiliki kekuasaan atas nama undang-undang.
Instrumentasi internasional pada dasarnya telah memberikan pedoman dan aturan yang jelas
tentang perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana[13]. Prinsip ke-6 dari
Prinsip-prinsip Perlindungan Semua Orang saat Penahanan dan Pemenjaraan (Perserikatan
Bangsa-Bangsa, 1988) menegaskan, bahwa tidak seorang pun yang berada dalam penahanan
atau pemenjaraan dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan yang kejam tidak
manusiawi atau merendahkan martabat keadaan apapun, tidak dapat dipakai sebagai
pembenaran untuk menyiksa/perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
Prinsip-prinsip ini juga menegaskan hak seseorang yang ditahan untuk membela diri dan
mendapatkan bantuan hukum dan pengaduan keluhan.
Fungsi kepolisian sebagaimana yang tertuang pada Pasal 2 Undang-undang No 2 tahun 2002
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasal 4 UU POLRI menegaskan bahwa Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Komite Anti-penyiksaan PBB dalam laporannya, 5-7 Mei 2008, menyatakan, praktik
penyiksaan yang melanggar HAM di Indonesia cenderung meluas meski kita merupakan
salah satu negara pihak yang telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia
melalui UU No 5/1998. Berikut adalah Tabel Kasus-Kasus Salah Tangkap, Penyiksaan dan
Peradilan Sesat yang terjadi pada tahun 2007 - 2008[14] :
Terkait masalah Asrori, Kapolri Jenderal Pol Sutanto menyatakan, POLRI akan
meminta maaf dan sekaligus membebaskan para korban salah tangkap, jika polisi terbuki
salah menangkap pelaku kasus pembunuhan Asrori di Jombang. Polri juga akan mengambil
tindakan terhadap petugas yang salah menangkap sesuai kesalahannya. Kapolri mengatakan
bila ditemukan kesalahan, ia yakin itu bukan disengaja, tapi kelalaian. Saya kira bukan ini
kan satu keinginan dari penyidik membongkar suatu kasus bisa saja terjadi bukan
penyimpangan ya, tetapi kelalaian dalam pelaksanaannya dan bukan kesengajaan tentunya,
katanya[15]. Namun, pernyataan maaf Kapori itu tentu saja tidak menyelesaikan masalah
sampai keakarnya.
Bab XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 KUHP ayat
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang
lain. Pasal 335 KUHP dapat diterapkan bagi semua orang - 'barang siapa' (termasuk polisi) -
yang memaksa orang lain untuk mengakui suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam
hal ini, mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya adalah kejahatan berbohong
(apalagi di bawah sumpah di depan pengadilan).
Coba kita bandingkan dengan kejahatan lain, seperti tanggung jawab pidana seorang
pilot atas kecelakaan pesawat yang mengakibatkan tewasnya para penumpang. Atau
tanggung jawab seorang dokter atas pekerjaan yang dilakukannya. Keduanya dapat diminta
pertanggungjawaban pidana. Dari sini, dapat disimpulkan siapa pun, baik atas perintah
undang-undang atau bukan, tetap dapat dipidana sesuai dengan kejahatannya. Seorang polisi,
jaksa atau hakim yang keliru menjalankan tugasnya dapat dikenai pidana. Undang-undang
tidak boleh digunakan sebagai tameng untuk menutupi sebuah kesalahan yang notabene
adalah kejahatan itu sendiri.
Berbagai kesalahan polisi hanya akan ketahuan manakala kasus-kasus yang ditangani
telah selesai. Baru terungkap setelah proses di pengadilan atau beberapa tahun kemudian.
Sebab kejahatan itu pasti terungkap, meski pengungkapannya bukan secara sengaja dilakukan
oleh polisi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi polisi terjebak kesalahan itu. Pertama,
dinamika kerja begitu kompleks. Polisi dihadapkan pada kasus-kasus yang harus disidik,
mulai kasus konflik dalam rumah tangga hingga teror bom. Baik yang bersifat kasus delik
aduan maupun bukan delik aduan. Amat banyak kejahatan karena laporan masyarakat atau
hasil patroli harus ditindaklanjuti. Tentu masyarakat juga berharap, setiap kasus dapat
diselesaikan secara cepat. Namun cara menyelesaikan kasus-kasus kejahatan juga mendapat
sorotan masyarakat. Polisi yang bersikap tegas akan mendapat reaksi keras dari masyarakat.
Polisi yang mengikuti prosedur secara lebih hati-hati pun akan dicaci amat lamban. Bahkan
untuk berbagai kasus yang mendapat perhatian masyarakat, seperti narkoba, polisi harus
mengikuti prosedur, misalnya barang bukti yang jelas. Padahal, apa yang dirasakan dan
dilihat masyarakat belum tentu bisa dijadikan barang bukti. Tak ayal lagi, polisi harus
melepas tersangka karena kurang bukti. Masyarakat lalu menuduh polisi main mata dengan
tersangka. Banyaknya kasus yang diselesaikan (clearance rate) juga dikaitkan dengan
profesionalitas polisi. Model penanganan polisi secara cepat seperti ban berjalan: setiap kasus
yang masuk ke institusi kepolisian harus diselesaikan secara cepat. Namun kualitas
penanganan juga seperti tanpa memperhatikan aspek humanitas. Polisi dianggap kejam dan
mengabaikan hak-hak masyarakat untuk mengontrol polisi.
Kedua, sumber daya manusia polisi menentukan tingkat pelayanan dan penanganan
kasus-kasus kejahatan. Polisi harus lebih cerdas dari tentara karena musuh polisi berkaitan
dengan perilaku manusia, sedangkan tentara lebih mudah mengidentifikasi musuhnya.
Perilaku manusia dapat bersifat nyata, tapi lebih banyak bersifat pseudo (samar-samar).
Dinamika perilaku sosial menyulitkan polisi untuk dapat memprediksi apa yang akan terjadi.
Polisi lebih sering mendapat laporan dari masyarakat tentang apa yang sudah terjadi. Polisi
yang menangani perkara mestinya memiliki ilmu pengetahuan tentang kepolisian dan ilmu-
ilmu lain (sosiologi, kriminologi, psikologi, komputer, ekonomi, hukum, dan lain-lain). Tidak
bisa lagi memaksa orang mengaku dengan cara-cara lama. Teknologi kepolisian sudah
berkembang. Polisi harus lebih cermat dan membangun kesimpulan, yang didasarkan pada
bukti atau keterangan saksi. Cara memperoleh bukti tentu tidak lagi statis, tapi ditunjang
dengan berbagai metode pembuktian yang canggih.
Kelima, karena gengsi atau target atasan harus menyelesaikan kasus tertentu dalam
waktu cepat. Pengabaian hak-hak tersangka acap menonjol. Sehingga berbagai metode ilmiah
penyidikan dikesampingkan. Yang penting, pengakuan tersangka, yang kemudian malah
menjadi boomerang bagi pihak kepolisian dalam kasus salah tangkap.
Bicara tentang Profesionalisme, ada batasan menarik yang disampaikan oleh pakar
kepolisian Amerika Serikat, Donald C.Whitlan, yang membagi kriteria profesi sebagai
berikut[16] : menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaannya; keahlian yang
didasarkan pada pelatihan atau pendidikan jangka panjang; pelayanan yang terbaik bagi
pelanggannya; memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku anggota profesi;
mengembangkan kelompok profesinya melalui asosiasi, seperti The International Chief Of
Police Association yang cukup terkenal; memiliki kode etik sebagai pedoman melakukan
profesinya; memilih profesinya sebagai pengabdian berdasarkan panggilan jiwanya; dan
memiliki kebanggaan terhadap profesinya, bertanggung jawab penuh atas monopoli keahlian
profesi.
Melalui Keppres No 50 tahun 2006 tertanggal 9 Mei 2006 dibentuk Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas). Kompolnas yang merupakan bagian dari amanat UU No 2 Tahun
2002 ini dimaksudkan untuk mengawasi kinerja Polri agar sesuai dengan kapasitasnya yaitu
sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Kehadiran komisi ini diharapkan
mampu menjawab problem kekecewaan masyarakat terhadap rendahnya pelayanan/kinerja
perilaku yang menyimpang, dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian-selama ini
masyarakat tidak tahu siapa pihak yang berwenang dan berkompeten untuk menanganinya.
Menurut Barda Nawawi Arief, sistem dan undang-undang saja tidak cukup ntuk
menciptakan peradilan yang utuh: Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas peradilan
tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan/penegakkan
hukum, berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individu (SDM), kualitas
institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen, kualitas sarana dan
prasarana, kualitas sustansi hukum/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi
sosial, ekonomi, politik, budaya termasuk budaya hukum masyarakat)[17].
Pelajaran dari berulangnya salah tangkap dan salah hukum bagi semua aparat penegak
hukum agar tidak terulang lagi di Indonesia adalah male enim nostro iure uti non debemus,
yang artinya adalah janganlah kita salah mempergunakan hukum kita.
Keberadaan polisi sebagai penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban, memberi rasa
aman kepada masyarakat memang belum sempurna. Untuk itu, diperlukan aparat kepolisian
yang sungguh-sungguh committed pada keinginan untuk mencapai supremasi hukum yang
berkeadilan. Kondisi ideal seperti ini hanya dapat terwujud apabila ada dukungan manajemen
yang efesien dan efektif dengan bersandar kepada objektivitas dan tranparansi dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nasib polisi. Masyarakat pun mempunyai
peranan yang besar dalam menciptakan polisi yang ideal. Sinergi antara masyarakat dan
kepolisian yang demokratis dan berorientasi kepada hak asasi manusia akan menciptakan
suatu penegakan hukum yang berkeadilan.
Mungkin ke depan, dalam pendidikannya, polisi juga perlu diajarkan bagaimana menjunjung
tinggi norma-norma moral, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dengan cara inilah, kita boleh berharap anggota polisi kita benar-benar bisa diandalkan
menjadi pengayom, pelindung, pengaman dan mitra masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
L.C.Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana, Sebelas Maret University Press, Semarang,
1995
Nawawi Arief, Barda, Beberapa Aspek Kebijakan penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijkakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002
Nawawi Arief, Barda, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Warsito, Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal
A.A. Oka Mahendra, Permasalahan Dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vo.1 No.4, Desember 2004, Depkum-HAM RI, Jakarta Selatan
Internet
www.ksemar_sumut.com
www.kedaulatan rakyat.com
www.kompascetak.com
www.pikiran rakyat.com
[2] Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung, 2004,hal.74
[3]Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 205,
hal.88
[5] Ibid
[6] Sadjipto Rahardjo,Apa Yang Terjadi Pada Polisi Dan Kita, dimuat pada
www.kompascetak.com, (terakhir kali dikunjungi pada tanggat 4 januari 2009 jam
15.00 WIB)
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]Edi Setiadi, Polisi Pengayom dan Penegak Hukum, dimuat di www.Pikiran Rakyat .com,
(Terakhir kali dikunjungi 4 januari 2009, jam 15.00 WIB)
[10] Ibid
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
[12]
Penanggulangan Kejahatan, Kencana prenada Media group, Jakarta, 2007, hal.48
[13] www.tabaos.htm
[14] Press
release, Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan (Pokja Anti
Penyiksaan), 18 September 2008
[17] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pengembangan Peradilan, Seminar Nasional, Mafia
Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, Semarang, 1999, hal 1