Anda di halaman 1dari 24

PENYALAHGUNAAN PRIVASI

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI


Manusia merupakan makhluk yang tidak akan bisa hidup tanpa berkomunikasi dengan
yang lain. Karena setiap kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan itu dimulai dengan
sebuah komunikasi. Sehingga kita dianjurkan untuk bisa berkomunikasi dengan baik
dan benar, oleh sebab itu hal-hal yang mengenai berkomunikasi harus kita ketahui
dan kita pelajari.

Pengertian Privasi
Penggusuran nilai privasi dalam praktik komunikasi seperti yang dilakukan media tidak
hanya terjadi di dalam negeri, 2 Februari 2007 lalu, pemberitaan media tentang
penangkapan aktor tiga zaman, Wicaksono Abdul Salam (56) yang lebih beken
dengan nama Roy Marten dalam kasus narkoba justru melebar ke persoalan pribadi,
yakni ketidakharmonisan Roy Marten dengan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia
(Parfi) Anwar Fuadi dan pengacara beken Ruhut Sitompul.

Di Amerika Serikat, beberapa kasus pernah mencuat soal eksploitasi nilai privat oleh
media. Tahun 2000, televisi NBC menyiarkan secara detail proses screening
test kanker payudara. Juga pada tahun yang sama, televisi ABC menyiarkan secara
langsung seorang wanita menjalankan proses persalinan. Media cetak pun tak mau
ketinggalan, pada saat kasus Clinton mencuat, media di AS bahkan menjelaskan
secara detil pengakuan sumber tentang penggambaran penis sang presiden, bahkan
dalam bentuknya ketika organ tersebutin action. (Louis Alvin Day, 2003: 131)

Supermodel Inggris, Naomi Campbell, menang kasus naik bandingnya beberapa


waktu lalu dalam gugat pelanggaran privasi terhadap sebuah harian setempat yang
memuat foto-foto sang supermodel meninggalkan pertemuan konseling
ketergantungan obat-obatan, demikian dikutip dari AP (Associated Press). Dengan
membatalkan keputusan pengadilan tingkat lebih rendah, pengadilan tertinggi Inggris
The Law Lords mengambil keputusan tiga lawan dua bahwa harian The Daily Mirror
telah melanggar privasi Campbell. Mereka juga membatalkan perintah agar Campbell
membayar ganti rugi biaya penasihat hukum pihak harian ini senilai US$630.000.
Campbell menggugat The Daily Mirror atas klaim bahwa harian ini melanggar haknya
atas kerahasiaan dan telah melanggar privasinya dengan memuat foto-foto Februari
2010 dan berita yang menyebut detil-detil perawatannya dari ketergantungan obat-
obatan. Campbell memberikan kesaksian dengan mengatakan ia merasa shock,
marah, dikhianati, dan diperkosa oleh berita itu.
Pada bulan April 2002, pengadilan tinggi berpihak pada Campbell dan memerintahkan
The Daily Mirror membayar ganti rugi berupa biaya penasihat hukum dan kerugian
US$6300. Keputusan itu kemudian dibalikkan pada naik banding enam bulan
kemudian dan pengadilan memerintahkan Campbell membayar biaya penasihat
hukum US$630.00 kepada harian ini.

Menurut Louis Alvin Day dalam bukunya yang berjudul Etics in Media
Communication, (2006:132), mengatakan bahwa Invasi privasi oleh media meliputi
spektrum yang luas, mulai dari reporter, hingga pengiklan. Pengiklan mengubah
persoalan etik menjadi persoalan ekonomi. Dalam kondisi persaingan media
yang makin ketat, proses invasi tersebut merupakan hal yang tak dapat dihindari.
Namun demikian, tetap saja hal tersebut menimbulkan dilema antara media dan
audiensinya. Day sendiri mendefinisikan privasi sebagai Hak untuk dibiarkan atau
hak untuk mengontrol publikasi yang tidak diinginkan tentang urusan personal
seseorang.
Urusan personal perlu mendapat perhatian khusus karena di masyarakat kita telah
terjadi salah kaprah dengan meyakini bahwa seorang public figure (seperti pejabat
atau selebritis), maka dengan sendirinya ia tidak memiliki hak privasi. Masyarakat kita
bahkan public figure sendiri selalu mengatakan bahwa sudah menjadi resiko
bagi public figure untuk tidak memiliki privasi. Tentu pandangan ini tidak benar, karena
semua orang termasuk public figure mempunyai privasi sebagai hak menyangkut
urusan personal. Bila menyangkut urusan publik barulah seorang public figure tidak
bisa menghindar dari upaya publikasi sebagai bagian dari transparansi tanggung
jawab.

Masalah mendasar terjadi pada sifat dari praktik komunikasi itu sendiri. Praktik
komunikasi termasuk media tidak akan membiarkan seorang ddengan
kesendiriannya. Tendensi praktik komunikasi dan juga media adalah pengungkapan
(revelation), sedangkan tendensi dari privasi adalah penyembunyian (concealment).
Privasi sebagai terminologi tidaklah berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia.
Samuel D. Warren dan Louis D. Brandeis menulis artikel berjudul Right to Privacy di
Harvard Law Review tahun 1890. Mereka seperti halnya Thomas Cooley di tahun
1888 menggambarkan Right to Privacy sebagai Right to be Let Alone atau secara
sederhana dapat diterjemahkan sebagai hak untuk tidak diusik dalam kehidupan
pribadi.

Hak atas privasi dapat diterjemahkan sebagai hak dari setiap orang untuk melindungi
aspek-aspek pribadi kehidupannya untuk dimasuki dan digunakan oleh orang lain.
(Donnald M. Gillmor, 1990:281). Di Amerika Serikat, setiap orang yang merasa
privasinya dilanggar memiliki hak untuk mengajukan gugatan yang dikenal dengan
istilah Privacy Tort.

Acuan Pembagian Bentuk Pelanggaran Privasi Terkait Media


Sebagai acuan guna mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran privasi dapat
digunakan catatan dari William Prosser yang pada tahun 1960 memaparkan hasil
penelitiannya terhadap 300-an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian yang
dilakukan Prosser atas bentuk umum peristiwa yang dijadikan dasar gugatan privasi
yaitu dapat kita jadikan petunjuk untuk memahami privasi terkait dengan media.
Adapun peristiwa-peristiwa itu yakni:
1. Intrusion, yaitu tindakan mendatangi atau mengintervensi wilayah personal
seseorang tanpa di undang atau tanpa izin yang bersangkutan. Tindakan
mendatangi dimaksud dapat berlangsung naik di properti pribadi maupun di
luarnya.
2. Public disclosure of embarrassing private facts, yaitu penyebarluasan informasi
atau fakta-fakta yang memalukan tentang diri seseorang. Penyebarluasan ini
dapat dilakukan dengan tulisan atau narasi maupun dengan gambar.
3. Publicity which paces someone false light in the public eye, yaitu publikasi yang
mengelirukan pandangan orang banyak terhadap seseorang.
4. Appropriation of name or likeness, yaitu penyalahgunaan nama atau kemiripan
seseorang untuk kepentingan tertentu. Peristiwa ini lebih terkait pada tindakan
pengambilan keuntungan sepihak atas ketenaran seseorang selebritis. Nama
dan kemiripan si selebritis dipublikasi tanpa izin.
Nilai Etika mesti dikedepankan. Pada saat yang sama kita menolak penggusuran
ruang privat oleh penguasa, namun pada saat yang sama pula kita bersuka cita ketika
ruang privat kita diobok-obok oleh praktik komunikasi. Dengan kata lain, kita
cenderung menjadi toleran ketika praktik komunikasi menginvasi privasi kita.

Nilai Privasi
Ada sejumlah jawaban mengapa privasi penting bagi kita, yakni:
1. Privasi memberikan kemampuan untuk menjaga informasi pribadi yang bersifat
rahasia sebagai dasar pembentukan otonomi individu.
2. Privasi dapat melindungi dari cacian dan ejekan orang lain, khususnya dalam
masyarakat dimana toleransi masih rendah, dimana gaya hidup dan tingkah
laku aneh tidak diperkenankan.
3. Privasi merupakan mekanisme untuk mengontrol reputasi seseorang.
4. Privasi merupakan perangkat bagi berlangsungnya interaksi sosial.
5. Privasi merupakan benteng dari kekuasaan pemerintah.

Privasi Sebagai Nilai Moral


Konsep privasi tidak seperti konsep kebenaran, dimana akar norma privasi tidak
ditemukan dalam sejarah masa lampau. Di Barat, nilai privasi didorong oleh Revolusi
Kebudayaan di Perancis dan Revolusi Industri di Inggris. Di Amerika serikat, privasi
muncul pada abad 18, ketika media masaa lebih banyak memuat opini daripada berita
tentang seseorang. Memasuki abad ke 20, privasi tidak hanya merupakan konsep
moral tetapi juga konsep legal.

Wacana etika melibatkan prilaku dan sistem nilai etis yang dipunyai oleh setiap
individu atau kolektif masyarakat. Oleh sebab itu, wacana privasi sebagai etika
mempunyai unsur-unsur pokok. Unsur-unsur pokok itu adalah kebebasan, tanggung
jawab, hati nurani, dan prinsip-prinsip moral dasar.

Kebebasan adalah unsur pokok dan utama dalam wacana privasi. Privasi menjadi
bersifat rasional karena privasi selalu mengandaikan kebebasan. Dapat dikatakkan
kebebasan adalah unsur hakiki privasi.
Tanggung jawab adalah kemampuan individu untuk menjawab segala pertanyaan
yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan. Tanggung jawab berarti bahwa orang
tidak boleh mengelak, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Tanggung jawab
mengandaikan penyebab. Orang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
disebabkan olehnya. Pertanggungjawaban adalah situasi dimana orang menjadi
penyebab bebas. Kebebasan adalah syarat utama dan mutlak untuk bertanggung
jawab. Ragam tanggung jawab terdiri dari tanggung jawab retrospektif dan tanggung
jawab prospektif.

Hati nurani adalah penghayatan tentang nilai baik atau buruk berhubungan dengan
situasi konkret. Hati nurani yang memerintahkan atau melarang suatu tindakan
menurut situasi, waktu, dan kondisi tertentu. Dengan demikian hati nurani
berhubungan dengan kesadaran. Kesadarana adalah kesanggupan manusia untuk
mengenal dirinya sendiri dan karena itu bisa berefleksi tentang dirinya. Hati nurani
bisa sangat bersifat retrospektif dan prospektif. Dengan demikian, hatinurani juga
bersifat personal dan adipersonal. Pada dasarnya, hati nurani merupakan ungkapan
dan norma yang bersifat subjektif.

Prinsip kesadaran moral adalah beberapa tataran yang perlu diketahui untuk
memposisikan tindakan individu dalam kerangka nilai moral tertentu. Privasi selalu
memuat unsur hakiki bagi seluruh program tindakan moral. Prinsip tindakan moral
mengandaikan pemahaman menyeluruh individu atas seluruh tindakan yang
dilakukan sebagai seorang manusia. Setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam
kesadaran moral. Prinsip-prinsip itu adalah sikap baik, keadilan, dan hormat pada diri
sendiri serta orang lain. Prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri merupakan
syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa
seseorang untuk bersikap adil dan hormat.

Problematika Privasi Dalam Media


Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream)
yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Media pers semata
mencari sensasional dan tidak disadarinya telah merugikan publik. Permasalahan ini
dinilai bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik wartawan Indonesia yang baru,
menurut wartawan menempuh cara yang profesional termasuk menghormati hak
privasi atau masalah kehidupan pribadi seseorang.

Demikian terungkap dalam Seminar Sehari Etika Privasi dan Pengaduan Publik
diadakan oleh Lembaga Pers Dr. Sutomo bekerja sama dengan Exxon Mobil di
Madani Hotel Medan, Rabu (lihat Waspada Online, 5 Desember 2007), dengan
pembicara antara lain pengajar LPDS Atmakusamah Astraatmadja.

Atmakusumah yang juga ketua Dewan pengurus Voice of Human Right (VHR) News
Centre di Jakarta, dalam seminar itu mengatakan bentuk pelanggaran etika privasi
yang kerap dilakukan media pers antara lain pers memuat nama lengkap, identitas,
dan foto anak di bawah umur (dibawah 16 tahun) yang melakukan tindak pidana,
pasangan bukan suami-istri yang berkencan terkena hukuman cambuk seperti terjadi
di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan pelaku tindak kejahatan serta aborsi.

Menurut Atmakusumah, hubungan intim dan aborsi termasuk masalah privasi


sepanjang peristiwa itu tidak terjadi tindak kekerasan, karena dalam etika pers, aborsi
juga termasuk dalam kategori perawatan kesehatan dan pengobatan.

Kategori privasi lainnya adalah kelahiran, kematian, dan perkawinan yang


pemberitaannya harus memperoleh izin dari subjek berita yang bersangkutan dari
keluarganya. Atmakusumah menyayangkan, pelanggaran kode etik ini banyak
dilakukan media arus utama yang telah merugikan publik.

Contoh kasus, katanya, di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) secara


sensasional media pers membuat foto, nama lengkap dosen, dan mahasiswa yang
melakukan hubungan intim termasuk mahasiswa yang melakukan aborsi. Selain itu,
hukum cambuk bagi bukan suami istri berkencan di NAD disiarkan foto dan
identitasnya. Sangat sedikit media berusaha menghindari pelanggaran etika dalam
pemberitaan itu.

Terdapat sejumlah dilema dalam praktik komunikasi untuk menerapkan prinsip privasi
dalam konten media terutama menyangkut isu-isu, antara lain:
1. Penyakit Menular, Alvin Day (2003: 141), menceritakan bahwa pada tahun
1939 majalah Time kena denda 3000 dollar karena mempublikasikan tanpa izin
jenis penyakit yang diderita Dorothy Barber ketika ia tengah berobat di RS
Kansas. Dorothy mengajukan tuntutan pelanggaran privasi, dan pengadilan
pun memenangkannya. Kasus penyakit menular seperti AIDS memang
memiliki nilai berita (newsworthiness) yang tinggi, namun menurut Day hal
tersebut tidak menjadikannya sebagai nilai kebenaran untuk melanggar privasi.
2. Homoseksual, Saat ini gay dan juga lesbi lebih sering muncul di berbagai
produk media, seperti berita, drama, dan film. Gejala tersebut menunjukan
bahwa masyarakat sekarang lebih bersikap moderat terhadap kehadiran
golongan dengan orientasi seksual homo (gay atau lesbi). Namun demikian
persoalan etis tetap saja tidak boleh dikesampingkan. Orientasi seksual
seseorang menurut Alvin Day merupakan urusan privat. Kata kunci untuk
menghormati privasi orang dengan orientasi seksual homo adalah dengan
mengukur relevansi penyebutan homo dengan keseluruhan produk media
tersebut. Penyebutan homo dalam berita pembunuhan misalnya, mesti dikaji
relevansinya apakah seseorang membunuh karena ia homo atau persoalan
lainnya. Sama ketika media massa menyebutkan unsur ras dalam tampilan
media. Apakah penyebutan ras tertentu bersifat relevan dengan keseluruhan
cerita atau tidak. Jika tidak, maka penyebutan ras (dan juga homo seksual)
adalah bagian pelanggaran privasi.
3. Korban Kejahatan Seksual, Dalam masyarakat dimana kelompok laki-laki
bersifat dominan (a male-dominated society) seperti Indonesia, telah
berkembang tendensi untuk menyalahkan korban kejahatan sosial yang
notabene adalah perempuan. Pada kondisi ini, praktik komunikasi dituntut
untuk menjaga privasi korban kejahatan seksual, karena akan menambah
derita korban berupa stigma sebagai perempuan yang tidak baik. Di Amerika
Serikat sendiri korban kejahatan seksual selalu dikaitkan dengan ras kulit
hitam, dimana penggambaran tersebut selain melanggar privasi juga
memunculkan stigma dominasi kulit putih terhadap ras kulit hitam. Maka tak
heran, kelompok gerakan perempuan memasukkan stigmatisasi tersebut
sebagai salah satu isu untuk mengangkat privasi, harkat dan martabat
perempuan. Menurut mereka isu kejahatan seksual terhadap perempuan
hendaknya dilihat sebagai kejahatan seksual terhadap perempuan hendaknya
dilihat sebagai kejahatan biasa, yang tak perlu dikaitkan dengan dominasi laki-
laki atau perempuan atau dominasi ras tertentu atas ras yang lainnya.
4. Tersangka di Bawah Umur, Pelanggar hukum di bawah umur perlu dilindungi
privasinya, karena sistem hukum pidana bagi anak di bawah umur sendiri tidak
bertujuan sebagai hukuman (punishment), tetapi lebih sebagai rehabilitasi. Hal
ini di dasarkan pada asumsi bahwa sifat dan prilaku kejahatan yang dilakukan
anak di bawah umur belumlah berakar tetap (anchored). Sudah semestinya
praktik komunikasi termasuk media massa, menghormati sekaligus
mendukung pelaksanaan prinsip ini. Pelanggaran terhadap privasi ini akan
menyebabkan stigmatisasi terhadap anak, yang pada gilirannya justru dapat
semakin meneguhkan sikap dan prilaku jahatnya.
5. Bunuh Diri, Kajian privasi pada bunuh diri didasarkan bahwa tiap orang memiliki
hak untuk meninggal secara terhormat. Tentu saja dalam pandangan
masyarakat kita, bunuh diri merupakan salah satu cara meninggal yang tidak
terhormat. Karena itulah peristiwa bunuh diri merupakan bagian dari privasi
seseorang, karena begitu peristiwa itu terpublikasi, maka yang bersangkutan
beserta segenap keluarganya akan kehilangan rasa hormat dari orang lain.
Alvin Day secara khusus menyoroti tayangan televisi tentang bunuh diri tau
percobaan bunuh diri. Atas nama persaingan, kadangkala stasiun televisi
mengenyampingkan faktor moral dengan menayangkan identitas pelak.
6. Kamera dan Rekaman Tersembunyi, Pada poin ini, Alvin Day menyoroti peran
jurnalis dalam mencari dan mengumpulkan informasi. Day mengatakan bahwa,
era persaingan menuntut jurnalis untuk bisa bekerja layaknya detektif. Pada
sisi lain, publik juga cenderung menyukai laporan investigatif, baik dalm bentuk
audio maupun visual. Alvin Day mendukung upaya investigatif seperti demikian
namun dengan catatan bahwa muara dari upaya tersebut adalah demi
kepentingan publik. Maka, peraturan tentang privasi atas hal ini adalah bahwa
baik jurnalis maupun sumber harus berada pada wilayah publik, bukan dalam
hubungan privat dalam kapasitas sebagai manusia. Isu-isu tersebut
mengandung nilai-nilai yang sensitif untuk dipublikasikan. Bahkan sebagian
dari kita misalnya akan sensitif ketika ditanya usia. Namun demikian keenam
isu tersebut tentunya juga memiliki nilai berita dan nilai jual untuk dapat
diangkat sebagai produk media, selain tentunya memberi informasi dan
pemahaman bagi audiensnya.
Daftar Pustaka
Mufid, Muhamad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009

Haryatmoko, Dr. Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan Dan Pornografi.


Yogyakarta: Kanisius, 2007

Bentuk-bentuk pelanggaran privasi


1. Mengirim dan mendistribusikan dokumen yang bersifat pornografi, menghina,
mencemarkan nama baik, dll. Contohnya pernah terjadi pada Prita Mulyasari
yang menurut pihak tertentu telah mencemarkan nama baik karena surat
elektronik yang dibuat olehnya.
2. Melakukan penggandaan tanpa ijin pihak yang berwenang. Bisa juga disebut
dengan hijacking. Hijacking merupakan kejahatan melakukan pembajakan
hasil karya orang lain. Contoh yang sering terjadi yaitu pembajakan perangkat
lunak (Software Piracy).
3. Melakukan pembobolan secara sengaja ke dalam sistem komputer. Hal ini
juga dikenal dengan istilah Unauthorized Access. Atau bisa juga diartikan
sebagai kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki/menyusup ke
dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa
sepengetahuan pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Jelas itu
sangat melanggar privasi pihak yang berkepentingan (pemilik sistem jaringan
komputer). Contoh kejahatan ini adalah probing dan port.
4. Memanipulasi, mengubah atau menghilangkan informasi yang sebenarnya.
Misalnya data forgery atau kejahatan yang dilakukan dengan tujuan
memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet.
Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang
memiliki situs berbasis web database.
5. Public disclosure of embarrassing private facts, yaitu penyebarluasan informasi
atau fakta-fakta yang memalukan tentang diri seseorang. Penyebarluasan ini
dapat dilakukan dengan tulisan atau narasi maupun dengan gambar.
Contohnya, dalam kasus penyanyi terkenal Prince vs Out Magazine, Prince
menggungat karena Out Magazine mempublikasi photo setengah telanjang
Prince dalam sebuah pesta dansa. Out Magazine selamat dari gugatan ini
karena pengadilan berpendapat bahwa pesta itu sendiri dihadiri sekitar 1000
orang sehingga Prince dianggap cukup menyadari bahwa tingkah polah nya
dalam pesta tersebut diketahui oleh banyak orang.
6. Publicity which places some one false light in the public eye, yaitu publikasi
yang mengelirukan pandangan orang banyak terhadap seseorang. Clint
Eastwood telah menggugat majalah The National Enquirer karena
mempublikasi photo Eastwood bersama Tanya Tucker dilengkapi berita Clint
Eastwood in love triangle with Tanya Tucker. Eastwood beranggapan bahwa
berita dan photo tersebut dapat menimbulkan pandangan keliru terhadap
dirinya.
7. Appropriation of name or likeness yaitu penyalahgunaan nama atau kemiripan
seseorang untuk kepentingan tertentu. Peristiwa ini lebih terkait pada tindakan
pengambilan keuntungan sepihak atas ketenaran seorang selebritis. Nama dan
kemiripan si selebritis dipublisir tanpa ijin.
8. Melakukan penyadapan informasi. Seperti halnya menyadap transmisi data
orang lain.

Contoh Pelanggaran Privasi Yang Terjadi di Internet


Di era teknologi yang terus berkembang seperti sekarang, masalah privasi atau
keamanan data pribadi seseorang di dunia maya terus menjadi sorotan. Hal ini
sebenarnya sudah lama menjadi pembahasan, namun baru benar-benar menjadi isu
yang mendunia sejak kemunculan Edward Snowden, mantan programmer yang
bekerja untuk Agensi Keamanan Nasional Amerika Serikat atau National Security
Agency (NSA).

Waktu itu, Snowden membocorkan informasi tentang sebuah software yang


digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menyadap komunikasi setiap
rakyatnya. Penduduk Amerika Serikat pun terkejut dengan informasi dari Snowden
tersebut, dan sejak saat itu semua orang baru mulai sadar tentang keamanan data
pribadi mereka, terutama data-data yang ada di Internet. Sebelum Edward Snowden
muncul ke pemberitaan, sebuah serial televisi berjudul Person of Interest pun telah
menyiratkan tentang keberadaan software semacam itu.
Pelanggaran Terhadap Keamanan Data Pribadi
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan pelanggaran privasi atau keamanan data
pribadi? Ia adalah terbukanya akses terhadap data-data pribadi kita, kepada pihak-
pihak tertentu yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk melihatnya. Pada tingkatan
tertentu, kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran semacam ini bahkan bisa lebih
parah bila dibandingkan dengan pencurian uang atau perhiasan.

Sayangnya, praktek seperti ini sebenarnya biasa terjadi dalam kehidupan kita sehari-
hari, tanpa kita sadari. Setiap kita pergi ke lokasi tertentu dan melakukan panggilan
telepon, si provider akan merekam kapan, di mana, dan kepada siapa kita melakukan
panggilan. Ketika kita membuka suatu jejaring sosial, setiap aktivitas kita direkam
secara otomatis. Jika kita mengirim surat lewat e-mail, isinya bisa langsung direkam
oleh penyedia layanan email tersebut.

Iklan yang Memanfaatkan Hasil Sadapan


Salah satu bukti dari direkamnya setiap aktivitas kita oleh sebuah provider telepon,
adalah munculnya sebuah pesan berisi iklan yang biasa disebut Location-Based
Messaging. Pesan tersebut akan terkirim kepada kita jika kita berada di suatu tempat
tertentu. Padahal, apakah kita pernah menyetujui suatu perjanjian dengan sang
provider dan memperbolehkan mereka merekam setiap aktivitas kita?

Tidak Ada yang Namanya Aplikasi Gratis


Sebelum membahas tentang jejaring sosial yang merekam setiap aktivitas kita, kita
harus terlebih dahulu memahami kalau tidak ada yang namanya aplikasi yang gratis.
Jika kita tidak membayar sejumlah uang untuk menggunakan jejaring sosial seperti
Facebook, Twitter, dan lain-lain, maka itu artinya kita harus membayar dengan hal
lain, yaitu data pribadi dan aktivitas kita. Masih untung kalau mereka hanya
menampilkan iklan setiap kita mengakses layanan mereka, karena dalam beberapa
kasus ada juga jejaring sosial yang menjual data-data pribadi dan statistik aktivitas
kita di jejaring sosial tersebut kepada pihak lain yang sebenarnya tidak berhak
mengetahuinya.

Microsoft dan Scroogle


Bagaimana dengan email yang direkam oleh sang penyedia layanan, apakah benar
ada? Yup, Google melakukannya dengan layanan Gmail mereka. Selama ini,
Microsoft terus berusaha membuka mata masyarakat tentang apa yang dilakukan oleh
Google ini dengan kampanye Dont Get Scroogled.

Lalu Apa Yang Bisa Kita Lakukan?


Hal-hal di atas mungkin merugikan kita, namun seringkali kita tidak bisa menghindar
karena pilihannya adalah menerima perlakuan tersebut, atau berhenti menggunakan
layanan tersebut. Ketika cara kedua tidak bisa kita lakukan karena tuntutan pekerjaan
dan pergaulan, maka ada baiknya kita lebih selektif dalam memilih data yang akan
kita simpan di internet.

Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna


Telekomunikasi?

Aturan penyadapan seyogyanya tidak dipandang sebagai ancaman bagi siapapun,


melainkan sebagai jaminan penegakan hukum yang benar dan perlindungan hak
asasi warga negara.

Halo, halo.
Halo.
Opo yang.
Halo, Pak.
Pak Ritonga tadi nelpon, dek e iku rasane besok iku rapat sampek jam songo.
Jam songo opo?
Yo sampek jam songo anu isuk, tapi muk diluk thok. De e mlebu setengah delapan
onok rapat.

Kalau anda sempat hadir di Mahkamah Konstitusi (MK) atau setidaknya


menonton siaran langsung stasiun televisi nasional pada 3 November lalu,
tentunya tidak asing dengan kutipan dialog di atas. Ya, itulah satu bagian kecil
dari rekaman penyadapan komunikasi Anggodo Widjojo dengan sejumlah
orang. Yang ditampilkan di atas adalah percakapan antara Anggodo dengan
Ong Yuliana Gunawan. Secara utuh, rekaman itu diperdengarkan dalam sidang
pengujian UU KPK yang diajukan oleh Chandra M Hamzah dan Bibit Samad
Rianto, ketika itu masih berstatus tersangka kasus penyalahgunaan wewenang
dan pemerasan.

Rekaman penyadapan tersebut kemudian menimbulkan kontroversi. Setiap


hari, hampir semua media mengupas bagian demi bagian isi rekaman yang
diyakini pihak Chandra-Bibit sebagai bukti adanya rekayasa terhadap kasus
mereka. Akhir episodenya sudah kita ketahui semua, happy ending untuk
Chandra dan Bibit. Keduanya tidak lagi berstatus tersangka, dan bahkan sudah
kembali duduk di kursi Pimpinan KPK.

Terlepas dari benar atau tidaknya isi rekaman itu, satu aspek yang agak
terlupakan dibahas adalah tentang perlindungan terhadap privasi seorang
warga negara Indonesia. Rekaman yang diputar di MK menunjukkan
bagaimana mudahnya aparat menyusup ke kehidupan pribadi seseorang atas
nama penegakan hukum. Faktanya, tidak hanya nama Yuliana yang disebut
dalam rekaman itu, tetapi ada juga nama Wisnu, Susno, Ary, dan nama-nama
lain. Silakan anda hitung, berapa kehidupan pribadi yang telah disusupi aparat
penegak hukum.

Jika dicermati, kutipan dialog Anggodo dan Yuliana di atas jelas nuansanya
pribadi atau lazim disebut privasi. Hal ini bisa disimpulkan berdasarkan
beberapa petunjuk. Pertama, penggunaan bahasa daerah yang menunjukkan
bahwa keduanya memiliki bahasa khusus yang biasa mereka pergunakan
sehari-hari. Dari bahasa, maka kurang lebih dapat disimpulkan pula bahwa
Anggodo dan Yuliana berasal dari atau setidaknya pernah hidup di Jawa Timur.
Petunjuk lain adalah penggunaan sapaan khusus Yang yang maknanya pasti
hanya Anggodo dan Yuliana yang paham. Publik mungkin bisa menduga-duga,
Yang adalah penggalan kata Sayang atau Yayang. Namun, terlepas dari
itu dan juga di luar perdebatan relevansi serta materi percakapan yang disadap,
faktanya, ranah pribadi Anggodo dan Yuliana telah diterobos oleh KPK. Dan,
kemudian diperdengarkan ke publik.

Potensi penyalahgunaan
Mari berandai-andai, anda adalah Anggodo. Layaknya seorang mahluk sosial,
anda pasti akan berinteraksi dengan orang lain. Di era informasi ini, beragam
alat dapat digunakan untuk berinteraksi. Salah satunya melalui alat komunikasi,
termasuk telepon seluler yang lagi tren saat ini. Ketika anda berkomunikasi
dengan telepon seluler, tanpa sepengetahuan anda, aparat penegak hukum
ternyata melakukan penyadapan hanya dengan dasar adanya dugaan tindak
pidana. Dan jika anda senaas Anggodo, rekaman itu kemudian dibuka ke
publik.

Dari kaca mata para penggiat anti korupsi, langkah KPK menyadap Anggodo
atau orang lain yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tentu dapat
dibenarkan. Tetapi, muncul pertanyaan, apa atau siapa yang dapat menjamin
penyadapan benar-benar dilakukan demi penegakan hukum, bukan
kepentingan pribadi atau vested interest lainnya? Lalu, apakah kewenangan
penyadapan telah dilengkapi dengan sistem pengawasan yang ketat? Ingat,
rumus tindak pidana korupsi yang diintrodusir oleh Lord Acton. Power tends
to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Artinya, tanpa pengawasan,
maka kewenangan aparat untuk menyadap begitu besar. Implikasinya, peluang
untuk disalahgunakan pun cukup besar.

Sebagai contoh, walaupun hingga kini masih diperdebatkan, langkah mantan


Ketua KPK Antasari Azhar meminta aparatnya menyadap telepon seluler
Nasrudin Zulkarnaen. Permintaan itu diduga demi kepentingan pribadi Antasari.
Sebagian kalangan berteori, Antasari menyadap Nasrudin karena keduanya
memang sedang berseteru. Ekstremnya, bahkan ada yang menghubungkan
penyadapan itu dengan rencana pembunuhan Nasrudin. Mantan Direktur PT
Putra Rajawali Banjaran itu memang akhirnya mati terbunuh, sedangkan
Antasari kini tengah menjalani persidangan dengan dakwaan pembunuhan
berencana.

Jadi, mengacu pada rumus Lord Acton plus asumsi bahwa tidak semua aparat
penegak hukum adalah malaikat, maka penyadapan seyogyanya memang
harus diawasi atau setidaknya diperketat mekanismenya. Dengan begitu, dapat
diminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan warga
negara Indonesia.

Saat ini, memang ada sebuah komite pengawas. Dengan komposisi unsur
KPK, Departemen Komunikasi dan Informatika, dan pihak operator
telekomunikasi, komite diberi tugas melakukan pengawasan agar penyadapan
berjalan sesuai koridor hukum. Namun, sebagaimana pernah diutarakan Wakil
Ketua KPK Chandra M. Hamzah, komite yang dibentuk berdasarkan
Permenkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 ini bekerja
dengan melakukan audit terhadap kegiatan penyadapan yang dilakukan KPK.
Dengan kata lain, komite mulai bekerja setelah penyadapan dilakukan selama
periode tertentu.

Di sini terlihat masih ada celah penyalahgunaan wewenang, karena peran


komite pengawas sebatas represif bukan preventif. Kewenangan komite
pengawas tampaknya tidak bisa menjangkau sampai pada saat rencana
penyadapan itu diajukan pertama kali. Yang terjadi selama ini adalah
mekanisme internal yang menentukan apakah rencana penyadapan disetujui
atau tidak. Kita semua mahfum, sesuatu yang berlabel internal biasanya
bersifat tertutup, dan tertutup identik dengan tidak transparan.

Di KPK, misalnya, standard operating procedures (SOP) hanya mensyaratkan


persetujuan pimpinan untuk melakukan penyadapan. Makanya, dalam kasus
Antasari, penyadapan terhadap Nasrudin berhasil dilakukan karena usulan
Antasari disetujui oleh Pimpinan KPK lainnya. Penyadapan Nasrudin pada
akhirnya memang hanya beberapa bulan berjalan karena disimpulkan tidak ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Namun, lagi-lagi, siapa bisa
menjamin informasi hasil penyadapan Nasrudin yang hanya beberapa bulan itu
tidak disalahgunakan. Misalnya, untuk rencana pembunuhan. Sekali lagi, coba
bayangkan diri anda adalah almarhum Nasrudin Zulkarnaen.

Demi due process of law


Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan penyadapan
seyogyanya memang harus diatur dengan jelas, termasuk di dalamnya
mekanisme pengawasan yang ketat. Aturan jelas tidak semata-mata demi
perlindungan privasi seseorang, lebih dari itu adalah untuk menegakkan due
process of law. Marc Webber Tobias dan Roy Davis Petersen dalam Pre-Trial
Criminal Procedure: a Survey of Constitutional Rights mendefeinisikan due
process of law adalah jaminan konstitusi bahwa setiap warga negara berhak
atas perlindungan terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.

Dengan kaca mata due process of law, langkah Menteri Komunikasi dan
Informatika Tifatul Sembiring mewacanakan pembentukan peraturan
pemerintah (PP) tentang penyadapan tidak semestinya disambut dengan
komentar-komentar pedas. Publik bahkan semestinya mengapresiasi karena
terlepas dari substansi draf PP yang dinilai kontroversial, aturan penyadapan
merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan agar warga negara tidak
menderita karena kesewenang-wenangan pemerintah.

Kebetulan saja, Tifatul bad timing ketika mewacanakan PP penyadapan.


Politisi PKS itu sialnya berbicara ketika publik tengah giat-giatnya mendukung
KPK yang disimbolkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penyakit korupsi
yang semakin kronis di negeri ini. Dukungan itu secara alamiah menguat
sebagai respon munculnya gelagat pelemahan KPK melalui pembahasan RUU
Pengadilan Tipikor di DPR serta kasus Cicak versus Buaya. Tifatul sebagai
representasi pemerintah pun dituding memiliki agenda tersirat, yakni
pelemahan pemberantasan korupsi (baca: KPK).

Tudingan itu memang masih perlu dibuktikan. Tetapi, kalaupun benar seperti
yang dituduhkan, Tifatul tentunya sedang beraksi super nekat. Ia tentu sadar
menentang aspirasi publik sama saja bunuh diri politik. Apalagi, Tifatul masih
dalam hitungan bulan menduduki kursi menteri. Jadi, selain persoalan bad
timing, mencurigai Tifatul berupaya melemahkan KPK sepertinya terlalu
prematur. Toh, PP penyadapan belum diberlakukan dan pembahasannya pun
masih jauh.

Wacana aturan penyadapan sebenarnya bukan barang baru, kalau tidak mau
disebut usang. Sekitar dua tahun lalu, wacana yang sama juga muncul.
Pencetusnya bahkan dari internal KPK sendiri. Amien Sunaryadi, ketika itu
menjabat Wakil Ketua KPK, dalam sebuah rapat kerja dengan Komisi III DPR,
menyuarakan perlunya dibentuk UU Penyadapan. Amien menyadari
penyadapan yang dilakukan KPK memiliki dasar hukum yang lemah. Praktis,
KPK hanya bersandar pada dua beleid, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK
dan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Keduanya tidak mengatur
tentang penyadapan secara komprehensif.

UU KPK, Pasal 12 ayat (1) huruf a, hanya menyatakan bahwa KPK berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Di bagian penjelasannya
tertulis cukup jelas. Sementara, UU Telekomunikasi memuat lebih banyak
pasal dan ayat tentang penyadapan atau perekaman pembicaraan. Lahir tiga
tahun sebelum UU KPK, UU Telekomunikasi justru mencantumkan peringatan
bahayanya penyadapan terhadap privasi.

Penjelasan Pasal 40 menyatakan ...pada dasarnya informasi yang dimiliki


seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan
harus dilarang. Melalui Pasal 40, UU Telekomunikasi sepertinya ingin
menegaskan bahwa penyadapan pada prinsipnya dilarang. Dan kalaupun
dilakukan, harus dengan syarat yang ketat.

Makanya, UU Telekomunikasi mengadakan Pasal 42 ayat (2) yang


memperkenankan penyadapan dengan syarat atas permintaan tertulis dari
Jaksa Agung dan penyidik. Menariknya, pada ayat (1) ditegaskan terlebih
dahulu bahwa penyelenggara telekomunikasi wajib menjaga kerahasiaan
informasi yang dikirim atau diterima oleh pelanggan telekomunikasi. Namun,
kewajiban ini digugurkan oleh Pasal 43 yang memberikan imunitas bagi
penyelenggara telekomunikasi jika pemberian atau perekaman informasi itu
dilakukan atas permintaan pengguna telekomunikasi dan demi kepentingan
proses peradilan pidana.

Di luar dua kondisi pengecualian itu, Pasal 57 mencantumkan ancaman pidana


maksimum dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta bagi
penyelenggara telekomunikasi yang melanggar kewajiban sebagaimana diatur
Pasal 42 ayat (1). Aturan yang cukup ketat dan galak dalam UU
Telekomunikasi bisa jadi muncul karena undang-undang ini lahir sebelum
gaung pemberantasan korupsi berhembus kencang di republik ini. Selain itu,
sesuai dengan namanya, UU Telekomunikasi mungkin dibentuk dengan
maksud menertibkan sektor telekomunikasi termasuk di dalamnya para
stakeholders seperti penyelenggara, pengguna, dan pemerintah selaku
regulator. Makanya, ketentuan yang diatur di dalamnya lebih bernuansa
melindungi ketimbang memberi ruang kepada tindakan penyadapan.

Terlepas dari itu, UU Telekomunikasi sebenarnya bisa menjadi alas di balik


wacana pembentukan aturan penyadapan sebagaimana digulirkan Tifatul
Sembiring. Meskipun sudah cukup tegas, masih banyak lubang UU
Telekomunikasi yang bisa diatur lebih dalam di aturan yang lebih khusus
mengatur tentang penyadapan. Salah satunya terkait perlindungan bagi
pengguna telekomunikasi. Dan, yang paling rentan menjadi korban
penyadapan adalah pengguna telepon seluler, karena saat ini orang lebih
intens menggunakan telepon seluler nirkabel ketimbang telepon rumah. UU
Telekomunikasi mendefinisikan pengguna meliputi pemakai dan pelanggan.
Keduanya dibedakan dengan ada atau tidaknya kontrak dalam menggunakan
jaringan atau jasa telekomunikasi. Pemakai tanpa kontrak, pelanggan
sebaliknya.

UU Telekomunikasi dikatakan belum memberikan perlindungan bagi pengguna


telekomunikasi, karena yang diatur baru sebatas kewajiban penyelenggara
menjaga kerahasiaan. Pelanggaran atas kewajiban ini pun hanya diganjar
sanksi pidana penjara dan denda. UU Telekomunikasi tidak memberikan ruang
bagi pengguna untuk menempuh upaya hukum lain jika merasa dirugikan
karena teleponnya disadap. Misalnya, dengan melayangkan gugatan perdata
terhadap penyelenggara.

Substansi RPP
Pertanyaannya kini, apakah PP Penyadapan yang disiapkan pemerintah telah
melingkupi materi perlindungan pengguna telekomunikasi? Jika ditengok, PP
yang terdiri dari 23 pasal ini memang memuat prosedur dan tata cara
penyadapan atau di dalam PP disebut intersepsi yang lebih lengkap dan ketat
dibandingkan UU KPK dan UU Telekomunikasi. Misalnya, Pasal 3 yang berisi
lima syarat untuk melakukan intersepsi.
Pasal 3
1) Syarat-syarat Intersepsi adalah:
a. dilakukan untuk tindak pidana tertentu atau tindak pidana yang
ancaman pidananya lima tahun atau lebih;
b. telah memperoleh bukti permulaan yang cukup;
c. diajukan secara tertulis atau elektronik oleh pejabat yang ditunjuk
oleh Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pimpinan instansi
penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-
undang;
d. telah memperoleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri;
e. dilakukan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan
dapat diperpanjang setiap 12 (dua belas) bulan sesuai dengan
keperluan; dan
f. sesuai dengan persyaratan lainnya yang ditentukan oleh undang-
undang.
Sumber: RPP Tata Cara Intersepsi, versi Oktober 2009

Salah satu syarat yang menuai kritikan para penggiat anti korupsi adalah
kewajiban memperoleh penetapan ketua pengadilan negeri. Cara
mendapatkan penetapan itu pun tidak mudah. Setiap permintaan penetapan
harus melampirkan surat perintah kepada penegak hukum yang bersangkutan,
identifikasi sasaran, pasal tindak pidana yang disangkakan, tujuan dan alasan
dilakukannya Intersepsi, substansi informasi yang dicari, dan jangka waktu
Intersepsi.

Prosedur penyadapan semakin diperketat karena RPP mengintrodusir


pembentukan lembaga baru bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN). Pasal 1
butir 14 memaparkan PIN adalah lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh
pemerintah yang berfungsi sebagai gerbang terpadu yang melakukan
pengawasan, pengendalian, pemantauan, dan pelayanan terhadap proses
Intersepsi agar proses Intersepsi berjalan sebagaimana mestinya. Dalam
menjalankan tugasnya, PIN bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas
Intersepsi Nasional yang komposisinya terdiri dari Menteri, Jaksa Agung,
Kapolri, dan pimpinan instansi lainnya yang berwenang melakukan Intersepsi.
Sampai di sini apakah RPP yang dirancang pemerintah sudah memberikan
perlindungan terhadap hak privasi warga negara? Jawabannya belum. Pada
batang tubuh RPP tidak satupun yang menyinggung tentang perlindungan
terhadap hak privasi. Yang ada hanyalah rumusan Pasal 6 yang sangat
normatif, bahwa penyadapan harus sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan
HAM.

Perlindungan privasi justru banyak disinggung pada bagian penjelasan. Di


paragraf-paragraf awal bahkan dijelaskan bahwa RPP ini dibuat dengan
mempertimbangkan norma-norma HAM lingkup nasional maupun
internasional. RPP di antaranya menyebut Pasal 28G UUD 1945
tentang perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaanya serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasinya.

RPP juga mengutip Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenang-wenang atau secara
tidak sah dicampuri urusan pribadi, keluarga, rumah, atau korespondensinya,
atau secara tidak sah diserang kehormatan diri dan nama baiknya.

Perlindungan hak privasi memang tidak diatur secara tegas, tetapi RPP
setidaknya menyodorkan banyak tahap atau prosedur dan syarat untuk
melakukan penyadapan. RPP seolah-olah ingin mengatakan penyadapan itu
tidak mudah. Makanya, pada bagian penjelasan RPP disebutkan bahwa Demi
kepentingan perlindungan privasi, Intersepsi pada prinsipnya merupakan upaya
terakhir dalam mencari bukti terjadinya suatu tindak pidana sehingga harus
jelas alasan dan tujuan Intersepsi, serta harus dilakukan secara proporsional
dan hanya untuk jangka waktu tertentu.

Praktik di negara lain


Jika RPP Penyadapan ternyata tidak mengatur tentang perlindungan hak
privasi warga negara, lalu bagaimana konsep regulasi yang ideal? Ada baiknya
kita intip praktik di negara lain. Di negara-negara yang iklim demokrasinya telah
mapan seperti Amerika Serikat atau negara-negara di Benua Eropa,
perdebatan mengenai penyadapan atau dalam Bahasa Inggris
disebut Telephone Tapping atau Lawful Interception versus hak privasi warga
negara ternyata telah eksis puluhan tahun silam.

Prinsipnya, negara-negara tersebut memperkenankan praktik penyadapan


untuk tujuan tertentu tetapi dengan kontrol yang super ketat. Penyadapan
hanya boleh dilakukan atas seizin pengadilan jika dianggap bukti-bukti lain tidak
akan mampu membuktikan adanya suatu tindak pidana. Kecuali di Jerman,
hanya penyadapan yang dilakukan atas seizin otoritas terkait yang dapat
dijadikan alat bukti di persidangan.

Di Amerika Serikat, otoritas yang mengurusi izin penyadapan adalah United


States Foreign Intelligence Surveillance Court yang dibentuk
berdasarkan United States Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA).
Pertama kali diundangkan pada tahun 1978, FISA kemudian beberapa kali
diamandemen oleh USA Patriot Act (2001), Protect America Act (2007),
dan FISA Amendments Act (2008). Seperti tergambar dari namanya regulasi
penyadapan di Negeri Paman Sam itu memang dibuat untuk kepentingan
intelijen khususnya terhadap orang-orang asing.

Menariknya, di Amerika Serikat juga diundangkan Electronic Communication


Privacy Act pada tahun 1986. ECPA melingkupi tidak hanya komunikasi verbal,
tetapi juga komunikasi elektronik seperti sinyal, tulisan, gambar, dan suara.
ECPA melindungi bentuk komunikasi biasa maupun elektronik dengan cara
menetapkan syarat yang ketat seperti keharusan ada surat perintah. ECPA
memang dirancang sebagai implementasi dari Amandemen ke-4 Konstitusi
Amerika Serikat yang lengkapnya berbunyi The right of the people to be secure
in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches
and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon
probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing
the place to be searched, and the persons or things to be seized.
Sementara, di Benua Eropa, praktik penyadapan telah menjadi perhatian
organisasi regional. European Union (EU) menerbitkan European Council
Resolution tentang Penyadapan Alat Telekomunikasi pada 17 January 1995.
Selanjutnya, pada tahun 2006, negara-negara di Eropa juga mengadopsi
keputusan European Parliament tentang Pedoman Penyimpanan Data (Data
Retention Directive). Pedoman itu menyatakan setiap komunikasi melalui alat
elektronik harus disimpan dalam waktu paling singkat enam bulan hingga dua
tahun. Sewaktu-waktu data komunikasi itu digunakan untuk kepentingan
penegakan hukum.

Berkaca pada pengalaman negara lain, kewenangan penyadapan mau tidak


mau memang akan bersinggungan dengan hak privasi warga negara.
Persinggungan itu akan menjadi masalah besar jika ternyata penyadapan yang
dilakukan melenceng dari tujuan penegakan hukum. Implikasinya, tidak hanya
akan merugikan hak privasi warga negara, tetapi juga mengakibatkan
macetnya due process of law. Makanya, banyak negara merapihkan regulasi
penyadapan mereka. Sebagian melakukannya dengan membuat aturan
khusus penyadapan yang di dalamnya terdapat mekanisme yang super ketat.
Sementara, sebagian lagi dengan menyandingkan aturan penyadapan dengan
aturan perlindungan hak privasi.

Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas, baru sebatas menyisipkan pasal-


pasal penyadapan dalam undang-undang yang bersifat umum. Berangkat dari
kondisi ini, Indonesia sudah saatnya membenahi regulasi penyadapan yang
berlaku sekarang. Dengan dasar hukum yang jelas, maka kinerja aparat
penegak hukum ketika melakukan penyadapan tidak lagi diragukan
legitimasinya.

Model pembenahan regulasinya bisa mengadopsi best practice di negara-


negara lain. Namun yang pasti, prinsip-prinsip yang harus diakomodir dalam
pembenahan regulasi penyadapan nanti adalah bagaimana upaya penegakan
hukum tidak terhambat tetapi tetap menghormati hak asasi warga negara
Indonesia, termasuk hak privasi.

Sumber:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b34d3deb69c6/penyadapan

Anda mungkin juga menyukai