Anda di halaman 1dari 24

KEBUDAYAAN UPACARA ADAT RAMBU SOLO TANA TORAJA

diajukan guna melengkapi ujian tengah semester dan memenuhi salah satu syarat
untukmenyelesaikan mata kuliah sosiologi dan antropologi kesehatan

Dosen Mata Kuliah : Dr. Elfian Zulkarnain, S.KM., M.kes

Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
dr. DANAR AGUNG NUGROHO 152520102003
INDRIANY MAYA ARIUSTA, S.KM 152520102019
dr. KHOIRUL ANAM 152520102034

MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS JEMBER
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan
karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Sosiologi
dan Antropologi Kesehatan yang berjudul Kebudayaan Upacara Adat Rambu
Solo Tana Toraja ini tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
ujian tengah semester I pasca sarjana magister ilmu kesehatan Universitas Jember
tahun ajaran 2015/2016.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS selaku direktur pasca sarjana Universitas
Jember
2. Dr. Isa Marufi, S.KM., M.Kes selaku ketua program studi magister ilmu
kesehatan Universitas Jember
3. Dr. Elfian Zulkarnain, S.KM., M. Kes, sekalu dosen pengajar mata kuliah
sosiologi dan antropologi kesehatan program pasca sarjana Universitas
Jember
4. Teman-teman semua yang turut membantu dan pihak-pihak lain yang telah
membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah sosiologi dan antropologi
kesehatan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon kritik dan
saran dari semua pihak demi kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umunya dan
bagi penulis pada khususnya.

Jember, April 2016

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang . 1
1.2 Rumusan masalah. 3
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 5
2.1 Rambu Solo......... 5
2.2 Aspek-Aspek Sehat.
BAB III ANALISIS..
BAB IV PENUTUP ..................................................................................
3.1 Kesimpulan .....................................................................
3.2 Saran ................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan
masyarakat. Tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan
sebagai bagian dari ciri khas mereka, dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu
kelompok masyarakat yang berbeda dengan kelompok, suku, maupun bangsa lain.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Darmansyah dalam Panggara bahwa
masyarakat dan kebudayaan ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Klukhohn dalam Panggara mendefinisikan kebudayaan, sebagaimana
dikutip oleh David J. Hesselgrave dalam bukunya, communicating christ cross-
culturally: mengkomunikasikan Kristus secara lintas budaya: satu pendahuluan ke
komunikasi misionari, bahwa kebudayaan adalah cara berfikir, merasa,
menyakini. Secara subyektif setiap individu tentunya akan berbeda satu dengan
yang lain. Namun jika individu-individu yang berbeda itu terikat dalam sebuah
pola budaya yang sama, mereka cenderung menjadi sama, bahkan budaya itulah
yang akan membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain yang
berkumpul di tempat yang lain. Sebagai keolompok atapun suku yang berrbeda
dengan yang lainnya, suku toraja juga memiliki budaya yang menjadikannya unik
di tengah-tengah kemajemukan suku-suku bangsa di Indonesia (Panggarra, 2015).
Salah satu budaya yang terkenal dari Tana Toraja, bahkan dikenal sampai
mancanegara, adalah Rambu Solo atau upacara pemakaman yang dianggap
paling rumit di dunia. Rambu Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat
yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi, yang membuat rumit
adalah bahwa upacara Rambu Solo memiliki sejumlah tingkatan, tergantung pada
strata sosialsi mendiang dan keluarganya (Putra, 2012). Meraka yang termasuk
dalam kelompok orang berbeda atau kalangan bangsawan biasanya
melangsungkan upacara itu dengan cara yang mewah, hal itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa mereka memang berasala dari kelompok masyarakat
kalangan atas. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang tidak punya atau berasal
dari kelompok hamba/ rakyat biasa tidak dapat melakukan upacara itu
sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok bangsawan, hal itu bukan saja karena
mereka memang tidak mampu secara materi untuk melaksanakannya, melainkan
juga secara etika dalam kebudayaan tersebut mereka tidak diperbolehkan. Upacara
rambu solo merupakan sebuah upacara yang sarat dengan nilai-nilai adat istiadat
(aluk) yang mengikat masyarakat toraja. Kepercayaan lama percaya bahwa aluk
diciptakan di langit. Oleh karena itu, aluk itu ilahi pula dan seluruh makhluk
tunduk kepada aluk (Panggarra, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas maka, kelompok kami mengambil judul
makalah sebagai tugas ujian tengah semster tentang Upacara Rambu Solo Tana
Toraja karena pentingnya mengetahui salah satu buadaya Indonesia yang
terkenal dimancanegara guna menambah wawasan tentang keunikan kebudayaan
di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah makalah ini adalah
Bagaiamana keterkaitan antara upacara adat rambu solo di Tana Toraja dengan
empat aspek kesehatan?

1.3 Tujuan Umum


Menganalisa keterkaiatan antara upacara adat rambu solo di Tana Toraja
dengan empat aspek kesehatan
1.4 Tujuan Khusus
a. Menganalisa keterkaitan antara upacara adat rambu solo di Tana Toraja
dengan aspek fisik?
b. Menganalisa keterkaitan antara upacara adat rambu solo di Tana Toraja
dengan aspek sosial
c. Menganalisa keterkaitan antara upacara adat rambu solo di Tana Toraja
dengan aspek mental
d. Menganalisa keterkaitan antara upacara adat rambu solo di Tana Toraja
dengan aspek spiritual
1.5 Manfaat
a. Bagi Pengembang Ilmu Pengetahuan
Hasil dari tugas makalah ini diharapkan dapat menjelaskan tentang
keunikan budaya upacara adat rambu solo di Tana Toraja serta
keterkaitannya dengan aspek kesehatan, selain itu diharapkan dapat
memberika referensi bagi pengembang ilmu pengetahuan tentang salah
satu budaya di Indonesia yaitu upcara adat rambu solo di Tana Toraja
yang berkaitan dengan aspek-aspek kesehatan.
b. Bagi Pembaca
Sebagai wawasan pengetahuan tentang salah satu kebudayaan di
Indonesia khususnya kebudayaan upacara adat rambu solo di Tana
Toraja dan keterkaitannya dengan aspek-aspek kesehatan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suku Toraja


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian
utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa,
dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk
agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kata toraja berasal
dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti orang yang berdiam di negeri
atas. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting,
biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari (Putra,
2012).

2.2 Rambu Solo


2.1.1 Definisi Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja.
Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja
secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta
besar sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi. Rambu
Solo juga merupakan upacara yang meriah karena dilangsungkan selama berhari-
hari. Waktu pelaksanaan Rambu Solo adalah siang hari, yaitu saat matahari
condong ke barat dan biasanya memakan waktu dua sampai tiga hari, bahkan dua
minggu bagi kalangan bangsawan (Budiawati, dkk. 2009).
Kebudayaan rambu solo juga dikenal sebagai Aluk Rampe Matampu.
Hal itu disebutkan oleh A.T Marampa dalam Panggara dalam bukunya Guide to
Tana Toraja, bahwa Rambu Solo is performed in the afternoon. It is also called
Aluk Rampe Matampu disana dijelaskan bahwa Aluk Rampe Matampu itu
dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam (sore hari, bukan pada waktu
pagi hari. Upacara rambu solo, salah satu hal yang sangat penting adalah upacara
pemakaman. tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Rambu Solo merupakan
suatu peristiwa yang mengendung dimensi religi dan sosial. Maksudnya, upaca
rambu Solo itu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kepercayaan orang Toraja,
secara khusus dengan apa yang disebut sebagai Aluk Todolo atau animisme.
Selain itu, upacara itu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah sosial sehingga di
dalam pelaksanaannya harus memperhatikan strata sosial dari orang yang
meninggal (Panggarra, 2015)
2.1.2 Simbol - Simbol dalam Rabu Solo
Pelaksanaan Rambu Solo juga identik dengan penyembelihan kerbau dan
babi. Tetapi yang paling ditonjolkan dalam upacara tersebut adalah
penyembelihan kerbau. Kerbau merupakan hal utama yang harus ada dalam
upacara ini. Masyarakat Toraja beranggapan bahwa kerbau adalah kendaraan yang
ditunggangi arwah si mati untuk mengantarnya ke surga. Kerbau yang disembelih
berkisar puluhan ekor bahkan jumlah itu bisa mencapai ratusan berdasarkan strata
sosialnya. Jenis kerbau yang disembelih adalah kerbau biasa/kerbau hitam, kerbau
balian (kerbau aduan), dan kerbau belang (kerbau Bonga) (Budiawati dkk, 2009).
Berbeda dengan budaya lain di Indonesia, budaya Rambu Solo di Tanah
Toraja justru menunjukkan atau memperjelas identitas diri dari pelakunya, dalam
kebudayaan masyarakat Toraja dikenal empat macam tingkat atau strata sosial
(Panggarra, 2015):
a. Tana bulaan atau golongan bangsawan
b. Tana basi atau golongan bangsawan menengah
c. Tana karurung atau masyarakat biasa/ rakyat merdeka, dan
d. Tana kua-kua atau golongan hamba
Kelompok sosial itu merupakan tatanan yang mengatur perilaku para anggota
kelompokya, termasuk memberi ciri-ciri yang khas dalam melaksanakan upacara
Rambu Solo
2.1.3 Tingkatan Upacara Rambu Solo
Bentuk upacara Rambu Solo yang dilaksanakan di Tana Toraja
disesuaikan dengan kedudukan sosial masyarakat. Oleh karena itu, upacara
Rambu Solo di Tana Toraja dibagi kedalam empat tingkatan, dan setiap
tingkatannya memiliki beberapa bentuk. Hal itu dijelaskan oleh L.T Tangdilintin
dalam Panggara sebagai berikut:
a. Upacara Disilli
Upacara Disilli adalah upacara pemakaman yang paling rendah di dalam
Aluk Todolo, yang diperuntukkan bagi strata yang paling rendah atau anak-anak
yang belum mempunyai gigi.
1. Dipasilamun Toninna, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan bagi anak-
anak yang meninggal pada waktu lahir. Anak itu akan dikuburkan dengan
plasentanya, sebagai pemakaman bersejarah
2. Didedekan Palungan, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang meninggal,
tanpa ada binatang yang dikorbankan. Hal itu diganti dengan mengetuk/
memukul tempat makan babi saja
3. Dipasilamun Tallok Manuk, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang
meninggal, yang dikuburkan bersama dengan telur ayam, pada malam hari.
Pemakaman itu tanpa pemotongan binatang korban
4. Dibai Tungga, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan dengan cara
mengantar jenazah kekuburan pada malam hari dan disertai dengan
pemotongan seekor babi
b. Upacara Dipasangbongi
Upacara Dipasangbongi adalah upacara pemakaman yang hanya
berlangsung selama satu malam. Upacara itu dilaksanakan bagi kelompok tana
karurung (rakyat merdeka/ biasa). Namun, upacara itu bisa saja dilakukan oleh
orang dari tana bulaan dan bassi jika secara ekonomi mereka tidak mampu.
1. Dibai Apa, yaitu upacara selama satu malam dengan hanya mengorbankan
babi empat ekor
2. Ditedong Tungga, yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan
kerbau satu ekor, tetapi babi tidak ditemtukan banyaknya
3. Diisi, yaitu upacara pemakamn bagi anak yang belum memiliki gigi.. anak itu
dapat diberi gigi emas atau besi, lallu dipotongkan kerbau seekor. Upacaranya
berlangsung selama satu malam, lalu besoknya dikuburkan. Upacara itu
biasanya dilakukan oleh orang yang berasal dari kelompok bangsawan tinggi
dan menengah
4. Matangke Patomali, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama satu
malam dan diberi kerbau dua ekor sebagai korban. Upacara itu disebut To
Ditanduk Bulaan.
c. Upacara Dipasangbongi
Dalam upacara Dibatang atau Didoya Tedong, setiap hari kerbau satu ekor
ditembatkan pada sebuah patok dan dijaga oleh orang sepanjang malam tanpa
tidur. Selama upacara itu berlangsung, setiap hari ada pemotongan kerbau satu
ekor. Upacara itu diperuntukkan bagi bangsawan menengah (tana bassi), tetapi
juga bisa dipakai untuk kaum bangsawan tinggi (tana bulaan) yang tidak mampu
membuat upacara tana bulaan.
Upacara itu dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Dipatallung bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 3 hari
3 malam dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tiga ekor dan babi
secukupnya. Pada upacara itu dibuat pondok-pondok dihalaman tongkongan
yang ditempati oleh seluruh keluarga selama upacara berlangsung
2. Dipalimang bongi, yaitu upacara pemakam yang berlangsung 5 hari 5 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya lima ekor dan babi secukupnya.
Pada upacara itu, selain membangun pondok dihalaman tonngkongan,
dibuatkan juga pondok upacara ditempat yang dinamakan rante
3. Dipapitung bongi, adalah upacara pemakaman yang berlangsung selama 7
hari 7 malam dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tujuh ekor dan babi
secukupnya. Walaupun upacara itu berlangsung 7 hari, ada satu hari yang
digunakan untuk beristirahat meskipun acara korban terus berlangsung. Hari
itu dikenal dengan istilah Allo Torro (hari istirahat). Tambahan dalam
upacara itu adalah pembuatan duba-duba, yaitu tempat pengusung mayat
yang dibentuk seperti rumah adat Toraja. Pada upacara dipatallung bongi dan
dipalimang bongi, hal itu tidak dibuat, kecuali saringan, yaitu tempat
pengusung mayat tanpa tutup, yang menyerupai rumah adat Toraja
d. Upacara Rapasan
Upacara rapasan adalah upacara pemakaman yang dikhususkan bagi kaum
bangsawan tinggi (tana bulaan). Dalam upacara jenis rapasan, upacara
dilaksanakan sebanyak dua kali. Upacara itu dibagi lagi menjadi beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut:
1. Upacara rapasan diongan atau didandan tana (artinya dibawah atau menurut
syarat minimal), dalam upacara itu korban kerbau sekurang-kurangnya
sembilan ekor, dan babi sebanyak yang dibutuhkan/ sebanyak banyaknya.
Karena upacara rapasan dilaksanakan sebanyak dua kali, upacara pertama
dilaksanakan selama tiga hari dihalaman tongkongan, dan upacara kedua
dilaksanakan di rante. Upcara pertama disebut sebagai Aluk pia atau aluk
banua, yang berlangsung sekurang-kurangnya 3 hari di halaman tongkongan,
sedangkan upacara kedua disebut Aluk Palao atau Aluk Rante karena
pelaksanaannya berlangsung di rante dan dapat dilangsungkan selama yang
diinginkan oleh keluarga. Jumlah kerbau yang dikorbankan dalam upacara
pertama itu sama dengan jumlah yang dikorbankan dalam upacara kedua
meskipun kadang-kadang dilebihkan satu atau dua ekor pada upacra kedua
2. Upacara rapasan sundun atau doan (upacara semourna/ atas). Upacara itu
diperuntukkan bagi banngsawan tinggi yang kaya atau para pemangku adat.
Dalam upacara itu dibutuhkan korban kerbau sekurang-kurangnya 24 ekor,
dengan jumlah babi yang tidak terbatas untuk dua kali pesta upacaranya
berlangsung seperti upacara rapasan diongan
3. Upacara rapasan sapu randaan (secara literal diartikan setara dengan tepi
sungai) berlangsung dengan korbankerbau yang melimpah (ada yang
mengatakan di atas 24, 30, bahkan diatas 100 ekor). Pada upacara itu, selain
menyiapkan duba-duba (tempat pengusung mayat yang mirip dengan rumah
tongkongan), disiapkan juga tau-tau, yaitu patung orang yang meninggal,
yang diarak bersama dengan mayat ketika akan dilaksanakan aluk palaoatau
aluk rante (Panggarra, 2015).

2.1.4 Prosesi Upacara Rambu Solo


Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan
sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara
Rambu Solo maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit.
Karena statusnya masih sakit, maka orang yang sudah meninggal tadi harus
dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti
menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. Jika
keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu
akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu
menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan
jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun (Budiawati, dkk. 2009).
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut,
barulah Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke
tongkonan tammuon (tongkonan pertama tempat dia berasal), disana dilakukan
penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya
Matinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas
kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih
ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu,
kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang
hadir (Budiawati, dkk. 2009).
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari,
lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada
agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama
dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya
akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan
tersebut. Setelah disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih
tinggi, yaitu tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu
dipindahkan ke tongkonan tammuon, yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian
dagingnya kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut. Seluruh
prosesi acara Rambu Solo selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar
pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan
barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu
menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung) (Budiawati, dkk. 2009).
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja), di depan
duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di
depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh
para wanita dalam keluarga itu). Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan
barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah
keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang
mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba,
dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan
pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti
dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat
di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba
dan yang terakhir barulah duba-duba. Jenazah tersebut akan disemayamkan di
rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang
(rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor.
Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang
datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke
rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh
keluarga yang sedang berduka (Budiawati, dkk. 2009).
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan
diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi
berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara
lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu
dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum
nantinya akan dikubur, di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu,
yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah
prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga
dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan mapasilaga
tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara
Rambu Solo, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-
tunggu. Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau
merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai
semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang
berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan
hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari
penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane (kuburan
dari kayu berbentuk rumah adat) (Budiawati, dkk. 2009).
2.1.5 Masalah Akibat Upaca Adat Rambu Solo
Upacara pemakaman Rambu Solo membutuhkan biaya yang sangat
besar. Apalagi, harus memotong puluhan bahkan ratusan hewan terdiri dari
kerbau, sapi, dan lainnya. Sebelum upacara ini dilaksanakan maka orang yang
meninggal itu dianggap sebagai orang sakit dan tetap ditempatkan dalam
tongkongan, untuk masyarakat yang memiliki satus sosial rendah, perlu
menunggu waktu yang lama sehingga upacara rambu solo dapat
dilaksanakan. Selama menunggu waktu tersebut, mayat tentu akan mengalami
pembusukan walaupun sudah disiasati dengan pengawetan alami atau
pembalseman.
Proses pembusukan berawal dari mikroba yang berada dalam tubuh
organisme yang sudah tidak bernyawa, misalnya bakter-bakteri yang hidup dalam
usus besar manusia. Sesaat setelah makhluk hidup tidak bernyawa, bakteri mulai
mendegradasi protein yang terdapat dalam tubuh. Jika seluruh jenis ikatan protein
sudah terputus, maka beberapa jaringan tubuh menjadi tidak berfungsi. Proses ini
dilanjutkan oleh dilanjutkan oleh bakteri yang datang dari luar, berasal dari udara,
air dan tanah. Berbagai jenis bakteri tersebut menyerang sistem pertahanan tubuh
yang sudah tidak aktif, menghancurkan jaringan otot, atau menghasilkan enzim
penghancur sel (protease).
Tidak semua mikroba mampu mendegradasi mayat, pada umumnya jenis
bakteri heterotrof. Bakteri ini membutuhkan molekul-molekul organik dari
organisme lain sebagai nutrisi agar bisa bertahan hidup dan berkembangbiak.
Organisme heterotrof biasanya hidup dan berkembangbiak pada organisme mati.
Mikroba tersebut mendapatkan energi dengan menguraikan senyawa organik pada
organisme mati. Molekul-molekul besar seperti protein, karbohidrat, lemak atau
senyawa organik lainnya mengalami dekomposisi menjadi molekul tunggal
seperti asam amino, metana, gas CO2, serta molekul lain yang merupakan
senyawa karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur.
Pembusukan dimulai dengan pemutusan ikatan protein-protein besar pada
jaringan tubuh oleh bakteri fermentasi menggunakan enzim protease. Pemutusan
protein menghasilkan asam amino. Misalnya asam amino akan dicerna bakteri
asetogen yang direkasikan dengan oksigen dan menghasilkan asam asetat yang
menimbulkan bau tidak sedap. Asam asetat akan diproses oleh bakteri metanogen,
misalnya Methanolhemobacter thermoantrotrophicum yang biasa hidup di
lingkungan kotor seperti selokan dan pembuangan limbah. Bakteri mereaksikan
asam asetat dengan gas hidrogen dan karbondioksida. Metana dalam bentuk gas
juga berbau busuk. Selain asam asetat dan metana, beberapa bakteri menghasilkan
gas hidrogen sulfida yang baunya seperti telur busuk. Bau busuk yang bercampur
dengan uap garam dan berbagai zat di udara bebas dapat mereduksi konsentrasi
elektrolit dalam tubuh. Produk berbahaya selain gas yang dihasilkan cairan asam
dan cairan lain yang mengandung protein toksik.
Jika cairan ini menginfeksi kulit yang luka atau terkena makanan, bukan
hanya produk beracunnya yang masuk dalam tubuh tetapi juga bakteri heterotrof
patogen seperti Clostridium. Bakteri tersebut dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatanseperti lemahnya sistem pertahanan tubuh, malaria,
diare, tetanus, serta infeksi lainnya (Putra, 2012).

2.2 Aspek- Aspek Sehat


Kesehatan bersifat holistik atau menyeluruh. Indikator dari masing-masing
aspek dalam kesehatan individu Notoatmodjo dalam Anies, antara lain:
a. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit dan berdasarkan
pemeriksaan klinis memang tidak mengidap sesuatu penyakit maupun
gangguan fungsi organ
b. Kesehatan mental (jiwa) mencakup tiga koomponen,yaitu pikiran, emosional
dan spiritual, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pikiran yang sehat akan tercermin dari cara berfikir seseorang, yakni
mampu berfikir logis atau berfikir secara runtut.
2. Emosional yang sehat akan tercermin dari kemampuan seseorang untuk
mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, sedih, khawatir, dan
sebagainya
3. Spiritual yang sehat akan tercermin dari cara orang mengekspresikan rasa
syukur, pujian atau penyembahan terhadap sang pencipta alam semesta.
Secara praktis, spiritual yang sehat dapat dilihat dari praktek keagamaan
atau kepercayaan serta perbuatan yang baik yang sesuai dengan norma-
norma masyarakat.
c. Kesehatan sosial menyangkut hubungan interpersonal. Kesehatan ini dapat
terwujud, apabila seseorang mempu berinteraksi dengan individu maupun
kelompok lain tanpa membedakan kelompok, suku, ras, status sosial, ekonomi
dan sebagainya
d. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari produktivitas seseorang, dalam arti
memunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu untuk menyokong hidupnya.
Bagi kelompok masyarakat yang belum bekerja maupun yang telah berusia
lanjut, produktif di sini diartikan mempunyai kegiatan yang berguna untuk
kehidupan mereka nanti, misalnya sekolah atau kuliah, kegiatan sosial serta
keagamaan bagi usia lanjut.
BAB III. ANALISA

3.1 Pembahasan
3.1.1 Upacara Adat Rambu Solo dengan Aspek Fisik
Upacara adat Rambu Solo akan dilaksanakan apabila keluarga si mati
mampu melaksanakan upacara adat rambu solo jika keluarga si mati itu belum
mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di
tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu menyediakan
hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu
bisa memakan waktu bertahun-tahun Setelah pihak keluarga mampu menyediakan
hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan. Selama menunggu
waktu tersebut, mayat tentu akan mengalami pembusukan walaupun sudah
disiasati dengan pengawetan alami atau pembalseman.
Tongkongan yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum
upacara rambu solo dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya
yang masih sehat, dalam tongkongan tidak hanya dihuni oleh orang dewasa, tetapi
juga anak-anak, ibu hamil bahkan bayi.
Pembusukan dimulai dengan pemutusan ikatan protein-protein besar pada
jaringan tubuh oleh bakteri fermentasi menggunakan enzim protease. Pemutusan
protein menghasilkan asam amino. Misalnya asam amino akan dicerna bakteri
asetogen yang direkasikan dengan oksigen dan menghasilkan asam asetat yang
menimbulkan bau tidak sedap. Asam asetat akan diproses oleh bakteri metanogen,
misalnya Methanolhemobacter thermoantrotrophicum yang biasa hidup di
lingkungan kotor seperti selokan dan pembuangan limbah. Bakteri mereaksikan
asam asetat dengan gas hidrogen dan karbondioksida. Dalam proses pembusukan
juga menghasilkan gas metana yang dalam ruang tertutup konsentrasi gas ini
dapat tinggi sehingga dapat menyebabkan asfiksia dengan gejala napas menjadi
cepat, nadi meningkat, koordinasi otot menurun, emosi meningkat, mual, muntah,
kehilangan kesadaran, gagal napas, hingga menyebabkan kematian (agus, 2011).
Selain asam asetat dan metana, beberapa bakteri menghasilkan gas hidrogen
sulfida yang baunya seperti telur busuk. Berikut adalah efek hydrogen sulfida
pada kesehatan menurut American National Standard Institute (ANSI) :
- 0,13 ppm : bau minimal
- 4,60 ppm : mudah terdeteksi, bau sedang
- 10 ppm : mulai iritasi mata
- 27 ppm : bau tidak enak, sangat kuat, dapat ditoleransi
- 100 ppm : batuk, iritasi mata, kehilangan sensasi bau setelah paparan 2 - 5 menit
( IDLH )
- 200 - 300 ppm : radang mata conjunctivitis, iritasi saluran napas, setelah 1 jam
paparan
- 500 - 700 ppm : hilang kesadaran, henti napas, kematian dalam 30 - 60 menit
- 1000 - 2000 ppm : hilang kesadaran dengan segera, henti napas dan kematian
dalam beberapa menit.
Bau busuk yang bercampur dengan uap garam dan berbagai zat di udara
bebas dapat mereduksi konsentrasi elektrolit dalam tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan kejang, gangguan otot dan gangguan saraf.
Produk berbahaya selain gas yang dihasilkan adalah cairan asam dan
cairan lain yang mengandung protein toksik. Jika cairan ini menginfeksi kulit
yang luka atau terkena makanan, bukan hanya produk beracunnya yang masuk
dalam tubuh tetapi juga bakteri heterotrof patogen seperti Clostridium. Bakteri
tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti lemahnya sistem
pertahanan tubuh, malaria, diare, tetanus, serta infeksi lainnya. Sehingga keluarga
si mati kemungkinan besar akan terinfeksi penyakit akibat proses pembusukan
pada mayat sehingga berdampak pada aspek fisik keluarga yang ditinggalkan.
Pada prosesi upacara rambu solo, puluhan ekor kerbau dan babi
disembelih lalu dibagi-bagikan. Mengkonsumsi daging merah yang diolah sendiri
atau makanan olahan pabrik yang berbahan daging merah, ternyata tidak
berdampak baik bagi kesehatan usus dan jantung. Bahkan potensi usus terkena
kanker menjadi lebih besar jika seseorang sering menjadikan daging
merah sebagai bagian dari makanannya. Orang yang sering menyantap makanan
dari daging merah telah terbukti berisiko mengidap penyakit kanker atau
gangguan jantung. Kesimpulan tersebut tentu tidak sekedar hipotesa belaka
melainkan telah dibuktikan melalui serangkaian riset. Antara lain dilakukan oleh
American Institute for Cancer Research (AICR) dan World Cancer Research
Fund. Konsumsi setiap 100 gram daging merah (sapi, kambing, domba, babi), per
hari, maka resiko seseorang mengidap kanker usus besar naik 17 % dibanding
mereka yang tidak mengkonsumsi daging merah.

Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur & Barat, yaitu Cina dan
Swedia. Cina (mayoritas penduduknya penyembah berhala) & Swedia (mayoritas
penduduknya sekuler) menyatakan: "Daging babi merupakan penyebab utama
kanker anus dan kolon". Persentase penderita penyakit ini di negara yang
penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis, terutama di negara-negara
Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India).
Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000.
Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia
tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo. Babi banyak
mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya, sehingga dikatakan
sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus Avian Influenza jadi ganas.
Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke
manusia. Virus AI mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga
mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan
mutasi dan tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain
H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang
Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Penyakit-
penyakit "cacing pita" merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi
melalui konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh
manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa. Jumlah cacing pita
bisa mencapai sekitar "1000 ekor dengan panjang antara 4 - 10 meter", dan terus
hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air
besar).
Proses panjang pada upacara adat rambu solo juga menyebabkan
kelelahan fisik dan psikis bagi keluarga yang ditinggalkan yaitu pada saat kelurga
menerima tamu yang berlaansung selama tujuh hari. Kesibukkan ini meliputi
menyediakan makanan dan minuman bagi para tamu, belum kegiatan lainnya
yakni apabila memiliki balita yang masih kecil maka beban akan bertambah
dengan mengasuh anak sehingga mengakibatkan perubahan jam tidur yang akan
menambah kelelahannya semakin besar.
.
3.1.2 Upacara Adat Rambu Solo dengan Aspek Sosial
1. Kekeluargaan
Apabila seorang meninggal dunia dalam kalangan suku Toraja, Upacara
pemakaman tidak hanya dihadapi oleh suami, istri dan anak-anaknya, tetapi juga
keluarga besar (rumpun keluarga) dari simati. Seluruh keluarga meskipun tinggal
ditempat yang jauh, berusaha untuk hadir dan berpartisipasi dalam upacara
Rambu Solo. Keluarga-keluarga ini secara bersama menanggulangi biaya
pelaksanaan upacara rambu solo. Bila ada kelaurga yang tidak mengambil bagian
maka ia akan menanggung beban moral yang mengakibatkan ia dapat tersisih dari
komunitas keluarga. Juga keluarga yang lain akan memberi penilaian yang negatif
terhadapnya karena dianggap tidak memiliki solidaritas keluarga, hal ini
menujukkan dalam masyarakat Toraja sistem kekeluargaan dan kekerabatan
merupakan sasuatu hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui upacara Rambu
Solo hubungan kekerabatan disegarkan kembali, karena upacara ini merupakan
pertemuan kaum kerabat dengan semua handai tolan dan semua kenalan biasa.
Dikalangan orang toraja saudara sepupu sampai tahap ke tujuh masih dianggap
saudara dekat.
2. Stratifikasi sosial
dalam masyarakat Toraja stratifkasi sosial (tana) dikenal dalam empat tingkatan:
- Kelas bangsawan tinggi (tana bulaan)
- Kelas bangsawan menengah (tana bassi)
- Kelas orang-orang merdeka (tana karurung)
- Kelas hamba sahaya (tana kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian ini
dipelihara secara turun-temurun. Jadi dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan
upacara Rambu Solo juga harus didasarkan pada tana. Ini berarti tingkatan
upacara untuk tana kua kua, tidak boleh sama dengan upacara untuk tana
karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi ekonomi, dengan
demikian upacara Rambu Solo mencermikan martabat atau harga diri dari suatu
keluarga khsusnya golongan bangsawan, dengan kata lain keberhasilan atau
kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan
sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa
sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka
sebagaiman layaknya
3. Persekutuan
Upacara Rambu Solo tidak hanya melibatkan rumpun keluarga, tetapi
juga melibatkan masyarakat sekitar, dalam masyarakat Toraja, ada bentuk-betuk
persektuan sosial. Persekutuan ini tidak saja didasarkan pada pertalian biasa,
tetapi juga pada adanya kesadaran saling membutuhkan serta kesadaran untuk
berkorban demi kehidupan bersama, hal ini juga berlaku dalam urusan upacara
Rambu Solo, dimana seluruh anggota masyarakat secara sukarela terlibat dalam
kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari akhir
sampai selesai, disini terlihat bahwa masyarakat Toraja sejak dulu menjunjung
tinggi rasa kekeluargaan dan rasa kegotong-royongan. Selain masyarakat sekitar,
juga keluarga dan kenalan yang berasal dari luar kampung atau luar daerah juga
berusah untuk hadir. Sehingga upacara juga menjadi tempat pertemuan antara
seluruh sanak saudara serta kenalan, baik yang dekat maupun yang jauh.
3.1.3 Upacara Adat Rambu Solo dengan Aspek Mental
Upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-
wajah keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk
mengucapkan selamat jalan kepada saudara yang meninggal tersebut, sebab
jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah adat (tongkonan),
disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan ada
beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa atau mampu
untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu
sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta
kematian ini. Karena mereka menganggap bahwa orang yang telah mati namun
belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap belum mati dan dikatakan
hanya sakit, karena statusnya masih sakit . Orang yang sudah meninggal tadi
harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.
Dibalik kemegahan pesta pemakan berdampak langsung dari beban
keuangan saat melakukan upcara rambu solo, dalam mengahadapi beban
keuangan rambu solo sebagai stressor. Bagi strata sosial paling bawah (tana
kua-kua) maka beban biaya yang akan dikeluarkan untuk prosesi pemakaman adat
akan menimbulkan beban mental tersendiri karena ketiadaan biaya untuk
melaksanakan upacara.
3.1.4 Upacara Adat Rambu Solo dengan Aspek Spiritual
Selain dua nilai di atas, nilai religi juga tampak dari upacara Rambu Solo.
Masyarakat Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal tak ditakuti karena
mereka percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian
adalah bagian dari ritme kehidupan yang wajib dijalani. Walau boleh ditangisi,
kematian juga menjadi kegembiraan yang membawa manusia kembali menuju
surga, asal-muasal leluhur, dengan kata lain, mereka percaya adanya kehidupan
setelah kematian.
BAB IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan ulasan makalah di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
a. Upacara adat rambu solo di Tana Toraja terkait aspek fisik yang meliputi,
kelelahan fisik dikarenakan prosesi upacara yang panjang serta penyakit yang
ditimbulkan akibat dari pembususkan mayat yang berada ditongkongan tempat
penyimpanan mayat sebelum upacara rambu solo dilaksanakan
b. Upacara adat rambu solo di Tana Toraja terkait aspek sosial ditinjau dari
keluarga, strata sosial, dan persekutuan dimana solidaritas keluarga masih
kental hal ini terbukti dalam partisipasi upacara rambu solo serta
penangulangan bersama biaya upacara rambu solo. Berdasarkan strata sosial
kemeriahan upacara adat rambu solo mencerminkan martabat dan harga diri
keluarga. Berdasarkan perseskutuan dimana seluruh anggota masyarakat secara
sukarela dan gotong royong membantu dalam kegiatan upacara rambu solo
tersebut.
c. Upacara adat rambu solo di Tana Toraja terkait aspek mental bahwa
bebanbiaya yang ditanggung keluarga yang ditinggalkan menimbulkan stressor
tersendiri khususnya bagi strata sosial paling bawah (tana kua-kua), serta
kesedihan yang tidak terlalu tergambar diwajah-wajah keluarga yang berduka,
hal ini dikarenakan meraka mempunyai waktu yang cukup untuk mengucapkan
selamat jalan kepada saudara yang meninggal tersebut
d. Upacara adat rambu solo di Tana Toraja terkait aspek spiritual dimana
masyarakat Toraja percaya kehidupan setelah mati

4.2 Saran
Sebagai bagian akhir dari makalah ini, maka saran yang dapat disampaikan
adalah:

a. Bagi pembaca
DAFTAR PUSTAKA

Anies. 2006. Sutet Potensi Gangguan Kesehatan Akibat Radiasi Elektromagnetik


Sutet. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Bidiawati, dkk. 2009. Rambu Solo: Upacara Kematian Di Tana Toraja. [Serial
Online] https://tulisananakkos.wordpress.com/2010/06/24/makalah-rambu-
solo-upacara-kematian-di-tana-toraja/. [17 Maret 2016].

Panggarra, Robi. 2015. Upacara Rambu Solo Di Tana Toraja: Memahami


Bentuk Kerukunan Di Tengah Situasi Konflik. Makasar: STTP Jaffray.

Putra, Juniartha. 2012. Suku Toraja dengan Masalah Kesehatan. [Serial Online]
https://iputujuniarthasemaraputra.wordpress.com/2012/06/21/suku-toraja-
dengan-masalah-kesehatan/. [21 Maret 2016]

http://www.kesehatankerja.com/Methane%20dan%20bahaya%20kesehatan.htm

http://www.rssemengresik.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=30&It
emid=1

http://sidomi.com/75934/bahaya-mengkonsumsi-daging-merah-berlebih/

http://pindo-kurniawan.blogspot.co.id/2012/11/penelitian-ilmiah-modern-tentang-
babi.html

Anda mungkin juga menyukai