Anda di halaman 1dari 10

PENUGASAN INDIVIDU POPULASI 3

Pneumonia

Oleh :
Kelompok 1

AAA Lie Lhianna MP (H1A013001)


Aditya Agung Pratama (H1A013002)
Ahia Zakira Rosmala (H1A013003)
Anabel Cahyadi (H1A013006)
Annisa Hidayati (H1A013007)
Muhammad Bagus S (H1A013040)

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram


Nusa Tenggara Barat
2015
PENDAHULUAN

Kesehatan serta lingkungan yang bersih haruslah tetap dijaga agar masyarakat
senantiasa terhindar dari berbagai penyakit akibat lingkungan yang tidak sehat. Kebersihan
lingkungan merupakan keadaan bebas dari kotoran, termasuk didalamnya seperti debu,
sampah. Disamping itu, memperhatikan keadaan jamban serta adanya ventilasi rumah. Di
Indonesia, masalah kebersihan lingkungan serta perilaku masyarakat yang tidak sehat masih
menjadi masalah yang tiap tahunnya meningkat seiring dengan kejadian penyakit yang
diakibatkannya. Salah satu penyakitnya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

ISPA adalah penyakit sering terjadi pada anak anak. ISPA merupakan penyakit
infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung
hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga disekitar
hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah, tanpa atau disertai radang parenkim. ISPA
disebabkan oleh virus atau bakteri antara lain streptokokus hemolitikus, stafilokokus,
pneumokokus, hemofils influenza, bordetella pertusis dan karinebakterium diffteria (Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015). Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah. Contoh penyakit ISPA atas adalah
nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, rhinitis, dan sinusitis. Kemudian pada infeksi
saluran pernapasan akut bawah terdapat bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan
pneumonia.

Salah satu penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak usia balita
adalah pneumonia. Berikut akan dibahas lebih dalam mengenai ISPA bawah yaitu pneumonia
pada anak beserta faktor resiko dan pencegahannya.
ISI

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada
anak di negara sedang berkembang. Di Indonesia ISPA merupakan salah satu masalah
kesehatan yang utama karena masih tingginya angka kejadian ISPA terutama pada Balita. ISPA
ini menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah lima tahun setiap
tahunnya. Setiap anak diperkirakan mengalami tiga sampai enam episode ISPA setiap tahunnya
dan mengakibatkan sekitar 20-30% kematian. ISPA juga merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40-60% kunjungan berobat di
Puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit
disebabkan oleh ISPA.
Pneumonia yang merupakan bagian dari ISPA bawah adalah satu penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak usia balita (WHO 2010 dalam Wijaya I.G.K., et al,
2014). Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial. Penyebab tersering pneumonia bacterial adalah S.pneumoniae. Virus lebih sering
ditemukan pada anak <5 tahun dan respiratory syncitial virus (RSV) penyebab tersering pada
anak <3 tahun. Virus lain penyebab pneumonia meliputi adenovirus, parainfluenca virus, dan
influenza virus.
Klasifikasi pneumonia pada balita berdasarkan usia (Depkes RI 2007 dalam Hartati, S.,
2011):
Usia anak 2 bulan - < 5tahun:
Batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada napas cepat dan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah
Pneumonia ditandai dengan napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada
bagian bawah
Pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
depan
Usia kurang dari 2 bulan:
Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat
Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat dan tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam yang kuat
Beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan adalah dengan melalui inokulasi
langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, dan kolonisasi di
permukaan mukosa. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring),
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan awal mula infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil
sekret orofaring sebagian besar terjadi pada orang normal pada saat tertidur dan pada
penurunan kesadaran. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalas atau
aspirasi.
Gejala klinis yang sering dijumpai pada pneumonia adalah demam, takipneu,
takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum baik dari jumlah maupun
karakteristiknya. Selain itu akan terasa nyeri dada seperti ditusuk pisau, dan pada saat menarik
napas yang dalam akan terlihat pergerakan yang tertinggal pada salah satu sisi dada. Gambaran
klinis pneumonia dibagi dalam ringan dan berat (WHO 2009 dalam Hartati, S., 2011).
Pneumonia ringan terdapat batuk atau sulit bernapas, hanya ada napas cepat saja. Indikator
napas cepat pada anak umur 2 bulan 11 bulan adalah lebih dari sama dengan 50 kali per menit
dan pada anak usia 1 hingga 5 tahun lebih dari sama dengan 40 kali per menit. Kemudian untuk
pneumonia berat, di dapatkan batuk atau sulit bernapas dengan tambahan minimal satu dari hal
berikut, yaitu kepala terangguk angguk, pernapasan cuping hidung, tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam, foto dada yang menunjukkan gambaran pneumonia. Bisa ditemukan
pula suara merintih/grunting pada bayi muda.
Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia yang angka kematiannya cukup tinggi,
tidak hanya di negara berkembang saja tetapi juga di negara maju seperti Amerika serikat,
Kanada dan Eropa. Hasil survei yayasan Indonesia Sehat menyebutkan risiko kematian
populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% untuk daerah perkotaan dan 24%
untuk pedesaan.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif sekitar 27,6% dengan jumlah
65 juta perokok atau 225 miliar batang per tahun. Berdasarkan data Perilaku Hidup Sehat dan
Bersih (PHBS) tahun 2009 diketahui bahwa jumlah perokok sangat tinggi. Pada setiap balita
beresiko terpapar asap rokok cukup tinggi. Rokok menjadi salah satu faktor tertinggi yang
menyebabkan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan Pneumonia pada balita.
Data berikutnya menunjukkan terdapat 150.000 balita di Indonesia yang meninggal
setiap tahun akibat pneumonia. Diperkirakan 11-22% balita yang menderita batuk atau
kelainan bernafas tidak dibawa berobat sama sekali. Berikut adalah grafik period prevalence
ISPA menurut provinsi di Indonesia tahun 2007 dan 2013 dan insiden pneumonia 1000 balita
menurut kelompok umur di Indonesia tahun 2013 (Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
Dilihat dari bahan yang terkandung dalam rokok bahwa asap rokok mengandung lebih
dari 4000 bahan kimia dan sekitar 200 elemen yang berbahaya bagi kesehatan. Terdapat tiga
elemen yang paling berbahaya antara lain tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar merupakan
substansi hidrokarbon yang bersifat lengket sehingga dapat menempel pada paru. Nikotin
merupakan zat adiktif sehingga menyebabkan konsumen menjadi relaks dan bersemangat. Hal
inilah yang menyebabkan rokok menyebabkan kecanduan. Karbon monoksida merupakan zat
yang mengikat hemoglobin dalam darah sehingga darah tidak dapat mengikat oksigen
menyebabkan pengguna akan kekurangan oksigen.
Perokok pasif lebih rentan terserang penyakit yang berhubungan dengan pernapasan
dibandingkan dengan perokok aktif. Hal tersebut karena asap yang keluar dari ujung rokok
yang terbakar (asap samping) mengandung bahan kimia berkali-kali lipat lebih banyak
dibandingkan dengan asap dihisap oleh perokok (asap utama).Paparan asap rokok yang terus
menerus dapat menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh, terutama bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh mereka belum sempurna. Akibat daya tahan tubuh yang
menurun maka lebih mudah untuk terserang penyakit pernapasan seperti ISPA dan pneumonia.

Selain itu, paparan bahan kimia dari asap rokok juga merangsang epitel saluran napas
sehingga mengeluarkan lender atau dahak. Lendir yang tertahan di saluran nafas menjadi
tempat yang sempurna untuk berkembangnya bakteri, termasuk bakteri penyebab pneumonia.
Disamping itu,asap rokok dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan meningkatkan
penyakit infeksi pernafasan termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang
memiliki daya tahan tubuh masih lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka balita lebih
cepat terganggu sistem pernafasannya seperti ISPA (Syahrianti, 2010). Dilihat dari gejala yang
timbul penyakit ISPA diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala seperti
tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Sedangkan pneumonia
timbul dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, nafas cepat (frekuensi nafas >50
kali/menit), sesak dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang) (Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Faktor resiko lainnya terkait tingginya angka kejadian pneumonia selain keluarga yang
merokok, meliputi : 1) status gizi, berat lahir rendah, kurang pemberian ASI eksklusif,
imunisasi yang tidak lengkap, polusi udara didalam rumah, kepadatan rumah, kelembaban
udara, pendidikan ibu, kekurangan vitamin A (WHO, 2008 dalam Wijaya I.G.K., et al, 2014).

Dilihat dari aktivitas balita yang lebih banyak melakukan kegiatan didalam rumah
bersama orang tua maupun anggota keluarga, balita yang terkena ISPA dapat disebabkan oleh
lingkungan dalam rumah balita yang tidak memenuhi syarat. Oleh karenanya perlu dilakukan
pencegahan dari lingkup kecil menuju pencegahan yang bersifat lebih luas terhadap penyebab
munculnya ISPA. Beberapa faktor lingkungan rumah yang bisa mempengaruhi yakni faktor
lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor individu, dan faktor sosial-ekonomi. Salah satu
faktor lingskungan fisik rumah adalah ventilasi rumah. Berdasarkan peraturan No.
1077/MENKES/PER/V/2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi minimum 10% dari luas
rumah untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Pada beberapa penelitian, ventilasi rumah
yang memenuhi syarat akan menyebabkan ISPA pada balita dengan resiko 3,07 kali lebih kecil
dibandingkan dengan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat.

Kemudian pada faktor perilaku adalah kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok oleh
anggota keluarga membuat balita sebagai perokok pasif karena selalu terpapar asap rokok.
Rumah yang penghuni atau anggota keluarganya memiliki kebiasaan merokok punya peluang
untuk meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang
penghuninya tidak merokok didalam rumah. Biasanya orang tua atau penghuni rumah yang
lain merokok didalam rumah sambil istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan
sebagainya. Asap rokok yang dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil pembakaran produk
tembakau yang biasa mengandung Poliyclinic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang
berbahaya bagi kesehatan. Oleh karenanya perlu usaha untuk tidak merokok didalam rumah,
atau menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang merokok supaya asap tidak tersebar ke
ruangan lain didalam rumah.
Selain itu diperhatikan pula pentingnya pendidikan bagi ibu atau anggota keluarga
karena jika ibu memiliki pengetahuan tinggi, harapannya dapat mengetahui tindakan apa yang
harus segera diambil bila anaknya terkena ISPA, meskipun hanya gejala, dan cara pencegahan
apa saja yang dapat diterapkan di lingkungan rumah. Pencahayaan juga merupakan salah satu
faktor yang penting, karena matahari dapat membunuh bakteri patogen dalam rumah misalnya
bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai
20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Menurut WHO kebutuhan standar
minimun cahaya alami yang memenuhi syarat kesehatan untuk kamar keluarga dan kamar tidur
adalah 60-120 lux.
Di negara berkembang telah mengidentifikasi 6 strategi untuk mengontrol infeksi
saluran pernapasan akut yang dapat mengurangi morbiditas dan mortilitas akibat pneumonia
pada anak anak (WHO 2003 dalam Hartati S., 2011). 6 strategi itu adalah:
Pemberian imunisasi. Pemberian imunisasi campak, DPT, dapat dilakukan
untuk mencegah pneumonia. Selain itu asupan makanan yang kaya gizi untuk
mempertahankan stamina si balita.
Memberikan kemoprofilaksis (pelega tenggorok atau pereda batuk) pada anak
dengan infeksi pernapasan akut dan anak yang mengi.
Memperbaiki nutrisi. Pemberian asi pada neonatal hingga umur 2 tahun sangat
penting untuk dilakukan.
Mengurangi polusi lingkungan, seperti kebiasaan merokok oleh dewasa
sekitarnya seperti yang telah dijelas di atas.
Mengurangi penyebaran kuman dan mencegah penularan langsung dengan cara
menjauhkan anak dari penderita batuk.
Memperbaiki cara perawatan anak. Usaha untuk mencari pertolongan medis,
memberikan pendidikan kepada ibu terkait cara merawat anak yang baik.
WHO dan Unicef pada tahun 2009 memiliki rencana aksi global Global action plan for
the prevention (GAPP) untuk pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah
untuk mempercepat kontrol pneumonia dengan menggabungkan intervensi untuk melindungi,
mencegah, dan mengobati pneumoni pada anak dengan beberapa tindakan, seperti melindungi
anak dari pneumoni termasuk mempromosikan pemberian asi ekslusif dan cuci tangan ,
mengurangi polusi udara di dalam rumah, kemudian pemberian vaksinasi, dan mengobati
pneumonia di fokuskan pada upaya bahwa setiap anak yang sakit memiliki akses ke perawatan
yang tepat baik dari segi petugas kesehatan berbasis masyarakat maupun di fasilitas kesehatan
jika penyakitnya bertambah berat dan mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka
butuhkan untuk kesembuhan. (WHO 2010 dalam Hartasi, S., 2011)
PENUTUP

Pneumonia yang merupakan bagian dari ISPA bawah salah satu penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak usia balita. Pneumonia merupakan infeksi akut
parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial. Penyebab tersering pneumonia
bacterial adalah S.pneumoniae dan respiratory syncitial virus (RSV) penyebab tersering pada
anak <3 tahun. Ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan pneumonia pada anak yaitu
status gizi, berat lahir rendah, kurang pemberian ASI eksklusif, imunisasi yang tidak lengkap,
polusi udara didalam rumah, kepadatan rumah, kelembaban udara, pendidikan ibu, kekurangan
vitamin A. Namun, rokok merupakan faktor tertinggi yang menyebabkan Pneumonia pada
balita.

Paparan asap rokok yang terus menerus dapat menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh, karena sistem kekebalan tubuh mereka belum sempurna.. Selain itu, paparan bahan
kimia dari asap rokok juga merangsang epitel saluran napas sehingga mengeluarkan lendir atau
dahak. Lendir yang tertahan di saluran nafas menjadi tempat yang sempurna untuk
berkembangnya bakteri, termasuk bakteri penyebab pneumonia. Dilihat dari gejalanya,
pneumonia timbul dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, nafas cepat (frekuensi
nafas >50 kali/menit), sesak dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan
berkurang).

WHO telah mengidentifikasi 6 strategi untuk mengontrol infeksi saluran pernapasan


akut yang dapat mengurangi morbiditas dan mortilitas akibat pneumonia pada anak anak
diantaranya pemberian imunisasi, memberikan kemoprofilaksis (pelega tenggorok atau pereda
batuk), memperbaiki nutrisi, mengurangi polusi lingkungan, mengurangi penyebaran kuman
dan mencegah penularan langsung dengan cara menjauhkan anak dari penderita batuk, dan
memperbaiki cara perawatan anak. Oleh karena itu, pendidikan bagi ibu atau anggota keluarga
sangat penting karena harapannya dapat mengetahui tindakan apa yang harus segera diambil
bila anak terkena pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA

Fillacano, R., 2014. Hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada balita di
keluragan Ciputat kota Tangerang Selatan tahun 2013. Available at:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/24284

Hartati, S., 2011. Analisis faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada
anak balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Available at:
www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282632-T%20Susi%20Hartati.pdf

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Situasi Anak Blita Di Indonesia.

Rahajoe, Nastiti N, B. Supriyatno, D. B. Setyanto. 2013. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama, cetakan keempat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Sugihartono & Nurjazul, 2012. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Vol. 11 No. 1. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia.

Wijaya I.GK., Bahar H., 2014. Forum ilmiah : Hubungan Kebiasaan Merokok, Imunisasi
Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia Pada Blita Di Puskesmas Pabaruan Tumpeng Kota
Tangerang. Vol.11. No.3. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Wiyatiningru, A., 2010. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Kepala Keluarga dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) pada Balita di Puskesmas Banyudono I
Kabupaten Boyolali. Available at: http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/download/42/42

Anda mungkin juga menyukai