Sapto mengatakan, pada Januari lalu DPUP dan KP Sleman melayangkan surat
peringatan dua kali kepada pengelola The Lost World Castle. Surat berisi
permintaan agar pembangunan obyek wisata itu dihentikan.
Kawasan rawan
Djokolelana mengatakan, di KRB III Gunung Merapi tidak boleh ada pendirian
bangunan yang mengubah bentang alam wilayah. Karena itu, pendirian The Lost
World Castle melanggar dua aturan, yakni Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi serta
Peraturan Bupati Sleman Nomor 20 Tahun 2011 tentang Kawasan Rawan Bencana
Gunungapi Merapi. DPUP dan KP Sleman juga akan melakukan kajian
komprehensif mengenai pendirian bangunan, baik dari sisi sosial maupun ekologi
karena The Lost World Castle berlokasi di kawasan rawan bencana erupsi Gunung
Merapi dan wilayah konservasi air.
Pengelola The Lost World Castle, Ayung (46), mengatakan, pembangunan obyek
wisata itu dimulai 2013. Sebelum mulai membangun, Ayung mengaku telah
datang ke Pemkab Sleman untuk mengurus izin. Namun, permohonan izin ditolak
karena The Lost World Castle berada di KRB III Gunung Merapi.
http://regional.kompas.com/read/2017/02/03/20541171/pembangunan.the.lost.
world.castle.di.yogyakarta.langgar.aturan
Apartemen itu akan berdiri di atas lahan seluas 3.800 meter persegi. Pada lokasi rencana
apartemen, terdapat pasir dan batu teronggok. Pelaksana proyek apartemen telah mulai
membuat gorong-gorong saluran pembuangan air.
Apartemen setinggi 7 lantai itu akan memiliki 362 unit. PT Abyudaya Tata Anugerah
Mandiri telah membeli lahan itu dari pengembang Grup Majestic Land pada akhir
2016. Pengembang Apartemen Puri Notoprojo sangat percaya diri mengiklankan produknya
meski mereka belum membereskan IMB.
Pengelola menyatakan IMB masih dalam proses. Di Kantor Puri Notoprojo di Jalan Laksda
Adisucipto Km 6 Yogyakarta terdapat brosur pemasaran. Brosur mereka menawarkan
fasilitas kolam renang, laundry, mini market, taman bermain, jogging, fitnes center, dan area
komersial.
Brosur Puri Notoprojo juga menyebut harga yang tercantum sudah termasuk biaya IMB,
sertifikat induk pecahan, sertifikat layak fungsi, Pajak Bumi Bangunan sebelum serah terima,
dan biaya penyambungan listrik dan air bersih.
Protes masyarakat
Warga Balerejo yang menolak, Dono Susilo mengatakan setidaknya 500 penduduk yang
tinggal di sekitar calon apartemen menolak karena mereka khawatir proyek itu akan
mengganggu ketersediaan air sumur milik penduduk. Mereka juga risau karena bangunan
tinggi akan menghalau sinar matahari masuk ke rumah-rumah penduduk.
Warga Balerejo telah melaporkan apartemen tidak ber-IMB yang mulai membangun pagar itu
kepada Forum Pemantau Independen Kota Yogyakarta. Forum ini bertugas mengawasi
kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta.
Setelah warga Balerejo protes, pada 4 Mei, petugas Satpol PP menyegel proyek apartemen itu
karena melanggar Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung.
Pasal 66 aturan itu berbunyi pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah
pemilik memperoleh izin mendirikan bangunan gedung, dan salinan dokumen IMB harus
tersedia di lokasi pekerjaan. Pengelola juga wajib memasang papan atau tanda IMB di lokasi
pembangunan.
Pengembang apartemen Puri Notoprojo, kata dia. bisa mengajukan izin bila memenuhi
kelengkapan persyaratan, kajian lingkungan, dan mendapat persetujuan dari masyarakat yang
terkena dampak. Di Yogyakarta, saat ini kata Setiyono terdapat dua apartemen yang memiliki
IMB, yakni Sindunegaran Palace di kawasan Kelurahan Bumijo, Jetis dan Jogja Apartemen
di Jalan Lowanu.
Tak jauh dari proyek Apartemen Puri Notoprojo terdapat Hotel Grand Timoho yang
belakangan berubah fungsi menjadi pondokan. Di tengah pengerjaan Hotel Grand Timoho
disegel Pemerintah Kota karena pengembang membangun tak sesuai rencana awal, yang
tercantum di IMB. Penyegelan terjadi pada 19 Januari 2017, setelah penduduk memprotes
keberadaan pembangunan Hotel Grand Timoho.
Pengelola membangun enam lantai, padahal dalam IMB tertera Grand Timoho hanya boleh
membangun satu lantai. Kegiatan membangun enam lantai itu melanggar Perda Kota
Yogyakarta Nomor 2 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Pasal 92 juncto pasal 96 ayat
satu menyebutkan pelanggar aturan itu terancam kurungan tiga bulan dan denda Rp 50 juta.
Dodok menyatakan, kekeringan terjadi pada sekitar 50 sumur, baik sumur timba maupun
sumur yang memakai mesin. Menurut dia, kekeringan tersebut tidak wajar karena Miliran
dikenal sebagai wilayah yang memiliki cadangan air tanah yang melimpah.
Saya sudah mencoba bicara dengan manajemen hotel tetapi belum ada respon yang
memadai. Makanya saya terpaksa menggelar aksi teatrikal ini, ujar dia.
Penuhi perizinan
Manajer Fave Hotel Kusumanegara, Yosi Arivianto, menuturkan, hotelnya memiliki satu
sumur air tanah dengan kedalaman 80 meter. Pembangunan sumur itu tahun 2012 sudah
mendapat izin dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta.
Penggunaan air tanah oleh hotel kami sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun
kami siap bertemu dengan warga dan BLH untuk mencari solusi terkait masalah ini, kata
dia.
Kepala Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan BLH Yogyakarta Very Tri
Jatmiko mengatakan, kekeringan sumur warga kemungkinan tak berkait dengan aktivitas
Fave Hotel. Sebab, kedalaman sumur warga masih berada di lapisan tanah dangkal, yakni
kurang dari 40 meter.
Adapun sumur milik Fave Hotel yang sedalam 80 meter sudah masuk lapisan tanah dalam.
Penyedotan air dari lapisan tanah dalam tidak berpengaruh pada lapisan tanah dangkal. Jadi
kekeringan itu mungkin karena kemarau atau banyaknya warga yang mengambil air dari
lapisan tanah dangkal, kata Very.