Anda di halaman 1dari 6

THE LOST WORLD CASTLE

SLEMAN, KOMPAS - Pemerintah Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, meminta


pembangunan obyek wisata The
Lost World Castle di lereng
Gunung Merapi dihentikan. Selain
tidak dilengkapi izin mendirikan
bangunan, pembangunan obyek
wisata itu juga dinilai melanggar
aturan karena berlokasi di
kawasan rawan bencana erupsi
Gunung Merapi.

"Pembangunan obyek wisata itu


dilakukan tanpa izin sehingga kami telah meminta pengelolanya untuk
menghentikan proses pembangunan," kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum,
Perumahan, dan Kawasan Pemukiman (DPUP dan KP) Kabupaten Sleman Sapto
Winarno, Rabu (1/2/2017), di Sleman.

Sapto mengatakan, pada Januari lalu DPUP dan KP Sleman melayangkan surat
peringatan dua kali kepada pengelola The Lost World Castle. Surat berisi
permintaan agar pembangunan obyek wisata itu dihentikan.

Kawasan rawan

Kepala Seksi Mitigasi Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sleman


Djokolelana Juliyanto mengatakan, lokasi The Lost World Castle berada di
kawasan rawan bencana (KRB) III erupsi Gunung Merapi. KRB III adalah kawasan
yang sering terkena awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar,
serta hujan abu lebat apabila Merapi mengalami erupsi.

Djokolelana mengatakan, di KRB III Gunung Merapi tidak boleh ada pendirian
bangunan yang mengubah bentang alam wilayah. Karena itu, pendirian The Lost
World Castle melanggar dua aturan, yakni Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi serta
Peraturan Bupati Sleman Nomor 20 Tahun 2011 tentang Kawasan Rawan Bencana
Gunungapi Merapi. DPUP dan KP Sleman juga akan melakukan kajian
komprehensif mengenai pendirian bangunan, baik dari sisi sosial maupun ekologi
karena The Lost World Castle berlokasi di kawasan rawan bencana erupsi Gunung
Merapi dan wilayah konservasi air.

Pengelola The Lost World Castle, Ayung (46), mengatakan, pembangunan obyek
wisata itu dimulai 2013. Sebelum mulai membangun, Ayung mengaku telah
datang ke Pemkab Sleman untuk mengurus izin. Namun, permohonan izin ditolak
karena The Lost World Castle berada di KRB III Gunung Merapi.

http://regional.kompas.com/read/2017/02/03/20541171/pembangunan.the.lost.
world.castle.di.yogyakarta.langgar.aturan

HOTEL GRAND TIMOHO


Yogyakarta - Pemerintah Kota Yogyakarta akhirnya menghentikan paksa
proses pembangunan hotel baru di
Jalan Timoho yang menyalahi izin
mendirikan bangunan (IMB), Selasa
(10/1/2017). Bakal Hotel Grand
Timoho tersebut izinnya satu lantai
namun nekat dibangun enam lantai.
Penyegelan dilakukan oleh petugas
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) dengan menempelkan tulisan
tanda segel di pintu masuk proyek
pembangunan hotel.
Kami segel dulu, yang penting kegiatan [pembangunan] berhenti dulu, kata
Kepala Satpol PP Kota Jogja, Nurwidi Hartana seperti mengutip Harian Jogja.
Nurwidi mengatakan, pembangunan hotel tersebut melanggar Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Dalam Perda tersebut
tertulis sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi mulai dari
peringata tertulis, penghentian sementara pembangunan, pencabutan izin
bangunan. Sementara sanksi pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda
maksimal Rp50 juta.
Setelah menyegel, Satpol PP juga melayangkan surat pemanggilan kepada pengelola
hotel. Nurwidi menyatakan pengelola hotel itu juga terancam sidang tindak pidana
ringan (Tipiring). Nanti kami tindak yustisinya karena sudah menyalahi aturan
dalam Perda, ujar dia.
Dalam proses penyegelan, kemarin, aktivitas pembangunan masih berlangsung.
Humas Grand Timoho, Adi Ramadhan mengatakan aktivitas pembangunan baru bisa
dihentikan setelah zuhur, karena pihaknya perlu merapikan bahan bangunan supaya
tidak terlihat semrawut.
Pihaknya menerima penyegelan tersebut. Namun, Adi merasa tidak melanggar
karena sudah mengantongi IMB. Menurut dia, dalam berkas pengajuan IMB sudah
dilakukan sejak 2013 lalu, namun IMB baru keluar pada 2016 dengan IMB satu
lantai.
https://news.okezone.com/read/2017/01/10/510/1588098/hotel-baru-di-yogyakarta-akhirnya-
disegel

APARTEMENT PURI NOTOPROJO

TEMPO.CO, Yogyakarta - Spanduk lowongan pekerjaan menempel di dinding bangunan


yang digunakan sebagai kantor kegiatan proyek
Apartemen Puri Notoprojo. Tulisan dalam spanduk
menawarkan posisi di antaranya site manager, mekanik,
safety officer, gudang proyek, dan staf administrasi.

Tapi, pengelola proyek apartemen itu, Mahendra Birawa


membantah bangunan itu sebagai kantor pemasaran. Itu
bukan kantor pemasaran sih. Tapi, sekretariat untuk
kordinasi dengan warga Balerejo, kata Mahendra pada
14 Agustus. Ia menjelaskan hal itu di Kantor Puri
Notoprojo di Jalan Laksda Adisucipto Km 6 Yogyakarta.
Kantor itu juga menjadi tempat pemasaran proyek
apartemen.

Apartemen Puri Notoprojo berada di bawah bendera pengembang PT Abyudaya Tata


Anugrah Mandiri. Pemodalnya merupakan warga Jakarta. Dalam akta pendirian perusahaan
di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fatimah tercantum sebagai Komisaris
perusahaan. Sedangkan, Direktur Utamanya dijabat oleh Taufik dan Mohamad Reza Dwi
Putranto sebagai direktur. Modal dasar proyek apartemen itu Rp 1 miliar.

Apartemen itu akan berdiri di atas lahan seluas 3.800 meter persegi. Pada lokasi rencana
apartemen, terdapat pasir dan batu teronggok. Pelaksana proyek apartemen telah mulai
membuat gorong-gorong saluran pembuangan air.

Apartemen setinggi 7 lantai itu akan memiliki 362 unit. PT Abyudaya Tata Anugerah
Mandiri telah membeli lahan itu dari pengembang Grup Majestic Land pada akhir
2016. Pengembang Apartemen Puri Notoprojo sangat percaya diri mengiklankan produknya
meski mereka belum membereskan IMB.

Pengelola menyatakan IMB masih dalam proses. Di Kantor Puri Notoprojo di Jalan Laksda
Adisucipto Km 6 Yogyakarta terdapat brosur pemasaran. Brosur mereka menawarkan
fasilitas kolam renang, laundry, mini market, taman bermain, jogging, fitnes center, dan area
komersial.

Brosur Puri Notoprojo juga menyebut harga yang tercantum sudah termasuk biaya IMB,
sertifikat induk pecahan, sertifikat layak fungsi, Pajak Bumi Bangunan sebelum serah terima,
dan biaya penyambungan listrik dan air bersih.
Protes masyarakat

Warga Balerejo yang menolak, Dono Susilo mengatakan setidaknya 500 penduduk yang
tinggal di sekitar calon apartemen menolak karena mereka khawatir proyek itu akan
mengganggu ketersediaan air sumur milik penduduk. Mereka juga risau karena bangunan
tinggi akan menghalau sinar matahari masuk ke rumah-rumah penduduk.

Warga Balerejo telah melaporkan apartemen tidak ber-IMB yang mulai membangun pagar itu
kepada Forum Pemantau Independen Kota Yogyakarta. Forum ini bertugas mengawasi
kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta.

Setelah warga Balerejo protes, pada 4 Mei, petugas Satpol PP menyegel proyek apartemen itu
karena melanggar Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung.

Pasal 66 aturan itu berbunyi pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah
pemilik memperoleh izin mendirikan bangunan gedung, dan salinan dokumen IMB harus
tersedia di lokasi pekerjaan. Pengelola juga wajib memasang papan atau tanda IMB di lokasi
pembangunan.

Pengembang apartemen Puri Notoprojo, kata dia. bisa mengajukan izin bila memenuhi
kelengkapan persyaratan, kajian lingkungan, dan mendapat persetujuan dari masyarakat yang
terkena dampak. Di Yogyakarta, saat ini kata Setiyono terdapat dua apartemen yang memiliki
IMB, yakni Sindunegaran Palace di kawasan Kelurahan Bumijo, Jetis dan Jogja Apartemen
di Jalan Lowanu.

Tak jauh dari proyek Apartemen Puri Notoprojo terdapat Hotel Grand Timoho yang
belakangan berubah fungsi menjadi pondokan. Di tengah pengerjaan Hotel Grand Timoho
disegel Pemerintah Kota karena pengembang membangun tak sesuai rencana awal, yang
tercantum di IMB. Penyegelan terjadi pada 19 Januari 2017, setelah penduduk memprotes
keberadaan pembangunan Hotel Grand Timoho.

Pengelola membangun enam lantai, padahal dalam IMB tertera Grand Timoho hanya boleh
membangun satu lantai. Kegiatan membangun enam lantai itu melanggar Perda Kota
Yogyakarta Nomor 2 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Pasal 92 juncto pasal 96 ayat
satu menyebutkan pelanggar aturan itu terancam kurungan tiga bulan dan denda Rp 50 juta.

Read more at https://nasional.tempo.co/read/1020056/proyek-properti-bermasalah-dan-


ancaman-warisan-budaya-di-yogya#dGfkXsHlII7TPELR.99
FAVE HOTEL

YOGYAKARTA, KOMPAS.com Warga Kampung Miliran, Yogyakarta, mengeluhkan


kekeringan yang melanda sumur-sumur milik mereka sejak dua bulan lalu. Warga menduga
kekeringan itu berkait dengan
keberadaan sebuah hotel di sekitar
pemukiman mereka yang juga
menggunakan sumur untuk memenuhi
kebutuhan airnya.

Pada Rabu (6/8/2014) pagi, seorang


warga Miliran, Dodok Putra Bangsa
(37), menggelar aksi teatrikal di depan
Fave Hotel di Jalan Kusumanegara,
Yogyakarta.

Dodok menggelar aksi mandi dengan


tanah untuk menggambarkan kekeringan yang terjadi di sumur-sumur warga Miliran,
Kelurahan Mujamuju, Kecamatan Umbulharjo. Selama puluhan tahun, sumur warga Miliran
tidak pernah kekeringan, termasuk saat kemarau panjang. Namun, sejak dua bulan lalu,
sumur kami kering. Kami menduga ini ada kaitannya dengan aktivitas Fave Hotel di sini,
kata Dodok seusai menjalankan aksinya.

Dodok menyatakan, kekeringan terjadi pada sekitar 50 sumur, baik sumur timba maupun
sumur yang memakai mesin. Menurut dia, kekeringan tersebut tidak wajar karena Miliran
dikenal sebagai wilayah yang memiliki cadangan air tanah yang melimpah.

Saya sudah mencoba bicara dengan manajemen hotel tetapi belum ada respon yang
memadai. Makanya saya terpaksa menggelar aksi teatrikal ini, ujar dia.

Penuhi perizinan
Manajer Fave Hotel Kusumanegara, Yosi Arivianto, menuturkan, hotelnya memiliki satu
sumur air tanah dengan kedalaman 80 meter. Pembangunan sumur itu tahun 2012 sudah
mendapat izin dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta.

Penggunaan air tanah oleh hotel kami sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun
kami siap bertemu dengan warga dan BLH untuk mencari solusi terkait masalah ini, kata
dia.

Kepala Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan BLH Yogyakarta Very Tri
Jatmiko mengatakan, kekeringan sumur warga kemungkinan tak berkait dengan aktivitas
Fave Hotel. Sebab, kedalaman sumur warga masih berada di lapisan tanah dangkal, yakni
kurang dari 40 meter.

Adapun sumur milik Fave Hotel yang sedalam 80 meter sudah masuk lapisan tanah dalam.
Penyedotan air dari lapisan tanah dalam tidak berpengaruh pada lapisan tanah dangkal. Jadi
kekeringan itu mungkin karena kemarau atau banyaknya warga yang mengambil air dari
lapisan tanah dangkal, kata Very.

Anda mungkin juga menyukai